Anda di halaman 1dari 17

Antagonis Obat

ANTAGONIS OBAT

I. PENDAHULUAN
Defenisi obat ialah suatu zat yang digunakan untuk diagnose, pengobatan, melunakkan,
penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau pada hewan.
Meskipun obat dapat menyambuhkan tapi toh banyak kejadian bahwa seseorang telah menderita
akibat keracunan obat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat
dan juga dapat bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebgai obat apabila tepat digunakan
dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi bila digunakan salah
dalam pengobatan atau dengan keliwat dosis akan menimbulkan keracunanan. Bila dosisnya
lebih kecil kita tidak memperoleh penyembuhan.
Obat-obat yang tergolong midriatik bekerja melebarkan pupil mata sedangkan obat golongan
miotik mengecilkan pupil mata. Ada obat yang digunakan untuk mencegah perdarahan yaitu
golongan hemostatik atau golongan koagulansia yang menjadikan darah menjendal, tetapi
adapula obat justru mencegah supaya darah jangan jadi menjendal, hal ini diperlukan untuk
transfuse darah atau pada waktu operasi jantung dicegah darah jangan menjendal (trombosis).
Parasimpatomimetik. Obat yang digunakan untuk merangsang organ-organ yang dilayani saraf
parasipatik. Juga disebut Cholinergik. Efek yang penting terhadap kelenjar, otot polos dan
jantung ialah :
1. menaikkan sekresi kelenjar-kelenjar bronchus, keringat, air mata, dan ludah.
2. menimbulkan miosis, daya akomodasi berkurang.
3. kontraksi otot bronchus
4. pelebaran dari kebanyakar pembuluh umum
5. bradycardia
6. kontraksi otot kerangka
7. stimulasi lalu depresi dari susunan saraf sentral
8. menaikkan tonus dan motilitas dari saluran usus lambung
- Pilocarpin Hydrochloridum (miotik)
- Carbacholum (bekerja pada tonus saluran kemih)
- Neostigmini Bromidum (miotik, bekerja pada atonus usus dan myasthenia gravis. (Moh.
Anief,1993)
II. TUJUAN PERCOBAAN
- untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari pilokarpin
- untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari atropin
- untuk mengetahui obat-obat yang tergolong dalam obat kolinergik

III. PRINSIP PERCOBAAN


Atropin merupakan antagonis kolinergik yang mempunyai efek yang berlawanan dengan
pilokarpin yang merupakan agonis kolinergik. Penggunaan topikal pilokarpin pada kornea mata
dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris, sedangkan atrpin menyekat
semua aktivitas kolinergik pada mata sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil).
IV. TINJAUAN PUSTAKA
Parasimpatikolitik
Obat yang digunakan untuk melawan efek dari perangsangan saraf parasimpatik, dan merupakan
antagonis dari obat-obat parasimpatomimetik. Juga disebut anticholinergik.
Efek yang penting ialah :
1. penurunan tonus dan mobilitas saluran usus lambung
2. midriasis
3. ketegangan dari otot bronchus
4. pengurangan sekresi dari kelenjar bronchus, air ludah dan kelenjar keringat
5. merangsang dalam dosis besar dan diikuti terjadinya depresi dari susunan saraf sentral
6. dilatasi dari rahi,
- Artopin Sulfas
- Belladonnae Exztractum
- Belladonnae Tinctura
- Homatropini Hydrobromidum
- Hyoscini Hydrobromidum
- Trihexiphenidylum
- Orphenadrini Hydrochloridum (Moh. Anief,1993)
Asetilkolin yang dilepaskan dai terminal saraf parasimpatis pascaganglion bekerja pada berbagai
organ efektor melalui aktivasi reseptor muskarinik. Efek asetilkolin biasanya eksitasi, namun
pengecualian penting terdapat pada jantung, yang menerima serabut kolinergik inhibisi dari
vagus. Obat yang menyerupai efek asetilkolin disebut kolimimetik dan dapat dibagi dua
kelompok yaitu :
- obat yang langsung bekerja pada reseptor (agonis nikotinik dan muskarinik)
- antikolinesterase, yang menghambat asetilkolinesterase sehingga secara tidak langsung
memungkinkan asetilkolin terakumulasi pada sinaps dan menghasilkan efeknya.
Atropin, hiosin (skolpolamin), atau antagonis lain digunakan :
1. pada anastesi untuk memblok vagus yang memperlambat jantung dan untuk menghambat
sekresi bronkus
2. untuk mengurangi spasme usus, sebagai contoh pada sindrom iritasi usus (irritable bowel
syndrome)
3. pada penyakit parkinson (misalnya benzatropin)
4. untuk mencegah motion sickness
5. untuk mendilatasi pupil pada pemeriksaan oftamologi (misalnya tropikamid) atau untuk
melumpuhkan otot siliaris
6. sebagai bronkilator pada asma (ipratropium)
Kolinomimetik. Stimulan ganglion. Stimulan ini mempunyai kerja yang sangat luas karena
menstimulasi reseptor nikotinik pada kedua neuron ganglion parasimpatis dan simpatis. Efek
simpatis meliputi vasokonstriksi, takikardia, dan hipertensi. Efek parasimpatis meliputi
peningkatan motilitas usus dan peningkatan sekresi kelenjar saliva dan bronkus. Stimulan ini
tidak mempunyai kegunaan klinis.
Agonis muskarinik. Agonis ini secara langsung mengaktivasi reseptor muskariik dan biasanya
menimbulkan efek eksitasi. Pengecualian penting terdapat pada jantung, dimana aktivasi reseptor
M2 yang dominan mempunyai efek inhibisi pada denyut dan kekuatan kontraksi (atrium).
Reseptor M2 secara negatif dipasangkan pada protein G (G1) ke adelinat siklase., yang
menjelaskan efek inotropik negatif asetilkolin. Subunit G1 secara langsung meningkatkan
konduktansi K+ pada jantung yang menyebabkan hiperpolarisasi dan brakikardia. Asetilkolin
menstimulus sekresi kelenjar dan menyebabkan kontraksi otot polos melalui aktivasi reseptor
M3, yang dipasangkan ke pembentukkan inositol -1, 4, 5, triposfat (InsP3) dan diasilgliserol.
(InsP3) meningkatkan Ca+ sitosol, sehingga memicu kontraksi otot atau sekresi kelenjar.
Suntikan asetilkolin intravena secara tidak langsung menyebabkan vasodilatasi melalui
pelepasan nitrat oksida (NO) dari sel endotel vaskular. Akan tetapi sebagian besar pembuluh
darah tidak mempunyai persarafan parasimpatis sehingga fungsi fisiologis reseptor muskarinik
vaskular tidak jelas.
Ester Kolin. Karbakol dan betanekol merupakan senyawa kuartener yang tidak dapa menembus
sawar darah-otak. Kerja karbakol dan betanekol jauh lebih panjang daripada kerja asetilkolin
karena tidak dihidrolisis oleh kolinesterase.
Pilokarpin memiliki atom N tersier, yang menyebabkan peningkatan kelarutan dalam lemak. Hal
ini memungkinkan obat menembus kornea ketika digunakan secara topikal dan memasuki otak
saat diberikan secara sistemik. (M. J. Neal, 2006)
Secara farmakodinamik dapat dibedakan 2 jenis antagonisme farmakodinamik, yakni:
1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada system fisiologik yang sama, tetapi pada
system reseptor yang berlainan. Misalnya efek histamine dan autakoid lainnya yang dilepaskan
tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.
2. Antagonisme pada reseptor terjadi melalui sistem reseptor yang sama. Artinya antagonis
mengikat reseptor di tempat ikatan agonis (receptor site atau active site) sehingga terjadi
antagonisme antara agonis dengan antagonisnya. Misalnya efek histamin yang dilepaskan pada
reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki resptor yang sama.
Antagonisme pada reseptor dapat diukur berdasarkan interaksi obat-reseptor. Agonis ialah obat
yang menduduki resptor menimbulkan efek farmakologi secara intrinsik, sedangkan antagonis
reseptor adalah obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi secara intrinsik tidak mampu
menimbulkan efek farmakologi. Jadi reseptor menghalangi ikatan antara reseptor dengan
agonisnya sehingga kerja agonis terhambat. Antagonis demikian disebut receptor blocker atau
blocker saja. Jadi blocker tidak menimbulkan efek langsung, tetapi efek tidak langsung akibat
hambatan efek agonisnya.
Pada antagonis kompetitif, antagonis berikatan dengan reseptor site secara reversibel sehingga
dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian efek penghambatan agonis dapat diatasi
dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal. Jadi diperlukan
kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti afinitas agonis
terhadap reseptornya menurun.
Kadang-kadang suatu antagonis mengikat reseptor bukan ditempat ikatan reseptor agonis
(agonist receptor site), tetapi menyebabkan perubahan konformasi reseptor sedemikian rupa
sehingga afinitas terhadap agonisnya menurun. Walaupun penurunan afinitas agonis ini dapat
diatasi dengan meningkatkan dosis agonis, keadaan ini tidak disebut antagonisme kompetitif
tetapi lebih tepat disebut kooperativitas negatif.
Pada antagonisme non-kompetitif, penghambatan efek agonis tidak dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang, tetapi
afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah.
Antagonisma non-kompetitif terjadi jika:
1. Antagonis mengikat reseptor secara irreversibel, di receptor site maupun di tempat lain,
sehingga menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Dengan demikian antagonis
mengurangi jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan agonisnya, sehingga efek
maksimal akan berkurang. Tetapi afinitas agonis terhadap reseptor yang bebas tidak berubah.
Contoh: fenoksibenzamin mengikat reseptor adrenergik di receptor site secara irreversibel.
2. Antagonis mengikat bukan pada molekulnya sendiri tetapi pada komponen lain dalam sistem
reseptor, yakni pada molekul lainyang meneruskan fungsi reseptor dalam sel target, misalnya
molekul enzim adenilat siklase atau molekul protein yang membentuk kanal ion. Ikatan
antagonis pada molekul-mpleku tersebut, secara reversibel maupun irreversibel, akan
mengurangi efek yang dapat ditimbulkan oleh kompleks agonis-reseptor (mengurangi Emax)
tanpa menggangu ikatan agonis dengan molekul reseptornya (afinitas agonis terhadap
reseptornya tidak berubah).
Agonis parsial adalah agonis yang lemah, artinya agonis yang mempunyai aktivitas intrinsik atau
efektivitas yang rendah sehingga menimbulkan efek maksimal yang lemah. Akan tetapi, obat ini
akan mengurangi efek maksimal yang ditimbulkan oleh agonis penuh. Oleh karena itu agonis
parsial disebut juga antagonis parsial. Contoh; nalorfin adalah agonis parsial atau antagonis
parsial, dengan morfin sebagai agonis penuh dan nalokson sebagai antagonis kompetitif yang
murni. Nalorfin dapat digunakan sebagai antagonis pada keracunan morfin, tetapi jika diberikan
sendiri nalorfin juga menimbulkan berbagai efek opiat dengan derajat yang lebih ringan.
Nalokson, yang tidak mempunyai efek agonis, akan mengantagonisasi dengan sempurna semua
efek opiat dari morfin.
(Arini Setiawan, F.D. Suyatna dan Sulistia Gan, 2007)
Beberapa upaya terus dikerjakan untuk mengembangkan agonis dan antagonis yang ditujukan
terhadap subtipe res spesifik. Sebagai contoh, Pirenzepin, obat antikolinergik trisiklik, secara
selektif menghambat resesptor muskarinik m1, seperti yang terdapat pada mukosa lambung,.
Dalam dosis terapi obat ini tidak menimbulkan banyak efek samping seperti halnya obat yang
tidak spesifik terhadap subtipe m1. Oleh karena itu Pirenzepin cocok untuk mengobati tukak
lambung dan duodenum.
1. Pilokarpin
Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolis dari asetilkolinesterase.
Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannnya senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin
menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftalmologi.
Kerja : Kegunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi
otot siliaris. Pada mata akan terjadi spasmo akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak
tertentu sehingga sulit untuk memfokus suatu objek.
Catatan : efek yang berlawanan dengan atropin, suatu penyekat muskarinik pada mata.
Pilokarpin adalah salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kalenjar keringat, air
mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.
2. Atropin
Atropin, Atropa belladonna, memiliki aktivitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat
ini terikat secara kompetitif sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor
muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi. Keja
obat ini secara umum berlangsung sekitar 4 jam kecuali bila diteteskan ke dalam mata maka
kerjanya akan berhari-hari. Kerja : Atropin menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata
sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi bereaksi terhadap cahaya dan
sikloplegia (ketidakmapuan memfokus untuk penglihatan dekat). Pada pasien dengan glaucoma ,
tekanan intaraokular akan meninggi dan membahayakan.
(M. J. Mycek, R. A. Harvey dan P. C. Champe, 1997)
Interaksi Obat Reseptor
Sebagian besar obat-obatan menunjukkan korelasi yang sangat tinggi struktur dan kekhususan
untuk menghasilkan efek farmakologis. Bukti eksperimental menunjukkan bahwa obat
berinteraksi dengan reseptor yang terlokalisasi di makromolekul seperti protein memiliki sifat
dan spesifik bentuk tiga dimensi. Minimum tiga titik lampiran obat untuk sebuah situs reseptor
diperlukan. Dalam kebanyakan kasus yang agak spesifik struktur kimia yang diperlukan untuk
situs reseptor dan struktur obat komplementer.
Sedikit perubahan dalam struktur molekul obat dapat berubah secara drastis kekhususan.
Beberapa kekuatan kimia dapat mengakibatkan pengikatan sementara obat dengan reseptor. Pada
dasarnya setiap obligasi dapat terlibat dengan obat-reseptor interaksi. Ikatan kovalen akan sangat
ketat dan praktis ireversibel. Karena menurut definisi obat-reseptor interaksi adalah reversibel,
pembentukan ikatan kovalen agak jarang kecuali dalam situasi yang agak beracun. Karena
banyak obat yang mengandung asam atau kelompok-kelompok fungsional amina yang terionisasi
pada pH fisiologis, ikatan ion terbentuk oleh daya tarik biaya berlawanan dalam situs reseptor.
Kutub-kutub interaksi seperti dalam ikatan hidrogen adalah perluasan daya tarik biaya
berlawanan. Obat-reseptor reaksi pada dasarnya adalah pertukaran ikatan hidrogen antara
molekul obat, air sekitarnya, dan situs reseptor.
Sisi Interaksi Obat resepror. Akhirnya ikatan hidrofobik terbentuk antara non-polar kelompok
hidrokarbon pada obat dan mereka yang berada di situs reseptor. Obligasi ini tidak begitu
spesifik tetapi interaksi yang terjadi untuk mengecualikan molekul air. Kekuatan yang
menjijikkan penurunan stabilitas obat-reseptor mencakup interaksi tolakan dari Steric seperti
biaya dan hambatan. Steric halangan mengacu pada 3-dimensi tertentu fitur di mana tolakan
elektron terjadi antara awan, tidak fleksibel ikatan kimia, atau kelompok alkil besar.
Sebuah neurotransmitter memiliki bentuk khusus untuk masuk ke sebuah situs reseptor dan
menyebabkan respons farmakologis seperti impuls saraf sedang dikirim. Neurotransmitter serupa
dengan substrat dalam interaksi enzim.
Setelah lampiran ke situs reseptor, obat dapat juga melakukan tanggapan atau mencegah respon
dari terjadi. Sebuah obat harus dekat "meniru" neurotransmitter. Agonis adalah obat yang
menghasilkan jenis stimulasi respon. The agonis adalah sangat dekat meniru dan "cocok" dengan
situs reseptor dan dengan demikian dapat memulai respon. Obat antagonis reseptor berinteraksi
dengan situs dan menghambat atau menekan respons normal untuk reseptor karena hanya sesuai
dengan reseptor sebagian situs dan tidak dapat menghasilkan efek. Namun, hal ini mencegah
memblokir situs lain agonis atau neurotransmiter normal dari reseptor berinteraksi dengan situs.
(http://www.elmhurst.edu/~chm/vchembook/660drugreceptor.html)
Reseptor Sel
Pada permukaan mereka, sebagian besar sel memiliki banyak jenis reseptor yang berbeda.
Reseptor adalah molekul dengan spesifik struktur tiga dimensi, yang hanya memungkinkan zat-
zat yang sesuai untuk melampirkan tepat untuk itu-sebagai kunci dalam kunci cocok.
Mengaktifkan reseptor alam (yang berasal dalam tubuh) zat-zat di luar sel, seperti
neurotransmiter dan hormon, untuk mempengaruhi aktivitas sel. Pengaruh yang mungkin untuk
merangsang atau menghambat suatu proses di dalam sel. Obat-obatan cenderung meniru bahan-
bahan alami ini dan dengan demikian menggunakan reseptor dengan cara yang sama. Sebagai
contoh, morfin.
Beberapa Nama dagangnya : MS CONTINORAMORPH
dan berhubungan dengan obat penghilang rasa sakit atau mempengaruhi tindakan pada reseptor
yang sama di otak yang digunakan oleh endorfin, zat yang diproduksi oleh tubuh untuk
membantu mengontrol rasa sakit. Beberapa obat melampirkan hanya satu jenis reseptor. Obat
lain, seperti kunci master, dapat melampirkan dengan beberapa jenis reseptor di seluruh tubuh.
Sebuah selektivitas obat sering dapat dijelaskan dengan cara selektif itu menempel pada reseptor.
Agonis dan antagonis: Obat yang menargetkan reseptor diklasifikasikan sebagai agonis atau
antagonis. Obat agonis mengaktifkan, atau merangsang, reseptor mereka, memicu respons yang
meningkatkan atau menurunkan aktivitas sel. Obat antagonis memblokir akses atau lampiran dari
agonis alami tubuh, biasanya neurotransmiter, reseptor mereka dan dengan demikian mencegah
atau mengurangi respon sel agonis alam. Antagonis agonis dan obat-obatan dapat digunakan
bersama-sama pada pasien dengan asma. Sebagai contoh, albuterol Beberapa Nama
Perdagangan
PROVENTIL-HFAVENTOLIN HFA dapat digunakan dengan ipratropium Beberapa Nama
Perdagangan Atrovent . Albuterol Beberapa Nama Perdagangan
PROVENTIL-HFAVENTOLIN HFA, Suatu agonis, melekat pada khusus (adrenergik) reseptor
pada sel-sel di saluran pernapasan, menyebabkan relaksasi sel otot polos dan dengan demikian
pelebaran saluran udara (bronchodilation). Perdagangan Ipratropium Beberapa Nama Atrovent ,
Sebuah antagonis, melekat pada lain (cholinergic) reseptor, menghalangi lampiran asetilkolin,
sebuah neurotransmiter yang menyebabkan kontraksi sel otot polos dan dengan demikian
penyempitan saluran udara (bronkokonstriksi).
Kedua obat melebarkan saluran udara (dan membuat pernapasan lebih mudah) tapi dengan cara
yang berbeda. Beta-blocker, seperti propranolol Beberapa Nama Perdagangan Inderal , Adalah
kelompok digunakan secara luas antagonis. Obat ini digunakan untuk mengobati tekanan darah
tinggi, angina (nyeri dada yang disebabkan oleh suplai darah yang tidak memadai ke otot
jantung), dan beberapa irama jantung abnormal dan mencegah migrain. Mereka memblokir atau
mengurangi stimulasi hati oleh agonis hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin
(noradrenalin), yang dilepaskan pada saat stres.
Antagonis seperti beta-blocker yang paling efektif bila konsentrasi agonis yang tinggi di bagian
tertentu dari tubuh. Mirip dengan cara berhenti lebih kendaraan hambatan selama jam sibuk 5:00
daripada at 3:00 pm, beta-blocker, yang diberikan dalam dosis yang memiliki sedikit efek pada
fungsi jantung normal, mungkin memiliki efek lebih besar pada lonjakan tiba-tiba hormon
dilepaskan selama stres dan dengan demikian melindungi jantung dari kelebihan stimulasi.
(http://www.merck.com/mmhe/sec02/ch012/ch012b.html)
Pada konsentrasi agonis tetap, peningkatan konsentrasi antagonis kompetitif secara progresif,
akan mengurangi respons agonis. Konsentrasi antagonis yang tinggi akan mencegah respons
secara keseluruhan. Sebaliknya, konsentrasi agonis yang cukup tinggi dapat mengatasi secara
keseluruhan efek ; Emaks untuk agonis tetap sama untuk setiap konsentrasi antagonis yang tetap.
Karena antagonisme bersifat kompetitif maka keberadaan antagonis akan meningkatkan
konsentrasi agonis yang diperlukan untuk derajat respon tertentu. Konsentrasi agonis yang
diperlukan untuk menimbulkan efek terentu pada keberadaan konsentrasi tetap, antagonis
kompetitif adalah lebih besar daripada konsentrasi agonis yang diperlukan utnuk menimbulkan
efek yang sama pada keadaan tidak adanya antagonis.
Beberapa antagonis reseptor tertentu yang terikat pada reseptor secara irreversibel, atau hampir
irreversibel, ialah tidak kompetitif. Afinitas antagonis untuk reseptor mungkin begitu tinggi
sehingga untuk pertimbangan praktis kemungkinan tidak ada reseptor yang mengikat agonis.
Antagonis lain di dalam kelompoik ini menimbulkan efek reversibel karena setelah berikatan
dengan reseptor, antagonis tersebut membentuk ikatan kovalen dengannya. Setelah okupasi
sejumlah reseptor oleh antagonis yang demikian, jumlah sisa reseptor yang tidak diduduki
mungkin tertalu rendah untuk agonis (meskipun pada konsentrasi yang tinggi) untuk
menghasillkan respons yang sebanding dengan respons maksimal selanjutnya. Namun, bila ada
reseptor cadangan, dosis antagonis yang irreversibel mungkin membiarkan reseptor-reseptor
yang tidak ditempati dalam jumlah yang cukup untuk memperoleh hasil respon maksimum untuk
agonis meskipun konsentrasi agonis yang lebih tinggi akan diperlukan.
Secara terapeutik, antagonis yang irreversibel memberikan keuntungan dan kerugian tersendiri.
Sekali saja antagonis yang irreversibel menempati reseptor, maka antagonis tersebut tidak perlu
ada dalam bentuk terikat untk mengurangi respons agonis. Akibatnya, lama kerja antagonisme
yang irreversibel secara relatif tak tergantung pada kecepatan eliminasinya sendiri dan akan lebih
bergantung pada kecepatan pergantian molekul-molekul reseptor. Phenoksybenzamine,
antagonis adrenoseptor- yang irreversibel, digunakan untuk mengontrol hipertensi yang
disebabkan oleh release cathecholamine dari pheochromocytoma, suatu tumor medula adrenalis.
Kalau pemberian Phenoksybenzamine menurunkan tekanan darah, penyekatan akan
dipertahankan bahkan ketika tumor tersebut merilis sejumlah besar cathecholamine secara
episodik. Dalam hal ini, keuntungan terapeutik adalah kemampuan untuk mencegah respon
berbagai macam konsentrasi agonis dan konsentrasi agonis yang tinggi. Namun kalau terjadi
overdosis, maka masalah yang sesungguhnya akan muncul. Bila blokade adrenoseptor- tidak
dapat diatasi, efek kelebihan obat harus diantagonis secara fisiologik, misalnya dengan
menggunakan peningkat tekanan darah (pressor agent) yang bertindak tanpa menggunakan
reseptor . (B.G. Katzung, 2001)
Losartan merupakan anatagonis angiotensin II pertama yang diperkenalkan pada tahun 1995.
Dibandingkan dengan obat asalnya, metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh lebih lama dan
efek antihipertensinya lebih baik pada pengukuran konsentrasi plasma. Pada penelitian losartan
menunjukkan ditoleransi dengan baik dan sama efektifnya dengan enalapril dan nifedipin untuk
menurunkan tekanan darah. Penurunan tekanan darah rata-rata tercapai pada dosis 50 hingga 150
mg satu kali sehari adalah 5.5 hingga 10.5mm Hg untuk sistoloik dan 3.5 hingga 7.5 mm Hg
pada diastolik. Kombinasi dari losartan dan hidroklortiazid juga tersedia, kombinasi obat ini
mengandung 12.5 mg hidroklrtiazid dan 50 mg losartan. (www.indoforum.com)
Koliergika khusus digunakan pada penyakit mata glaukoma, myasthenia gravis, demensia,
Alzheiner dan atonia.
Glaukoma. Staar hijau (Glaukoma) adalah penyakit mata yang bercirikan peningkatan tekanan
cairan mata pada intraokuler (TIO) di atas 21 mmHg, yang bisa menjepit saraf mata. Saraf ini
berangsur-angsur dirusak secara progresif, sehingga penglihatan memburuk dan akhirnya dapat
menimbulkan kebutaan. Akan tetapi hanya persentase kecil pasien dengan TIO meningkat
dihinggapi glaukoma. Nilai tekanan intraokuler normal adalan antara 10-21 mmHg.
Penyebabnya. Cairan mata terbentuk di mukosa tipis di belakang pupil, di corpus ciliare dan via
liang pupil mengalir ke ruang mata depan. Pengeluarannya melalui ruang mata sempit antara
pupil dan kornea (segi bilik) ke saluran keluar. Bila cairan ini tidak dapat mengalir keluar dari
ruang mata depan karena misalnya penyumbatan, maka TIO akan meningkat. Jenis glaukoma
yang paling sering terdapat adalah glaukoma segi-bilik terbuka (glaucoma simplex).
Pengobatan dapat dilakukan dengan terutama dua jenis obat tergantung pada penyebabnya
gangguan, yakni dengan koliergika atau -blokers. Pada glaukoma terbuka, beta-blokers
merupakan pilihan pertama. Bila obat-obat ini terkontraindikasi atau kurang efektif, baru
digunakan kolinergika atau adrenergika.
a. Beta-blokers;timolol (Nyolol 0,5%), Betaksosol (Betoptima 0,5%) dan befunolol (Glacones
0,5%). Efektif bila kenaikan tekanan intraokuler desebabkan oleh meningkatnya produksi cairan
mata. Mekanisme kerjanya yang eksak belum jelas.
b. Kolinergika; pilokarpin, karbachol, dan neostigmin. Digunakan bila segi bilik menyempit,
yang sering terjadi pada manula. Akibatnya pengeluaran cairan mata dari bilik-sepan terhambat,
sedangkan volumenya dan tekanan intraokuler setempat meningkat. Obat-obat ini berkontraksi
dan menyempitkan manik mata (miosis), yang menyebabkan segi bilik merenggan dan
penyaluran cairan mata meningkat.
c. Adrenergik; dipivefrin, apraklonidin dan brimonidin. Dipivefrin melalui stimulasi beta
reseptor meskipun meningkatan produksi cairan bilik, tetapi serentak juga penyalurannya
distimulir hingga efek nettonya adalah netral. Stimulasi reseptor alpha menghambat poduksi
cairan. Kedua obat terakhir mengurangi produksi cairan mata, brimonidin juga melancarkan
penyalurannya. Kedua obat ini hanya digunakan untuk pengobatan jangka pendek sebelumnya
atau sesuai penanganan dengan laser.
d. Obat-obat lainnya, adalah latanoprost, dorzolamida dan brinzolamida. Obat pertama
mempercepat pengeluaran cairan, sedangkan kedua zat terakhir adalah penghambat-
karboanhidrase yang mengurangi produksinya.
(Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja,2007)
V. METODE PERCOBAAN
5.1 Alat dan Bahan
5.1.1 Alat
- Botol tetes
- Stopwatch
- Flash light (senter)
- Jangka sorong
- Lup (kaca pembesar)

5.1.2 Bahan
- Kelinci
- Pilokarpin 1%
- Atropin 1%

5.2 Prosedur Percobaan


diukur diameter mata normal kelinci kanan dan kiri serta refleksnya terhadap cahaya sebanyak 3
kali dengan selang waktu 5 menit.
diberi tetes mata pilokarpin 1% sebanyak dua tetes pada mata kanan dan kiri.
diukur diameter pupil kedua mata kelinci serta refleks terhadap cahaya selama 30 menit selang
waktu 5 menit.
diberi tetes mata atropin 1% sebanyak 2 tetes pada kedua mata.
diukur diameter pupil kedua mata kelinci serta refleks terhadap cahaya selama 30 menit selang
waktu 5 menit.
dibuat grafik diameter pupil vs waktu.

VI. PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN


5.1. Perhitungan Dosis
-

5.2. Data Percobaan

5.3. Grafik Percobaan


Terlampir

5.4. Pembahasan
Dalam percobaan diperoleh hasil bahwa dengan pemberian obat pilokarpin 1% (kolinergik atau
disebut juga parasimpatomimetika) maka pupil mata kelinci mengalami pengecilan (miosis) dan
pada pemberian atropin 1% (antikolinergik atau disebut juga parasimpatikolitik) maka pupil
mata kelinci membesar (midriasis).
Menurut Moh. Anief (1993), obat-obat parasimpatomimetika adalah obat yang digunakan untuk
merangsang organ-organ yang dilayani saraf parasipatik. Juga disebut Cholinergik. Efek yang
penting terhadap kelenjar, otot polos dan jantung ialah : menaikkan sekresi kelenjar-kelenjar
bronchus, keringat, air mata, dan ludah, menimbulkan miosis, daya akomodasi berkurang,
kontraksi otot bronchus, pelebaran dari kebanyakar pembuluh umum, bradycardia, kontraksi otot
kerangka, stimulasi lalu depresi dari susunan saraf sentral, serta menaikkan tonus dan motilitas
dari saluran usus lambung
Obat-obat yang tergolong parasimpatikolitik adalah obat yang digunakan untuk melawan efek
dari perangsangan saraf parasimpatik, dan merupakan antagonis dari obat-obat
parasimpatomimetik. Juga disebut anticholinergik. Efek yang penting ialah : penurunan tonus
dan mobilitas saluran usus lambung, midriasis, ketegangan dari otot bronchus, pengurangan
sekresi dari kelenjar bronchus, air ludah dan kelenjar keringat, merangsang dalam dosis besar
dan diikuti terjadinya depresi dari susunan saraf sentral, dan dilatasi dari rahim.
Pada percobaan antagonis obat ini, obat mata yang diteteskan pertama-tama adalah pilokarpin
selanjutnya atropin. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengamatan efek farmakologi obat.
Efek pilokarpin mengecilkan pupil mata dan ini berlangsung tidak lama, sedangkan efek atropin
dalam membesarkan pupil mata berlangsung lama. Sehingga untuk digunakan pertama
pilokarpin karena nantinya tidak akan menggangu pengamatan terhadap efek atropin. Dan
sebaliknya jika atropin diberikan pertama, maka ikatan atropin yang kuat dengan reseptornya ini
akan susah dilepas pada saat diberikan pilokarpin. Dan ini akan menggangu pengamatan
terhadap efek pilokarpin.
M. J. Mycek dkk (1997) mengatakan bahwa atropin, Atropa belladonna, memiliki aktivitas kuat
terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat secara kompetitif sehingga mencegah
asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik
baik di sentral maupun di saraf tepi. Keja obat ini secara umum berlangsung sekitar 4 jam
kecuali bila diteteskan ke dalam mata maka kerjanya akan berhari-hari. Kerja : Atropin menyekat
semua aktivitas kolinergik pada mata sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata
menjadi bereaksi terhadap cahaya dan sikloplegia (ketidakmapuan memfokus untuk penglihatan
dekat). Pada pasien dengan glaucoma , tekanan intaraokular akan meninggi dan membahayakan.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Pemberian pilokarpin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek miosis (mengecilnya
diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur dengan alat bantu jangka
sorong.
Pemberian antropin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek midriasis (membesarnya
diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur dengan alat bantu jangka
sorong.
Obat-obat yang tergolong dalam obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan :
a. Asetilkolin ; asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol.
b. Asetilkolinesterase ; fisostigmin, prostigmin, diisopropil-flourofosfat (DFP), insektisida
golongan organofosfat.
c. Alkaloid tumbuhan ; muskarin, pilokarpin, asekolin.

7.2. Saran
Sebaiknya pengamatan dan pengukuran diameter mata kelinci dilakukan oleh praktikan yang
sama (satu praktikan) untuk menghindari perbedaan variasi pengamatan.
Sebaiknya pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi, dengan
mengusahakan jarak pengukuran yang hampir sama untuk setiap pengukuran sehingga respon
farmakologinya lebih mudah diamati.

DAFTAR PUSTAKA

Angela Moroney. (2007). Antagonist Drug.


http://www.merck.com/mmhe/sec02/ch012/ch012b.html
Anief, Moh. (1993). Penggolongan Obat berdasarkan Khasiat dan Penggunaan. Cetakan IV.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal. 89-90.
Anonim. (2003). Antagonis Angiotensin.
www.indoforum.com
Charles, E. Ophart . (2003). Drug Receptor Interactions.
http://www.elmhurst.edu/~chm/vchembook/660drugreceptor.html
Katzung, B. (2001). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika. Hal. 27-29.
Mycek, M.J., R. A. Harvey dan P. C. Champe. (1997). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi
Kedua. Jakarta : Widya Medika. Hal. 38, 41, dan 45-46.
Neal, Michael J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit
Erlangga. Hal. 24-25.
Setiawati, A., F.D. Suyatna dan Sulistia Gan. (2007). Pengantar Farmakologi. Farmakologi dan
Terapi. Editor: Gunawan, S.G. Edisi ke-5. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal. 20-22.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam, Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Hal. 506-507.

Anda mungkin juga menyukai