Anda di halaman 1dari 30

PERAN PUSAT OTAK DALAM STRES DAN ADAPTASI: ALLOSTASIS,

PENYEMATAN BIOLOGIS, DAN PERUBAHAN KUMULATIF

BS McEwen

ABSTRAK

Otak merupakan organ Pusat dari stres dan adaptasi karena ia mampu merasakan apa yang
mengancam dan menentukan respons perilaku dan fisiologis. Sirkuit otak dapat diubah oleh
stres dengan mengatur kecemasan dan suasana hati secara mandiri untuk melakukan memori
episodic dan working memory, serta fungsi eksekutif dan pengambilan keputusan. Otak
mengatur tubuh melalui sistem neuroendokrin, otonom, imun, dan metabolisme, dan mediator
pada sistem tersebut dan yang ada di dalam otak dan organ lain mengaktifkan program
epigenetik yang mengubah ekspresi informasi genetik sehingga mengubah fungsi seluler dan
organ. Sementara respons aktif awal terhadap stresor mendorong adaptasi ("allostasis"), dapat
menyebabkan perubahan kumulatif (misalnya, peningkatan lemak tubuh, hipertensi) akibat
paparan terhadap stres kronis dan menghasilkan perilaku tidak sehat ("beban allostatik") yang
dapat menyebabkan penyakit, misalnya diabetes, penyakit kardiovaskular ("overload
allostatik"). Selain menyematkan pengalaman kehidupan awal, stressor yang paling ampuh
merupakan stressor yang timbul dari lingkungan sosial dan fisik yang dapat mempengaruhi
otak dan tubuh. Perbedaan status sosial ekonomi mencerminkan beban kumulatif untuk
beradaptasi dengan keterbatasan sumber daya, toxic environment, dan peristiwa hidup yang
negatif, serta perilaku yang merusak kesehatan yang mengakibatkan aktivasi kronis sistem
fisiologis yang dapat menyebabkan beban alostasis dan overload. Bisakah campur tangan kita
mengubah perkembangan yang disebabkan oleh stress? Setelah berhasil menjelaskan
pandangan baru terkait epigenetik yang meniadakan gagasan lama bahwa "biologi adalah
takdir," bab ini merangkum beberapa mekanisme seluler, molekuler, dan neuroendokrin
sebagai efek stres pada otak dan tubuh. Kemudian akan dibahas terkait pendekatan integratif
atau “top down” menggunakan perilaku intervensi yang memanfaatkan peningkatan
kemampuan plastisitas otak. Pada tingkat masyarakat, kebijakan pemerintah dan sektor
swasta mempengaruhi kesehatan secara langsung atau tidak langsung dan perlu diarahkan
untuk memungkinkan orang membuat pilihan yang dapat meningkatkan peluang mereka
untuk hidup sehat.
PENDAHULUAN

"Stres" adalah kata yang dapat selalu timbul pada hampir semua hal kita lakukan.
Namun kata "stres" itu ambigu dan kita lupa bahwa “hormon stres” utama yaitu kortisol,
yang sering dikaitkan dengan hasil yang buruk, sebenarnya merupakan mediator penting bagi
tubuh dan otak untuk dapat beradaptasi dengan siklus diurnal, serta pengalaman yang kita
sebut stres. Tinjauan menyajikan kerangka kerja konseptual untuk memahami aspek protektif
dan buruk dari mediator adaptasi seperti kortisol dalam perspektif perjalanan hidup yang
menekankan penyematan biologis dari pengalaman awal kehidupan terkait perubahan yang
kumulatif.

Perspektif ini juga mendorong kemungkinan intervensi untuk mencegah atau


memperbaiki efek negatif dari stresor. Pada pandangan ini, otak merupakan organ pusat stres
dan adaptasi karena ia dapat merasa terancam dan dapat menentukan respon perilaku dan
fisiologis (Gambar 1). Sirkuit otak diubah oleh stres sehingga mengubah kemampuan untuk
mengatur kecemasan dan suasana hati, untuk melakukan memori episodic dan working
memory, serta fungsi eksekutif dan pengambilan keputusan. Otak mengatur tubuh melalui
sistem neuroendokrin, otonom, kekebalan, dan metabolisme, dan mediator sistem ini dan
yang ada di dalam otak dan organ lain akan mengaktifkan program epigenetik yang
mengubah ekspresi informasi genetik terkait seluler dan fungsi organ.

GAMBAR 1. Respon stress dan perkembangan beban alostasis. Persepsi stres dipengaruhi
oleh pengalaman, genetik, dan perilaku seseorang. Lingkungan sosial dan fisik memberikan
stresor yang memerlukan adaptasi melalui proses epigenetik. Ketika otak merasa sebuah
pengalaman sebagai stres, respons fisiologis dan perilaku akan dimulai, yang mengarah ke
allostasis dan adaptasi. Seiring waktu, beban alostasis dapat terakumulasi, dan paparan
berlebihan terhadap mediator stres pada sistem saraf, endokrin, dan kekebalan tubuh dapat
memiliki efek buruk pada berbagai sistem organ, termasuk otak, dan menyebabkan penyakit.
Dari daftar pustaka 1 dengan izin.

Selain pengaruh perkembangan yang terkait dengan interaksi orang tua-bayi dan
kualitas pengalaman hidup awal yang menyebabkan efek jangka panjang ("penyematan
biologis"), salah satu pengaruh yang paling kuat saat beranjak dewasa adalah pengaruh dari
keluarga, lingkungan, tempat kerja, dan paparan peristiwa lokal, nasional, dan internasional
yang ada di media dapat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan otak dan tubuh
terhadap berbagai penyakit.

Tatanan sosial dalam masyarakat manusia berhubungan dengan tingkat keparahan


penyakit, dimana frekuensi mortalitas dan morbiditas akan meningkat bila tingkat pendapatan
dan pendidikan juga semakin menurun (status sosial ekonomi, SES;
http://www.macses.ucsf.edu/). Meskipun penyebab perbedaan tingkat kesehatan ini sangat
kompleks, mereka mungkin mencerminkan penurunan SES, beban kumulatif untuk
mengatasi keterbatasan sumber daya, toxic environment, lingkungan hidup yang penuh
tekanan dan peristiwa hidup yang negatif, serta perbedaan perilaku yang terkait dengan
kesehatan (alias "gaya hidup"), dan mengakibatkan aktivasi kronis dari sistem fisiologis yang
terlibat dalam adaptasi (http://www.macses.ucsf.edu/) yang menyebabkan overload allostatik,
seperti yang akan dibahas di bawah ini.

Otak melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan fisik dan sosial melalui
sistem otonom, neuroendokrin, dan imun, serta melalui respons perilaku seperti berkelahi
atau melarikan diri, serta tanggapan yang dapat memperbaiki atau merusak kesehatan.
Adaptasi terhadap peristiwa yang menimbulkan stress atau perubahan lingkungan merupakan
proses aktif yang melibatkan keluarnya mediator seperti neurotransmiter dan modulator, serta
berbagai hormone, sitokin dan kemokin dari sistem kekebalan tubuh. Tujuan dari adaptasi ini
adalah untuk mempertahankan homeostasis dan meningkatkan kelangsungan hidup
organisme. Namun, proses adaptasi juga menghasilkan wear and tear yang tak terelakkan
pada tubuh dan otak. Wear and tear ini dapat diperberat dengan peristiwa yang penuh
tekanan dan/atau jika terjadi disregulasi mediator yang biasanya mendorong adaptasi.
Deskripsi dan analisis skenario ini memerlukan beberapa terminologi baru, seperti alostasis,
dan penyempurnaan dari beberapa terminologi klasik, seperti homeostasis dan stres, yang
akan kita diskusikan sebelum menjelaskan peran sentral otak, plastisitasnya serta
kemampuannya untuk berubah. Kami memulai diskusi ini dengan merangkum konsep-konsep
yang berkaitan dengan homeostasis.

POIN PENTING

 Alostasis dan overload atau beban alostasis merupakan konsep biologis yang lebih
tepat daripada "stres" untuk dijelaskan adaptasi dan maladaptasi terhadap “stres” dan
istilah tersebut juga menjelaskan efek fisiologis dari promosi kesehatan dan perilaku
yang memperburuk kesehatan juga sebagai pengalaman yang penuh dengan tekanan.
 “Stres yang baik”, “stres yang dapat ditoleransi”, dan “toxic stress” merupakan istilah
yang lebih baik daripada istilah "stress." Overload alostasis merupakan konsekuensi
dari toxic stress.
 Terdapat beberapa mediator alostasis yang saling berinteraksi secara nonlinier.
 Otak merupakan target mediator stres dan alostasis. Respon otak secara epigenetik
akan mempengaruhi arsitekturnya serta fungsi neurokimia melalui mekanisme
genomik dan non-genomik.
 Perubahan ekspresi gen yang diatur secara epigenetik terjadi seiring dengan
pengalaman.
 Peristiwa di awal kehidupan yang buruk menyebabkan perubahan jangka panjang di
otak dan tubuh, meningkatkan kerentanan terhadap pengalaman selanjutnya yang
meningkatkan overload alostasis dan berkontribusi pada beban perawatan kesehatan
yang tidak proporsional.
 Otak yang sehat lebih tangguh terhadap stres; kurangnya ketahanan mencirikan
kecemasan, gangguan depresi dan proses penuaan otak, tetapi hal ini dapat diobati.
 Selain kebutuhan mendesak untuk pencegahan, intervensi untuk mengurangi overload
atau beban alostasis seperti terapi farmakologis atau perilaku (misalnya, aktivitas
fisik) akan membuka "jendela plastisitas" sebagai target intervensi perilaku untuk
mengubah arsitektur dan fungsi otak.
 Kebijakan pemerintah dan swasta, seperti target program masyarakat, dapat
menciptakan kondisi yang mendorong ketahanan dan mencegah atau mengurangi efek
dari kesulitan yang dialami di awal kehidupan.
HOMEOSTASIS, ALOSTASIS, BEBAN ALOSTASIS DAN OVERLOAD ALOSTASIS

Karakteristik Sistem Homeostatik

Homeostasis mengacu pada kemampuan organisme untuk menjaga lingkungan


internal tubuh di dalam batas yang memungkinkannya untuk bertahan hidup. Homeostasis
juga mengacu pada proses pengaturan diri untuk mengembalikan sistem tubuh dalam keadaan
kritis ke set poin dalam rentang yang sempit, konsisten dengan kelangsungan hidup
organisme. Homeostasis berkembang sangat baik pada hewan berdarah panas yang hidup di
darat, yang harus menjaga suhu tubuh, keseimbangan cairan, pH darah, dan tekanan oksigen
dalam batas yang agak sempit, sementara pada saat yang sama perlu memperoleh nutrisi
untuk menyediakan energi untuk mempertahankan homeostasis. Mempertahankan
homeostasis membutuhkan energi. Energi digunakan untuk bergerak saat hewan mencari dan
mengkonsumsi makanan dan air, untuk menjaga suhu tubuh melalui pelepasan kalori
terkontrol yang didapatkan dari metabolisme makanan atau simpanan lemak, dan untuk
mempertahankan fungsi membran sel melalui penyerapan elektrolit di ginjal dan usus serta
mempertahankan pH darah agar tetap netral. Homeostasis juga mengacu pada mekanisme
pertahanan tubuh seperti termasuk refleks protektif seperti menghirup partikel ke dalam paru-
paru, refleks muntah untuk melindungi dari bahan beracun dari esofagus atau lambung,
refleks kedipan mata, dan respons withdrawal terhadap panas atau nyeri. Ada juga pertahanan
melawan patogen melalui kekebalan bawaan dan didapat, yang terakhir dapat dirangsang oleh
stres akut melalui kortisol dan adrenalin serta dihambat oleh stres kronis dan kadar kortisol.

Kebutuhan untuk fokus kembali

Namun, terdapat sebuah paradoks dan masalah dengan gagasan bahwa set point akan
selalu dipertahankan, seperti dalam kasus obesitas. Masalah lain terkait "homeostasis" adalah
secara harfiah ia merupakan konsep yang agak statis, mirip dengan gagasan keseimbangan
dalam termodinamika klasik, sedangkan dalam kehidupan nyata, organisme mengalami
perubahan set point dimana ia mempertahankan stabilitas dalam periode waktu yang terbatas.
Selain itu, tidak seperti sistem termodinamika klasik tertutup, mahluk hidup merupakan
sistem terbuka dimana energi dan materi mengalir masuk dan keluar, dengan ekuilibrium
digantikan oleh steady state.
Cannon mengenali ini dan menggunakan istilah steady state bahkan menyarankan
bahwa "homeodinamika" mungkin merupakan istilah yang lebih baik daripada
"homeostasis." Masalah yang sama juga diakui oleh sejumlah penulis. Nicolaides
memperkenalkan istilah "homeorheusis", dimana "stasis" diganti dengan "rheusis," yang
berarti "sesuatu yang mengalir". Mrosovsky memperkenalkan "rheostasis" dimana, pada satu
saat, pertahanan homeostatis masih ada tetapi dalam rentang waktu akan ada perubahan pada
tingkatan yang telah diatur, atau set point suatu sistem. Mrosovsky menganggap konsep ini
menguntungkan dalam menjelaskan bagaimana organisme menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungan seperti musim dalam setahun dengan menyimpan lemak tubuh atau
mengubah fisiologi reproduksi, dan dia percaya bahwa "rheostasis" memungkinkan plastisitas
fisiologis yang terlibat dalam evolusi.

Apa itu Stres?

Kata dan konsep "stres" diperkenalkan oleh Hans Selye dengan penekanan pada stres
fisik seperti sebagai cedera fisik, panas, dan dingin dan kemudian dimodifikasi menjadi stres
psikologis oleh John Mason. "Stres" adalah kata yang sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari dan memiliki beberapa arti. Dalam dunia biomedis, stres sering mengacu pada
situasi dimana glukokortikoid adrenal dan katekolamin meningkat karena suatu kejadian—
oleh karena itu sering diasosiasi secara negatif dengan "stres buruk". Stres juga merupakan
pengalaman subjektif yang mungkin sesuai atau tidak sesuai dengan respons fisiologis, dan
kata stres banyak digunakan dalam berbagai bahasa sebagai bagian dari pembicaraan sehari-
hari. Ada "stres baik" dan "stres buruk," dan orang-orang berbicara tentang stres buruk bila
menggunakan kata "menjadi stres."

Stres dapat didefinisikan sebagai ancaman nyata atau ditafsirkan sebagai ancaman
terkait integritas fisiologis atau psikologis yang menghasilkan respons fisiologis dan/atau
perilaku. Namun hal ini menghasilkan tiga arti yang berbeda “Stres yang baik” mengacu pada
peningkatan tantangan, seperti harus memberikan pidato atau mengikuti ujian, dan merasa
dihargai bila hasilnya memuaskan sementara "stres buruk" memiliki dua bentuk yaitu stress
yang dapat ditoleransi dan toxic stress. “Stres yang dapat ditoleransi” mengacu pada
pengalaman hidup yang dapat diatasi dan diadaptasi karena seseorang memiliki dukungan
internal dan eksternal yang cukup. "Toxic stress” merupakan pengalaman hidup saat
seseorang tidak memiliki sumber daya dan dukungan internal serta eksternal yang memadai.
Sebagai akibatnya, individu tersebut mengalami gangguan fisik dan mental. Memang, stres
adalah kondisi pikiran dan salah satu faktor yang mempengaruhi ekspresi penyakit antar
individu dan tidak hanya mencerminkan peristiwa besar dalam hidup, tetapi konflik dan
tekanan hidup sehari-hari yang melalui aktivasi sistem fisiologis juga dapat menyebabkan
stres kronis kumulatif pada otak dan tubuh yang dapat disebut sebagai "beban dan overload
alostasis" (Lihat di bawah). Pandangan ini sesuai dengan uraian baru-baru ini terkait
penggunaan kata 'stres' dan arti yang seharusnya: “Kami mengusulkan bahwa istilah 'stres'
seharusnya terbatas pada kondisi dimana tuntutan lingkungan melebihi kapasitas suatu
organisme, dalam situasi tertentu yang terdiri dari ketidakpastian dan kondisi yang tidak
dapat dikendalikan.”

Beban ini lebih besar pada kondisi "toxic stress" daripada di stres yang “dapat
ditoleransi”, mencerminkan tidak hanya dampak dari pengalaman hidup tetapi juga variasi
genetik; perilaku individu yang berhubungan dengan kesehatan seperti diet, olahraga, tidur
dan penyalahgunaan zat, dan modifikasi epigenetik dalam perkembangan dan sepanjang
hidup yang mengatur pola perilaku dan reaktivitas fisiologis seumur hidup baik melalui
penyemarans biologis dan perubahan secara kumulatif. Epigenetika merupakan cara yang
populer untuk menggambarkan interaksi lingkungan dan gen melalui mekanisme molekuler
yang tidak mengubah kode genetik melainkan mengaktifkan, menekan, dan memodulasi
ekspresi gen. Memang, epigenetika menyangkal gagasan bahwa "biologi itu takdir" dan
membuka peluang baru untuk kolaborasi antara ilmu biologi, perilaku, ilmu sosial dan
perawatan preventif serta paliatif.

Bertindak secara epigenetik, hormon yang terkait dengan stres melindungi tubuh
dalam jangka pendek dan meningkatkan adaptasi (allostasis), tetapi, dalam jangka panjang,
stres kronis menyebabkan perubahan pada otak dan tubuh yang dapat menyebabkan
perubahan seperti akumulasi lemak tubuh (beban allostasis) atau penyakit seperti diabetes
dan penyakit kardiovaskular (allostatic overload) (Gambar 1). Seperti yang akan dibahas di
bawah ini, sirkuit otak memiliki plastisitas dan dapat berubah dengan stres dan pengalaman
lain yang dapat mengubah keseimbangan antara kecemasan, pengaturan diri termasuk kontrol
suasana hati dan impulsivitas, memori, dan pengambilan keputusan. Perubahan tersebut
mungkin memiliki nilai adaptif dalam bahaya namun bila terjadi secara terus menerus dan
kurangnya reversibilitas pada otak yang tidak tangguh bisa menjadi maladaptif.
Stresor dan Respons Stres

Stres melibatkan stresor dan respons stres. Sebuah stresor dapat berupa fisik, seperti
trauma, cedera, atau aktivitas fisik, terutama ketika tubuh dipaksa untuk beroperasi di luar
kapasitasnya. Stresor fisik lain meliputi kebisingan, kepadatan penduduk, panas atau dingin.
Stresor juga mencakup pengalaman psikologis seperti tugas-tugas dengan tekanan waktu,
konflik antarpribadi, kejadian tak terduga, frustrasi, isolasi dan kesepian, dan peristiwa
kehidupan traumatis, dan semua jenis stresor di atas dapat menghasilkan respons perilaku dan
menimbulkan konsekuensi fisiologis seperti peningkatan tekanan darah, denyut jantung,
kadar kortisol, gangguan fungsi kognitif, dan perubahan metabolisme, serta kecemasan dan
depresi.

Respons perilaku terhadap stresor dapat menurunkan risiko dan keluarkan individu
dari masalah atau melibatkan aktivitas yang dapat meningkatkan kondisi kesehatan seperti
diet yang baik dan olahraga teratur, tetapi juga dapat mencakup respons yang memperburuk
konsekuensi fisiologis, misalnya perilaku yang merusak diri seperti merokok, minum dan
makan berlebihan, atau perilaku berisiko seperti mengendarai mobil sembarangan. Respons
stres fisiologis mencakup mencakup aktivasi sistem saraf otonom dan aksis hipotalamus-
hipofisis-adrenal (HPA; hypothalamo-pituitary-adrenal), menyebabkan peningkatan kadar
katekolamin dan glukokortikoid dalam darah dan jaringan. Respons fisiologis ini memiliki
efek protektif dan efek merusak (lihat bagian terkait Allostasis dan Beban Alostasis dan
Overload Alostasis).

Terdapat dua peran penting dari respons stres fisiologis: yang pertama melibatkan
aktivasi respon yang memadai untuk menghadapi tantangan. Kedua menginaktivasi respons
saat tidak lagi diperlukan (Gambar 2). Mediator fisiologis dari respon stres, yaitu katekolamin
dari sistem saraf simpatis dan glukokortikoid dari korteks adrenal, memulai peristiwa seluler
yang mendorong perubahan adaptif pada sel dan jaringan di seluruh tubuh dengan tujuan
melindungi organisme dan meningkatkan kelangsungan hidup. Namun, terlalu banyak
tekanan, atau respons akut terhadap stres yang tidak efisien dapat menyebabkan wear and
tear dan memperburuk proses penyakit.

Perbedaan Individual
Terdapat perbedaan individual yang sangat besar terkait penafsiran dan tanggapan hal
yang menjadi stres, serta perbedaan kerentanan individu terhadap penyakit, dimana stres
mungkin memainkan peran. Predisposisi genetik dapat meningkatkan risiko terhadap
gangguan tertentu. Selain itu, proses perkembangan, seperti stres prenatal atau pengalaman
mengasuh pasca melahirkan dapat berkontribusi pada respons perilaku dan fisiologis terhadap
stresor sepanjang hidup seseorang. Selanjutnya, pengalaman sepanjang hidup yang
menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan atau situasi yang menyenangkan bersama
dengan pengaruh dari genetik dan perkembangan dapat menghasilkan perbedaan respon
terhadap stress antar individu dan konsekuensi jangka panjang mungkin dialaminya. Kami
saat ini mempertimbangkan dua istilah, allostasis dan beban atau overload alostasis untuk
menghilangkan ambiguitas dalam penggunaan kata stres dalam berbagai cara dan waktu,
menyoroti peran bifasik dari mediator adaptasi fisiologis yang juga dapat berkontribusi pada
patofisiologi.

Allostasis

Allostasis berarti “mencapai stabilitas melalui perubahan”; hal ini diperkenalkan oleh
P. Sterling dan J. Eyer pada tahun 1988. Allostasis mengacu kepada proses yang mengatur
hemoestatis, seperti yang telah di definisikan diatas, dan menyadari bahwa “titik tetap” dan
batasan kontrol lainnya dapat berubah dengan kondisi lingkungan. Terdapat mediator utama
dari allostasis seperti, tapi tidak terbatas kepada hormon HPA axis, catecholamines, sistem
syaraf parasympathetic, serta pro- dan anti-inflammatory cytokines. Yang mana hal ini
beroperasi sebagai jaringan non-linear yang mana perubahan output dari masing-masing
mediator mempengaruhi output dari mediator lainnya.. Allostasis juga mengklarifikasi
ambiguitas yang melekat pada istilah homeostasis dan dapat membedakan antara sistem yang
penting bagi kehidupan (homeostasis) dan menjaga keseimbangan sistem ini (allostasis).
Sistem allostatic memungkinkan suatu organisme untuk merespon keadaan fisiknya (cth:
bangun, tidur, terlentang, berdiri, berolahraga) dan juga untuk mengatasi kebisingan,
keramaian, isolasi, rasa lapar, suhu yang ekstrim ancaman fisik, stres fisiologis, dan juga
infeksi mikroba ataupun infeksi parasit.

Allostatic States
Sebuah keadaan allostatic mengacu kepada mengubah dan mempertahankan tingkat
aktivitas dari mediator utama, sebagai contoh, glucocorticoid, yang mengintegrasikan energi
dan yang terkait perilaku dalam menanggapi perubahan lingkungan seperti interaksi sosial,
cuaca, penyakit, ancaman predator, polusi, dll. Keadaan allostatic menghasilkan
ketidakseimbangan mediator utama yang mencerminkan kelebihan produksi dan juga
kekurangan produksi. Sebagai contoh ada hipertensi, ritme cortisol yang terganggu pada
depresi yang sudah parah atau kondisi kurang tidur yang kronis, peningkatan dari inflamasi
cytokines yang kronis dan cortisol rendah pada sindrom kelelahan kronis, ketidak
seimbangan cortisol, corticosteroid-releasing factor (CFR), dan juga cytokines dalam Lewis
rat yang meningkatkan risiko auto imun dan juga gangguan inflamasi. Allostatic dapat
dipertahankan untuk waktu yang terbatas jika terdapat asupan makanan dan memiliki energi
yang tersimpan seperti lemak, yang dapat memicu mekanisme homeostatic. (Contoh: beruang
dan hewan yang ber hibernasi lainnya yang bersiap untuk musim dingin). Jika
ketidakseimbangan berlanjut untuk waktu yang lebih lama dan menjadi tidak bergantung
terhadap pemeliharaan yang memadai cadangan energi, maka gejala dari kelebihan allostatic
akan muncul. Salah satu contoh dari hal ini adalah obesitas,

Allostatic Load dan Overload

Allostatic Load dan Allostatic Overload mengacu pada hasil kumulatif dari keadaan
allostatic. Sebagai contoh, timbunan lemak pada beruang yang bersiap menghadapi musim
dingin, burung yang bersiap untuk bermigrasi atau ikan yang bersiap untuk bertelur
merupakan hewan-hewan yang mengalami allostatic load. Hal ini merupakan kondisi yang
sangat menguntungkan dan juga adaptif, yang dapat dianggap sebagai hasil dari rutinitas
harian atau musiman yang digunakan oleh organisme untuk mendapatkan makanan dan juga
bertahan hidup, serta mendapatkan energi ekstra yang dibutuhkan untuk bermigrasi, berganti
kulit, dan juga berkembang biak. Dalam batasan-batasannya, mereka merupakan respon-
respon adaptif terhadap gelombang laut dan hal lainnya. Namun, apabila seseorang
melapiskan pada beban tambahan dari peristiwa yang tak terduga ini pada lingkungan,
penyakit, dan gangguan manusia (teruntuk hewan di alam liar), dan juga interaksi sosial,
maka allostatic load dapat meningkat secara dramatis dan dapat menjadi allostatic overload
yang dapat berubah menjadi kondisi pathophysiologic.
Terdapat dua hasil yang berbeda dari keadaan allostatic dalam hal allostatic load.
Yang pertama, jika kebutuhan energi melebihi asupan energi, dan juga melebih apa yang bisa
dimobilisasi dari perbekalan, maka terjadi allostatic type 1. Sebagai contoh, burung yang
berkembangbiak menggunakan sumber makanan yang berlimpah di musim semi untuk
bereproduksi dan membesarkan anak mereka. Jika kemudian cuaca berubah menjadi buruk,
maka hal ini akan meningkatkan biaya pemeliharaan homeostasis dan allostatic load dari
pembiakan (breeding), dan pada saat yang sama dapat mengurangi makanan yang tersedia
untuk bahan bakar allostatic load, sehingga keseimbangan energi negatif akan terjadi dalam
kehilangan massa tubuh dan penekanan reproduksi, sebagian melalui sekresi cortisol. Kedua,
jika sumber energi tidak tercukupi dan organisme terus menerima ataupun menyimpan energi
yang dibutuhkan, mungkin sebagai akibat dari diet atau ketidakseimbangan metabolisme
yang mendukung diposisi lemak, maka terjadi suatu yang dinamakan allostatic overload tipe
2. Selain disposisi lemak, terdapat perubahan kumulatif lain dalam sistem yang dapat
dihasilkan dari: faktor pemicu stress yang berulang, sebagai contohnya remodelling saraf atau
hilangnya hippocampus, plak atherosclerotic, hypertrophy ventricular pada jantung kiri,
glycosylated hemoglobin dan protein lain dengan hasil akhir sebagai ukuran dari
hyperglycaemia yang berkelanjutan, high cholesterol with low high-density lipoprotein
(HDL). Peningkatan oxidative stress, peningkatan proinflammatory mediators dan juga nyeri
kronis dan kelelahan yang misalnya terjadi pada psoriasis, yang terkait dengan
ketidakseimbangan mediator imun.
Peran Dari Perilaku dalam Allostatic Overload

Antisipasi dan juga kekhawatiran juga dapat berkontribusi pada allostatic overload.
Antisipasi terlihat dalam refleks yang mencegah kita dari pingsan ketika kita bangun saat
pagi hari dan juga merupakan komponen dari kekhawatiran, kecemasan, serta persiapan
kognitif untuk ancaman. Kecemasan antisipatif dapat mendorong output mediator seperti:
ACTH, cortisol dan juga adrenalin; dengan demikian, kecemasan yang berkepanjangan dan
antisipasi kemungkinan akan menghasilkan allostatic overload. Sebagai contoh, kadar
cortisol saliva meningkat dalam 30 menit setelah bangun pada individu yang berada di bawah
tekanan psikologis yang cukup besar karena masalah pekerjaan atau keluarga. Selain itu,
ingatan yang mengganggu dari peristiwa yang traumatis (cth: PTSD) dapat menghasilkan
suatu bentuk stress internal yang kronis dan dapat mendorong respon fisiologis.

Allostasis, allostatic states, dan juga allostatic overload juga dipengaruhi oleh perilaku
yang merusak kesehatan seperti merokok, minum, asupan kalori berlebihan, pola tidur yang
jelek (terlalu banyak tidur ataupun kurang tidur), atau sebaliknya, meningkatkan perilaku
hidup sehat seperti makan makanan yang sehat, dan juga olah raga yang rutin. Perilaku-
perilaku ini merupakan bagian integral dari keseluruhan gagasan dari allostasis- bagaimana
individu dapat menghadapi tantangan dan juga berkontribusi untuk meningkatkan atau
menurunkan allostatic overload melalui jalur yang diketahui. Sebagai contoh, diet yang
mempercepat atherosclerosis dan berkembang menjadi diabetes yang tidak tergantung insulin
dengan meningkatkan cortisol, yang mengarah ke disposisi lemak dan resistensi insulin;
merokok meningkatkan tekanan darah dan juga atherogenesis. Namun, olahraga teratur dapat
melindungi seseorang terhadap penyakit kardiovaskular, mencegah diabetes, melawan
depresi dan meningkatkan pengambilan keputusan dan memori.
Fleksibilitas dan Kerentanan Pada Otak

Glucocorticoids, Stress, dan the Hippocampus

Hippocampus adalah pusat otak pertama yang lebih tinggi dan diakui sebagai target
dari adrenal steroid, dan memiliki bagian yang menonjol sebagai pintu gerbang menuju
pemahaman kita tentang bagaimana stres mempengaruhi arsitektur dan perilaku saraf.
Hippocampus mengekspresikan mineralocorticoid receptor (MR) tipe 1 dan glucocorticoid
receptor (GR) tipe 2, dan reseptor ini memediasi respon biphasic terhadap adrénal steroid di
wilayah CA1, meskipun hanya fasilitasi di dentate gyrus, namun, menunjukkan rangsangan
yang berkurang dengan tidak adanya adrenal steroid. Daerah otak lainnya seperti nukleus
paraventricular, yang kekurangan MR tetapi memiliki GR menunjukkan respons negatif
mono fasik terhadap peningkatan glucocorticoid level. Steroid adrenal memberikan efek
biphasic terhadap kemampuan eksitasi neuron hippocampus dalam jangka yang panjang.
Potensialis dan prime burst potentiation dan menunjukkan efek biphasic paralel pada memori.

Bentuk plastisitas struktural adalah permodalan ulang dendrites di hippocampus, serta


di amygdala dan korteks prefrontal. Di hippocampus, chronic restraint stress (CRS), setiap
hari selama 21 hari menyebabkan re traksi dan penyederhanaan dendrites di wilayah CA3
hippocampus. Reorganisasi dendritic seperti itu ditemukan di tikus dominan dan tikus
bawahan yang menjalani adaptasi terhadap stres psikososial dalam sistem liang yang terlihat
dan tidak tergantung pada ukuran adrenal. Hal ini juga terjadi di stres psikososial pada tikus
pohon penyusup dalam paradigma penduduk penyusup, dengan perjalanan waktu 28 hari, 30
prosedur yang tidak menyebabkan hilangnya pyramidal neuron di hippocampus.

Input dari mossy fiber ke wilayah CA# di stratum lucidum mendorong permodalan
ulang dendritic yang mengarah ke retraction apical dendrites diatas input ini. Selain itu,
thorny excrescences, giant spines dimana terminal serat berlumut membentuk synapses
mereka menunjukan modifikasi yang diinduksi stress. Dan jumlah zona aktif synaptic antara
thorny excrescences dan mossy fiber terminal dengan cepat dimodulasi selama hibernasi dan
pemulihan dari kondisi hibernasi. Thorny excrescences bukan satu-satunya tulang belakan
yang terkena CRS. Dendritic spines juga menunjukkan remodelling, dengan peningkatan
kepadatan tulang belakang dilaporkan setelah CRS pada sarang apikal neuron CA334 dan
penurunan kepadatan tulang belakang dilaporkan untuk neuron piramidal CA1.

Eksplorasi mekanisme yang mendasari remodelling dendrites dan synapses


mengungkapkan bahwa hal ini bukan ukuran adrenal atau perkiraan jumlah fisiologis stres
yang menentukan remodelling dendritic, tetapi bukan seperangkat faktor lain yang kompleks
yang memodulasi struktur saraf. Memang, setelah stress yang terjadi berulang kali, dendritic
remodelling bersifat reversibel, dan pada spesies mamalia yang ber hibernasi, dendritic
remodelling merupakan roses yang dapat dibalik dan terjadi dalam beberapa jam setelah
permulaan hibernasi di hamster eropa dan tupai tanah, dan juga reversibel dalam beberapa
jam setelah hewan bangun dari mati suri. Seiring dengan data tentang modifikasi protein
cytoskeletal pasca translasi, ini menyiratkan bahwa reorganisasi cytoskeleton berlangsung
cepat dan reversibel, dan bahwa perubahan panjang dendrites dan percabangan bukanlah
kerusakan, tetapi bentuk plastisitas struktural adaptif.

Mekanisme seluler dan molekuler yang melibatkan steroid berkontribusi pada


remodelling struktural. Secara khusus, adrenal steroid adalah mediator penting dari
remodeling neuron hippo campal selama stres berulang, dan eksogen steroid adrenal juga
dapat menyebabkan remodeling jika tidak ada dari stresor eksternal. Peran steroid adrenal
dalam hippocampus melibatkan banyak interaksi dengan sistem neurokimia termasuk
serotonin, opioid endogen, arus kalsium, reseptor gamma amino butyric acid (GABA) -
benzodiazepine, dan rangsangan asam amino. Inti dari semua interaksi ini adalah peranan dari
rangsangan asam amino, seperti glutamat. Rangsangan asam amino yang dilepaskan oleh
permainan jalur serat berlumut peran kunci dalam remodeling wilayah CA3 pocampus
pinggul, dan regulasi pelepasan glutamat oleh steroid adrenal mungkin memainkan peran
penting.

Di antara konsekuensi dari menahan stres adalah peningkatan kadar glutamat


ekstraseluler, yang mengarah ke induksi transporter glial glutamat, serta peningkatan aktivasi
faktor transkripsi nuklir, fosfo CREB. Selain itu, 21 hari CRS menyebabkan penipisan
vesicles dari mossy fiber terminals dan meningkatkan ekspresi protein presynaptic yang
terlibat dalam pelepasan vesicle. Diambil bersama-sama dengan fakta bahwa vesikel yang
tersisa di mossy fiber berada di dekat zona sinaptik aktif dan ada lebih banyak mitokondria di
terminal tikus stress yang menunjukkan bahwa CRS meningkatkan pelepasan glutamat.

Efek Stress ke Amygdala dan Korteks Prefrontal

Selain hippocampus, amigdala dan prefrontal korteks adalah target stres dan
menunjukkan plastisitas struktural setelah stres akut dan kronis. Neuron di amigdala
basolateral (BlA) memperluas dendrit setelah stres imobilisasi kronis dan meningkatkan
kepadatan tulang belakang, sedangkan neuron di amigdala medial menunjukkan tulang
belakang yang berkurang kepadatan setelah stres kronis. Perubahan terakhir tergantung pada
aktivator plasminogen jaringan yang dilepaskan oleh CRF, berdasarkan tikus tPA-ko,
sedangkan efek stres pada BlA tidak terlalu bergantung. Perubahan yang disebabkan oleh
stres ini adalah disertai dengan peningkatan perilaku seperti kecemasan dan menyarankan
bahwa stres menyebabkan reorganisasi dan disfungsi sirkuit di dalam amigdala.

Glukokortikoid dan excitatory amino acids terlibat dalam mekanisme ekspansi


dendritik di Bla dengan stres kronis, bersama dengan turunan otak faktor neurotropik
(BDNF) dan, memang, satu bolus kortikosteron (CORT) meniru efek dari 10 hari imobilisasi
kronis menyebabkan ekspansi dendrit BlA. Ekspresi berlebihan BDNF pada tikus meningkat
panjang dendritik di kedua CA3 dan BlA dan menghalangi efek stres kronis untuk
mengurangi dendritik ching ching di CA3 dan meningkatkannya di BlA. Ekspresi berlebihan
BDNF pada tikus meningkatkan panjang dendritik di kedua CA3 dan BlA dan menghalangi

efek stres kronis untuk mengurangi dendritik ching ching di CA3 dan
meningkatkannya di BlA. Selain itu, stres akut dengan penundaan 10 hari, yang
menyebabkan BlA untuk mengembangkan peningkatan kecemasan dan peningkatan
kepadatan duri di neuron BlA, menyebabkan ekspresi BDNF menjadi naik dan tetap tinggi
selama 10 hari sementara di CA3 turun setelah stres akut, tetapi melakukannya hanya untuk
sementara. Tingkat CORT meningkat setelah stres akut dan kronis dan tetap meningkat
setelah kronis, tetapi tidak setelah stress akut.

Meskipun beberapa konsekuensi langsung dari stres – peningkatan glucocorticoids


dan glutamate – adalah serupa ia amygdala dan hippocampus, mereka mengarahkan pada
pola yang kontrol dari ekspresi BDNF dan plastisitas struktural. Ini menyiratkan bahwa
mekanisme pensinyalan lebih hilir dari perubahan awal glukokortikoid dan glutamat, tetapi
hulu BDNF, mungkin memegang kunci perbedaan dampak stres di area otak ini. Yang
penting, infus BDNF ke dalam hipokampus hewan pengerat yang stres membantu melindungi
terhadap efek merusak dari stres meskipun tingkat sirkulasi yang tinggi CORT. Ini
menunjukkan bahwa BDNF bisa menjadi poin terakhir konvergensi untuk efek yang
diinduksi stres di kampus kuda nil. Pensinyalan yang dimediasi BDNF terlibat dalam stres
respons tetapi arah dan sifat pensinyalan adalah spesifik wilayah, spesifik stres, dan
dipengaruhi oleh modifikasi epigenetik bersama dengan pasca-translasi modifikasi.

Bersamaan dengan perubahan di amygdala, neuron-neuron di korteks prefrontal


medial menunjukkan penyusutan dendritic reversibel setelah stres kronis, dengan keropos
tulang belakang, yang dapat dihambat dengan memblokir N-methy-D-aspartate (NMDA)
reseptor, mirip dengan atrofi yang diinduksi stres neuron di hipokampus CA3 (lihat di atas).
Atrofi yang diinduksi stres kronis ini dikaitkan dengan defisit dalam fungsi eksekutif dan
fleksibilitas kognitif, dan stresor yang menyebabkan hal ini terjadi juga termasuk sirkadian
gangguan Sementara neuron kortikal prefrontal medial

atrofi dengan stres kronis, neuron di orbitofrontal korteks menunjukkan hipertrofi


yang mirip dengan apa yang terjadi di BLA. Inti dari semua interaksi ini adalah peranan asam
amino eksitatorik, seperti glutamat. Asam amino eksitatorik yang dilepaskan oleh jalur serat
berlumut berperan kunci dalam remodeling wilayah CA3 hipokampus, dan regulasi pelepasan
glutamat oleh steroid adrenal juga mungkin berpenting.27
Di antara konsekuensi dari pengendalian stres adalah peningkatan kadar glutamat
ekstraseluler, yang memicu induksi transporter glutamat glial, serta peningkatan aktivasi
faktor transkripsi nuklir, fosfo-CREB.43 Selain itu, 21 hari CRS menyebabkan deplesi vesikel
bening dari terminal serat berlumut dan peningkatan ekspresi protein prasinaptik yang terlibat
dalam pelepasan vesikel.44,45 Dengan memperhitungkan fakta bahwa vesikel di terminal serat
lumut tetap berada di dekat zona sinaptik aktif dan bahwa ada lebih banyak mitokondria di
terminal hewan tikus yang mengalami stres, ini menunjukkan peningkatan pelepasan
glutamat oleh CRS.44

Perluasan Efek Stres ke Amigdala dan Korteks Prefrontal

Selain hipokampus, amigdala dan korteks prefrontal merupakan suatu target stres dan
menunjukkan plastisitas struktural setelah stres akut dan kronis (Gambar 4). Neuron di
amigdala basolateral (BlA) memperluas dendrit setelah stres imobilisasi kronis dan
meningkatkan kepadatan spina,46 sedangkan neuron di amigdala medial menunjukkan
penurunan kepadatan spina setelah stres kronis.47 Perubahan terakhir tergantung pada
aktivator plasminogen jaringan yang dilepaskan oleh CRF,48 menurut model tikus tPA-ko,
sedangkan efek stres pada BlA tidak begitu terpengaruh.47 Perubahan yang diinduksi stres ini
disertai dengan peningkatan perilaku seperti kecemasan 46,49 dan menunjukkan bahwa stres
menyebabkan reorganisasi dan disfungsi sirkuit di dalam amigdala.

Glukokortikoid dan asam amino eksitatorik terlibat dalam mekanisme ekspansi


dendritik di BlA dengan stres kronis, bersama dengan faktor neurotropik asal otak
(BDNF)50,51 dan, memang, satu bolus kortikosteron (CORT) mirip dengan efek 10 hari
imobilisasi kronis yang menyebabkan ekspansi dendrit BlA. 52 Ekspresi berlebihan BDNF
pada tikus meningkatkan panjang dendritik pada CA3 dan BlA dan menyebabkan oklusi efek
stres kronis untuk mengurangi percabangan dendritik pada CA3 dan meningkatkannya pada
BlA.53 Tanpa ekspresi berlebih tersebut, stres kronis menyebabkan penurunan regulasi BDNF
pada hipokampus CA3 dan peningkatan regulasi BDNF pada BlA, dan efek pada BlA dapat
bertahan setelah 21 hari pasca-stres sedangkan pada CA3 akan kembali normal50; Selain itu,
stres akut dengan waktu penundaan 10 hari, yang menyebabkan BlA mengembangkan
peningkatan kecemasan dan peningkatan kepadatan spina di neuron BlA,54 menyebabkan
peningkatan ekspresi BDNF dan mempertahankannya selama 10 hari sedangkan pada CA3
akan turun setelah stres akut, namun hanya bersifat sementara. 50 Kadar CORT meningkat
setelah stres akut dan kronis dan tetap meningkat setelah stres kronis, tetapi tidak setelah stres
akut.
Walaupun beberapa konsekuensi langsung dari stres — peningkatan glukokortikoid dan
glutamat —di amigdala dan hipokampus tampak serupa, namun hal ini memicu pola ekspresi
BDNF dan plastisitas struktural yang berlawanan. Ini menyiratkan bahwa mekanisme
pensinyalan cenderung lebih ke hilir dari perubahan awal dalam glukokortikoid dan glutamat,
tetapi perubahan yang lebih ke hulu dari BDNF, mungkin berperan kunci untuk
menyebabkan dampak stres yang berbeda di area otak ini. Yang terpenting, infus BDNF ke
dalam hipokampus hewan pengerat yang mengalami stres memberikan efek perlindungan
terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh meskipun tingkat CORT yang bersirkulasi cukup
tinggi. Ini menunjukkan bahwa BDNF mampu menjadi titik akhir konvergensi untuk efek
yang diinduksi oleh stres di hipokampus. Pensinyalan yang dimediasi BDNF terlibat dalam
respons stres namun arah dan sifat pensinyalan tergantung pada wilayah spesifik, stres
spesifik, dan dipengaruhi oleh modifikasi epigenetika bersama dengan modifikasi post-
translasi.50,55

Bersamaan dengan perubahan amigdala, neuron di korteks prefrontal medial


menunjukkan penyusutan dendritik reversibel setelah stres kronis,56,57 disertai hilangnya
spina,58 yang dapat dihambat dengan memblokir reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA), 59
serupa dengan atrofi neuron yang diinduksi stres di hipokampus CA3 (lihat di atas). Atrofi
yang diinduksi stres kronis ini dikaitkan dengan defisit dalam fungsi eksekutif dan
fleksibilitas kognitif,60,61 dan stresor yang menyebabkan hal ini juga melibatkan gangguan
sirkadian.62 Walaupun neuron korteks prefrontal medial mengalami atrofi dengan stres kronis,
neuron di korteks orbitofrontal menunjukkan hipertrofi60 mirip dengan apa yang terjadi di
BlA.46

PENERJEMAHAN/TRANSLASI KE OTAK MANUSIA

Beberapa studi mengenai hipokampus manusia telah banyak dilakukan,63 dan


menunjukkan bahwa penyusutan hipokampus tidak hanya terjadi pada gangguan kognitif
ringan dan Alzheimer,64 tetapi juga pada kondisi diabetes tipe 2,65 depresi berat yang
berlangsung lama,66 penyakit Cushing,67 dan PTSD.68 Selain itu, dalam kondisi non-penyakit,
seperti stres kronis,69 peradangan kronis,70 kurangnya aktivitas fisik,71 dan jet lag,72 telah
dilaporkan volume hipokampus atau lobus temporal yang lebih kecil. Di otak manusia, MRI
telah menunjukkan pembesaran dan aktivitas berlebihan pada amigdala, serta penyusutan
korteks hipokampus dan prefrontal di sejumlah kondisi gangguan mood. 66,73 Selain itu,
reaktivitas amigdala terhadap mimik sedih dan marah ditingkatkan oleh kurangnya kualitas
tidur dan kehidupan di lingkungan perkotaan, dan reaktivitas amigdala yang berlebihan
dikaitkan dengan tanda-tanda awal penyakit kardiovaskular.26

Perubahan ini mungkin bukan karena hilangnya neuron, tetapi lebih karena
pengurangan volume pada girus dentata karena penggantian neuron yang terhambat, serta
penyusutan dendritik dan hilangnya sel glial. Studi otopsi pada kondisi depresi-bunuh diri
telah menunjukkan hilangnya sel glial dan ukuran soma neuron yang lebih kecil, 74 yang
menunjukkan percabangan dendritik yang lebih kecil. Berkenaan dengan diabetes tipe 2,
harus ditekankan bahwa hipokampus memiliki reseptor untuk, dan kemampuan untuk
menerima dan merespon, insulin, ghrelin, insulin-like growth factor-1 (IGF1), dan leptin;
selain itu penting diingat bahwa, IGF-1 memediasi neurogenesis yang diinduksi oleh
olahraga.14 Jadi, selain responsnya terhadap glukokortikoid, hipokampus merupakan target
penting dari hormon metabolik yang memiliki berbagai respon adaptif di otak sehat yang
terganggu pada kondisi abnormalitas metabolisme, seperti diabetes.14 Juga harus dicatat
bahwa volume amigdala dilaporkan menurun pada subjek dengan gangguan kecemasan
dalam kaitannya dengan pengurangan kecemasan menggunakan terapi perilaku kognitif
(CBT).75 Sebaliknya, peningkatan longitudinal dalam volume korteks prefrontal medial telah
dilaporkan setelah CBT pada pasien dengan kelelahan kronis.76

Salah satu temuan mengejutkan dari model hewan dan penelitian pada manusia
mengenai PTSD adalah bahwa peningkatan glukokortikoid dapat mencegah gejala PTSD. Ini
berasal dari studi epidemiologi yang menunjukkan bahwa kortisol yang rendah merupakan
faktor risiko PTSD77 dan juga didukung oleh intervensi untuk suspek PTSD dengan
pemberian suplemen kortisol untuk kadar kortisol normal rendah selama operasi.78 Temuan
lain adalah bahwa pemberian glukokortikoid dalam satu jam atau lebih setelah kecelakaan
lalu lintas mengurangi kejadian gejala PTSD.79 Dua model hewan mendukung hal ini, 79,80
yang terakhir menunjukkan bahwa peningkatan CORT pada saat trauma mencegah
peningkatan kecemasan dan kepadatan spina neuron BlA dalam model tikus 10 hari
kemudian.80

PERBEDAAN RESPON STRES BERDASARKAN JENIS KELAMIN DAN


IMPLIKASINYA UNTUK BAGIAN OTAK LAINNYA
Semua studi efek stres pada model hewan yang telah kami rangkum dilakukan pada
hewan pengerat jantan. Dengan demikian, sangat penting untuk diperhatikan sebelum
melangkah lebih jauh dengan membahas perbedaan jenis kelamin dalam bagaimana otak
merespon stres. Memang, tikus betina tidak menunjukkan pola remodeling saraf yang sama
setelah stres kronis seperti halnya tikus jantan. Realisasi pertama dari hal ini adalah untuk
hipokampus, di mana remodeling dendrit CA3 tidak terjadi pada wanita setelah CRS,
meskipun semua indikator hormon stres menunjukkan bahwa wanita mengalami stres yang
sama jumlahnya dengan pria.81 Wanita dan pria juga menunjukkan perbedaan dalam
konsekuensi kognitif dari stres berulang, dengan pria menunjukkan penurunan memori yang
bergantung pada hipokampus, sedangkan wanita tidak.82-84

Sebaliknya, acute tail shock stress selama pengkondisian kedipan mata klasik
meningkatkan kinerja pada pria, dan menurun pada wanita85 melalui mekanisme yang
dipengaruhi oleh hormon gonad dalam perkembangan dan dalam kehidupan saat dewasa.86,87
Namun, penerapan kontrol pada tikus jantan dan betina terhadap kejutan menghilangkan efek
stres dan perbedaan jenis kelamin. 88 Temuan ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis
kelamin melibatkan sistem otak yang memediasi bagaimana laki-laki dan perempuan
menafsirkan rangsangan stres dan kemampuan untuk mengontrolnya sangat penting untuk
mengatasi rangsangan tersebut.

Tikus betina gagal menunjukkan remodeling dendritik mPFC yang terlihat pada jantan
setelah CRS pada neuron yang tidak diproyeksikan ke amigdala. Sebaliknya, mereka
menunjukkan perluasan percabangan dendritik di subset neuron yang memproyeksikannya ke
amigala basolateral.89 Selain itu, ovariektomi mencegah efek CRS ini pada panjang dan
percabangan dendritik. Lebih lanjut, terapi estradiol pada wanita yang menjalani ovariektomi
(OVX) meningkatkan kepadatan spina di neuron mPFC, terlepas dari mana mereka
diproyeksikan.89

Bersamaan dengan fakta bahwa efek estrogen, serta androgen, tersebar luas di sistem
saraf pusat, temuan ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan lebih banyak lagi contoh
interaksi stres berdasarkan jenis kelamin yang terkait dengan banyak wilayah otak dan
berbagai fungsi, serta perbedaan perkembangan antara pria dan wanita yang mempengaruhi
cara otak merespons stres (misalnya, di lokus seruleus).90,91 Jelas, dampak jenis kelamin dan
perbedaannya telah mengalami revolusi dan akan terus berkembang di masa yang akan
datang,92-96 termasuk wawasan tentang kontribusi kromosom X dan Y terhadap perbedaan
jenis kelamin otak.97 Pada pria dan wanita, pola aktivasi saraf untuk tugas yang sama cukup
berbeda bahkan ketika kinerjanya serupa.98 Hal ini mengarah pada konsep bahwa laki-laki
dan perempuan sering menggunakan strategi pendekatan dan penanganan yang berbeda
dalam mengatasi isu-isu di kehidupan sehari-hari, sebagian karena perbedaan yang halus
dalam arsitektur otak. Namun demikian, dari sudut pandang ekspresi gen dan efek
epigenetika, prinsip-prinsip dari apa yang telah kita pelajari pada model hewan mengenai
plastisitas, kerusakan, dan ketahanan, kemungkinan berlaku untuk pria dan wanita.

PELAJARAN DARI EKSPRESI GEN

Bahkan ketika otak yang sehat dan perilaku terkait tampaknya telah pulih dari
tantangan stres, studi ekspresi gen telah mengungkapkan bahwa otak tidaklah sama, misalnya
morfologi setelah pemulihan tampaknya agak berbeda dari sebelum stres.99 Profil
transkripsional dari hipokampus tikus telah mengungkapkan bahwa setelah periode
pemulihan dari stres kronis, yang setara dengan durasi stresor (21 hari) dan cukup untuk
mengembalikan perilaku seperti kecemasan ke baseline pra-stres, tingkat ekspresi banyak gen
tetap berbeda dari kontrol naif stres.100 Lebih lanjut, paparan stres berenang baru dalam 24
jam setelah stres kronis atau setelah periode pemulihan 21 hari dari stres kronis,
menghasilkan profil ekspresi gen yang berbeda pada tikus yang mengalami stres berenang
tanpa riwayat stres kronis. Temuan ini menunjukkan bahwa pola ekspresi gen setelah
pemulihan dari stres tidak mencerminkan pemulihan ke baseline naif stres (bahkan ketika
perilaku telah pulih) dan stres kronis mengubah reaktivitas terhadap stres di masa depan.
Studi yang meneliti periode pemulihan yang lebih lama, serta bagaimana stres intermiten
selama pemulihan dapat mengubah ekspresi gen diperlukan untuk menjawab apakah
perubahan yang tampaknya berlangsung lama ini pada akhirnya akan berbalik, atau jika
stresor tambahan dapat menambah perubahan tertentu. Perubahan dalam reaktivitas
transkriptom ini mewakili satu tanda molekuler untuk ketahanan yang kemungkinan besar
didorong oleh perubahan epigenetika yang dibahas di bagian berikutnya.

Yang penting, bukti terbaru menunjukkan bahwa perubahan transkripsi in vivo sebagai
respons terhadap stres mewakili sintesis beberapa jalur seluler, bukan hanya aktivasi CORT
dari transkripsi yang bergantung pada GR. Stres kronis meningkatkan tonus inflamasi dan
pelepasan sitokin ini dapat mengaktifkan jalur pensinyalan lain, seperti transkripsi yang
bergantung pada NF-kB.100 Studi microarray telah menemukan bahwa injeksi glukokortikoid
menghasilkan profil ekspresi gen yang berbeda dari stres akut naif dan bahwa respons
ekspresi gen terhadap injeksi glukokortikoid berubah setelah terpapar stres kronis.100,101 Untuk
mendukung temuan ini, penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa aktivasi simultan
transkripsi yang bergantung pada GR dan NF-kB menghasilkan pola ekspresi gen yang unik
dan berbeda dari jumlah yang diprediksi dari jalur aktivasi mandiri. 102 Temuan ini
menggambarkan bahwa perubahan ekspresi gen sebagai respons terhadap stres bukan semata-
mata produk aktivitas glukokortikoid. Penelitian tentang ketahanan stres saat ini dilakukan
untuk melihat melampaui transkripsi yang bergantung pada GR guna mengetahui
kompleksitas respons seluler terhadap stres.

PELAJARAN DARI PENGARUH EPIGENETIKA

Wawasan fungsional otak yang selalu berubah berasal dari studi regulasi epigenetika.
Istilah "epigenetika" telah melampaui definisi aslinya103 dan memasukkan interaksi yang
berkelanjutan dan mulus antara gen dan faktor-faktor yang mengatur ekspresi gen selama
perjalanan hidup. Inti dari respons genomik terhadap faktor-faktor lingkungan seperti
hormon, sitokin, kemokin dan neuromodulator lainnya melibatkan modifikasi histon, 104
metilasi residu sitosin pada DNA, RNA non-kode yang memodifikasi ekspresi molekul
mRNA, dan elemen DNA retrotransposon10 (Gambar 5).

Dalam studi kami tentang neurobiologi stres, stres pengendalian akut ditunjukkan untuk
meningkatkan ekspresi dalam girus dentata dari penanda histon represif, H3K9me3, dan ini
disertai dengan represi elemen retrotransposon tertentu dari fungsi yang belum teridentifikasi;
respons represif ini terbiasa dengan stres berulang yang meningkatkan kemungkinan
peningkatan ketidakstabilan genom. Ketidakstabilan tersebut dapat bermanifestasi dalam hal
aktivitas genomik yang tidak lagi responsif terhadap pengaruh lingkungan atau menyebabkan
aktivitas genomik yang meningkat sebagai akibat dari stres kronis, seperti pada percepatan
penuaan.106,107 Hilangnya respon pemulihan stres menginduksi plastisitas struktural, seperti
yang terlihat pada tikus yang menua108 adalah salah satu contohnya, dan peningkatan ekspresi
mediator inflamasi bersama dengan hilangnya fungsi kolinergik dan dopaminergik 109 adalah
contoh lainnya.

“Epigenetika”
Munculnya karakteristik individu/spesies selama perkembangan (Waddington 1942)

Sekarang diartikan sebagai "di atas genom"-tidak mengubah urutan DNA

Mengacu pada interaksi gen-lingkungan yang menghasilkan fenotipe individu.

----------------

 Modifikasi histon-kromatin unfolding/folding untuk mengekspos atau menyembunyikan


gen.
 Pengikatan regulator transkripsi ke elemen respons DNA pada gen
 Metilasi basa sitosin dalam DNA tanpa mengubah kode genetik
 MikroRNA - mengatur kelangsungan hidup mRNA dan translasinya ke protein
----------------

 Transposon dan retrotransposon – Penyusunan ulang dan insersi DNA


GAMBAR 5 “Epigenetika” dalam definisinya yang sekarang mengacu pada mekanisme
regulasi ekspresi gen yang tidak mengubah kode genetik. 10 Transposon dan retrotransposon
merupakan pengecualian karena potongan DNA dikeluarkan dan dimasukkan ke lokasi lain
“gen pelompat.”105

Sebaliknya, terdapat contoh aktivasi epigenetika dari aktivitas saraf. Memang, stres
berenang akut serta paparan baru menginduksi penanda aktivasi histon di girus dentata, yaitu,
asetilasi residu lisin 14 dan fosforilasi residu serin pada histon H3, yang bergantung pada
aktivasi GR dan NMDA dan dikaitkan dengan induksi c-fos di antara gen lain. 110 Asetilasi
residu lisin lain, K27 pada histon H3, dikaitkan dengan peningkatan ekspresi reseptor
glutamat metabotropik, mGlu2, di hipokampus tikus Flinders Sensitive Line (FSL) seperti
yang ditunjukkan oleh imunopresipitasi kromatin. 111 mGlu2 diketahui mengerahkan tonus
penghambatan pada pelepasan glutamat dari sinaps. Agen asetilasi L-asetillkarnitin (LAC),
zat alami, yang berperilaku sebagai antidepresan, setidaknya sebagian oleh peningkatan
regulasi reseptor mGlu2 melalui mekanisme epigenetika ini. LAC menyebabkan efek
antidepresan yang cepat dan tahan lama pada tikus FSL dan pada tikus yang terpapar stres
kronis yang tidak dapat diprediksi, yang masing-masing memodelkan depresi yang diinduksi
genetik dan lingkungan. Di luar tindakan epigenetika pada H3K27 asetat yang terikat pada
promotor Grm2, LAC juga meningkatkan asetilasi subunit NF-κB-p65, sehingga
meningkatkan transkripsi pengkodean gen Grm2 untuk reseptor mGlu2 di hipokampus dan
korteks prefrontal. Keterlibatan NF-kB dalam efek mirip antidepresan LAC mendukung
literatur yang menunjukkan bahwa depresi dapat dikaitkan dengan respons inflamasi
kronis.112 Yang penting, LAC mampu mengurangi waktu imobilitas dalam tes berenang paksa
dan meningkatkan preferensi sukrosa dalam 3 hari pengobatan, dibandingkan dengan efek
antidepresan yang dihasilkan oleh klorimipramin yaitu dalam 14 hari pengobatan. 111 Hal ini
menunjukkan bahwa LAC sangat penting untuk ketahanan stres.

Sebuah studi terbaru dari laboratorium kami telah menunjukkan bahwa ekspresi
hipokampus mGlu2, juga merupakan penanda kerentanan individu terhadap gangguan mood.
Menariknya, mGlu2 adalah reseptor yang sama yang mengatur tonus penghambatan glutamat
yang telah terbukti mengalami peningkatan dengan terapi LAC pada tikus FSL untuk
memulihkan perilaku dari kondisi seperti depresi.111 Menggunakan pendekatan baru dan akut
untuk skrining cepat populasi inbrida hewan laboratorium, telah ditunjukkan bahwa stres
kronis yang tidak dapat diprediksi dan stres pengendalian akut menghasilkan perbedaan
perilaku dan molekuler individu pada tikus tipe liar yang lebih (sensitivitas tinggi, HS) atau
kurang (sensitivitas rendah, LS) rentan terhadap kelainan mood akibat stres. Pada tingkat
molekuler, tikus HS dan LS menunjukkan perbedaan dalam hal kemampuan stres untuk
menginduksi penurunan ekspresi reseptor mGlu2 di hipokampus. Dengan memetakan
langkah-langkah rumit yang memungkinkan beberapa individu menghadapi pengalaman
hidup yang merugikan, subset HS tikus dikaitkan dengan tingkat gen MR awal yang lebih
tinggi dibandingkan subset LS, dimana hal ini menunjukkan penurunan regulasi yang
bergantung pada MR dari reseptor mGlu2 di hipokampus. Temuan ini mengarah pada
pengenalan "model epigenetika alostasis," yang menggabungkan inti epigenetika ke dalam
model beban stres dan adaptasi alostasis-alostatik untuk menekankan interaksi gen-
lingkungan. Secara khusus, model alostasis epigenetika membantu menjelaskan bagaimana
pengalaman yang tidak dibagikan di awal kehidupan dapat secara epigenetika mengatur
setiap individu, melalui gen MR atau gen lain, ke lintasan perkembangan yang agak berbeda
sejauh respon terhadap pengalaman hidup yang penuh tekanan.113 Sesuai dengan hal tersebut,
stres remaja dikaitkan dengan peningkatan kadar mRNA MR hipokampus dan perilaku
seperti kecemasan di masa dewasa.114

PERBEDAAN FASE KEHIDUPAN DAN EPIGENETIKA INDIVIDUAL


Ciri individu memungkinkan hasil adaptif atau maladaptif ini bergantung pada
kapasitas neurologis yang unik dari setiap individu, yang dibangun di atas pengalaman dalam
perjalanan hidup, terutama di awal kehidupan.115 Pengaruh ini dapat menghasilkan arsitektur
otak yang sehat atau tidak sehat dan dalam regulasi epigenetika yang mempromosikan atau
gagal untuk mempromosikan respons ekspresi gen terhadap tantangan baru. Individu yang
secara genetik serupa atau identik berbeda dalam banyak hal mulai dari panjang dendrit di
korteks prefrontal116 hingga perbedaan tingkat MR di hipokampus,113 aktivitas lokomotor, dan
tingkat neurogenesis,117 dan pengaruh yang mengarah pada perbedaan tersebut dimulai sejak
awal kehidupan. Misalnya, kembar identik selama perjalanan hidup dapat mengalami
perbedaan pola metilasi DNA CpG yang mencerminkan pengaruh pengalaman "yang tidak
dibagi".118

Peristiwa kehidupan awal yang terkait dengan perawatan induk pada hewan, serta
perawatan orang tua pada manusia, berperan penting dalam kesehatan mental dan fisik di
kemudian hari, seperti yang ditunjukkan oleh studi efek pengalaman masa kanak,119 dan studi
terbaru yang telah kami rangkum selanjutnya. Model hewan telah berkontribusi besar pada
pemahaman manusia tentang bagaimana otak dan tubuh terpengaruh, dimulai dengan studi
"penanganan neonatus" dari Levine dan Denenberg120 dan karya terbaru dan elegan dari
Meaney dan Syzf121 yang melibatkan metilasi residu CpG dalam DNA. Epigenetika semacam
itu, efek transgenerasi seperti yang disalurkan melalui perawatan oleh induk atau ibu
merupakan pusat dari temuan ini. Selain jumlah perawatan ibu, konsistensi perawatan dari
waktu ke waktu dan paparan terhadap pembaruan tersebut juga sangat penting tidak hanya
pada hewan pengerat,122,123 tetapi juga pada model hewan monyet.124 Stres prenatal
mengganggu perkembangan hipokampus pada tikus, seperti halnya stres pada masa remaja. 125
Perawatan induk yang tidak memadai pada hewan pengerat126 dan keterikatan yang
mengejutkan yang ditunjukkan oleh bayi tikus dengan induk mereka yang kurang perhatian
tampaknya melibatkan amigdala yang belum matang,127 aktivasi yang oleh glukokortikoid
menyebabkan kemunculan respon aversif. Kecemasan induk dalam model variabel stres
untuk memperoleh makanan pada monyet rhesus menyebabkan kecemasan kronis pada
keturunannya, serta tanda-tanda sindrom metabolik.128,129

INTERVENSI
Apa yang dapat dilakukan untuk memulihkan efek stres kronis selama fase kehidupan
di tingkat individu dan masyarakat? Untuk individu, kompleksitas interaksi, tindakan non-
linier dan bifasik dari mediator stres dan adaptasi, seperti dijelaskan di atas, menekankan
intervensi perilaku, atau "atas-bawah," (yaitu, intervensi yang melibatkan aktivitas SSP
terintegrasi) yang mencakup CBT, pengurangan stres berbasis kesadaran, termasuk meditasi,
aktivitas fisik, dan program seperti Experience Corps yang mempromosikan dukungan sosial
dan integrasi serta makna dan tujuan dalam hidup. 14,130,131 Sebaliknya, agen farmakologis,
yang berguna dalam banyak keadaan untuk mengatasi ketidakseimbangan kimia dan
molekuler, bagaimanapun, memiliki risiko disregulasi jalur adaptif lainnya (yaitu, tidak ada
obat tanpa efek samping). Perlu juga dicatat bahwa banyak intervensi yang dimaksudkan
untuk meningkatkan plastisitas dan memperlambat penurunan seiring bertambahnya usia,
seperti aktivitas fisik dan interaksi sosial positif yang memberi makna dan tujuan, juga
berguna untuk mempromosikan “kesehatan positif” dan “eudaimonia” 132–134 terlepas dari
setiap gangguan penting maupun dalam kisaran perilaku dan fisiologi normal.

Terapi "atas-bawah" yang kuat (yaitu, suatu aktivitas, biasanya sukarela, yang
melibatkan aktivasi aktivitas sistem saraf terintegrasi, sebagai lawan dari terapi farmakologis
yang memiliki target lebih terbatas) adalah aktivitas fisik reguler, yang menerapkan tindakan
yang mampu meningkatkan aliran darah korteks prefrontal dan parietal dan meningkatkan
fungsi eksekutif.135 Selain itu, aktivitas fisik teratur, yang terdiri dari berjalan satu jam sehari,
5 dari 7 hari seminggu, meningkatkan volume hipokampus pada orang dewasa yang
sebelumnya tidak banyak bergerak.136 Temuan ini melengkapi penelitian yang menunjukkan
bahwa individu yang bugar memiliki volume hipokampus yang lebih besar dibandingkan
individu seusianya yang tidak banyak bergerak.71 Juga diketahui bahwa aktivitas fisik secara
teratur merupakan antidepresan yang efektif dan bersifat protektif terhadap penyakit
kardiovaskular, diabetes, dan demensia.137–141 Selain itu, pembelajaran intensif juga telah
terbukti meningkatkan volume hipokampus manusia.142

Integrasi dan dukungan sosial serta menemukan makna dan tujuan dalam hidup
diketahui mampu melindungi otak terhadap beban dan kelebihan beban alostatik 143 dan
demensia,144 dan program seperti Experience Corps yang mempromosikan hal ini bersama
dengan peningkatan aktivitas fisik, telah terbukti memperlambat penurunan fisik dan
kesehatan mental dan untuk meningkatkan aliran darah kortikal prefrontal dengan cara yang
mirip dengan aktivitas fisik biasa.145,146
Gangguan depresi dan kecemasan adalah contoh hilangnya ketahanan, dalam arti
bahwa perubahan sirkuit dan fungsi otak, yang disebabkan oleh stresor yang memicu
gangguan, menjadi "terkunci" dalam keadaan tertentu dan dengan demikian memerlukan
intervensi eksternal. Memang, depresi berkepanjangan dikaitkan dengan penyusutan
hipokampus66,147 dan korteks prefrontal.148 Meskipun tampaknya tanpa disertai kehilangan
neuron, namun terdapat bukti hilangnya sel glial dan inti sel neuron yang lebih kecil, 74, 149
yang konsisten dengan penyusutan percabangan dendritik yang dijelaskan di atas setelah stres
kronis. Memang, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengobatan farmakologis dapat
memulihkan penurunan volume hipokampus pada depresi unipolar150 dan bipolar151, tetapi
kemungkinan pengaruh CBT yang terjadi secara bersamaan dalam penelitian ini masih tidak
jelas. Salah satu model yang berguna adalah pemulihan ambliopia (mata malas; bidang visual
monokular yang dibuat dengan menutup satu mata di awal kehidupan) melalui intervensi
yang menginduksi plastisitas seperti fluoxetin, pembatasan kalori, dan kortisol yang
dikombinasikan dengan stimulasi visual binokular pada hewan dewasa yang mengalami
ambliopia.152, 153
Studi ini mendukung konsep bahwa kombinasi intervensi farmakologis,
seperti fluoxetin, atau aktivitas fisik, yang membuka "jendela plastisitas" dapat meningkatkan
efektivitas terapi perilaku yang ditargetkan.

Dalam hubungan ini, penting untuk menegaskan kembali bahwa keberhasilan terapi
perilaku, yang disesuaikan dengan kebutuhan individu, dapat menghasilkan perubahan
volumetrik di kedua korteks prefrontal dalam kasus kelelahan kronis, 76 dan di amigdala,
dalam kasus kecemasan kronis,75 yang diukur pada subjek yang sama secara longitudinal. Ini
memperkuat gagasan bahwa perawatan yang memfasilitasi plastisitas harus diberikan dalam
kerangka intervensi terapi perilaku atau fisik yang positif. Di sisi lain, pengalaman negatif
selama waktu jendela peningkatan plastisitas mungkin memiliki konsekuensi negatif, seperti
pada seseorang yang kembali masuk di lingkungan keluarga yang buruk dan mungkin
merupakan pemicu kecemasan atau depresi awal.154 Sehubungan dengan itu, perlu
diperhatikan bahwa BDNF, kelas molekul yang meningkatkan plastisitas, juga memiliki
kemampuan untuk meningkatkan patofisiologi, seperti pada kejang.155-157

Di tingkat masyarakat, intervensi atas-bawah yang paling penting adalah kebijakan


pemerintah dan sektor swasta yang tidak hanya meningkatkan pendidikan tetapi juga
memungkinkan individu untuk membuat pilihan yang meningkatkan peluang hidup sehat. 130
Hal ini dikemukakan oleh laporan Acheson Pemerintah Inggris pada tahun 1998 158 yang
mengakui bahwa tidak ada kebijakan publik dalam bentuk apa pun yang harus diberlakukan
tanpa mempertimbangkan implikasinya terhadap kesehatan semua warga negara. Dengan
demikian maka pendidikan dasar, perumahan, perpajakan, penetapan upah minimum, dan
penanganan kesehatan dan keselamatan kerja dan peraturan pencemaran lingkungan
kemungkinan akan mempengaruhi kesehatan melalui berbagai mekanisme. Pada saat yang
sama, penyediaan makanan yang berkualitas, terjangkau dan dapat diakses di lingkungan
masyarakat mampu dan kurang mampu, sangat penting agar masyarakat mampu
mengkonsumsi makanan dengan lebih baik, asalkan mereka juga mempelajari jenis makanan
apa yang harus dimakan.159 Sehingga mampu tercapai lingkungan yang lebih aman dan
nyaman, serta lebih menyenangkan dan saling mendukung160.161 guna meningkatkan peluang
untuk interaksi sosial yang positif dan peningkatan aktivitas fisik rekreasional. Namun,
kebijakan pemerintah bukanlah satu-satunya cara untuk mengurangi beban alostatik. Sebagai
contoh, bisnis yang mendorong praktik gaya hidup sehat di antara karyawannya kemungkinan
besar akan mampu menurunkan pengeluaran atas biaya asuransi kesehatan dan mungkin
memperoleh tenaga kerja yang lebih loyal.162-164

Ucapan Terima Kasih

Ulasan ini didedikasikan untuk rekan dan mahasiswa pascadoktoral saat ini dan sebelumnya,
serta kolaborator, yang, dalam banyak kasus, mengkatalisasi penelitian yang dibahas dalam
ulasan ini, serta tercatat dalam teks dan referensi. Saya sangat bangga dengan pencapaian
mereka!

Anda mungkin juga menyukai