Anda di halaman 1dari 10

IMUNOLOGI OLAHRAGA

“Peranan Latihan Fisik Dalam Menekan Efek Radikal Bebas”

Disusun Oleh :
Rara Putri Maliza
(18089259)

Dosen Pengampu :
dr. Arif Fadli Muchlis

PRODI ILMU KEOLAHRAGAAN


JURUSAN KESEHATAN DAN REKREASI
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang bertemakan
"Peranan Latihan Fisik Dalam Menekan Efek Radikal Bebas". Makalah ini
disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Imunologi Olahraga . Meskipun
banyak hambatan yang penyusun alami dalam proses pengerjaannya, namun
akhirnya saya berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Penyusun menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, untuk itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini. Penyusun berharap semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca.

Payakumbuh, 28 Mei 2021

Penyusun

I. PENDAHULUAN
Kekebalan tubuh adalah kemampuan untuk melawan segala macam
organisme atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh.
Perlawanan terhadap penyakit tergantung pada kualitas kekebalan tubuh
seseorang, jika memiliki kekebalan tubuh yang baik akan terhindar dari
penyakit, sementara yang kekebalan tubuhnya lemah akan mudah terserang
penyakit. Pada seorang atlet salah satu cara agar kualitas kekebalan
tubuh/imunitas tubuh tetap bertahan dengan melakukan latihan fisik/olahraga.
Cara yang paling sederhana untuk meningkatkan kekebalan tubuh
adalah dengan melakukan latihan fisik / olahraga serta istirahat dan tidur yang
cukup. Latihan fisik ringan sekalipun, seperti aerobik selama 30 menit,
mampu mengaktifikan kerja sel darah putih, yang merupakan komponen
utama kekebalan tubuh pada sirkulasi darah. Idealnya melakukan latihan
aerobik selama 30 menit, lima kali seminggu.
Tetapi, jangan melakukan olahraga berlebihan, karena justru akan
mengakibatkan tertekannya kekebalan tubuh . Contohnya adalah banyak pelari
maraton yang menderita pilek dan flu sesudah bertanding. Tentunya, istilah
berlebihan ini tergantung pada tingkat ketahanan serta ketahanan tubuh
seseorang. Sebelum melakukan latihan olahraga, dianjurkan untuk
berkonsultasi dengan dokter atau pelatih, terutama untuk para pemula.
Begitupun dengan seorang atlet, meningkatkan kekebalan tubuh sangat
diperlukan setidaknya seorang atlet harus bisa mempertahankan imunitas
tubuh agar terhindar dari berbagai penyakit. Untuk atlet, cara mempertahankan
dan meningkatkan imunitas tubuh yaitu dengan melakukan latihan fisik atau
olahraga yang terprogram atau yang biasa disebut dengan program latihan
fisik. Setiap cabang olahraga memiliki program latihan yang berebeda. Oleh
sebab itu, seorang atlet harus memperhatikan program latihan yang
dilaksanakan dan tujuan dari program latihan tersebut agar mempertahnkan
dan meningkatkan imunitas tubuh atlet.

II. Batasan Masalah


Makalah ini membahas tentang upaya mempertahankan kualitas
imunitas atlet melalui program latihan fisik yang mencakup materi sebagai
berikut:
1. Membahas mengenai sistem imunitas
2. Membahas hubungan sistem imunitas dengan latihan fisik dan atlet
3. Membahas tentang upaya yang dijalankan dalam program latihan
untuk meningkatkan performa tanpa meningkatkan risiko atlet jatuh
kedalam keadaan sakit

III. Pembahasan dan Diskusi


A. Sistem Imunitas
Tubuh manusia diciptakan dengan segala kelebihan yang dimilikinya.
Lingkungan tempat tinggal, di mana pun itu, kerap dihinggapi virus dan
bakteri. Namun, tubuh memilki sebuah mekanisme pertahaan untuk
menghalau atau menangkal bakteri dan virus itu masuk ke dalam tubuh. Ini
dinamakan dengan sistem imun tubuh. Sistem imun adalah sistem yang
membentuk kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit dengan menolak
berbagai benda asing yang masuk ke tubuh agar terhindar dari penyakit
(Irianto, 2012). Menurut Fox (2008), sistem imun mencakupi semua struktur
dan proses yang menyediakan pertahanan tubuh untuk melawan bibit penyakit
dan dapat di kelompokkan menjadi dua kategori yaitu; sistem imun bawaan
(innate) yang bersifat non-spesifik dan sistem imun adaptif yang bersifat
spesifik.
Daya tahan tubuh non-spesifik yaitu daya tahan terhadap berbagai bibit
penyakit yang tidak selektif, artinya tubuh harus mengenal dahulu jenis
penyakitnya dan tidak harus memilih bibit penyakit tertentu untuk
dihancurkan. Adapun daya tahan tubuh spesifik yaitu daya tahan tubuh yang
khusus untuk jenis bibit penyakit tertentu saja. Hal ini mencakup pengenalan
dahulu terhadap bibit penyakit, kemudian memproduksi antibodi atau T-
limfosit khusus yang hanya akan bereaksi terhadap bibit penyakit tersebut
(Irianto, 2012).
Komponen sel utama pada sistem imun adaptif yaitu jenis leukosit
khusus yang disebut limfosit. Limfosit T (sel T) dan limfosit B (sel B)
merupakan jenis limfosit utama yang berasal dari sel punca hematopoietik
pada sumsum tulang. Sel T terlibat dalam respons imun diperantarai sel,
sedangkan sel B terlibat dalam respons imun humoral. Baik sel T dan sel B
memiliki reseptor yang mengenali target spesifik. Sel T mengenali target non-
self seperti patogen, tetapi hanya jika antigen telah diolah dan disajikan pada
molekul kompleks histokompatibilitas utama (bahasa Inggris: major
histocompatibility complex, disingkat MHC). Sementara itu, reseptor antigen
pada sel B, yang merupakan suatu molekul antibodi pada permukaan, dapat
mengenali semua patogen tanpa perlu adanya pengolahan antigen. Tiap garis
keturunan sel B memiliki antibodi yang berbeda, sehingga kumpulan reseptor
antigen sel B yang lengkap mewakili semua antibodi yang dapat diproduksi
oleh tubuh.
Awalnya, subtipe sel T dibagi menjadi dua yaitu sel T sitotoksik (sel T
pembunuh) dan sel T pembantu. Namun seiring pesatnya penelitian imunologi
pada dekade terakhir, banyak ditemukan jenis lain dari limfosit misalnya sel T
gamma delta (sel T γδ). Sel T sitotoksik hanya mengenali antigen yang
dirangkaikan pada molekul MHC kelas I, sementara sel T pembantu hanya
mengenali antigen yang dirangkaikan pada molekul MHC kelas II. Dua
mekanisme presentasi antigen tersebut memunculkan peran berbeda dua tipe
sel T. Jenis lain sel T yang termasuk subtipe minor yaitu sel T γδ, yang
mengenali antigen yang tidak melekat pada molekul MHC.
Daya tahan tubuh non-spesifik mencakup rintangan mekanis (kulit),
rintangan kimiawi (lisozim dan asam lambung), sistem komplemen (opsinon,
histamin, kemotoksin, dan kinin), interferon, fagositosis, demam, dan radang.
Sedangkan daya tahan tubuh spesifik atau imunitas dibagi menjadi imunitas
humoral yang menyangkut reaksi antigen dan antibodi yang komplementer di
dalam tubuh dan imunitas seluler yang menyangkut reaksi sejenis sel (T-
limfosit) dengan antigen di dalam tubuh (Irianto, 2012). Leukosit (sel darah
putih) bertindak layaknya organisme bersel tunggal yang bebas dan
merupakan pertahanan penting dalam sistem imun bawaan. Jenis-jenis
leukosit dalam sistem imun bawaan di antaranya fagosit (makrofag, neutrofil,
dan sel dendritik), sel limfoid bawaan, sel mast, eosinofil, basofil, dan sel NK.
Sel-sel tersebut mengidentifikasi dan menghilangkan patogen dengan cara
menyerang patogen yang lebih besar melalui kontak atau dengan cara menelan
dan lalu membunuh mikroorganisme. Sel-sel pada imunitas bawaan juga
merupakan mediator penting pada pengaktifan sistem imun adaptif.
Makrofag, neutrofil, dan sel dendritik merupakan kelas sel sensor yang
mendeteksi dan menginisiasi respons imun dengan menghasilkan mediator
inflamasi. Sel-sel ini mengekspresikan sejumlah reseptor terbatas untuk
mengenali patogen atau sel yang rusak, bernama PRR. Beberapa PRR
merupakan reseptor transmembran (reseptor pada permukaan sel), seperti
reseptor jenis Toll (Toll-like receptor, TLR) yang dapat mendeteksi struktur
pola molekuler terkait patogen (pathogen-associated molecular pattern,
PAMP) yang dihasilkan oleh bakteri ekstraseluler atau bakteri yang ditangkap
dan mengalami fagositosis. PRR lainnya merupakan protein sitoplasmik
(berada di sitoplasma) misalnya reseptor jenis NOD (NOD-like receptor,
NLR) yang dapat mendeteksi serangan bakteri intraseluler. Menurut Irianto
(2012), secara umum sistem imun memiliki fungsi sebagai berikut:
1) Pembentuk kekebalan tubuh.
2) Penolak dan penghancur segala bentuk benda asing yang masuk ke dalam
tubuh.
3) Pendeteksi adanya sel abnormal, infeksi dan patogen

B. Hubungan Sistem Imunitas Dengan Latihan Fisik Dan Atlet


Sirkultasi dari jumlah leukosit mungkin meningkat terus menerus
setelah sesi latihan, dan mungkin tetap meningkat untuk periode yang lama
(sampai 24 jam) setelah beberapa tipe latihan. Secara umum, besarnya
lekositosis nampak berhubungan langsung dengan intensitas latihan dan durasi
, dan berbanding terbalik dengan tingkat kebugaran durasi latihan mungkin
faktor yang sangat penting. Peningkatan jumlah lekosit lebih utama pada
peningkatan netrofil dan lebih luas lagi jumlah limfosit walaupun jumlah
monosit juga meningkat (Mackinon,1992:50).
Atlet yang terlatih baik menunjukkan jumlah lekosit istirahat rendah,
sebagai contoh. Green dkk, melaporkan bahwa 4 dari 20 pelari mempunyai
jumlah lekosit rendah (4,3 X 10^ per laL : normalnya adalah berkisar 4-1 1 x
10 per /aL ). Demikian pula dengan jumlah lekosit kurang dari 5 x 10 per /iL
telah dilaporkan pada 5 dari 9 pelari jarak jauh (Moorthy dan Zimmerman,
1978 : 274). Peningkatan jumlah lekosit mengikuti macam-macam latihan,
lama durasi dari beberapa detik sampai beberapa jam (marathon dan berbaris).
Besarnya peningkatan bervariasi dan ditentukan oleh kombinasi intensitas
latihan dan durasi. Sebagai contoh, peningkatan sampai dua kali setelah lebih
dari satu jam latihan, 2-3 kali jam latihan dan 4 kali setelah lebih dari 2 jam
latihan (Mc Carthy dan Dale, 1988 : 340).
Latihan fisik yang benar, teratur, berbeban individual dan
menyenangkan dapat memperbaiki dan menghambat penurunan fungsi organ
tubuh, menyehatkan tubuh serta meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
penyakit infeksi (Kumae,1987 : 65). Pemberian rangsang fisik yang berulang
pada sistem tubuh akan menyebabkan proses adaptasi yang dapat
mencerminkan peningkatan kemampuan fungsional tetapi jika besarnya
rangsang tidak cukup untuk proses pembebanan, maka tubuh tidak akan
terjadi proses adaptasi. Sebaliknya jika rangsang terlalu besar yang tidak dapat
ditoleransi oleh tubuh akan menyebabkan jejas dan mengganggu keadaan
homeostasis pada sistem tubuh (Setyawan,1995 : 96).
Sehubungan dengan pengaruh latihan terhadap konsentrasi darah putih
sebagai parameter deteksi peningkatan sistem imun dalam tubuh, Nieman
(1994) menyatakan bahwa latihan fisik tingkat sedang merangsang sistem
imun, tetapi latihan fisik yang intensif dapat menyebabkan penurunan sistem
imun. Tetapi masih belum sistem imu n dan lebih rawan/rentan terhadap
infeksi. Jadi respon imun pada tubuh sebagai akibat dari latihan belum
diketahui dengan jelas. Latihan yang digunakan oleh Nieman adalah latihan
treadmill selama 45 menit dengan intensitas tinggi (80 % V0 2 max ) dan
intensitas sedang (50 % V0 2 max).
C. Upaya Yang Dijalankan Dalam Program Latihan Untuk
Meningkatkan Performa Tanpa Meningkatkan Risiko Atlet Jatuh
Kedalam Keadaan Sakit
Program latihan kondisi fisik perlu direncanakan secara sistematis baik
kegiatan olahraga yang bertujuan untuk kebugaran, dan apalagi untuk kegiatan
olahraga prestasi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kebugaran jasmani
dan kemampuan ergosistem tubuh. Proses latihan kondisi fisik yang dilakukan
secara cermat, berulang-ulang dengan kian hari meningkat beban latihannya,
akan meningkatkan kebugaran jasmani. Hal ini akan menyebabkan seseorang
kian terampil, kuat dan efisien dalam gerakannya . sebeum melakukan
program latihan ada baiknya kita meyusun perencanaan latihan fisik sebagai
pedoman latihan yang direncanakan untuk meningkatkan kemampuan fisik,
menuju kebugaran dan penampilan yang terbaik pada sebuah kompetisi bagi
olahraga prestasi, penampilan puncak yang diharapkan adalah meningkatkan
prestasi atau penampilan seorang atlet dengan memaksimalkan adaptasi
fisiologis.
Sebagai pelatih yang baik adalah pelatih yang selalu mempersiapkan
perencanaan program latihan, karena salah satu elemen yang sangat penting
dimiliki oleh seorang pelatih adalah kompetensi dalam menyusun program
latihan agar hasil yang diharapkan menjadi lebih efektif. Peran dan tugas
seseorang pelatih adalah merencanakan program latihan dengan tujuan
meningkatkan atau mengembangkan kemampuan teknik (keterampilan/skill),
fisik, taktik, dan juga kondisi psikologis (mental skills), sehingga atlet siap
menghadapi kompetisi dan mampu menunjukkan prestasi dengan baik. Bagi
pengembangan olahraga prestasi, sebagai pelatih harus melibatkan atlet secara
bersama-sama dalam merencanakan program latihan terutama ketika akan
menentukan target sasaran (goal setting) agar proses pelatihan yang
berlangsung dalam jangka panjang (long term) maupun jangka pendek (short
term) terlaksana dengan baik.
1) Periodisasi latihan
Makna dan manfaat periodisasi dalam proses latihannya adalah
untuk: (a) mendapatkan puncak prestasi pada saat yang tepat (ideal
moment), (b) mencapai efek latihan yang optimal, (c) proses latihan
menjadi lebih objektif, dan (d) tujuan dari latihan menjadi lebih
terarah, yaitu meningkatkan prestasi, mempertahankan lebih lama
prestasi yang sudah dicapai, dan menghindari penurunan prestasi
secara dratis. Sebagai persyaratan dalam membuat program latihan
harus didukung oleh: (a) Jadwal kompetesi yang pasti, (b) event
lainnya yang mendukung, dan (c) kondisi awal atlet.
2) Siklus makro dan mikro
Siklus-makro atau macrocycle adalah tahapan yang
berlangsung selama 2 hingga 7 minggu (2-7 siklus-mikro). Siklus-
makro digunakan untuk merencanakan kegiatan di masa yang akan
datang, untuk mencapai suatu tujuan. Siklus mikro atau microcycle
berasal dari bahasa Yunani micros, yang artinya “kecil”, dan bahasa
Latin cyclus yang artinya serangkaian kejadian. Dalam metodologi
pelatihan, siklus mikro dilakukan tiap minggu atau 3 sampai 7 hari di
dalam program pelatihan tahunan. Struktur dan konten siklus mikro
menentukan kualitas proses pelatihan di antara system tetra yaitu
siklus 4 hari latihan di mana terdapat aktivitas:
Hari 1: Melaksanakan program pendek yang berenergi
Hari 2: Latihan secara intensif
Hari 3: Relaks untuk memulihkan aktivitas
Hari 4: Lakukan latihan yang moderat
3) Unit Latihan
Merupakan bagian terkecil dari rencana program, terdiri
dari:
a. Pemanasan
b. Latihan Inti
c. Pendinginan
Ketika latihan fisik menjadi inti latihan maka susunan
latihannya harus tepat. Dasar pertimbangan ketika menempatkan
setiap komponen fisik yang akan dilatihkan adalah dasar fisiologi.
Hal ini disebabkan karena ketika latihan fisik berlangsung maka
hakikatnya sedang berlangsung pelatihan fisiologi yang sistemik.
Sehingga urutan latihan yang harus diberikan adalah latihan
kecepatan gerak, latihan kekuatan, dan diakhiri dengan latihan
daya tahan.

IV. KESIMPULAN
Kesimpulan Sistem imun adalah sistem yang membentuk kemampuan
tubuh untuk melawan bibit penyakit dengan menolak berbagai benda asing
yang masuk ke tubuh agar terhindar dari penyakit (Irianto, 2012). Menurut
Fox (2008), sistem imun mencakupi semua struktur dan proses yang
menyediakan pertahanan tubuh untuk melawan bibit penyakit dan dapat di
kelompokkan menjadi dua kategori yaitu; sistem imun bawaan (innate) yang
bersifat non-spesifik dan sistem imun adaptif yang bersifat spesifik.
Sedangkan latihan fisik memiliki hubungan yang erat, apabila sesorang
latihan fisik teratur dan terukur maka akan berpengaruh terhadap
meningkatnya daya dahan tubuh seorang dan begitupun sebaliknya. Upaya
yan dapat dilakukan untuk meningkatkan performa atlet tanpa jatuh sakit
adalah dengan melakukan perioderisasi latihan, siklus makro dan mikro serta
unit latihan yang terdiri dari pemanasan, latihan inti dan pendinginan.

V. DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_imun
Hidayat, Sophian dkk. 2020. Sistem Imun Tubuh Pada Manusia. Jurnal Kreasi
Seni Dan Budaya . Vol. No. 03 Hlm 144-149.
Bafirman HB, 2019. Pembentukan Kondisi Fisik. Depok Rajawali
Yuliarto, Hari. 2008. Latihan Fisik Dan Kekebalan Tubuh. Medikora. Vol. IV.
No. 1 hal 48-49.

Anda mungkin juga menyukai