Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sensitisasi stres
Pengolahan informasi di amigdala dipengaruhi tidak hanya oleh susunan
genetika namun juga oleh lingkungan. Interaksi antara genotipe yang rentan dan
kejadian kehidupan yang menimbulkan tekanan disebut hipotesis diatesis stres
gangguan psikiatri. Hipotesis diatesis stres diperkenalkan dalam Bab 6 dan
diilustrasikan dalam Gambar 6-9. Salah satu contoh hipotesis ini adalah interaksi
genotipe SERT dengan stresor lingkungan, sebagaimana yang dibahas dan
diilustrasikan dalam Gambar 14-29.
Hipotesis utama lainnya untuk penyebab gangguan psikiatri, terutama
gangguan cemas dan episode depresi mayor setelah stresor dewasa multipel,
adalah hipotesis sensitisasi stres. Gagasan ini adalah bahwa sirkuit yang rentan
mungkin terbentuk tidak hanya oleh gen namun juga oleh stresor lingkungan yang
spesifik berupa kekerasan terhadap anak. Stresor masa kanak, bahkan bagi mereka
yang terlahir dengan sirkuit otak yang normal, dapat bertindak untuk
meningkatkan risiko untuk mengalami gangguan cemas atau depresi ketika
individu ini terpapar pada beberapa stresor di kehidupan dewasa, begitu pula
dengan kerentanan gen yang dapat meningkatkan risiko untuk gangguan cemas
atau episode depresi mayor.

1
Gambar 14-32. Supresi produksi faktor neurotropik yang berasal dari otak
(BDNF). BDNF memainkan suatu peran dalam pertumbuhan dan pemeliharaan
neuron yang sesuai dan hubungan neuronal (kanan). Jika gen untuk BDNF
mengalami pemadaman akibat stres kronis (kiri), akibatnya berupa penurunan
BDNF dapat melemahkan kemampuan otak untuk menciptakan dan
mempertahankan neuron dan hubungannya. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya
sinaps dan bahkan keseluruhan neuron oleh apoptosis.

2
Stres tidak selalu merupakan hal yang buruk
Adaptasi sirkuit otak terhadap stres dan terjadinya sensitisasi stres dibahas
dalam Bab 8 dan diilustrasikan dalam Gambar 8-1 hingga 8-11. Ketika stres tidak
berlebihan, kronis, atau terjadi sebagai beberapa stresor secara bersamaan, maka
ia akan mengaktifkan sirkuit sebagaimana ia mengolah stres.

Gambar 14-33. Pensignalan serotonin (5HT) dan pelepasan faktor


neurotropik yang berasal dari otak (BDNF). Serotonin dapat meningkatkan
ketersediaan BDNF dengan memulai kaskade transduksi signal yang
menyebabkan pelepasannya. Oleh karena itu, otak memiliki mekanisme
kompensasi yang dapat membalikkan atau mencegah kerusakan neuron yang
terjadi akibat supresi gen-gen BDNF. Aktivitas ini dapat lebih lanjut ditingkatkan
oleh agen-agen terapeutik yang meningkatkan serotonin (yaitu penghambat
reuptake serotonin selektif).

Namun kemudian ketika stresor trauma emosional dihentikan, sirkuit


kembali ke nilai aktivasi yang normal (Gambar 8-11). Faktanya, semua stres di
masa kanak tidaklah merupakan hal buruk (Gambar 14-34). Pada hewan
eksperimental, telah terbukti bahwa paparan terhadap stres ringan pada masa bayi
bahkan dapat mengubahh pada hewan untuk lebih kurang reaktif terhadap stres
dibandingkan dengan hewan yang tidak terpapar stres pada masa bayi (Gambar

3
14-34). Oleh karena itu, stres ringan sebenarnya dapat mendesensitisasi sirkuit ke
stres selanjutnya dan menghasilkan suatu ketahanan yang berbasis pengalaman.

Kekerasan pada anak


Disisi lain, stres kehidupan yang berlimpah seperti kekerasan fisik,
kekerasan emosional atau penyalahgunaan seksual dapat secara tegas
menyebabkan suatu kondisi yang disebut sebagai sensitisasi stres (Gambar 14-34).
Terjadinya sensitisasi stres diilustrasikan dalam Gambar 8-2, yang menunjukkan
bahwa jenis stresor tertentu yang dialami dan berulang dari trauma emosional
tidak hanya menyebabkan aktivasi sirkuit otak sementara stresor sedang dialami
namun juga menyebabkan sirkuit teraktivasi secara ireversibel bahkan ketika
stresor telah dihentikan. Pada banyak kasus, aktivasi awal sirkuit otak ini secara
klinis tersembunyi namun merupakan suatu penurunan kemampuan untuk
mengolah stresor di masa yang akan datang (Gambar 8-2).
Kekerasan anak tampak dapat mensensitisasi sirkuit untuk stresor saat
dewasa di masa yang akan datang meskipun anak ini tidak memperlihatkan
adanya tanda-tanda distres atau penyakit mental pada saat paparan di awal
kehidupan terhadap stresor yang bersifat kejam. Namun, pada paparan ulangan
terhadap individu yang telah tersensitisasi stres pada beberapa stresor di kemudian
hari di masa dewasa, sirkuit ini saat itu mengalami dekompensasi dan pasien
mengalami gangguan cemas atau episode depresi mayor (Gambar 8-3 dan 14-34).

4
Gambar 14-34. Paparan dini terhadap stres. Adalah hal yang memungkinkan
bahwa stres yang dialami oleh seseorang pada waktu awal kehidupan
mempengaruhi bagaimana sirkuit berkembang dan oleh karena itu bagaimana
individu tertentu menunjukkan respon terhadap stres di kehidupan di masa depan.
Tidak ada stres pada masa bayi yang dapat menyebabkan sirkuit yang
memperlihatkan aktivasi yang normal selama stres dan menyebabkan tidak
adanya peningkatan risiko untuk mengalami gangguan psikiatri. Menariknya, stres
ringan selama masa bayi sebenarnya dapat menyebabkan sirkuit ini
memperlihatkan penurunan reaktivitas terhadap stres di kehidupan selanjutnya
dan memberikan sedikit ketahanan terhadap stresor di masa dewasa. Namun, stres
yang berlebihan dan /atau kronis akibat kekerasan pada anak dapat menyebabkan
suatu sirkuit yang tersensitisasi stres yang dapat menjadi aktif bahkan dalam
keadaan tidak adanya stressor. Individu dengan sensitisasi stres mungkin tidak

5
memperlihatkan suatu gejala fenotipe namun dapat berisiko tinggi untuk
mengalami penyakit mental jika terpapar dengan stresor di masa yang akan
datang.

Stres dan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA)


Sirkuit yang terlibat dalam sensitisasi stres tidak hanya terdiri atas amigdala
(Gambar 14-34) namun juga aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) (Gambar
14-35). Sensitisasi kedua sirkuit dapat berkontribusi terhadap terjadinya gangguan
cemas atau episode depresi mayor sebagai respon terhadap stres. Respon stres
yang normal pada aksis HPA adalah untuk meningkatkan pelepasan faktor pelepas
kortikotropin (CRF), hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan glukokortikoid
hingga bahaya telah hilang, biasanya setelah waktu yang singkat (Gambar 14-35).

Gambar 14-35. Stres dan aksis hipotalamus- hipofisis adrenal (HPA).


Respon stres yang normal (kiri) melibatkan aktivasi hipotalamus dan sebagai
akibatnya peningkatan faktor pelepas kortikotropin (CRF), yang kemudian
memicu pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari hipofisis. ACTH
menyebabkan pelepasan glukokortikoid dari kelenjar adrenal, yang memberikan

6
umpan balik pada hipotalamus dan menghambat pelepasan CRF, menghentikan
respon stres. Dalam keadaan stres kronis, pelepasan glukokortikoid yang
berlebihan pada akhirnya dapat menyebabkan atropi hipokampus. Karena
hipokampus menghambat aksis HPA, atropi pada wilayah ini dapat menyebabkan
aktivasi aksis HPA secara kronis, yang dapat meningkatkan risiko mengalami
penyakit psikiatri.
Namun, respon stres yang abnormal dapat terjadi akibat stres kronis dan
yang tidak mengalami remisi, terutama sirkuit yang rentan dan telah mengalami
sentisisasi stres akibat kekerasan anak (Gambar 14-35). Disini, CRF, ACTH, dan
glukokortikoid semuanya dilepaskan, namun bukannya berkurang dengan cepat,
semuanya masih tetap meningkat. Pada akhirnya, glukokortikoid dapat
memperlihatkan efek yang toksik pada hipokampus akibat perubahan dalam
ekspresi gen disana. Aktivitas glukokortikoid pada nukleus reseptor
glukokortikoid dan ekspresi gen neuron dibahas dalam Bab 5 dan diilustrasikan
dalam gambar 5-50. Glukokortikoid yang meningkat secara persisten mungkin
tidak hanya merusak hippokampus dan menyebabkannya menjadi atropi namun
juga mencegahnya untuk menghambat aksis HPA, sehingga menyebabkan
disinhibisi aksis HPA dan peningkatan kronis semua hormon stres HPA (Gambar
14-35). Dari waktu ke waktu, hal ini tidak hanya dapat menyebabkan atropi
hipokampus (lihat Gambar 14-30) namun juga memunculkan onset gangguan
cemas atau episode depresi mayor (Gambar 14-35).

7
Gambar 14-36. Potensi penatalaksanaan terbaru untuk gangguan afektif
yang dipicu stres. Karena aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) merupakan
pusat pengolahan stres, ini dapat menjadi target terbaru untuk mengobati
gangguan yang diinduksi stres yang bearda didalam aksis. Mekanisme yang
sedang diteliti mencakup antagonisme terhadap reseptor glukokortikoid, reseptor
faktor pelepas kortikotropin 1 (CRF-1), dan reseptor vasopresin 1B.

Penatalaksanaan yang terbaru untuk stres dan perburukannya menjadi


gangguan cemas atau depresi mayor
Karena pengaruh aksis HPA yang sangat besar terhadap gangguan cemas
dan pada pengolahan reaksi stres, suatu upaya yang besar telah dilakukan untuk
mengidentifikasi intervensi terapeutik yang dapat mengganggu dan menghentikan
lingkaran setan ini dan tidak hanya memperbaiki gejala gangguan cemas namun
juga konsekuensi fisiologis stres (Gambar 14-36). Kerja antagonis glukokortikoid
dibahas dalam Bab 5 dan diilustrasikan dalam Gambar 5-50. Konsep ini juga
disajikan dalam Gambar 14-36, gagasan bahwa antagonisme aktivitas
glukokortikoid dapat mencegah atropi hipokampus dan kerusakan terhadap
regulasi umpan balik negatif aksis HPA yang dihipotesiskan disebabkan oleh
peningkatan kadar glukokortikoid.
Respon stres yang abnormal dalam Gambar 14-35 juga melibatkan
peningkatan CRF, dan aktivitas CRF yang persisten pada reseptor CRF1 HPA
menyebabkan peningkatan glukokortikoid. Hal ini telah menimbulkan gagasan
bahwa penghambatan aktivitas CRF pada reseptor CRF1 mungkin membantu
dalam menumpulkan respon stres yang abnormal (Gambar 14-36). Reseptor CRF1
juga didistribusikan diluar aksis HPA pada area otak lainnya, dan hingga suatu
keadaan dimana kerja CRF yang berlebihan pada reseptor ini menyebabkan
terjadinya gangguan cemas atau episode depresi mayor, penghambatan aktivitas
CRF pada tempat ini juga dapat membantu untuk mengobati atau mencegah
cemas atau depresi. Oleh karena itu sejumlah antagonis CRF1 sedang diujikan
secara klinis dalam berbagai gangguan cemas, gangguan depresi mayor, dan
kondisi yang terkait stres lainnya.

8
Gagasan terbaru yang saat ini menunjukkan harapan pada hewan
eskperimental adalah untuk menghambat salah satu reseptor untuk vasopressin,
yang dikenal sebagai reseptor V1b. Aktivitas vasopressin pada reseptor V1b pada
aksis HPA terlibat dalam pelepasan ACTH selama reaksi stres namun tidak selalu
selama regulasi fisiologis yang normal. Secara teori, dengan menghambat
kemampuan vasopressin untuk melepaskan ACTH dan glukokortikoid selama
stres, ini mungkin dapat mencegah komplikasi dalam aksis HPA, termasuk onset
perburukan kondisi terkait stres seperti gangguan cemas dan depresi mayor.
Reseptor V1 b di area otak diluar aksis HPA juga dapat terlibat pada reaksi stres
yang patologis, dan menghambat reseptor ini juga dapat memperlihatkan aktivitas
terapeutik untuk mencegah atau mengobati cemas dan depresi. Pengujian manusia
untuk antagonis B1 b saat ini dipersiapkan di masa yang akan datang.

2.2 Ligan alfa 2 delta sebagai ansiolitik


Kanal kalsium yang sensitif terhadap voltase (VSCC) dan terutama subtipe
VSCC N dan P/Q presinaps dan perannya dalam pelepasan neurotransmiter
eksitatorik dibahas dalam Bab 5 (Gambar 5-33 hingga 5-37, 5-41, 5-42, dan 5-45).
Dua antikonvulsan yang telah terbukti dengan mekanisme kerja yang terbaru
adalah gabapentin dan pregabalin, yang dikenal juga sebagai ligan alfa 2 delta,
karena ia berikatan dengan subunit delta alfa 2 VSCC N dan P/Q presinaps.
Aktivitas ikatan ini menghambat pelepasan neurotransmiter eksitatorik sepeti
glutamat ketika neurotransmisi berjumlah berlebihan (Gambar 5-37). Pada
beberapa area otak, keadaan ini menimbulkan aktivitas antikonvulsan, namun
kemungkinan di amigdala dan area korteks dari lengkung CSTC, ligan alfa 2 delta
yang sama ini dapat dihipotesiskan berikatan pada sirkuit ansietas yang terlalu
aktif, mengurangi aktivitasnya, dan memperbaiki gejala cemas. Ligan alfa 2 delta
yaitu pregabalin dan gabapentin tampak tidak memiliki aktivitas ansiolotik,
terutama pada gangguan cemas sosial dan gangguan panik, dan telah terbukti
untuk penatalaksanaan epilepsi dan kondisi nyeri tertentu, termasuk nyeri
neuropatik dan fibromialgia. Aktivitas ligan alfa 2 delta dalam kondisi nyeri
dibahas dalam Bab 15, pada bagian nyeri.

9
Aspek yang menarik dari ligan alfa 2 delta adalah bahwa ia tampak
memiliki afinitas yang jauh lebih besar terhadap tempat ikatannya ketika kanalnya
sedang digunakan dan oleh karena itu paling efektif dalam keadaan saat neuron
memiliki aktivitas yang berlebihan, sepeti yang dihipotesiskan oleh gangguan
cemas di amigdala ketika pasien sedang mengalami rasa cemas dan takut.
Penelitian yang sedang berlangsung akan mempetegas efektivitas relatif dan
manfaat klinis agen-agen ini. Namun, karena agen ini jelas memiliki mekanisme
kerja yang berbeda dibandingkan dengan penghambat reuptake serotonin atau
benzodiazepin, ligan alfa 2 delta dapat berguna bagi pasien-pasien yang tidak
menunjukkan hasil yang baik dengan penggunaan SSRI/ SNRI atau
benzodiazepin. Dan juga, adalah suatu hal yang sangat bermnfaat untuk
menggabungkan ligan alfa 2 delta dengan SSRI/SNRI atau benzodiazepin pada
pasien-pasien yang merupakan responder parsial dan tidak mengalami keadaan
remisi. Gagasan yang disederhanakan mengenai bagaimana ligan alfa 2 delta
dapat memperbaiki gejala-gejala rasa cemas dan takut dengan menargetkan
pelepasan glutamat yang berlebihan di amigdala diilustrasikan dalam Gambar 14-
37.

2.3 Hiperaktivitas noradrenegik dalam kecemasan


Norepinefrin merupakan neurotransmiter lainnya dengan input regulator
yang penting ke amigdala (Gambar 14-38) serta ke banyak area proyeksi amigdala
(Gambar 14-9). Output noradrenergik yang berlebihan dari locus coeruleus tidak
hanya dapat menimbulkan sejumlah manifestasi perifer dari tambahan otonom,
sebagaimana yang dibahas diatas dan diilustrasikan dalam Gambar 14-12 hingga
14-14, namun juga dapat memicu sejumlah gejala-gejala sentral kecemasan dan
rasa takut, seperti mimpi buruk, keadaan hiperarousal atau gairah yang
berlebihan, flashback, dan serangan panik (Gambar 14-38). Dihipotesiskan bahwa
gejala-gejala ini dimediasi sebagian oleh input noradrenergik yang berlebihan ke
reseptor adrenergik alfa 1 dan beta 1 di amigdala (Gambar 14-38), karena pada
sebagian pasien gejala-gejala ini dapat dikurangi oleh penatalaksanaan apakah itu
dengan penghambat adrenegik beta (Gambar 14-39A) ataupun penghamabat

10
adrenergik alfa 1 seperti prazosin (Gambar 14-38B). Meskipun antidepresan
dengan aktivitas noradrenegik yang menonjol, agen yang dengan sifat
penghambatan reuptake noradrenegik (yaitu, inhibitor transporter norepinefrin,
atau NET) secara umum tidak dianjurkan untuk penatalaksanaan gangguan cemas
dibandingkan dengan agen yang dengan sifat penghambatan reuptake serotonin
(misalnya, penghambatan transporter serotonin, atau SERT), sebagian pasien
menunjukkan respon terhadap penghambat NET, terutama sebagian akibat
kemampuan untuk melakukan desensitisasi beta dan reseptor norepinefrin alfa 1
dari waktu ke waktu.

Gambar 14-37

2.4 Pemeliharaan rasa takut berbanding penghilangan rasa takut


Pemeliharaan rasa takut merupakan suatu konsep yang sama tuanya
dengan teori anjing Pavlov. Jika stimulus yang tidak disukai seperti kejutan pada
kaki digabungkan dengan stimulus netral seperti suara bel, hewan belajar untuk

11
menghubungkan keduanya dan akan membentuk rasa takut ketika ia mendengar
bel. Pada manusia, rasa takut dipelajari selama pengalaman yang penuh tekanan
yang berkaitan dengan trauma emosional dan dipengaruhi oleh predisposisi
genetika (diatesis stres). Seringkali, situasi yang menakutkan berhasil dikelola dan
kemudian dilupakan. Karena ketakutan akan situasi yang benar-benar berbahaya
sangat penting untuk kelangsungan hidup, mekanisme rasa takut yang dipelajari,
yang disebut pemeliharaan rasa takut, telah paling baik dipertahankan pada
seluruh spesies, termasuk manusia.

Gambar 14-38. Hiperaktivitas noradrenergik dalam rasa cemas. Norepinefrin


tidak hanya memberikan input ke amigdala namun juga ke banyak regio menjadi

12
proyeksi amigdala; oleh karena itu agen ini memainkan peran yang penting dalam
respon terhadap rasa takut. Hiperaktivitas noradrenergik dapat mengarahkan pada
rasa cemas, serangan panik, tremor, berkeringat, takikardia, hiperarousal, dan
mimpi buruk. Reseptor adrenergik alfa 1 dan beta 1 terutama terlibat dalam
reaksi-reaksi ini.
Namun, rasa takut yang berlimpahan juga dapat dipelajari, dan jika tidak
dapat dilupakan, dapat memburuk menjadi gangguan panik atau episode depresi
mayor. Ini merupakan masalah besar, karena hampir 30% populasi akan
berkembang menjadi gangguan cemas, karena sebagian besar disebabkan oleh
lingkungan yang menekan, termasuk paparan terhadap kejadian yang menakutkan
selama aktivitas normal pada masyarakat saat ini namun secara khusus selama
perang dan bencana alam. Mendengar ledakan, mencium aroma karet yang
terbakar, melihat gambar penduduk sipil yang terluka, dan melihat atau
mendengar banjir semuanya merupakan pengalaman sensorik yang dapat memicu
pengalaman ulang yang bersifat traumatik dan hiperarousal generalisata dan rasa
takut pada PTSD. Panik yang berkaitan dengan situasi sosial akan mengajar
pasien untuk menjadi panik dalam situasi sosial pada gangguan cemas sosial.
Panik yang secara acak berkaitan dengan serangan yang terjadi atau telah terjadi
dalam keramaian, pada jembatan, atau pusat perbelanjaan juga dapat memicu
serangan panik lainnya ketika lingkungan yang serupa ditemukan dalam gangguan
panik. Gejala gangguan cemas ini dan yang lainnya semuanya merupakan bentuk
pembejalaran yang dikenal sebagai pemeliharaan rasa takut (Gambar 14-40).

13
Gambar 14-39 A dan B penghambatan hiperaktivitas noradrenergik dalam
kecemasan. Hiperaktivitas noradrenergik dapat dihambat oleh pemberian
penghambat adrenergik beta (A) atau penghambat adrenergik alfa 1 (B), yang
dapat menyebabkan hilangnya cemas dan gejala-gejala terkait stres lainnya.

14
Gambar 14-40. Pemeliharaan rasa takut berbanding penghilangan rasa
takut. Ketika seseorang menghadapi suatu pengalaman yang penuh tekanan atau
menakutkan, input sensoris diarahkan ke amigdala, dimana input ini
diintegrasikan dengan input dari korteks prefrontal ventromedial (VMPFC) dan
hippokampus, sehingga respon takut dapat apakah itu dihasilkan ataupun ditekan.
Amigdala dapat mengingat stimulus yang berkaitan dengan pengalaman
tersebut dengan meningkatkan efiensiensi neurotransmisi glutamat, sehingga pada
paparan terhadap pemicu tersebut di masa yang akan datang, respon takut dapat
secara efisien terpicu. Jika hal ini tidak dihadapi oleh input dari VMPFC untuk
menekan respon takut, maka pemeliharaan rasa takut terus berjalan. Pemeliharaan
rasa takut tidak begitu saja dapat dibalikkan, namun dapat diinhibisi melalui
pembejalaran yang baru. Pembelajaran yang baru ini disebut sebagai
penghilangan rasa takut dan merupakan pengurangan respon terhadap stimulus

15
yang menakutkan secara progresif yang terjadi secara berulang tanpa konsekuensi
yang tidak diharapkan. Oleh karena itu VMPFC dan hippokampus dapat
mempelajari konteks baru untuk stimulus yang menakutkan dan mengirimkan
input ke amigdala untuk menekan respon takut. Ingatan akan rasa takut yang
dipelihara masih tetap ada.
Amigdala terlibat dalam mengingat berbagai stimulus yang berkaitan
dengan situasi tertentu yang menakutkan. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan
efisiensi neurotransmisi pada sinaps glutamat di amigdala lateral saat input
sensoris mengenai stimulus tersebut masuk dari thalamus atau korteks sensorik
(ambar 14-40). Input ini kemudian disampaikan ke pusat amigdala, dimana
pemeliharaan rasa takut juga meningkatkan efisiensi neurotransmisi pada sinaps
glutamat lainnya disana (Gambar 14-40). Kedua sinaps distruktur ulang dan
pembelajaran permanen direkatkan pada sirkuit ini oleh reseptor NMDA, memicu
potensiasi jangka panjang dan plastisitas sinaps, sehingga input selanjutnya dari
korteks sensorik dan thalamus diproses secara sangat efieisn untuk memicu respon
takut saat output dari amigdala setiap saat terdapat input sensorik yang berkaitan
dengan kejadian yang awalnya menakutkan (Gambar 14-40); lihat juga gambar
14-40 hingga 14-15).
Input ke amigdala lateral dimodulasi oleh korteks prefrontalis, terutama
korteks prefrontal ventromedial (VMPFC), dan oleh hippokampus. Jika VMPFC
tidak mampu menekan respon takut pada tingkatan amigdala, pemeliharaan rasa
takut akan terus berlanjut. Hipokampus mengingat konteks pemeliharaan rasa
takut dan memastikan rasa takut dipicu ketika stimulus yang menakutkan dan
semua stimulusnya yang berkaitan ditemukan. Sebagian besar penatalaksanaan
psikofarmakologi modern untuk ansietas dan rasa takut bekerja dengan menekan
output rasa takut dari amigdala (lihat gambar 14-25, 14-27, 14-37, dan 14-39) dan
oleh karena itu tidak menyembuhkan, karena pembelajaran neuronal yang
mendasar yang mendasari pemeliharaan rasa takut pada pasien ini masih tetap
ada.

16
Penghilangan rasa takut berarti belajar untuk memaafkan namun tidak
untuk melupakan
Ketika pemeliharaan rasa takut telah terjadi, maka keadaan ini akan sangat
sulit untuk dibalikkan. Namun, pemeliharaan rasa takut dan respon takutnya yang
terkait dapat dicegah oleh suatu proses yang dikenal sebagai penghilangan rasa
takut. Penghilangan rasa takut merupakan pengurangan progrsif respon terhadap
stimulus yang menakutkan dan terjadi ketika stimulus ditemukan secara berulang
tanpa adanya konsekuensi yang tidak diharapkan.
Ketika penghilangan rasa takut terjadi, maka tampak bahwa pemeliharaan
rasa takut yang sebenarnya tidak benar-benar dilupakan meskipun respon takut
dapat sangat berkurang dari waktu ke waktu oleh proses aktif penghilangan rasa
takut. Dibandingkan dengan membalikkan perubahan sinaps yang dijelaskan
diatas untuk pemeliharaan rasa takut, tampak bahwa suatu bentuk pembelajaran
yang baru dengan perubahan sinaps tambahan di amigdala terjadi selama
penghilangan rasa takut. Perubahan ini dapat menekan gejala-gejala ansietas dan
rasa takut dengan menghambat pembelajaran awal namun tidak dengan
menghilangkannya (Gambar 14-40). Secara spesifik, aktivasi amigdala oleh
VMPFC terjadi saat hippokampus mengingat konteks yang mana stimulus yang
menakutkan tidak memiliki adanya konsekuensi yang tidak diharapkan (Gambar
14-40). Penghilangan rasa takut terjadi saat input dari VMPFC dan hippokampus
mengaktifkan neuron glutamatergik di lateral amigdala yang bersinaps pada
inteneuron GABAegik inhibitorik yang teletak didalam massa sel amigdala yang
berinterkalasi (Gambar 14-40). Hal ini membentuk suatu jembatan didalam
amigdala sentral, dengan output rasa takut yang terjadi jika sirkuit pemeliharaan
rasa takut mendominasi dan tidak ada output rasa takut yang terjadi jika sirkuit
penghilangan rasa takut yang mendominasi.
Penghilangan rasa takut mendominasi ketika penguatan sinaps dan
potensiasi jangka panjang di sirkuit yang baru mampu menghasilkan dorongan
GABAergik inhibitorik yang dapat mengatasi dorongan glutamategik eksitatorik
yang dihasilkan oleh sirkuit pemeliharaan rasa takut yang sebelumnya ada
(Gambar 14-40). Yang paling banyak diketahui adalah pemahaman mengenai

17
gangguan cemas dan penatalaksanaan terbaru yang berkaitan dengan apakah itu
sirkuit pemeliharaan rasa takut atau sirkuit penghilangan rasa takut yang
mendominasi. Ketika penghilangan rasa takut ada secara bersamaan dengan
pemeliharaan rasa takut, memori untuk kedua hal ini ditemukan, namun outputnya
bergantung pada sistem mana yang lebih kuat, lebih baik diingat, dan yang mana
yang memiliki efisiensi sinaps yang paling kuat. Hal ini akan menentukan
jembatan mana yang akan terbuka, apakah yang dengan respon rasa takut atau
yang tetap menjaga respon rasa takut tetap terjaga. Sayangnya, dari waktu ke
waktu, pemeliharaan rasa takut mungkin telah berada diatas angin dibandingkan
penghilangan rasa takut. Tidak seperti pemeliharaan rasa takut, penghilangan rasa
takut bersifat labil dan cenderung membalik dari waktu ke waktu. Dan juga,
pemeliharaan rasa takut dapat kembali jika rasa takut yang dulu ditemukan dalam
konteks yang berbeda dibandingkan dengan yang dipelajari untuk meneak rasa
takut selama penghilangan rasa takut, suatu proses yang disebut dengan
pembaruan.
Selain itu, ketidakmampuan untuk menghilangkan atau menghambat respon
takut yang maladaptif oleh penghilangan rasa takut secara teori merupakan
penanda gangguan cemas, terutama PTSD.
Hal ini mengesankan bahwa intervensi terapeutik yang terbaru untuk
gangguan cemas adalah intervensi yang mempermudah dan mempertahankan
penghilangan rasa takut, dibandingkan hanya menekan respon takut yang dipicu
oleh pemeliharaan rasa takut, seperti yang diperlihatkan oleh sebagian besar
penatalaksanaan untuk kecemasan. Jika sirkuit penghilangan rasa takut di
amigdala dapat agak diaktivasi, hal ini dapat menyebabkan pengurangan gejala-
gejala kecemasan. Dan juga, aktivitas pada neuron-neuron VMPFC penting untuk
ekspresi dan pemeliharaan rasa takut, dan VMPFC dapat baik itu mengeksitasi
maupun menghambat ekspresi rasa takut. Oleh karena itu, intervensi farmakologis
yang tidak hanya menujukan amigdala namun juga pada VMPFC dan lengkung
CSTC nya juga dapat mampu mendukung ingatan akan penghilangan rasa takut
dibandingkan hanya mengingat pemeliharaan rasa takut.

18
Bagaimana terapeutik terbaru dapat mendukung sirkuit penghilangan rasa
takut dibandingkan sirkuit pemeliharaan rasa takut?
Petama, terapi perilaku kognitif dengan menggunakan teknik paparan dan
yang membutuhkan pasien untuk menghadapi stimulus yang memicu rasa takut
dalam lingkungan yang aman dapat memicu pembelajaran akan penghilangan rasa
takut di amigdala. Sayangnya, karena hippokampus mengingat konteks
penghilangan ini, terapi tersebut bersifat spesifik terhadap konteks dan tidak
selalu dapat digeneralisasikan ke dunia sebenarnya ketika pasien diluar
lingkungan terapeutik yang maan. Penelitian psikoterapi saat ini sedang meneliti
bagaimana isyarat kontekstual dapat digunakan untuk memperkuat penghilangan
rasa takut sehingga pembelajaran terapeutik dapat digeneralisasikan ke
lingkungan lainnya.
Dan juga, jika sinaps pada sisi penghilangan rasa takut yang dijembatan
amigdala dapat diperkuat secara tidak sebanding ke sinaps pada sisi pemeliharaan
rasa takut di jembatan amigdala, kemungkinan jalur penghilangan akan
mendominasi dan gejala-gejala gangguan cemas akan berkurang. Gagasan ini
disajikan dalam Gambar 14-41, dimana ko-agonis reseptor NMDA d-sikloserin
diberikan pada pasien yang mendapatkan paparan secara sistematis ke stimulus
yang menakutkan selama terapi perilaku kognitif. Sejalan dengan perkembangan
terapi, dan pembelajaran terjadi, glutamat dilepaskan di amigdala lateral dan di
massa sel neuron GABA inhibitorik yang berinterkalasi. Jika reseptor NMDA
pada dua sinaps glutamat ini dapat memicu potensiasi jangka panjang kuat yang
tidak sebanding dan plastisistas sinaps selama pembelajaran ini sementara sinaps
ini diaktivasi secara selektif oleh terapi perilaku kognitif, hal ini dapat
menghasilkan dominasi jalur penghilangan dibandingkan jalur pemeliharaan.
Bagaimana hal ini dapat terjadi? Mengingat bahwa reseptor NMDA
merupakan suatu detektor koinsidensi yang bekerja untuk memicu potensiasi
jangka panjang dan plastisitas sinaps ketika tiga kejadian terjadi pada satu waktu
yang sama: glutamat menduduki tempat glutamat, glisin menduduki tempat glisin,
dan depolarisasi neuron terjadi. Peluang kejadian ini diperkuat tidak hanya oleh
terapi perilaku kognitif dan paparan, yang secara teori mengaktifkan pelepasan

19
glutamat di amigdala selama pembelajaran yang berkaitan dengan penghilangan
rasa takut, namun juga dengan memberikan koagonis untuk tempat glisin.
Pentingnya tempat koagonis glisin pada reseptor NMDA dibahas dalam Bab 5 dan
diilustrasikan dalam Gambar 525; hal ini juga dibahas dalam bab 9 dan
diilustrasikan dalam Gambar 9-34 dan 9-35. Satu agonis yang diketahui untuk
tempat glisin adalah d-sikloserin, yang dibahas juga dalam Bab 10 dan
diilustrasikan dalam Gambar 10-123.

Gambar 14-41. Mempermudah penghilangan rasa takut dengan d-sikloserin.


Memperkuat sinaps yang terlibat dalam penghilangan rasa takut dapat membantu
meningkatkan terjadinya pembelajaran penghilangan rasa takut di amigdala dan
mengurangi gejala-gejala gangguan cemas. Pemberian koagonis d-sikloserin N-
metil-d-aspartat (NMDA) sementara seorang individu mendapatkan terapi paparan
dapat meningkatkan efisiensi neurotransmisi glutamat pada sinaps yang terlibat
dalam penghilangan rasa takut. Jika hal ini menyebabkan potensiasi jangka
panjang dan plastisitas sinaps sementara sinaps teraktivasi oleh terapi paparan, hal
ini dapat menyebabkan perubahan struktural di amigdala yang berkaitan dengan

20
jalur penghilangan rasa takut dan oleh karena itu mendominasi jalur penghilangan
rasa takut dibandingkan dengan jalur pemeliharaan.
Agen ini telah terbukti mempermudah penghilangan rasa takut pada model
ini. Hal ini telah menyebabkan d-sikloserin juga diberikan pada pasien-pasien
dengan gangguan cemas sementara merkea menjalani terapi perilaku kognitif dan
paparan. Hasilnya bersifat menjanjikan yang mana mereka menyatakan adanya
perbaikan dalam perkembangan penghilangan rasa takut untuk pasien tersebut.
Jika pendekatan ini dan pendekatan yang serupa terus menunjukkan hasil
yang menjanjikan, itu berarti bahwa strategi terapeutik yang keseluruhannya baru
untuk gangguan ansietas dapat ditemukan di masa yang akan datang yaitu,
mempermudah penghilangan rasa takut yang terjadi secara alami dibandingkan
hanya menghambat respon takut yang terjadi pada gangguan cemas akibat
pemeliharaan rasa takut, seperti kerja terapi saat ini. Hal ini juga berarti adanya
peningkatan peran penting yang tidak hanya untuk terapi perilaku kognitif untuk
gangguan cemas namun juga untuk kombinasi yang cerdik dan berseni
mekanisme psikofarmakologis dengan intervensi psikoterapeutik yang diberikan
tepat pada waktunya.

Penatalaksanaan preemtif atau penatalaksanaan profilaksis untuk gangguan


cemas
Gagasan terbaru lainnya untuk penatalaksanaan gangguan cemas didasarkan
pada penghambatan pembentukan pemeliharaan rasa takut di tempat pertama. Hal
ini telah disebut sebagai penatalaksanaan preemtif atau profilaksis.

21
Gambar 14-42. Penatalaksanaan preemptif dengan penghambat beta.
Terdapat beberapa penelitian untuk menyatakan bahwa pemberian penghambat
adrenegik beta segera setelah paparan terhadap trauma dapat menghambat
pemeliharaan rasa takut sebelum ia bahkan terjadi. Penghambatan reseptor beta
pada korteks prefrontal ventromedial (VMPFC) dan hippokampus dapat
menghambat input dari mencapai amigdala sehingga mencegah perubahan sinaps
yang menyebabkan pemeliharaan rasa takut.

Sebagian orang bahkan menyebutnya inokulasi pascapaparan. Apapun itu,


gagasannya adalah untuk mencegah pembentukan perubahan sinaps yang
permanen yang berkaitan dengan pemeliharaan rasa takut dengan menekan
perubahan ini apakah itu dengan obat atau dengan paradigma pembelajaran
penghilangan rasa takut dini.

22
Sebagai contohnya, setelah paparan akut terhadap stimulus yang sangat
traumatika terdapat suatu jendela waktu ketika pemeliharaan rasa takut dapat
dihambat sebelum ia secara permanen melekat ke amigdala. Penelitian yang
menjanjikan dengan penghambat adrenergik beta menyatakan bahwa pada
sebagian individu yang berisiko tinggi untuk mengalami PTSD karena paparan
terhadap stimulus yang sangat traumatik, PTSD dapat dicegah (Gambar 14-42).
Ini merupakan kesempatan penelitian yang menggairahkan dan suatu pendekatan
penatalaksanaan terbaru terhadap gangguan cemas, yang seringkali bersifat
irreversibel dan sulit untuk diobati. Kemungkinan di masa yang akan datang akan
memungkinkan untuk mengklarifikasi farmakologi penatalaksanaan preemptive
yang dapat mencegah pemeliharaan rasa takut setelah paparan terhadap kejadian
yang bersifat traumatika.

Gambar 14-43. Menghubungkan gejala-gejala cemas ke sirkuit ke


neurotransmitter. Gejala-gejala cemas berkaitan dengan kerusakan fungsi
lengkung kortiko-striatal-thalamo-kortikal, yang diatur oleh serotonin (5HT),
asam amino gamma butirat (GABA), dopamin (DA), norepinefrin (NE), glutamat,
dan kanal ion teraktivasi tegangan.

23
Gambar 14-44. Sirkuit cemas/obsesi. Gambar ini memperlihatkan lengkung
kortiko-striatal-thalamo-kortikal yang berasal dan berakhir di korteks prefrontal
dorsolateral (DLPFC). Aktivitas sirkuit ini secara berlebihan dapat menyebabkan
kecemasan atau obsesi.

2.5 Lengkung kortiko-striatal-thalamo-kortikal (CSTC) dan neurobiologi


rasa cemas
Terlahir dengan cemas?
Sebagian besar bab ini telah berfokus pada amigdala dan neurobiologi rasa
takut. Namun, terdapat gejala inti gangguan cemas kedua yaitu, rasa khawatir
dan ini melibatkan sekelompok sirkuit lainnya yang khas yang akan dibahas
dalam bagian ini (Gambar 14-43). Rasa khawatir atau emas, yang dapat mencakup
rasa sengsara akan kecemasan, ekspektasi yang mengkhawatirkan, pikiran yang
katastropik atau akan adanya bencana, dan obsesi, dikaitkan dengan lengkung
umpan balik kortiko-striatal-thalamo-kortikal di korteks prefrontalis (Gambar 14-
44). Beberapa neurotransmiter dan regulator memodulasi sirkuit ini, termasuk
serotonin, GABA, dopamine, norepinefrin, glutamat, dan kanal ion teraktivasi
voltase (Gambar 14-43). Banyak dari neurotransmiter ini yang telah dibahas di
bagian amigdala dan memiliki fungsi pengaturan yang bertumpang tindih dalam
lengkung CSTC juga. Bagian ini membahas bagaimana genotipe yang berbeda
untuk enzim COMT (catechol-O-methyl-transferase) tidak hanya mengatur
ketersediaan neurotransmiter dopamin pada korteks prefrontalis namun juga

24
bagaimana perbedaan dalam ketersediaan dopamin ini dapat mempengaruhi risiko
untuk rasa cemas dan gangguan cemas dan dapat menentukan apakah anda dapat
terlahir dengan rasa cemas (Gambar 14-45).

Warrior berbanding worrier (Pejuang berbanding Pencemas)


Dalam bab 8, dampak varian genetik COMT terhadap fungsi kognitif
dibahas; hal ini diilustrasikan dalam Gambar 8-10. Secara spesifik, kontrol normal
dengan varian Met dari COMT memiliki pengolahan informasi yang lebih efisien
di korteks prefrontal dorsolateral (DLPFC) selama tugas-tugas kognitif seperti uji
n-back (Gambar 8-10). Subjek ini memiliki aktivitas COMT yang lebih rendah
karena varian genetik spesifik enzimnya, kadar dopamin yang lebih tinggi dan
kemungkinan pengolahan informasi yang lebih baik selama tugas-tugas untuk
menilai fungsi eksekutif yang merekrut sirkuit di DLPFC. Karena pengolahan
informasi kognitif yang lebih efisien, subjek tersebut juga memiliki risiko yang
lebih rendah untuk mengalam skizofrenia dibandingkan subjek yang merupakan
karier Val COMT (Gambar 14-45).
Pada pandangan sekilas awal, tampaknya semua keuntungan biologis berada
pada varian Met COMT. Namun, ini tidak selalu benar ketika mempertimbangkan
pengolahan stresor yang menyebabkan pelepasan dopamin, dengan genotipe Met,
aktivitas COMT yang rendah, dan kadar dopamine yang tinggi, stresor dapat
menghasilkan aktivitas dopamin yang berlebihan, yang mengganggu pengolahan
informasi kognitif dan menciptakan gejala-gejala ansietas pada sirkuit ini, seperti
cemas dan obsesi. Aktivitas dopamin yang terlalu banyak juga dapat
menyebabkan neuron-neuron piramidalis di DLPFC menjadi out of tune atau
tidak selaras. Konsep penyetelan neuron piramidalis yang optimal dengan
dopamin ini, dengan fungsi neuron ini yang ideal dari korteks prefrontal yang
tidak terlalu banyak maupun tidak terlalu sedikit, dibahas dalam Bab 7 dan
diilustrasikan dalam Gambar 7-25 dan 7-26. Dibawah keadaan stres, oleh karena
itu, tampak bahwa karier Val COMT memiliki aktivitas dopamin yang
dioptimalkan dengan stres, mengalami peningkatan aktivitas COMT untuk
berdamai dengan dopamin yang berlebihan, dan merupakan warrior atau

25
pejuang yang tidak takut ataupun cemas. Di sisi lain, mereka yang dengan varian
Met COMT dapat mengalami dekompensasi dengan peningkatan ketersediaan
dopamin dalam keadaan stres, tidak mampu mengolah dopamin yang berlebihan
ini karena lebih rendahnya aktivitas COMT, sehingga merupakan worrier atau
pencemas yang takut dan cemas dan juga yang mengalami peningkatan risiko
untuk mengalami gangguan kecemasan (Gambar 14-45).

2.6 Penatalaksanaan untuk subtipe gangguan cemas


2.6.1 Gangguan cemas menyeluruh
Penatalaksanaan untuk gangguan cemas menyeluruh sangat bertumpang
tindih dengan gangguan cemas lainnya dan depresi (Gambar 14-46). Saat ini,
penatalaksanaan lini pertama adalah SSRI dan SNRI serta benzodiazepin dan
buspirone. Beberapa dokter enggan untuk memberikan benzodiazepin untuk
gangguan cemas secara umum dan untuk GAD secara khusus mengingat sifat
jangka panjang GAD dan kemungkinan ketergantungan, penyalahgunaan dan
reaksi putus obat benzodiazepin.
Meskipun bukan merupakan gagasan yang baik untuk memberikan
benzodiazepin pada pasien GAD yang menyalahgunakan zat lainnya, terutama
alkohol, benzodiazepin dapat berguna dalam memulai SSRI atau SNRI, karena
agen serotonegik ini seringkali mengaktivasi, sulit untuk ditoleransi secara dini
dalam pemberian dosis, dan memiliki onset kerja yang lambat.

26
Gambar 14-45. Genetika COMT dan stresor kehidupan. Aktivitas pada
lengkung kortiko-striatal-thalamo-kortikal (CSTC) dapat berbeda-beda selama
tugas kognitif bergantung pada varian cathecol-O-metyl-transferase (COMT)
yang dimiliki oleh seseorang (bagian atas gambar). Oleh karena itu, mereka yang
dengan genotipe Met untuk COMT (yaitu, mereka yang memiliki aktivitas COMT
yang lebih rendah dan oleh karena itu kadar dopamin yang lebih tinggi) mungkin
memiliki aktivasi yang normal dan tidak memiliki masalah dengan kinerja
mereka selama melakukan tugas-tugas kognitif, sementara mereka yang dengan
genotipe Val mungkin memperlihatkan inefisiensitas pengolahan informasi
kognitif, membutuhkan aktivasi sirkuit ini secara berlebihan, dan berpotensi
membuat lebih banyak kesalahan selama tugas yang sama. Individu yang

27
disebutkan terakhir ini juga berisiko tinggi untuk mengalami skizofrenia.
Demikian pula, varian COMT yang dimiliki oleh seseorang mungkin
mempengaruhi respon terhadap stres, karena lengkung CSTC juga mengatur rasa
cemas. Namun, dalam kasus ini, genotipe yang mendapatkan keuntungan
mungkin dapat dikembalikan. Yaitu, individu dengan genotipe Met memiliki
aktivitas COMT yang lebih rendah dan oleh karena itu memiliki kadar dopamin
yang lebih tinggi, pelepasan dopamin sebagai respon terhadap stres dapat
berlebihan dan berkontribusi terhadap rasa cemas dan risiko untuk gangguan
cemas. Mereka yang dengan genotipe Val, disisi lain, bersifat kurang reaktif
terhadap stres karena COMT dapat menghancurkan dopamin yang berlebihan.

Gambar 14-46. Farmasi gangguan cemas menyeluruh (GAD).


Penatalaksanaan lini pertama untuk GAD mencakup penghambar reuptake
serotonin selektif (SSRI), benzodiazepin, penghambat reuptake norepinefrin
serotonin (SNRI), dan buspirone. Penatalaksanaan lini kedua mencakup
gabapentin atau pregabalin, antidepresan trisiklik (TCA), mirtazapine, dan
trazodone. Pengobatan tambahan yang dapat membantu mencakup hipnotik dan
antipsikotik atipikal; terapi perilaku kognitif juga merupakan komponen
penatalaksanaan cemas yang penting.
Benzodiazepin oleh karena itu memiliki peran pada sebagian pasien dalam
memulai penatalaksanaan dengan agen lainnya. Pada pasien lain yang telah
mengalami hanya pengurangan gejala secara parsial, benzodiazepin dapat berguna

28
untuk top up SSRI atau SNRI. Benzodiazepin juga dapat berguna untuk
penggunaan intermiten arang ketika gejala melanda dan dibutuhkan pengurangan
gejala dengan cepat.
Perlu dicatat bahwa remisi dari semua gejala pada pasien-pasien dengan
GAD yang mengonsumsi SSRI atau SNRI mungkin lebih lambat dalam onsetnya
dibandingkan dalam depresinya dan mungkin dapat tertunda selama 6 bulan atau
lebih. Jika pasien GAD tidak membaik setelah beberapa minggu atau beberapa
bulan penatalaksanaan, mengganti ke SSRI/SNRI lainnya atau buspiron atau
menambahkan dengan benzodiazepin dapat dipertimbangkan. Kegagalan untuk
menunjukkan respon terhadap penatalaksanaan lini pertama dapat mengarahkan
pada uji coba ligand delta alfa 2 terbaru gabapentin atau pregabalin, yang disetujui
penggunaannya untuk epilepsi, nyeri neuropati, dan fibromialgia namun masih
sedang dicobakan untuk gangguan cemas. Seseorang juga dapat mencoba
antideprsan sedasi seperti mirtazapine, trazodone, atau antidepresan trisiklik atau
bahkan antihistamin sedasi seperti hidroxizine. Penatalaksanaan tambahan yang
dapat ditambahkan ke terapi lini pertama atau kedua untuk GAD mencakup
hipnotik untuk insomnia berkelanjutan; antipsikotik atipikal untuk gejala-gejala
yang berat, refraktorik dan melumpuhkan yang tidak responsif terhadap
penatalaksanaan yang agresif, dan psikoterapi perilaku kognitif. Penatalaksanaan
model kuno untuk ansietas, seperti barbiturat dan meprobamate, tidak dianggap
tepat lagi saat ini, mengingat pilihan lainnya yang disajikan dalam Gambar 14-46.

29
Gambar 14-47. Farmasi gangguan panik. Penatalaksanaan lini pertama untuk
gangguan panik mencakup penghambar reuptake serotonin selektif (SSRI),
benzodiazepin, dan penghambar reuptake serotonin norepinefrin (SNRI).
Penatalaksanaan lini kedua mencakup gabapentin atau pregabalin, penghambat
monoamine oksidase (MAOI), antidepresan trisiklik (TCA), mirtazapine, dan
trazodone. Terapi perilaku kognitif dapat bermanfaat bagi banyak pasien. Selain
itu, pengobatan tambahan untuk gejala-gejala residu bisa mencakup hipnotik,
antipsikotik, lamotrigine, atau topiramate.

2.6.2 Gangguan panik


Serangan panik terjadi pada banyak kondisi, tidak hanya gangguan panik,
dan gangguan panik seringkali disertai dengan gangguan cemas lainnya dan
dengan depresi mayor. Oleh karena itu tidak mengejutkan bahwa penatalaksanaan
kontemporer untuk gangguan panik berttumpang tindih secara signifikan dengan
yang diberikan untuk gangguan cemas dan untuk depresi mayor (Gambar 14-47).
Penatalaksanaan lini pertama terdiri atas SSRI dan SNRI serta benzodiazepin,
meskipun benzodiazepin seringkali digunakan sebagai pilihan lini kedua, selama
pemulaian penatalaksanaan dengan SSRI/SNRI, untuk munculnya penggunaan
selama serangan panik, atau respon yang tidak komplit terhadap SSRI/SNRI.

30
Penatalaksanaan lini kedua terdiri atas ligan alfa 2 delta yaitu gabapentin
dan pregabalin serta agen yang lebih tua lainnya seperti antidepresan trisiklik.
Mirtazapine dan trazodoone merupakan antidepresan sedasi yang membantu
dalam beberapa kasus dan kadangkala digunakan sebagai agen tambahan pada
SSRI/SNRI ketika agen lini pertama ini hanya memperlihatkan respon
penatalaksanaan parsial. Penghambat MAO, yang dibahas dalam bab 12 dan
diilustrasikan dalam Gambar 12-65 hingga 12-79, jauh lebih terabaikan dalam
psikofatmakologi secara umum dan untuk penatalaksanaan gangguan panik seara
khusus. Namun, agen ini bisa memiliki efektivitas yang kuat dalam gangguan
panik sehingga harus dipertimbangkan ketika agen lini pertama dan berbagai
strategi tambahan mengalami kegagalan.

GAMBAR 14-48. Farmasi gangguan cemas sosial. Penatalaksanaan lini


pertama untuk gangguan cemas sosial mencakup penghambat reuptake serotonin
selektif (SSRI), benzodiazepin, dan penghambat reuptake serotonin norepinefrin
(SNRI). Penghambat monoamine oksidase (MAOI) telah terbukti berguna dan
bisa menjadi pilihan lini kedua; pilihan lini kedua lainnya mencakup
gabapentin/pregabalin dan penghambat beta. Beberapa obat dapat digunakan
sebagai tambahan untuk gejala-gejala sisa; terapi perilaku kognitif juga dapat
berguna.

31
Berbagai penatalaksanaan tambahan untuk gangguan panik mencakup
penambahan dengan antipsikotik atipikal untuk kasus-kasus yang berat dan
resisten terhadap pengobatan, dengan hipnotik untuk pasien dengan insomnia, dan
berbagai antikonvulsan untuk pasien-pasien yang resisten terhadap
penatalaksanaan lini pertama, dan dengan terapi perilaku kognitif untuk
menambahkan pendekatan psikofarmakologi, memodifikasi distorsi kognitif, dan
melalui paparan mengurangi perilaku penghindaran fobik.

2.6.3 Gangguan cemas sosial


Pilihan penatalaksanaan untuk gangguan cemas ini (Gambar 14-48) sangat
serupa dengan untuk gangguan panik (Gambar 14-47), dengan beberapa
perbedaan yang patut diperhatikan. SSRI dan SNRI tentu merupakan terapi lini
pertama, namun pemantaafan monoterapi benzodiazepin sebagai penatalaksanaan
lini pertama tidak secara umum diterima secara luas sebagaimana ia digunakan
untuk GAD dan gangguan panik. Juga terdapat bukti yang lebih sedikit untuk
pemanfaatan antidepresan yang lebih lama untuk gangguan cemas sosial, terutama
antidepresan trisiklik, namun juga antidepresan sedasi lainnya seperti mirtazapine
dan trazodone. Suatu pilihan lini kedua yang baik adalah ligan delta alfa 2
pregabalin atau gabapentin. Penghambat beta, yang kadangkala dengan
benzodiazepin, dapat berguna bagi sebagian pasien dengan jenis gangguan emas
sosial yang sangat jelas, seperti cemas performa.
Penatalaksanaan tambahan lainnya yang disebutkan adalah agen-agen untuk
ketergantungan/penyalahgunaan alkohol, seperti naltrexone dan acamprosate,
karena banyak pasien yang mungkin menemukan manfaat alkohol dalam
mengurangi gejala-gejala emas sosial mereka dan mengalami
ketergantungan/penyalahgunaan alkohol.

32
Gambar 14-49. Farmasi gangguan stres pascatrauma (PTSD). Pilihan
farmakologi lini pertama untuk PTSD adalah penghambat reuptake serotonin
selektif (SSRI) dan penghambat reuptake serotonin norepinefrin (SNRI). Pada
PTSD, tidak seperti gangguan emas lainnya, benzodiazepin tidak terbukti
berguna, meskipun dapat dianggap sebagai pilihan lini kedua dengan peringatan.
Penatalaksanaan lini kedua lainnya mencakup gabapentin atau pregabalin,
antidepresan trisiklik (TCA), dan penghambat monoamine oksidase (MAOI).
Beberapa obat dapat digunakan sebagai tambahan untuk gejala-gejala sisa, dan
terapi perilaku kognitif biasanya juga direkomendasikan.

2.6.4 Gangguan stres pascatrauma


Meskipun banyak penatalaksanaan yang disajikan dalam Gambar 14-49,
penatalaksanaan PTSD secara umum mungkin tidak sama efektifnya dengan
penatalaksanaan yang sama ini pada gangguan cemas lainnya. SSRI dan SNRI
telah terbukti efektif dan dianggap sebagai penatalaksanaan lini pertama, namun
seringkali menyisakan gejala sisa pada pasien, termasuk masalah tidur. Oleh
karena itu, sebagian besar pasien-pasien dengan PTSD tidak mengonsumsi
monoterapi. Benzodiazepin digunakan dengan peringatan, tidak hanya karena
buktinya yang terbatas dari uji klinis untuk efektivitas pada PTSD namun juga
karena banyak pasien PTSD yang menyalahgunakan alkohol dan zat lainnya.

33
Penatalaksanaan yang khas untuk PTSD adalah pemberian antagonis alfa 1 di
malam hari untuk mencegah mimpi buruk. Penatalaksanaan preemptive dengan
penghambat beta dibahas diatas namun bukan merupakan pilihan penatalaksanaan
yang terbukti atau praktis pada saat ini. Sangat dibutuhkan lebih banyaknya
penatalaksanaan PTSD yang efektif.

2.6.5 Gangguan obsesif kompulsif


OCD merupakan kondisi lain yang seringkali menyertai gangguan cemas
lainnya dan dengan depresi mayor, dan dengan tumpang tindih yang besar dalam
penatalaksanaannya (Gambar 14-50). Namun, terdapat beberapa gambaran
penatalaksanaan OCD yang khas. Penatalaksanaan lini pertama dispesifikkan
dengan satu SSRI. Meskipun penatalaksnaaan lini kedua dengan antidepresan
trisiklik serotonergik klomipramine, suatu SNRI, atau suatu penghambat MAO
patut dipertimbangkan, pilihan terbaik untuk pasien-pasien yang gagal dalam
menjalani beberapa SSRI seringkali adalah untuk mempertimbangkan dosis yang
sangat tinggi dengan SSRI atau penambahan SSRI dengan antipsikotik atipikal.

Gambar 14-50. Farmasi gangguan obsesif kompulsif (OCD). Penghambat


reuptake serotonin selektif (SSRI) merupakan rekomendasi lini pertama untuk
pasien-pasien dengan OCD. Penatalaksanaan lini kedua mencakup clomipramine,
penghambat monoamine oksidase (MAOI), dan penghambat reuptake serotonin
norepinefrin (SNRI). Beberapa obat dapat digunakan sebagai tambahan untuk

34
gejala-gejala sisa. Stimulasi otak dalam merpakan suatu pilihan eksperimental
untuk pasien yang resisten terhadap pengobatan.

Penambahan dengan benzodiazepin, lithium, atau buspirone juga dapat


dipertimbangkan. Suatu penatalaksanaan eksperimental untuk OCD adalah
stimulasi otak dalam, yang dibahas dalam bab 12 untuk depresi dan diilustrasikan
dalam Gambar 12-116.
Penatalaksanaan yang sama ini dapat dipertimbangkan untuk gangguan
spektrum OCD, yang kadangkala diskenal sebagai gangguan obsesif kompulsif
atau gangguan impulsif kompulsif, termasuk berjudi, kleptomania,
trikotillomania, gangguan body dismorphic, gangguan makan, parafilia,
hipokondriasis, gangguan somatisasi, sindroma Tourrette, autisme, sindroma
Asperger, dan lain-lain.

35
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Gangguan cemas memiliki gambaran inti berupa rasa takut dan cemas yang
melintasi keseluruhan spektrum subtipe gangguan cemas, dari gangguan cemas
menyeluruh hingga gangguan panik, gangguan cemas sosial, gangguan stres
pascatrauma, dan gangguan obsesif kompulsif. Suatu kemajuan yang sangat besar
telah dilakukan dalam menjelaskan peran amigdala dalam respon takut dan peran
sirkuit kortiko-striatal-thalamo-kortikal dalam gejala cemas. Sejumlah
neurotransmiter terlibat dalam mengatur sirkuit yang mendasari gangguan cemas
ini. GABA merupakan neurotransmiter utama yang dibahas dalam bab ini, serta
ansiolitik benzodiazepin yang bekerja pada sistem neurotransmiter ini. Serotonin,
norepinefrin, ligan alfa 2 delta untuk kanal kalsium teraktivasi voltase, dan
regulator sirkuit cemas lainnya juga dibahas sebagai pendekatan untuk
penatalaksanaan gangguan emas. Sebuah konsep baru yang menggambarkan
produksi gejala-gejala cemas serta kemungkinan strategi yang baru untuk
mengobati gejala-gejala cemas adalah aktivitas berlawanan pemeliharaan takut
berbanding penghilangan rasa takut didalam sirkuit amigdala. Stres merupakan
suatu faktor yang penting dalam patofisiologi gangguan cemas, dan faktor genetik
memberikan risiko yang penting juga terhadap gangguan cemas. Sejumlah
penatalaksanaan tersedia untuk gangguan cemas, yang sebagian besar serupa
untuk keseluruhan spektrum gangguan cemas dan juga digunakan untuk
penatalaksanaan depresi.

36

Anda mungkin juga menyukai