Anda di halaman 1dari 21

Oleh :

Muhammad Delfin (1310070100048)

Preseptor :
dr. Sulistiana Dewi, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN JIWA RSUD SOLOK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BAITURRAHMAH
PADANG

1
SENSITISASI STRESS
Pengelolaan informasi di amigdala tidak hanya dipengaruhi
oleh susunan genetika melainkan juga oleh faktor lingkungan.
Interaksi keduanya dapat menimbulkan gangguan psikiatri.
Hipotesis untuk penyebab gangguan psikiatri, terutama
gangguan cemas dan episode depresi mayor adalah hipotesis
sensitisasi stres. Gagasan ini adalah bahwa sirkuit yang rentan
mungkin terbentuk tidak hanya oleh gen namun juga oleh
stresor lingkungan yang spesifik berupa kekerasan terhadap
anak. Stresor masa kanak, bahkan bagi mereka yang terlahir
dengan sirkuit otak yang normal, dapat bertindak untuk
meningkatkan risiko untuk mengalami gangguan cemas atau
depresi ketika individu ini terpapar pada beberapa stresor di
kehidupan dewasa, begitu pula dengan kerentanan gen yang
dapat meningkatkan risiko untuk gangguan cemas atau
episode depresi mayor.
Stress tidak selalu merupakan hal yang buruk

Ketika stres tidak berlebihan, kronis, atau terjadi karena


beberapa stresor secara bersamaan, maka ia akan
mengaktifkan sirkuit sebagaimana ia mengolah stres.
Namun kemudian ketika stresor trauma emosional
dihentikan, sirkuit kembali ke nilai aktivasi yang normal.
Faktanya, semua stres di masa kanak tidaklah merupakan
hal buruk. Pada hewan eksperimental, telah terbukti
bahwa paparan terhadap stres ringan pada masa bayi
bahkan dapat mengubahh pada hewan untuk lebih
kurang reaktif terhadap stres dibandingkan dengan
hewan yang tidak terpapar stres pada masa bayi . Oleh
karena itu, stres ringan sebenarnya dapat
mendesensitisasi sirkuit ke stres selanjutnya dan
menghasilkan suatu ketahananyang berbasis pengalaman.
Gambar 14-34. Paparan dini terhadap stres. Adalah hal yang
memungkinkan bahwa stres yang dialami oleh seseorang pada waktu
awal kehidupan mempengaruhi bagaimana sirkuit berkembang dan
oleh karena itu bagaimana individu tertentu menunjukkan respon
terhadap stres di kehidupan di masa depan. Tidak ada stres pada
masa bayi yang dapat menyebabkan sirkuit yang memperlihatkan
aktivasi yang normal selama stres dan menyebabkan tidak adanya
peningkatan risiko untuk mengalami gangguan psikiatri.
Menariknya, stres ringan selama masa bayi sebenarnya dapat
menyebabkan sirkuit ini memperlihatkan penurunan reaktivitas
terhadap stres di kehidupan selanjutnya dan memberikan sedikit
ketahananterhadap stresor di masa dewasa. Namun, stres yang
berlebihan dan /atau kronis akibat kekerasan pada anak dapat
menyebabkan suatu sirkuit yang tersensitisasi stres yang dapat
menjadi aktif bahkan dalam keadaan tidak adanya stressor. Individu
dengan sensitisasi stres mungkin tidak memperlihatkan suatu gejala
fenotipe namun dapat berisiko tinggi untuk mengalami penyakit
mental jika terpapar dengan stresor di masa yang akan datang.
KEKERASAN PADA ANAK
stres kehidupan yang berlimpah seperti kekerasan fisik,
kekerasan emosional atau penyalahgunaan seksual
dapat secara tegas menyebabkan suatu kondisi yang
disebut sebagai sensitisasi stres. Terjadinya sensitisasi
stres menunjukkan bahwa jenis stresor tertentu yang
dialami dan berulang dari trauma emosional tidak hanya
menyebabkan aktivasi sirkuit otak melainkan juga
menyebabkan sirkuit teraktivasi secara ireversibel
walaupun ketika stresor telah dihentikan
Kekerasan anak dapat mensensitisasi sirkuit untuk
stresor di masa yang akan datang meskipun anak ini
tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda distres atau
penyakit mental pada saat paparan . Namun, pada
paparan ulangan terhadap individu yang telah
tersensitisasi stres , maka sirkuit ini akan mengalami
dekompensasi dan pasien mengalami gangguan cemas
atau episode depresi mayor
STRES DAN AKSIS HIPOTALAMUS-HIPOFISIS-
ADRENAL (HPA)

Sirkuit yang terlibat dalam sensitisasi stres tidak hanya


terdiri atas amigdala namun juga aksis hipotalamus-
hipofisis-adrenal (HPA) . Sensitisasi kedua sirkuit
tersebut dapat berkontribusi terhadap terjadinya
gangguan cemas atau episode depresi mayor sebagai
respon terhadap stres. Respon stres yang normal pada
aksis HPA adalah untuk meningkatkan pelepasan faktor
pelepas kortikotropin (CRF), hormon
adrenokortikotropik (ACTH), dan glukokortikoid hingga
stresor tersebut telah hilang, biasanya setelah waktu yang
singkat
Namun, respon stres yang abnormal dapat terjadi akibat
stres kronis dan yang tidak mengalami remisi. Pada
keadaan ini, CRF, ACTH, dan glukokortikoid semuanya
dilepaskan, sehingga konsentrasinya semakin meningkat.
Pada akhirnya, glukokortikoid dapat menyebabkan
toksik pada hipokampus akibat perubahan dalam
ekspresi gen. Glukokortikoid yang meningkat secara
persisten mungkin tidak hanya merusak hippokampus
dan menyebabkannya menjadi atropi namun juga
mencegahnya untuk menghambat aksis HPA, sehingga
menyebabkan disinhibisi aksis HPA dan peningkatan
kronis semua hormon stres HPA. Dari waktu ke waktu,
hal tersebut akan memunculkan gangguan cemas atau
episode depresi mayor.
Gambar 14-35. Stres dan aksis hipotalamus- hipofisis
adrenal (HPA). Respon stres yang normal (kiri) melibatkan
aktivasi hipotalamus dan sebagai akibatnya peningkatan faktor
pelepas kortikotropin (CRF), yang kemudian memicu
pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari hipofisis.
ACTH menyebabkan pelepasan glukokortikoid dari kelenjar
adrenal, yang memberikan umpan balik pada hipotalamus dan
menghambat pelepasan CRF, sehingga menghentikan respon
stres. Dalam keadaan stres kronis, pelepasan glukokortikoid
yang berlebihan pada akhirnya dapat menyebabkan atropi
hipokampus. Karena hipokampus menghambat aksis HPA,
atropi pada wilayah ini dapat menyebabkan aktivasi aksis HPA
secara kronis, yang dapat meningkatkan risiko mengalami
penyakit psikiatri.
PENATALAKSANAAN YANG TERBARU UNTUK STRES
DAN PERBURUKANNYA MENJADI GANGGUAN
CEMAS ATAU DEPRESI MAYOR

Respon stres yang abnormal dapat menyebabkan


peningkatan pada CRF, dan aktivitas CRF yang persisten
pada reseptor CRF1 HPA menyebabkan peningkatan
glukokortikoid yang pada akhirnya akan memunculkan
gangguan cemas atau episode depresi mayor. Dengan hal
tersebut menimbulkan hipotesis bahwa penghambatan
aktivitas CRF pada reseptor CRF1 mungkin membantu
dalam menumpulkan respon stres yang abnormal dan
juga dapat membantu untuk mengobati atau mencegah
gangguan cemas atau episode depresi mayor. Oleh
karena itu sejumlah antagonis CRF1 sedang diujikan
secara klinis dalam berbagai gangguan cemas, gangguan
depresi mayor, dan kondisi yang terkait stres lainnya.
Antagonis reseptor vasopresin ( V1 b ) pada aksis HPA
dapat menurunkan pelepasan ACTH selama reaksi stres.
Secara teori, dengan menghambat kemampuan
vasopressin untuk melepaskan ACTH dan glukokortikoid
selama stres, ini mungkin dapat mencegah komplikasi
dalam aksis HPA sehingga memperlihatkan aktivitas
terapeutik untuk mencegah atau mengobati cemas dan
depresi.
Gambar 14-36. Potensi penatalaksanaan terbaru
untuk gangguan afektif yang dipicu stres. Karena
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) merupakan
pusat pengolahan stres, ini dapat menjadi target terbaru
untuk mengobati gangguan yang diinduksi stres yang
bearda didalam aksis. Mekanisme yang sedang diteliti
mencakup antagonisme terhadap reseptor glukokortikoid,
reseptor faktor pelepas kortikotropin 1 (CRF-1), dan
reseptor vasopresin 1B.
LIGAN ALFA 2 DELTA SEBAGAI ANSIOLITIK
Dua antikonvulsan yang telah terbukti dengan mekanisme
kerja yang terbaru adalah gabapentin dan pregabalin, yang
dikenal juga sebagai ligan alfa 2 delta, karena ia berikatan
dengan subunit delta alfa 2 VSCC N dan P/Q presinaps.
Aktivitas ikatan ini menghambat pelepasan neurotransmiter
eksitatorik sepeti glutamat ketika neurotransmisi berjumlah
berlebihan (Gambar 5-37). Pada beberapa area otak, keadaan
ini menimbulkan aktivitas antikonvulsan, namun
kemungkinan di amigdala dan area korteks dari lengkung
CSTC, ligan alfa 2 delta yang sama ini dapat dihipotesiskan
berikatan pada sirkuit ansietas yang terlalu aktif, mengurangi
aktivitasnya, dan memperbaiki gejala cemas. Ligan alfa 2
delta yaitu pregabalin dan gabapentin tampak tidak memiliki
aktivitas ansiolotik, terutama pada gangguan cemas sosial dan
gangguan panik, dan telah terbukti untuk penatalaksanaan
epilepsi dan kondisi nyeri tertentu, termasuk nyeri neuropatik
dan fibromialgia
Oleh karena mekanisme kerjanya berebeda dengan
penggunaan SSRI/SNRI atau benzodiazepin sehingga
ligan alfa 2 delta dapat digunakan pada pasien yang tidak
menunjukkan hasil yang baik dengan penggunaan
SSRI/SNRI atau benzodiazepin, kombinasi kedua
golongan obat ini juga diindikasikan bila tidak terdapat
respon pada terapi dengan obat tunggal.
HIPERAKTIVITAS NORADRENEGIK DALAM
KECEMASAN

Norepinefrin merupakan neurotransmiter regulator yang


penting pada amigdala
Output noradrenergik yang berlebihan dari locus
coeruleus tidak hanya dapat menimbulkan sejumlah
manifestasi perifer dari tambahan otonom namun juga
dapat memicu sejumlah gejala-gejala sentral seperti
kecemasan dan rasa takut, mimpi buruk, keadaan
hiperarousal atau gairah yang berlebihan, flashback, dan
serangan panik .
Dihipotesiskan bahwa gejala-gejala ini dimediasi sebagian
oleh input noradrenergik yang berlebihan ke reseptor
adrenergik alfa 1 dan beta 1 di amigdala
Oleh karena itu penatalaksanaan untuk mengurangi gejala-
gejala tersebut dapat dengan penghambat adrenegik beta
ataupun penghamabat adrenergik alfa 1 seperti prazosin. Akan
tetapi antidepresan dengan sifat penghambatan reuptake
noradrenegik (yaitu, inhibitor transporter norepinefrin, atau
NET) secara umum tidak dianjurkan untuk penatalaksanaan
gangguan cemas dibandingkan dengan agen yang dengan sifat
penghambatan reuptake serotonin (misalnya, penghambatan
transporter serotonin, atau SERT), namun pada sebagian
pasien menunjukkan respon terhadap penghambat NET.
Gambar 14-39 A dan B penghambatan hiperaktivitas
noradrenergik dalam kecemasan. Hiperaktivitas
noradrenergik dapat dihambat oleh pemberian
penghambat adrenergik beta (A) atau penghambat
adrenergik alfa 1 (B), yang dapat menyebabkan
hilangnya cemas dan gejala-gejala terkait stres lainnya

Anda mungkin juga menyukai