Anda di halaman 1dari 21

Reading Assignment

Acc Supervisor

Divisi Psikosomatik

Prof. dr. Habibah H. Nst, SpPD K-Psi

ASPEK PSIKOSOMATIK HIPERTENSI


Daniel Tarigan, Wika H Lubis, Habibah Hanum Nasution
RSUP HAM-FK USU

1. PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang sering dialami pada saat ini. Ada yang
menyebutkan jaman ini sebagai jaman ansietas. Sehingga merupakan suatu kemungkinan
bahwa meningkatnya frekuensi hipertensi berhubungan dengan adanya gangguan
psikosomatik selain bertambahnya usia serta faktor resiko lain. Hasil survei yang dilakukan
di banyak negara menunjukkan angka kejadian hipertensi berkisar 15-25% pada populasi
dewasa. Dua pertiga dari populasi invi mempunyai kenaikan tekanan darah (TD) yang ringan,
tapi tidak menetap dan tidak semuanya pula memerlukan obat anti hipertensi.
Hasil survey INA-MONICA (multinational monitoring of trends and determinants
disease) Jakarta 1993,angka hipertensi 16.9%, laki-laki 16.5%, perempuan 17%. Prevalensi
hipertensi di Indonesia berkisar 6-15% terendah di lembah Baliem,Irian Jaya sebesar 0.6%%
tertinggi di Silungkang,Sumatera Barat 19.4%.
Penelitian tentang faktor psikososial dan faktor sosiokultural hingga saat ini telah
mendapatkan hubungan yang lebih nyata bahwa perubahan hemodinamik, peningkatan
tekanan darah berhubungan dengan faktor psikologis, emosional, ansietas, depresi dan faktor
psikososial lainnya, seperti white coat hypertention. Penelitian di Amerika Serikat pada orang
negro didapatkan angka hipertensi yang tinggi, yang berhubungan dengan adanya rasa
permusuhan (hostilitas), rasa tertekan sebagai akibat diskriminasi dan kemiskinan serta
masalah psikososial lainnya yang merupakan model psikosomatik agresi yang tertekan.1
Berbicara mengenai aspek psikosomatik pada hipertensi tentunya tidak terlepas dari
berbagai stressor yang timbul di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu pada tulisan ini
akan dibicarakan bagaimana relevansi stress terhadap hipertensi, yang akan dibagi menjadi
beberapa garis besar. Vingerhoet dan Marcelissen membaginya menjadi : stress emosional,
yang diketahui sebagai jalur interaksional,transaksional,perilaku dan gaya hidup; stress
sosiokultural yang terkait dengan faktor sosiokultural dan perbedaan grup lainnya; dan stress
1

pekerjaan yang muncul dari aktivitas kerja, lingkungan kerja yang terorganisir atau
keduanya.2
2. PATOFISIOLOGI
Beberapa bukti jalur mana yang mungkin dari faktor risiko psikososial dapat
mempengaruhi tekanan darah. Mekanisme yang mendasari hubungan tersebut telah dibagi
menjadi 2 kategori: mekanisme patofisiologis seperti stimulasi berlebih jalur neuroendokrin
dan mekanisme perilaku dimana variabel psikososial meningkatkan risiko lain sehingga
menjadi pilihan kesehatan yang buruk.3
Satu jalur hipotesis yang menghubungkan gairah emosional dan tekanan darah
meliputi aktivasi berlebih dari sistem saraf simpatik (SNS) dan axis hipotalamus-hipofisisadrenal (HPA). Lebih khusus, stimulasi berulang pada sistem kardiovaskular dari
neurohormon SNS / HPA karena stres psikososial berkontribusi terhadap perkembangan dan
pengembangan hipertensi. Peningkatan dari neurohormon telah terbukti dalam respon
terhadap stres akut dan kronis, dan bukti dari penelitian pada hewan telah menunjukkan
bahwa infus jangka panjang neurohormon dapat menghasilkan hipertensi yang menetap.
Secara bersama-sama, informasi ini menguraikan bagaimana stress emosional kronis dapat
dikaitkan dengan perkembangan hipertensi melalui stimulasi berlebih jalur neuroendokrin.3
Penelitian pada reaktivitas kardiovaskular juga telah menunjukkan jalur yang
mungkin yang menghubungkan stres psikososial dan tekanan darah. Reaktivitas
kardiovaskular merupakan alat penelitian yang paling sering digunakan untuk mengukur
respon stres fisiologis terhadap stres psikologis. Tekanan darah adalah komponen yang dapat
diukur dari reaktivitas kardiovaskular. Bukti telah mengaitkan variabel psikososial tertentu
seperti marah mengakibatkan reaktivitas kardiovaskular yang lebih besar. Peningkatan
reaktivitas kardiovaskular pada gilirannya telah dikaitkan dengan peningkatan jangka panjang
dalam tekanan darah dan meningkatnya status risiko kardiovaskular. Bersama informasi ini
menguraikan jalur patofisiologi tambahan dimana paparan kronis terhadap stresor psikososial
dapat mempengaruhi perkembangan hipertensi dengan mengubah profil reaktivitas
kardiovaskular.3
Variabel psikososial juga telah dikaitkan dengan tekanan darah melalui jalur
baroreflex. Berbagai jenis stres psikososial telafh dikaitkan dengan sensitivitas baroreflex
yang berkurang, termasuk kecemasan dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Penurunan
sensitivitas baroreflex telah dikaitkan dengan penurunan aktivitas parasimpatis dan
peningkatan aktifitas simpatis. Perubahan profil baroreflex ini telah dikaitkan dengan
peningkatan tekanan darah, bahkan pada follow up lima tahun kemudian. Kecemasan dan
2

PTSD adalah penyakit yang sangat berbeda; Namun keduanya sama dalam

keadaan

psikologis stres kronis. Dengan demikian, secara bersama-sama, bukti ini menguraikan jalur
mekanistik lain yang mungkin dimana stressor psikososial kronis dapat dikaitkan dengan
tekanan darah tinggi melalui perubahan sensitivitas baroreflex.3
Baru-baru ini, sistem kekebalan tubuh dan molekul inflamasi telah terlibat dalam
perkembangan hipertensi. Fitur imunologi spesifik telah diidentifikasi, seperti "serum
immunoglobulin dan perubahan dalam kedua fungsi imun humoral dan seluler" yang
membedakan pasien hipertensi dengan normotensi. Menariknya, stres psikososial kronis telah
dilaporkan memiliki efek negatif pada sistem kekebalan tubuh, dan penelitian terbaru juga
telah didokumentasikan bahwa stressor psikososial seperti stres yang dirasakan berhubungan
dengan penanda imunologik spesifik seperti kemokin proinflamasi interleukin. Keterkaitan
antara variabel-variabel ini menguraikan kemungkinan lain mekanisme dimana stressor
psikososial dapat memberikan kontribusi untuk penyakit kronis peradangan melalui sistem
kekebalan tubuh. Meskipun bukti-bukti dari lapangan ini sebagian besar awal, itu tetap
menguraikan jalur lain dimana variabel psikososial dapat memberi efek pada tekanan darah.3
Beberapa jalur telah dihipotesiskan yang menghubungkan variabel psikososial untuk
tekanan darah tinggi dan pengembangan hipertensi. Mereka meliputi: stimulasi berlebih jalur
neuroendokrin, peningkatan reaktivitas kardiovaskular, mengurangi sensitivitas baroreflex
dan perubahan profil imunologi.

Gambar 1.Mekanisme yang berperan dalam terjadinya hipertensi4

3. STRESS EMOSIONAL

Stress dianggap sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dan


kemampuan seseorang untuk memenuhi tuntutan tersebut. Stress tidak hanya kondisi
lingkungan tetapi juga interaksi dari lingkungan luar tertentu dan orang tertentu; dengan
demikian tidak setiap orang akan menilai dan bereaksi yang sama terhadap situasi tersebut.
Untuk menjadi sangat stress secara fisiologis, suatu kejadian harus mengakibatkan
adanya beban mental yang akan mengganggu fungsi pikiran. Secara luas, stress fisiologis
berkembang ketika suatu informasi baru tidak sesuai dengan kenyamanan yang ada pada pola
pikiran kita.3 Seiring kita menjalani hidup, pengalaman akan membantu kita mengembangkan
suatu gambaran mental dari diri kita sendiri, dari dunia luar dimana kita hidup, dan interaksi
antara keduanya. Gambaran mental ini akan berperan sebagai suatu peta yang akan
menuntun kita dalam mengambil keputusan ketika kita dihadapkan pada suatu informasi baru
tentang dunia di sekitar kita.2
Data yang ada menunjukkan perubahan lingkungan yang tidak diharapkan akan
menimbulkan adanya reaksi stress emosional. Aktivasi simpatetik bertanggung jawab
terhadap adanya peningkatan sementara selama adanya stress psikogenik yang akut seperti
forced mental aritmetic.
Namun masih belum jelas, apakah hiperaktivitas ini terkait dengan arterial intrinsik
dan sensitivitas kardiak atau apakah sistem saraf pusat lebih responsif dalam menerima atau
memproses stimulus oleh mekanisme neurologis dan biokemikal.
Peningkatan TD yang bersifat transien didapati setelah adanya paparan terhadap
stress fisik atau emosional yang akut pada individu dengan tensi normal dan pada mereka
yang dengan hipertensi yang borderline, berubah-ubah atau persisten. 5-11 Peningkatan ini
dapat bertahan dari beberapa menit pada kondisi ekperimental hingga beberapa hari atau
lebih pada kasus bencana besar atau keadaan perang.2
Hal yang hampir sama, pada tugas mental yang sifatnya kompetitif akan
menimbulkan retensi air dan garam pada lelaki muda dengan salah satu atau kedua orang tua
yang hipertensi, besarnya retensi terkait dengan besarnya peningkatan denyut nadi selama
keadaan stress.12 Hal ini menunjukkan bahwa mediasi simpatik yang terjadi dalam hal respon
terhadap tantangan yang aktif, seperti tugas untuk menyelesaikan masalah dan permainan
yang kompetitif, tetapi tidak terhadap stress yang sifatnya lebih pasif seperti menonton film
yang seram.2
Rofe dan Goldberg menggambarkan adanya suatu gradien yang jelas pada prevalensi
nilai tekanan darah pada wanita Israel yang terpapar dengan berbagai tingkatan bahaya dalam
perang atau terorisme.13 Pada lingkungan dengan tingkat stres yang rendah paska perang,TD
terlihat berhenti untuk meningkat,sedangkan di bagian utara Israel dimana perang masih
terjadi, TD cenderung terus meningkat.2
4

Kontrol tekanan darah bersifat multifaktorial dan mungkin akan ada banyak jenis
hipertensi. Inti dari mekanismenya,salah satunya adalah angiotensin.Yang cukup menarik
adalah

adanya

laporan

bahwa

stimulasi

simpatik

yang

terjadi

selama

stress

fisiologik,menimbulkan sekresi renin.


Karena tidak semua bagian dari populasi yang terpapar stres merespon kenaikan TD
yang sama, maka muncul anggapan adanya suatu mekanisme homeostatik yang penting yang
membuat mereka terhindar dari perubahan kenaikan tekanan darah. Faktor genetik dan gaya
coping juga dikatakan berperan dalam hal semacam ini. Faktor genetik jelas terlihat dalam
studi variasi TD yang dilakukan pada individu kembar,dan dari observasi pada kembar
identik,yang pertama menjadi hipertensi adalah yang terpapar terhadap stress terbesar.
Terlihat juga adanya kesatuan keluarga dalam respon TD dan denyut nadi terhadap stressor
karena anak-anak akan menyerupai orang tua mereka dan begitu juga antar pasangan orang
tua. Besarnya respon hemodinamik terlihat ditentukan secara genetik, karena respon ini
terihat paling rendah pada kotrol dengan tekanan darah yang normal tanpa riwayat keluarga
yang hipertensi dan maksimal pada individu dengan TD yang berubah-ubah (labil) dengan 1
atau kedua orang tua yang hipertensi .
Sehubungan dengan gaya coping, individu dengan hipertensi dideskripsikan sebagai
individu yang suka memendam rasa marah dan gejolak hatinya yang biasanya tidak
diekspresikan. Individu ini memiliki tekanan diastolik yang lebih tinggi dibandingkan dengan
mereka yang mengekspresikan kemarahannya.Namun beberapa studi lain menunjukkan hasil
yang berbeda terhadap keadaan ini. Dimana pada studi yang dilakukan di Michigan Amerika
menunjukkan gaya coping yang memendam rasa amarah tidak berhubungan dengan kenaikan
tekanan darah.
Bukti untuk peranan patogenetik stress pada hipertensi masih didapat dari suatu studi
jangka pendek,sehingga masih diperlukan studi longitudinal yang lebih panjang untuk
memvalidasinya. Namun demikian, observasi ini dapat diartikan untuk menunjukkan bahwa
pada hipertensi yang tidak stabil (labil) dan pada beberapa orang yang normotensi dengan
resiko genetik untuk hipertensi, mekanisme susunan saraf pusat dapat meningkatkan respon
adrenergik dan kardiovaskular.2
Dikatakan bahwa, dorongan simpatik yang berlebihan menggambarkan fase awal dari
hipertensi yang bertahan kemudian ketika output kardia tapi tidak dengan norepinefrin
plasma,kembali menjadi normal. Pada kedua situasi tersebut, hipertensi dikontrol oleh
inhibisi adrenergik farmakologik. Pada fase established hypertension,output kardia dan
norepinefrin normal sedangkan resistensi perifer meningkat. Walaupun aspek neurogenik dari
stadium

awal

hipertensi

secara

mudah

dapat

dihubungkan

dengan

aktivasi
5

limbik,hubungannya masih belum pasti ketika kita mempertimbangkan konversi dari output
kardia yang tinggi ke resistensi perifer yang tinggi.2

4. STRESS SOSIOKULTURAL
Di Texas, Amerika, frekuensi hipertensi yang rendah diantara penduduk asli Amerika
sangat kontras dengan frekuensi yang lebih tinggi yang dijumpai diantara penduduk Mexico,
Afrika-amerika, yang diakibatkan suasana lingkungan yang lebih tenang.
Observasi lainnya telah menghubungkan rerata hipertensi yang lebih rendah di daerah
Alaska, Amerika Selatan, dan Africa terhadap mode hidup yang didasarkan pada kultur
tradisional tanpa harus mengikuti perkembangan teknologi.
Setelah pindah ke negara industrialisasi,imigran yang berasal dari daerah dengan
kultur tradisional memiliki peningkatan frekuensi hipertensi yang lebih tinggi dan juga
komplikasinya.Prevalensi hipertensi juga berkaitan dengan sejauh mana gaya kebarat-baratan
pada populasi tertentu yang tinggak di Pasifik selatan.
Resiko yang paling rendah didapati pada salah satu pulau yang paling terisolasi
dengan jarak > 1000km dari pulau terdekat.Populasi dari pulau karang Pasifik diperiksa
sebelum dan sesudah berimigrasi ke Selandia Baru.Imigran yang menetap di pusat kota
dimana diet mereka berubah,lebih banyak mengkonsumsi protein dan karbohidrat.TD
meningkat lebih cepat dibandingkan imigran yang lainnya.Tingkat interaksi dari imigran
dengan masyarakat Selandia Baru berkorelasi positif

dengan nilai tekanan darahnya,

menyiratkan adanya efek protektif bagi imigran yang tetap berada diluar kultur kebaratbaratan.2
Migrasi melibatkan perubahan lainnya disamping memudarnya nilai-nilai tradisional.
Perubahan pada diet, dan adanya peningkatan berat badan, adalah variabel yang dapat
diukur,dimana populasi yang bermigrasi berkorelasi dengan terjadinya hipertensi.
Kebalikannya, lelaki Falklanders pindah dari masyarakat berkembang menuju daerah yang
lebih tradisional ,beradaptasi dengan gaya hidup yang berbeda,menghasilkan aktivitas fisik
harian yang lebih tinggi, obesitas lebih sedikti, dan prevalensi hipertensi yang lebih sedikit.14
Peningkatan kerentanan dari masyarakat Afrika-amerika untuk hipertensi pertama kali
dijelaskan pada tahun 1932. Sejak itu, banyak studi yang mendokumentasikan prevalensi
yang lebih tinggi untuk hipertensi pada populasi ini.Hipotesiyang menyatakan bahwa stres
meningkatkan hipertensi didukung oleh adanya observasi bahwa rerata TD dari penduduk
Afrika-amerika yang tinggal di lingkungan dengan tingkat stress yang tinggi dimana
pengangguran, tingkat kriminal dan penduduk yang sangat padat, ternyata lebih tinggi
dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya yang dengan tingkat stress yang lebih baik.15,16
6

Hubungan terbalik dari TD terhadap pendidikan dan kelas sosial sesuai dengan
pemikiran

bahwa didalam masyarakat industri yang kompleks, problem-solving dan

komunikasi menjadi esensial baik pada situasi kerja ataupun diluar kerja, dan kemampuan ini
didapat khususnya melalui pendidikan formal.2
5. STRESS TERKAIT PEKERJAAN
Dasar berkembangnya stress terkait pekerjaan (occupational stress (OC)) adalah
adanya ancaman yang menimbulkan adanya perasaan tidak aman/kegelisahan dan
ketidakmampuan. Mungkin juga ada elemen dari tekanan waktu dengan keharusan untuk
menyelesaikan tenggat waktu (deadline). Perasaan kesulitan berhubungan dengan situasi
tersebut yang akan menjadi lebih intens ketika pekerja merasa seperti terperangkap sebagai
penerima perintah paling akhir tanpa ada tempat untuk bertanya.Reaksi stres nyata
diobservasi pada pekerja yang dihadapkan dengan perintah-perintah yang menimbulkan
konflik yang sering melekat dalam ambiguitas pekerjaan mereka.
Sebagai contoh, baik guru sekolah dan sipir penjara bertanggung jawab untuk
mengurus suatu segmen populasi yang secara esensial diluar dari mainstream masyarakat.
Masyarakat menuntut bahwa anak-anak diajarkan untuk mandiri, tapi masyarakat tidak
memberitahu guru apakah anak-anak harus dididik untuk menjadi pemikir independen atau
hanya dilatih untuk mengisi posisi dalam struktur ekonomi negara.Demikian pula,masyarakat
tidak mampu untuk menyesuaikan tuntutan untuk menjaga agar kriminal jauh dari sirkulasi
dalam masyarakat dan untuk menjaga ketertiban dan disiplin di penjara dengan tujuan
diakuinya rehabilitasi dan kekhawatiran terhadap hak-hak para narapidana.
Pekerjaan yang tidak memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan sosial selalu
membuat stres.Contohnya pada pekerja kilang kayu (sawmill),dimana produksi mereka
tergantung kepada gergaji yang selalu bergerak, dimana pekerja hanya memiliki sedikit
kontrol. Situasi kerjanya dipenuhi dengan suara yang kuat, hal ini sendiri sudah menjadi
stressor bagi pekerja.
Ketika upah pekerja lebih didasarkan kepada bagian pekerjaan bukan suatu gaji yang
tetap, produksi meningkat, tetapi ketidaknyamanan fisik,lelah dan stres menjadi lebih
prominen.17 Diantara para pria yang bekerja di pabrik yang bising, prevalensi hipertensi
bervariasi namun cenderung tinggi, sebagai efek dari menahan emosi dan stress pekerjaan
yang sering terdiri dari ambiguitas pekerjaan di masa depan, ketidak-cocokan dengan pekerja
lain dan rasa tidak puas terhadap promosi pekerjaan. 18 Kepuasan terhadap sistem manajemen
berkorelasi positif dengan resiko terjadinya hipertensi.

TD pada pria yang ikut serta pada studi Framingham dimana mereka ini bebas dari
penyakit jantung koroner selama re-evaluasi dua tahunan yang ke-8 dan ke-9,berhubungan
dengan kekhawatiran personal dan perselisihan perkawinan dalam subjek-subjek seperti
uang,hukum,anak-anak dan sex tetapi tidak dengan variabel yang terkait dengan pekerjaan
seperti tidak adanya support dari atasan,pekerjaan yang menumpuk dan mobilitas pekerjaan.19
Studi longitudinal yang penting lainnya,mencari trend perubahan tekanan darah pada
1.000 taruna penerbangan yang sehat dan instruktur penerbangan.Dari jumlah ini,20%
meninggal dalam perang dunia ke-2.Mereka yang selamat menjalani evaluasi ulang secara
periodik dalam 24 tahun berikutnya. Tidak ditemukan adanya hubungan antara hipertensi dan
usia. Temuan ini agak luar biasa mengingat

bahwa perkerjaan mereka penuh dengan

tekanan.Tingkat kematian sebesar 20% menunjukkan ukuran risiko ancaman nyawa yang
mereka hadapi, tetapi juga di masa damai, pilot pesawat angkatan laut (AL) dihadapkan
dengan tugas yang sangat menegangkan. Peningkatan kadar katekolamin dan ekskresi
kortisol serum membuktikan kesadaran pilot terhadap risiko dan intensitas reaksi alarm
mereka selama tugas terbang dibandingkan dengan hari kontrol.20
Telah dikemukakan bahwa kemampuan pilot AL untuk tetap dalam keadaan
normotensi meskipun efek stressor potensial dari lingkungan kerja mereka merefleksikan
kenyataan bahwa mereka telah diadaptasi sejak muda terhadap tuntutan teknologi dari
pekerjaan mereka dan dari kerangka sosial dimana mereka menghabiskan kebanyakan waktu
aktif mereka. Serupa dengan itu, adaptasi terhadap kecanggihan khusus yang disebabkan
teknologi modern dapat menjelaskan kestabilan dari denyut nadi dan tekanan darah dari suatu
grup ahli bedah,perawat bedah, dan teknisi operator ruangan yang beroperasi harian,
walaupun pada hari itu mereka menunjukkan peningkatan ekskresi epinefrin dan norepinefrin
yang merupakan suatu manifestasi stress.21
Tuntutan yang dibuat oleh lingkungan kerja mungkin dianggap sederhana, lebih dapat
diprediksi, kurang mengancam dan secara keseluruhan kurang stressogenic daripada konflik
yang sering hadir dalam kehidupan pribadi
6. LACK

OF

IMPACT

DARI

SETENGAH

ABAD

PENELITIAN

PSIKOSOMATIK
Walaupun hipertensi sejak lama telah disangkakan sebagai suatu penyakit
psikosomatik pada beberapa pasien, namun hingga saat ini masih banyak perdebatan yang
timbul pada persepsi ini. Hampir setengah abad penelitian psikosomatik telah didanai dan
dilakukan untuk menjelaskan sifat alamiah psikosomatik dari hipertensi dengan harapan
8

untuk meningkatkan pemahaman dan penatalaksanaan dari kelainan ini. Namun beberapa
penulis kembali mempertanyakan sejauh mana peranan penelitian yang besar dan mahal ini.
Beberapa peneliti pada akhirnya mengambil kesimpulan bahwa ternyata studi-studi
ini hanya memiliki dampak yang sangat kecil. Ribuan studi dan dekade penelitian gagal
untuk memberikan bukti solid untuk mendukung pandangan psikosomatik dari hipertensi.22
Banyak sekali studi telah menilai sangkaan hubungan antara emosi,seperti amarah dan
kecemasan dan hipertensi.Meta analisis menyimpulkan bahwa rasa amarah tidak
dihubungkan

dengan

mengkonfirmasi

hipertensi.23,24

keyakinan

kita

Dekade
bahwa

penelitian

kecemasan

kelihatannya
kronis

akan

gagal

untuk

menimbulkan

hipertensi.Bahkan pada pasien dengan hipertensi berat, yang jarang dimasukkan dalam studi
psikosomatik, nilai kemarahan dan kecemasan tidak berbeda dari pasien dengan tensi yang
normal.
Kecemasan tidak diragukan lagi akan meningkatkan TD, tapi efek ini hanya
sementara. Kecemasan selama pengukuran TD merupakan komponen prominen dalam
fenomena white coat, yang berkontribusi terhadap adanya overdiagnosis dan overtreatment.22
Keyakinan lain yang sering dijadikan studi adalah bahwa stres yang kronis akan
menimbulkan hipertensi. Keseimbangan bukti yang ada juga tidak meyakinkan hal ini.
Pastinya, jika stres kronik menimbulkan hipertensi,maka seharusnya hal ini menjadi nyata
pada studi-studi tentang stress pekerjaan. Namun demikian, hasil studi ini pun tidak konsisten
dan tidak menyakinkan. Pastinya peningkatan berat badan atau penggunan alkohol sebagai
akibat stres pada pekerjaan berkontribusi terhadap terjadinya hipertensi. Namun hubungan
antara stres pekerjaan itu sendiri dengan hipertensi masih lemah dan tidak konsisten.22
Penelitian di bidang psikosomatik secara serius terhambat oleh hasil-hasil studi yang
tidak konsisten. Akibatnya, hasil dari suatu studi adalah sangkaan, dan dapat dikutip untuk
mendukung opini apapun.22
Beberapa masalah yang berkontribusi terhadap inkonsistensi hasil studi ini antara lain:
6.1 Diagnosis hipertensi yang tidak akurat; Kebanyakan studi terganggu dengan
status hipertensi yang tidak jelas dari kebanyakan partisipannya. Kebanyakan studi, hampir
semua pasien hipertensi memilik status hipertensi yang ringan atau borderline,kategori
dimana diferensiasi dari hipertensi dan normotensi sering tidak jelas. Dan juga, pada
kebanyakan studi diagnosis didasarkan pada pemeriksaan sederhana tidak menggunakan
ambulatory blood pressure dan kelihatannya banyak subjek hipertensi kenyataannya sebagai
suatu white-coat dibandingkan hipertensi yang berlanjut.
6.2 Self-selection bias; pada kebanyakan studi,ada suatu self-selection bias dalam hal
kecemasan dan pikirann psikologis diantara volunter untuk studi yang mengamati peran
faktor psikologis dan intervensi. Sebagai tambahan,individu hipertensi yang menyadari
9

mereka memiliki hipertensi, melaporkan tekanan emosional yang lebih dari individu yang
tidak menyadari hipertensinya.
6.3 Interpretation bias; pada kebanyakan kasus,korelasi positif lemah,terkadang
terbatas pada subgrup,lebih ditekankan,sedangkan data negatif kurang diacuhkan atau bahkan
dihilangkan. Sama dengan itu,korelasi positif yang melibatkan 1 atau 2 variabel lebih sering
ditekankan,sedangkan tidak adanya korelasi yang melibatkan jumlah variabel yang lebih
besar malah tidak.
Setengah abad penelitian psikosomatik gagal untuk mengkonfirmasi keyakinan bahwa
peningkatan TD disebabkan adanya stres dari hari ke hari atau tekanan emosional yang
memicu berkembangnya hipertensi.Oleh karena itu psikosomatik dirasakan perlu meneliti
perspektif yang baru terhadap hal ini.22

7. ARAH

BARU

PSIKOSOMATIK

YANG

DAPAT

MENINGKATKAN

RELEVANSI KLINIS
Pada bagian sebelumya,telah dijelaskan kurangnya dampak/manfaat penelitian
psikosomatik pada pemahaman kita terhadap hipertensi. Pada bagian ini penulis mencoba
mengeksplorasi area baru yang kelihatannya menawarkan relevansi klinis yang lebih baik
terhadap isu psikosomatik pada hipertensi.22
7.1 Peranan represif dan pengalaman emosi yang disadari
Selama beberapa dekade,penelitian psikosomatik sebagian besar berfokus pada
stres/tekanan dari suatu pengalaman emosi yang disadari (consiously experienced
emotion),seperti rasa amarah dan kecemasan,namun hanya sedikit atensi terhadap emosi yang
tidak sadar sudah dialami. Kesulitan utama dalam mempelajari keduanya adalah kurangnya
kejelasan konsep,keseragaman terminologi atau instrumen psikologi untuk mengukur emosi
yang tidak sadar sudah dialami.
Represi adalah salah satu terminologi yang sering dikonotasikan untuk suatu
pertahanan (defense) yang tidak disadari melawan tekanan emosi yang disadari.Bukti nyata
mendukung kebutuhan terhadap studi yang mempelajari tentang peranan perilaku represi ini
terhadap timbulnya hipertensi. Aspek-aspek yang mungkin dapat dipelajari termasuk; pola
defensif dari coping yang sering dengan emosi negatif,dan represi yang terkait dengan
riwayat trauma emosi yang berat termasuk trauma masa anak-anak
Defensiveness and repressive coping; gaya coping represif dideskripsikan sebagai
kecenderungan seumur hidup untuk meminimalkan, atau tidak merasakan,suatu tekanan
10

emosi.25 Individu dengan coping represif cenderung untuk menyangkal dan tetap merasa
mereka baik-baik saja bahkan ketika dihadapkan dengan stress yang berat.
Bukti yang ada menyiratkan bahwa gaya ini berhubungan dengan hipertensi. 25-27 Studi
yang dimana perilaku defensif dinilai dengan kuesioner seperti the Marlowe-Crowne Scale of
Social Desirability melaporkan adanya hasil yang konsisten dalam adanya hubungan perilaku
defensif dan hipertensi.25,28,29 Sebagai tambahan,suatu studi yang unik dalam memasukkan
pasien dengan hipertensi berat,kondisi tersebut berhubungan dengan perilaku defensif tidak
dengan rasa amarah dan kecemasan.30
Bukti lainnya dikumpulkan dari studi-studi yang melaporkan bahwa individu yang
hipertensi memiliki tekanan stres yang lebih sedikit dan cenderung lebih defensif
dibandingkan dengan individu yang normotensi25,28 Studi
hubungan

antara

hipertensi

dengan

alexithymia,

juga mengindikasikan adanya

yang

dikarakteristikkan

sebagai

ketidakmampuan untuk menyatakan/memberitahukan pengalaman emosional,berfokus bukan


pada rincian faktual
Kejadian traumatik dalam hidup dan kekerasan dan trauma pada masa anakanak; Studi-studi pada hipertensi kebanyakan berfokus pada hal stress yang dialami setiap
hari, seperti akibat pekerjaan, perkawinan, atau lainnya. Peranan dari trauma emosional
sebelumnya kurang mendapat perhatian.
Trauma emosional memang tidak menjadi yang utama. Lebih dari 20% orang
melaporkan adannya kekerasan berat atau trauma yang dialami pada masa anak-anak. Hal ini
akan berdampak pada perilaku dan perasaan pada tahun-tahun perkembangan anak
berikutnya,sehingga bukannya tidak mungkin hal ini juga akan mempunyai pengaruh pada
efek autonomik walaupun kemungkinan ini belum banya dipelajari.
Penanganan psikologis trauma parah sering melibatkan pertahanan alam bawah sadar,
yang melindungi terhadap potensi kesadaran emosi yang berlebihan. Akibatnya, banyak
korban trauma yang mempekerjakan pertahanan tersebut tidak kemudian melaporkan
gangguan emosi yang terkait dengan trauma. Potensi hubungan antara hipertensi dan trauma
masa lalu, termasuk trauma yang dihadapi selama masa kanak-kanak, dengan demikian
sering tersembunyi, baik oleh interval lama dan dengan tidak adanya yang dirasakan atau
dilaporkan tekanan emosional yang berkaitan dengan itu.22
7.2 IDENTIFIKASI FENOTIP KLINIS DARI HIPERTENSI PSIKOSOMATIK
Meskipun identifikasi pasien dengan hipertensi neurogenik tetap sulit, asal neurogenik
dapat dicurigai dalam setidaknya 4 sub kelompok pasien yang hipertensi tidak cocok dengan

11

pola yang biasa. Subkelompok ini tampaknya akan menjadi target yang lebih baik untuk
penelitian psikosomatis daripada jumlah pasien hipertensi esensial rutin yang lebih besar,
yang tidak mungkin untuk hipertensi neurogenik.22
7.2.1Pasien Dengan Komorbiditas Yang Berhubungan Dengan Peningkatan
Tonus Sympathetic Nervous System (SNS)
Ada banyak dokumentasi, dimana komorbiditas tertentu terkait dengan peningkatan
tonus SNS. Contoh yang prominen meliputi penyalahgunaan alkohol, setelah stroke akut, dan
sleep apnea.22
7.2.2 Hipertensi Berat Yang Tidak Jelas
Bila pasien mengalami hipertensi berat, dokter mencari penyebab hipertensi sekunder,
tapi biasanya gagal untuk mengungkap penyebabnya. Pada pasien tersebut, mekanisme lain
dari yang biasanya mungkin menjelaskan keparahan hipertensi yang jarang. Mendukung
peran dari SNS pada pasien tersebut adalah adanya tonus SNS, yang diukur dengan aktivitas
otot saraf simpatis, lebih besar pada individu dengan hipertensi berat dibandingkan pada
mereka dengan hipertensi ringan.22
7.2.3 Hipertensi Resisten: Hipertensi resisten terhadap Pengobatan dengan
target Sodium / Volume dan RAS
Kegagalan kombinasi obat yang bertarget pada pengaturan sodium / volume dan RAS
untuk menormalkan TD menunjukkan adanya bukti kuat bahwa mekanisme lain yang
kemungkinan terlibat. SNS merupakan kandidat logis. Konsisten dengan ini, sebuah studi
baru-baru ini menemukan kombinasi dan bloker untuk menjadi alternatif yang efektif
dalam pengelolaan hipertensi resisten.30
7.2.4 Hipertensi Labil dan Paroxysmal Hipertensi
Kedua bentuk hipertensi ini ditandai dengan sifatnya yang lebih episodik daripada
menetap. Keduanya tampak neurogenik dan memiliki asal-usul psikosomatik.Meskipun
istilah labil dan paroksismal sering digunakan secara bergantian, perbedaan penting antara
keduanya sangat relevan dalam penatalaksanaan. Beberapa fitur klinis diperlukan untuk
membedakan dua gangguan ini dan pengobatannya.22
Hipertensi Paroxismal; adanya hipertensi paroksismal (pseudopheochromocytoma)
yang tidak terjelaskan atau sulit diobati memberikan contoh nyata dari kedua hubungan
12

antara emosi represi dan hipertensi dan dampak penting dari hal tersebut pada pengobatan.
Pasien dengan gangguan ini mengalami episode peningkatan TD berat yang tiba-tiba, disertai
dengan gejala fisik yang parah seperti sakit kepala, berkeringat, memerah, dan nyeri dada.
Pasien hampir seragam bersikeras bahwa episode tidak dipicu oleh stres, tekanan emosional
yang dirasakan, atau panik , sehingga menutupi asal psikosomatik nya.22
Meskipun sindrom ini secara reguler menunjukkan dugaan kearah diagnosis
pheochromocytoma, yaitu tumor yang mensekresi katekolamin, tumor ditemukan hanya 1%
sampai 2% dari kasus. Pada 98% sisanya, penyebab dan pengobatan tetap menjadi misteri.
Bukti peningkatan katekolamin selama episode, dan adanya katekolamin meningkat pada
waktu lain juga, sesuai dengan mekanisme neurogenik.22
Penjelasan terakhir untuk gangguan ini menghubungkannyadengan emosi yang
represi, dan pengobatan yang didasarkan pemahaman tersebut telah memberikan pendekatan
awal yang sukses untuk pengobatan pada kebanyakan pasien dengan kondisi ini.
Pengenalan dari hubungan antara gangguan ini dan trauma sebelumnya terhambat
baik oleh interval waktu yang panjang dan dengan keyakinan pasien bahwa mereka belum
memiliki dampak emosional. Ironisnya, desakan itu sendiri merupakan petunjuk emosi yang
represif.22
Dukungan kuat untuk memahami gangguan ini adalah keberhasilan yang dicapai
dalam mengobatinya. Paroksismal dikelola secara akut dengan agen anxiolytic, seperti
alprazolam, dan / atau obat antihipertensi seperti /blocker labetalol, diberikan secara
intravena, atau clonidine oral. Perawatan berkelanjutan dengan menggabungkan / blocker
dapat mengurangi besarnya peningkatanTD yang terjadi selama serangan.22
Penting diperhatikan bahwa agen antidepresan biasanya efektif dalam mencegah
hipertensi paroksismal dan memungkinkan pasien untuk melanjutkan hidup normal.
Efektivitas mereka memberikan bukti kuat bahwa ini adalah gangguan psikosomatik
meskipun serangan tidak berasal dari tekanan emosional yang dirasakan.22
Hipertensi labil. Meskipun hipertensi labil sering dijumpai dalam praktek klinis,
kriteria diagnostik tertentu untuk menentukan hal itu belum ada ditetapkan atau bahkan
diusulkan. Sebaliknya, hal ini ditandai berdasarkan gambaran klinis subjektif dari
peningkatan TD yang bervariasi dan dapat cukup tinggi. Hipertensi labil berbeda dari
paroksismal hipertensi dalam hal peningkatan TD, biasanya terjadi pada saat-saat tekanan
emosional terjadi. Dan juga, peningkatan TD sering tanpa gejala, meskipun palpitasi dan sakit
kepala, mungkin tension headache atau hypertensive headache, kadang-kadang terjadi.22
Peningkatan Tdyang labil mungkin berupa neurogenik, dimana waktu ke waktu
perubahan TD sebagian besar dikendalikan oleh tonus SNS. Selanjutnya, kenaikan TD
biasanya disertai dengan peningkatan denyut jantung, suatu petunjuk klinis yang
13

menunjukkan adanya stimulasi adrenergik. Akhirnya, pengukuran dari labilitas TD seperti


reaktivitas dan variabilitas juga dikaitkan dengan peningkatan tonus simpatik. Tidak jelas
apakah peningkatan TD labil dikaitkan dengan kerusakan target organ. Tampaknya bahwa
semakin sering atau parah atau bertahannya peningkatan TD, semakin besar kemungkinan
bahwa itu akan berhubungan dengan kerusakan organ target dan semakin besar kemungkinan
bahwa pasien memerlukan terapi antihipertensi.22
Dalam mengobati hipertensi labil, penggunaan agen yang bekerja pada aktifitas SNS
daripada sodium/volume atau RAS akan terlihat cocok. Pengalaman klinis menunjukkan
bahwa menggabungkan / blocker sering efektif, meskipun, sampai saat ini, terapi obat ini
dalam penatalaksanaan hipertensi mendapat perhatian minimal.22
8. GAMBARAN KLINIS
Keluhan inisial yang tidak khas seperti sakit kepala, pusing, jantung berdebar,
insomnia, tergantung dari sensibilitas pribadi. Keadaan ini dapat menjadikan hipertensi yang
lama dan tersembunyi (silent). Keluhan psikis yang mencolok ialah ketegangan, nervus,
kegelisahan dan dorongan yang tidak jelas dan tanpa tujuan. Dalam perjalanan penyakitnya
dapat timbul komplikasi somatik berupa gangguan jantung, gangguan peredaran serebral dan
perifer, dan gangguan ginjal serta sering kali dianggap sebagai gejala awal penyakit saat
pertama kali pasien ke dokter yang sebenarnya merupakan gejala komplikasi hipertensi. Jika
gejala ini sejak awal dapat dicegah maka komplikasi hipertensi dapat dicegah, dengan cara
pengamatan berkesinambungan tentang situasi psikososial, pekerjaan dan keluarga.1
9. PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis hipertensi primer dibuat paexclusionum dengan mengenyampingkan
penyebab lain. Karena hingga kini belum ditemukan kausa morfologis, kimiawi atau organik,
maka untuk menetepkan diagnosis harus menyisihkan penyebab renal, kardial, hormonal, dan
neurogen sebagai hipertensi sekunder. Menurut WHO (World Heart Organization) dan ISH
(International Society of Hypertension), menetapkan batas hipertensi, bila tekanan darah
istirahat menetap >140/90 mmHg.1
Jadi seseorang dikatakan hipertensi bila pada pengukuran tekanan darah yang
berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu, tekanan darah sistolik dan atau diastolik
melebihi 140/90 mmHg. Perlu eksklusi yang seksama adanya hipertensi sekunder. Timbulnya
hipertensi bersamaan dengan gangguan psikosomatik saja tidak boleh melalaikan
pemeriksaan kemungkinan adanya penyakit organik. Gangguan psikosomatik dan hipertensi
14

sekunder dapat timbul secara bersamaan pada waktu tertentu, tanpa ada hubungan kausaletiologis.1
10. PENDEKATAN TERAPI
Karena sifat etiologi yang multifaktorial, kebanyakan pasien membutuhkan terapi
kombinasi, yaitu tergantung dari penitikberatan pribadi, diberikan terapi kombinasi, dengan
obat, diet dan psikoterapi superfisial terpusat pada konflik. Bila perlu dapat dilakukan
psikoterapi perilaku atau psikoterapi analisis.
Latihan autogen (autogenic training) sebagai latihan rileks pada hakikatnya sangat
baik, namun sering kali menambah rasa takut dan kegelisahan. Karena aktivitas defense yang
menutup-nutupi rasa takut dihilangkan sehingga konflik internal malah dialami lebih jelas.
Perubahan cara hidup, dengan membicarakan bersama pasien rintangan yang menghalangi
pembagian waktu kerja dan istirahat (libur dan cuti) yang bijaksana.1
Terapi dengan obat, seringkali perlu diberikan namun efek samping harus
diperhatikan. Reserpin, misalnya juga mempunyai efek samping depresif. Kecenderungan
hipokondria jangan difiksasi. Sebenarnya masih banyak pasien yang mampu menurunkan
tekanan darahnya dengan cara mengevaluasi dan mengendalikan konfliknya. Pada
pengukuran tekanan darah harus diambil jalan tengah antara kerahasiaan yang menakutkan,
dan overestimate angka-angka tekanan darah, yang mengakibatkan ketergantungan pasien
pada pemeriksaan tekanan darah. Pada pengukuran tekanan darah pada pasien hipertensi
labil, jangan dengan wajah yang angker, tetapi juga jangan dengan keprihatinan yang
berlebihan. Lebih bermanfaat ialah bicara dengan pasien dan menanyakan tentang dasar-dasar
problem aktual, yang menyebabkan ketegangan. Diikhtiarkan agar pasien dapat
mengungkapkan problem tersebut dengan kata-kata yang akhirnya dapat melegakan
keadaan.1 Hal penting lainnya dalam manajemen pasien ini adalah dukungan tambahan
seperti halnya dari sisi keluarga, keagamaan dan sosial.31
11. FARMAKOLOGI DALAM HUBUNGAN ANTARA PSIKOSOMATIK DAN
HIPERTENSI
11.1 Anti hipertensi sebagai penyebab depresi
Drug-induced depresi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme termasuk perubahan
langsung pada fungsi bioamine,ganggan pada fungsi HPA-axis, perubahan dramatis pada
hormonal,dan peningktan produksi sitokin. Obat anti hipertensi seperti reserpin,guanethidine
dan metildopa sepertinya menginduksi depresi melalui penurunan aktivitas bioamin pada
15

susunan saraf pusat (SSP).Metildopa diubah menjadi -methyl norepinephrine, yang kurag
aktif dibandingkan dengan norepinefrin dan menggantikannya pada akhir saraf simpatik,yang
beraksi seperti suatu neurotransmitter yang palsu.
Klonidin juga menurunkan output norepinefrin sentral melalui stimulasi dari 2adrenergic receptors. -blockers menggunakan suatu centrally-mediated effect yang spesifik
dari reseptor -adrenergic dan serotonin. Blokade dari -reseptor mengakibatkan peningkatan
pada pengikatan -reseptor,suatu efek berlawanan yang berhubungan dengan antidepresan.
Obat atau substansi yang menginduksi depresi didefenisikan oleh DSM-IV sebagai
suatu gangguan yang menetap dan prominen dari suatu mood/perasaan yang berlangsung
selama penggunaan obat atau intoksikasi atau withdrawal dari suatu medikasi terapi. Kunci
utama dari diagnosis adalah adanya hubungan yang sifatnya sementara antara terjadinya
gejala depresi dan penggunaan obat penyebab.Gangguan mood atau gejala depresi harus
cukup kuat untuk menimbulkan gangguan pada fungsi kehidupan sehari-hari. Sebagai
tambahan, klinisi harus menyingkirkan kemungkinan dari depresi yang sudah ada
sebelumnya dan juga kemungkinan pengaruh dari penyaktit yang sudah ada.32

Tabel 1. Gejala yang dapat timbul pada drug-induced depression32

Tabel 2. Kondisi lain yang harus disingkirkan dalam mendiagnosis drug-induced depression32

16

Tabel 3. Pencegahan terhadap drug-induced depression

Tabel 4. Manajemen drug-induced depression32

11.2

Antidepresan induced hipertensi

Monoamine Oxidase Inhibitor dapat mencetuskan hipertensi ketika pasien


mengkonsumsi bersamaan dengan makanan yang mengandung tyramine. Namun
demikian,ada beberapalaporan dimana MAOIS menyebabkan hipertensi berat walaupun
tanpa

penggunaan

bersamaan

dengan

medikasi

lainnya.

Diantara

jenis

MAOI,tranylcypromine adalah yang paling berbahaya,sedangkan moclobemide dan


brofaromine tampaknya memiliki efek samping yang paling rendah.
Obat ini memiliki efek tersebut dengan memperlambat metabolisme
dari

simpatomimetik

amine

dan

5-hydroxytryptophan

dan

dengan

meningkatkan penyimpanan norepinefrin di saraf simpatik postganglion.


Agonis reseptor -adrenergik tampaknya merupakan pilihan yang cocok
untuk terapi inisial.
Antidepresan trisiklik memblok reuptake dari neurotransmitter di
sinaps dalam SSP. Ada beberapa laporan bahwa agen ini meningkatkan
TD terutama pada gangguan panik.Buspirone, yang merupakan suatu
agonis reseptor serotonin tipe-1,juga dilaporkan meningkatkan TD. Suatu
spekulasis menyebutkan bahwa buspirone meningkatkan TD melalui
metabolitnya 1-2 pyrimidinyl piperazine yang merupakan suatu antagonis
2-adrenoreeptor sehingga sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan
MAOI. Venlafaxine juga memiliki efek dose-dependent yang signifikan
terutama pada dosis yang tinggi. Episode hipertensi berat juga dilaporkan

17

terjadi pada pasien yang menggunakan antidepresan lainya seperti


fluoxetine,fluoxetine + selegiline dan thioridazine.33
12. KESIMPULAN
Jaman ini dianggap sebagai jaman ansietas, sehingga merupakan suatu kemungkinan
bahwa meningkatnya frekuensi hipertensi berhubungan dengan adanya gangguan
psikosomatik selain bertambahnya usia serta faktor resiko lain.
Vingerhoet dan Marcelissen membaginya menjadi : stress emosional, stress
sosiokultural dan stress pekerjaan yang muncul dari aktivitsa kerja, lingkungan kerja yang
terorganisir atau keduanya.2
Namun diantara banyaknya studi yang mendukung teori-teori ini,masih banyak
menimbulkan perdebatan. Beberapa penyebab diantaranya berupa diagnosis hipertensi yang
tidak akurat, self-selection dan interpretation bia s22. Belakangan timbul suatu arah baru dala
pendekatan psikosomatik pada hipertensi termasuk gaya coping yang represif, pengalaman
emosi, kejadian traumatik dan pengalaman kekerasan traumatik pada masa anak-anak.
Ada pula beberapa fenotip tertentu yang sering muncul dalam hubungan antara
psikosomatik dan hipertensi. Karena sifat etiologi yang multifaktorial, kebanyakan pasien
membutuhkan terapi kombinasi, yaitu tergantung dari penitikberatan pribadi, diberikan terapi
kombinasi, dengan obat, diet dan psikoterapi superfisial terpusat pada konflik. Bila perlu
dapat dilakukan psikoterapi perilaku atau psikoterapi analisis.22
Sebagai klinisi, tentunya kita harus memahami aspek farmakoterapi di dalam
penanganannya termasuk obat anti hipertensi induced depresi dan sebaliknya anti depresi
induced hipertensi.32

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Halim S.B, Sukatman D. Shatri H. Aspek Psikosomatik Hipertensi. dalam: Buku Ilmu
Ajar Penyakit Dalam Edisi V ed: Sudoyo A.W, Setiohadi B. Alwi I, et al. Interna
Publishing. Jakarta. 2009Stress dan hipertensi
2. Horowitz MJ: Intrusive and repetitive thoughts after experimental stress-A summary.
Arch Gen Psychiatry 1975; 32:1457-1463
3. Blom K. Evaluating Psychosocial Variables and their Link to Hypertension Using
Mindfulness-Based Stress Reduction. Institute of Medical Science University of
Toronto. 2013
4. Kaplan N.M, Kaplan's Clinical Hypertension 9th edition. Lippincott Williams &
Wilkins. 2006.
5. Nestel PJ: Blood pressure and catecholamine excretion after mental stress in labile
hypertension. Lancet 1969; 1:692-694
6. Drummond PD: Cardiovascular reactivity in borderline hypertensives during
behavioral and other static stress. Psychophysiology 1985; 22:621-628
7. Baumann R, Ziprian H, Godicke W, et al: The influence of acute psychic stress
situations in biochemical and vegetative parameters of essential hypertensives at the
early stage of the disease. Psychother Psychosom 1973; 22:131-140
8. Shapiro S, Weinblatt E, Frank CW: Return to work after first myocardial infarction.
Arch Environ Health 1972; 24:17-26
9. Ulrych M: Changes of general haemodynamics during stressful mental arithmetic and
non-stressing quiet conversation and modification of the latter by f3-adrenergic
blockage. Clin Sci 1969; 36:453-461
10. Schulte W, Neus H, Thones M, et al: Basal blood pressure variability and reactivity of
blood pressure to emotional stress in essential hypertension. Basic ResCardiol 1984;
79:9-16
11. Light KC, Koepke JP, Obrist PW, et al: Psychological stress induces sodium and fluid
retention in men at high risk for hypertension. Science 1983;220:429-431
19

12. Rofe Y, Goldberg J: Prolonged exposure to a war environment and its effects on the
blood pressure of pregnant women. BrJ Med Psychol 1983; 56:305-311
13. King HOM, Bleaney AA: The low prevalence of hypertension in Falkland Islands
men. J R Coll Gen Pract 1984; 34:95-96
14. Gentry WD, ChesneyAP, Gary HE, et al: Habitual anger-coping styles: Effect on
mean blood pressure and risk for essential hypertension. Psychosom Med 1982;
44:195-202
15. Harburg E, Erfurt JC , Hauenstein LS, et al: Socio-ecological stress, suppressed
hostility, skin color, and black-white male blood pressure: Detroit.PsychosoMmed
1973; 35:276-296
16. Levi L: The stress of everyday work as reflected in productiveness, subjective feeling,
and urinary output of adrenaline and noradrenaline under salaried and piece-work
conditions. J Psychosom Res 1964; 8:199-202
17. Cottington EM, Matthews KA, Talbott E, et al: Occupational stress,suppressed anger
and hypertension. Psychosom Med 1986; 48:249-260
18. 125. Haynes SO, LevinSe, Scotch N, et al: The relationship of psychosocial factors to
coronary heart disease in the Framingham study.Am J Epidemiol .1978; 107:362-383
19. Rubin RT: Biochemical and neuroendocrine responses to severe psychologicalstress:
1. US Navy aviator study, 2. Some general observations, In Gunderson EKE, Rahe
RH(Eds): Life Stress and Illness. SpringfieldI,ll, CC Thomas,1974
20. Mehta 5, Burton P: Stress in operating theater personnel. Anesthesia.1977; 32:924925
21. Mann S.J, Psychosomatic Research in Hypertension: The Lack of Impact of Decades
of Research and New Directions to Consider. The Journal of Clinical Hypertension.
October 2012. Vol 14 (10)
22. Jorgensen RS, Johnson BT, Kolodziej ME, Schreer GE. Elevated blood pressure and
personality: a meta-analytic review. Psychol Bull.1996;120:293320.
23. Suls J, Wan CK, Costa PT Jr. Relationship of trait anger to resting blood pressure: a
meta-analysis. Health Psychol. 1995;14:444456
24. Weinberger DA, Schwartz GE, Davidson RJ. Low-anxious, highanxious, and
repressive coping styles: psychometric patterns and behavioral and physiological
responses to stress. J Abnorm Psychol.1979;88:369380
25. Linden W, Feuerstein M. Essential hypertension and social coping behavior:
experimental findings. J Human Stress. 1983;9:2231.
26. Wennerholm MA, Zarle TH. Internal-external control, defensiveness,and anxiety in
hypertensive patients. J Clin Psychol.1976;32:644648
27. Jorgensen RS, Johnson BT, Kolodziej ME, Schreer GE. Elevatedblood pressure and
personality: a meta-analytic review. Psychol Bull.1996;120:293320.

20

28. Crowne DP, Marlowe D. A new scale of social desirability independent of


psychopathology. J Consult Psychol. 1960;24:349354.
29. Mann SJ, James GD. Defensiveness and essential hypertension.J Psychosom Res.
1998;45:13914
30. Mann SJ, Parikh NS. A simplified mechanistic algorithm for treating resistant
hypertension: efficacy in a retrospective study. J Clin Hypertens (Greenwich).
2012;14:191197
31. Nasution H.H. Pengelolaan Hipertensi Pada Gangguan Psikosomatik: Adakah
Perbedaan?. Scientific Meeting In Psychosomatic Medicine. Jakarta. 2012
32. Botts S,Ryan M.Section IV: Drug Induced Psychiatric Disease.Drug Induced
Disease.1999;1-23
33. Grossman E,Messerli H.Iatrogenic and Drug Induced Hypertension.2004.21-35

21

Anda mungkin juga menyukai