Anda di halaman 1dari 9

IMUNOLOGI OLAHRAGA

“ Latihan Fisik dan Sistem Neuroendokrin”

Disusun Oleh :
Rara Putri Maliza
(18089259)

Dosen Pengampu :
dr. Arif Fadli Muchlis

PRODI ILMU KEOLAHRAGAAN


JURUSAN KESEHATAN DAN REKREASI
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang bertemakan
"  Latihan Fisik dan Sistem Neuroendokrin". Makalah ini disusun sebagai salah
satu tugas mata kuliah Imunologi Olahraga . Meskipun banyak hambatan yang
penyusun alami dalam proses pengerjaannya, namun akhirnya saya berhasil
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Penyusun menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, untuk itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini. Penyusun berharap semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca.

Payakumbuh, 20 Maret 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang
Olahraga merupakan rangkaian gerak tubuh manusia yang terencana
dan terstruktur serta bertujuan untuk memperoleh manfaat memelihara dan
meningkatkan kebugaran fisik. Kebugaran fisik terbentuk dari kemampuan
tubuh mengintegrasikan komponen – komponen kebugaran yang merupakan
kemampuan ketahanan sistem kardiorespirasi, sistem otot rangka dan
neuroendokrin. Kebugaran fisik yang prima melahirkan beberapa manfaat
olahraga bagi kesehatan.
Beberapa penelitian memberikan bukti bahwa olahraga bermanfaat
bagi kesehatan diantaranya mampu mencegah penyakit degeneratif, penyakit
kardiovaskuler, dan juga memiliki fungsi anti penuaan (Naci and Loannidis,
2012; Da Silva and Sharma, 2014; Kwak, 2013; Olàh et al., 2015). Perubahan
fisiologis yang bermanfaat dari olahraga disebabkan oleh aktivitas fisik dalam
olahraga menimbulkan respon positif pada sistem hormon, metabolisme,
sistem saraf dan timbul respon perubahan struktur jaringan yang fisiologis
(Egan and Zierath, 2013; Gerche and Heidbuchel, 2014; (Neufer et al., 2015).

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan mekanisme yang menguraikan bahwa latihan fisik
merupakan sumber stress (stresor terhadap homeostasis) ?
2. Apa yang dimaksud dengan mekanisme fight and flight responses ?
3. Bagaimana  interaksi aksis hipotalamus-pituitari dan adrenal dalam
menanggapi stressor ?
4. Bagaimana peranan hormon-hormon stress dalam mempertahankan
homeostasis sewaktu latihan fisik ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dan mekanisme yang menguraikan bahwa
latihan fisik merupakan sumber stress (stresor terhadap homeostasis).
2. Untuk mengetahui mekanisme fight and flight responses.
3. Untuk mengetahui interaksi aksis hipotalamus-pituitari dan adrenal dalam
menanggapi stressor.
4. Untuk mengetahui peranan hormon-hormon stress dalam mempertahankan
homeostasis sewaktu latihan fisik.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Dan Mekanisme Yang Menguraikan Bahwa Latihan Fisik


Merupakan Sumber Stress (Stresor Terhadap Homeostasis)
Hawari (dalam Yusuf, 2004) berpendapat bahwa istilah stres tidak
dapat dipisahkan dari distress dan depresi, karena satu sama lainnya saling
terkait. Stres merupakan reaksi fisik terhadap permasalahan kehidupan yang
dialaminya dan apabila fungsi organ tubuh sampai terganggu dinamakan
distress. Stres akibat latihan fisik dapat memicu perubahan sel pada sistem
imun seperti limfosit yang jika terdapat radikal bebas atau molekul-molekul
asing sel limfosit akan bertambah. Stres akibat fisik direspon oleh
hypothalamus yang dapat mensekresi corticotrophin realising hormone (CRH)
yang kemudian memberikan pesan pada pituitari anterior. Pituitari akan
mengeluarkan adreno corticotrophin hormone (ACTH) yang berguna untuk
mengaktifkan atau mempengaruhi korteks adrenal tempat hormon kortisol
disekresi.
Stres akibat latihan direspon oleh tubuh dengan mengaktifkan sistem
kardiorespirasi, system locus ceruleus (LC) atau norepinephrine (NE), sistem
metabolisme dan HPA axis (Mastorakas & Pavlatou, 2005:85). Aktifnya
hipotalamus– puitutary–adrenal axis (HPA), menimbulkan conditioning
stimuli pada alur limbic–hipotalamus– puitutary-adrenal Axis (LHPA axis),
kemudian merangsang hipotalamus dan menyebabkan disekresinya hormon
corticotrophin relesing hormone (CRH), merangsang hipotalamus untuk
sekresi ACTH. Peningkatan sekresi ACTH, menyebabkan meningkatnya
sekresi kortisol (Usui dkk, 2012:295). HPA Axis akan mempengaruhi sistem
neuroendokrin dan berdampak langsung terhadap sistem imun (Malik,
2013:28).
Senada dengan ungkapan Sugiharto (2012:60) bahwa stres akibat fisik
dapat mempengaruhi hipotalamus yang dapat mengaktifkan HPA axis dan
SAM axis yang menyebabkan terganggunya sistem kekebalan tubuh.
Terganggunya sistem imun ditandai dengan adanya kadar sitokin IL-6
(interleukin-6), IL-1β, dan TNFα (Tumor Necrosis Factor-α) menandakan
telah terjadi inflamasi pada jaringan sehingga terjadi sekresei hormon kortisol.
Kortisol mengirimkan negatif feedback untuk menurunkan aktivitas inflamasi
(Kraemer & Rogol, 2005:352) salah satunya dengan menstimulasi produksi
IL-1 reseptor agoins dan IL-10 yang berperan menghambat produksi cylo-
oxygenase-2 dan nitric oxide syntase yang merupakan enzim kunci terjadinya
inflamasi (Ho, 2007:23).
Jadi stres akibat olahraga atau stres olahraga dapat menyebabkan
perubahan fungsional fisiologis, karena olahraga dianggap sebagai stimulus
yang diterima oleh hipotalamus, kemudian hipotalamus memberikan signal ke
HPA axis, lalu HPA axis merespon dan memberikan respon yang positif dan
negatif bagi tubuh. Selain itu, stres akibat fisik dapat mempengaruhi
hipotalamus yang dapat mengaktifkan HPA axis dan SAM axis (Sugiharto,
2012:60) yang menyebabkan terganggunya sistem kekebalan tubuh. Selain itu,
stres akibat fisik dapat mempengaruhi hipotalamus yang dapat mengaktifkan
HPA axis dan SAM axis (Sugiharto, 2012:60) yang menyebabkan
terganggunya sistem kekebalan tubuh.

B. Mekanisme Fight And Flight Response


Fight or flight dimulai di amigdala, bagian otak yang berperan dalam
mengenali rasa takut. Saat adanya bahaya, amigdala akan meresponsnya
dengan mengirim sinyal ke hipotalamus. Hipotalamus kemudian akan
merangsang sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom terdiri atas sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Sistem saraf simpatis bertugas dalam
respons fight or flight. Sementara itu, sistem saraf parasimpatis bertugas dalam
pengendalian respons freeze.
Hasil reaksi yang keluar nantinya akan bergantung pada sistem mana
yang mendominasi saat adanya bahaya. Saat adanya rangsangan terhadap
sistem saraf otonom, tubuh akan melepas hormon kortisol dan hormon
adrenalin. Pelepasan hormon tersebut akan menimbulkan perubahan fisiologis
saat kita dihadapkan dengan bahaya. Perubahan tersebut, misalnya:
1) Perubahan denyut jantung. Jantung akan berdetak lebih cepat untuk
membawa oksigen ke otot utama tubuh. Dalam kondisi freeze, detak
jantung dapat meningkat maupun melambat.
2) Laju pernapasan. Pernapasan menjadi meningkat untuk mengirimkan lebih
banyak oksigen ke darah. Dalam respons freeze, kita cenderung akan
menahan napas atau membatasi pernapasan.
3) Penglihatan. Penglihatan perifer akan meningkat sehingga kita dapat
memerhatikan benda-benda di sekeliling. Pupil juga akan membesar dan
membiarkan cahaya lebih banyak masuk - sehingga membantu kita
melihat lebih jelas.
4) Pendengaran. Kemampuan pendengaran akan meningkat.
5) Darah. Darah akan mengental dan meningkatkan elemen tubuh yang
berperan dalam pembekuan. Kondisi ini mempersiapkan tubuh apabila
terjadi cedera.
6) Kulit. Kulit akan mengeluarkan lebih banyak keringat atau mungkin
menjadi dingin. Kita juga mungkin akan terlihat pucat atau merinding.
7) Tangan dan kaki. Saat aliran darah meningkat ke otot utama, tangan dan
kaki akan menjadi dingin.
8) Persepsi nyeri. Fight or flight membuat tubuh mengurangi persepsi
terhadap rasa sakit.

C. Interaksi Aksis Hipotalamus-Pituitari Dan Adrenal Dalam


Menanggapi Stressor
Berdasarkan fisiologi dalam tubuh stres akan direspon dengan cara
mengaktifkan hipotalamus yang selanjutnya sistem neuroendokrin yaitu sistem
simpatis dan sistem korteks adrenal serta berhubungan dengan aktivitas aksis
HPA (Hypothalamic Pituitary Adrenal) akan dikendalikan oleh hipotalamus.
Impuls saraf dari hipotalamus akan direspon oleh saraf simpatis dalam bentuk
aktivasi berbagai organ dan otot polos yang ada dibawah kendali saraf
simpatis. Pada medula adrenal terdapat sinyal yang diberikan oleh saraf
simpatis untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke dalam aliran darah
(Cahyono, 2014).
Aktifnya aksis HPA akan menyebabkan adanya stimulasi pada alur
aksis LHPA (Limbic Hipotalamus Pituitary Adrenal) dimana nantinya akan
merangsang hipotalamus dan mengakibatkan proses sekresi pada hormon
CRH (Corticotrophin Relesing Hormone). Kemudian hormon CRH akan
merangsang hiptalamus untuk mensekresi hormon ACTH
(Adrenocorticotropic Hormone) yang kemudian nantinya akan dibawa menuju
korteks adrenal melalui aliran darah. Peningkatan sekresi hormon ACTH
dalam korteks adrenal mengakibatkan adanya peningkatan pada sekresi
kortisol (Usui, et al., 2012).
Terjadinya sekresi pada ACTH disebabkan oleh teraktivasinya sistem
korteks adrenal saat hipotalamus mensekresi CRF (Corticotropin Releasing
Factor) yaitu zat kimia yang ada pada kelenjar hipofisis. Selanjutnya CRF
akan merangsang pelepasan kortisol dimana kortisol ini berfungsi untuk
mengatur kadar gula dalam darah (Sugiharto, 2012). HPA (Hipotalamus
Pituitary Adrenal) akan mengirimkan sinyal menuju kelenjar adrenal sehingga
dapat menghasilkan hormon kortisol dan adrenalin lebih banyak. Aksis HPA
juga akan meningkatkan produksi sekaligus melepaskan glucocorticoid yang
merupakan hormon utama kortisol yaitu hormon penyebab stres.
Kemudian, hormon kortisol akan mengarahkan hampir seluruh
aktifitas sistem homeostasis untuk persiapan adanya reaksi lari atau melawan
(flight or fight). Hormon katekolamin dilepaskan oleh aksis HPA dimana
hormon tersebut memiliki peran sebagai neurotransmitter, yaitu adrenalin (A),
noradrenalin (NA), dan dopamin (DA). Katekolamin akan mengaktifkan
nucleus amigdala (penyebab rasa takut) yang menimbulkan respon emosional
terhadap stresor, contohnya rasa marah kepada musuh atau rasa takut akan
adanya banjir. Otak akan melepaskan neuropeptida S yaitu mikro protein yang
berfungsi memodulasi stres dengan cara meningkatkan kewaspadaan, perasaan
khawatir atau cemas, dan menekan keinginan untuk tidur. Akibatnya muncul
keinginan untuk lari atau melawan (flight or fight) dari dalam tubuh (Nurdin,
2010).

D. Mengetahui Peranan Hormon-Hormon Stress Dalam


Mempertahankan Homeostasis Sewaktu Latihan Fisik
Hipothalamus terletak di otak depan dan berfungsi penting dalam
pengaturan homeostasis. Hipothalamus mempunyai sel-sel saraf khusus yang
memproduksi neurohormon. Neurohormon ada yang berfungsi sebagai faktor
pencetus dan ada pula yang berfungsi sebagai faktor penghambat. Hormon
yang berperan sebagai faktor pencetus akan dihasilkan dan dibawa melalui
pembuluh darah portahipotalamohipofisis menuju ke hipofisis. Jika hormon
itu tiba di hipofisis, maka hipofisis akan mengeluarkan hormon yang sesuai.
1) Katekolamin
Meningkat lebih banyak seiring dengan intensitas olahraga,
norepinefrin > epinefrin.
2) GH
Meningkat dengan cepat pada orang yang tidak fit, menurun
dengan cepat pada orang yang fit.
3) ACTH-kortisol
Meningkat seiring dengan intensitas olahraga, menurun setelah
olahraga.
4) Prostaglandin
Kemungkinan meningkat sebagai respon terhadap kontraksi
isometric berkelanjutan.
5) Norepinefrin
Olahraga intensitas sedang atau tinggi, hipoglikemi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Olahraga merupakan rangkaian gerak tubuh manusia yang terencana
dan terstruktur serta bertujuan untuk memperoleh manfaat memelihara dan
meningkatkan kebugaran fisik. Aktifitas fisik merupakan salah satu penyebab
terjadinya stress. Stres akibat latihan fisik dapat memicu perubahan sel pada
sistem imun seperti limfosit yang jika terdapat radikal bebas atau molekul-
molekul asing sel limfosit akan bertambah. Stres akibat fisik direspon oleh
hypothalamus yang dapat mensekresi corticotrophin realising hormone (CRH)
yang kemudian memberikan pesan pada pituitari anterior. Pituitari akan
mengeluarkan adreno corticotrophin hormone (ACTH) yang berguna untuk
mengaktifkan atau mempengaruhi korteks adrenal tempat hormon kortisol
disekresi.

B. Saran
Makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis
mohon kritik dan saran dari pembaca agar penulis bisa lebih baik lagi dalam
membuat makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat untuk
pembaca dan penulis

DAFTAR PUSTAKA
M Cholif Shodiq, 2012. Pengaruh Latihan Fisik Submaksimal Terhadap
Peningkatan Jumlah Sel Limfosit Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus
Strain Wistar). Skripsi Universitas Negeri Malang.

Cleveland Clinic. https://health.clevelandclinic.org/what-happens-to-your-body-


during-the-fight-or-flight-response

Dani Nur Riyadi, 2016. Hormonal Responses For Exercise.

Anda mungkin juga menyukai