PENYAKIT GRAVES:
PERSPEKTIF PSIKO-NEURO-IMUNO-ENDOKRINOLOGI
Oleh:
2371041008
Pembimbing:
Dr. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, S.Ked, Sp.KJ (K), MARS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2023
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Psiko-neuro-imuno-endokrinologi
Telah diketahui bahwa terdapat hubungan antara pusat intelektualitas di
korteks serebri, fungsi kesadaran dan irama tidur di batang otak, pengaturan
emosi di sistem limbik, dan pusat endokrin di hipofisis - yang saat ini dikenal
sebagai psikoneuroendokrinologi. Disiplin ini meneliti perubahan sistem endokrin
yang disebabkan oleh stres psikis (Mudjaddid dkk., 2015). Hubungan antara
psikis dan tubuh (psikosomatis) ini telah berkembang sejak adanya teori “General
Adaptation Syndrome” (1936) yang menghubungkan stres dengan sekresi kortiko-
adrenal. Lalu pada tahun 1964, Solomon dkk., mempublikasikan teori yang ia beri
nama “Speculative theory” yang mengintegrasikan antara emosi, imunitas, dan
penyakit (Gonzalez-Diaz dkk., 2017).
Istilah “Psikoneuroimunologi” kemudian dipopulerkan oleh Robert Ader
pada tahun 1975. Ader dan Cohen menemukan bahwa substansi non-imunogenik
yang menimbulkan rasa tidak nyaman (pemberian larutan sakarin yang dicampur
dengan siklofosfamid pada hewan coba) terbukti menurunkan sistem imun (kadar
anti SRBC). Dalam paradigma behaviorisme, pengkondisian dan pembelajaran
akan rasa tidak nyaman ini berpengaruh pada regulasi sistem imun (Asnar dan
Putra, 2011). Baik psikoneuroendokrinologi maupun psikoneuroimunologi
merupakan kesatuan paradigma yang kemudian dikenal sebagai
psikoneuroimunoendokrinologi (Mudjaddid dkk., 2015).
1.2.1 Epidemiologi
Secara umum, prevalensi hipertiroidisme di Indonesia adalah 6,9%
berdasarkan hasil RISKESDAS 2007 dengan ambang batas TSH <0.55 mIU/L.
Penyakit Graves tetap menjadi etiologi hipertiroid terbanyak di dunia, yang
berkontribusi sebesar 60-80% dari keseluruhan kasus tirotoksikosis (Task Force
on Thyroid Diseases, 2014). Studi epidemiologi menunjukkan insiden berkisar
20-40 kasus per 100.000 populasi per tahun. Prevalensi pada wanita lebih tinggi
dari pria dengan rasio wanita:pria mencapai 10:1, yang cenderung
bermanifestasi pada usia reproduktif antara usia 20-50 tahun (Davies dkk.,
2020).
1.2.2 Etiologi
Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun karena peningkatan
sensitivitas limfosit T terhadap reseptor TSH. Sebagaimana penyakit autoimun
lainnya, penyakit Graves juga lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat
keluarga memiliki penyakit yang sama. Penyakit ini lebih umum terjadi pada
kembar monozigot dibanding dizigot (Pokhrel dan Bhusal., 2020). Meski
demikian, faktor genetik berkontribusi 80%, sementara sisanya adalah faktor
lingkungan. Faktor risiko lain yang diketahui berperan pada penyakit Graves
antara lain merokok, pemakaian obat yang mengandung iodin, kehamilan, stres
berat, infeksi, radiasi, dan pengobatan imunomodulasi (Davies dkk., 2020).
1.2.3.1 Imunopatogenesis
Model pada hewan menunjukkan bahwa ada 3 tahapan respon imun
pada penyakit Graves. Fase pertama dimulai dengan meningkatnya APC di
intratiroid yang mengambil dan mempresentasikan autoantigen tiroid dengan
MHC kelas II kepada sel T-helper. Pada fase kedua, terdapat interaksi sel Th
terhadap autoantigen. Adanya aktivasi yang tidak wajar pada Th2
menyebabkan terjadinya ekspansi klonal limfosit Th CD4+ dan sel limfosit B
penghasil antibodi. Fase ketiga ditandai dengan adanya “perang” antara
limfosit yang menginfiltrasi dan sel tirosit yang mencoba berjuang untuk
bertahan hidup. Pada penyakit Graves terjadi aktivitas Th2 yang predominan
sehingga mendorong sel limfosit B untuk menghasilkan auto-antibodi anti-
TSHr. Antibodi yang bersifat stimulasi terhadap reseptor TSH ini akan
menyebabkan hiperplasia sel tiroid dan peningkatan fungsi tiroid, sehingga
menyebabkan klinis tirotoksikosis (Tsatsoulis dkk., 2006). Meski demikian
pada 50% kasus, antibodi ini malah menghalangi reseptor TSH sehingga
menimbulkan varian tiroiditis atrofi. Meski didominasi oleh respon Th2,
terdapat juga peran dari Th1 dan Th17 (Falgarone dkk., 2013).
1.2.4 Diagnosis
Evaluasi kecurigaan penyakit Graves diawali dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Tanda dan gejala dapat dikelompokkan menjadi manifestasi
umum hipertiroid dan manifestasi khas pada Graves. Secara umum, terdapat
gejala tirotoksikosis seperti palpitasi, merasa gelisah, mudah cemas, sulit tidur,
tidak tahan terhadap udara panas, mudah berkeringat, mudah lelah berat badan
turun meski nafsu makan meningkat, frekuensi BAB meningkat, gangguan
menstruasi, dan libido menurun. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya
takikardia, fibrilasi atrium, tremor, kulit teraba hangat dan basah, serta
kemungkinan kelemahan otot (periodic paralysis). Sementara tanda khas yang
dapat ditemukan pada Graves adalah pembesaran kelenjar gondok yang difus,
tanda Graves’ Ophthalmopathy yang ditandai dengan mata menonjol
(exophthalmos), tampak menatap tajam (starring eye), mata jarang berkedip
(Stellwag sign), serta pelebaran abnormal fissura palpebra (Dalrymple’s sign)
(Sutjahjo dkk., 2015).
Pemeriksaan laboratorium untuk penapisan awal hipertiroid adalah TSH
serum yang memiliki sensitivitas dan spesifitas tinggi. Kadar TSH pada
hipertiroid adalah kurang dari 0.01 mU/L atau bahkan tidak terdeteksi.
Selanjutnya, dapat dipastikan dengan pemeriksaan kadar T4 bebas (FT4)
dan/atau FT3 yang meningkat. Meski demikian, pada hipertiroid subklinis dapat
dijumpai FT4 yang normal. Apabila pemeriksaan faal tiroid tidak
memungkinkan karena keterbatasan fasilitas, maupun bila terjadi inkonsistensi
antara tanda dan gejala, dapat digunakan indeks diagnostik yang dikenal sebagai
indeks Wayne. Meski sudah tidak terlalu terpakai di negara maju dengan
pemeriksaan lengkap, skor yang dikembangkan pada tahun 1972 ini masih dapat
dipergunakan di Indonesia. Skor lebih dari 19 menandakan adanya hipertiroid
toksik (Task Force on Thyroid Diseases, 2014). Diagnosis dapat ditegakkan
secara klinis bila terdapat tanda gejala hipertiroid maupun khas Graves disertai
kadar TSH rendah dan FT4 meningkat atau skor Wayne di atas 19. Pemeriksaan
TRAb dan USG tiroid umumnya tidak perlu dilakukan (Sutjahjo dkk., 2015).
Asnar, E.S. and Putra, S.T. (2011). Perkembangan Konsep Stres dan Penggunaannya
dalam Paradigma Psikoneuroimunologi. In: S.T. Putra, ed., Psikoneuroimunologi
Kedokteran Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press, pp.19–26.
Bagnasco, M., Bossert, I. and Pesce, G. (2006). Stress and autoimmune thyroid
diseases. Neuroimmunomodulation, [online] 13(5-6), pp.309–317.
doi:10.1159/000104859.
Damian, L., Ghiciuc, C.M., Dima-Cozma, L.C., Ungureanu, M.C., Cozma, S.,
Patacchioli, F.R. and Lupusoru, C.E. (2016). No definitive evidence for a connection
between autoimmune thyroid diseases and stress in women. Neuro Endocrinology
Letters, [online] 37(3), pp.155–162. Available at:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27618605/ [Accessed 21 Oct. 2022].
Davies, T.F., Andersen, S., Latif, R., Nagayama, Y., Barbesino, G., Brito, M.,
Eckstein, A.K., Stagnaro-Green, A. and Kahaly, G.J. (2020). Graves’ disease. Nature
Reviews Disease Primers, [online] 6(1), pp.1–23. doi:10.1038/s41572-020-0184-y.
Dutheil, F., de Saint Vincent, S., Pereira, B., Schmidt, J., Moustafa, F., Charkhabi,
M., Bouillon-Minois, J.-B. and Clinchamps, M. (2021). DHEA as a Biomarker of
Stress: A Systematic Review and Meta-Analysis. Frontiers in Psychiatry, 12.
doi:10.3389/fpsyt.2021.688367.
Kamin, H.S. and Kertes, D.A. (2017). Cortisol and DHEA in development and
psychopathology. Hormones and Behavior, 89, pp.69–85.
doi:10.1016/j.yhbeh.2016.11.018.
Pokhrel, B. and Bhusal, K. (2020). Graves Disease. [online] PubMed. Available at:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28846288/ [Accessed 1 Dec. 2020].
Suhartono Taat, S.T. (2011). Paradigma Psikoneuroimunologi Menuju ke Disciplines-
Hybrid. In: S.T. Putra, ed., Psikoneuroimunologi Kedokteran Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press, pp.1–18.
Vassiliadi, D.A., Vassiliou, A.G., Ilias, I., Tsagarakis, S., Kotanidou, A. and
Dimopoulou, I. (2021). Pituitary-Adrenal Responses and Glucocorticoid Receptor
Expression in Critically Ill Patients with COVID-19. International Journal of
Molecular Sciences, [online] 22(21), p.11473. doi:10.3390/ijms222111473.
Vita, R., Lapa, D., Trimarchi, F. and Benvenga, S. (2014). Stress triggers the onset
and the recurrences of hyperthyroidism in patients with Graves’ disease. Endocrine,
[online] 48(1), pp.254–263. doi:10.1007/s12020-014-0289-8.
Vos, X.G., Smit, N., Endert, E., Brosschot, J.F., Tijssen, J.G.P. and Wiersinga, W.M.
(2009). Age and stress as determinants of the severity of hyperthyroidism caused by
Graves’ disease in newly diagnosed patients. European Journal of Endocrinology,
[online] 160(2), pp.193–199. doi:10.1530/EJE-08-0573.