Anda di halaman 1dari 4

HUBUNGAN STRES DAN IMUNODEFISIENSI

Nildza Kheirizzad
FKUI 2017

A. Pendahuluan
Stres adalah konsep luas yang menggambarkan respons fisiologis atau psikologis terhadap
keadaan yang menantang bagi tubuh. Pada manusia, salah satu sistem yang merespons stresor
adalah sistem imun tubuh. Beberapa aspek sistem imun manusia secara empiris dikaitkan dengan
stres–peningkatan stress dapat menurunkan sistem imun tubuh, menimbulkan suatu kondisi yang
disebut dengan imunodefisiensi. Selama stres akut berlangsung, sitokin proinflamasi akan
dilepaskan oleh tubuh dan akan menginduksi mobilisasi leukosit ke dalam aliran darah, yang
berpotensi mempersiapkan tubuh untuk cedera atau infeksi. Stres kronis yang berlangsung dari
hari ke tahun dikaitkan dengan tingkat sitokin proinflamasi yang lebih tinggi, tetapi dengan
konsekuensi kesehatan yang berpotensi berbeda.1

B. Pembahasan
Memahami fungsi tiap-tiap organ tubuh manusia adalah proses yang sangat kompleks dan penuh
dengan variabel. Sebagai contoh, obstruksi parsial pada pembuluh darah jantung dapat
menyebabkan nyeri (angina), obstruksi total aliran darah jantung berpotensi menyebabkan
kematian, sedangkan obstruksi yang berkembang lambat dapat memberikan waktu untuk
kompensasi terjadi tanpa menghasilkan manifestasi klinis. Dengan demikian tingkat timbulnya
obstruksi akan memiliki efek pada tubuh yang bervariasi. Teori serupa juga dapat dikaitkan
dengan hubungan dengan efek stres pada kesehatan. Kasus stres akut vs kronis, stres ringan vs
ekstrim, akan menimbulkan efek yang berbeda pada tubuh. Selain itu, fungsi dasar organ juga
merupakan variabel penting. Contohnya, apabila jantung memiliki kelainan bawaan,
kerentanannya akan meningkat, sehingga gangguan yang mungkin tidak berdampak pada jantung
normal dapat menyebabkan masalah pada jantung dengan kelainan bawaan. Sistem saraf pusat
(otak) harus dilihat dengan cara yang sama. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh fase in
utero dan masa-masa awal kehidupan.2
Studi-studi telah menunjukkan hubungan antara stres yang dialami oleh wanita hamil dengan
kesehatan mental dan fisik keturunannya. Dengan demikian, penting untuk mengetahui bahwa
respons ibu terhadap stres adalah salah satu faktor dalam menentukan karakteristik dasar otak
janin, yang dipengaruhi oleh durasi stres selama kehamilan. Telah dilaporkan bahwa fase kritis
pada kehamilan yang lebih mampu mengubah perkembangan janin ketika ditimpa stress adalah
antara 18–33 minggu. Aktivasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) yang diinduksi oleh
stresor dapat berkontribusi pada keterkaitan antara stres, durasi kehamilan, dan berat lahir bayi.
Selama kehamilan normal, kadar kortisol memang secara bertahap meningkat, terutama selama
trimester ketiga, menjadi 2-3 kali lipat. Namun, apabila stresor lain menginduksi kenaikan kadar
kortisol di luar dari yang seharusnya, akan terjadi penurunan imunitas pada ibu hamil dan
dilaporkan bahwa kadar kortisol tinggi juga berpengaruh pada perkembangan otak janin, terutama
perubahan pada struktural otak di komisura anterior dan amigdala.3
Stres prenatal telah dikaitkan dengan perubahan kesehatan fisik berikut pada keturunannya:4
 Perubahan karakteristik sindrom metabolik (Indeks Massa Tubuh, rasio pinggang-
pinggul, tekanan darah diastolik, insulin plasma insulin, trigliserida, kolesterol HDL dan
LDL);
 Kadar kolesterol total yang lebih tinggi pada pria;
 Kenaikan resistensi insulin dan kemungkinan diabetes tipe 2;
 Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis;
 Peningkatan kadar kortisol;
 Peningkatan risiko psikopatologi, termasuk kecemasan, depresi, skizofrenia, dan
keinginan untuk bunuh diri;
 Penurunan fungsi kognitif.
Anak dari ibu yang mengalami depresi saat hamil akan berisiko lebih tinggi untuk gejala
kesehatan mental ketika mereka dievaluasi di umur 6-7 tahun. Belum jelas apakah keterkaitan ini
disebabkan oleh pengaruh hormon ibu yang depresi yang melintasi plasenta atau efek kondisi ibu
yang kurang mumpuni untuk membesarkan anak. Masalah perilaku seorang anak pada usia 4
tahun dapat dipengaruhi oleh tingkat stres orang tua yang dilaporkan pada usia 1, 2, dan 3 tahun.
Hubungan lain yang menunjukkan hubungan antara psikologi dan fisiologi juga ditemukan dalam
peningkatan kerentanan terhadap penyakit seperti asma, alergi, dan penyakit autoimun, infeksi
virus pernapasan atas, dan onset atau eksaserbasi penyakit autoimun karena penurunan limfosit
tubuh ditemukan pada kondisi stress yang meningkat. 5
Secara umum, penelitian menemukan bahwa stres berhubungan dengan perubahan jumlah
leukosit dalam sirkulasi serta dan perubahan jumlah antibodi dalam darah. Ditemukan penurunan
yang relatif besar dalam proliferasi limfosit dan aktivitas sel Natural Killer (NK) pada individu
yang telah mengalami stres. Semakin lama stres, semakin besar penurunan jumlah limfosit.
Ditemukan juga bahwa stres interpersonal (seperti berkabung atau bercerai) menghasilkan
penurunan imunitas yang lebih signifikan dibandingkan dengan stres karena ujian atau
pengangguran. Dalam kasus mekanisme fisiologis, stres dikaitkan dengan aktivasi beberapa
sistem, termasuk aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan sistem saraf simpatik. Aktivasi kedua
jalur ini menghasilkan peningkatan kadar hormon spesifik dalam darah, yaitu kortisol dan
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin). Kadar hormon-hormon ini dalam darah berhubungan
dengan penurunan proliferasi limfosit dan aktivitas sel NK. Hormon lain yang dilepaskan di
bawah tekanan–seperti growth hormone, prolaktin, dan opiat alami (beta-endorphin dan
enkephalin)–juga terlibat dalam mempengaruhi sistem kekebalan tubuh.6
Stres dapat "masuk ke dalam tubuh" dan memengaruhi respons imun tubuh dengan beberapa
cara:7

2
1. Pertama, stres kronis akan membuat imunitas spesifik shifting, yang awalnya
menggunakan kekebalan seluler (Th1) dan beralih menuju kekebalan humoral (Th2).
Aksis HPA akan memproduksi hormon stress, seperti epinefrin, norepinefrin, kortisol,
prolaktin, growth hormone, peptides melatonin, β-endorphin, dan enkephalin. Hormon-
hormon ini berikatan dengan reseptor di limfosit.
2. Kedua, coping mechanism beberapa orang ketika menghadapi kejadian-kejadian yang
membuat mereka tertekan sangat variatif, namun beberapa berujung pada alkoholisme dan
perubahan pola tidur, yang tentu saja akan memengaruhi sistem imun.
Stres kronis yang terbukti secara signifikan menimbulkan efek di atas adalah keadaan berkabung.
Dukacita dikaitkan dengan penurunan sitotoksisitas sel NK. Kehilangan—pemisahan ibu pada
hewan bukan manusia dan kematian pada manusia—umumnya juga dikaitkan dengan
peningkatan kortisol. Kortisol mencegah pelepasan sitokin dalam tubuh yang menyebabkan
peradangan, maka dari itu, kortikosteroid digunakan untuk mengobati kondisi akibat terlalu
aktifnya reaksi antiinflamasi (terutama pada alergi). Kortisol akan menghambat produksi IL 2,
IL-12, IFN-gamma, IFN-alpha, dan TNF-alpha yang diproduksi oleh antigen-presenting cells
(APC) dan sel T helper (Th) 1, namun meningkatkan IL-4, IL-10, dan IL-13 oleh sel Th2.
Perbedaan sel Th1 dan Th2 adalah sel Th1 cenderung menghasilkan respons terhadap parasit
intraseluler seperti bakteri dan virus, sel Th2 menghasilkan respons imun terhadap cacing dan
parasit ekstraseluler lainnya. Kortisol juga menurunkan proliferasi limfosit dan aktivitas sel NK,
walaupun mekanismenya belum diketahui.7

C. Kesimpulan
Hubungan stres dan penurunan efektivitas sistem tubuh, atau imunodefisiensi, melibatkan banyak
variabel. Kondisi psikologis ibu saat mengandung, asuhan pada masa kanak-kanak, ada/tidaknya
duka yang mendalam ketika orang terdekat meninggal, dan coping mechanism saat stres terjadi
adalah variabel-variabel yang memengaruhi hubungan stress dan imunitas tubuh ini. Hormon
stres yang utama adalah kortisol. Kortisol akan menghambat aktivitas Th1, menurunkan
proliferasi limfosit secara umum, dan menurunkan aktivitas sel NK. Pada pemicu, seorang balita
4 tahun mengalami imunodefisiensi. Balita tersebut memiliki orang tua yang cerai ketika ia masih
sangat kecil dan ibunya meninggal 1 tahun lalu. Walaupun belum diketahui bagaimana balita ini
menghadapi stresor tersebut, namun kejadian-kejadian di atas mungkin memengaruhi sistem
imunnya akibat kesedihan yang mendalam dan tidakadanya sosok orang tua dan keluarga yang
utuh di masa emas pertumbuhannya. Analisis terkait kondisi psikologis balita tersebut perlu
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rabin B. Stress: a system of the whole. Psychoneuroimmunology. 2017;4(3):709-22.
2. Edwards KM, Burns VE, Reynolds T, Carroll D, Drayson M, Ring C. Acute stress exposure prior
to influenza vaccination enhances antibody response in women. Psychoneuroimmunology.
2016;2(5):159-68.

3
3. Morey J, Boggero I, Scott A, Segerstrom S. Current directions in stress and human immune
function. Curr Opin Psychol. 2015;5(7):13-7.
4. Segerstrom S, Miller G. Psychological stress and the human immune system: A meta-analytic
study of 30 years of inquiry. Psychol Bull. 2014;130(4):601-30.
5. Redwine L. Differential immune cell chemotaxis responses to acute psychological stress in
Alzheimer caregivers compared to non-caregiver controls. Psychosom Med. 2014;66(2): 770-5.
6. Bae Y, Shin E, Bae Y, Eden WV. Stress and immunity. Front Immunol. 2019;10(24):1-10.
7. Dhabhar FS. Enhancing versus suppressive effects of stress on immune function: implications for
immunoprotection and immunopathology. Neuroimmunomodulation. 2009;16(5):300–17.

Anda mungkin juga menyukai