Anda di halaman 1dari 15

Tinjauan Pustaka

PENYAKIT GRAVES:
PERSPEKTIF PSIKO-NEURO-IMUNO-ENDOKRINOLOGI

Oleh:

Ida Bagus Aditya Bhaskara

2371041008

Pembimbing:

Dr. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, S.Ked, Sp.KJ (K), MARS

DALAM RANGKA MENGIKUTI MATA KULIAH DASAR UMUM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2023
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Psiko-neuro-imuno-endokrinologi
Telah diketahui bahwa terdapat hubungan antara pusat intelektualitas di
korteks serebri, fungsi kesadaran dan irama tidur di batang otak, pengaturan
emosi di sistem limbik, dan pusat endokrin di hipofisis - yang saat ini dikenal
sebagai psikoneuroendokrinologi. Disiplin ini meneliti perubahan sistem endokrin
yang disebabkan oleh stres psikis (Mudjaddid dkk., 2015). Hubungan antara
psikis dan tubuh (psikosomatis) ini telah berkembang sejak adanya teori “General
Adaptation Syndrome” (1936) yang menghubungkan stres dengan sekresi kortiko-
adrenal. Lalu pada tahun 1964, Solomon dkk., mempublikasikan teori yang ia beri
nama “Speculative theory” yang mengintegrasikan antara emosi, imunitas, dan
penyakit (Gonzalez-Diaz dkk., 2017).
Istilah “Psikoneuroimunologi” kemudian dipopulerkan oleh Robert Ader
pada tahun 1975. Ader dan Cohen menemukan bahwa substansi non-imunogenik
yang menimbulkan rasa tidak nyaman (pemberian larutan sakarin yang dicampur
dengan siklofosfamid pada hewan coba) terbukti menurunkan sistem imun (kadar
anti SRBC). Dalam paradigma behaviorisme, pengkondisian dan pembelajaran
akan rasa tidak nyaman ini berpengaruh pada regulasi sistem imun (Asnar dan
Putra, 2011). Baik psikoneuroendokrinologi maupun psikoneuroimunologi
merupakan kesatuan paradigma yang kemudian dikenal sebagai
psikoneuroimunoendokrinologi (Mudjaddid dkk., 2015).

1.1.1 Konsep stres


Istilah "Stres" merupakan kata yang sering digunakan secara luas dalam
berbagai konteks. Batasan stres menurut Eric Linderman-Gerald Caplan adalah
"A psychological state involving cognition and emotion". Konsep stres yang
dikemukakan mereka merupakan konsep stres psikis. Selanjutnya pada tahun
1936, seorang fisiologis bernama Hans Selye mendefinisikan stres sebagai "A
nonspecific response of the body to any demand". Konsep ini lebih bernuansa
biologis. Selanjutnya, Selye mengemukakan tahapan dari stres, yaitu activation,
resistance, dan exhaustion - konsep yang dikenal sebagai "General Adaptation
Syndrome" (GAS). Selye menyimpulkan bahwa GAS merupakan respon non
spesifik terhadap suatu noxious stimuli atau stresor. Kemudian, menurut
Dabbar-McEwen (2001), streor (sumber stres) akan direspon oleh otak sebagai
stress perception, dan kemudian direspon oleh sistem tubuh lain sehingga
muncul stress response. Konsep stres ini dapat menjadi penghubung antara
konsep stres psikologis dan mediko-fisiologis (Putra, 2011).
Konsep stres yang saat ini diterima sejalan dengan psikoneuroimunologi
adalah konsep stres menurut Dabbar-McEwen (2001) dengan teori stress-
perception dan stress response nya. Persepsi stres merupakan proses
pembelajaran untuk menyeleksi, mengorganisasi, menginterpretasi, dan
mengartikan stresor secara tepat - yang melibatkan akal, pengalaman dan emosi.
Ketepatan persepsi akan membuat stress response yang tepat pula. Persepsi
stres mencerminkan kinerja otak yang mempengaruhi imunoregulasi - yang
merupakan suatu bentuk respon terhadap stres (Asnar dan Putra, 2011).

1.1.2 Sumbu Hipotalamus-Pituitari-Adrenal


Salah satu jalur utama yang merespon stresor adalah aktivasi dari sumbu
Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA). Strsor psikososial atau fisik diterima oleh
sel Paraventricular nucleus (PVN) di hipotalamus yang akan menghasilkan
Corticotropin-Releasing Hormone (CRH). Pelepasan CRH diatur oleh sistem
saraf pusat. Kadar ADH dan Angiotensin II memperkuat efek CRH pada
pituitari sedangkan kadar kortisol plasma dan ACTH memberikan umpan balik
negatif terhadap sekresi CRH. Oksitosin juga menghambat produksi CRH. CRH
kemudian akan memicu pituitari anterior untuk mensekresikan
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH), yang kemudian akan merangsang
kelenjar korteks adrenal untuk mensekresikan hormon-hormon glukokortikoid,
khususnya kortisol pada manusia (secara kolektif dikenal sebagai CORT)
(Wardhana, 2016).

Gambar 2.1 Sumbu Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (Papadopoulos


dan Cleare, 2011)
1.1.2.1 Kortisol
Kortisol beredar di sirkulasi dalam bentuk bebas (<5%) dan sisanya dalam
bentuk terikat dengan protein, terutama dengan globulin pengikat kortisol
(transcortin, CBG, albumin). Produksi kortisol sangat bergantung pada irama
sekresi CRH, yang dikenal sebagai Irama Sirkadian. Tepatnya, kadar ACTH
maksimum adalah pada sekitar pukul 06.00 - 08.00 pagi dengan kadar 9-12
ug/dL, sementara kadar terendah adalah sesaat sebelum tidur malam. Adanya
stres dapat mengacaukan irama alamiah harian dari sekresi ACTH dan kortisol
(Vassiliadi dkk,, 2021).
1.1.2.2 Dehidroepiandrosteron (DHEA) dan Dehidroepiandrosteron-Sulfate (DHEA-
S)
Di samping kortisol, salah satu hormon adrenal yang juga dihasilkan dari
sumbu HPA adalah Dehidroepiandrosteron (DHEA). Hormon ini diproduksi
oleh zona reticularis adrenal, sementara kortisol disintesis di zona fasciculata.
DHEA lebih lanjut dapat dikonversi menjadi Dehidroepiandrosteron-Sulfat
(DHEA-S) (Tsatsoulis dkk., 2006). Berbeda dengan DHEA, DHEA-S berikatan
lebih kuat dengan albumin sehingga memiliki waktu paruh yang panjang di
sirkulasi dan eliminasi yang lebih lambat sehingga. Mayoritas (98%) bentuk
DHEA yang ada di sirkulasi adalah DHEA-S (Kamin., 2017). Selain itu,
berbeda dengan DHEA yang disekresi sebagai respon terhadap kondisi stres
akut, DHEA-S mencerminkan aktivitas adrenokortikal yang lebih stabil dan
terakumulasi seiring berjalannya waktu, sehingga merupakan biomarker yang
menjanjikan terhadap stres kronis. Sintesis DHEA berhubungan dengan usia, di
mana semakin bertambah usia, kadar DHEA cenderung semakin turun.
Beberapa studi menunjukkan hasil yang tidak seragam, di mana terdapat studi
yang menunjukkan korelasi antara DHEA dan intensitas stres, sementara studi
lainnya tidak menunjukkan hasil serupa (Dutheil dkk., 2021).
Gambar 2.2 Biosintesis Hormon Adrenal (Ortsäter dkk., 2012)

1.1.3 Stres dan Imunomodulasi


1.1.3.1 Keseimbangan Imunitas Seluler dan Humoral
Jenis respon imun adaptif tubuh diregulasi oleh antigen-presenting cell
(APC) yang diperankan oleh sel dendritik, makrofag, dan natural killer (NK).
Sel ini akan mempresentasikan antigen pada sel T-helper (Th) yang
mengekspresikan CD4+. Sel Th CD4+ ini dapat berdiferensiasi menjadi sel
Th1 atau Th2, bergantung pada molekul signalling berupa sitokin apa yang
disekresikan oleh APC. APC yang mensekresi IL-12 akan merangsang
diferensiasi menjadi sel Th1, yang kemudian akan mensekresi sitokin IL-12,
interferon (IFN), dan tumor necrosis factor (TNF) yang akan mengaktivasi
imunitas seluler. Sementara itu, IL-4 dan IL-10 akan mendorong diferensiasi
menjadi sel Th2, yang akan mensekresi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-10 yang
akan mengaktivasi limfosit B dan imunitas humoral (Tsatsoulis dkk., 2006).

1.1.3.2 Peran Glukokortikoid


Terdapat komunikasi dua-arah antara sistem endokrin dan sistem imun.
Banyak sel pada sistem imun seperti limfosit T dan B, neutrofil, monosit, dan
makrofag mengekspresikan reseptor glukokortikoid (Daruna dkk., 2012).
Meski pada dosis terapeutik farmakologis bertindak sebagai imunosupresan
secara umum, namun dalam konsentrasi fisiologis dalam keadaan stres,
molekul ini memiliki peran imunomodulasi. Glukokortikoid seperti kortisol
nampak mempengaruhi keseimbangan antara Th1 dan Th2, dengan menggeser
keseimbangan menjadi mendukung ke arah Th2 dan imunitas humoral dengan
cara menekan produksi IL-12 dan ekspresi reseptornya, serta mendorong
produksi IL-4 dan IL-10 (Tsatsoulis dkk., 2006).
Berlawanan dengan kerja kortisol, DHEA(S) memiliki fungsi protektif
terhadap sistem imun. DHEA(S) bekerja dengan mendukung ke arah
diferensiasi respon Th1, dengan cara mendorong produksi IL-2, menambah
jumlah sel T terkait sitotoksisitas, dan menghambat sitokin proinflamasi. Stres
kronis menyebabkan gangguan regulasi sumbu HPA yang menyebabkan
paparan kortisol berkepanjangan di jaringan. Hal ini menyebabkan
menurunnya sensitivitas kortisol di perifer yang memicu kelenjar adrenal
untuk mensekresi lebih banyak kortisol, salah satunya dengan mengorbankan
hormon adrenokorteks lainnya. Sebagai akibatnya, terjadi pergeseran
metabolisme pregnenolon ke arah sintesis kortikosteroid dan mengurangi
sintesis androgens, yang menyebabkan menurunnya jumlah sel di zona
reticularis dengan hasil akhir menurunnya kadar DHEA(S) (Kamin dkk.,
2017). Menurunnya kadar DHEA(S) juga pada akhirnya mendorong respon
imun ke arah imunitas humoral oleh Th2 (Falgarone dkk., 2013).

1.2 Penyakit Graves


Penyakit tiroid autoimun (AITD) merupakan penyakit autoimun terbanyak
di dunia. AITD merupakan kelompok penyakit dengan manifestasi klinis yang
heterogen, dengan dua manifestasi klinis utama: tiroiditis autoimun / Hashimoto
dan penyakit Graves. Kedua penyakit ini memiliki presentasi klinis dan
patofisiologi yang berbeda, meski nampak memiliki latar belakang genetik yang
sama (Bagnasco dkk., 2007).

1.2.1 Epidemiologi
Secara umum, prevalensi hipertiroidisme di Indonesia adalah 6,9%
berdasarkan hasil RISKESDAS 2007 dengan ambang batas TSH <0.55 mIU/L.
Penyakit Graves tetap menjadi etiologi hipertiroid terbanyak di dunia, yang
berkontribusi sebesar 60-80% dari keseluruhan kasus tirotoksikosis (Task Force
on Thyroid Diseases, 2014). Studi epidemiologi menunjukkan insiden berkisar
20-40 kasus per 100.000 populasi per tahun. Prevalensi pada wanita lebih tinggi
dari pria dengan rasio wanita:pria mencapai 10:1, yang cenderung
bermanifestasi pada usia reproduktif antara usia 20-50 tahun (Davies dkk.,
2020).

1.2.2 Etiologi
Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun karena peningkatan
sensitivitas limfosit T terhadap reseptor TSH. Sebagaimana penyakit autoimun
lainnya, penyakit Graves juga lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat
keluarga memiliki penyakit yang sama. Penyakit ini lebih umum terjadi pada
kembar monozigot dibanding dizigot (Pokhrel dan Bhusal., 2020). Meski
demikian, faktor genetik berkontribusi 80%, sementara sisanya adalah faktor
lingkungan. Faktor risiko lain yang diketahui berperan pada penyakit Graves
antara lain merokok, pemakaian obat yang mengandung iodin, kehamilan, stres
berat, infeksi, radiasi, dan pengobatan imunomodulasi (Davies dkk., 2020).

1.2.3 Patogenesis dan Patofisiologi


Penyakit tiroid autoimun ditandai dengan adanya autoantigen tiroid seperti
antibodi terhadap thyroglobulin (TG), thyroid peroxidase (TPO), dan receptor
TSH (TSHr). Terdapat perbedaan pola infiltrasi antara penyakit Graves dan
Tiroiditis Hashimoto. Pada tiroiditis Hashimoto ditemukan infiltrasi limfosit
pada parenkim tiroid yang didominasi sel limfosit Th1 CD4+ yang bersifat
apoptototik, dengan adanya anti-TPO atau anti-TG di serum. Sementara itu,
pada penyakit Graves infiltrasi limfosit bersifat patchy dan tidak semasif pada
tiroiditis Hashimoto dengan predominan sel limfosit Th2 CD4+. Terdapat
antibodi TSHr-stimulating yang menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia sel
folikel, dengan manifestasi goiter difus dan hipertiroidisme (Tsatsoulis dkk.,
2006).

1.2.3.1 Imunopatogenesis
Model pada hewan menunjukkan bahwa ada 3 tahapan respon imun
pada penyakit Graves. Fase pertama dimulai dengan meningkatnya APC di
intratiroid yang mengambil dan mempresentasikan autoantigen tiroid dengan
MHC kelas II kepada sel T-helper. Pada fase kedua, terdapat interaksi sel Th
terhadap autoantigen. Adanya aktivasi yang tidak wajar pada Th2
menyebabkan terjadinya ekspansi klonal limfosit Th CD4+ dan sel limfosit B
penghasil antibodi. Fase ketiga ditandai dengan adanya “perang” antara
limfosit yang menginfiltrasi dan sel tirosit yang mencoba berjuang untuk
bertahan hidup. Pada penyakit Graves terjadi aktivitas Th2 yang predominan
sehingga mendorong sel limfosit B untuk menghasilkan auto-antibodi anti-
TSHr. Antibodi yang bersifat stimulasi terhadap reseptor TSH ini akan
menyebabkan hiperplasia sel tiroid dan peningkatan fungsi tiroid, sehingga
menyebabkan klinis tirotoksikosis (Tsatsoulis dkk., 2006). Meski demikian
pada 50% kasus, antibodi ini malah menghalangi reseptor TSH sehingga
menimbulkan varian tiroiditis atrofi. Meski didominasi oleh respon Th2,
terdapat juga peran dari Th1 dan Th17 (Falgarone dkk., 2013).

1.2.3.2 Peran Stres


Terdapat berbagai studi klinis yang meneliti hubungan stres dan
penyakit Graves, meski dengan hasil yang masih belum secara universal
mengkonfirmasi adanya hubungan signifikan. Studi yang dilakukan oleh Vos
dkk. (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara derajat stres dan
manifestasi klinis penyakit Graves yang diukur dengan Hyperthyroid
Symptoms Scale (HSS). Selain itu usia tua juga berhubungan dengan tingkat
keparahan hipertiroid yang lebih ringan, baik secara klinis (skor HSS rendah)
maupun secara biokimia (kadar FT3 dan FT4 rendah). Meski demikian, tidak
terdapat korelasi signifikan antara derajat stres dan parameter biokimiawi ini.
Tinjauan sistematis oleh Damian dkk. (2016) menemukan bahwa
terdapat 6 dari 8 studi klinis yang melaporkan hubungan antara stres dan
penyakit Graves. Tsatsoulis dkk. (2000) menunjukkan bahwa gangguan fungsi
sumbu HPA berhubungan dengan awitan penyakit Graves. Agbaht dan Gullu
(2014) melaporkan bahwa respon hormon kortisol dan DHEA-S serum
terhadap stimulasi ACTH menumpul pada pasien hipertiroid, menunjukkan
adanya gangguan sumbu HPA yang membaik dengan terapi. Lebih lanjut,
penelitian yang cukup baru oleh Vita dkk. (2015) menunjukkan adanya peran
persepsi subjektif dan peristiwa kehidupan yang penuh tekanan sebagai faktor
pemicu hipertiroid autoimun.
Hipotesis terkini menunjukkan bahwa hormon stres dapat menginduksi
produksi sitokin IL-4, IL-6, dan IL-12 oleh sel dendritik. Hormon stres juga
dapat secara langsung menstimulasi Th2 dan Th17. Sel dendritik yang imatur
akan merangsang apoptosis dari sel T regulator (Treg) sehingga tidak mampu
meregulasi aktivitas Th2 dan Th17 (Falgarone dkk. (2013).
.
Ga
mbar 2.3 Hipotesis Peran Hormon Stres pada Patofisiologi Penyakit
Graves (Falgarone dkk., 2013)

1.2.4 Diagnosis
Evaluasi kecurigaan penyakit Graves diawali dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Tanda dan gejala dapat dikelompokkan menjadi manifestasi
umum hipertiroid dan manifestasi khas pada Graves. Secara umum, terdapat
gejala tirotoksikosis seperti palpitasi, merasa gelisah, mudah cemas, sulit tidur,
tidak tahan terhadap udara panas, mudah berkeringat, mudah lelah berat badan
turun meski nafsu makan meningkat, frekuensi BAB meningkat, gangguan
menstruasi, dan libido menurun. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya
takikardia, fibrilasi atrium, tremor, kulit teraba hangat dan basah, serta
kemungkinan kelemahan otot (periodic paralysis). Sementara tanda khas yang
dapat ditemukan pada Graves adalah pembesaran kelenjar gondok yang difus,
tanda Graves’ Ophthalmopathy yang ditandai dengan mata menonjol
(exophthalmos), tampak menatap tajam (starring eye), mata jarang berkedip
(Stellwag sign), serta pelebaran abnormal fissura palpebra (Dalrymple’s sign)
(Sutjahjo dkk., 2015).
Pemeriksaan laboratorium untuk penapisan awal hipertiroid adalah TSH
serum yang memiliki sensitivitas dan spesifitas tinggi. Kadar TSH pada
hipertiroid adalah kurang dari 0.01 mU/L atau bahkan tidak terdeteksi.
Selanjutnya, dapat dipastikan dengan pemeriksaan kadar T4 bebas (FT4)
dan/atau FT3 yang meningkat. Meski demikian, pada hipertiroid subklinis dapat
dijumpai FT4 yang normal. Apabila pemeriksaan faal tiroid tidak
memungkinkan karena keterbatasan fasilitas, maupun bila terjadi inkonsistensi
antara tanda dan gejala, dapat digunakan indeks diagnostik yang dikenal sebagai
indeks Wayne. Meski sudah tidak terlalu terpakai di negara maju dengan
pemeriksaan lengkap, skor yang dikembangkan pada tahun 1972 ini masih dapat
dipergunakan di Indonesia. Skor lebih dari 19 menandakan adanya hipertiroid
toksik (Task Force on Thyroid Diseases, 2014). Diagnosis dapat ditegakkan
secara klinis bila terdapat tanda gejala hipertiroid maupun khas Graves disertai
kadar TSH rendah dan FT4 meningkat atau skor Wayne di atas 19. Pemeriksaan
TRAb dan USG tiroid umumnya tidak perlu dilakukan (Sutjahjo dkk., 2015).

Gambar 2.4 Indeks Wayne (Task Force on Thyroid Diseases, 2014)


DAFTAR PUSTAKA

Agbaht, K. and Gullu, S. (2013). Adrenocortical reserves in hyperthyroidism.


Endocrine, 45(1), pp.136–143. doi:10.1007/s12020-013-9933-y.

Asnar, E.S. and Putra, S.T. (2011). Perkembangan Konsep Stres dan Penggunaannya
dalam Paradigma Psikoneuroimunologi. In: S.T. Putra, ed., Psikoneuroimunologi
Kedokteran Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press, pp.19–26.

Bagnasco, M., Bossert, I. and Pesce, G. (2006). Stress and autoimmune thyroid
diseases. Neuroimmunomodulation, [online] 13(5-6), pp.309–317.
doi:10.1159/000104859.

Damian, L., Ghiciuc, C.M., Dima-Cozma, L.C., Ungureanu, M.C., Cozma, S.,
Patacchioli, F.R. and Lupusoru, C.E. (2016). No definitive evidence for a connection
between autoimmune thyroid diseases and stress in women. Neuro Endocrinology
Letters, [online] 37(3), pp.155–162. Available at:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27618605/ [Accessed 21 Oct. 2022].

Davies, T.F., Andersen, S., Latif, R., Nagayama, Y., Barbesino, G., Brito, M.,
Eckstein, A.K., Stagnaro-Green, A. and Kahaly, G.J. (2020). Graves’ disease. Nature
Reviews Disease Primers, [online] 6(1), pp.1–23. doi:10.1038/s41572-020-0184-y.

Dutheil, F., de Saint Vincent, S., Pereira, B., Schmidt, J., Moustafa, F., Charkhabi,
M., Bouillon-Minois, J.-B. and Clinchamps, M. (2021). DHEA as a Biomarker of
Stress: A Systematic Review and Meta-Analysis. Frontiers in Psychiatry, 12.
doi:10.3389/fpsyt.2021.688367.

Falgarone, G., Heshmati, H.M., Cohen, R. and Reach, G. (2013). MECHANISMS IN


ENDOCRINOLOGY: Role of emotional stress in the pathophysiology of Graves’
disease. European Journal of Endocrinology, 168(1), pp.R13–R18. doi:10.1530/eje-
12-0539.
Fritz, M.S. and MacKinnon, D.P. (2007). Required Sample Size to Detect the
Mediated Effect. Psychological Science, 18(3), pp.233–239. doi:10.1111/j.1467-
9280.2007.01882.x.

González-Díaz, S.N., Arias-Cruz, A., Elizondo-Villarreal, B. and Monge-Ortega, O.P.


(2017). Psychoneuroimmunoendocrinology: clinical implications. The World Allergy
Organization Journal, [online] 10(1). doi:10.1186/s40413-017-0151-6.

‌Jorge Hilarion Daruna (2012). Introduction to psychoneuroimmunology. San Diego:


Elsevier Academic Press.

Kamin, H.S. and Kertes, D.A. (2017). Cortisol and DHEA in development and
psychopathology. Hormones and Behavior, 89, pp.69–85.
doi:10.1016/j.yhbeh.2016.11.018.

Mudjaddid, E., Shatri, H. and Putranto, R. (2014). Psikoneuroimunoendokrinologi.


In: S. Setiati, I. Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi and A.F. Syam,
eds., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid I. Jakarta: Interna
Publishing, pp.80–82.

OrtsäterH., SjöholmA. and Rafacho, A. (2012). Regulation of Glucocorticoid


Receptor Signaling and the Diabetogenic Effects of Glucocorticoid Excess. State of
the Art of Therapeutic Endocrinology. [online] doi:10.5772/51759.

Papadopoulos, A.S. and Cleare, A.J. (2011). Hypothalamic–pituitary–adrenal axis


dysfunction in chronic fatigue syndrome. Nature Reviews Endocrinology, 8(1),
pp.22–32. doi:10.1038/nrendo.2011.153.

‌Pokhrel, B. and Bhusal, K. (2020). Graves Disease. [online] PubMed. Available at:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28846288/ [Accessed 1 Dec. 2020].
Suhartono Taat, S.T. (2011). Paradigma Psikoneuroimunologi Menuju ke Disciplines-
Hybrid. In: S.T. Putra, ed., Psikoneuroimunologi Kedokteran Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press, pp.1–18.

Sutjahjo, A., Wironegoro, R. and Novida, H. (2015). Penyakit Graves (Graves’


Disease). In: A. Tjokroprawiro, P.B. Setiawan, C. Effendi, D. Santoso and G.
Soegionto, eds., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University
Press, pp.126–135.

Task Force on Thyroid Diseases, T. I. S. of E. (2014) “Indonesian Clinical Practice


Guidelines for Hyperthyroidism'', Journal of the ASEAN Federation of Endocrine
Societies, 27(1), p. 34.

Tsatsoulis, A. (2006). The role of stress in the clinical expression of thyroid


autoimmunity. Annals of the New York Academy of Sciences, [online] 1088,
pp.382–395. doi:10.1196/annals.1366.015.

‌Wardhana, M. (2016). Pengantar Psikoneuroimunologi. Bali: Vaikuntha International


Publication.

‌Vassiliadi, D.A., Vassiliou, A.G., Ilias, I., Tsagarakis, S., Kotanidou, A. and
Dimopoulou, I. (2021). Pituitary-Adrenal Responses and Glucocorticoid Receptor
Expression in Critically Ill Patients with COVID-19. International Journal of
Molecular Sciences, [online] 22(21), p.11473. doi:10.3390/ijms222111473.

‌Vita, R., Lapa, D., Trimarchi, F. and Benvenga, S. (2014). Stress triggers the onset
and the recurrences of hyperthyroidism in patients with Graves’ disease. Endocrine,
[online] 48(1), pp.254–263. doi:10.1007/s12020-014-0289-8.

Vos, X.G., Smit, N., Endert, E., Brosschot, J.F., Tijssen, J.G.P. and Wiersinga, W.M.
(2009). Age and stress as determinants of the severity of hyperthyroidism caused by
Graves’ disease in newly diagnosed patients. European Journal of Endocrinology,
[online] 160(2), pp.193–199. doi:10.1530/EJE-08-0573.

Anda mungkin juga menyukai