Anda di halaman 1dari 203

PERAN PSIKONEUROALERGOLOGI PADA DERMATOLOGI

Dr. dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV


Bagian Kulit dan Kelamin
FK UNAIR/RSUD Dr Soetomo Surabaya

Abstrak
Psikoneuroimunologi adalah sebuah interdisiplin ilmu dengan
fokus komunikasi biokimia antara otak, perilaku dan sistem
imun. Psikoneuroalergologi merupakan turunan
Psikoneuroimunologi yang lebih memfokuskan pada
keterkaitan alergi imunologi dengan faktor psikososial.
Peningkatan manifestasi alergi diduga berhubungan dengan
faktor-faktor lingkungan seperti stres. Berbagai penelitian
telah dilakukan dan terbukti adanya disfungsi hipotalamus-
hipofisis-adrenal (HPA) dalam respon terhadap stres dapat
memfasilitasi penyimpangan sistem imun dan dengan
demikian, dapat meningkatkan risiko sensitisasi dan
eksaserbasi alergi terutama dalam kondisi stres. Secara klinis
dan fisiologis telah dapat dijelaskan mengenai stres psikologis
yang merupakan kontributor penting pada perjalanan penyakit
alergi melalui efeknya secara langsung maupun tidak langsung
terhadap respon imun, ekspresi neuropeptide kulit, dan fungsi
sawar kulit.
Kata kunci: psikoneuroimunologi, psikoneuroalergologi,
hipotalamus-hipofisis-adrenal

Abstract
Psychoneuroimmunology is an inter disiplinary field that
specifically examines the biochemical cross talk between brain,
behavior and the immune system. Psychoneuroallergology at
the cross road between allergy immunology concept and
psycosocial factors. The increase of allergic manifestation may
be associated with environmental factors such as stress. A
growing number of studies have suggested an altered

Psychoneuroimmunology in Dermatology 1
hypothalamus-pituitary- adrenal (HPA) axis function to stress
in allergy. It is speculated that a dysfunctional HPA axis in
response to stress may facilitate and/or consolidate
immunological aberrations and thus, may increase the risk for
allergic sensitization and exacerbation especially under
stressful conditions. It has been established via clinical and
physiological means that psychological stress is a significant
contributor to allergy course through its direct and indirect
effects on immune response, cutaneous neuropeptide
expression, and skin barrier function.
Key words: psychoneuroimmunology, psychoneuroallergology,
hypothalamus-pituitary-adrenal

Pendahuluan
Psikoneuroimunologi adalah sebuah interdisiplin ilmu dengan
focus komunikasi biokimia antara otak, perilaku dan sistem
imun.1 Psikoneuroalergologi merupakan turunan
Psikoneuroimunologi yang lebih memfokuskan pada
keterkaitan alergi imunologi dengan faktor psikososial. 2 Istilah
'Alergi' mengacu pada peningkatan kepekaan terhadap
lingkungan seperti tungau debu, serbuk sari, bulu jamur atau
makanan pada keluarga. Reaksi hipersensitivitas ditandai
dengan produksi berlebihan imunoglobulin E (IgE). Gangguan
alergi terutama mencakup dermatitis atopik (DA), asma alergi
(AA), rhinitis alergi (RA) dan alergi gastrointestinal.3
Presentasi Alergen oleh sel dendritik mengawali
respon late phase dengan mengaktifkan sel T-helper (Th)
mensekresi interleukin (IL) -4, IL-5 dan IL-13 dalam jumlah
tinggi, yang mencerminkan dominasi Th2 yang memiiki peran
penting dalam kronisitas perjalanan peradangan alergi. IL-4
dan IL-13 menstimulasi sintesis IgE dan menginduksi switching
sel B dari isotypes Ig lain menjadi IgE. Selanjutnya terjadi
peningkatan ekspresi Vascular Cells Adhesion Molecule 1

Psychoneuroimmunology in Dermatology 2
(VCAM-1) dan terjadi perekrutan serta invasi eosinofil ke lokasi
peradangan. IL-5 menginduksi eosinofil untuk mensekresikan
Eosinophyl Cationic Protein (ECO) yang berkontribusi terhadap
kerusakan sel. Peran penting disfungsi imunitas dalam
patomekanisme penyakit alergi, termasuk DA telah dibuktikan
pada berbagai studi, namun demikian banyak hal yang belum
dapat dijelaskan.3,4
Salah satu hipotesis yang potensial untuk menjelaskan
peningkatan prevalensi alergi terutama DA adalah peran
berbagai faktor, antara lain gaya hidup, nutrisi, polusi maupun
stress psikososial pada immunopatologi penyakit tersebut.3,4
Pada makalah ini dibahas peran psikoneuroalergologi
pada patogenesis alergi, termasuk dampak potensial dari
hiporesponsif maupun hiper responsif aksis HPA pada onset
dan perjalanan kronis alergi pada bidang dermatologi, dalam
hal ini Dermatitis Atopik menjadi salah satu contoh manifestasi
alergi pada dermatoogi. Selain itu, juga dibahas berbagai
faktor yang berkontribusi pada disfungsi aksis HPA pada alergi,
serta terapi stres dengan target sistem neuroimun sebagai
upaya penatalaksanaan alergi yang komprehensif.

Disfungsi Aksis HPA – faktor penting pada alergi.


Karakter atopik pada masa awal kehidupan berhubungan
dengan hiper responsif (respon yang berlebihan) aksis HPA
terhadap stress.5,6 Mekanisme terjadinya disfungsi aksis HPA
pada bayi yang mengarah pada terjadinya alergi masih belum
dapat dijelaskan, namun beberapa studi menunjukkan bahwa
faktor genetik dan pembentukan saat fetus (fetal
programming) berperan penting pada hal tersebut.7,8 Pada
kondisi stress, peningkatan kortisol endogen pada anak
dengan predisposisi yang mengarah ke respon imun Th-2, akan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 3
lebih meningkatkan resiko sensitisasi alergi dan onset
terjadinya penyakit alergi. Kortisol yang menginduksi stimulasi
IL-4 selanjutnya akan menginduksi produksi IgE dari sel B.9
Selama perjalanan penyakit, hiper responsif pada aksis HPA
kemudian akan berubah menjadi hipo responsif. Berbagai
faktor yang berpengaruh terhadap perubahan fungsi aksis HPA
tersebut belum diketahui dengan pasti, namun diduga
disregulasi tersebut dapat disebabkan oleh proses inflamasi
kronis dengan sekresi.

Gambar 1. Faktor stres dapat mempengaruhi regulasi imun pada


perjalanan penyakit alergi melalui kondisi hiperresponsif maupun
hiporesponsif aksis HPA. 4

sitokin proinflamasi yang terus-menerus atau stres kronik


karena kondisi alergi dan juga adanya problem sosial. Pada
kondisi alergi kronis pada anak, kegagalan peningkatan respon
kortisol yang memadai pada kondisi stres, dimana hal ini
seharusnya dibutuhkan dalam pengendalian respon inflamasi
antara lain mengontrol sekresi sitokin proinflamasi, adhesi
leukosit dan aktivasi eosinofil, justru meningkatkan resiko

Psychoneuroimmunology in Dermatology 4
eksaserbasi dan kronisitas penyakit alergi (dengan faktor
pencetus stres).4,5 Dengan demikian, alergi pada masa anak
tampaknya dapat diinisiasi dan berlanjut karena adanya
disfungsi aksis HPA. Selain hal tersebut, pada gambar 1 dapat
dijelaskan bahwa hiper-reaktif maupun hipo reaktif aksis HPA
dapat mengakibatkan terjadinya disregulasi imun yang dapat
mengawali maupun mendorong terjadinya penyakit atopik,
menunjukkan peran penting regulasi imun.4

Peran Stres dan Imunitas pada Patomekanisme dan


Penatalaksanaan alergi
Sistem saraf pusat (SSP) berespon terhadap stres psikologis,
seperti dijelaskan pada gambar 2.1 Aksis HPA merespon stres
psikologis melalui mekanisme sentral dengan meningkatkan
hormon stres yaitu corticotropin-releasing hormone (CRH) dan
adrenocorticotropic hormone (ACTH).10 Selanjutnya tejadi
peningkatan Pituitary prolactine (PRL) yang dapat
menggagalkan inhibisi terhadap proliferasi limfosit yang
diinduksi oleh stres.11 CRH dan ACTH menstimulasi
norepinephrine (NE) dan pelepasan kortisol dari korteks
adrenal dan secara langsung menstimulasi berbagai sel imun di
darah dan perifer melalui reseptor-reseptornya. Regulasi ini
diperankan oleh kortisol melalui mekanisme negative
feedback (tanda panah terputus) karena adanya pelepasan
CRH dan ACTH oleh hipotalamus dan hipofisis (pituitary).
Selanjutnya terjadi peningkatan pelepasan serotonin pada
batang otak (5HT), maupun Substansi P (SP), gastrin-releasing
peptide (GRP), dan calcitonin gene related peptide (CGRP) pada
ganglia dorsalis.12,13,14 Pada kulit, sel imun melepaskan sitokin,
kemokin, dan neuropeptida yang memodulasi inflamasi di
kulit, nyeri, dan gatal, dan mentransmisi stimulus sensoris

Psychoneuroimmunology in Dermatology 5
melalui ganglia dorsalis dan traktus spinalis pada area spesifik
di SSP. Sel mast kutaneus berhubungan erat dengan SP, CGRP,
pituitary adenylate cyclase activating protein (PACAP), dan
opioid-releasing neurons, dan responsif tethadap berbagai
neuromediator tersebut. Sel mas kutaneus mensistesis dan
mensekresi berbagai mediator inflamasi akibat respon dari
berbagai stimulus fisik maupun biokimia. Dengan demikian
terjadilah produksi lokal neuro-hormon dan neuropeptida,
dengan keluarnya SP dari serabut saraf pada kulit akibat
respon terhadap stres.1

Gambar 2. Peran stres psikologis pada patomekanisme alergi. 1

Stres psikologis yang terus berlanjut dapat merusak


fungsi permeabilitas sawar, dan menginduksi peningkatan
glukokortikoid endogen, dimana hal ini dapat merubah
homeostasis dan integritas permeabilitas, begitu juga yang
terjadi pada pertahanan antimikrobial. Efek negatif ini
sebagian besar terjadi akibat inhibisi sintesis lipid edidermal

Psychoneuroimmunology in Dermatology 6
yang dimediasi glukokortikoid. Formulasi topikal lipid dapat
menormalkan fungsi ini meskipun stres fisiologis terus
berlangsung, sehingga terapi ini sungguh menjanjikan
efektifitasnya pada pasien alergi dengan stres psikologis yang
tinggi dan adanya disfungsi sawar. Namun demikian sampai
saat ini belum ada publikasi tentang studi randomisasi dengan
kontrol yang membandingkan respon klinis pasien alergi
khususnya Dermatitis Atopik dengan stres vs tanpa stres
dengan pemberian terapi topikal yang bertujuan memperbaiki
integritas sawar. Pengetahuan mengenai perbedaan tersebut
seharusnya dibutuhkan bagi klinisi, dalam memilih
penatalaksanaan berdasarkan efikasi terapeutik pada alergi
terutama yang berkaitan dengan stres psikologis.1,15,16
Stres psikologis berkaitan dengan timbulnya gejala
gatal pada alergi dalam hal ini Dermatitis Atopik. Sensasi gatal
dengan keinginan untuk menggaruk, dapat merupakan suatu
sumber yang signifikan terhadap keberlanjutan stres psikologis
pada pasien, dimana hal ini menjelaskan bahwa pemberian
psikofarmakologi dapat bermanfaat pada penatalaksanaan
DA. Korelasi antara skor ansietas pada pasien Dermatitis
Atopik dengan gatal dan lebih beratnya reaktivitas NPY dan
NGF menjelaskan bahwa ansietas dapat meningkatkan
ekspresi neuropeptide ini, dimana keduanya dapat
berkontribusi terhadap gejala gatal. Gatal akibat ansietas yang
terinduksi akibat mediasi NGF dan NPY mendukung perlunya
strategi terapi yang mengarah pada ansietas dan
manajemen/reduksi stres.1,15,16
Pasien stres dengan Dermatitis Atopik juga mengalami
peningkatan sel mast yang responsif terhadap serotonin, dan
terdapat perbaikan pada penyakit kulit dan pruritus setelah
pemberian agonis serotonin dan SSRI. Mekanisme yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 7
mendasari efek anti pruritus tersebut belum dapat dijelaskan.
Selain itu, pemberian intradermal serotonin dapat
menginduksi gatal, efek inhibisi dari SSRI terutama terdapat di
SSP. Sehingga, efek anti pruritus SSRI diduga akibat pengaruh
sentral daripada efek perifer. Agonis serotonin ansiolitik
tandosiprone sitrat (TC) dapat digunakan pada
penatalaksanaan stres yang berhubungan dengan perburukan
DA. Hal ini didukung oleh data dengan menggunakan model
tikus, menunjukkan efikasi klinis pada inhibisi degranulasi sel
mast yang dimediasi stres. Selain itu, pemberian bupropion
dapat menunjukkan perbaikan melalui peran sebagai agen
antiinflamasi yang dapat menurunkan TNF, selain sebagai
inhibitor sentral terhadap reuptake neurotransmiter.1,15
Stres psikologis dapat mempengaruhi fungsi sawar
kulit, dengan adanya perilaku gatal-garuk yang makin
memperburuk integritas epidermis. SP diduga dapat
menginduksi terjadinya gatal, dan peningkatan level SP pada
plasma berkaitan dengan meningkatnya stres dan perburukan
Dermatitis Atopik. Penambahan olopatadine oral lebih efektif
daripada monoterapi topikal dalam menurunkan keparahan
penyakit, gatal dan level SP, menunjukkan peran olopatadine
yang sangat potensial dalam mereduksi peningkatan SP akibat
stres dan kemudian mengatasi pruritus pada Dermatitis
Atopik. Pada studi dengan menggunakan model tikus
menunjukkan inflamasi kulit yang berkurang dan perbaikan
dari gatal setelah pemberian antagonis NK1R. Hal ini didukung
oleh fakta yang menunjukkan peran reseptor NK1 terhadap SP
pada gambaran histologi Dermatitis Atopik dengan eksaserbasi
akibat stres.1 Intervensi farmakologi terhadap inflamasi
neurogenik yang dimediasi SP adalah target terapi yang
menarik, karena potensi terhadap aktivasi NK1R ini

Psychoneuroimmunology in Dermatology 8
menjanjikan dalam menurunkan siklus gatal. Level plasma SP
tetap meningkat pada pasien dengan remisi DA, hal ini
menunjukkan kemungkinan sistem SP-ergik tidak terlibat pada
perubahan akut di DA.1,15 Berbagai hal di atas menunjukkan
terdapat ketidakjelasan mengenai peran sentral maupun
perifer penatalaksanaan pruritus sehingga diperlukan
penelitian untuk menegakkan peran neuropeptida sebagai
pruritogenik pada Dermatitis Atopik, karena hal ini berpotensi
dapat memperbaiki modalitas terapi.
Pengambilan keputusan pada penatalaksanaan
Psikoneuroalergologi pada bidang dermatologi seperti
Dermatits Atopik selayaknya didukung oleh bukti klinis.
Sebuah review meta-analisis tentang stres psikologis dan
Dermatitis Atopik membuktikan adanya hubungan dua arah
antara kedua hal tersebut. Temuan ini mendukung perlunya
penatalaksanaan komprehensif pada Dermatitis Atopik,
dengan melibatkan intervensi psikologis pada
17
penatalaksanaan standar Dermatitis Atopik.

Kesimpulan
Mekanisme yang mendasari konsep Psikoneuroalergologi
pada dermatologi yaitu hubungan alergi imunologi a dengan
stres psikologis belum sepenuhnya dimengerti, namun ranah
Psikoneuroimunologi telah menjelaskan begitu banyak
persepsi dalam memahami peran stres pada konsep alergi di
bidang dermatologi, contohnya Dermatits Atopik. Secara klinis
dan fisiologis telah dapat dijelaskan mengenai stres psikologis
yang merupakan kontributor penting pada perjalanan penyakit
Dermatitis Atopik melalui efeknya secara langsung maupun
tidak langsung terhadap respon imun, ekspresi neuropeptide
kulit, dan fungsi sawar kulit. Berbagai penelitian ilmiah

Psychoneuroimmunology in Dermatology 9
mengenai interaksi neurokutaneus masih terus berlanjut,
dengan demikian terdapat potensi besar dalam
mengidentifikasi target terapi baru dalam memodulasi
neuroimun. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki
penatalaksanaan Dermatitis Atopik, yang bersifat kronis dan
sering kambuh, sehingga menjadi beban besar terhadap
kualitas hidup pasien.

Daftar Pustaka
1. Suarez AL, Feramisco JD, Koo J, Steinhoff M.
Psychoneuroimmunology of psychological stress and atopic
dermatitis: Pathophysiologic and Therapeutic Updates. Acta
Derm Venereol. 2012; 92: 7-15.
2. Iamandescu IB. Psychoneuroallergology. 2nd ed. Amaltea
Medical Publishing House. 2007.
3. Kirschbaum AB. Cortisol responses to stress in allergic children:
interaction with the immune response.
Neuroimmunimodulation. 2009; 16: 325-332.
4. Dave ND, Xiang L, Rehm KE, Marshall GD. Stress and allergic
diseases. Immunol Allergy Clin N Am. 2011; 31: 55-68.
5. Kirschbaum AB, Fischbach S, Rauh W, Hanker J, Hellhammer DH.
Increased responsiveness of the hypothalamus-pituitary-adrenal
axis to stress in newborns with atopic disposition.
Psychoneuroendocrinology. 2004; 29: 705–711.
6. Ball TM, Minto J, Anderson D, Halonen M. Circadian rhythms and
stress responses in infants at risk for allergic disease. J Allergy
Clin Immunol. 2006; 117: 306–311.
7. Wüst S, Federenko IS, van Rossum EF, Ko- per JW, Kumsta R,
Entringer S, Hellhammer DH. A psychobiological perspective on
genetic determinants of hypothalamus-pituitary-adrenal axis
activity. Ann NY Acad Sci. 2004; 1032: 52–62.
8. De Weerth C, Buitelaar JK, Mulder EJH: Prenatal programming of
behaviour, physiology and cognition. Neurosci Biobehav Rev.
2005; 29: 207–208.
9. Barnes PJ. Corticosteroids, IgE, and atopy. J Clin Invest. 2001;
107: 265–266.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 10
10. Glaser R, Kiecolt-Glaser JK. Stress-induced immune dysfunction:
implications for health. Nat Rev Immunol. 2005; 5: 243–251.
11. Foitzik K, Langan EA, Paus R. Prolactin and the skin: a
dermatological perspective on an ancient pleiotropic peptide
hormone. J Invest Dermatol. 2009; 129: 1071–1087.
12. Nordlind K, Azmitia EC, Slominski A. The skin as a mirror of the
soul: exploring the possible role of serotonin. Exp Dermatol
2008; 17: 301–311.
13. Slominski A, Wortman J, Tobin DJ. The cutaneous
serotoninergic/melatoninergic system: securing a place under
the sun. FASEB J. 2005; 19: 176-194
14. Roosterman D, George T, Scneider Sw, Bunnet Nw, Steinhoff M.
Neuronal control of skin function: the skin as a
neuroimmunoendocrine organ. Physiol Rev. 2006; 86: 1309–
1379.
15. Steinhoff A, Steinhoff M. Neuroimmunology of atopic dermatitis.
In: Granstein RD, Luger T, editors. Neuroimmunology of the skin.
Basic science to clinical practice. Berlin: Springer Verlag; 2009:
pp197-207.
16. Walker C, Papadopuolos L. Psychodermatology. The
psychological impact of skin disorders. London: Cambridge
University; 2005.
17. Chida Y, Hamer M, Steptoe A.A bidirectional relationship
between psychosocial factors and atopic disorders: a systematic
review and meta analysis. Psychosomatic Medicine. 2008;
70:102-116.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 11
Psychoneuroimmunology in Dermatology 12
PSIKONEUROIMUNOLOGI BERBASIS NEUROSAINS

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)


Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana

Abstrak
Otak mengatur seluruh aktivitas kehidupan manusia antara
lain melalui mekanisme interaksi yang melibatkan sistem
neuroseluler, neuromolekuler, neuroendokrin dan neuroimun,
merupakan basis penelitian yang terus berkembang di bidang
neurosains. Semua sistem tersebut akan berespons pada
kondisi stres psikis yang melibatkan sistem limbik, sebagai
pusat pengaturan emosi dan hipotalamus sebagai pusat
pengaturan sistem saraf otonom. Respons seluler terutama
diperankan oleh sel neuron dengan aktivitas neurotransmiter
yang dihasilkan merupakan zat komunikasi penghubung dalam
berinteraksi dengan sistem neuroendokrin yang dikendalikan
oleh hipotalamus. Berbeda dengan neurotransmiter, hormon
yang dikendalikan oleh sistem neuroendokrin merupakan
molekul organik yang sangat khusus dalam mengerahkan aksi
terhadap sel target tertentu dan memodulasi respons sistemik
dan seluler. Psikoneuroimunologi adalah studi yang
mempelajari tentang hubungan/interaksi antara stres psikis
dengan sistem saraf dan sistem imun yang dimodulasi oleh
sistem neuroendokrin.
Keywords: Psikoneuroimun, neuron, neurotransmiter dan
neuroendokrin

Pendahuluan
Neurosains adalah ilmu yang memfokuskan studi/penelitian
tentang sistem saraf. Keberadaan sistem saraf dikaitkan
dengan keberadaan jenis sel khusus, yang disebut neuron dan
sel glia. Neuron memiliki struktur khusus berupa tonjolan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 13
protoplasma yang dikenal sebagai akson untuk mengirim sinyal
secara cepat dan tepat. Melalui akson, neuron mengirimkan
sinyal dalam bentuk gelombang elektrokimia untuk
merealisasikan pembentukan bahan kimia yang disebut
neurotransmiter dan dituangkan ke dalam sinaps. Sel yang
menerima sinyal sinaptik dari sebuah neuron dapat tereksitasi,
terhambat, atau termodulasi. Hubungan antara neuron
membentuk sirkuit neural. Konsep modern memandang fungsi
sistem saraf sebagian dalam kerangka rangkaian interaksi
stimulus-respons, dalam kerangka pola aktivitas yang
dihasilkan secara intrinsik untuk menggenerasikan tingkah laku
berulang-ulang. Aktivitas stimulus respons pada sistem saraf
pada makalah ini difokuskan pada sudut pandang sistem
neuroseluler, neuromolekuler, neuroendokrin serta kaitannya
dengan psikoneuroimunologi.

Sistem Neuroseluler
Neuron merupakan sel otak dengan sifat yang paling mendasar
adalah neuron dapat berkomunikasi, interaksi dengan sel lain
melalui sinaps, yaitu pertautan membran-ke-membran yang
mengandung mesin molekular dan mengizinkan transmisi
sinyal cepat, baik elektrik maupun kimiawi. Neuron dan
tonjolan protoplasma semuanya terbenam di dalam suatu
matriks jaringan ikat neuroglia. Neuroglia terdiri dari sel :
astrosit, oligodendroglia dan mikroglia yang menyediakan
dukungan struktural menyangga, mengatur nutrisi dan proses
kimiawinya. Astrosit dan juga neuron menghasilkan
neurotropin seperti BDNF (Brain Derived Neurotrhopic Factor)
yang memegang peran dalam plastisitas otak
(neuroplastisitas)2. Setiap neuron terdiri dari satu badan sel
yang di dalamnya terdapat sitoplasma dan inti sel. Dari badan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 14
sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu dendrit dan akson.
Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan sel saraf,
sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel
ke sel saraf yang lain atau ke jaringan lain. Pada bagian luar
akson terdapat lapisan lemak disebut mielin yang berfungsi
melindungi akson dan memberi nutrisi. Bagian dari akson yang
tidak terbungkus mielin disebut nodus Ranvier, yang dapat
mempercepat penghantaran impuls. Sinaps dapat berupa
elektrik atau kimia. Sinaps elektrik membuat hubungan
elektrik langsung di antara neuron-neuron. Sinaps kimia, sel
mengirimkan sinyal dari presinaps ke postsinaps. Presinaps
dan postsinaps penuh dengan mesin molekular yang
membawa proses sinyal. Daerah presinaps mengandung
vesikel yang terdiri dari bahan kimia neurotransmiter. Ketika
terminal presinaps terstimulasi secara elektrik, sebuah
susunan molekul yang melekat pada membran teraktivasi, dan
menyebabkan isi dari vesikel/neurotrnsmiter dilepaskan ke
dalam celah sinaps. Neurotransmiter kemudian berikatan
dengan reseptor yang melekat pada membran postsinaps,
menyebabkan neurotransmiter masuk ke dalam status
teraktivasi. Tergantung pada tipe reseptor, efek yang
dihasilkan pada sel postsinaps dapat bersifat eksitasi, inhibisi
atau modulasi. Konektivitas yang terintegrasi dari neuron
membentuk jaringan yang mampu menjalankan berbagai
fungsi. Kemampuan interkoneksi saraf dapat menimbulkan
perubahan interneural, reorganisasi sinaps yang merupakan
perkembangan intrinsik agar otak tetap berkembang melalui
rangsangan/stimuli.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 15
Sistem Neuromolekuler
Neurotransmiter merupakan molekul kimia endogen yang
mengirimkan sinyal dari neuron ke sel target di sinaps. Ketika
rangsang tiba di sinaps, ujung akson dari neuron prasinaps
akan membuat vesikula sinaps mendekat dan melebur ke
membrannya kemudian neurotransmiter dilepaskan melalui
proses eksositosis. Pada ujung akson neuron postsinaps,
protein reseptor mengikat molekul neurotransmiter dan
merespons dengan membuka saluran ion pada membran
akson yang kemudian mengubah potensial membran
(depolarisasi atau hiperpolarisasi) dan menimbulkan potensial
aksi pada neuron postsinap7 Penelitian elektrofisiologi
menunjukkan bahwa sistem saraf mengandung berbagai
mekanisme untuk menghasilkan pola aktivitas secara intrinsik,
dengan/tanpa memerlukan stimulus eksternal. Neuron-
neuron ditemukan mampu memproduksi rangkaian potensial
aksi reguler, atau rangkaian ledakan (sequences of bursts).
Stimulus akan menyebabkan terjadinya depolarisasi dan
hiperpolarisasi pada membran sel, yang menyebabkan
terjadinya potensial aksi. Ketika impuls dari neuron prasinaps
berhenti neurotransmiter yang telah ada akan didegradasi,
masuk kembali ke ujung akson neuron prasinaps melalui
proses endositosis. Beberapa jenis neurotransmiter adalah:
Norepinefrin berperan dalam kontrol/adaptasi stres
mental/psikologis. Adrenalin berperan dalam sistem
kardiovaskular dan metabolisme yang terkait dengan stres.
Dopamin berfungsi pada fungsi kognitif, motoris dan endokrin.
Serotonin (5-HT) berperan pada gangguan mood, menurunnya
serotonin dapat beakibat terjadinya depresi. Glutamat
mempunyai efek eksitasi sedangkan GABA (Gamma Amino
Butyric Acid) dengan efek inhibisi.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 16
Sistem Neuroendokrin dan Neuroimun
Sistem neuroendokrin dikendalikan oleh saraf otonom yang
bekerja secara reflektorik. Sistem neuroendokrin juga
terintegrasi dalam fungsi luhur yang menentukan kehidupan
emosional yang dikendalikan oleh sistem limbik. Struktur
limbik yang mempunyai peran penting dalam aktivitas perilaku
emosional melibatkan neurotransmiter norepinefrin dan
serotonin. Struktur limbik sebagai pusat pengaturan emosi
terintegrasi dengan aksis hipotalamus_pitutary_adrenal (HPA)
yang mengatur hubungan sistem saraf dan hormon. Bagian
paraventrikuler dari hipotalamus mensintesa vasopresin dan
CRH (corticotropin releasing hormone) yang mengatur lobus
anterior kelenjar pituitary mensekresi ACTH
(adrenocorticotropic hormone). ACTH pada gilirannya
mempengaruhi korteks adrenal untuk menghasilkan
glukokortikoid. Glukokortikoid berperan memberi umpan balik
negatif kepada hipotalamus dan hipofisis/pituitary untuk
menekan produksi CRH dan ACTH. Glukokortikoid mempunyai
kandungan antiinflamasi yang berkaitan dengan efek
mikrovaskuler dan menekan sitokin inflamasi. Glukokortikoid
memodulasi respons imun via immune adrenal axis yang
berperan dalam mekanisme peningkatan hormon kortisol
pada kondisi stres. HPA aksis dan sistem imun berkomunikasi
dua arah melalui mekanisme umpan balik yang kompleks, dan
berkontribusi pada terjadinya keseimbangan produk limfosit
Th1/immunceluler dan Th2/immunhumoral3. Pada kondisi
stres terjadi peningkatan kortisol sehingga terjadi penekanan
terhadap sitokin Th1 yang berakibat terjadinya penekanan
regulasi dari aktivitas inflamasi5. Peningkatan kortisol
distimulasi oleh sitokin Th1 terhadap HPA aksis yang kemudian
mereduksi aktivitas sistem imun pada Th16. Sitokin sebagai

Psychoneuroimmunology in Dermatology 17
modulator dalam respons imun saling berpengaruh secara
timbal balik terhadap kortisol dan CRH. Glukokortikoid
menyebabkan penurunan eosinofil yang beredar dari jaringan
limfoid terutama sel T menyebabkan retribusi dari sirkulasi ke
dalam kompartemen lain. Kortisol menghambat cell mediated
immunity, menghambat produksi dan mediator inflamasi,
seperti limfokin dan prostaglandin. Kerja ini terjadi via reseptor
glukokortikoid tipe II dan dihambat oleh inhibitor dan sisntesis
protein. Glukokortikoid menghambat produksi dan kerja IFN
oleh limfosit T dan produksi IL-1 dan IL-6 oleh makrofag. Pada
kondisi stres juga terjadi peningkatan kadar sitokin
proinflamasi termasuk TNF_ α, IL-1β, IL-6, IL-85. Sekresi
interleukin-6 sebagai sitokin proinflamasi ditekan
pengeluarannya oleh glukokortikoid namun distimulasi oleh
hormon katekolamin. Sitokin mempunyai kapasitas dalam
mempengaruhi sintesa, pelepasan dan reuptake dari
neurotransmiter termasuk monoamin4. Beberapa penelitian
dengan hewan coba menunjukkan pemberian sitokin dapat
mempengaruhi metabolisme serotonin, norepineprin dan
dopamin1.

Kesimpulan
Neuron merupakan komponen utama dalam merespons
aktivitas sensorik/stres melalui mekanisme yang terstruktur
dalam suatu sistem, terintegrasi dan membentuk konektivitas
yang kompleks. Komunikasi dan konektivitas antar sistem
neuroseluler, neuromolekuler, neuroendokrin dan neuroimun
bekerja melalui mekanisme umpan balik yang saling
mempengaruhi dalam usaha menjaga keseimbangan agar otak
tetap sehat, namun pada kondisi stres keseimbangan sistem

Psychoneuroimmunology in Dermatology 18
hormon neurotransmiter dan sistem imun mengalami
perubahan yang dapat berakibat pada kondisi sakit.

Referensi
1. Anisman H., Gibb J., Hayley S. 2008. Influence of continuous
infusion of interleukin 1-β on depression-related processes in
mice: corticosterone, circulating cytokines, brain monoamines,
and cytokine mRNA expression. Psychopharmacology
(Berl),199;233-44.
2. Cotman C.W., Berchtold N.C. 2002. Exercise: Behavioral
intervention to enhance brain health and plasticity. TRENDS in
neuroscience ; 25; 295-301.
3. Gill J.M., Saligan L., Wood S., Page G. 2009. PTSD is associated
with an excess of inflammatory immun activities. Perspect
Psychiatr Care; 45:262-77
4. Miller A.H. 2009. Norman Cousins Lecture. Mechanism of
cytokine-induced behavioral changes: psychoneuroimmunology
at the translational interface. Brain Behav Immun, 23;149-58.
5. Pace T.W., Heim C.M. 2011. A short review on the
psychoneuroimmunology of post traumatic stress disorder: from
risk factors to medical comorbidities. Brain Behav Immun; 25; 6-
13.
6. Sternberg E.M. 2006. Neural regulation of innate immunity: a
coordinated nonspecific host response to pathogens. Nat Rev
Immunol, 6; 318-28.
7. Turana I. 2015. Ilmu Neurosains Modern. Dalam Dito A, ed.
Pustaka Belajar, Yogyakarta. ISBN; 47-75. ISBN : 978-602-229-
547-1

Psychoneuroimmunology in Dermatology 19
ROLE OF NEUROTRANSMITTER IN SKIN IMMUNITY

Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV


Departement of Dermatology and Venereology
Faculty of Medicine, Udayana University/
Sanglah General Hospital, Denpasar

ABSTRAK
Hubungan antara sistem saraf, endokrin dan sistem imunologis
telah lama diketahui, ke tiga sistem berkomunikasi melalui jalur;
sinyal listrik, sinyal biokimiawi dan jalur hormon. Komunikasi
tersebut tersebut berkoordinasi dalam upaya menjaga
homeostatis tubuh. Neurotransmiter adalah senyawa
organik endogenus membawa sinyal di antara neuron,
neurotransmiter terimpan di dalam vesikel sinapsis, sebelum
dilepaskan bertepatan dengan adanya potensial aksi (sinyal
elektrik). Neurotransmiter mengirimkan sinyal dari neuron ke sel
target di sinaps dan kemudian dilepaskan ke dalam celah
sinaptik, yang diikat pada reseptor membran pada
sisi postsynaptic dari sinaps. Sistem saraf dengan milyaran
neuronnya akan menghasilkan neurotransmiter dan juga adanya
sinyal listrik sebagai potelsial aksi akan membantu pelepasan
neurotransmiter. Sistem endokrin dengan produk hormonnya
dan sistem imun dengan berbagai jenis sitokinnya. Semua
mediator tersebut saling mempengaruhi antar ke tiga sistem
tersebut. Stres psikologis (stres) merupakan salah satu
meningkatkan sintesis dan pelepasan neurokimiawi tersebut
melalui suatu sistem konversi perilaku (behaviour) akan
mempengaruhi sinyal-sinyal pada sistem neuroendokrin baik
sinyal kimiawi maupun sinyal listrik dan pada akhirnya dapat
mencapai target pada kompartement imunologis. Setelah dalam
aliran darah, neurotrasmiter kemudian dapat berdifusi ke ruang
extraneuronal dan memiliki efek terhadap sistem imun.
Beberapa dari neurotransmiter tersebut dan sitokin akan
mempengaruhi terjadi inflamasi neurogenik. Inflamasi

Psychoneuroimmunology in Dermatology 20
neurogenik ini sebagai suatu respons yang dapat terjadi pada
beberapa kelainan kulit.
Dalam tulisan singkat ini akan dibahas beberapa
neurotransmiter yang memiliki pengaruh terhadap respon imun
dan manifestasinya pada kulit.
Kata kunci: Stres psikologis, neurotransmiter, Sistem imun.

ABSTRACT
The relationship between the nervous system, endocrine and
immune systems have long been known, the three major
systems coordinated effort to maintain homeostasis in the
body. Neurotransmitters are endogenous organic substances
carries signals between neurons, neurotransmitters storage in
synaptic vesicles, before being released to coincide with the
action potential. Neurotransmitters transmit signals from
neuron to a target cell in the synapse and then released into
the synaptic cleft, which is tied to membrane receptors on the
postsynaptic side of the synapse. The nervous system with
billions neurons will produce abundant neurotransmitter and
also the electrical signals as potensial action will help the
release of neurotransmitters. The endocrine system is the
product of hormones and the immune system with various
types of cytokines. All these as mediators interplay between all
three systems. Psychological stress (stress) is one of the
neurochemical increase the synthesis and release through a
conversion system behavior (behavior) will affect the signals on
both the neuroendocrine system of chemical signals and
electrical signaling and eventually may circulate to the target
in the immunological compartment. Once in the bloodstream,
neurotransmitter then diffuses into space extraneuronal and
have an effect on the immune system. Some of these
neurotransmitters and cytokines will affect neurogenic
inflammation. This neurogenic inflammation can occur in some
skin disorders.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 21
In this short article will discuss some of the
neurotransmitters that have an influence on the immune
response and its manifestations in the skin.
Keywords: Psychological stress, neurotransmitter, immune
system.

PENDAHULUAN
Susunan saraf pusat, sistem endokrin dan sistem imun,
merupakan tiga sistem besar untuk kehidupan mahluk hidup,
ketiganya terkoordinasi satu sama lain dalam
mempertahankan homeostatis. Ketiganya saling
berkomunikasi satu sama lain melalui berbagai jalur, baik
secara anatomi, biokimiawi dan melalui sinyal-sinyal listrik
(electrical signaling). Telah lama diketahui bahwa stres
psikologis (stres) memegang peran dalam memicu maupun
memperberat penyakit, banyak peneliti dapat telah
membuktikan peran stres psikologis dalam patobiologi
beberapa penyakit, ternyata diketaui pula sistem stres
mempengaruhi ketiga sistem tersebut.
Konsep hubungan antara stres dengan penyakit
(tubuh) telah ada sejak era Hipocrates yang mengatakan
bahwa ”kesalahan besar para dokter adalah memisahkan
antara badan dan pikiran”. Rene Descrates (1650) yang
menyatakan pikiran dan tubuh tidak terpisahkan dalam
kehidupan. Ivan Petrovich Pavlov (1849) dengan anjing
percobaannya membuktikan bahwa kognitif yang dikondisikan
dengan lonceng maka asam lambung keluar tanpa melihat
makanannya. Sejak tahun 1920 Dr. Walter Cannon, menkaji
secara ilmiah dengan mengemukakan teori homeostatis dan
teori “fight or flight”. Hans Selye (1936) memperkenalkan
respon biologis dan fisiologis dari stres melalui teori “General
Adaptation Syndrome”. Istilah Psikoneuroimunologi pertama

Psychoneuroimmunology in Dermatology 22
kali di perkenalkan oleh Dr. Robert Ader (1975), yang
mengungkapkan terjadi suatu learning process tubuh sehingga
tubuh merespon stres dengan melibatkan multiorgan.
Menurut Hans Selye, “Stres adalah respons yang bersifat
nonspesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada
dalam dirinya”. Stres adalah reaksi atau respons tubuh
terhadap stresor psikososial (tekanan mental atau beban
kehidupan)”.
Sinyal stres pada awalnya diterima oleh prefrontal
cortex dari perifer, sinyal diteruskan ke sistem lymbic, disini
Hipotalamus akan menterjemahkan sebagai stress perception.
Kemudian hipotalamu-hipofisis-adrenal aksis (HPA) dan
simpatik-adrenal medula aksis (SAM) sebagai sumbu utama
dalam memberikan respon terhadap stres (stress response).
Stres akan merangsang hipotalamus untuk menghasilkan
corticotropic-releasing hormone (CRH) yang menyebabkan
pelepasan adreno-corticotroprin hormone (ACTH) di hipofisis.
Pelepasan ACTH menimbulkan stimulasi korteks adrenal untuk
mensintesis kortisol. Melalui paraventrikular dari hipotalamus,
mensintesis dan melepaskan (CRH), hormon ini menstimuli
kelenjar pituitari anterior mensekresi (ACTH), ACTH pada
gilirannya bekerja pada adrenal korteks, yang menghasilkan
glukokortikoid hormon (terutama kortisol pada manusia)
sebagai tanggapan terhadap rangsangan oleh ACTH.
Glukokortikoid pada gilirannya kembali bertindak hipotalamus
dan hipofisis (untuk menekan produksi CRH dan ACTH dalam
siklus umpan balik negatif.
Corticotropin-releasing (CRH) adalah hormon peptida
dan neurotransmitter yang terlibat dalam respon stres.
Neurokimia adalah substansi biokimiawi (neurohormon,
neuropeptid dan neurotransmiter) yang disintesis di jaringan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 23
saraf maupun di organ lain, selain berperan dalam sistem saraf
juga berperan dalam sistem imun, baik selular maupun
humural.
Tulisan ini akan membahas secara singkat peran
neurotransmiter dan neuropeptid terhadap respon imunitas
dan beberapa penyakit yang berhubungan dengan stres
psikologis dengan neurokimiawi dan resons imun.

PERAN NEUROTRANSMITER TERHADAP RESPON IMUN


Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus yang
mengantarkan sinyal dari neuron ke neuron lainnya.
Neurotransmiter berada dalam gelembung (vesikel)
presynaptic dan akan dilepaskan dari akson terminal melalui
eksositosis ke dalam celah sinaptik, melalui membran pada sisi
postsynaptic dari neuron terdekat dan juga direabsorpsi untuk
daur ulang. Pelepasan neurotransmiter mengikuti adanya
potensial aksi (electrical signaling) pada sinapsis. Jadi
perantaran sinyal dalam neuron dapat melalui chemical
signaling dan electrical signaling. Neurotransmiter tidak saja
bekerja pada neuron tetapi juga pada organ tubuh yang
lainnya.
Belakangan penelitian tentang peran neurotransmiter
sangat berkembang, karena peranan stres psikologis (stres)
berdampak terhadap pada mekanisme suatu penyakit, hal ini
dapat diterangkan karena peran neurotransmiter. Sampai saat
ini banyak jenis neurotransmiter, pada dasarnya ada bagaian
besar: neurotransmiter klasik dengan berat molekul kecil dan
neurotransmiter dengan berat molekul besar yang lazim
disebut neuropeptid. Perbedannnya dapat dilihat dalam tabel
dibawah ini.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 24
Neurotansmiter Neuropeptid
(Klasik)
Berat molekul Kecil, satu asam Besar, memiliki panjang
amino 2-40 asam amino
Sintesis Sitosol pada ujung Badan Golgi/retikulum
sinaps endoplasmik neuron
(badan sel) berjalan ke
ujung sinap melalui
transportasi akson
Pelepasan Terminal akson Terminal akson, dapat
bersama
neurotransmiter
Kecepatan & Respon cepat & Respon lambat,
durasi kerja singkat berkepanjangan
Tempat kerja Membran subsinaps Nonsinaps di sel
sel pasca sinaps prasinaps atau
pascasinaps dengan
konsentrasi lebih kecil
dari neurotransmiter
Efek Mengubah potensial Meningkatkan atau
sel dengan menekan efektivitas
membuka saluran sinaps pada sintesis
ion neurotransmiter atau
reseptor pascasinap

Neurotransmiter & Respon Imun


Banyak dikenal neurotransmiter, tapi hanya beberapa jenis
yang sudah jelas perannya terhadap respon imun, terutama
penyakit imunodermatologi.

1. Noradrenalin (Norepinefrin)
Epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin) yang
dikenal sebagai neurotransmiter yang berasal dari tirosin.
Kedua bahan kimia ini mengatur perhatian, fokus mental,
gairah, dan kognisi pada manusia. Tugasnya adalah membuat
otak tetap sadar dan terjaga (tugas noradrenalin ini mirip

Psychoneuroimmunology in Dermatology 25
dengan tugas hormon adrenalin yang dihasilkan oleh kelenjar
anak ginjal (adrenal gland) yang terletak diatas ginjal hanya
saja noadrenalin dihasilkan oleh otak).
Norepinefrin bersama epinefrin dan dopamin
merupakan keluarga dari katekolamin, yang disintesis di
berbagai tempat. Norepinefrin sebagai neurotransmiter
kimiawi dilepas dari sinap semua ujung saraf pascaganglion
simpatis. Norepinefrin akan dilepaskan diantara sinap,
sebagian ada yang di reuptake kembali oleh neuron yang
mensekresinya. Norepinefrin juga di produksi oleh locus
seruleus dan nukleus lain di pons dan batang otak. Akson-
akson tersebut turun akan menstimuli paraventricular nucleus
(PVN) di batang otak yang akan mengaktivasi sumbu
Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA axis).
Sejak lama telah diketahui bahwa norepinefrin
memediasi respon fisiologis terhadap keadaan gawat yang
dikenal sebagai respon fight or flight (melawan atau lari), strs
akut dengan peran untuk memobilisasi energi, peningkatan
aliran darah pada otot dan sebagainya. Secara langsung
norepinefrin berefek meningkatkan aktivitas monosit dan sel
natural killer dan juga secara langsung meningkatkan aktivitas
sel Th-naif sehingga terjadi pengalihan (shift) ke arah Th2
sehingga meningkatkan peran imunitas humoral. Norefinefrin
juga dapat meningkatkan sintesis cortico-tropin-releasing
hormon. Cortico-tropin-releasing hormon (CRH) akan
menstimuli kelenjar hipofise anterior untuk memproduksi
adrenocorticotropic hormone (ACTH), yang kemudian akan
menstimuli korteks adrenal untuk mensintesis kortisol, sebagai
produk akhir dari sumbu HPA. Norepinefrin juga mempunyai
efek terhadap peningkatan produksi IL-10 dari monosit melalui
reseptor β-adrenergic, interleukin ini sebagai stimulator utama

Psychoneuroimmunology in Dermatology 26
Th2 untuk memproduksi IL-4 dan IL-5, norepinefrin melalui
reseptor beta adrenergik pada sel penyaji antigen akan
meningkatkan sintesis IL-10, interleukin ini secara langsung
meningkatkan sintesis IL-4 oleh Th2 dan menghambat
aktivitas sel Th1. Sebagai akibat, terjadi peningkatan IL-4 dan
IL-5, ke dua sitokin ini sangat berperan dalam
imunopatogenesis dermatitis atopik. Dengan demikian
norepinepfrin secara tidak langsung juga mempengaruhi
keseimbangan Th1/Th2. Secara anatomis, jalur CRH – Sel Mast
dan jalur neuropeptid, jalur-jalur tersebut langsung
mempengaruhi aktivitas sel Mast. Telah terbukti pada psoriasis
dan dermatitis atopik, psoriasis urtikaria kronis norepinefrin
meningkat secara bermakna.

2. Serotonin (Serotonine)
Hormon serotonin diproduksi di saluran pencernaan, kelenjar
pineal, sistem saraf pusat, dan platelet. Serotonin sering juga
disebut 5-HT atau 5-hydroxytryptamines (serotonin) adalah
neurotransmiter monoamine, bertugas sebagai penenang
sehingga sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas emosi
dan membuat kita tidur. Jika kita kekurangan serotonin sedikit
saja, maka hal itu dapat memunculkan perilaku yang dapat
membahayakan orang yang bersangkutan (misalnya timbulnya
penyakit bulimia, munculnya kecenderungan adiksi
(kecanduan) terhadap bahan-bahan berbahaya seperti
alkohol, tembakau dan sebagainya). Serotonin berperan dalam
mengontrol berbagai tingakatan emosional. Serotonin juga
berperan dalam mengendalikan mood, kegelisahan, depresi,
dan lain sebagainya.
Bersama skema representasi dari efek nikotin dan 5-
HT pada pelepasan sitokin dalam populasi sel darah yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 27
berbeda. 5-HT sebagai inhibitor yang kuat terhadap pelepasan
TNF tapi mempunyai efek berlawanan terhadap IL-1, dan IFN-
ɣ.
Sebaliknya, 5-HT dilaporkan dapat memfasilitasi
pelepasan IFN- ɣ dan natural killer cell (NK cell) dan IL-16 dalam
sel T helper. Oleh karena itu, 5-HT tampaknya berperan
perkembangan proses peradangan neurogenik (neurogenic
inflammatory) dengan ikut meningkatkan sintesis sitokin
proinflamasi. Penelitian terakir, serotonin berperan sebagai
pruritogenik pada pasien penyakit kulit alergi seperti
dermatitis atopik dan urtikaria kronis. Psoriasis yang dipicu
stres, inflamasi kronis berhubungan dengan inflamasi
neurogenik akibat peran sistem serotonergik.

3. Dopamin (Dopamine)
Dopamin diproduksi di beberapa daerah otak terutama di
hipoalamus, substantia nigra dan daerah tegmental ventral,
dopamin juga merupakan neurohormon. Dopamin
menghantarkan sinyal antar sel saraf atau dengan sel lainnya.
Awalnya dopamin dikenal sebagai neurotransmiter yang
menghantarkan sinyal hanya di dalam otak, namun juga
diketahui memiliki fungsi pada organ lain. Di dalam susunan
saraf pusat, dopamine memiliki peran dalam mengatur
pergerakan, pembelajaran, daya ingat, emosi, rasa senang,
tidur, dan kognisi. Perannya adalah mengatur gerakan motorik
kita dan membentuk postur tubuh kita agar menjadi
proporsional. Kekurangan dopamin akan mengakibatkan
timbulnya penyakit Parkinson. Dopamin merupakan major
neurotransmiter mentranmisi sinyal melalui beberapa
transmembrane reseptor D1–D5.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 28
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa dapat
memberikan kontribusi pada modulasi imunitas melalui
reseptor diekspresikan pada sel-sel kompartemen imun.
Sebelumnya telah dibuktikan bahwa Dopamin sebagai
autokrin dan parakrin pada sel dendritik (DC), dalam proses
presentasi Antigen ke sel CD4+ dan T naif, hal ini diperankan
reseptor D1. Penelitian lain menyatakan peran system
dopaminergik merespon Th-17 dalam patogenesis rheumatoid
arthritis (RA). Dalam sel CD4 + T naif, dopamin meningkat IL-6
tergantung sintesis IL-17 reseptor D1. Secara bersama-sama,
temuan ini menunjukkan bahwa dopamin dilepaskan oleh DC
menginduksi sumbu IL-6 dan Th17 dan menyebabkan
peradangan sinovial RA. Penelitian lain juga menunjukkan
peran dopamin berlebihan dalam patogenesis psoriasis, efek
pada patogenesis polimorfisme gen pada psoriasis yang
terlibat dalam metabolisme dopamin. Demikian juga
peningkatan C-reactive protein sangat berkorelasi dengan
peran dopamin, namun belum jelas perannya terhadap
hambatan terhadap TNF-α, IL-1, IL-12, IL-6 dan IL-8.

4. Asetilkolin (Acetylcholine)
Asetilkolin (Ach) merupakan molekul ester-kolin yang pertama
diidentifikasi sebagai neurotansmitter. ACh dibuat di dalam
susunan saraf pusat oleh neuron dan badan selnya yang
terdapat pada batang otak dan forebrain, selain itu disintesis
juga dalam saraf lain di otak. ACh beraksi pada sistem saraf
otonom di perifer dan di pusat, dan merupakan transmitter
utama pada saraf motorik di neuromuscular junction pada
vertebrata.
Asetilkolin memiliki peran dalam penyimpanan
memori. Mahluk hidup membutuhkan asetilkolin ketika

Psychoneuroimmunology in Dermatology 29
konsentrasi dan kognisi. ACh ini terbentuk pada akson terminal
neuron, sebagai neurotransmiter, dimulai saat potensial aksi
sudah sampai pada terminal akson. Hal ini akan bersamaan
dengan meningkatnya kalsium yang bermuatan dan aktifnya
asetilkolin. Asetilkolin yang aktif akan segera direspon oleh
ACh reseptor sel neuron terdekat. Selain itu, Ach menstimuli
sitokin proinflamasi dan menginduksi aktivasi sistem saraf
simpatik dan sumbu HPA. Terakhir ditemukan jalur baru dari
regulasi otak memediasi respon imun perifer disebut Jalur
kolinergik-antiinflamasi, hal ini mungkin langsung memodulasi
respon imun terhadap invasi patogen. Stimulasi listrik
(electrical signaling) dari saraf vagus eferen tampaknya secara
signifikan Ach menekan pelepasan sitokin IL-1β, IL-6, TNF-α
dan IL-18 tetapi tidak terhadap produksi IL-10 dalam
percobaan kultur makrofag. Ach mengaktivasi cholinergic anti-
inflammatory pathway dan menghambat TNF-α pada tikus
percobaan. Ach dikatakan berperan dalam penyakit urtikaria
kolinergik atau urtikaria yang dicetuskan keringat. Pada pasien
dengan peripheral arterial occlusive disease (PAOD) Ach
mempunyai efek ringan terhadap vasodilatasi lokal dengan
meningkatkan fungsi Ach dalam vaskular kulit.

5. Asam Gamma aminobutirat (γ-aminobutyric Acid /GABA)


GABA disintesis pada ujung saraf presinaptik, dan disimpan di
dalam vesikel sebelum di lepaskan. Tugasnya adalah meredam
kecepatan trasmisi pesan-pesan antar neuron. Kalau saja asam
jenis ini tidak ada, maka temperatur di dalam otak akan
meningkat bila digunakan untuk berfikir keras, membantu
untuk memblokir implus yang berhubungan dengan stres dari
mencapai reseptor pada sistem saraf pusat. Peran lain GABA
juga dapat mengurangi perasaan cemas, dan dapat membantu

Psychoneuroimmunology in Dermatology 30
mengatasi gangguan yang terkait dengan stres emosional.
GABA telah dilaporkan dalam kultur makrofag murin, dan juga
ditemukan di ekstrak makrofag dikultur dari monosit darah
perifer. Enzim Glutamic Acid Decarboxylase (GAD) 65 (Salah
satu marker adanya antibodi terhadap enzim glutamat
dekarboksilase) dan anti anti-GAD65 ada dalam jumlah yang
banyak dalam sel dendritik (DC) dan konsentrasi lebih rendah
pada peritoneal makrofag, DC dan limfosit T juga dapat
melepaskan GABA. Stimulasi makrofag dan DC dengan
lipopolisakarida (LPS) terjadi peningkatan ekspresi GAD,
sementara jumlah GABA disekresikan tidak dipengaruhi secara
signifikan. Stimulasi CD4+ sel T dengan anti-CD3 dan antibodi
anti-CD28 juga memiliki berpengaruh pada konsentrasi GABA
dalam plasma. Kehadiran GABA-Transaminase yang
diprodukasi di makrofag dan limfosit mengaktifkan sel T sejak
spesifik limfosit T mitogen (phytohemagglutinin; PHA)
digunakan untuk stimulasi dan sel T sel B dengan rasio sekitar
3:1. Interaksi sel B dan sel T, diduga mempengaruhi ekspresi
sitokin sebagai bagian pada imunitas adaptif, beberapa
antibodi yang diproduksi sebagai respon terhadap infeksi,
seperti Ig M, juga disekresikan secara alami oleh sel B. Limfosit
T dalam fungsinya terdapat beberapa jenis, yang meliputi CD8+
(sitotoksik) sel T, yang dapat diaktifkan dengan CD4+ T (helper)
sel dan CD8+. Jenis lain termasuk T-reg (sel T-regulator) yang
dapat mengendalikan aktivasi sistem imun, dan diduga
berpengaruh terhadap Natural Killer Cell.
Penelitian in vivo maupun in vitro GABA diperifer
menghambat terjadi inflamasi neurogenik pada penyakit
autoimun. Dapat juga dipakai penggunaan lokal (topikal) dan
sistemik untuk kelainan otoimun. GABAA-R (GABA antagonis
reseptor) suatu antagonis dan senyawa yang menghambat

Psychoneuroimmunology in Dermatology 31
sintesis GABA mungkin berguna dalam penanganan supresi
imun akibat obat, misalnya pada pasien yang mendapat
sitostatika. Walaupun efektivitasnya tampaknya belum jelas,
dan lebih efektif pada penyakit didominasi oleh TNF-α, seperti
rheumatoid arthritis, asma dan penyakit radang usus.

6. Asam Glutamin (Glutamic Acid)


Asam glutamat sebagai sebagai imunomodulator penting
dalam inisiasi dan perkembangan imun respons adaptif,
termasuk data tentang ekspresi dan fungsi reseptor glutamat
dan glutamat transporter dalam sel T dan sel-sel lain yang
terlibat dalam aktivasi sel T yang memediasi sistem imun. Pada
tahun-tahun terakhir beberapa reseptor glutamat telah
diidentifikasi pada permukaan sel T. Disamping itu, glutamat
transporter telah dibuktikan berperan pada APC, tergantung
konsentrasinya. Pelepasan glutamat oleh DC baru-baru ini
menunjukkan dan peran regulasi dari asam amino, hal ini
selama DC berinteraksi dengan kelenjar getah bening. DC
merilis glutamat, melalui merangsang glutamat reseptor pada
sel T, dapat mengatur respon sel T untuk APC. Selain itu, pada
penyakit otoimun, ketika glutamat-mengiduski kerusakan
saraf merespon reaktif Th1 dengan menekan IFN-γ. Dengan
demikian induksi mGlu1R (reseptor Glutamat), yang
memstimuli sekresi IFN-γ dapat terjadi ketika ada stimulasi sel
T.
Peran penting bahwa glutamat berperan sistem saraf
pusat telah establis, beberapa reseptor glutamat dan
transporter glutamat telah banyak perannya dalam sistem
saraf pusat, masing-masing memediasi efek glutamate dan
mengatur kadar glutamat ekstrasel. Studi terbaru
menunjukkan bahwa glutamat tidak hanya memiliki peran

Psychoneuroimmunology in Dermatology 32
sebagai neurotransmiter, tetapi juga sebagai
immunomodulator penting. Dalam hal ini, beberapa reseptor
glutamat baru-baru ini telah dijumpai pada permukaan sel-T,
dan transporter glutamat dilaporkan membantu peran APC
seperti sel dendritik dan makrofag. Disamping itu, peningkatan
jumlah glutamin dilaporan telah menjelaskan mekanisme
autoimun sebagi pelindung autoantigen sel T, neurotransmiter
ini dalam sistem saraf melindungi neuron terhadap glutamat
neurotoksisitas. Ada peran glutamat sebagai imunomodulator,
hal penting dalam inisiasi dan perkembangan sistem imun yang
dimediasi sel T pada jaringan perifer dan dalam sistem saraf
pusat.

Neuropeptida & Respon Imun


Beberapa jenis neuropeptita yang penting dalam respon imun
adalah:

1. Substansi P
Substansi P (SP) adalah suatu neuropeptida yang berfungsi
sebagai neurotransmiter dan neuromodulator, dari golongan
neuropeptida takikinin. Selain itu, substansi P juga merupakan
elemen penting di dalam persepsi nyeri. Fungsi sensoris
substansi P diperkirakan berkaitan dengan transmisi informasi
nyeri ke dalam susunan saraf pusat. Substansi P dikaitkan
dengan regulasi gangguan mood, ansietas, stres, neurogenesis
mual/muntah, nyeri dan nosiseptif, dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Banyak bukti menunjukkan
hubungan antara neuron dan sistem kekebalan tubuh sebagai
immunomodulasi aktivasi sintesis pelepasan sitokin dan
kemokin, selain itu, substansi P terbukti memediasi
peradangan, angiogenesis. Substansi P mampu mengaktifkan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 33
beberapa sel imun, seperti CD4+ dan limfosit CD8+, sel mast, sel
NK dan makrofag. Dalam studi terbaru menunjukkan bahwa
substansi P dapat mengaktifkan interleukin-8, kemokin CXC,
menunjukkan keterlibatannya dalam chemoattraction
terhadap sel T, dan penting dalam patofisiologi inflamasi
nerogenik yang terjadi pada kulit seperti dermatitis, psoriasis,
diskoid lupus dan lainnya.

2. Neuropeptide Y (NP-Y)
Peran utama dari sistem kekebalan tubuh adalah penahanan
patogen, sel-sel kanker, dan infeksi. Ini juga memainkan peran
sebagai kontrol mencegah munculnya disfungsi limfosit, yang
dapat menyerang jaringan dan menyebabkan penyakit
autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (SLE),
rheumatoid arthritis, dan multiple sclerosis. Stres dan episode
emosional yang kuat secara dramatis mengurangi resistensi
kita terhadap infeksi, dan perkembangan sel kanker. Namun,
sampai sekarang, hubungan antara kondisi mental dan
imunitas kanker belum diketahui dengan pasti. Terakhir
ditemukan bahwa neuropeptide Y (NPY), sebagai suatu
hormon yang dikeluarkan selama stres, mengganggu imunitas
seluler dan menghambat respon sel imun yang penting melalui
peran reseptor Y1. Ini adalah penemuan penting untuk
pertama mengkaji link baru antara stres psikologis dan
imunosupresi yang dimediasi NP-Y.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
sistem saraf simpatik mengatur manifestasi klinis dan patologis
chronic relapsing experimental autoimmune encephalomyelitis
(EAE), model penyakit autoimun dimediasi oleh sel Th1 dan
NP-Y. Meskipun peran katekolamin telah ditunjukkan dalam
studi sebelumnya, itu tetap mungkin bahwa neurotransmiter

Psychoneuroimmunology in Dermatology 34
simpatik lainnya seperti NP-Y juga terlibat dalam patogenesis
EAE. Efek NP-Y dan reseptornya mempunyai sifat spesifik pada
oligodendrocyte myelin glikoprotein 35-55 pada tikus,
sedangkan agonis reseptor Y5 atau pemberian antagonis
reseptor Y1 tidak menghambat tanda-tanda EAE. Suatu
penelitian mengungkapkan penghambatan yang signifikan dari
myelin oligodendrocyte glikoprotein terhadap respon sel Th1
spesifik bukan pada sel Th2, pada percobaan tikus yang
diberikan agonis reseptor Y1, analisis in vivo menunjukkan
mekanisme autoimun yang dimediasi sel T secara langsung
dipengaruhi oleh NP-Y melalui reseptor Y1. Kesimpulannya,
bahwa NP-Y merupakan immunomodulator potensial terlibat
dalam regulasi penyakit autoimun. NP-Y dapat menghambat
inflamasi neurogenik dengan menekan produksi Th17 dan Th1-
like cytokines, namun dapat meningkatkan sitokin Th2.
Penelitian terakhir menyatakan NP-Y sebagai
imunoreaktifaktor terhadap sel dendritik epidermal pada
dermtitis atopi, pada psoriasis, dan NP-Y berperan dalam
hantaran rasa gatal.

3. Vasoactive Intestinal Peptide


Vasoactive intestinal peptide (VIP) merupakan peptida yang
tersusun atas 28 asam amino dan dapat ditemukan pada
serabut saraf yang berhubungan dengan pembuluh darah,
kelenjar keringat, folikel rambut dan sel Merkel. Vasoactive
intestinal peptide memperantarai vasodilatasi dan edema
dengan memicu sintesis nitrit oksida serta proliferasi dan
migrasi keratinosit. Selain itu VIP memicu produksi keringat
serta pelepasan histamin sel mast. VIP dan neuropeptida yang
berhubungan secara anatomis dengan pituitary adenylate
cyclase-activating polypeptide (PACAP) sebagai modulator

Psychoneuroimmunology in Dermatology 35
imunitas alami dan didapat, ada dalam organ limfoid,
memodulasi fungsi sel-sel inflamasi melalui reseptornya.
Produksi dan pelepasan baik sitokin pro-inflamasi dan anti-
inflamasi oleh fagosit aktif dalam inisiasi respon imun. Respons
VIP dan PACAP dapat menghambat produksi sitokin pro-
inflamasi TNF-α, IL-6, IL-12 dan nitrit oksida dan merangsang
produksi anti-inflamasi sitokin IL-10.
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa bone
marrow-derived dendritic cells (BMDCs) berbeda dengan VIP,
BMDCs oleh diinduksi IL-10/transforming factor growth- β
(TGF)-β yang disintesis sel T regulator (T-reg) in vivo, bahwa
penambahan VIP untuk media kultur awal dalam diferensiasi
monosit manusia untuk monocyte-derived dendritic cells
(MDDC) dirangsang diferensiasi DC yang terpolarisasi pada
CD4+ T sel untuk IL-10/TGF-β memproduksi T-reg dan juga sel
CD8+ T. Sel CD8+ T diproduksi IL-10 dan menunjukkan adanya
perubahan pada CD 28/Antigen limfosit T sitotoksik (CTLA)
fenotipe, dan kedua CD4+ dan CD8+ T-regs dihasilkan oleh
respon imun yang diperantarai oleh VIP. Oleh karena itu, VIP
mungkin memiliki efek yang berbeda dengan DC tergantung
titik tangkap reseptor VIP. Reseptor terhadap VIP disebut
VPAC1, reseptor ini selain di saraf juga ditemukan pada limfosit
T, sehingga dapat mengendalikan sintesis sitokin seperti TNF-
α. Diketahui juga VIP memodulasi sel Mast untuk merespon
stres, hal ini terjadi pada urtikaria kronis dan penyakit alergi
lainnya.

4. β-Endophine
β-Endorphine adalah neuropeptid yang membuat seseorang
merasa senang, nyaman dan untuk aktivasi sistem imun. β-
Endorphine diproduksi oleh kelenjar pituitary yaitu pada saat

Psychoneuroimmunology in Dermatology 36
kita merasa bahagia (tertawa) dan pada saat kita istirahat yang
cukup. neuropeptida ini bertindak seperti morphine (endogen
opioid), bahkan dikatakan 200 kali lebih besar dari morphine.
β-endorphine atau endorphine mampu menimbulkan perasaan
senang dan nyaman hingga membuat seseorang berenergi. β-
endorphine juga memiliki peran terhadap sistem imunitas,
selain menurunkan keadaan emosi. Dengan endorphin
perasaan kita akan lebih rileks, dan tentunya kita pun akan
lebih mudah mengontrolnya, mengontrol rasa amarah
sekaligus berpikir positif dengan mengutamakan kesabaran.
Dapat dikatakan bahwa endorphin itu seperti zat yang
terkandung di dalam es krim atau coklat. Apabila kita
mengkonsumsi es krim atau coklat, kita akan merasakan
kenyamanan. Zat yang membuat kita nyaman pun juga
diproduksi oleh tubuh kita, guna menstabilkan emosi kita.
Dengan zat tersebut, kita dapat merasakan rileks, dan semua
yang berhubungan dengan tekanan pada perasaan kita seperti
marah, sedih dan depresi dapat dikurangi bahkan dihilangkan.
Manfaat endorphin sudah lama dikenal sebagai zat yang
banyak manfaatnya, seperti mengatur produksi growth factors
dan seksualitas, mengendalikan rasa nyeri serta sakit yang
menetap, mengendalikan perasaan stres, serta meningkatkan
sistem kekebalan tubuh. Endhorpine sebenarnya merupakan
gabungan dari endogenous dan morphine, zat yang
merupakan unsur dari protein yang diproduksi oleh sel-sel
tubuh serta sistem syaraf manusia, pelepasan zat ini bisa dipicu
melalui berbagai kegiatan, seperti pernapasan yang dalam,
relaksasi, serta meditasi. Sel natural killer adalah bagian dari
sistem kekebalan tubuh yang membunuh sel kanker atau
patogen lainnya. Stres mempengaruhi kemampuan sel-sel
pembunuh alami ini untuk meningkatan respon imun melalui

Psychoneuroimmunology in Dermatology 37
endorfin. Endorfin juga membantu menurunkan tekanan
darah, dengan memperbaiki enditel pembuluh daran, mampu
berikatan dengan limfosit B, dan untuk meningkat peran sel
natural killer. Sel B dan Sel NK adalah bagian kecil dari
keseluruhan peripheral blood mononuclear cells (PBMC).
Berdasarkan hasil penelitian deskriptif menunjukkan bahwa
dengan latihan pernapasan dapat meningkatkan β–endorphin
terbukti meningkatkan kebugaran fisik dan imuniglobulin-G
dan menekan interleukin 6 pada keadaan stres, sementara
interleukin 2 dan interleukin 4 tidak meningkat secara
bermakna. Demikian juga kortisol tidak menurun secara
signifikan. Penggunaan topikal aplikasi berefek positif pada
hidrasi kulit, elastisitas dan kerutan (wrinkle) pada kulit.

4. Kalsitonin
Kalsitonin (CT) adalah hormon yang berperan didalam regulasi
tulang dan kalsium darah. Neuropeptid ini belum begitu jelas
perannya pada keadaan stress, tetapi berpengaruh terhadap
respon imun. Sumber utama dari CT adalah parafollicular cells
kelenjar tiroid. Sebagian besar dari kelenjar tiroid adalah
folikular sel yang bertanggungjawab untuk sekresi hormon
tiroid. Selain itu, CT juga dijumpai di beberapa organ di dalam
tubuh, termasuk thymus, usus halus, kandung kemih, paru-
paru dan hepar. Kalsitonin adalah polipetida kecil, terdiri dari
32 asam amino dengan berat molekul 3410 Dalton. Sekresi
kalsitonin dipengaruhi oleh adanya serum Ca2+ yang tinggi,
target organ dari hormon ini adalah usus halus dan tulang.
Hormon ini bekerja menurunkan absorbsi Ca2+ dalam usus dan
menurunkan resorpsi Ca2+ dalam tulang sehingga serum
Ca2+ yang semula tinggi menjadi menurun. Hormon ini bekerja
berlawanan dengan hormon paratiroid. Kalsitonin plasma yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 38
lebih tinggi dari normal, dapat menyebabkan gangguan sistem
saraf (refleks lamban, kontraksi otot lamban & lemah
konstipasi & nafsu makan). Kalsitonin dapat mengurangi kadar
kalsium dalam aliran darah dengan menghambat kerja
destruksi sel tulang oleh osteoklas, menghancurkan matrix
ekstraseluler. Sekresi hormone kalsitonin mengontrol umpan
balik negative, ketika kalsium dalam darah tinggi, kalsitonin
menurunkan kalsium dan fosfat dalam darah dan menghambat
resorbsi tulang oleh osteoklas dan meningkatkan uptake
kalsium dan fosfat ke dalam matrix ekstraseluler tulang.
Dalam sistem imun dikatakan bahwa kalsitonin tidak
hanya stimulasi IL-1, IL-6, TNF-a, dan IL-12 tetapi juga IL-2, IL-8
dan IL-10 dalam peranan dalam etiopatogenesis osteoporesis.
Pada kelenjar hipofisis, kalsitonin diserap oleh reseptor C2a
dan menginduksi produksi cAMP. Setelah itu CT akan
menginduksi produksi IL-6 melalui jalur protein kinase A (PKA)
dan protein kinase C (PKC), atau menghambatnya melalui
aktivasi protein G1/G0, menghambat sekresi prolaktin, akan
memicu berbagai proses angiogenesis pada sel endothelial dan
pengaruh pada perkembangan sel
kanker payudara dan prostat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Levite M. et al. Nerve-driven immunity: Neuropeptides regulate


cytokine secretion of Tcells and intestinal epithelial cells in a
direct, powerful and contextual manner. Annals of Oncology,
2001 12 (Suppl. 2): S19-S25.
2. Margaret E. Understanding the interaction between
psychosocial stress and immune-related diseases: A stepwise
progression. Brain, Behavior, and Immunity, 2007; 21: 1009–
1018

Psychoneuroimmunology in Dermatology 39
3. Hayashi T. Conversion of psychological stress into cellular stress
response: Roles of the sigma-1 receptor in the process.
Psychiatry and Clinical Neurosciences 2015; 69: 179–191
4. Merlin. NJ. Neuropeptides –A Review. Asian J. Pharm. Res. 2014;
4: 4:198-200
5. Ganea D. Neuropeptides: Active Participants in Regulation of
Immune Responses in the CNS and Periphery. Brain Behav
Immun. 2008; 22[1]: 33–34.
6. Moreira LS. Neuropeptides as Pleiotropic Modulators of the
Immune Response. euroendocrinology, 2012;6: 1-12
7. Nardocci G, et al. Neuroendocrine mechanisms for immune
system regulation during stress. Fish & Shellfish Immunology 40
(2014) 531-538
8. Jara LJ. Immune-neuroendocrine interactions and autoimmune
diseases. Clinical & Developmental Immunology, June–
December 2006; 13[2]: 109–123
9. Tsigos C, et al. Hypothalamic–pituitary–adrenal axis,
neuroendocrine factors and stress. Journal of Psychosomatic
Research, 2002;53: 865– 871
10. Kojima M., et al. Effects of Neuropeptides in the Development
of the Atopic Dermatitis of Mouse Models. Allergology
International. 2004; 53: 169-78.
11. Mustafa GA. Neurogenic Inflammation and Allergy. J Pediatr
Allergy Immunol. 2009; 7[2]: 45-58
12. Hodeib A., et al. Nerve Growth Factor, Neuropeptides and
Cutaneous Nerves in Atopic Dermatitis. Indian J Dermatol. 2010;
55[2]: 135-9.
13. Botchkarev VA., et al. Neurothropins in Skin Biology and
Pathology. J Invest Dermatol. 2006; 126: [17]:19-27.
14. Operacz MC. Et al. Clinical and experimental aspects of
cutaneous neurogenic inflammation. British Journal of
Pharmacology, 2013; 170: 38–45
15. Mikolajczak ET.,et al. Neurogenic Markers of the Inflammatory
Process in Atopic Dermatitis: Relation to the Severity and
Pruritus. Postep Derm Alergol. 2013; 30[5]: 286-292.
16. Hosoi T, et al. 2004. Functional Role of Acetylcholine in The
Immune System. Frontiers in Bioscience 9: 2414-2419
17. Pacheco R. Role of glutamate on T-cell mediated immunity.
Journal of Neuroimmunology, 2007;185: 9–19

Psychoneuroimmunology in Dermatology 40
18. Mackay F. The Role of Neuropeptide Y and its Receptors in the
Immune System and Immune Disorders
19. Katsanos G.S. Impact of Substance P on Cellular Immune.
Journal of Biological Regulator & Homeostatic Agent.2008;
22[2]: 93-98
20. Inhibitory role for GABA in autoimmune inflammation
Roopa Bhata,1 . 2580–2585 | PNAS | February 9, 2010 | vol. 107
| no. 6
21. Szczepanik, M. Melatonin and its Influence on Immune System.
Jour of Physiology and Pharmacology. 2007;58[6]:115-124
22. Delgado M. al. The Significance of Vasoactive Intestinal Peptide
in Immunomodulation Pharmacological Review, 2011;56[2]:
249-290
23. Mikami N, Calcitonin Gene-Related Peptide Is an Important
Regulator of Cutaneous Immunity: Effect on Dendritic Cell and
T Cell Functions. The Journal of Immunology, 2011, 186: 6886–
6893.
24. Wanhong Ding .Calcitonin Gene-Related Peptide Biases
Langerhans Cells toward Th2-Type Immunity1. The Journal of
Immunology, 2008, 181: 6020 – 6026.
25. Ganea D. Neuropeptides as Modulators of Macrophage
Functions. Regulation of Cytokine Production and Antigen
Presentation by VIP and PACAP. A rchivum Immunologiae et
Therapiae Experimentalis, 2001, 49, 101–110
26. Henricks PA. GABA receptors and the immune system. Arne
Lucas ten Hoeve. Bachelor Biomedical Sciences 2011 Utrecht
University.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 41
Psychoneuroimmunology in Dermatology 42
PSIKONEUROIMUNOLOGI PADA DERMATITIS ATOPIK

Prof. Dr. dr. Endang Sutedja, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV


Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung, Jawa Barat

Abstrak
Dermatitis atopik (DA) adalah suatu peradangan kulit kronik
ditandai dengan terganggunya fungsi barrier epidermal,
infiltrasi faktor-faktor inflamasi, rasa gatal berlebihan, dan
adanya periode flare dan remisi dari gejala klinis. Mekanisme
eksaserbasi penyakit DA masih belum dipahami sepenuhnya,
akan tetapi gejala klinis pada DA sering dikaitkan dengan stres
psikologis. Pada keadaan stres, peningkatan regulasi mediator
neuropeptida di otak, organ endokrin, dan sistim saraf perifer
akan memengaruhi secara langsung faktor imun dan sel di
kulit. Kulit lesi atau non-lesi pada pasien DA menunjukkan
peningkatan kontak antara sel mast dan serat sel saraf. Saraf
sensoris juga melepaskan neuromediator yang meregulasi
inflamasi dan respon imun, serta fungsi sawar. Perkembangan
pengetahuan mengenai hubungan antara neuroimun akan
menjelaskan bagaimana stres emosional dapat memengaruhi
DA. Obat psikofarmakologi yang dapat memodulasi reseptor
saraf atau jalur amplifikasi dari inflamasi, tidak hanya menjadi
pilihan terapi DA, tetapi dapat juga menjadi pilihan terapi
untuk penyakit inflamasi kulit karena stres.
Kata kunci: dermatitis atopik, eczema, stres psikologi,
inflamasi neurogenik, psikoneuroimunologi

Pendahuluan
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi kronik
dan berulang, yang ditandai dengan lesi kulit eczematous,

Psychoneuroimmunology in Dermatology 43
xerosis, likenifikasi, dan gatal yang hebat (1,2). Etiologi dari DA
belum diketahui dengan pasti, tetapi hasil laboratorium dan
gejala klinis mengarah ke patogenesis multifaktorial yang
terdiri dari genetik dan lingkungan (3,4). Stres yang disebabkan
oleh fisik maupun psikologis adalah pemicu dan pemberat dari
DA (5). Tulisan ini membahas tentang stres psikologis dan
perannya dalam DA.
Kulit adalah organ tubuh terbesar dan dilengkapi
dengan kemampuan metabolik dan endokrin yang
memfasilitasi kontrol homeostatis antara lingkungan internal
dan eksternal (6). Pada DA terjadi kegagalan sawar kulit,
sebagaimana dibuktikan oleh peningkatan kerentanan infeksi
kulit, peningkatan transepidermal water loss (TEWL), dan
penurunan pengeluaran keringat kepermukaan epidermis (7).
Kulit dipersarafi oleh serat sensorik yang banyak, kulit
mengekspresikan banyak reseptor neurotransmitter dan
neuropeptida yang sama dengan sistem saraf pusat, termasuk
corticotrophin-releasing hormone (CRH), serotonin, prolaktin,
dan substansi P (SP) (6). Dengan berbagai mediator kimia
terjadi hubungan timbal balik antara kulit, sistem saraf, dan
sistem endokrin (8, 9). Disregulasi mediator ini baik di sistem
saraf pusat (SSP) dan di kulit berperan dalam patofisiologi AD
(10, 11).
Psikoneuroimunologi adalah bidang interdisipliner
yang secara khusus meneliti lintas biokimia antara otak,
perilaku, dan sistem kekebalan tubuh. Tulisan dibawah ini
membahas secara komprehensif mengenai mekanisme
psikoneuroimunologi pada DA, berkaitan dengan respon
sistemik terhadap stres dan dampaknya pada fungsi kekebalan
tubuh, khususnya pada sel T dan sel mast, respon aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Juga akan ditinjau pada

Psychoneuroimmunology in Dermatology 44
pasien DA dengan stres kronik dan pengaruhnya pada respon
imun kulit, serta penemuan baru mengenai mediator peptida
inflamasi neurogenik di DA, mekanisme inflamasi neurogenik
dari gangguan sawar epidermis, dan penggunaan terapi
farmakologis yang menargetkan mekanisme neuroimunologi
sebagai terapi stres pada DA juga sedikit dibicarakan.

Stres dan Imunitas


Aksis HPA merespon stres psikologis dengan peningkatan
regulasi CRH, hormon adrenokortikotropik (ACTH),
neuropeptida (misal: protein pituitary adenylate cyclase-
activating), dan glukokortikoid (12,13), serta aktivasi sistem
saraf simpatis dan batang otak serotonergik (Gambar 1)
(12,13). Selanjutnya, peningkatan kadar glukokortikoid dan
katekolamin akan menekan antigen-presenting cell (APC), yang
memproduksi interleukin (IL)-12 – yang berperan sebagai
sitokin inducer utama dari respon imun humoral T helper 1
(Th1) –mediated melalui induksi interferon-γ (IFN-γ) dan tumor
necrosis factor-α (TNF-α) (14,15). Dengan demikian,
glukokortikoid menghambat produksi IL-12, IFN-γ,IFN-α, dan
TNF-α pada APC dan sel Th1, dan meningkatkan sitokin-sitokin
yang dihasilkan oleh T helper 2 (Th2)-mediated, seperti IL-4, IL-
10, dan IL-13, yang pada akhirnya akan menghasilkan produksi
IgE yang meningkat (15). Sel dendritik adalah APC khusus pada
kulit dan permukaan mukosa. Sel-sel ini diduga memiliki peran
penting dalam regulasi kekebalan tubuh, dan kemungkinan
memiliki hubungan antara antigen dan penyakit inflamasi kulit
seperti DA (16). Stres psikologis dapat meningkatkan protein
yang mengaktifkan inflamasi, melalui saraf vagus, ke inti
batang otak yang mengendalikan aksi potensial eferen yang
ditransmisikan kembali ke perifer. Selain itu, stres psikologis

Psychoneuroimmunology in Dermatology 45
dan hormon stres meningkatkan sintesis serotonin, yaitu
neurotransmitter dengan reseptor pada keratinosit, melanosit,
dan fibroblas dermal (17, 18, 19). Efek kulit lokal oleh serotonin
termasuk respon proinflamasi, seperti edema atau
vasodilatasi, serta induksi pruritus (20). Saraf aferen sensorik
di kulit menyalurkan sinyal rasa sakit dan gatal dari kulit ke SSP
dan melepaskan neuropeptida substansi P, calcitonin gene
relatedpeptide (CGRP), dan nerve growth factor (NGF) (20, 21).
Di kulit, mediator ini dilepaskan untuk menanggapi berbagai
rangsangan, termasuk sitokin dan protease, sehingga
mengaktifkan neuron sensorik, yang mempengaruhi respon
imun lokal dan memodulasi mekanisme kekebalan tubuh
(22,23). Sel lain yang berhubungan dengan unmyelinated C-
fibers di kulit adalah sel mast, yang berperan penting dalam
lokal inflamasi, termasuk vasodilatasi (eritema), ekstravasasi
plasma (edema), pengeluaran vascular endothelialmolecule,
pelepasan sitokin, dan produksi nerve growth factor atau
chemo-attraction (24, 25). Diaktifkan oleh beberapa mediator
hormon stres, (26,27) sel mast pada kulit mengekspresikan
berbagai neuropeptida atau reseptor isoform neurohormon,
termasuk CRH, (28) dan sel mast merupakan sel yang
memproduksi CRH (29). Selain itu, sel mast mensintesis dan
mengeluarkan lebih dari 50 molekul biologis aktif, termasuk
sitokin, substansi P, serotonin, TNF-α, NGF, tryptases, dan
chymases, yang seluruhnya merupakan mediator inflamasi
neurogenik (9,30). Inflamasi neurogenik mungkin terjadi
karena mediator merangsang neuropeptida yang mengandung
C-fibers, sitokin proinflamasi, dan kemokin dilepaskan dari sel-
sel mast termasuk histamine dan asetilkolin (31). Manifestasi
subjektif dari penyakit inflamasi kulit adalah gatal merupakan
sensasi tidak menyenangkan yang memprovokasi keinginan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 46
untuk menggaruk (11,32,33). Karena garukan dan penderita
merasa susah untuk menghentikan garukan sehingga
menyebabkan kelainan kulit semakin berat, sehingga
menghasilkan siklus garuk-gatal-garuk yang meningkatkan rasa
cemas dan menurunkan kualitas hidup penderita (46).

Sel-sel inflamasi kulit pada pasien dermatitis atopik dengan


stres
Beberapa penelitian yang menjelaskan tentang hubungan
stres dengan dermatitis atopik melalui pemeriksaan sel-sel
inflamasi beserta sitokin-sitokinnya diantaranya ditemukan
pada kulit lesi dan non-lesi dari pasien DA, didapatkan
peningkatan jumlah sel Th2, IL-4, IL-5, dan IL-13 dibandingkan
dengan orang sehat sebagai kontrol (34). Peningkatan jumlah
eosinofil darah juga ditemukan pada pasien atopik, dengan
jumlah eosinofil dan produksi IgE meningkat dalam respon
terhadap stres (35).
Pada penderita DA yang mengalami stres, kadar IgE
yang tinggi meningkatkan kadar IL-4 pada penelitian limfosit in
vitro dari darah dibandingkan dengan kontrol orang sehat dan
pasien DA dengan kadar baseline serum IgE yang rendah (36).
Hubungan antara sel-sel mast, saraf, dan keratinosit
diduga berperan dalam eksaserbasi inflamasi oleh stres. Selain
mengaktifkan aksis HPA dalam pengaturan stres, corticotropin-
releasing factor (CRF) juga memiliki efek pro-inflamasi
periferal, pada beberapa penelitian terbaru menganalisis
ekspresi kadar IL-6, IL-18, pada pasien dermatitis atopik yang
mengalami stress ditemukan penurunan ekspresi IL-18
dibandingkan dengan kontrol orang sehat non-atopik.
Dalam analisis imunohistokimia pasien DA terkait
stres, didapatkan peningkatan jumlah pewarnaan positif untuk

Psychoneuroimmunology in Dermatology 47
sel mast, reseptor serotonin subtipe 5-HT1A dan 5-HT2A, dan
serotonin transporter protein (SERT) yang diamati pada lesi
dibandingkan dengan kulit yang tidak terlibat (38).
Terlepas dari aksis HPA, efek dari saraf perifer dan
disregulasi dari jalur glukokortikoid dan fungsi reseptor
glukokortikoid mungkin terlibat dalam stres efek
neuroimmune stress-induced pada inflamasi kulit. Karena
leukosit pasien DA menunjukkan peningkatan regulasi
reseptor glukokortikod untuk menurunkan kadar
glukokortikoid. Respon sel efektor terhadap peningkatan
kortisol akibat stres akan menyebabkan pergeseran respon
imun dari Th1 (cell-mediated) ke Th2 (humoral) (39). Selain itu,
pengaruh CRF pada penurunan produksiIL-18 di sel dendritik
juga dapat dipertimbangkan, mengingat bahwa IL-18 berfungsi
sebagai inducer IFN-γ dan promotor Th1. Dengan demikian,
hal ini mendukung bahwa stres menurunkan imunitas seluler,
dan CRF merangsang respon imun dengan mengaktivasi sel
dendritik (37).

Respon sistem saraf pusat dan perifer terhadap stres


Pasien atopik, termasuk orang-orang dengan DA, berespon
terhadap stres dengan produksi kortisol yang sub-optimal
(39). Aktivasi dari aksis HPA oleh stres dan peningkatan kadar
hormon stres akan menurunkan tingkat progesteron (41).
Sistem saraf otonom, yang terdiri dari parasimpatis dan
simpatis, mempengaruhi parameter fisiologis seperti detak
jantung. Denyut jantung secara konsisten meningkat pada
pasien dengan DA, dibandingkan dengan kontrol yang sehat,
bahkan pada pasien yang tidak adanya stres (42). Histamin dan
ACh memicu rasa gatal, dan histamin adalah yang terbaik-
dikenal pruritogen pada manusia (43).

Psychoneuroimmunology in Dermatology 48
Mediator inflamasi neurogenik pada dermatitis atopik
Neuropeptide Y (NPY) dan noradrenalin dilepaskan dari
terminal saraf simpatis dan berfungsi sinergis sebagai
agonisadrenergik. Sel NGF-reaktif lebih terekspresikan pada
epidermis dan dermis dan jumlah sel NPY-positif secara
signifikan lebih besar dalam epidermis kulit lesi DA
dibandingkan dengan kontrol sehat (44).
Stres psikologis dapat dikaitkan dengan gatal di DA.
Sensasi gatal, dengan dorongan untuk menggaruk, merupakan
sumber dari stres psikologis pada pasien, yang menunjukkan
dapat dilakukan intervensi psychopharmacologic (11). Korelasi
antara skor kecemasan yang tinggi pada pasien DA dengan
pruritus dan aktivitas NPY dan NGF yang meningkat
menunjukkan bahwa kecemasan dapat meningkatkan ekspresi
dari kedua neuropeptida ini, yang dapat berkontribusi untuk
pruritus (44). Rasa gatal yang dipicu oleh NGF dan NPY karena
kecemasan membutuhkan strategi terapi yang bertujuan
untuk mengurangi kecemasan dan stres.
Secara imunologis kimia terjadi peningkatan kontak
Substance P (SP) dan calcitonin gene related peptide (CGRP)
pada lesi dan non lesi pada kulit orang normal. Terdapat
peningkatan kadar NGF dan SP pada penderita DA, dan
berhubungan dengan keparahan penyakit (49, 50).

Stres psikologis dan disfungsi sawar epidermal


Studi mengenai efek dari stres psikologis pada fungsi sawar
menunjukkan gangguan dalam keseimbangan antara produksi
dan pengelupasan corneocytes (45). Pemakaian glukokortikoid
dalam jangka pendek mengganggu integritas dan
kohesistratum korneum, kerusakan barrier system pada orang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 49
yang stres lebih berat daripada orang yang tidak stres. Pada
percobaan yang dilakukan pada hewan, tampak bahwa ada
hubungan antara stres dengan sintesa lemak epidermis yang
menyebabkan adanya gangguan barrier (47), serta terdapat
peningkatan koloni A Streptococcus pyogenes (GAS) pada
hewan yang stress (48). Pengobatan dengan cara memblok
hormon CRF atau glukokortikoid pada peripheral seperti
pemberian topikal akan menormalkan lemak fisiologis dan
akan menurunkan GAS pada kulit. Antagonis CRF1 (antalarmin;
RU-486).

Kesimpulan
Meskipun mekanisme yang mendasari asosiasi DA dengan
stres psikologis belum sepenuhnya terjelaskan, bidang
psikoneuroimunologi memiliki banyak wawasan baru untuk
memahami peran stres di DA. Baru-baru ini telah dibuktikan
lebih jauh melalui manifestasi klinis dan fisiologis bahwa stress
psikologis merupakan kontributor yang signifikan untuk
perjalanan penyakit DA melalui efek langsung dan tidak
langsung pada respon imun, ekspresi
Neuropeptida pada kulit, dan fungsi sawar kulit.
Penelitian ilmiah mengenai interaksi neurokutaneus ini masih
terus berkembang, dan terdapat potensi besar untuk
mengidentifikasi target terapi neuroimmunemodulating.
Perkembangan tersebut akan memperbaiki dan meningkatkan
pengobatan dan kekambuhan penyakit ini, yang sering kali
menurunkan kualitas hidup pasien.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 50
Daftar Pustaka
1. De Benedetto A, Agnihothri R, McGirt LY, Bankova LG, Beck LA.
Atopic dermatitis: a disease caused by innate immune defects? J
Invest Dermatol. 2009; 129:14–30. [PubMed: 19078985]
2. Solomon LM, Beerman H. Atopic dermatitis. Am J Med Sci. 1966;
252:478–496. [PubMed: 5332067]
3. Pastar Z, Lipozencic J, Ljubojevic S. Etiopathogenesis of atopic
dermatitis – an overview. Acta Dermatovenerol Croat. 2005;
13:54–62. [PubMed: 15788148]
4. Weidinger S, Gieger C, Rodriguez E, Baurecht H, Mempel M,
Klopp N, et al. Genome-wide scan on total serum IgE levels
identifies FCER1A as novel susceptibility locus. PLoS Genet. 2008;
4:e1000166. [PubMed: 18846228]
5. Morren MA, Przybilla B, Bamelis M, Heykants B, Reynaers A,
Degreef H. Atopic dermatitis: triggering factors. J Am Acad
Dermatol. 1994; 31:467–473. [PubMed: 8077475]
6. Slominski A, Wortsman J. Neuroendocrinology of the skin.
Endocr Rev. 2000; 21:457–487. [PubMed: 11041445]
7. O’Regan GM, Sandilands A, McLean WH, Irvine AD. Filaggrin in
atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol. 2009; 124:R2–6.
[PubMed: 19720209]
8. Chuong CM, Nickoloff BJ, Elias PM, Goldsmith LA, Macher E,
Maderson PA, et al. What is the ‘true’ function of skin? Exp
Dermatol. 2002; 11:159–187. [PubMed: 11994143]
9. Steinhoff M, Vergnolle N, Young SH, Tognetto M, Amadesi S,
Ennes HS, et al. Agonists of proteinase-activated receptor 2
induce inflammation by a neurogenic mechanism. Nat Med.
2000; 6:151–158. [PubMed: 10655102
10. Arck P, Paus R. From the brain-skin connection: the
neuroendocrine-immune misalliance of stress and itch.
Neuroimmunomodulation. 2006; 13:347–356. [PubMed:
17709957
11. Arndt J, Smith N, Tausk F. Stress and atopic dermatitis. Curr
Allergy Asthma Rep. 2008; 8:312–317. [PubMed: 18606083]
12. Cacioppo JT, Berntson GG, Malarkey WB, Kiecolt-Glaser JK,
Sheridan JF, Poehlmann KM, et al. Autonomic, neuroendocrine,
and immune responses to psychological stress: the reactivity
hypothesis. Ann N Y Acad Sci. 1998; 840:664–673. [PubMed:
9629293]

Psychoneuroimmunology in Dermatology 51
13. Glaser R, Kiecolt-Glaser JK. Stress-induced immune dysfunction:
implications for health. Nat Rev Immunol. 2005; 5:243–251.
[PubMed: 15738954]
14. Elenkov IJ, Webster EL, Torpy DJ, Chrousos GP. Stress,
corticotropin-releasing hormone, glucocorticoids, and the
immune/inflammatory response: acute and chronic effects. Ann
N Y Acad Sci. 1999; 876:1–11. discussion 11–13. [PubMed:
10415589]
15. Elenkov IJ. Glucocorticoids and the Th1/Th2 balance. Ann N Y
Acad Sci. 2004; 1024:138–146. [PubMed: 15265778]
16. Adams S, O’Neill DW, Bhardwaj N. Recent advances in dendritic
cell biology. J Clin Immunol. 2005; 25:177–188. [PubMed:
16118915] Tracey KJ. Understanding immunity requires more
than immunology. Nat Immunol. 2010; 11:561–564. [PubMed:
20562838]
17. Tracey KJ. Understanding immunity requires more
thanimmunology. Nat Immunol 2010; 11: 561–564.
18. Slominski A, Pisarchik A, Zbytek B, Tobin DJ, Kauser S, Wortsman
J. Functional activity of serotoninergic and melatoninergic
systems expressed in the skin. J Cell Physiol. 2003; 196:144–153.
[PubMed: 12767050]
19. Lundeberg L, El-Nour H, Mohabbati S, Morales M, Azmitia E,
Nordlind K. Expression of serotonin receptors in allergic contact
eczematous human skin. Arch Dermatol Res. 2002; 294:393–
398. [PubMed: 12522576]
20. Buddenkotte J, Steinhoff M. Pathophysiology and therapy of
pruritus in allergic and atopicdiseases. Allergy. 2010; 65:805–
821. [PubMed: 20384615]
21. Raap U, Kapp A. Neuroimmunological findings in allergic skin
diseases. Curr Opin Allergy ClinImmunol. 2005; 5:419–424.
[PubMed: 16131917]
22. Steinhoff M, Stander S, Seeliger S, Ansel JC, Schmelz M, Luger T.
Modern aspects of cutaneousneurogenic inflammation. Arch
Dermatol. 2003; 139:1479–1488. [PubMed: 14623709]
23. Elias PM, Steinhoff M. “Outside-to-inside” (and now back to
“outside”) pathogenic mechanisms inatopic dermatitis. J Invest
Dermatol. 2008; 128:1067–1070. [PubMed: 18408746]

Psychoneuroimmunology in Dermatology 52
24. Kawakami T, Ando T, Kimura M, Wilson BS, Kawakami Y. Mast
cells in atopic dermatitis. CurrOpin Immunol. 2009; 21:666–678.
[PubMed: 19828304]
25. Hakim-Rad K, Metz M, Maurer M. Mast cells: makers and
breakers of allergic inflammation. CurrOpin Allergy Clin
Immunol. 2009; 9:427–430. [PubMed: 19550301]
26. Theoharides TC, Conti P. Mast cells: the Jekyll and Hyde of tumor
growth. Trends Immunol.2004; 25:235–241. [PubMed:
15099563]
27. Mitschenko AV, Lwow AN, Kupfer J, Niemeier V, Gieler U.
Neurodermitis und Stress. Wiekommen Gefühle in die Haut?
Hautarzt. 2008; 59:314–318. [PubMed: 18389157]
28. Pisarchik A, Slominski AT. Alternative splicing of CRH-R1
receptors in human and mouse skin:identification of new
variants and their differential expression. FASEB J. 2001;
15:2754–2756.[PubMed: 11606483]
29. Kempuraj D, Papadopoulou NG, Lytinas M, Huang M,Kandere-
Grzybowska K, Madhappan B, et al. Corticotropinreleasing
hormone and its structurally related urocortin aresynthesized
and secreted by human mast cells. Endocrinology2004; 145: 43–
48.
30. Arck PC, Slominski A, Theoharides TC, Peters EM, PausR.
Neuroimmunology of stress: skin takes center stage. JInvest
Dermatol 2006; 126: 1697–1704.
31. Harvima IT, Nilsson G, Naukkarinen A. Role of mast cellsand
sensory nerves in skin inflammation. G Ital Dermatol Venereol
2010; 145: 195–204.
32. Vogelsang M, Heyer G, Hornstein OP. Acetylcholine
inducesdifferent cutaneous sensations in atopic and non-
atopicsubjects. Acta Derm Venereol 1995; 75: 434–436.
33. Cicek D, Kandi B, Berilgen MS, Bulut S, Tekatas A, DertliogluSB,
et al. Does autonomic dysfunction play a role inatopic
dermatitis? Br J Dermatol 2008; 159: 834–838.
34. Leung DY, Boguniewicz M, Howell MD, Nomura I, HamidQA. New
insights into atopic dermatitis. J Clin Invest 2004;113: 651–657.
35. Uehara M, Izukura R, Sawai T. Blood eosinophilia in
atopicdermatitis. Clin Exp Dermatol 1990; 15: 264–266.
36. Stephan M, Jaeger B, Lamprecht F, Kapp A, Werfel T,Schmid-Ott
G. Alterations of stress-induced expression ofmembrane

Psychoneuroimmunology in Dermatology 53
molecules and intracellular cytokine levels inpatients with atopic
dermatitis depend on serum IgE levels.J Allergy Clin Immunol
2004; 114: 977–978.
37. Lee HJ, Kwon YS, Park CO, Oh SH, Lee JH, Wu WH, etal.
Corticotropin-releasing factor decreases IL-18 in themonocyte-
derived dendritic cell. Exp Dermatol 2009; 18: 199–204.
38. Lonne-Rahm SB, Rickberg H, El-Nour H, Marin P, AzmitiaEC,
Nordlind K. Neuroimmune mechanisms in patients withatopic
dermatitis during chronic stress. J Eur Acad DermatolVenereol
2008; 22: 11–18.
39. Rupprecht M, Rupprecht R, Kornhuber J, Wodarz N, KochHU,
Riederer P, et al. Elevated glucocorticoid receptorconcentrations
before and after glucocorticoid therapy inperipheral
mononuclear leukocytes of patients with atopicdermatitis.
Dermatologica 1991; 183: 100–105.
40. Buske-Kirschbaum A, Ebrecht M, Hellhammer DH. BluntedHPA
axis responsiveness to stress in atopic patients is associatedwith
the acuity and severeness of allergic inflammation.Brain Behav
Immun 2010; 24: 1347–1353.
41. Arck PC, Rucke M, Rose M, Szekeres-Bartho J, DouglasAJ, Pritsch
M, et al. Early risk factors for miscarriage: aprospective cohort
study in pregnant women. Reprod BiomedOnline 2008; 17: 101–
113.
42. Seiffert K, Hilbert E, Schaechinger H, Zouboulis CC, DeterHC.
Psychophysiological reactivity under mental stress inatopic
dermatitis. Dermatology 2005; 210: 286–293.
43. Ikoma A, Steinhoff M, Stander S, Yosipovitch G, SchmelzM. The
neurobiology of itch. Nat Rev Neurosci 2006; 7:535–547.
44. Oh SH, Bae BG, Park CO, Noh JY, Park IH, Wu WH, et
al.Association of stress with symptoms of atopic dermatitis.Acta
Derm Venereol 2010; 90: 582–588.
45. Tausk FA, Nousari H. Stress and the skin. Arch Dermatol2001;
137: 78–82.
46. Bender BG, Ballard R, Canono B, Murphy JR, Leung DY, Disease
severity, scratching, and sleep quality in parients with atopic
dermatitis. J Am Acad Dermatol, 2008; 58: 415-420.
47. Kao JS, Fluhr JW, Man MQ, Fowler AJ, Hachem JP, Crumrine D, et
al. Short-term glucocorticoid treatment compromises both
permeability barrier homeostasis and stratum corneum

Psychoneuroimmunology in Dermatology 54
integrity: inhibition of epidermal lipid synthesis accounts for
functional abnormalities. J Invest Dermatol2003; 120: 456–464.
48. Aberg KM, Radek KA, Choi EH, Kim DK, Demerjian M, Hupe M, et
al. Psychological stress downregulates epidermal antimicrobial
peptide expression and increases severity of cutaneous
infections in mice. J Clin Invest 2007; 117: 3339–3349.
49. Toyoda M, Nakamura M, Makino T, Hino T, Kagoura M,
Morohashi M. Nerve growth factor and substance P are useful
plasma markers of disease activity in atopic dermatitis. Br J
Dermatol 2002; 147: 71–79.
50. Hodeib A, El-Samad ZA, Hanafy H, El-Latief AA, El-Bendary A,
Abu-Raya A. Nerve growth factor, neuropeptides and cutaneous
nerves in atopic dermatitis. Indian J Dermatol 2010; 55: 135–
139.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 55
Psychoneuroimmunology in Dermatology 56
PSORIASIS BASED ON PSYCHONEUROIMMUNOLOGY

Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV


Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNUD/RSUP Sanglah

Abstrak
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit yang
sampai saat ini patogenesisnya belum sepenuhnya dipahami
namun secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya karena berdampak pada aspek psikologis dan
sosialnya. Sebagian besar pasien psoriasis mengalami
gangguan psikologis seperti depresi, marah, dan cemas yang
akhirnya juga disertai adanya peningkatan penggunaan
alkohol. Penyakit yang bersifat menahun dan kambuh-
kambuhan serta efek pengobatan yang kurang memuaskan
menjadi beban psikososial bagi penderita psoriasis. Saat ini
psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit multifaktorial yang
dipengaruhi oleh adanya predisposisi genetik, faktor
lingkungan, serta faktor imunologi yang diduga berpengaruh
dalam patogenesis psoriasis. Faktor stres psikologis dikatakan
berperan besar dalam terjadinya psoriasis karena adanya
keterkaitan respon terhadap stres dengan respon imunitas
melalui hypothalamic-pituitary-adrenal axis dan sympathetic-
adrenal modullary axis, hormon stres, dan substansi P.
Psoriasis dalam hubungannya dengan psikoneuroimunologi
inimerupakan topik yang masih berkembang pesat dan
diharapkan dapat membuka peluang baru dalam
penatalaksanaan psoriasis.
Kata kunci: psoriasis, psikoneuroimunologi
Abstract
Psoriasis is a chronic inflammatory skin disease. The
pathogenesis is still not fully understood but yet caused a
significant effect to the quality of life of the patient because its

Psychoneuroimmunology in Dermatology 57
profound morbidity in the psychosocial aspect of patient’s life.
Most patients experienced psychological symptoms such as
depression, anger, and anxiety which eventually lead to
increased in alcohol abuse. The chronic nature of the disease
with intermittent flare and unsatisfying modality in
intervention become a huge burden for psoriasis patients.
Nowadays psoriasis is considered as a multifactorial disease
that influenced by genetic predisposition, environment factor,
and immunological response that interconnected in the
pathogenesis of psoriatic lesions. Psychological stress is
believed as one of important factor in pathogenesis of psoriasis
because response against stress is closely related with
immunological cascade through hypothalamic-pituitary-
adrenal axis and sympathetic-adrenal medullary axis, stress
hormone, and P substances. This topic is still vastly developing
and hopefully can open a new window in management of
psoriasis.
Key words: psoriasis, psychoneuroimmunology

Pendahuluan
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit yang
sampai saat ini patogenesisnya belum sepenuhnya dipahami.
Penyakit ini bersifat universal dan dapat mengenai semua
kelompok umur. Prevalensi penyakit ini sangat bervariasi pada
setiap populasi berkisar antara 0,1% hingga 11,8%. Prevalensi
tertinggi dilaporkan terjadi di Denmark mencapai 2,9%.1 Data
dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan insiden
psoriasis dalam kurun waktu selama 2003-2006 adalah 0,4%.2
Insidens psoriasis di RSUP Kariadi dalam kurun 5 tahun (2003-
2007) mencapai 0,9%.
Psoriasis secara signifikan mempengaruhi kualitas
hidup penderitanya dan hal ini berdampak pada psikologis dan
sosialnya.3 Sekitar 35 % pasien psoriasis mengalami depresi
dan 80% mengalami efek negatif terhadap hidupnya seperti

Psychoneuroimmunology in Dermatology 58
adanya rasa marah, cemas, dan peningkatan penggunaan
alkohol.4,5 Selain itu 40% pasien menyatakan frustasi terhadap
pengobatan yang diterima karena tidak menunjukkan efek
yang agresif.1 Saat ini psoriasis dianggap sebagai penyakit
multifaktorial yang dipengaruhi oleh adanya predesposisi
genetik, faktor lingkungan, serta faktor imunologi sangat
berpengaruh dalam patogenesis psoriasis.

Faktor Genetik
Peranan gen terhadap tejadinya psoriasis sudah banyak
diteliti. Identifikasi beberapa lokus gen telah ditentukan
seperti 6p (PSORS1), 17q25 (PSORS2), 4q34 (PSORS3), 1q21
(PSORS4), 3q21(PSORS5), 19p13 (PSORS6), 1p32(PSORS7), 16q
(PSORS8), 4q31(PSORS9).6 Diantara lokus gen tersebut diatas
gen Psors 1 yang terletak pada Human Leucocyte Antigen Class
1 Chromosom 6p (HLA-Cw6) merupakan gen yang paling
suseptibel dalam presentasi antigen terhadap sel T CD8+ dan
dalam hubungannya dengan respon imun adaptif. Pada PSOR1
juga ditemukan korneodesmosin pengkode protein yang
berperan dalam diferensiasi keratinosit dan diduga sebagai
faktor genetik lainnya.1,7

Faktor Lingkungan
Lingkungan berperan penting dalam patogenesis psoriasis.
Beberapa faktor lingkungan sepeti trauma fisik, obat-obatan,
infeksi dan stres psikologis dapat mencetuskan psoriasis pada
individu yang suseptibel secara genetik.7 Beberapa obat-
obatan diketahui dapat mencetuskan psoriasis seperti lithium,
beta-blocker, anti malaria, tetrasiklin dan non steroid anti
inflammatory (NSAID). Obat-obat lainnya yang masih diduga

Psychoneuroimmunology in Dermatology 59
adalah angiotensin-converting enzyme inhibitors, calcium
channel blockers, dan potassium iodide.8
Peran infeksi dalam mencetuskan psoriasis juga telah
diteliti. Infeksi terutama oleh Streptococcus pyogenes yang
terdapat pada tonsil dapat memicu terjadinya lesi psoriasis
oleh karena superantigen streptokokus ini dapat mengaktivasi
sel T. Secara normal APC mengenalkan antigen kepada sel T
maka sel T akan teraktivasi dan sel T yang telah teraktivasi
diketahui berperan penting dalam patogenesis psoriasis.10 Sel
T teraktivasi akan berproliferasi kemudian bermigrasi menuju
jaringan atau tempat antigen selanjutnya sel T teraktivasi ini
menjalankan fungsinya sebagai sel T efektor. Sebagian sel T
efektor akan menghilang setelah antigen target tereliminasi,
dan sebagian kecil sel T ini menetap menjadi sel memori. Sel T
memori dapat bertahan dalam beberapa tahun dalam organ
limfoid dan jaringan dan sel T ini akan dengan mudah
teraktivasi dan lebih cepat menjalankan fungsinya sebagai sel
T efektor atau berproliferasi apabila terpapar antigen yang
sama. Selama respon imun berlangsung sel T tidak hanya
berproliferasi akan tetapi juga berdifrensiasi menjadi subset
sel T seperti Th-1, Th-2, Th17 dan T-reg setelah teraktivasi oleh
antigen dan difrensiasi sel T ini dipengaruhi oleh sitokin-sitokin
yang dikeluarkan saat terjadi paparan antigen.10
Trauma juga dapat memicu lesi psoriasis karena
psoriasis adalah salah satu penyakit yang ditandai oleh
Fenomena Koebner, karena pada trauma akan menimbulkan
injuri pada epidermis selanjutnya menimbulkan inflamasi dan
muncul lesi psoriasis pada daerah trauma tersebut. Salah satu
faktor risiko penting adalah stres psikologis.11 Awalnya stres
psikologis dianggap hanya dapat mengakibatkan menurunnya
respons terapi dan menyebabkan bertambah beratnya

Psychoneuroimmunology in Dermatology 60
keadaan pasien, namun kemudian diketahui bahwa hormon
stres, seperti kortisol dan norepinefrin yang meningkat dapat
mengganggu keseimbangan Th1/Th2, sebagai akibat dari
stimuli stres terhadap sumbu hipotalamus-pituitary-adrenal
(HPA axis).12

Hubungan Stres dengan Respon Imunologi


Respon imun terhadap stres dapat menyebabkan terjadinya
perubahan secara fisiologis bertujuan untuk membantu
individu dalam menghadapi stres tersebut. Akan tetapi bila
stres yang terjadi secara kronis dan berlangsung terus menerus
akan menimbulkan aktivasi respon yang melibatkan
hypothalamic-pituitary-adrenal axis dan sympathetic-adrenal
medullary axis yang menyebabkan dikeluarkannya produksi
hormon glukokortikoid dan katekolamin.12 Reseptor
glukokortikoid akan terekspresi pada berbagai sel imun
mengikat kortisol dan mempengaruhi fungsi NFkβ dalam
meregulasi aktivitas sel-sel imun seperti sel T untuk
memproduksi sitokain. Selain itu reseptor adrenergik akan
mengikat epinefrin dan norepinefrin akan mengaktivasi respon
cAMP untuk mengikat elemen protein selanjutnya
menginduksi gen transkripsi untuk pembentukan berbagai
sitokin. Perubahan ekspresi gen yang dimodulasi oleh hormon
glukokortikoid dan katekolamin dapat menyebabkan
disregulasi fungsi imun. Hubungan stres dengan disregulasi
imun berimplikasi terhadap kesehatan sudah dapat dibuktikan
dengan baik.12

Etiopatogenesis Psoriasis
Penyebab utama psoriasis belum diketahui. Keberhasilan
pengobatan lesi psoriasis dengan anti inflamasi siklosporin

Psychoneuroimmunology in Dermatology 61
menyebakan para ilmuwan lebih fokus pada peran imun dalam
patogenesis psoriasis.1,7 Sistem imun yang berperan adalah
sistem imun alami dan adaptif, yang mana kedua sistem imun
tersebut dapat melibatkan sel-sel keratinosit, fibroblas dan sel
endotel. Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel dendritik
dan makrofag memiliki peranan dalam mengawali respon
imun spesifik dan induksi self tolerance. Proliferasi abnormal
keratinosit diinduksi oleh sel limfosit T, berpengaruh terhadap
cell-mediated reactivity dan complement-mediated reaction
yang terlokalisir pada stratum korneum, semua ini diketahui
berimplikasi pada patogenesis psoriasis.13,14 Peran keratinosit
dalam patogenesis psoriasis adalah sebagai penghasil utama
sitokin proinflamasi, kemokin dan growth factor serta
mediator inflamasi lainnya seperti eikosanoid dan mediator
imunitas alami antara lain katelisidin, defensin dan protein
S100. Keratinosit pada psoriasis diaktifkan melalui suatu jalur
alternatif diferensiasi keratosit, yang mana jalur ini teraktivasi
sebagai respon terhadap stimulasi imunologi pada psoriasis,
akan tetapi mekanismenya masih belum dipahami.
Selanjutnya keratinosit dengan sitokin-sitokin yang dihasilkan
akan berperan sebagai faktor angiogenik menyebabkan
proliferasi vaskuler dermis yang abnormal dan angiogenesis.
Pada lesi psoriasis tipe plak didapatkan peningkatan kadar
vascular endothelial growth factor (VEGF).6

Hubungan Stres dengan Psoriasis


Literatur yang menghubungkan stres dengan eksaserbasi lesi
psoriasis sangat banyak. Penelitian tentang hal ini melaporkan
bahwa neuropeptida dapat menginduksi mekanisme inflamasi
neurogenik.15,16 Teori ini menduga bahwa keluarnya substasi P
dari saraf sensoris pada kulit oleh faktor lokal maupun sistemik

Psychoneuroimmunology in Dermatology 62
menyebabkan inflamasi lokal yang dapat sebagai pemicu lesi
psoriasis. Pada kulit orang sehat diinervasi oleh saraf sensoris
yang tidak bermielin dan substansi P terlokalisir pada ujung
bebas saraf pada papilare dermis dan epidermis.16,17 Keluarnya
neuropeptida lokal dari saraf sensoris pada kulit belum diyakini
sebagai stimuli respon stres, akan tetapi selama stres terjadi
aktivasi area korteks yang lebih tinggi dapat mengeluarkan
substansi P dari kelenjar adrenal melalui serat-serat eferen
saraf otonom. Beberapa serat saraf ini menginervasi opioid
interneuron pada kornu dorsalis yang bersinap dengan saraf
yang mengandung substasi P pada medula spinalis. Substansi
P keluar melalui mekanisme antidromik disertai stimulasi
nosiseptor yang berakibat terjadinya urtika (ekstravasasi
plasma protein dan vasodilatasi.18,19 Hal ini merupakan
sebagian penjelasan terhadap efek fisiologi kulit terhadap stres
emosional. Beberapa contoh yang mendukung pendapat ini
adalah pada kasus-kasus pembedahan yang menginduksi serat
sensoris dengan anastesi lokal menunjukkan bahwa rekarensi
psoriasis seiring dengan kembalinya sensasi kulit setelah
anastesi. Rekurensi lesi psoriasis pasca operasi setelah induksi
anaestesi dapat sebagai akibat dari regenerasi substansi P yang
terkandung dalam serat-serat saraf.20 Bukti lain yang
mendukung adalah keberhasilan penggunaan kapsaisin topikal
pada psoriasis derajat sedang dan berat. Efek menguntungkan
dari kapsaisin ini lebih berhubungn dengan terjadinya deplesi
lokal substansi P dari ujung terminal saraf sensoris.21,22

Ringkasan
Patogenesis psoriasis secara pasti belum sepenuhnya
dipahami, namun demikian telah diketahui bersifat
multifaktorial. Stres adalah salah satu faktor penting dalam

Psychoneuroimmunology in Dermatology 63
patogenesis psoriasis dan eksaserbasi psoriasis oleh karena
stres dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
seperti menimbulkan aktivasi respon imun yang melibatkan
hypothalamic-pituitary-adrenal axis dan sympathetic-adrenal
medullary axis dan mengakibatkan dikeluarkannya produksi
hormon glukokortikoid dan katekolamin.11 Selama stress
terjadi aktivasi area korteks yang lebih tinggi dapat
mengeluarkan substansi P dari kelenjar adrenal melalui serat-
serat eferen saraf otonom. Substansi P keluar melalui
mekanisme antidromik disertai stimulasi nosiseptor yang
berakibat terjadinya ekstravasasi plasma protein dan
vasodilatasi. Terjadinya eksaserbasi lesi psoriasis setelah
anaetesi lokal pada pembedahan merupakan regenerasi
substasi P pada serat saraf membuktikan bahwa substasi P
memegang peranan dalam mekanisme terjadinya lesi maupun
eksaserbasi lesi psoriasis.

Daftar Pustaka
1. Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilcherst BA, Paller AS, Leffell DJ, Eds. Fitzpatrick’s
Dermatology In Generald Medicine. 8th Ed. New York: McGraw
Hill; 2012. p.197-231.
2. Budiastuti A, Sugianto, R. Hubungan Umur dan Lama Sakit
terhadap Derajat Keparahan Penderita Psoriasis. Media Medika
Indonesiana. 2009;43(6):312-6.
3. Jobbling, R. Assessing the Impact of Psoriasis and The Relevance
of Qualitative Research. J Invest Dermatol. 2006;126 (7):1438-
40.
4. Mease PJ, Menter MA. Quality of Life Issues in Psoriasis and
Psoriatic Arthritis: Outcome Measure and Therapies from a
Dermatological Perspective. J Am Acad Dermatol. 2006; 54(4):
685-704.
5. Friedewald VE. Carther C. The Editor’s Rountable: Psoriasis
Inflammation and Coronary Artery Disease. Am J Cardiol.
2008;101(8):1119-26.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 64
6. Mahajan R, Handa S. Pathophysiology of Psoriasis. Indian J
Dermatol Venereol. 2013; 79(7): 1-9.
7. Bergboer JG, Zeuwen PL, Sehalkwijk J. Genetic of Psoriasis:
Immune Deviation. J Invest Deermatol. 2012; 132: 2320-1.
8. Basavararaj, KH, Ashok NM, Rashmi R, Pravee TK. The Role of
Drug in Induction and/ or Exacerbation of Psoriasis. Int J
Dermatol. 2010; 49: 1351-61.
9. Nograles KE, Davodovici B, Kruger JG. New Insight in the
Immunologic Basis of Psoriasis. Semin Cutan Med Surg. 2010; 29:
3-9.
10. Betteli E, Carrier Y, Gao W, Kom T, Strom TB, Oukka M.
Reciprocal Development Pathways for the Generation of
Pathogenic Effector Th-17 and Regulator Cells. Natur. 2006; 441:
235-8.
11. Nickoloff BJ. The Immunologic and Genetic Basis of Psoriasis.
Arch Dermatol. 1999; 135: 1104-10.
12. Karanikas E, Harsoulis F, Giouzepas F, Griveas I. Stimulation of
the Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis with Corticotropin
Releasing Hormone in Patients with Psoriasis. Hormone. 2007;
6(4): 314-320.
13. Valdimarsson H, Baker BS, Jonsdottir, I, Fry L. Psoriasis: A Disease
of Abnormal Keratinocyte Proliferation Induced by T-
Lymphocytes. Immunol Today. 1986; 7: 256-9.
14. Beutner EH. Autoimmunity in Psoriasis. In: Beutner et al, eds.
Immunopathology of The Skin. New York: John Wiley and Sons.
1987. p.703.
15. Farber EM, Nickoloff BJ, Recht B, Fraki JE. Stress, Symmetry, and
Psoriasis: Possible Role of Neuropeptides. J Am Acad Dermatol.
1986: 14: 305-11.
16. Farber EM, Rein G, Lanigan SE. Stress and Psoriasis:
Psychoneuroimmunology Mechanism. Int J Dermatol. 1991; 30:
8-12.
17. Wallengren J, Ekman R, Sundler F. Occurance and Distribution of
Neuropeptides in the Human Skin. Acta Derm Venereol. 1987;
67: 185-92.
18. Dalsgaard CJ, Jonsson CE, Hokfelt T, Cuello AC. Localization of
Substance P-Immunoreactive Nerve Fibers in The Human Digital
Skin. Experentia. 1983; 39: 1018-20.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 65
19. Hagermark O, Hokfelt T, Pernow B. Flare and Itch Induced by
Substance P in Human Skin. J Invest Derm. 1978; 71:233-235.
20. Farber EM, Lanigan SW, Rein G. The Role of
Psychoneuroimmunology in The Pathogenesis of Psoriasis. Cutis.
1990; 46: 314-6.
21. Bernstein JE, Swift RM, Soltani K, Lorincz AL. Inhibition of Axon
Reflex Vasodilatation by Topically Applied Capsaicin. J Invest
Dermatol. 1981; 76: 394-5.
22. Jessel TM, Iversen LL, Cuello AC. Capsaicin-induced Depletion of
Substance P from Primary Sensory Neurons. Brain Res. 1978;
152: 183-8.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 66
STRES PSIKOLOGIS, KONDISI SEHAT, DAN PENGUKURANNYA

Made Diah Lestari, S.Psi, M.Psi.


Program Studi Psikologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak
Paradigma biopsikososial meyakini bahwa kajian terkait
dengan kondisi sehat dan sakit harus dilihat secara holistik.
Paradigma ini mengganti paradigm awal yang hanya menelaah
kondisi sakit dengan pendekatan kuratif semata. Psikologi
kesehatan menemukan sejumlah variabel yang berkaitan
dengan kehadiran penyakit, salah satunya stres. Stres pada
dasarnya memiliki aspek fisilogis dan psikologis. Secara
langsung, stres psikologi berdampak bagi kondisi sakit, health
habits, dan health behavior. Saat individu berhadapan dengan
peristiwa tertentu, penilaian yang dilakukan tidak hanya dalam
tataran awal (primary appraisal), yang terpenting dalam
pembentukan stres kemudian adalah persepsi individu dan
juga secondary appraisal yang dilakukan oleh individu.
Menjadi krusial kemudian untuk melakukan pengukuran
dalam tataran perceived stress dalam mendalami pengalaman
atau level stres dari individu.
Kata kunci: Stres Psikologis, Fisik, Perceived Stress

Pendahuluan
Pada awal tahun 1930, ilmu kedokteran psikosomatis dan ilmu
kedokteran perilaku mulai tergerak untuk meneliti kaitan
antara tubuh dan juga kondisi psikologis tertentu. Beberapa
kalangan meyakini bahwa kondisi sakit tidak hanya
mempengaruhi kondisi psikologis, namun juga dipengaruhi
oleh kondisi psikologis tertentu. Inilah cikal bakal dari lahirnya
ilmu psikologi kesehatan. Paradigma psikologi kesehatan
adalah paradigma biopsikososial, dimana setiap kondisi sakit

Psychoneuroimmunology in Dermatology 67
dan sehat sangat dipengaruhi oleh variabel psikologis dan juga
variabel sosial. Pandangan ini juga menggantikan pandangan
biomedis yang lebih menitikberatkan pada penyembuhan
kondisi sakit dan kurang mengakomodir kegiatan preventif dan
promotif di bidang kesehatan (Sundberg, Wineberg, & Taplin,
2007).
Dalam klasifikasi diagnostik yang sebagian besar
digunakan oleh praktisi psikologi, ketika seorang pasien
dinyatakan memiliki keluhan medis, maka diagnostik yang
ditegakkan adalah kondisi mental karena kondisi medis
tertentu. Kelemahannya adalah kecenderung untuk lebih
fokus kepada kondisi medisnya dibandingkan dengan kondisi
psikologis pasien, padahal pada beberapa kejadian, kondisi
psikologis pasien sebaiknya mendapatkan perhatian yang
utama. Salah satunya adalah kondisi stres. Makalah ini lebih
lanjut akan membahas terkait dengan:
1. Stres, penyebab dan tipenya.
2. Bagaimana stres psikologis berkaitan dengan
kondisi kesehatan fisik seseorang.
3. Ragam pengukuran stres: Bagaimana mendeteksi
stres sejak awal.

Pembahasan
1. Stres, Penyebab, dan Tipenya
Salah satu kondisi psikologis yang dikaitkan dengan kondisi
kesehatan seseorang adalah kehadiran stres. Lazarus dan
Folkman (1984) mendefinisikan stres sebagai sebuah proses
yang melibatkan stressor dan strain. Stressors diartikan
sebagai sumber stress dan strain adalah kondisi ketegangan
yang membutuhkan sebuah tindakan yang membantu individu
untuk terlepas dari kondisi stres. Lebih lanjut Atwater (1983)

Psychoneuroimmunology in Dermatology 68
mendefinisikan stres sebagai sebuah tuntutan dari lingkungan
yang membutuhkan respon adaptif dari individu. Berdasarkan
definisi ini, maka stres mencakup hubungan antara faktor
eksternal dan reaksi individu, bagaimana sesuatu diterima
sebagai sesuatu yang menekan serta pola adaptasinya, dan
pandangan bahwa setiap individu pasti mengalami stres, yang
membedakan kemudian adalah ragam dan tingkatannya.
Berdasarkan tingkatannya, dampak dari stres dapat bersifat
distress dan juga eustress. Dalam tataran performance
individu, maka eustress cenderung berdampak positif bagi
individu dibandingkan dengan distress.
Stres memiliki dua komponen, yakni fisik dan
psikologis. Komponen fisik melibatkan fisik dan tubuh,
kemudian komponen psikologi melibatkan bagaimana individu
memaknai kenyataan dan keadaan yang ada di dalam
kehidupannya (Lovallo, 1998). Stres terjadi ketika lingkungan
eskternal menghadirkan tekanan, konflik, rasa cemas, dan
frustrasi pada individu. Dalam hal ini, peristiwa yang
menghadirkan stress tidak selalu peristiwa yang negatif,
Holmes dan Rahe (dalam Atwater, 1983) menemukan
sejumlah peristiwa positif yang dialami individu yang
kemudian memiliki potensi untuk menghadirkan stres, seperti
peristiwa persiapan pernikahan, kehamilan, promosi jabatan,
dan menghadapi liburan. Hasil penelitian dari Holmes dan
Rahe (dalam Atwater, 1983) menunjukkan bahwa persepsi
individu terkait dengan peristiwa yang kemudian menjadi
utama dalam menghadirkan stres. Dua individu yang berbeda
bisa jadi menghadapi peristiwa yang sama, namun dengan
persepsi atau cara pandang yang berbeda terhadap peristiwa,
menghadirkan dampak yang berbeda pada setiap individu.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 69
Ada empat tipe stres psikologi, yakni tekanan,
frustrasi, konflik, dan kecemasan (Atwater, 1983). Tekanan
biasanya datang dari luar dan dalam diri individu. Seseorang
merasakan tekanan karena persaingan tuntutan sosial, dan
ambisi pribadi. Frustrasi hadir ketika individu merasakan
hambatan dalam pencapaian tujuannya. Frustrasi adalah
predictor bagi kemarahan dan agresi. Konflik timbul ketika
individu diminta untuk berespon secara simultan terhadap
sejumlah stimulus tertentu. Kecemasan adalah bentuk
ketakutan individu akan sesuatu yang belum tentu terjadi saat
ini. Lebih kepada ketakutan akan sesuatu yang baru akan
terjadi di masa depan.
Banyak peneliti dan praktisi di bidang ilmu kesehatan
meyakini bahwa terdapat hubungan antara stres psikologis
dengan kondisi sakit. Ketika seorang individu mengalami stres,
maka kondisi stres akan menurunkan daya tahan tubuh dan
mengganggu metabolisme. Demikian sebaliknya kondisi sakit
tertentu menjadi stressor atau penyebab stres bagi individu.
Sarafino (2007) mengatakan bahwa stres memiliki aspek
biologis dan psikologis. Aspek biologis mencakup gejala fisik
dari stres yang dialami oleh individu, seperti sakit kepala,
gangguan tidur, gangguan pencernaan, gangguan makan,
keluhan di kulit, dan produksi keringat yang berlebih. Dalam
tataran gejala psikologis aspek stres meliputi gejala kognisi,
gejala emosional, dan gejala tingkah laku. Individu yang
mengalami stres dalam tataran kognisi akan lebih mudah
mengalami gangguan daya ingat, konsentrasi menurun, dan
perhatian mudah teralih. Saat mengalami stress, emosi
menjadi tidak stabil. Individu yang mengalami stres akan
menunjukkan gejala mudah marah, cemas berlebih, merasa
sedih, dan depresi. Dalam hal tingkah laku, stres memiliki

Psychoneuroimmunology in Dermatology 70
kontribusi dalam perubahan perilaku. Tidak sedikit kemudian
stres mengganggu hubungan interpersonal individu dengan
individu lain di sekitarnya.
Yang penting kemudian ketika seseorang berhadapan
dengan stressor adalah kemampuannya untuk membangun
coping. Secara umum, ada dua macam tipe coping, yakni yang
hanya menurunkan gejala stres (symptom reducing responses)
dan yang berusaha untuk mengatasi stressor (problem solving
approach) (Atwater, 1983)

Gambar 1. The experience of Stress; Sumber: Taylor, 2009.

2. Bagaimana Stres Psikologis Berkaitan dengan Kondisi


Kesehatan Fisik Seseorang
Ketika peristiwa dipersepsikan sebagai sesuatu yang
berbahaya dan mengancam, maka akan berakibat pada kondisi
distres psikologis. Kondisi ini biasanya akan berdampak pada
kondisi kesehatan individu baik short term maupun long term
(Taylor, 2009). Dua system tubuh yang berkaitan dengan
kondisi stres adalah sympathetic-adrenomedullary (SAM)
system dan hypothalamic-pituitary-adrenocortical (HPA) axis.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 71
Ketika peristiwa dipersepsikan mengancam, maka
akan mempengaruhi korteks. Informasi di korteks kemudian
akan diteruskan ke hipotalamus. Disinilah respon awal
terhadap stres terbentuk yang kemudian mempengaruhi
adrenal glands dalam memproduksi epinephrine dan
norepinephrine. Mekanisme inilah yang kemudian
menghasilkan perasaan tidak nyaman pada individu ketika
berhadapan dengan stressor. Sympathetic arousal anak
meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan produksi
keringat. Gangguan tidur adalah efek dari terganggunya ritme
jantung. Tidak jarang, seseorang yang mengalami stres dan
depresi biasanya kualitas dan kuantitas tidurnya menurun
(Taylor, 2009).
Selye (dalam Taylor, 2009) memberikan dasar
pemikiran terkait dengan bagaimana kondisi stres
berpengaruh pada HPA. Selye dengan teorinya terkait general
adaptation syndrome (Atwater, 1983) mengungkapkan bahwa
terdapat tiga tahapan progresif saat individu berhadapan
dengan stres. Tahapan tersebut dan juga karakteristik adalah
sebagai berikut:
a. The Alarm Reaction
Tahapan ini adalah respon emergency individu
terhadap stres. Secara fisiologis akan ditandai dengan
adanya perubahan reaksi dan kimia tubuh. Dalam
tataran psikologis akan ditandai dengan adanya
kecemasan.
b. The Stage of Resistance
Dalam tahapan ini, tubuh sudah mampu beradaptasi
dengan stres yang berkepanjangan. Gejala pada
tahapan sebelumnya sudah hilang dan resistensi
tubuh hingga level di atas normal. Hal ini bentuk dari

Psychoneuroimmunology in Dermatology 72
coping terhadap stres. Selye (dalam Taylor, 2009)
melihat tahapan ini sebagai tahapan diseases
adaptation.
c. The Stage of Exhaustion
Tahapan ini terjadi ketika kondisi stres berlanjut
dimana pertahanan tubuh menjadi menurun. Gejala
fisiologis dari stres kembali muncul. Pada tahapan ini
terjadi penuruan yang drastis pada sistem imunitas
tubuh, beberapa penyakit degeneratif pun muncul.
Prosesnya hampir menyerupai proses penuaan dan
tubuh berespon terhadap tuntutan yang serupa.
Dari uraian tersebut dapat terlihat bahwa stres
memberikan dampak langsung pada kondisi fisik, kebiasaan,
dan juga perubahan tingkah laku.
STRESS

DIRECT PHYSIOLOGICAL HEALTH BEHAVIOR


EFFECT HEALTH HABIT EFFECTS
EFFORTS
1. Elevated lipids. 1. Decreased
1. Increased smoking, compliance.
2. Elevated blood
alcohol use.
pressure. 2. Increased delay in
2. Decreased nutrition. seeking care.
3. Decreased immunity.
3. Decreased sleep. 3. Obscured symptom
4. Increased hormonal
activity. 4. Increased drug use. profile.
4. Decreased likehood of
seeking care.

Gambar 2. Routes by Which Stress May Produce Disease; Sumber:


Taylor, 2009

3. Ragam Pengukuran Stres: Bagaimana Mendeteksi Stres


Sejak Awal
Cohen, dkk (dalam Taylor, 2009) membangun sebuah
pengukuran terkait dengan perceived stress. Perceived stress
menjadi dasar bagi pengukuran yang valid ketika peristiwa

Psychoneuroimmunology in Dermatology 73
tidak lagi menjadi indikator obyektif dalam menilai apakah
individu mengalami stres atau tidak. Perceived stress juga
mampu memprediksi area yang luas dari dampak stres bagi
kesehatan. Dalam pengukuran ini, individu diminta untuk
memberikan penilaian terkait dengan perasaan dan pikirannya
dalam sebulan terakhir. Pada beberapa pertanyaan, individu
juga diminta untuk menilai seberapa sering perasaan dan
pikiran tersebut muncul. Dalam pengukuran ini akan ada
beberapa pertanyaan yang serupa, namun pada dasarnya
respon yang dikehendaki berbeda sehingga setiap individu
harus berespon pada setiap pertanyaan (lampiran 1)
Ilmu psikologi menemukan bahwa terdapat kontribusi
minor stress dan strain pada perkembangan penyakit tertentu.
Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada pasien atau
individu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa minor di
lingkungan dan keseharian yang memicu terbentuknya
ketegangan atau strain. Pada sejumlah peristiwa tersebut,
pasien kemudian diminta untuk mengukur tingkat ketegangan
yang dirasakan ketika pasien berhadapan dengan peristiwa
atau situasi tersebut dalam keseharian (lampiran 2)

Penutup
Kajian terkait hubungan antara kondisi psikologis dengan
kondisi kesehatan atau perkembangan penyakit sudah
berkembang sejak ilmu psikologi kesehatan berdiri sendiri
menjadi sebuah cabang dari ilmu psikologi. Salah satu kondisi
psikologis yang berkaitan dengan kondisi fisik adalah stres
psikologis. Makalah menyimpulkan bahwa sebuah peristiwa
membutuhkan tidak hanya primary appraisal, namun juga
persepsi atau secondary appraisal untuk berkembang menjadi
stressor dan menghasilkan dampak stres psikologis pada

Psychoneuroimmunology in Dermatology 74
individu. Aspek dari stres mencakup fisiologis, kognitif,
emosional, dan tingkah laku. Dalam tahapan progresif Hans
Selye (dalam Atwater, 1983), stres memberikan dampak
secara langsung terhadap kondisi fisik, termasuk di dalamnya
health habit dan juga health behavior. Sejumlah pertanyaan
singkat untuk mengukur perceived stress yang dibangun oleh
Cohen dkk (dalam Taylor, 2009) dapat dijadikan acuan dalam
screening awal kondisi stres pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Atwater, E. (1983). Psychology of Adjustment: Personal Growth in
Changing World. 2nd Ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Lazarus, R.S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New
York: Springer.

Lovallo, W.R. (1998). Hemodynamics during rest and behavioral


stress in normotensive men at high risk for hypertension.
Psychophysiology, 35, 47-53.

Sarafino, E.P. (2007). Health psychology: Biopsychology, USA: The


College of New York.

Sundberg, N.D., Winebarger, A.A., & Taplin, J.R. (2007). Psikologi


Klinis. Edisi Keempat. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Taylor, S.E. (2009). Health psychology, 7th Ed. USA: McGraw-Hill.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 75
Lampiran 1.

A. Measure of Perceived Stress (Cohen, dkk.)

NO PERTANYAAN 0 1 2 3 4
Tidak Hampir Kadang- Sering Sangat
Pernah Tidak kadang Sering
Pernah
1. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa anda
merasa sedih
karena sesuatu
terjadi tidak
sesuai dengan
harapan anda?
2. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa sering
anda merasa
cemas dan
tertekan?
3. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa sering
anda merasa
tidak mampu
berhadapan
dengan hal-hal
yang harus anda
kerjakan?
4. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa sering
anda
mengekspresikan
kemarahan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 76
karena sesuatu
terjadi di luar
kontrol anda?
5. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa sering
pikiran anda
terbebani oleh
hal-hal yang
harus anda
selesaikan?
6. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa sering
anda merasa
bahwa goal atau
target yang anda
hadapi terlalu
sulit dan tinggi
sehingga anda
tidak bisa
mencapainya?

Psychoneuroimmunology in Dermatology 77
Lampiran 2.

The Measurement of Daily Strain

NO PERISTIWA 0 1 2 3 4
Tidak Mild Somewhat Moderate Esktrim
Muncul
1. Konflik
dengan
tetangga.
2. Kemacetan
lalu lintas.
3. Kondisi
kesehatan
yang lemah.
4. Konflik
dengan
pasangan.
5. Kondisi
finansial.
6. Menyiapkan
kebutuhan
rumah
tangga.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 78
MENDETEKSI GANGGUAN PERILAKU DAN PSIKOLOGIS
PADA ANAK-ANAK DENGAN MASALAH KULIT

Dra. Retno Indaryati Kusuma, Psi


Psikolog di Bagian Psikologi Instalasi Rehabilitas Medis RSUP
Sanglah Denpasar dan Pusat Layanan Psikologi –Terapi Anak
& Remaja Pradnyagama Denpasar

ABSTRAK
Anak-anak dengan gangguan kulit, seringkali menunjukkan
perilaku immature (tidak matang atau kekanak-kanakan),
kurang percaya diri dan menarik diri (lack of confidence and
withdrawal). Mereka mengalami keterasingan sosial, merasa
kurang percaya diri, merasa berbeda dan ‘dibedakan’ sehingga
hanya mempunyai beberapa orang teman, jarang bermain
dengan anak seusianya, dan kurang memiliki ketrampilan
sosial yang dibutuhkan untuk bersosialisasi. Beberapa di
antara mereka merasakan ketakutan yang melampaui keadaan
sebenarnya, kecemasan tanpa alasan, phobia, mengeluhkan
rasa sakit atau ketidaknyamanan dan mengembangkan gejala
psikosomatis yang digunakan untuk mencari ’perhatian dan
‘rasa aman’ maupun menghindari/ melarikan diri dari masalah.
Ada diantara mereka mengalami regresi yaitu kembali pada
tahap-tahap awal perkembangan dan selalu meminta bantuan
dan perhatian, dan beberapa diantara mereka menjadi
tertekan (depresi) tanpa alasan yang jelas yang akhirnya
menurunkan fokus dan berdampak pada prestasi di sekolah.
Stres pada anak-anak dengan masalah kulit tersebut terjadi
karena tidak adekuatnya kebutuhan dasar yang akan dapat
bermanifes pada kondisi dan perubahan fungsi fisiologis,
kognitif, emosi dan perilaku. Permasalahan perilaku, sosial dan
emosi yang berdampak pada prestasi akademis seringkali
menjadi gejala awal yang baru disadari lingkungan dan
akhirnya mendorong para orangtua untuk melakukan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 79
intervensi psikologi.
Kata kunci: Gangguan perilaku dan emosi, anak dengan
masalah kulit

PENDAHULUAN
Gambaran perilaku anak dengan masalah kulit, bisa dijelaskan
dalam ilustrasi salah satu klien sebagai berikut: Putu (10 th)
kelas IV SDN datang dengan keluhan tidak percaya diri,
cenderung menyendiri, prestasi di sekolah semakin menurun,
merasa susah berkonsentrasi, memiliki keluhan eksim sejak
lahir dan sering menggaruk-garuk terutama ketika tegang
menghadapi tugas-tugas sekolahnya. Akhir-akhir ini sering
emosional dan menjadi ‘cengeng’, penakut, susah diatur dan
cenderung membangkang. Seminggu yang lalu mogok sekolah
karena diejek teman-temannya dan tersinggung dengan Guru
barunya yang memberi label negatif karena kondisi kulitnya.
Hasil pemeriksaan psikologi, kecerdasannya berfungsi
di atas normal (IQ 117 dengan WISC), namun prestasi di
sekolahnya di bawah rata-rata kelas. Profil kepribadiannya
tergolong tipe sociable dan introvert, kurang percaya diri,
kurang mampu mengekspresikan perasaan dan emosinya
dengan cara yang adekuat dan sehat, menunjukkan cara
pandang terhadap diri yang negatif, cenderung merasa tidak
berdaya dan malu dengan kondisi kulitnya.
Penelitian dan jurnal yang khusus membahas
hubungan langsung antara gangguan perilaku pada anak
dengan masalah kulit sangat susah ditemukan terutama di
Indonesia, sehingga pembahasan pada paparan ini bersifat
kualitatif menggunakan 11 kasus yang ditangani di
Pradnyagama Konsultan Psikologi. Gambaran perilaku lebih
banyak dihubungkan antara teori psikologi dan berdasarkan
pengalaman penulis sebagai psikolog yang cukup banyak

Psychoneuroimmunology in Dermatology 80
menangani kasus-kasus anak-anak dan remaja.
Menurut CCBD (Council for Children with Behavioral
Disorders), gangguan emosi dan tingkah laku adalah
ketidakmampuan yang ditandai dengan kesulitan merespon
perilaku dan sikap emosional dalam menghadapi program-
program pembelajaran sehingga sangat tidak sesuai dengan
usia, budaya atau norma-norma etnis maupun berdampak
buruk secara nyata pada kemampuan akademis, sosial,
keterampilan dan kepribadian (Mark & Barlow, 2006).
Indikasi seorang anak dikatakan mengalami gangguan
perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik
berikut dalam kurun waktu yang lama (Heward dan Orlansky
(1988) dalam Mahabbati (2006), yaitu:
a. Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan
oleh faktor intelektualitas, alat indra maupun kesehatan.
b. Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara
kepuasan dalam menjalin hubungan dengan teman
sebaya dan pendidik.
c. Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di
bawah keadaan normal.
d. Mudah terbawa suasana hati (emosi labil),
ketidakbahagiaan, atau depresi.
e. Kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom
fisik atau ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan
dengan permasalahan-permasalahan pribadi atau
sekolah.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 81
KARAKTERISTIK GANGGUAN PERILAKU, EMOSI DAN SOSIAL
PADA ANAK DENGAN MASALAH KULIT
A. Gangguan kecemasan, perilaku tidak matang dan tidak
percaya diri
Kesadaran diri yang berlebihan sehingga merasa ‘berbeda’ dan
‘dibedakan’, kurang percaya diri karena kondisi kulitnya,
ketakutan, kecemasan yang tinggi, gangguan psikosomatik,
tics, depresi, terlalu sensitif dan mudah sekali panik/ malu
adalah gambaran umum kepribadian yang ditunjukkan oleh
anak-anak dengan masalah kulit dari 11 kasus yang ditangani
penulis. Perilaku immature (tidak matang atau kekanak-
kanakan), kurang percaya diri dan menarik diri (lack of
confidence and withdrawal). Mereka mengalami keterasingan
sosial, merasa kurang percaya diri, merasa berbeda dan
‘dibedakan’ sehingga hanya mempunyai beberapa orang
teman, jarang bermain dengan anak seusianya, dan kurang
memiliki ketrampilan sosial yang dibutuhkan untuk
bersosialisasi.
Ada beberapa jenis masalah perilaku yang
diinternalisasi seperti depresi, anoreksia dan bulimia, bisu
selektif (selective mutism), ketakutan dan phobia, serta
penarikan diri dari lingkungan sosialnya (Mark & Barlow,
2006).
a. Gangguan perilaku agresif aktif dan pasif
Pada umumnya yang muncul adalah agresif pasif karena
mayoritas memiliki kepercayaan diri yang rendah, sehingga
semakin menyendiri dan menarik diri dari kelompok sosialnya
dan mogok sekolah sebagai ‘bom waktu’. Namun bisa menjadi
perusak, perilaku menyerang secara fisik dan verbal, sikap cari
perhatian yang berlebihan dan juga pemarah ketika diberi
label negatif oleh sekitarnya ataupun muncul ketika di rumah

Psychoneuroimmunology in Dermatology 82
sebagai zona yang bisa ‘dikuasai’nya.
b. Gangguan pemusatan perhatian dan prestasi sekolah di
bawah rata-rata kelas
Beberapa studi-studi awal menemukan bahwa mayoritas siswa
dengan gangguan emosi dan perilaku atas rata-rata
menunjukkan kecerdasan. Beberapa ahli, menemukan bahwa
anak-anak dengan gangguan ini memiliki inteligensi di bawah
normal (sekitar 90) dan beberapa di atas bright normal. Siswa-
siswa dengan gangguan emosi atau perilaku umumnya
memiliki prestasi akademik yang rendah untuk usia mereka.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 74% dari remaja
yang diklasifikasikan dengan gangguan ini memiliki kesulitan
akademis (Hallahan & Kauffmann, 2006).
Pengalaman penulis dari 11 kasus terakhir yang
ditangani pada umumnya mereka menunjukkan kecerdasan
normal (average) dan di atas rata-rata (brigth normal). Namun
sikap yang sering bingung/ panik merasa tidak mampu,
konsentrasi buruk, mudah terpecah, mudah lupa dan impulsif.
Beberapa anak yang kurang percaya diri seringkali merasa
gatal ketika tegang dan panik menghadapi stresor akademik
maupun sosial sehingga mengganggu kemampuan fokusnya
dalam menerima pelajaran. Berdasarkan kondisi ini semoga
bisa mendorong penelitian yang lebih spesifik terutama di
Indonesia untuk membuktikannya.
c. Gangguan Gerak
Gelisah, ketidakmampuan untuk duduk tenang, bahasa tubuh
yang canggung, tingkat tekanan tinggi dan sangat banyak
bicara atau gagap ketika bicara merupakan gambaran
gangguan gerak yang sering muncul. Seperti anak-anak dengan
ketidakmampuan belajar, salah satu yang paling umum dari
keluhan tentang anak-anak tersebut merujuk pada evaluasi

Psychoneuroimmunology in Dermatology 83
guru yang dinyatakan bahwa mereka memiliki gangguan emosi
dan perilaku yang disebut hiperaktif. Kondisi ini seringkali
semakin memperparah keadaan kulitnya karena banyaknya
keringat yang muncul akibat aktivitas yang berlebihan dan
menimbulkan gatal maupun ketidaknyamanan yang pada
akhirnya mengganggu proses belajar.
Namun ada beberapa kasus yang justru menunjukkan
bahasa tubuh yang canggung dan gerakan yang lamban
(clumsy) sehingga menghambat aktivitas sehari-hari baik yang
berhubungan dengan kemandirian dan bantu diri maupun
penyelesaian tugas-tugas di sekolah.
d. Gangguan perilaku antisosial
Penolakan dan kurang mampu beradaptasi dengan nilai-nilai
umum dan sosial, merupakan jenis gangguan perilaku ini,
mereka cenderung melakukan pelanggaran disekolah,
mencoba-coba perilaku negatif seperti merokok, membolos,
miras dan penyalahgunaan obat-obatan pada remaja untuk
dorongan perilaku terhadap kebutuhan diterima (acceptance)
oleh kelompok (peers group) ( Gunarsa, 1997).
Anak dengan gangguan emosional atau perilaku
biasanya memiliki kekurangan dalam ketrampilan sosial yang
mempengaruhi kemampuan untuk bekerja sama dengan guru,
fungsi di dalam kelas, dan bergaul dengan siswa lain
(Mahabbati, 2006).
Conduct disorder (gangguan perilaku) juga merupakan
permasalahan yang paling sering ditunjukkan oleh anak
dengan gangguan emosi atau perilaku. Perilaku-perilaku
tersebut seperti: memukul, berkelahi, mengejek, berteriak,
menolak untuk menuruti permintaan orang lain, menangis,
merusak, vandalisme, memeras, yang apabila terjadi dengan
frekuensi tinggi maka anak dapat dikatakan mengalami

Psychoneuroimmunology in Dermatology 84
gangguan. Anak normal lain mungkin juga melakukan perilaku-
perilaku tersebut tetapi tidak secara impulsif dan sesering anak
dengan conduct disorder (Mark & Barlow, 2006).
e. Perilaku Psikotik
Mengungkapkan ide-ide yang aneh, bicara diulang-ulang, tidak
sensitif, memperlihatkan perilaku aneh terutama pada remaja
dan dampak bullying kondisi fisik mereka kadang-kadang
memunculkan ide bunuh diri.

PENYEBAB GANGGUAN PERILAKU


Penyebab-penyebab yang dicurigai sebagai pemicu gangguan
perilaku-perilaku tersebut adalah:
Kondisi Fisik
Kondisi fisik ini dapat berupa kelainan atau kecacatan baik
tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku
seseorang. Kelainan kulit terutama pada anak-anak termasuk
di dalamnya. Kecacatan yang dialami seseorang
mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi
kebutuhanya baik berupa kebutuhan fisik-biologis maupun
kebutuhan psikisnya. Kondisi ini kadang menimbulkan
perasaan inferioritas dan menyebabkan ketidakstabilan emosi
anak yang pada akhirnya berujung pada gangguan perilaku,
sosial dan emosi.
Masalah Perkembangan
Erikson (dalam Gunarsa, 1997) menjelaskan bahwa setiap
memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan
berbagai tantangan satu krisis emosi. Apabila ego dapat
mengatasi krisis ini, individu dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan social atau masyarakat. Sebaliknya apabila individu
tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut maka akan
menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi

Psychoneuroimmunology in Dermatology 85
ini terjadi pada masa kanak-kanak dan masa pubertas. Pada
masa kanak-kanak problem kulit kemungkinan hanya lebih
akan mengganggu secara fisikal dan emosi internal akibat
ketidaknyamanan. Sementara pada masa pubertas lebih luas
karena berhubungan dengan kebutuhan harag diri, proses
pencarian jati diri dan perasaan tidak percaya diri akibat
kondisi fisiknya.
Lingkungan Keluarga
Keluarga sangat penting dalam perkembangan anak-anak.
Interaksi negatif atau tidak sehat di dalam keluarga seperti
sikap overprotective, atau sebaliknya pelecehan dan
penelantaran, kurangnya pengawasan, minat, dan perhatian,
dapat mengakibatkan atau memperburuk kesulitan emosional
yang ada dan/ atau kesulitan perilaku. Di sisi lain, interaksi
yang sehat seperti kehangatan dan responsif, disiplin konsisten
dengan panutan, dan perilaku yang mengharapkan
penghargaan dapat sangat meningkatkan perilaku positif pada
anak-anak (Gunarsa, 1997)
Keluarga memiliki pengaruh yang demikian penting
dalam membentuk kepribadian anak. Keluargalah peletak
dasar perasaan aman pada anak, dalam keluarga pula anak
memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan
sikap social. Kasih sayang dan perhatian dari keluarga akan
membentuk kepribadian yang matang dan mampu
mengembangkan aspek-aspek non fisik sehingga penilaian
harga diri tidak semata-mata dari kondisi fisik saja, demikian
pula sebaliknya keluarga yang cenderung terlalu memfokuskan
diri pada kondisi fisik hanya akan menumbuhkan anak yang
tidak percaya diri dan tergantung secara emosional.
Keharmonisan keluarga juga memegang peranan
untuk menciptakan rasa nyaman dan aman ketika bertumbuh

Psychoneuroimmunology in Dermatology 86
dengan kelainan fisiknya.
Kondisi ekonomi juga mempengaruhi bagaimana
keluarga akan memberikan perawatan maksimal pada anak-
anak dengan kelainan kulit ini.
Lingkungan Sekolah
Guru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam interaksi
dengan siswa. Interaksi positif dan produktif guru-murid dapat
meningkatkan pembelajaran anak dan perilaku sekolah yang
sesuai serta memberikan dukungan ketika anak mengalami
masa-masa sulit. Lingkungan akademik yang tidak sehat
dengan guru yang tidak terampil atau tidak sensitif dapat
menyebabkan atau memperburuk perilaku atau gangguan
emosi yang sudah ada.
Lingkungan Masyarakat
Masalah masyarakat, seperti kemiskinan ekstrim disertai
dengan gizi buruk, keluarga yang tidak berfungsi, berbahaya
dan lingkungan yang penuh kekerasan, dan perasaan putus
asa, dapat mengakibatkan atau memperburuk gangguan
emosi atau perilaku.
Di dalam lingkungan masyarakat terdapat banyak
sumber yang merupakan pengaruh negative yang dapat
memicu timbulnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat
yang negative memandang seseorang hanya dari segi fisiknya
dan membuat stigma bahwa penyakit anak bisa menulari anak
lain sering menjadi pemicu munculnya perlakuan negatif dan
isolatif terhadap anak dengan gangguan kulit.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 87
PENDEKATAN-PENDEKATAN HOLISTIK PADA ANAK DENGAN
MASALAH KULIT YANG MENGALAMI GANGGUAN EMOSI DAN
PERILAKU
A. Pendekatan Biomedis
Pendekatan ini berusaha untuk menerangkan gangguan emosi
dan tingkah laku dari sudut pandang medis/ klinis, akibat
ketidaknormalan psikoneuroimunologis sebagai penyebab
gangguan ini. Strategi penanganan yang ditekankan dalam
pendekatan ini yaitu penggunaan obat dan penanganan
medis lainnya. Guru dan orangtua bisa bekerjasama serta
berkomunikasi dalam membantu anak mengatur penggunaan
obat selama disekolah. Guru dapat pula mengawasi dan
mencatat perubahan-perubahan anak setelah mendapat
penanganan medis.
B. Pendekatan Psikodinamik
Pendekatan ini menitikberatkan pada kehidupan psikologis
anak, berusaha memahami dan memecahkan kesulitan-
kesulitan yang difokuskan pada penyebab-penyebab
hambatan perilaku dan emosi. Pendekatan ini juga terapi
untuk merubah sikap negatif anak ke arah yang lebih positif.
Ini bisa dilakukan oleh psikolog, konselor sebaya, guru
bimbingan konseling dan sejenisnya.
C. Pendekatan Perilaku
Pendekatan ini berusaha untuk mengubah perilaku yang
merupakan problematika secara sosial dan personal bagi anak
tersebut. Tujuannya adalah menghilangkan perilaku negatif
dan menggantinya dengan perilaku yang lebih layak secara
sosial.
D. Pendekatan Pendidikan
Jarang ditemukan seorang anak dengan gangguan emosional
dan tingkah laku mendapat prestasi baik secara akademis,

Psychoneuroimmunology in Dermatology 88
padahal mereka tidak memiliki masalah dengan tingkat
intelegensi yang mayoritas rata-rata dan diatas normal.
Mereka biasanya tidak mampu berkonsentrasi dan mengatur
pembelajaran diri mereka. Sebaliknya, penanganan
pembelajaran yang dapat membantu anak berhasil secara
akademis mungkin berdampak pada kehidupan emosi dan
sikapnya. Suasana kelas yang baik dapat benar-benar menjadi
lingkungan terapi secara tidak langsung.
E. Pendekatan Ekologi
Pendekatan ekologi menekankan perlunya pemahaman anak
ke dalam konteks kehidupan mereka secara total. Pendekatan
ini juga menekankan perlunya membantu anak yang
mengalami hambatan harus dilakukan melalui usaha-usaha
kolaborasi keluarga, sekolah, teman dan masyarakat.

KESIMPULAN
Beberapa keluhan dan gejala yang bisa kita gunakan untuk
mendeteksi kesulitan emosional atau perilaku pada anak-anak
dengan masalah kulit adalah sebagai berikut:
 Ketidakmatangan keterampilan sosial yang dinyatakan
dalam kesulitan ketika beradaptasi dan melakukan
interaksi sosial yang tepat. Terlihat dari hanya sedikit
atau tidak ada teman, perilaku menghindar atau lari dari
masalah.
 Distractibility atau ketidakmampuan mempertahankan
perhatian untuk waktu yang panjang dibandingkan
dengan teman-temannya sehingga berdampak pada
prestasi di sekolah.
 Perilaku hiperaktif dan impulsif, sikap agresi terhadap
diri sendiri atau orang lain.
 Kecemasan atau fearfulness yang menjadi pemicu

Psychoneuroimmunology in Dermatology 89
keluhan psikosomatik
 Mengungkapkan pikiran untuk bunuh diri akibat
perasaan depresi dan ketidakbahagiaan atas keadaan
fisiknya.
 Masalah dalam hubungan keluarga.
 Masalah di sekolah dengan hubungan guru-murid.
Pendekatan-pendekatan yang bersifat biomedik
melalui pengobatan yang tepat dan teratur, perilaku
penguatan untuk kepribadian, psikodinamika lingkungan yang
kondusif, pendidikan dengan penciptaan suasana kelas yang
menyenangkan maupun ekologis diharapkan akan membantu
memperbaiki perilaku dan emosi anak-anak dengan masalah
kulit.

SARAN
Pentingnya peran yang sinergis antara lingkungan rumah,
sekolah dan masyarakat dalam mendeteksi, mencegah
maupun memberi intervensi pada problem perilaku anak-anak
dengan masalah kulit. Anak dengan masa sekolah dan sekolah
sebagai stresor gangguan perilaku dan emosi, maka peran
sekolah menjadi sangat mendesak untuk dipertimbangkan.
Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools) dengan Guru
sebagai SDM yang sudah terampil dan terlatih secara
profesional dimana semua komunitas sekolah mengerti bahwa
tujuan pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua
murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman (to be
save and secure), untuk mengembangkan diri (to develop a
sense of self), untuk membuat pilihan (to make choices), untuk
berkomunikasi (to communicate), untuk menjadi bagian dari
komunitas (to be part of a community), untuk mampu hidup
dalam situasi dunia yang terus berubah (live in a changing

Psychoneuroimmunology in Dermatology 90
world), untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan
untuk memberi kontribusi yang bernilai (to make valued
contributions).

DAFTAR PUSTAKA
Durant, V. Mark & David H. Barlow, 2006. Essencetial of Abnormal
Psychology. Terj Helly P. 2007. Intisari Psikologi Abnormal.
Yogyakarta : Pustaka Belajar

Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M., 2006. Exceptional Learners :


Introduction to Special Education. 10th ed., USA : Pearson

Mahabbati, Aini. 2006. Identifikasi Anak dengan Gangguan Emosi


dan Perilaku di Sekolah Dasar. JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS (JPK)
ISSN 1858-0998. Vol.2 No.2 Nopember.

Sandra F. Rief , 2008. The ADD/ ADHD Checklist A Practical Reference


for Parents and Teachers 2nd. USA : Jossey Bass

Singgih D. Gunarsa. 1997. Dasar dan Teori Perkembangan Anak.


Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 91
Psychoneuroimmunology in Dermatology 92
DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF PSYCHOSOMATIC
DISEASE

Dr. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ(K)


Department of Psychiatry, Udayana University, Denpasar,
Indonesia

Abstract
People face many problems throughout life. Some can handle
most of them well, while others find it difficult to cope
successfully. Experiencing and dealing with problems may
make one stronger, but in certain cases it may negatively
influence thought, behaviour, and emotions, potentially
resulting in mental illness. Although the unconscious mind
always tries to resolve these problems, the individual may still
be unhappy and out of balance, albeit still psychologically
functional. These problems may have genetic, organic,
experiential, psychological causes, or a combination of them.
Psychosomatic medicine is, by definition multidisciplinary. It is
not confined to psychiatry, but it may concern any other field
of medicine. Interestingly, the general psychosomatic
approach has resulted in a number of subdisciplines within
their own areas of application: psychooncology,
psychonephrology, psychoneuroendocrinology,
psychoimmunology, psychodermatology and others. If we
endorse the psychosomatic perspective, we may better clarify
the pathophysiological links and mechanisms underlying
symptom presentation. At present, the research evidence that
has accumulated in psychosomatic medicine offers
unprecedented opportunities for the identification and
treatment of medical problems. Treatment focuses on
memory and the unconscious mind, and considers the effects
of proto-experiences on the (dys)functional psychological
development of the individual. Using a biopsychospirit-

Psychoneuroimmunology in Dermatology 93
sociocultural approach may improve final outcomes and
quality of life. Already psychiatry is being interwoven into the
rest of healthcare, and this trend will only expand as
technology and teamwork bring psychiatric expertise to those
who need it, treating each person as an integrated whole.
Keywords: psychosomatic, psychiatry, early life events,
biopsychospirit-sociocultural

Introduction
Throughout life one faces many problems. Some people can
handle most of them well, while others find it difficult to cope
successfully. Experiencing and dealing with problems may
make one a stronger individual, or in certain cases may
negatively influence thought, behaviour, and emotions and
potentially result in mental illness. Although the unconscious
mind always tries to resolve these problems, the individual
may still be unhappy and out of balance, albeit still
psychologically functional. Problems can have genetic, organic,
experiential, psychological, or a combination of these causes.
Past traumas can act as pathological triggers, resulting
in the above causes entering dysfunctional or
psychopathological states. Should one follow the current
psychobiological evidence-based approaches, one would,
arguably, conclude that psychology, and in particular
personality, begins developing through proto-experiences in
the womb, as soon as the foetal nervous system is formed.
These proto-experiences influence and shape the biological
foundations of thought, emotion, feeling, behaviour, response
to stimulation, and adaptation to new situations. Should these
proto-experiences be traumatic, they will contribute to the
dysfunctional dispositions of the psychobiological systems,
and subsequently increase the individual’s vulnerability to

Psychoneuroimmunology in Dermatology 94
stress and their ability to successfully cope with problems later
in life.
Somatic symptoms are common in the general
population and they are prevalent in different medical
conditions such as cancer or coronary heart disease and in the
context of mental disorders, e.g. somatoform disorders,
anxiety disorders, and depression. Because somatic symptoms
are related to impaired functioning, decreased health related
quality of life, increased health care service use and
psychological distress, the assessment of somatic symptom
burden is essential in evidence based patient care and
research.
Moreover, in epidemiology, multiple somatic
symptoms reliably predict psychopathology and healthcare
use in population-based studies (Creed et al., 2012).
Consequently, the introduction of the new DSM-5 category
‘somatic symptom disorder’ (SSD) is generally seen as a major
change in the fields of public mental health and psychiatry. For
these reasons, in the current APA psychiatric diagnostic system
(the fifth edition, or DSM-5), the “medically unexplained”
requirement was abandoned, as was the syllable “form” in
“somatoform.” DSM-5 introduced “somatic symptom and
related disorders” to characterize the spectrum of psychiatric
distress based on somatic symptoms. Similar to the older term
“psychiatric overlay,” the new definition focuses on the
emotional and psychological reactions to somatic symptoms
rather than on their etiology (van Geelen et al., 2015).
At present, the research evidence that has
accumulated in psychosomatic medicine offers unprecedented
opportunities for the identification and treatment of medical
problems. Treatment focuses on memory and the unconscious

Psychoneuroimmunology in Dermatology 95
mind, and considers the effects of proto-experiences on the
(dys)functional psychological development of the individual.
Using a biopsychospirit-sociocultural approach may improve
final outcomes and quality of life (Lesmana et al., 2009).

Diagnosis
Psychosomatic medicine cuts across many specialties and is
concerned with assessment of psychosocial variables in the
setting of medical disease. It has developed methods that
provide clinical information that is likely to increase diagnostic
sharpness and yield better targeted therapeutic approaches in
all fields of medicine, including psychiatry (Sirri & Fava, 2013).
Psychosomatic medicine has become in the US a
subspecialty recognized by the American Board of Medical
Specialties. This has led to identifying psychosomatic medicine
with consultation-liaison psychiatry, a subspecialty of
psychiatry concerned with diagnosis, treatment, and
prevention of psychiatric morbidity in the medical patient in
the form of psychiatric consultations, liaison and teaching for
nonpsychiatric health workers, especially in the general
hospital. Consultation liaison psychiatry is clearly within the
field of psychiatry; its setting is the medical or surgical clinic or
ward, and its focus is the comorbid state of patients with
medical disorders. Psychosomatic medicine is, by definition,
multidisciplinary. It is not confined to psychiatry, but may
concern any other field of medicine. Not surprisingly, in
countries such as Germany and Japan, psychosomatic activities
have achieved an independent status and are often closely
related to internal medicine. In the US, family medicine
endorses a comprehensive psychosocial approach as integral
to their training and practice. Interestingly, the general

Psychoneuroimmunology in Dermatology 96
psychosomatic approach has resulted in a number of
subdisciplines within their own areas of application:
psychooncology, psychonephrology,
psychoneuroendocrinology, psychoimmunology,
psychodermatology and others. Such sub-disciplines have
developed clinical services, scientific societies and medical
journals. The psychosomatic approach has resulted in
important developments also in the psychiatric field,
subsumed under the rubric of psychological medicine (Lokko
et al., 2016; Yoshiuchi, 2016).
Today the life expectancy in Western countries is
much higher and most of clinical activities are concentrated on
chronic disease or non-disease specific complaints (McGinnis,
2016). ‘The changed spectrum of health conditions, the
complex interplay of biological and nonbiological factors, the
aging population, and the inter individual variability in health
priorities render medical care that is centred primarily on the
diagnosis and treatment of individual diseases at best out of
date and at worst harmful. A primary focus on disease, given
the changed health needs of patients, inadvertently leads to
under treatment, overtreatment, or mistreatment’. Disease-
specific guidelines provide very limited indicators for patients
with multiple conditions. The goal of treatment should be the
attainment of individual goals, and the identification and
treatment of all modifiable biological and non biological
factors.
But how should we assess these nonbiological
variables? In clinical medicine there is the tendency to rely
exclusively on ‘hard data’, preferably expressed in the
dimensional numbers of laboratory measurements, excluding
‘soft information’ such as impairments and well-being. This

Psychoneuroimmunology in Dermatology 97
soft information can now, however, be reliably assessed by
clinical rating scales and indexes which have been validated
and used in psychosomatic research and practice. It is not that
certain disorders lack an explanation; it is our assessment that
is inadequate in most of the clinical encounters, since it does
not reflect a global psychosomatic approach (Bauer et al.,
2011).
All physicians in all fields of medicine should utilize the
psychosomatic approach in medical interviewing. The
psychosomatic interview properly managed should prevent
premature closure of diagnostic considerations and ensure
consideration of biological psychological and sociocultural
factors. No matter what the presenting complaint, whether a
medically unexplained complaint or a presurgical evaluation
for oncologic surgery, the patient exists in a milieu of
emotional reactions, biological vulnerability and a social
network composed of health care providers and whatever
support system is available. It is imperative that the physician
document and understand the salient factors in these domains
and conduct interviews utilizing a psychosomatic approach,
whatever the complaint might be. Utilizing the techniques of
open-ended questions, observing nonverbal behaviors, and
considering the perspectives of diseases, dimensions,
behaviors, and life stories, the physician will gather a more
complete picture of the patient (Rafanelli & Ruini, 2012).
Better care will follow.
One of the main criticisms against the use of the
traditional psychiatric classification with medical patients is
the misleading assumption of the organic versus functional
dichotomy claiming that the presence of an organic cause, as
well as a hierarchical higher-order psychiatric disorder such as

Psychoneuroimmunology in Dermatology 98
major depression or panic disorder, subsumes psychological
disturbances and, vice versa, the absence of an organic cause
strongly indicates the presence of a psychological or
psychiatric reason (Fava et al., 2012).
Psychiatric assessment in the medical setting includes
a standard psychiatric assessment as well as a particular focus
on the medical history and context of physical health care
(Barbosa, 2012). In addition to obtaining a complete
psychiatric history, including past history, family history,
developmental history, and a review of systems, the medical
history and current treatment should be reviewed and
documented. A full mental status examination, including a
cognitive examination, should be completed, and components
of a neurologic and physical examination may be indicated
depending on the nature of the presenting problem.
Another important objective of the psychiatric
evaluation is to gain an understanding of the patient’s
experience of his or her illness. In many cases, this becomes
the central focus for both the psychiatric assessment and
interventions. It is often helpful to develop an understanding
of the patient’s developmental and personal history as well as
key dynamic conflicts, which in turn may help to make the
patient’s experience with illness more comprehensible. Such
an evaluation can include use of the concepts of stress,
personality traits, coping strategies, and defense mechanisms.
Observations and hypotheses that are developed can help to
guide a patient’s psychotherapy aimed at diminishing distress
and may also be helpful for the primary medical team in their
interactions with the patient (Fava et al., 2012).
Finally, a full report synthesizing the information
should be completed and include specific recommendations

Psychoneuroimmunology in Dermatology 99
for additional evaluations and intervention. Ideally, the report
should be accompanied by a discussion with the referring
physician. A psychiatric consultant can relieve some of this
frustration by clarifying the diagnosis and providing guidance
on ways to improve the patient’s functioning and relationship
with the medical team.

Management
There have been major transformations in health care needs
in the past decades. Chronic disease is now the principal cause
of disability and use of health services consumes almost 80%
of health expenditures. Yet, current health care is still
conceptualized in terms of acute care perceived as a product
processing, with the patients as a customer, who can, at best,
select among the services that are offered. In health care the
product is clearly health and the patients is one of the
producers, not just a customer. As a result ‘optimally efficient
health production depends on a general shift of patients from
their traditional roles as passive or adversarial consumers to
become producers of health jointly with their health
professionals’ (Wholey et al., 2014).
The exponential spending on preventive medication
justified by the potential long-term benefits to a small segment
of the population is now being challenged, whereas the
benefits of modifying lifestyle by population-based measures
are increasingly demonstrated and are in keeping with the
biopsychosocial model. Medically unexplained symptoms
occur in up to 30–40% of medical patients and increase
medical utilization and costs. The traditional medical
specialties, based mostly on organ systems (e.g. cardiology,
gastroenterology), appear to be more and more inadequate in

Psychoneuroimmunology in Dermatology 100


dealing with symptoms and problems which cut across organ
system subdivisions. The need for a holistic approach is
underscored by the implementation of interdisciplinary
services. In the UK, the establishment of psychological
treatment centers within the National Health System for
providing psychotherapy to patients with anxiety and
depressive disorders is an unprecedented opportunity of
integration of different treatments (Lousada et al., 2015). The
need to include consideration of functioning in daily life,
productivity, performance of social roles, intellectual capacity,
emotional stability and well-being, has emerged as a crucial
part of clinical investigation and patient care. These aspects
have become particularly important in chronic diseases, where
cure cannot take place, and also extend over family caregivers
of chronically ill patients and health providers. Patients have
become increasingly aware of these issues. The commercial
success of books on complementary and mind-body medicine
exemplifies the receptivity of the general public to messages
of well-being pursuit by alternative medical practices.
Psychosomatic interventions may respond to these emerging
needs within the established medical system and may play an
important role in supporting the healing process (Au et al.,
2016; Becker et al., 2016).
The goal of treatment planning is to find with the
patient a treatment strategy that combines the patient’s
willingness with medical necessity to the greatest extent
possible (shared decision making). What we know of
compliance is sobering. In family practice, only 33 % of the
patients take their medications correctly. So, it is highly
relevant whether the patient can or will follow the treatment
at all.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 101


A host of interventions have been successfully utilized
in psychosomatic medicine. Specific consideration must be
given to medical illness and treatments when making
recommendations for psychotropic medications.
Psychotherapy also plays an important role in psychosomatic
medicine and may vary in its structure and outcomes as
compared with therapy that occurs in a mental health practice.
Psychopharmacologic recommendations need to
consider several important factors. In addition to targeting a
patient’s active symptoms, considering the history of illness
and treatments, and weighing the particular side-effect profile
of a particular medication, there are several other factors that
must be considered that relate to the patient’s medical illness
and treatment (Wortman et al., 2016). It is critical to evaluate
potential drug–drug interactions and contraindications to the
use of potential psychotropic agents. Because the majority of
psychotropic medications used are metabolized in the liver,
awareness of liver function is important. General appreciation
of side effects, such as weight gain, risk of development of
diabetes, and cardiovascular risk, must be considered in the
choice of medications. In addition, it is also important to
incorporate knowledge of recent data that outline
effectiveness and specific risks involved for patients with co-
occurring psychiatric and physical disorders. For example, a
greater understanding of the side effects of antipsychotic
medications has raised concerns about the use of these
medications in patients with dementia (Ballard et al., 2016).
The use of psychosocial interventions also requires
adaptation when used in this population. The methods and the
goals of psychosocial interventions used in the medically ill are
often determined by the consideration of disease onset,

Psychoneuroimmunology in Dermatology 102


etiology, course, prognosis, treatment, and understanding of
the nature of the presenting psychiatric symptoms in addition
to an understanding of the patient’s existing coping skills and
social support networks. However, there are ample data that
psychosocial interventions are effective in addressing a series
of identified problems and that such interventions in many
cases are associated with a variety of positive clinical outcomes
(Song & Ward, 2015).
Given the diagnostic challenges discussed above, it is
often prudent for the choice of treatment to be guided by the
symptoms of concern, especially when the aetiology is
ambiguous. It is also worth noting that most efficacy studies
for psychiatric medications exclude patients with comorbid
medical conditions. While the treatment options are the same
as in a behavioral health setting, you will need to pay much
more attention to medication side effects, drug-drug
interactions, altered metabolism, and absorption.

Summary
Endorsement of the psychosomatic perspective may better
clarify the pathophysiological links and mechanisms underlying
symptom presentation. At present, the research evidence
which has accumulated in psychosomatic medicine offers
unprecedented opportunities for the identification and
treatment of medical problems. Treatment focuses on
memory and the unconscious mind, and considers the effects
of proto-experiences on the (dys)functional psychological
development of the individual using biopsychospirit-
sociocultural approach may improve final outcomes and
quality of life.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 103


References
Au, D. W., Tsang, H. W., Lee, J. L., Leung, C. H., Lo, J. Y., Ngai, S. P., et
al. (2016). Psychosomatic and physical responses to a multi-
component stress management program among teaching
professionals: A randomized study of cognitive behavioral
intervention (CB) with complementary and alternative medicine
(CAM) approach. Behav Res Ther, 80, 10-16. doi:
10.1016/j.brat.2016.02.004

Ballard, C., Orrell, M., YongZhong, S., Moniz-Cook, E., Stafford, J.,
Whittaker, R., et al. (2016). Impact of Antipsychotic Review and
Nonpharmacological Intervention on Antipsychotic Use,
Neuropsychiatric Symptoms, and Mortality in People With Dementia
Living in Nursing Homes: A Factorial Cluster-Randomized Controlled
Trial by the Well-Being and Health for People With Dementia
(WHELD) Program. Am J Psychiatry, 173(3), 252-262. doi:
10.1176/appi.ajp.2015.15010130

Barbosa, A. (2012). Relational ethics and psychosomatic assessment.


Adv Psychosom Med, 32, 223-239. doi: 10.1159/000330039

Bauer, A. M., Bonilla, P., Grover, M. W., Meyer, F., Riselli, C., & White,
L. (2011). The role of psychosomatic medicine in global health care.
Curr Psychiatry Rep, 13(1), 10-17. doi: 10.1007/s11920-010-0162-2

Becker, J., Beutel, M. E., Gerzymisch, K., Schulz, D., Siepmann, M.,
Knickenberg, R. J., et al. (2016). Evaluation of a video-based Internet
intervention as preparation for inpatient psychosomatic
rehabilitation: study protocol for a randomized controlled trial.
Trials, 17(1), 287. doi: 10.1186/s13063-016-1417-y

Creed, F. H., Davies, I., Jackson, J., Littlewood, A., Chew-Graham, C.,
Tomenson, B., et al. (2012). The epidemiology of multiple somatic
symptoms. J Psychosom Res, 72(4), 311-317. doi:
10.1016/j.jpsychores.2012.01.009

Psychoneuroimmunology in Dermatology 104


Fava, G. A., Sonino, N., & Wise, T. N. (2012). Principles of
psychosomatic assessment. Adv Psychosom Med, 32, 1-18. doi:
10.1159/000329997

Lesmana, C. B., Suryani, L. K., Jensen, G. D., & Tiliopoulos, N. (2009).


A spiritual-hypnosis assisted treatment of children with PTSD after
the 2002 Bali terrorist attack. Am J Clin Hypn, 52(1), 23-34. doi:
10.1080/00029157.2009.10401689

Lokko, H. N., Gatchel, J. R., Becker, M. A., & Stern, T. A. (2016). The
Art and Science of Learning, Teaching, and Delivering Feedback in
Psychosomatic Medicine. Psychosomatics, 57(1), 31-40. doi:
10.1016/j.psym.2015.09.006

Lousada, J., Weisz, J., Hudson, P., & Swain, T. (2015). Psychotherapy
provision in the UK: time to think again. Lancet Psychiatry, 2(4), 289-
291. doi: 10.1016/S2215-0366(15)00082-6

McGinnis, J. M. (2016). Income, Life Expectancy, and Community


Health: Underscoring the Opportunity. JAMA, 315(16), 1709-1710.
doi: 10.1001/jama.2016.4729

Rafanelli, C., & Ruini, C. (2012). Assessment of psychological well-


being in psychosomatic medicine. Adv Psychosom Med, 32, 182-202.
doi: 10.1159/000330021

Sirri, L., & Fava, G. A. (2013). Diagnostic criteria for psychosomatic


research and somatic symptom disorders. Int Rev Psychiatry, 25(1),
19-30. doi: 10.3109/09540261.2012.726923

Song, M. K., & Ward, S. E. (2015). Assessment effects in educational


and psychosocial intervention trials: an important but often-
overlooked problem. Res Nurs Health, 38(3), 241-247. doi:
10.1002/nur.21651

van Geelen, S. M., Rydelius, P. A., & Hagquist, C. (2015). Somatic


symptoms and psychological concerns in a general adolescent
population: Exploring the relevance of DSM-5 somatic symptom
disorder. J Psychosom Res, 79(4), 251-258. doi:
10.1016/j.jpsychores.2015.07.012

Psychoneuroimmunology in Dermatology 105


Wholey, D. R., Disch, J., White, K. M., Powell, A., Rector, T. S., Sahay,
A., et al. (2014). Differential effects of professional leaders on health
care teams in chronic disease management groups. Health Care
Manage Rev, 39(3), 186-197. doi: 10.1097/HMR.0b013e3182993b7f

Wortman, M. S., Lucassen, P. L., van Ravesteijn, H. J., Bor, H.,


Assendelft, P. J., Lucas, C., et al. (2016). Brief multimodal
psychosomatic therapy in patients with medically unexplained
symptoms: feasibility and treatment effects. Fam Pract. doi:
10.1093/fampra/cmw023

Yoshiuchi, K. (2016). How can psychosomatic physicians contribute


to behavioral medicine? Biopsychosoc Med, 10, 8. doi:
10.1186/s13030-016-0060-x

Psychoneuroimmunology in Dermatology 106


PSIKO-NEURO-IMUNOLOGI (PNI) DALAM DERMATOLOGI

Robby K.T. Ko MD FINSDV

Abstract
For more than thousand years layman and medical
practitioners as well, know the correlation of emotional factors
triggering certain disease symptoms, influencing the course of
disease, and if sustained, can even become the pathogenesis of
certain illnesses.
Cogitation by dermatologists, neurologists,
psychiatrists, immunologists, endocrinologists, led to the
creation of psycho-neuro-immunology (PNI). A relatively new
holistic medical approach to scientifically elucidate the
reciprocal relationship of the body and mind in certain
diseases.
Advanced neuroscience, immunology, endocrinology
and bio-molecular research reveal the existence of several
neurotransmitters, released by the brain, triggered by a
multitude of emotional conditions. Specific neurotransmitters
influence immune and endocrine systems. A cogency that
emotions can play an important role in certain diseases and
behaviors.
The clinical application of PNI in Dermatology, needs
mandatory insight in psycho-dermatology, keen observation in
patient’s behavior, encompassing body language (facial
expression), emotional content of complaints and awareness of
any apparent or hidden motives to be treated.
A chosen PNI treating modality should be studied,
applied and mastered. The outcome objectively evaluated.
Indications, contra-indications and placebo effects should be
kept in mind.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 107


Psiko-neuro-imunologi (PNI) dalam Dermatologi
Sebelum membahas peran PNI dalam Dermatologi, renungkan
terlebih dulu ucapan Dr Felix Marti Ibanez pada thn 1964. Ia
ingatkan dokter, jangan hanya mengobati penyakit yang
diderita pasien. Dokter wajib mengobati pasien yang sedang
sakit. Jangan pula lupakan peran dokter, yang dipilih oleh
pasien, untuk menyembuhkannya.
Hippocrates, 460 thn SBM, menganjurkan agar pasien
wajib didekati secara holistik, dengan memperhatikan status
emosional, kondisi lingkungan hidupnya yang potensial
memegang peran kontributif penyebab penyakit dan proses
penyembuhannya. Jangan lupa kesanggupan badan untuk
menyembuhkan diri sendiri (self healing properties).
Aristoteles (384-322 SBM) yakin, bahwa dalam badan
manusia ada rokh yang tidak terpisahkan. Semua organ tubuh
saling terkait menjalankan fungsi kehidupan.
Paracelsus (1493-1541) mendeklarasi bahwa badan
(body) dan kalbu (mind) tidak dapat dipisahkan. Dokter
diingatkan adanya keterkaitan emosi dan penyakit.
Walter B. Cannon (1871-1945) menciptakan istilah
homeostasis, yaitu keseimbangan dinamis (dynamic
equilibrium) antara body and mind untuk menjaga kesehatan.
Robert Ader dan Nicholas Cohen pada thn 1975
membuktikan adanya keterkaitan antara stres dan penyakit.
Mereka menciptakan hipotesis adanya keterkaitan antara
faktor psikis, neurologi, endokrinologi dan imunologi, maka
lahirlah konsep psiko-neuro-imunologi (PNI)
PNI bukanlah suatu metoda pengobatan, tetapi suatu
ilmu baru yang membutuhkan banyak riset. Kini ditekuni
berbagai universitas di AS. Pionirnya ialah Centre for

Psychoneuroimmunology in Dermatology 108


Psychoneuroimmunology, Department of Psychiatry,
University of Rochester, New York. Bila pada thn 1985 belum
ada satupun makalah ilmiah PNI, pada thn 1997 ada ratusan
dan sejak th 2008 ada ribuan.
PNI adalah ilmu, yang mencari interaksi sistem
neurologi, endokrinologi dan imunologi dengan implikasi
kesehatan badan, melalui suatu mekanisme komunikasi dua
arah.
Sayangnya terlalu sedikit ahli riset yang terdidik secara
interdisipliner dan berpengalaman dalam ilmu psikologi-
psikiatri-imunologi-fisiologi-endokrinologi-biologi molekuler-
neurofarmakologi-dan studi tingkah laku (behavioral studies).
Benar benar suatu tantangan untuk membuktikan bahwa
sistem imun seseorang bisa dipengaruhi melalui pikiran, emosi
dan tingkah laku. Riset ini terbuka untuk dilakukan komunitas
medis maupun non-medis.
Ohio State University Medical Center, melalui Institute
for Behavioral Medicine Research membuat Prorama Riset PNI
secara terarah.
Pada thn 1981 David Felten menemukan jejaring
(network) saraf dalam dinding pembuluh darah dan sel sel
system imun, yg juga merebak dekat kelompok (clusters)
limfosit, makrofag dan mast cells yang ikut berperan dalam
fungsi imun.
Pada tahun 1985, seorang ahli riset Neurofarmakologi,
Candace Pert PhD menemukan neuro-specific receptors pada
dinding sel-sel otak dan sistem imun.
Penemuan neuropeptides dan neurotransmiiters yang
secara langsung pengaruhi sistem imun, membuktikan secara
biomolekuler, adanya interdependensi nyata antara emosi dan
imunologi.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 109


Sistem imun dan endokrin dapat dimodulasi, tidak saja
oleh otak, tetapi juga oleh sistem saraf pusat. Ini member
impak dahsyat untuk memahami keterkaitan emosi dan
timbulnya suatu penyakit.
Chemical messengers alamiah dalam bentuk
neuropeptida, neurotrasmintters, yang ditemukan dalam
dinding sel otak dan sistem imun, mempegaruhi fisiologi tubuh
dan emosi secra timbal balik.
Untuk lebih memahami mekanisme saling pengaruhi
itu, perlu diperlihatkan apa itu Chemical atau Immunological
Synapsis, suatu neuron spesifik dapat menimbulkan ribuan
sinaps. Setiap mm3 korteks serebri mengandung milyaran
sinaps. Otak dewasa mempunyai 100 sampai 500 milyar
sinaps.
Sinaps adalah koneksi fungsional antara neuron dan
aneka macam sel. Neurotransmiter berdifusi melalui celah
sinaps (0.02 mikron) menuju berbagai reseptor di dendrite
terdekat oleh impuls listrik.
Presynaptic neurons mengandung mitochondriae dan
microtubulae yg melepaskan vesiculae yg berisi
neurotransmiter yg dislurkan ke membrane receptors post
synaptic neurons.

Apa itu neurotransmiter?


Neurotransmiter ialah bahan biokimia, kini dikenal lebih dari
60 macam, yang dapat menimbulkan efek fisiologi seseorang.
Dikenal lebih dari 60 macam neurotransmiter yang
bisa menimbulkan aneka efek fisiologis.
Dikenal adanya semacam koneksi otak-sistem imun
yang dikenal sebagai Immune-Brain Loop. Otak dan sistem
imun saling komunikasi melalui suatu jalur interkoneksi, hal

Psychoneuroimmunology in Dermatology 110


mana bertujuan untuk menjaga keseimbangan (homeostasis)
mind-body.
Dikenal 2 jalur komunikasi dua arah (cross talk)
Hypothalamius-Pituitary-Adrenal axis (HPA) dengan Sympatic
Nervous System (SNS)
Aktivitas HPA axis dan Sitokin secara intrinsik terjalin
erat: inflammatory sitokin menstimulasi ACTH dan sekresi
kortisol.
Sitokin memediasi dan mengontrol Immune and
Inflammatory Responses. Interaksi kompleks terjadi antara
sitokin, inflammation dan adaptive responses dengan tujuan
memelihara homeostasis
Sitokin pro-inflamasi dapat mempegaruhi otak.
Sebaliknya sitokin juga diproduksi secara lokal oleh otak,
terutama dalam Hipothalamus. Hal ini bisa berpengaruh
timbulnya efek tingkah laku (behavioral effects) tertentu.

Komunikasi antara otak dengan sistem imun.


Komunikasi antara sistem neuroendokrin dengan sistem imun.
Stres mulai tercetus dalam otak. Tidak dalam system imun.
Timnullah sirkuit/lintasan dua arah otak-sistem imun dalam
stress. Timbul apa yang dikenal sebagai “sickness response”.
Perubahan fisiologis, seperti bertambahnya sel darah putih
dan makrofag yang teraktivasi.

Bagaimana mengaplikasi konsep PNI dalam Dermatologi.


Untuk mengaplikasi azas PNI dalam Dermatologi kita wajib
merubah sikap (attitude) terhadap pasien pasien kita. Kita
harus menyisihkan cukup waktu untuk mengobservasi pasien
secara lebih seksama. Baik dengan cara mendengar dan
melihat lebih cermat. Bahkan menangkap (perceive) apa yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 111


tidak terdengar oleh telinga dan tidak terlihat oleh mata kita.
Tetapi dapat difahami oleh kalbu (mind) kita yang sudah
terlatih. Memahami yang tidak terucap dengan kata kata
pasien dan gerak badan spontan dari pasien, maupun
pengantarnya, saat mereka datang berobat. Kita memang
harus menguasai tehnik berkomunikasi dengan baik, melalui
Neuro Linguistic Programming (NLP) dan mengenal Bahasa
Tubuh (Body Language). Kita wajib berempati dengan pasien.
Kita harus menganalisa apakah stres pasien itu
penyebab atau akibat suatu penyakit. Sering terbentuk suatu
“lingkaran setan” yang perlu diputus.
Stres juga bisa dialami secara sadar atau di bawah
sadar. Contoh beberapa penyakit kulit yg tergolong
psikodermatoses: neurodermatitis, dry lips, hiperhidrosis
palmaris dan plantaris, pruritus scrotalis atau vulvae, acne
vulgaris, urtikaria menahun, herpes simplex, multiple verrucae
vulgaris, psoriasis. Lichen planus, alopecia areata. Baik sebagai
penyebab, pencetus, atau akibat stres.
Pengalaman saya adanya faktor PNI dalam:
neurodermatitis, dry lips, pruritus genitalia, herpes simplex,
chronic urticaria

Aneka Macam Terapi yang saya pilih:


Psikoterapi Superfisial dan Hipnoterapi.
Aplikasi azas PNI dalam Dermatologi meliputi: Psikoterapi,
Biofeedback, Guided Imagery, Medical Hypnotherapy, Yoga,
Acupuncture, Acupressure, Spiritual Therapy.
Kita harus menunjukkan kompetensi profesional,
untuk tidak langsung mempercayai kesimpulan apapun yang
dibuat pasien, pengantarnya, bahkan oleh dokter yang
mengobati pasien sebelumnya.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 112


S.O.P. anamnesa, pemeriksaan fisik dan hasil
laboratorium relevan, tetap dijadikan dasar membuat
diagnosis yang benar.
Bila pasien menyangkal adanya stres atau faktor
psikologis lainnya yang mempengaruhi penyakitnya, kita tidak
boleh secara gamblang mempercayainya. Sebaliknya,
keyakinan pasien bahwa penyakitnya timbul akibat stress, juga
tidak boleh langsung kita percayai. Dibutuhkan evaluasi lebih
lanjut.
Aplikasi klinis dan ilmiah hipnoterapi telah diterapkan
oleh banyak pelaku dari hampir semua disiplin medis dan
psikologi. Mereka faham akan limitasinya (keterbatasannya).
Hipnosis sedang diajarkan di semakin banyak universitas dan
fakultas kedokteran A.S. Ribuan dokter, dokter gigi, psikolog,
anestesiolog di AS telah mendapat pelatihan dalam berbagai
workshop hypnosis.
23 April 1955. The British Medical Association
megesahkan aplikasi hipnoterapi untuk mengobati
psikoneurosis, dan hipno-anestesia untuk meniadakan rasa
nyeri pada proses melahirkan bayi dan pada pembedahan.
B.M.A, juga menganurkan agar semua dokter dan para
mahasiswa kedokteran mendapat pelatihan dasar hypnosis.
13 September 1958. The Council on Mental Health dari
American Medical Association merekomendasi mata kuliah
hipnosis, dimasukkan dalam kurikulum fakultas fakultas
kedokteran dan pusat pusat pelatihan pasca sarjana. Pada
tahun 1961, The A.M.A, Council of Mental Health
merekomendasi pelatihan hipnoterapi selama 144 jam, dibagi
dalam jangka waktu 9 sampai 12 bulan di tingkat
undergraduate dan postgraduate kedokteran.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 113


Psychoneuroimmunology in Dermatology 114
SKIN DISEASE RELATED TO PSYCHIATRIC DISORDER

Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV


Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar-Bali

Abstrak
Hubungan antara kelainan kulit dan faktor psikologis sangatlah
erat dan telah lama menjadi topik yang menarik.
Psikodermatologi adalah cabang ilmu yang mempelajari
keterkaitan antara kulit dan pikiran. Kelainan psikodermatologi
atau dikenal dengan istilah penyakit psikokutaneous
merupakan kondisi yang tidak jarang ditemukan pada praktek
klinis. Sebanyak 30-40% pasien dengan manifestasi kulit
memiliki masalah psikologi. Secara umum penyakit
psikokutaneous dibagi menjadi 2, yaitu: (1) kelainan psikiatri
primer, dimana kelainan psikiatri yang mendasari adanya
manifestasi kulit; dan (2) kelainan dermatologi primer yaitu
adanya penyakit kulit yang menyebabkan stres psikologis
seperti depresi bahkan keinginan bunuh diri. Dokter kulit yang
umumnya menerima pasien untuk pertama kali diharapkan
memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk
mengidentifikasi penyakit psikokutaneous ini. Dokter kulit juga
diharapkan dapat melakukan pendekatan yang simpatik dan
menjadi jembatan bagi pasien untuk berkonsultasi dengan
psikiater maupun psikolog untuk mendapat penanganan yang
komprehensif. Penatalaksanaan farmakologis dan non-
farmakologis dengan kerjasama interprofesi diperlukan dalam
penanganan pasien dengan kelainan kulit yang disertai dengan
gangguan psikiatri.
Kata kunci: psikokutaneous, psikodermatologi, manifestasi
kulit, gangguan psikiatri

Psychoneuroimmunology in Dermatology 115


Abstract
Relationship between skin disease and psychological factors
has long became a topic of interest. Psychodermatology is a
domain of interface between dermatology and psychiatry that
focus on the interaction of skin and the mind.
Psychodermatologic or psychocutaneous disease is not an
uncommon problem. Approximately 30-40% of patients with
skin disease has a concomittant psychologic or psychiatric
problem. Generally, psychocutaneous disease can be classified
into 2 major group: (1) primary psychiatric disorder, in which
the skin manifestation has an underlying psychiatric disease;
(2) primary dermatologic disorder, which refers to skin disease
that cause psychologic stress such as depression or even
suicidal ideation. As a dermatologist that come contact with
the patient in the frontline, we should be aware and capable to
identify this complex disorder. Dermatologists were also
expected to have a sympathic approach and act as a bridge for
the patient to consult with psychiatrist or psychologist in order
to facilitate a comprehensive management. Both
pharmacology and non-pharmacology therapy with
interproffesional teamwork were necessery for treatment of
patient with psychocutaneous disorder.
Keywords: psychocutaneous, psychodermatology, skin
manifestation, psychiatric disease

Pendahuluan
Kelainan kulit sangat erat kaitannya dengan kondisi psikis
pasien. Apakah berawal dari kelainan kulit yang menyebabkan
penurunan percaya diri, depresi dan fobia sosial, ataukah
berawal dari gangguan psikiatri yang kemudian menyebabkan
manifestasi kulit, keduanya memerlukan penanganan yang
adekuat dan komprehensif. Sistem saraf dan sistem integumen
sama-sama berasal dari ektoderm dalam embriologi.1,2,3 Oleh
karena itu, kulit dan saraf sangat berkaitan dalam respon

Psychoneuroimmunology in Dermatology 116


terhadap stimuli dan stres melalui koneksi neuropeptida,
neuromodulator, dan sistem biokimia yang sama. Kulit juga
merupakan organ yang sangat berespon terhadap emosi.6 Kulit
adalah salah satu organ persepsi yang paling besar yang
kemudian juga menerima afek dari persepsi tersebut. Sehingga
tidak jarang banyak orang melampiaskan impuls agresif,
kecemasan, ataupun perilaku akibat delusinya pada kulit dan
menyebabkan manifestasi lesi kulit. Sebaliknya, pasien dengan
kelainan kulit yang mengganggu penampilan akan
mengakibatkan rasa depresi, malu, dan cemas berkaitan
dengan penyakitnya.1,6
Bidang kedokteran psikokutaneous atau
psikodermatologi adalah salah satu cabang ilmu yang berfokus
dalam menjembatani kondisi psikiatri dan kelainan
dermatologi. Penyakit psikodermatologi adalah kondisi
penyakit yang mencakup adanya interaksi antara pikiran dan
kulit. Penatalaksanaan kondisi psikodermatologi ini tidak
hanya memerlukan evaluasi kelainan kulitnya, tetapi juga
masalah-masalah sosial, keluarga, ataupun pekerjaan dari
penderita yang mungkin mendasari kelainan kulit yang
terjadi.2,3 Setelah diagnosis ditegakkan, manajemen penyakit
juga memerlukan pendekatan terpadu baik terhadap kelainan
kulitnya maupun kelainan psikologisnya. Penderita dengan
kelainan psikodermatologi seringkali juga menyangkal adanya
gangguan psikis sehingga menolak untuk dirujuk ke ahli
kejiwaan.2 Adanya dukungan dari keluarga, lingkungan sosial,
dokter keluarga, ahli dermatologi dan psikiatri sangat
diperlukan dalam mencapai manajemen yang komprefensif.2

Psychoneuroimmunology in Dermatology 117


Klasifikasi
Penyakit psikodermatologi atau psychocutaneous disorders
berdasarkan C. Koblenzer dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
1) kelainan psikiatri primer dan 2) kelainan dermatologi
primer. Kelainan psikiatri primer merujuk pada kelainan psikitri
yang mendasari adanya manifestasi kulit yang dipicu oleh
penderita sendiri (self induced skin manifestation), seperti
contohnya trikotilomania dan delusional parasitosis. Kelainan
dermatologi primer merujuk pada kelainan kulit yang
menyebabkan gangguan penampilan/disfigurement sehingga
menyebabkan masalah psikiatri seperti depresi dan antisosial.1
Beberapa literatur juga menyebutkan adanya kelainan
psikofisiologis, yaitu merujuk pada kelainan kulit yang dapat
dipengaruhi atau diperburuk oleh stres emosional. Beberapa
penyakit yang tergolong pada kelompok ini antara lain akne,
alopesia areata, dermatitis atopi, psoriasis, purpura
psikogenik, rosasea, dermatitis seboroik, dan urtikaria.2,3,4
Klasifikasi dan penyakit-penyakit psikodermatologi dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi dan Contoh Penyakit Psikodermatologi (dikutip
dari kepustakaan no.1)
Kategori Contoh
Primary Psychiatric Disorders Bromidrofobia
Delusional parasitosis
Dismorfofobia
Dermatitis artefakta
Ekskoriasi neurotik
Trikotilomania
Primary Dermatologic Disorders Alopesia areata
Akne kistik
Hemangioma
Iktiosis
Sarkoma Kaposi
Psoriasis
Vitiligo

Psychoneuroimmunology in Dermatology 118


Kelainan Psikiatri Primer
Kelainan psikiatri primer mengenai sekitar 5% dari seluruh
pasien dermatologi. Biasanya pasien pada kelompok ini
memiliki tilikan yang bervariasi, tetapi sebagian besar pasien
memiliki tilikan buruk.1 Lesi umumnya diinduksi oleh pasien
sendiri dan jika tidak diobati memiliki prognosis yang buruk.
Terdapat klasifikasi umum mengenai penyakit-penyakit yang
tergolong dalam kelompok ini. Beberapa penyakit kadang
dapat tumpang tindih antar kelompok.1 Klasifikasi kelompok
penyakit psikiatri primer dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Psikiatri Primer (dikutip dari kepustakaan


no.1)
Kategori Penyakit
Delusional Delusional parasitosis
Body odor delusion/bromidrofobia
Sindrom hipokondriakal
Factitious Body Dismorphic Disorder (BDD)
Sindrom dermatitis para-artefakta
Sindrom dermatitis artefakta
Malingering
Somatoform BDD
Disestesia kutaneus
Sindrom somatisasi
Kompulsif Cuci tangan kompulsif
Liken simpleks kronikus
BDD

Berikut akan dijabarkan beberapa kelainan psikiatri primer


dengan manifestasi kulit yang umum ditemukan.
Delusional Parasitosis
Delusional parasitosis masuk ke dalam kelompok kelainan yang
disebut dengan ‘monosymptomatic hypochondriacal
psychosis’. Pasien pada kelompok ini mengalami delusi

Psychoneuroimmunology in Dermatology 119


terbatas. Delusional parasitosis adalah keluhan yang paling
umum dari kelompok ini.2 Secara epidemiologi delusional
parasitosis predominan pada wanita usia pertengahan dan
usia tua.1,4 Pada delusional parasitosis, pasien meyakini
dengan kuat bahwa di kulitnya telah terinfestasi oleh suatu
organisme. Karena delusi yang terjadi terbatas, kelainan ini
dibedakan dengan skizofrenia, dimana terdapat defisit
fungsional yang multipel.2 Penyakit yang lebih jarang pada
kelompok ini antara lain adalah hipokondriakal dimana pasien
percaya bahwa dia telah terkena suatu penyakit tertentu
seperti HIV, kanker, dll; serta bromidrofobia dimana pasien
memiliki delusi bahwa badannya berbau. Pasien juga memiliki
pemahaman mengenai bagaimana organisme ini
bereproduksi, bergerak di dalam kulit dan kadang keluar dari
kulit.2,4 Pasien biasanya datang dengan apa yang dikenal
sebagai ‘matchbox sign’ yaitu dimana pasien datang
membawa spesimen berupa debris, sedikit bagian kulit yang
terekskoriasi, atau bagian serangga yang tidak berhubungan di
dalam kotak korek api (matchbox) atau kontainer lainnya
sebagai bukti adanya infestasi.2,3,5 Lesi kulit bervariasi dari
ekskoriasi ringan sampai dengan ulkus yang luas. Karena delusi
bersifat terbatas, pasien memiliki organisasi pikir yang normal
dan tampak meyakinkan dari penampilan luar sehingga
lingkungannya akan mempercayai benar adanya infestasi
tersebut. Beberapa gangguan psikiatri yang harus dibedakan
dengan kelompok ‘monosymptomatic hypochondriacal
psychosis’ ini antara lain skizofrenia, depresi dengan gejala
psikosis, dan psikosis yang diinduksi obat. 1,2
Gangguan organik yang dapat memicu delusional
parasitosis antara lain sindrom penarikan dari kecanduan
kokain, amfetamin, dan alkohol; defisiensi vitamin B12;

Psychoneuroimmunology in Dermatology 120


sklerosis multipel; penyakit serebrovaskular; maupun
neurosifilis. Jika kelainan dasar penyakit organik seperti
tersebut di atas dapat ditemukan, diagnosis delusional
parasitosis tersendiri tidak diperlukan. Pilihan terapi pada
delusional parasitosis adalah pengobatan antipsikotik seperti
haloperidol. 2,4
Tantangan dalam pengobatan delusional parasitosis
adalah pemberian antipsikotik tanpa menyinggung pasien.
Diperlukan pendekatan secara perlahan dan diplomatis serta
empati agar pasien memahami dan bersedia mengikuti saran
pengobatan yang diberikan.4

Ekskoriasi Neurotik dan Dermatitis Artefakta


Dermatitis artefakta secara umum merujuk pada kondisi
dimana pasien secara sengaja menyebabkan lesi kulit pada
dirinya sendiri. Pasien biasanya menggunakan alat untuk
menggaruk dan menghilangkan gatal seperti instrumen tajam,
rokok yang menyala, atau bahan-bahan kimia.2 Berbeda
dengan pasien malingering yang melakukan hal serupa untuk
mendapat imbalan sekunder dari sekitarnya seperti perhatian,
uang, dan kebebasan tanggung jawab, pasien dengan
dermatitis artefakta menyebabkan lesi kulit untuk mendapat
imbalan primer dari dirinya sendiri berupa keuntungan
emosional dan psikologis. Kelainan ini umumnya ditemukan
pda wanita terutama dewasa muda hingga dewasa. Pasien
pada kelompok ini umumnya menyangkal bahwa pasien
sendiri yang menyebabkan lesi kulit namun seringkali
kebingungan menjelaskan bagaimana lesi bisa terjadi.1,4
Istilah ekskoriasi neurotik atau ekskoriasi psikologis
digunakan saat pasien sendiri menyebabkan ekskoriasi
(scratch marks) secara repetitif dan kompulsif. Namun tidak

Psychoneuroimmunology in Dermatology 121


seperti pasien pada dermatitis artefakta, pasien pada kondisi
ini mengakui bahwa diri mereka sendiri yang menyebabkan
adanya lesi kulit. Kelainan ini adalah kelainan psikokutaneous
yang paling umum ditemukan, mencapai 2% dari keseluruhan
pasien dermatologi, dan biasanya ditemukan pada wanita usia
pertengahan.1,4
Kelainan psikologi yang umum mendasari dermatitis
artefakta dan ekskoriasi neurotik antara lain episode depresi
berat, gangguan cemas, dan gangguan obsesi-kompulsi.
Kadang pasien menggaruk akibat respon dari ide-ide
delusional dengan didasari oleh gangguan psikosis. Pasien
dengan ekskoriasi neurotik biasanya memiliki depresi
sedangkan pasien dengan dermatitis artefakta biasanya
didasari oleh kelainan psikiatri yang lebih berat seperti
gangguan kepribadian borderline atau psikosis.1,2,4
Secara klinis lesi dermatitis artefakta dapat ditemukan
di seluruh tubuh dengan bentuk lesi dapat menyerupai banyak
dermatosis. Beberapa tanda yang dapat mengarahkan
kelainan ini antara lain lesi umumnya terdapat pada area yang
mudah dijangkau, dengan pola geometris dan tepi bersudut
dan dikelilingi kulit yang normal. Morfologi lesi tampak aneh
dan tidak memenuhi kriteria diagnosis dermatosis lainnya.
Pemeriksaan histopatologi tidak membantu diagnosis.1,4
Pasien ekskoriasi neurotik umumnya menunjukkan
adanya rasa gatal yang hebat yang kemudian menyebabkan
garukan persisten sehingga menyebabkan siklus gatal garuk.
Lesi klinis tampak berupa ekskoriasi dalam berbagai tahap dan
penyembuhan terutama di bagian ekstensor ekstrimitas,
punggung atas, dan wajah. Pasien sering pula tampak dengan
ekskoriasi yang berlebihan dari dermatosis yang sudah ada
sebelumnya seperti folikulitis dan akne.1

Psychoneuroimmunology in Dermatology 122


Pada pasien dengan kelainan dasar depresi yang
menyebabkan ekskoriasi neurotik, salah saru obat
antidepresan yang dapat digunakan adalah doxepin. Doxepin
adalah salah satu antidepresan trisiklik yang memiliki efek
sedatif dan penenang serta efek antipruritus yang kuat. Pasien
dengan depresi dan agitasi serta dengan keluhan gatal yang
hebat dapat secara efektif diobati dengan golongan ini.
Golongan antidepresan seperti SSRIs juga dapat digunakan.2

Trikotilomania
Trikotilomania dari sudut pandang dermatologi adalah suatu
kondisi dimana seseorang mencabut rambutnya sendiri.
Sedangkan dari sudut pandang psikiatri trikotilomania harus
mencakup sifat impulsif dalam pencabutan rambut tersebut.2
Kelainan psikiatri yang mendasari umumnya adalah gangguan
obsesi kompulsi, namun kelainan lain yang dapat mendasari
adalah simple habit disorder, reaksi terhadap situasi stres,
retardasi mental, depresi dan kecemasan, serta delusi yang
meyakinkan pasien bahwa ada sesuatu pada akar rambut yang
harus dicabut. Kondisi terakhir ini dikenal dengan trikofobia.
Beberapa diagnosis banding dari trikotilomania antara lain
alopesia areata, sifilis, dan tinea kapitis.2
Berdasarkan epidemiologi prevalensi berkisar antara
0,5% - 3,5% dengan rerata usia pasien antara 10-13 tahun.
Secara klinis trikotilomania akan tampak sebagai nonscarring
alopecia, dengan rambut patah pada panjang yang bervariasi,
dengan densitas rambut yang normal, serta hair pull test
negatif. Area yang terkena antara lain kulit kepala, bulu mata,
alis dan rambut pubis dengan sebagian besar pasien mencabut
rambut pada lebih dari satu lokasi.1,4

Psychoneuroimmunology in Dermatology 123


Diagnosis trikotilomania dapat ditunjang oleh
pemeriksaan histopatologi, dimana akar rambut mengalami
perubahan yang dikenal sebagai trikomalasia yang hanya
terjadi pada kondisi trikotilomania. Pemeriksaan ini dapat
digunakan jika pasien menyangkal telah mencabut
rambutnya.1,4
Penatalaksanaan trikotilomania tetap berdasarkan
pada kelainan kejiawaan yang mendasari. Karena kelainan
yang paling umum adalah gangguan obsesi kompulsi, terapi
yang digunakan adalah anti obsesi – kompulsi seperti
fluoxetine, paroxetine, fluvoxamine, sertraline, dan
clomipramine. Pendekatan non farmakologi mencakup
psikoterapi dan terapi perilaku.1,2

Body Dismorphic Disorder


Body dismorphic disorder atau dismorfofobia adalah suatu
kondisi kronis yang ditandai dengan adanya perhatian dan
fokus yang berlebihan terhadap defek yang diasumsikan ada
pada penampilan fisik, walaupun sebenarnya penampilan
tampak sepenuhnya normal.3 Kelainan psikologis ini
menyebabkan gangguan fungsi sosial, kualitas hidup yang
rendah, dan respon terhadap pengobatan yang rendah.
Keluhan mengenai penampilan penderita biasanya berpusat
pada 3 area yaitu wajah, kepala, dan kelamin. Kelainan ini
diperkirakan terjadi pada 0,7% - 2,4% dari populasi umum dan
hingga 12% dari pasien dermatologi. Kelainan ini umunya
dihubungkan dengan gangguan mood seperti depresi (37%),
fobia sosial (33%%), dan gangguan obsesi-kompulsi (26%).
Sekitar 80% pasien dengan BDD memiliki keinginan bunuh diri
dan 24%-48% pernah melakukan percobaan bunuh diri.3,4

Psychoneuroimmunology in Dermatology 124


Keluhan pasien BDD dapat berupa defek pada wajah
seperti kemerahan, skar, pori-pori yang besar, rambut halus,
dan adanya asimetri pada wajah. Keluhan seperti kerontokan
rambut, skrotum berwarna merah, dan adanya duh tubuh juga
pernah dilaporkan. Strategi untuk dapat mengurangi defek
yang dikeluhkan dapat berupa kamuflase, berulang kali
memeriksa di cermin atau sebaliknya menghindari cermin,
membandingkan defek dengan bagian tubuh lain, serta
melakukan tindakan/pengobatan untuk ‘mengobati’ defek.
Pasien wanita seringkali terfokus pada penampilan pinggul dan
perut sehingga kelainan ini umum ditemukan bersamaan
dengan bulimia nervosa.3,4
Pasien BDD umumnya akan datang kepada banyak ahli
dermatologi atau ahli bedah plastik berkaitan dengan
pengobatan dari defek yang dirasakan dan senang berpindah-
pindah dokter. Namun, jika pasien menerima pengobatan dan
kemudian tidak menunjukkan perbaikan, pasien seringkali
merasa kecewa, dan mengalami perburukan secara
psikologis.1,3 Hal ini menyebabkan pendekatan secara
kosmetik dan atau bedah aestetik tidak disarankan. Kelainan
BDD ini seringkali bersifat kompleks dan memerlukan
pendekatan multimodal menggunakan terapi medikamentosa
serta terapi kognitif dan perilaku.4 Pendekatan
medikamentosa antara lain menggunakan golongan SSRIs,
clomipramine, dan haloperidol dengan hasil yang bervariasi.3

Kelainan Psikiatri Sekunder


Penyakit kulit jarang mengancam jiwa namun dihubungkan
dengan morbiditas yang signifikan dan sangat mempengaruhi
kualitas hidup. Kelainan psikiatri sekunder mencakup sekitar
30% dari seluruh pasien dermatologi. Penyakit kulit yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 125


bersifat kronis dan mengenai area yang terbuka seperti pada
psoriasis dan vitiligo akan menggangu penampilan fisik dan
menyebabkan rasa malu, depresi, kecemasan, citra diri yang
buruk, rasa percaya diri kurang dan bahkan memicu keinginan
bunuh diri. Seringkali pasien juga menerima diskriminasi dan
isolasi sosial sehingga menambah beban pasien secara
psikologis.1,4

Kelainan Psikofisiologis
Kelainan psikofisiologis adalah kondisi kelainan kulit yang
seringkali dipengaruhi atau diperberat oleh stres emosional.
Klasifikasi kelompok ini diajukan oleh Koo dan Lee bersama
dengan dua kelompok klasifikasi lainnya.7 Kelainan pada
kelompok ini biasanya bersifat multifaktorial, dimana stres
ataupun kondisi psikologis tidak secara langsung sebagai
penyebab dari kelainan kulit yang terjadi namun, merupakan
salah satu faktor pemicu atau faktor yang memperberat.8 Pada
banyak dermatosis kronis, stres emosional dapat memicu
siklus gatal-garuk, sehingga terapi terhadap pasien yang
rekalsitran harus disertai dengan tatalaksana terhadap stres
sebagai faktor yang memperberat. Pasien biasanya merasa
malu mengakui masalah psikologis yang dihadapi, sehingga
diperlukan pendekatan secara perlahan. Kursus manajemen
stres, teknik-teknik relaksasi, musik, atau latihan dapat
membantu menangani masalah pada pasien dalam kondisi
seperti ini. Jika terdapat masalah psikososial atau pekerjaan
yang spesifik, terapi dan konseling yang terkait mungkin dapat
membantu.3,5
Pada pasien dengan stres atau ketegangan yang
memerlukan terapi anti cemas, terdapat dua kelompok
anticemas umum yang dapat dgunakan. Benzodiazepin secara

Psychoneuroimmunology in Dermatology 126


umum dapat digunakan untuk meredakan cemas, stres dan
ketegangan secara cepat, dan digunakan hanya jika
diperlukan. Pada pasien dengan gangguan cemas yang kronis,
golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) secara
umum aman dan efektif. Jika gangguan stres dan cemas
dianggap berat dan pasien memerlukan rujukan ke ahli
kejiwaan, rujukan harus didiskusikan dengan pasien secara
suportif dan diplomatis sehingga pasien dapat menerima
bahwa konsultasi psikiatri diperlukan sebagai penunjang terapi
dermatologi.3

Pengobatan Psikotropika yang Digunakan di Bidang


Dermatologi
Pengobatan psikotropika umum digunakan.pada kondisi-
kondisi penyakit psikokutaneus. Pengobatan ini digolongkan
sesuai dengan kegunaan klinisnya seperti (antidepresan atau
antipsikotik), namun kemudian juga digolongkan berdasarkan
struktur kimia dan/atau mekanisme kerjanya. Beberapa
pengobatan yang umum digunakan pada kondisi ini adalah
golongan antidpresan, anticemas, dan antipsikotik. Beberapa
obat psikotropika yang umum digunakan di Bidang
Dermatologi dapat dilihat pada tabel 3.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 127


Tabel 3. Obat-obatan yang Umum Digunakan pada Kelainan
Psikokutaneous (dikutip dengan perubahan dari kepustakaan
no.5)
Kategori Obat Dosis Efek Samping Keterangan
Umum
Anti
depresan
SSRIs Fluoxetine 20 mg/hari mual muntah, lebih sering
dapat dispepsia, nyeri menyebabkan
ditinggkatkan abdomen, diare, ansietas dan
dgn interval agitasi, insomnia
3-4 minggu insomnia, dibandingkan
sampai dosis hiponatremia SSRis lainnya
maks 60
mg/hari

Sertraline 50-200 sama dengan di discontinuation


mg/hari atas syndrome jika
dihentikan tiba-
Escitalo- 10 mg sekali sama dengan di tiba mencakup
pram sehari atas sakit kepala,
maksimal 20 ansietas,
mg/hari parestesia, flu-
like syndrome,
gangguan tidur

SNRI Venlafaxine 75-150 mg Gastrointestinal, Dihentikan jika


XL sekali sehari palpitasi, tidak berespon
nausea, dalam 8-12
berkeringat, minggu
Tekanan darah
meningkat

Duloxetine mulai pada sama dengan di sedasi kuat, baik


dosis 30 mg atas, nausea untuk keluhan
sekali sehari sangat sering pruritus
maks 120 nocturnal
mg/hari

Psychoneuroimmunology in Dermatology 128


NaSSa Mirtazapine 15 mg sekali peningkatan
sehari nafsu makan dan
(malam hari), berat badan,
naikkan edema, sedasi
dalam 2-4
minggu, maks
45mh/hari

TCA dan Amitriptyline 75 mg sekali prolong QT Overdosis TCA


yang sehari malam interval, dapat berakibat
berkaitan hari sampai peningkatan BB, fatal. Perhatian
150-200/hari hipotensi pada pasien
ortostatik, efek dengan riwayat
samping kejang dan
antikolinergik manik-depresif
karena dapat
Imipramine 75 mg/hari menurunkan
dapat ambang kejang
ditingkatkan dan memicu
sampai episode manik
dengan 150- serta memicu
200 mg/hari bunuh diri

Doxepine mulai dengan


dosis 25 mg
saat malam
dan dititrasi
menjadi 75
mg/hari
Anti- Risperidon mulai dengan sedasi, cemas, aman pada
psikotik dosis 0,25-0,5 dizziness, rinitis, lansia, karena
mg saat fatigue, memiliki efek
malam hari gangguan antikolinergik
dan akomodasi, (mulut kering,
ditingkatkan prolong QT mata kabur,
sampai 4 interval konstipasi,
mg/hari urinary
hesitation) yang
minimal

Psychoneuroimmunology in Dermatology 129


Olanzapine mulai dengan sedasi, efek sangat efektif
dosis 5-10 antikolinergik, pada parasitosis
mg/hari, peningkatan delusional tetapi
titrasi hingga berat badan, tidak menjadi
10-15 sindrom pilihan utma
mg/hari metabolik, DM karena profil
tipe II, dan efek samping
hiperlipidemia yang buruk

Aripiprazole 10mg/hari Efek


ekstrapiramidal,
sindrom
metabolik dan
peningkatan
berat badan
lebih jarang,
tidak memiliki
efek
antikolinergik
Benzodia Lorazepam, 0,5-2 mg/hari sedasi, batasi
zepine Diazepam 15-30 ketergantungan penggunaan
mg/hari hanya 3-4
dalam dosis minggu, jangan
terbagi stop langsung
tanpa dititrasi
untuk
menghindari
rebound
phenomenon

Antihista Hydroxyzine 5-100 mengantuk,


min mg/hari stimulasi
paradoksikal,
sakit kepala,
gangguan
psikomotor, efek
antimuskarinik
seperti retensi
urin, dan mulut
kering

Psychoneuroimmunology in Dermatology 130


Antiepi- Gabapentin mulai dengan Onset lebih
lepsi 300 mg lambat dari
malam hari benzodiazepine
selama 1 tetapi lebih
minggu, jarang
titrasi meneybabkan
menjadi 300 ketergantungan
mg 2 kali
dalam
seminggu

Pregabalin 200-450 mulut kering, hindari


mg/hari dosis konstipasi, mual penghentian
maksimal 600 muntah, mendadak,
mg/hari flatulen, edema, perhatian pada
dizziness, psien dengan
mengantuk, gagal jantung
gangguan kongestif,
memori, kadang gangguan ginjal,
dapat dan kehamilan
menyebabkan
Sindrom
Stevens-Johnson
dan gatal

Pengobatan Non Farmakologi


Dokter kulit perlu melakukan konsultasi dan rujukan kepada
bagian Psikiatri segera setelah memungkinkan bagi pasien.
Beberapa pilihan terapi non farmakologi yang umumnya
digunakan terhadap pasien dengan kelainan psikokutaneous
antara lain terapi kognitif-perilaku, psikoterapi fokus pada
tilikan, hipnosis, mindfullness-based cognitive therapy,
biofeedback, dan terapi keluarga. Tidak terdapat terapi yang
lebih superior dibandingkan lainnya karena setiap terapi
bersifat individual bergantung pada kondisi dan diagnosis
pasien.3,4

Psychoneuroimmunology in Dermatology 131


Peranan Dokter Kulit
Sekitar 20-40% pasien yang datang ke dengan keluhan kulit
juga mengalami gangguan psikiatri dan atau gangguan
psikologi yang berhubungan dengan kelainan kulitnya.1
Sebagian besar pasien ini tidak memiliki tilikan mengenai
peranan psikogenik dalam keluhannya sehingga akan menolak
berbagai bentuk rujukan ke psikiatri.5 Sebagai dokter kulit yang
pertama kali menerima pasien dalam kondisi seperti ini
diharapkan memiliki kewaspadaan dan pengetahuan
mengenai diagnosis yang umum, manifestasi klinis baik secara
dermatogi maupun psikiatri, serta dasar-dasar pengobatan
yang diperlukan. Dokter kulit diharapkan dapat
mengidentifikasi kelainan psikiatri primer dengan manifestasi
kulit, menilai sejauh mana peranan stres pada kelainan
psikofisiologis, dan seberapa besar beban psikologis pada
pasien dengan kelainan dermatologis primer.4 Dokter kulit juga
diharapkan dapat memulai terapi non farmakologis serta
terapi farmakologis dasar pada kelainan psikokutaneous dan
harus mengetahui kapan waktu yang ideal untuk melakukan
rujukan ke ahli jiwa. Dokter kulit hendaknya dapat melakukan
pendekatan yang simpatik dan dapat menjadi jembatan bagi
pasien untuk berkonsultasi dengan psikiater maupun psikolog
untuk mendapat penanganan yang komprehensif.1,4,5

Daftar Pustaka
1. Rieder E, Tausk FA. Psychocutaneous Skin Disease. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:
McGraw-Hill; 2012, p. 1158-65.
2. Koo J, Lebwohl A. Psychodermatology: The Mind and Skin
Connection. AAFP 2001; 64(11): 1873-78.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 132


3. Jafferany M. Psychodermatology: A Guide to Understanding
Common Psychocutaneous Disorders. J Clin Psychiatry 2007;
9(3): 203-13.
4. Yadav S, Narang T, Kumaran S. Psychodermatology: A
Compregensive Review. IJDVL 2013; 79(2): 176-92.
5. Bewlwy A. Psychodermatology and Psychocutaneous Medicine.
Dermatol Nurs 2011; 10(3): 28-31.
6. Rodriguez-Cerdeira C, Pera-Grasa JT, Molares A, Isa-Isa R,
Arenas-Guzman R. Psychodermatology: Past, Present and
Future. Open Dermatol J 2011;5:21-7.
7. Koo JYM, Lee CS. General Approach to Evaluating
Psychodermatological Disorders. In: Koo JYM, Lee CS, eds.
Psychocutaneous Medicine. New York: Mercel Dekker, Inc;
2003:1-29.
8. Harth W, Gieler U, Kusnir D, Tausk FA. Introduction. In: Harth W,
Gieler U, Kusnir D, Tausk FA, eds. Clinical Management in
Psychodermatology. Berlin: Springer-Verlag; 2009: 3-7.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 133


Psychoneuroimmunology in Dermatology 134
STRESS QUESTIONNAIRE: STRESS INVESTIGATION FROM
DERMATOLOGIST PERSPECTIVE

dr. IGAA Elis Indira, Sp.KK


Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar-Bali

Abstrak
Penyakit kulit sangat erat kaitannya dengan stres psikologis.
Sebanyak 30% penyakit kulit dikatakan tertangani dengan
lebih baik dan efektif jika mempertimbangkan faktor
psikososialnya. Stres secara definisi adalah akibat dari
kegagalan tubuh untuk merespon dengan baik tekanan fisik
maupun emosional. Stres ini dapat menjadi faktor yang
berperan penting dalam banyak penyakit kulit seperti
dermatitis atopi, psoriasis, urtikaria dan akne. Saat ini banyak
dikembangkan teknik untuk melakukan penilaian stres, dan
kuesioner nampaknya merupakan alat bantu yang mudah dan
banyak digunakan untuk menilai stres. Sayangnya, di Bidang
Dermatologi belum terdapat metode yang baku mengenai
penilaian stres pada berbagai penyakit kulit. Beberapa
kuesioner stres yang umum dan telah diterima luas seperti
Depression Anxiety and Stress Scale (DASS-21), Perceived
Stress Scale (PSS-10), Subjective Units of Distress Scale (SUDS),
The Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D), dan
Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A) merupakan kuesioner
yang sering digunakan untuk mengevaluasi tingkat stres
utamanya dalam berbagai penelitian di Bidang Dermatologi.
Dalam praktek klinis sehari-hari perhatian terhadap faktor
psikososial dan penilaian tingkat stres pada pasien dengan
penyakit kulit perlu ditingkatkan sehingga dicapai penanganan
yang komprehesif dan tingkat kesembuhan yang lebih tinggi.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 135


Kata kunci: kuesioner stres, dermatologi, DASS, PSS, SUDS,
HAM-D, HAM-A

Abstract
Skin disease are closely related with psychological stress.
Consideration of psychosocial factor is essential for managing
an estimated 30% of dermatologic disorders effectively. Stress
by definition is the consequences of the failure of the human
body to respond appropriately to emotional or physical threats.
Stress played an important factor of many skin diseases such
as atopic dermatitis, psoriasis, urticaria and acne. Nowdays,
various technique were developed for examination of stress
level, and questionnaire is a simple, easy and common
measurement tool to evaluate stress. Unfortunately, there is no
standard measures of stress in dermatologic patients yet. Some
general stress questionnaires such as Depression Anxiety and
Stress Scale (DASS-21), Perceived Stress Scale (PSS-10),
Subjective Units of Distress Scale (SUDS), The Hamilton Rating
Scale for Depression (HAM-D), and Hamilton Anxiety Rating
Scale (HAM-A) are largely use to evaluate stress especially in
various research of dermatologic patients. Increased uses of
these tools in daily clinical practice might be beneficial in order
to deliver a comprehensive treatment to patients with skin
disease.
Key word: stress questionairres, skin disease, DASS, PSS, SUDS,
HAM-D, HAM-A

Pendahuluan
Stres adalah respon mental dan fisiologi tubuh terhadap
stimulus atau ancaman fisik maupun emosional.1 Stres
emosional dapat menjadi faktor pencetus berbagai penyakit
kulit seperti dermatitis atopik, psoriasis, dermatitis seboroik
dan urtikaria. Penyakit-penyakit kulit tersebut dimasukan
kedalam kelainan psikofisiologi yang merupakan bagian dari
kelainan psikokutaneus atau psikodermatologi. Kelainan kulit

Psychoneuroimmunology in Dermatology 136


yang menganggu secara kosmetik menimbulkan rasa malu,
depresi, rasa cemas dan kepercayaan diri rendah. Pasien juga
dapat mengalami masalah sosial seperti diskriminasi dari
lingkungan sosial dan kesulitan untuk mendapatkan
pekerjaan.2
Dokter harus mampu melihat peran dari faktor stres
emosional pada penyakit kulit kronis, karena sebagian besar
pasien tidak mengeluhkan dampak psikologis yang terjadi
akibat penyakit yang dialaminya.2 Sangat penting menilai
tingkat stres pada pasien dengan kelainan kulit kronis yang
rekalsitran agar pasien mendapatkan penanganan yang lebih
komperhensif.3
Belum tersedianya pemeriksaan standar untuk menilai
tingkat stres, maka klinisi menggunakan tiga pendekatan, yaitu
pendekatan lingkungan, psikologi dan biologi. Pendekatan
lingkungan menekankan pada suatu kondisi yang memicu stres
(stresor). Pendekatan psikologi yaitu kemampuan individu
dalam menerima suatu stresor dan pendekatan biologi adalah
respon biologi tubuh terhadap stresor. Kuesioner merupakan
alat bantu untuk menilai tingkat stres melalui pendekatan
lingkungan serta psikologis dan sebagai biomarker pada
pendekatan biologi.4 Kuesioner yang sering digunakan untuk
menilai tingkat stres dibidang dermatologi adalah Depression
Anxiety and Stress Scale (DASS-21), perceived stress scale (PSS-
10).3,4,5 Beberapa metode penilaian lain seperti Subjective
Units of Distress Scale (SUDS), The Hamilton Rating Scale for
Depression (HAM-D) dan Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-
A) juga beberapa kali digunakan terutama pada penelitian di
Bidang Dermatologi.6,7 Dalam praktek klinis sehari-hari
penilaian stres oleh seorang ahli dermatologi tidak umum
dilakukan, namun mengingat eratnya hubungan antara stres

Psychoneuroimmunology in Dermatology 137


dan penyakit kulit, beberapa penilaian stres secara sederhana
dengan menggunakan kuesioner perlu dipertimbangkan pada
kasus-kasus tertentu.

Stres
Stres adalah ketidakmampuan mengatasi ancaman yang
dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan spiritual manusia,
yang pada suatu ketika dapat mempengaruhi kesehatan
individu tersebut.8 Sumber stress atau disebut dengan stresor
dapat bersumber dari luar dan dalam tubuh. Radiasi, suhu, zat
kimia dan trauma merupakan stresor dari luar. Stresor dari
dalam dikenal dengan stresor psikologis berupa rasa frustasi,
kecemasan, rasa bersalah, khawatir berlebih, marah, benci
ataupun rasa sedih.2
Stres dapat dibagi menjadi beberapa konsep yaitu:
stres fisiologis, psikologis dan sosial. Stres secara fisiologis
dapat meningkatkan kadar hormon kortisol, denyut jantung,
tekanan darah dan mempengaruhi respon inflamasi dan
sistem imun. Stres secara psikologis dihubungkan dengan
emosi negatif seperti rasa takut dan cemas, sedangkan stres
terkait faktor sosial dihubungkan dengan lingkungan kerja atau
tempat tinggal serta interaksi antar personal yang negatif.1
Tingkat stres dapat dinilai dari tahapan stres yang
dialami individu tersebut. Stres menurut Hawari terdiri dari
enam tahapan stres. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu
stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang sangat berat
dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan pekerjaan
tanpa memerhitungkan tenaga yang dimilikinya, pada tahapan
ini penglihatan menjadi tajam. Stres tahap kedua, yaitu stres
yang disertai dengan keluhan dan ketidaknyamanan fisik
seperti perut tidak nyaman, jantung berdebar, otot tengkuk

Psychoneuroimmunology in Dermatology 138


dan punggung tegang. Stres tahap ketiga merupakan tahapan
stres yang disertai dengan keluhan dan ketidaknyamanan fisik
seperti diare, otot semakin tegang, emosional, insomnia,
koordinasi tubuh terganggu dan mudah jatuh pingsan. Stres
tahap keempat ditandai dengan tidak mampu bekerja
sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan
menjenuhkan, timbul ketakutan dan kecemasan. Stres tahap
kelima ditandai dengan kelelahan fisik dan mental,
ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana
dan ringan, gangguan pencernaan ringan dan berat,
meningkatnya rasa takut, cemas, bingung dan panik. Stres
tahap keenam merupakan tahapan stres yang paling berat
yang ditandai, seperti jantung berdebar keras, sesak nafas,
badan gemetar, dingin dan banyak keluar keringat, pingsan
atau collaps.9

Penyakit Kulit dan Stres


Respon stress dalam tubuh diatur oleh suatu komplek sistem
neuroendokrin. Respon adaptasi stress dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu, genetik dan lingkungan.
Ketidakmampuan dalam menghadapi stresor dalam bentuk
reaksi yang tidak adekuat, berlebihan dan berkepanjangan
akan menyebabkan penyakit pada individu tersebut.10
Penyakit psikodermatologi atau psychocutaneous
disease adalah kondisi penyakit yang mencakup adanya
interaksi antara pikiran dan kulit. Kelainan ini secara umum
dibagi menjadi 3 yaitu: (1) kelainan psikiatri primer merujuk
pada kelainan psikitri yang mendasari adanya manifestasi kulit
yang dipicu oleh penderita sendiri (self induced skin
manifestation), seperti contohnya trikotilomania dan
delusional parasitosis; (2) kelainan dermatologi primer

Psychoneuroimmunology in Dermatology 139


merujuk pada kelainan kulit yang menyebabkan gangguan
penampilan/disfigurement sehingga menyebabkan masalah
psikiatri seperti depresi dan antisosial; (3) kelainan
psikofisiologi adalah kondisi kelainan kulit yang seringkali
dipengaruhi atau diperberat oleh stres emosional. Kelainan
pada kelompok ini biasanya bersifat multifaktorial, dimana
stres ataupun kondisi psikologis tidak secara langsung sebagai
penyebab dari kelainan kulit yang terjadi, namun merupakan
salah satu faktor pemicu atau faktor yang memperberat.11
Beberapa penyakit kulit yang termasuk kedalam kelainan
psikofisiologi antara lain: akne, alopesia areata, dermatitis
atopik, psoriasis, rosasea, dermatitis seboroik, urtikaria.2

Kuesioner Stres yang Dapat Digunakan di Bidang Dermatologi


Kuesioner stres yang spesifik di Bidang Dermatologi atau yang
spesifik pada penyakit kulit tertentu belum tersedia. Beberapa
kuesioner yang umum digunakan dalam penilaian stres dapat
digunakan untuk membantu mengevaluasi pasien dengan
kelainan kulit yang berhubungan dengan stres. Beberapa
metode kuesioner berikut pernah digunakan dalam penelitian
penyakit kulit yang berhubungan dengan stres.

Depression Anxiety and Stress Scale (DASS)


Depression Anxiety and Stress Scale adalah kuesioner untuk
menilai depresi, rasa cemas dan stress. Kuesioner ini bukan
sebagai alat bantu diagnosis namun sebagai alat untuk
menentuka tingkat keparahan kondisi stress. Depression
Anxiety and Stress Scaletelah diterjemahkan kedalam
beberapa bahasa dan digunakan secara luas dalam praktik
sehari-hari maupun dalam ruang lingkup penelitian.5

Psychoneuroimmunology in Dermatology 140


Kuesioner ini mudah diaplikasikan pada populasi dan
tidak membutuhkan pelatihan khusus dalam penggunaannya.
Depression Anxiety and Stress Scalememiliki dua versi yaitu
DASS-42 dan DASS-21. DASS-12 merupakan versi pendek dari
DASS-42.5 DASS-21 terdiri dari dua puluh satu pernyataan yang
terdiri dari masing-masing tujuh pernyataan untuk menilai
depresi, rasa cemas dan menilai stress.12
Setiap pertanyaan diberikan skor 0 hingga 3, kemudian
skor pada masing-masing kategori dijumlahkan dan dilakukan
interpertasi normal, ringan, sedang, berat dan sangat berat.12
Interpretasi hasil penjumlahan skor pada DASS-21
ditampilakan pada table 1.

Tabel 1. Interpretasi hasil DASS-21


Kategori Depresi Rasa cemas Stress
Normal 0-9 0-7 0-14
Ringan 10-13 8-9 15-18
Sedang 14-20 10-14 19-25
Berat 21-27 15-19 26-33
Sangat berat 28+ 20+ 34+

Perceived Stress Scale (PSS-10)


Perceived Stress Scale merupakan kuesioner yang telah
terstandar dan memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang
tinggi. Kuesioner ini dibuat oleh Sheldon Cohen, mampu
mengukur persepsi global dari stres yang memberikan
beberapa fungsi penting. Perceived Stress Scale dapat
memberikan informasi mengenai kondisi penyebab stres yang
dapat mempengaruhi kondisi fisik atau patologi dan dapat
digunakan untuk menilai tingkat stres.13
Perceived Stress Scale terdiri dari sepuluh pertanyaan,
terdapat enam pertanyaan negatif dan empat pertanyaan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 141


positif. Setiap pertanyaan diberikan skor dari 0 hingga 4. Skor
0 untuk jawaban tidak pernah, skor 1 untuk jawaban hampir
tidak pernah, skor 2 untuk jawabaan kadang-kadang, skor 3
untuk jawaban sering dan skor 4 untuk jawaban sangat sering.
Nilai skor ini dibalik untuk menjawab pertanyaan positif,
sehingga skor 0 = 4, skor 1 = 3, skor 2 = 2 dan seterusnya.
Pertanyaan positif pada kuesioner ini terdapat pada
pertanyaan nomer 4, 5, 7 dan 8. Tingkat stress diketahui
setelah menjumlahkan semua skor dari sepuluh pertanyaan
yang terdapat pada kuesioner PSS. Total skor 13 menunjukan
nilai rata-rata atau masih dikatakan dalam batas normal. Skor
stres sekitar 20 atau lebih menunjukan terdapat stres yang
berat. Jika hal tersebut terjadi disarankan untuk belajar untuk
mengurangi stress dengan berolahraga tiga kali dalam
seminggu.13,14

Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A)


Hamilton Anxiety Rating Scale ini merupakan sistem skoring
pertama yang dikembangkan untuk menilai tingkat kecemasan
dan sampai saat ini masih digunakan secara luas dalam praktek
klinis maupun dalam penelitian. Sistem penilaian ini harus
dipandu oleh klinisi dalam waktu 10-15 menit dan dapat
digunakan pada populasi dewasa, remaja, dan anak-anak.
Sistem skoring ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Prancis, Spanyol, dan Mandarin.7
Sistem skoring HAM-A ini mencakup 14 hal yang
didefinisikan dengan serangkaian gejala untuk menilai baik
kecemasan secara psikis, maupun kecemasan secara somatik.
Setiap hal dinilai dengan skala dari 0 (tidak ada) – 4 (berat),
dengan total skor antara 0-56. Skor bernilai <17 menunjukkan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 142


kecemasan ringan, 18-24 menunjukkan kecemasan ringan-
sedang, dan skor 25-30 menunjukkan kecemasan berat.7

Hamilton Depression Rating Scale (HAM-D)


Hamilton Depression Rating Scale dikembangkan oleh Dr. Max
Hamilton dari Universitas Leeds, Inggris pada tahun 1960.
Sejak Saat itu sistem skoring ini telah digunakan secara luas
dalam praktek klinis dan menjadi standar dalam uji klinis
farmasi, dimana sistem ini terbukti sangat bermanfaat dalam
menentukan tingkat depresi seseorang sebelum, selama, dan
setelah pengobatan. Pengisian kuesioner ini sebaiknya
dilakukan oleh klinisi yang berpengalaman.6
Penilaian tingkat depresi berdasarkan HAM-D ini
berdasarkan pada 17 item pertama, walaupun dalam
kuesionernya terdapat 21 daftar pernyataan. Secara umum
pengisian kuesioner ini memerlukan 15-20 menit. Terdapat 8
item yang diskoring dengan 5 skala, dari 0 = tidak ada sampai
dengan 4 = berat. Sedangkan 9 item diskoring dengan nilai 0-
2. Interpretasi dari sistem skoring HAM-D adalah dengan
menjumlahkan 17 item pertama dengan hasil 0-7 adalah
normal, 8-13 depresi ringan, 14-18 depresi sedang, 19-22
depresi berat, dan >23 depresi sangat berat.6

Subjective Units of Distress Scale (SUDS)


Subjective Units of Distress Scale (SUDS) atau dikenal dengan
distress thermometer adalah skala penilaian stres yang dapat
dinilai sendiri oleh pasien. Awalnya terdiri atas skala 0-100
tetapi kemudian disederhanakan menjadi 0-10, dimana 0
adalah relaksasi total dan 10 adalah level stres tertinggi.
Interpretasi dari penilaian ini adalah 0-3 berupa zona hijau
atau netral berupa stres normal dalam kehidupan sehari-hari.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 143


Penilaian 4-6 dianggap zona kuning dengan tingkat stres
sedang, kadang stres dapat diatasi tetapi kadang tidak, dan
menyebabkan distres subjektif tetapi tidak mengalami
gangguan fungsi. Tingkat stres 7-10 dianggap sebagai zona
merah dengan tingkat stres paling tinggi, tidak dapat diatasi
dengan efektif, terdapat distres subjektif dan dan gangguan
fungsi. Pada tahap ini biasanya terjadi gangguan tidur, daya
tahan menurun, ingatan terganggu, tidak dapat mebuat
keputusan, tidak dapat berpikir kreatif, dan sangat reaktif
terhadap lingkungan sekitar.15,16

DAFTAR PUSTAKA
1. Solowiey, K, Mason, V, Upton, D. Review of The Relationship
Between Stress and Wound Healing Part 1. J Wound Care 2009:
18 (9): 1-6.
2. Yadav, S, Narang, T, Kumaran, S, M. Psychodermatology: A
Comprehensive Review. Indian J Dermtol Venereol Leprol 2013:
79 (2): 176-92.
3. Tran, TD, Tran, T, Fisher, J. Validation of The Depression Anxiety
Stress Scales (DASS) 21 as a Screening Instrument for Depression
and Anxiety in a Rural Community-based Cohort of Northern
Vietnamese Woman. BMC Psychiatry, 2013: 13 (24): 1-7.
4. Andreou, E, Alexopoulos, EC, Lionis, C, Varvogli, L, Gnardellis, C,
Chrousos, GP, Darviri, C. Perceived Stress Scale: Reliability and
Validity Study in Greece. Int J Environ Res Public Health 2011: 8:
4287-98.
5. Musa, R, Fadzal, MA, Zain, Z. Translation, Validation and
Psychometric Properties of Bahasa Malaysia Version of the
Depression Anxiety and Stress Scales (DASS). ASEAN J Psychiatry
2007: 8 (2): 82-89.
6. Hedlund, JL, Vieweg, BW. The Hamilton Rating Scale for
Depression. J Operational Psychiatry, 1979; 10(2): 145-165.
7. Hamilton, M. The Assessment of Anxiety States by Rating. Br J
Med Psychol 1959; 32: 50-5.
8. Cohen, S, Deverts, DJ, Miller, GE. Psychological Stress and
Disease. JAMA 2007; 298 (14): 1685-7.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 144


9. Hawari, D. Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Balai Penerbit
FKUI, 2001.
10. Gupta, MA. Psychosocial Aspects of Common Skin Disease. Can
Fam Physician 2002; 48: 660-2.
11. Koo JYM, Lee CS. General Approach to Evaluating
Psychodermatological Disorders. In: Koo JYM, Lee CS, eds.
Psychocutaneous Medicine. New York: Mercel Dekker, Inc;
2003:1-29.
12. Lovibond, SH, Lovibond, PF. Manual for the Depression Anxiety
& Stress Scales. 2nd Ed. Sydney: Psychology Foundation.1995.
13. Lee, EH. Review of the Psychometric Evidence of the Perceived
Stress Scale. Asian Nurs Res 2012; 6: 121-7.
14. Harth W, Gieler U, Kusnir D, Tausk FA. Introduction. In: Harth W,
Gieler U, Kusnir D, Tausk FA, eds. Clinical Management in
Psychodermatology. Berlin: Springer-Verlag; 2009: 3-7.
15. Wolpe, J. The Practice of Behaviour Therapy. 4th ed. New York:
Pergamon Press.
16. Kim, D, Bae, H, Park, YC. Validity of The Subjective Units of
Disturbance Scale in EMDR. J EMDR Pract Res 2008; 2(1): 57-62.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 145


Lampiran 1.

DEPRESSION ANXIETY AND STRESS SCALE (DASS)


Baca pernyataan dan lingkari nomer 0, 1, 2 atau 3, yang
menunjukan kondisi anda satu minggu terakhir. Tidak ada
jawaban salah atau benar. Jangan menghabiskan waktu terlalu
banyak untuk menjawab setiap pernyataan.
Skor:
0 tidak pernah dialami
1 kadang dialami
2 sering dialami
3 sangat sering dialami

1 (s) saya sulit untuk ditenangkan 0 1 2 3


2 (a) saya merasa mulut saya 0 1 2 3
kering
3 (d) saya tidak dapat merasakan 0 1 2 3
perasaan yang positif
4 (a) saya mengalami kesulitan 0 1 2 3
bernafas
5 (d) saya sulit mendapatkan 0 1 2 3
semangat untuk melakukan
sesuatu
6 (s) saya cenderung bertindak 0 1 2 3
berlebihan
7 (a) saya mengalami gemetaran 0 1 2 3
pada tangan
8 (s) saya merasakan 0 1 2 3
menggunakan banyak energi
untuk cemas
9 (a) saya merasa khawatir 0 1 2 3
terhadap situasi yang membuat
saya panik dan melakukan hal
yang bodoh
10 (d) saya merasa tidak memiliki 0 1 2 3
masa depan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 146


11 (s) saya merasa semakin 0 1 2 3
gelisah
12 (s) saya sulit untuk rileksasi 0 1 2 3
13 (d) saya merasa sedih dan 0 1 2 3
murung
14 (s) saya merasa tidak sabar 0 1 2 3
terhadap sesuatu yang membuat
saya bertahan dengan apa yang
telah saya lakukan
15 (a) saya mudah menjadi panic 0 1 2 3
16 (d) saya tidak antusias 0 1 2 3
terhadap sesuatu
17 (d) saya merasa tidak berharga 0 1 2 3
18 (s) saya mudah tersentuh 0 1 2 3
19 (a) saya merasakan kerja 0 1 2 3
jantung saya
20 (a) saya merasa takut tanpa 0 1 2 3
alasan yang jelas
21 (d) saya merasa hidup ini tidak 0 1 2 3
berarti

Psychoneuroimmunology in Dermatology 147


Lampiran 2

PERCEIVED STRESS SCALE (PSS-10)


PETUNJUK: Jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini
dengan melingkari jawaban yang tepat.
Pada bulan lalu:
Pertanyaan Tidak Hampir Kadang- Sering Sangat
pernah tidak kadang sering
pernah
1. Seberapa sering 0 1 2 3 4
anda sering
merasa kecewa
karena yang
terjadi tidak
sesuai dengan
apa yang anda
harapkan ?
2. Seberapa sering 0 1 2 3 4
anda merasa
tidak dapat
mengendalikan
hal-hal penting
dalam hidup
anda?
3. Seberapa sering 0 1 2 3 4
anda merasa
gelisah dan
tegang?
4. Seberapa sering 4 3 2 1 0
anda merasa
yakin mengenai
kemampuan
anda dalam
menangani
masalah-
masalah pribadi
anda?
5. Seberapa sering 4 3 2 1 0
anda merasa

Psychoneuroimmunology in Dermatology 148


bahwa segalanya
berjalan sesuai
dengan
keinginan anda?
6. Seberapa sering 0 1 2 3 4
anda
mendapatkan
bahwa anda
tidak dapat
mengatasi segala
hal yang harus
anda lakukan
7. Seberapa sering 4 3 2 1 0
anda mampu
mengontrol
gangguan dalam
hidup anda?
8. Seberapa sering 4 3 2 1 0
anda merasa
senang dengan
segala hal yang
anda lakukan?
9. Seberapa sering 0 1 2 3 4
anda merasa
marah karena
sesuatu yang
terjadi diluar
kendali anda?
10. Seberapa 0 1 2 3 4
sering anda
merasa begitu
banyak kesulitan
sehingga anda
tidak mampu
mengatasinya?

Psychoneuroimmunology in Dermatology 149


Lampiran 3.

HAMILTON ANXIETY RATING SCALE (HAMA-A)

Lampiran 4.

Lampiran 5.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 150


Lampiran 4

Psychoneuroimmunology in Dermatology 151


Lampiran 5

Psychoneuroimmunology in Dermatology 152


UJI TUSUK DAN UJI TEMPEL

dr. Nyoman Suryawati, M.Kes, Sp.KK


Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak
Uji kulit merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang
dapat membantu klinisi menetapkan penyebab alergi. Ada dua
jenis uji kulit yaitu tes tusuk (skin prick test) dan tes tempel
(skin patch test). Tes tusuk digunakan untuk mendiagnosis
reaksi hipersensitivitas tipe cepat, sedangkan tes tempel
digunakan untuk mendiagnosis reaksi hipersensitivitas tipe
lambat.
Kata Kunci: Uji Kulit, Uji Tusuk, Uji Tempel

UJI TUSUK
Uji tusuk atau skin prick test (SPT) merupakan metode
diagnosis untuk penyakit alergi yang dimediasi
immunoglobulin E (Ig E) seperti pada pasien dengan
rinokonjungtivitis, asma, urtikaria, anafilaksis, dermatitis
atopik, kecurigaan alergi makanan, dan alergi obat.1 Tes tusuk
merupakan pilihan utama untuk mendiagnosis alergi karena
hasil tes dapat diandalkan, aman, mudah, minimal invasif,
relatif murah, dapat mendeteksi multipel alergi dalam 15-20
menit tes dan reproducible jika dilakukan oleh professional
kesehatan yang terlatih.2 Pemeriksaan ini dapat dikerjakan
pada dewasa dan anak-anak. Uji tusuk cukup baik dalam
mendiagnosis alergi inhalan dengan spesifisitas (70-95%) dan
sensitivitas (80-97%), sedangkan untuk alergi makanan,
spesifisitas berkisar (30-90%) dan sensitivitas (20-60%)
tergantung tipe alergen dan tehnik yang digunakan. 1

Psychoneuroimmunology in Dermatology 153


Indikasi Uji Tusuk
- Untuk mengetahui alergen penyebab/ pencetus
berbagai penyakit yang didasari reaksi hipersensitifitas
tipe I/diperantarai Ig E misalnya urtikaria, asma2-4
- Sindroma urtikaria kontak, protein kontak dermatitis3
- Sebelum memulai imunoterapi dan selama monitoring
perkembangan imunoterapi2
- Deteksi dini perkembangan terjadinya asma, rinitis
alergi2
- Deteksi dini sensitisasi alergen makanan untuk
mengurangi risiko terjadinya anafilaksis yang
berhubungan dengan makanan 2

Indikasi Kontra Uji Tusuk


- Dermatografisme2
- Reaksi anafilaksis terhadap beberapa alergen2
- Kekambuhan penyakit kulit misalnya lesi urtika,4
dermatitis atopik yang berat 2
- Pasien dalam terapi antihistamin, kortikosteroid dosis
tinggi (>10 mg/hari), kortikosteroid topikal, obat
antidepresan (imipramin, fenotiasin), dopamin,
klonidin4
- Pasien menggunakan krim atau pelembab pada lokasi
uji tusuk4
- Terdapat lesi kulit pada lokasi tindakan yang
mengganggu pelaksanaan atau pembacaan hasil4
- Kehamilan2,4

Psychoneuroimmunology in Dermatology 154


Alat dan Bahan Uji Tusuk4,5
1. Ekstrak alergen beserta kontrol positif (histamine
chlorhidrate solution/codein phosphate solution 9%)
dan kontrol negatif (saline)
2. Jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet
3. Alkohol 70%, kapas, tisu
4. Alat tulis : penggaris (diameter), spidol/pulpen untuk
interpretasi hasil

Metode Uji Tusuk


Ada 2 metode uji tusuk yang umum digunakan. Prick puncture
test yang menggunakan lancet dengan ujung sepanjang 1 mm
dan terdapat bahu yang berperanan untuk mencegah
penetrasi yang berlebihan. Metode kedua modified prick test
yaitu melakukan tusukan pada tetesan ekstrak alergen,
kemudian ujung jarum dinaikkan secara hati-hati untuk
mengangkat lapisan epidermal tanpa menyebabkan
perdarahan. 4

Prosedur Uji Tusuk4


- Posisi pasien diatur agar merasa nyaman, uji tusuk
dilakukan pada bagian atas punggung atau bagian
volar lengan bawah
- Kulit lokasi uji tusuk dibersihkan dengan alkohol 70%
dan dibiarkan kering sendiri atau dikeringkan dengan
tisu
- Tandai kulit dengan penggaris dan spidol/pulpen
untuk masing-masing alergen dengan jarak yang cukup
(jarak minimal 1,5-2 cm, bila memungkinkan jarak
ideal 3,5 cm)

Psychoneuroimmunology in Dermatology 155


- Teteskan satu tetes larutan histamin sebagai kontrol
positif dan satu tetes larutan normal salin sebagai
kontrol negatif dan satu tetes ekstrak alergen sesuai
jenis alergen yang dicurigai
- Lakukan tusukan melaui larutan yang sudah diteteskan
tersebut dengan jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau
blood lancet dengan menggunakan metode prick
puncture test atau modified prick test, hindari
terjadinya perdarahan pada lokasi uji tusuk
- Pembacaan hasil uji tusuk dapat dilakukan setelah 15-
10 menit
- Alergen dibersihkan dengan tisu yang menyerap
alergen dan tidak boleh digosok.

Pembacaan Dan Interpretasi Hasil Uji Tusuk


Reaksi yang timbul berupa eritema/kemerahan dan
edema/bentol. Apabila kurang dari 15 menit terjadi wheal
yang sangat lebar, kulit sebaiknya dibersihkan dari larutan
alergen untuk menghindari terjadinya reaksi sistemik/reaksi
anafilaksis.
Pada pembacaan, kontrol positif harus timbul
urtika/bentol dan kontrol negatif harus tidak terjadi reaksi.
Secara umum reaksi uji tusuk dinyatakan positif jika terjadi
reaksi minimal 3 mm atau setidaknya setengah reaksi yang
timbul akibat histamin (gambar 1).1,4 Reaksi uji tusuk perlu
dievaluasi dan diinterpretasi dengan hati-hati serta dinilai
relevansi klinisnya.5

Psychoneuroimmunology in Dermatology 156


Gambar 1. Hasil reaksi positif pada uji tusuk dengan kontrol
positif dan kontrol negatif.5

Hasil uji tusuk dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor


seperti lokasi uji tusuk, obat-obatan (tabel 1), usia, ritme
harian dan variasi musim, kualitas ekstrak alergen, kondisi
patologi kulit, dan imunoterapi.4 Hasil uji tusuk harus
mempertimbangkan kemungkinan hasil reaksi false positive
atau false negative. 4,5
Hasil reaksi false positive terjadi bila:
- Reaksi pada kontrol negatif didapatkan hasil reaksi
yang positif, jika seluruh lokasi uji tusuk memiliki hasil
positif akibat reaksi kuat oleh alergen yang
berdekatan4,5
- Jika pasien memiliki dermografisme4,5
Hasil reaksi false negative terjadi bila:
- Reaksi pada kontrol positif didapatkan hasil reaksi
lemah atau reaksi yang negatif4,5
- Kualitas alergen yang buruk,5 waktu pembacaan tidak
adekuat, 4,5 tehnik tusukan yang salah 5
- Jika pasien mendapat terapi anti histamine atau
kortikosteroid oral4,5

Psychoneuroimmunology in Dermatology 157


Tabel 1. Pengaruh beberapa terapi terhadap hasil uji tusuk. 6

Reaksi Simpang Uji Tusuk:4


Uji tusuk dapat menimbulkan reaksi simpang/adverse
reactions seperti dapat terjadi reaksi anafilaksis (sangat jarang
terjadi), dan dapat menimbulkan rasa tidak nyaman
(umumnya dapat ditoleransi oleh penderita bahkan oleh bayi
maupun anak kecil).

Psychoneuroimmunology in Dermatology 158


UJI TEMPEL
Uji tempel (skin patch test) ditujukan untuk menimbulkan
miniatur reaksi eksematosa dengan cara menempelkan
alergen dengan tehnik oklusi pada kulit pasien yang intak dan
dicurigai memiliki alergi terhadap bahan tertentu.7
Pemeriksaan ini merupakan suatu visualisasi in vivo terhadap
fase elisitasi dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat (reaksi
tipe IV).7,8 Pada awalnya uji tempel digunakan untuk
mendeteksi alergen penyebab pada dermatitis kontak alergi,
tetapi dalam perkembangannya dapat digunakan untuk
mengetahui obat penyebab pada kasus erupsi kulit akibat
obat.7

Indikasi
- Dermatitis kontak alergi8,9
- Sindroma dermatitis kontak alergi (Allergic contact
dermatitis syndrome)9
- Untuk membedakan dermatitis kontak alergi atau
dermatitis kontak iritan8,9
- Dermatitis kronis dengan penyebab yang belum
diketahui8
- Kondisi penyakit eczematous (endogenous) seperti :
dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis
seboroik, asteatotic eczema, dermatitis stasis, lesi
eksim di sekitar ulkus pada tungkai, pomfoliks atau
dyshidrotic eczema, likenifikasi, eczematous psoriasis
(telapak tangan dan telapak kaki)9

Psychoneuroimmunology in Dermatology 159


Indikasi Kontra 8
- Menderita dermatitis akut
- Mengonsumsi obat-obatan yang dapat
memepengaruhi reaksi kulit seperti steroid, anti
histamin, dan imunomodulator

Persiapan Uji Tempel8


- Lesi kulit harus sudah tenang
- Tidak mengonsumsi imunosupresan atau
kortikosteroid sistemik (prednisone <10 mg/hari)
minimal 7 hari (1 minggu) sebelum tes atau sesuai
dengan waktu paruh obat
- Untuk alergen non standar perlu pengenceran
1/1.000, 1/100, 1/10

Alat dan Bahan Uji Tempel7,8


1. Alergen standar (Trolab, Chemotechnique,
allergEAZE/SmartPractice Canada) dan non standar
2. Unit uji tempel
3. Plester hipoalergenik

Prosedur Uji Tempel7,8


- bahan alergen yang akan diujikan diisikan pada unit uji
tempel dan diberi tanda
- uji tempel dapat dilakukan pada posisi pasien duduk
atau telungkup
- dilakukan pembersihan pada kulit punggung bagian
atas dengan kapas alkohol
- unit uji tempel ditempelkan di punggung dan diberi
perekat tambahan berupa plester hipoalergenik

Psychoneuroimmunology in Dermatology 160


- pasien diijinkan pulang dengan pesan agar lokasi uji
tidak basah terkena air, tidak membasahi punggung
(lokasi uji tempel) dan melakukan aktivitas yang
menimbulkan keringat berlebihan
- pada deretan bahan yang dibawa sendiri oleh pasien
(alergen non standar), apabila terasa perih/nyeri
(reaksi iritan) dapat dibuka sendiri
- pembacaan dilakukan pada jam 48, 72, dan 96 (atau
dilepas lebih awal jika timbul keluhan sangat gatal atau
rasa terbakar pada lokasi uji tempel)
- pembacaan dilakukan 15 menit setelah plester
dilepaskan
- hasil uji tempel yang positif bermakna dinilai
relevansinya dengan anamnesis dan gambaran klinis.
Hasil relevansi positif dianggap sebagai penyebab.
Pasien diberikan catatan tentang hasil uji temepel
yang positif bermakna

Pembacaan Dan Interpretasi Hasil Uji Tempel7,8


Penilaian hasil uji tempel berdasarkan system Grading
International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG)
dapat dilihat pada tabel 1, dan gambar 2.

Tabel 1. Interpretasi hasil uji tempel


Skor Deskripsi Interpretasi
- Tidak ada perubahan pada kulit Negatif
yang diuji
?+ Pudar, eritema tak teraba Meragukan; sering
dianggap bukan
reaksi sensitisasi
+ Eritema teraba-edema sedang Reaksi lemah
atau infiltrate, papul minimal atau
tidak ada, tidak ada vesikel

Psychoneuroimmunology in Dermatology 161


++ Infiltrat kuat, banyak papul, ada Reaksi kuat
vesikel
+++ Vesikel bergabung, bula atau Reaksi ekstrim
ulserasi
IR Inflamasi berbatas tegas pada Reaksi iritan
area terpapar, infiltrate minimal,
petekie kecil, oustul dan
efloresensi lain selain papul dan
vesikel
NT Not Tested

Gambar 2. Penilaian hasil uji tempel berdasarkan ICDGR 7,10

Reaksi kulit harus diinterpertasikan sesuai dengan


informasi dari anamnesis dan pemeriksaan klinis. Hasil positif
pada uji tempel harus dinilai relevansi dengan kondisi klinis
pasien.7 Pajanan dianggap relevan untuk lesi kulit bila terdapat
hubungan waktu (temporal relationship) antara pajanan dan
gejala klinis, serta terdapat kesesuaian antara pajanan dan
lokasi lesi kulit. Relevansi masa kini (current/ present) bila hasil
positif pada uji tempel dapat dihubungkan dengan kondisi
dermatitis saat kini. Relevansi masa lalu (past relevance) bila
hasil positif pada uji tempel dapat menjelaskan kondisi lesi
kulit di masa lalu. Unexplened positive bila allergen positif tapi

Psychoneuroimmunology in Dermatology 162


pajanannya tidak bisa dihubungkan dengan lesi kulit saat ini
maupun masa lalu. 7
Hasil uji tempel dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti: lokasi uji tempel, obat-obatan, usia, ritme
harian dan variasi musim, kondisi patologi kulit, imunoterapi.8
Hasil uji tempel harus mempertimbangkan kemungkinan
terjadinya reaksi false positive atau false negative.
Hal reaksi false positive terjadi bila:
- konsentrasi bahan terlalu tinggi7,8, bahan uji tidak
murni atau terkontaminasi7, iritasi dari bahan
vehikulum7, efek tekanan, perekat/pleser,7,8
- terdapat dermatitis pada lokasi uji tempel atau pada
lokasi yang jauh dari uji tempel (excited skin
syndrome)7,8
Hasil reaksi false negative dapat terjadi bila:
- konsentrasi bahan uji terlalu rendah7,8, vehikulum
tidak sesuai8
- pembacaan uji tempel untuk bahan uji yang
memberikan delayed reaction (neomisin,
7
kortikosteroid)
- lokasi uji telah mendapat terapi kortikosteroid atau
mendapat terapi radiasi ultraviolet7, penggunaan
kortikosteroid sistemik atau obat imunomodulator7,8
- kondisi yang memudahkan timbulnya dermatitis
(keringat, tekanan, gesekan, ulserasi)8, fotoalergi8
Bila hasil uji tempel meragukan dapat dilakukan : 8
- diulang uji tempel dengan bahan tersebut pada
penderita dengan serial dilusi
- dilakukan uji tempel dengan bahan tersebut pada
subyek control

Psychoneuroimmunology in Dermatology 163


- dilakukan pemeriksaan lanjutan pada penderita
dengan menggunakan Repeated Open Application Test
(ROAT)

Reaksi Simpang Uji Tempel 8


Uji tempel dapat menimbulkan reaksi simpang/adverse
reactions seperti: terjadinya sensitisasi, excited skin syndrome,
kambuhnya dermatitis yang diderita sebelumnya, reaksi positif
yang persisten, efek karena tekanan, Koebner fenomena, lesi
hiper- atau hipopigmentasi pada lokasi dengan reaksi positif,
infeksi bakteri dan virus, nekrosis, terbentuknya skar, keloid
dan reaksi anafilaktoid. 7,8

Referensi
1 Heinzerling L, Mari A, Bergmann C, Bresciani M, Burbach G,
Darsow U, et al. The skin prick test -European Standard. Clinical
and Translational Allergy 2013; 3: 1-10.
2 Coetzee O, Green R.J., Masekela R. A guide to performing skin-
prick testing in practice: tips and tricks of the trade. S Afr Fam
Pract 2013; 55: 415-19.
3 Lachapelle JM, Maibach, H.I. The Spectrum of Diseases for
Which Prick Testing and Open (Non-Prick) Testing Are
Recommended. In: Patch Testing and Prick Testing (Lachapelle
JM, Maibach, H.I, ed), 2 nd edn. Berlin: Springer. 2009.
4 Kolegium IKKK. Modul Prick Test/ Uji Tusuk. In: Modul Dermato
Alergo Imunologi. 2008; 1-24.
5 Lachapelle JM, Maibach, H.I. The Methodology of Open (Non-
Prick) Testing, Prick Testing and its Variants. In: Patch Testing
and Prick Testing (Lachapelle JM, Maibach, H.I, ed). Berlin:
Springer. 2009; 141-52.
6 Bousquet J, Heinzerling L, Bachert C, Papadopoulos N.G.,
Bousquet P.J., Burney P.G., et al. Pratical guide to skin prick
tests in allergy to aeroallergens. Allergy 2012; 67: 18-24.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 164


7 Lachapelle JM, Maibach, H.I. Patch Testing Methodology. In:
Patch Testing and Prick Testing (Lachapelle JM, Maibach, H.I,
ed), 2 nd edn. Berlin: Springer. 2009; 33-70.
8 Kolegium IKKK. Modul Patch Test / Uji Tempel. In: Modul
Dermato Alergo Imunologi. 2008; 1-25.
9 Lachapelle JM. The Spectrum of Diseases for Which Patch
Testing is Recommended. In: Patch Testing and Prick Testing
(Lachapelle JM, Maibach, H.I, ed), 2 nd edn. Berlin: Springer.
2009; 7-32.
10 Spiewak R. Patch Testing for Contact Allergy and Allergic
Contact Dermatitis. The Open Allergy Journal 2008; 1: 42-51.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 165


Psychoneuroimmunology in Dermatology 166
TERAPI LASER EXCIMER 308-NM
PADA PENYAKIT KULIT ALERGI

Dr. dr. IGA A Praharsini, Sp.KK, FINSDV


Bagian/SMF Kulit dan Kelamin
FK UNUD/RSUP Sanglah

ABSTRAK
Targeted phototherapy laser excimer 308 nm merupakan
teknik fototerapi yang menghasilkan dosis terapeutik radiasi
UVB monokromatik energi tinggi dalam waktu singkat pada lesi
yang kecil. Laser ini dilaporkan efektif untuk berbagai penyakit
alergi pada kulit seperti: dermatitis atopik, psoriasis, alopesia
areata, dan vitiligo. Salah satu mekanisme kerja dari laser ini
adalah menurunkan proliferasi sel T melalui mekanisme
apoptosis. Walaupun laser ini merupakan modalitas terapi
yang efektif untuk berbagai kelainan kulit, namun tetap
diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keamanan dari
alat ini.
Kata kunci: laser, excimer, penyakit alergi pada kulit

PENDAHULUAN
Laser excimer berasal dari excited dimer yang terdiri dari gas
noble dan halide yang mempunyai aksi pada beberapa
penyakit kulit. Sinar ultraviolet B yang mempunyai panjang
gelombang antara 290 nm-310 nm dan gas xenon-klorida 308-
nm sering digunakan sebagai modalitas terapi di bidang
dermatologi. Keuntungan laser excimer monokromatik antara
lain, memancarkan dosis UV yang rendah, lama terapi yang
pendek, dapat digunakan pada daerah yang sulit dijangkau
secara anatomis serta kulit normal di sekitar lesi terlindung
dari radiasi.1

Psychoneuroimmunology in Dermatology 167


Laser excimer 308-nm efektif untuk terapi kelainan
kulit seperti: vitiligo, psoriasis, dermatitis atopik, alopesia
areata, folikulitis yang refrakter, granuloma anulare, mycosis
fungoides, palmoplantar pustulosis, pitiriasis alba,
leukoderma, prurigo nodularis, skleroderma lokalisata dan
liken sklerosus. Pada makalah ini akan dibahas efektivitas laser
ini pada penyakit kulit alergi, meliputi: dermatitis atopik,
psoriasis, alopesia areata, dan vitiligo.1,2

DERMATITIS ATOPIK
Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kulit
yang sangat gatal dan bersifat kronik residif. Etiologi dan
patogenesis dari DA adalah multifaktorial meliputi kelainan
genetik, gangguan sawar kulit, gangguan imunologik serta
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan stres.3
Pilihan terapi utama DA adalah steroid topikal,
emolien dan inhibitor kalsineurin topikal. Fototerapi
merupakan terapi lini kedua DA, setelah terjadi kegagalan
terapi lini pertama, maka fototerapi merupakan pilihan serta
dapat digunakan sebagai terapi pemeliharaan.4 Targeted UVB
laser phototherapy merupakan kemajuan dalam fototerapi
yang juga digunakan pada pengobatan DA. Beberapa
mekanisme kerja radiasi UVB pada DA meliputi: supresi sitokin
proinflamasi (IL-12, TNF-α), induksi IL-10, modulasi aktivasi
sistem imun, dan mengurangi jumlah bakteri pada permukaan
kulit.5
Penelitian Baltas dkk, mengenai evaluasi efikasi
terapeutik laser excimer 308 nm pada DA melaporkan 15
pasien DA dengan luas lesi kurang dari 15 % yang dinilai
berdasarkan skor Eczema Area Severity Index (EASI), skor
kualitas hidup dan visual linear analogue scale. Subyek

Psychoneuroimmunology in Dermatology 168


penelitian mendapatkan terapi a xenon chloride excimer laser
2 kali perminggu dengan dosis awal 50 mJ/cm2 kemudian
dinaikkan 50 mJ/cm2 setiap minggu, setelah 1 bulan
menunjukkan penurunan skor EASI, kualitas hidup dan visual
linear analogue scale serta tidak ditemukan efek samping yang
serius pada subyek penelitian.6 Nistico dkk, melaporkan 6
pasien dengan DA lokalisata mendapat terapi laser excimer
setiap minggu selama 6-12 minggu, 66% sembuh dan 16 %
menunjukkan adanya sedikit perbaikan lesi DA.7

PSORIASIS
Psoriasis adalah penyakit proliferatif dan inflamasi pada kulit
bersifat kronis dan residif.1 Terapi psoriasis mengurangi
keparahan, efek samping obat dan memperbaiki kualitas hidup
pasien serta tingkat remisi. Indikasi fototerapi adalah untuk
psoriasis plak tingkat sedang dan berat. Adapun jenis
fototerapi yang tersedia meliputi: ultraviolet A (UVA),
ultraviolet B (UVB) dan laser excimer. Efikasi dari laser excimer
telah dilaporkan pada psoriasis lokal yang resisten (level
evidence II, strength recommendation B). Indikasi laser ini
adalah untuk psoriasis ringan, sedang dan berat dengan luas
keterlibatan BSA < 10 % pada anak dan dewasa. Dosis awal
terapi tergantung pada tipe kulit (MED) dan ketebalan dari
plakat (Tabel 1). Selanjutnya bila belum ada efek respon
eritema dan penipisan ketebalan dari plakat dalam waktu 12-
24 jam maka dosis dinaikkan bertahap sebesar 15-25%. Bila
sudah ada perbaikan, maka dosis dipertahankan, kemudian
secara bertahap diturunkan sebesar 15 %. Lama terapi rata-
rata 10-12 kali dengan frekuensi 2-3 kali/minggu.8,9

Psychoneuroimmunology in Dermatology 169


Tabel 1. Dosis awal untuk psoriasis
Plaque Thickness Fitzpatrick skin Fitzpatrick skin
Induration Score type I-III type IV-VI
None
Mild 1 500 400
Moderate 2 500 600
Severe 3 700 900

Psoriasis lokalisata yang resisten pada siku dan lutut


dilaporkan sembuh setelah 1-3 sesi terapi laser excimer
dengan masa remisi yang panjang. Laser ini juga dilaporkan
memberikan respon yang baik pada scalp psoriasis.10 Efek
samping yang dilaporkan ringan meliputi: panas setelah terapi,
eritema berat, hiperpigmentasi, pruritus dan terbentuknya
bula.8,11

VITILIGO
Vitiligo merupakan leukoderma kronik didapat dengan
karakteristik berupa makula hipopigmentasi tunggal atau
multipel, dengan distribusi simetris, lokal, segmental dan
generalisata. Terdapat beberapa modalitas terapi, salah
satunya adalah fototerapi. Fototerapi UVB bertujuan untuk
menstimulasi aktivasi dan migrasi melanosit pada folikel
rambut menuju lapisan basal epidermis dari makula
depigmentasi, menstimulasi dopa-lacking amelanotic
melanocyte pada lapisan luar folikel rambut, menstimulasi
pelepasan endotelin-1 pada keratinosit yang berperan dalam
proses melanogenesis, menginduksi apoptosis sel T sitotoksik
yang merusak sel melanosit, mengurangi presentasi antigen
dan mengatur mediator inflamasi. 12,13
Penelitian komparatif menunjukkan laser excimer 308-
nm mempunyai efek biologik dan klinis yang sama bahkan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 170


lebih superior dibandingkan fototerapi NB-UVB. Laser ini
mempunyai intensitas radiasi yang tinggi hanya pada lesi dan
dapat menjangkau daerah yang sulit seperti lipatan kulit dan
membran mukosa. Penelitian lain juga menunjukkan daerah
yang sensitif terhadap UV (wajah, leher, punggung dan lengan)
mempunyai respon yang lebih baik dibandingkan daerah yang
resisten terhadap UV (lutut, siku pergelangan tangan,
pergelangan kaki dan kaki). Semua daerah yang sensitif
mempunyai respon yang baik terhadap laser excimer,
sementara daerah yang resisten (lutut, siku dan pergelangan
tangan) mempunyai respon terapi lebih baik dibandingakan
tangan, pergelangan kaki dan kaki. Fitzpatriks fototype
berperan penting terhadap respon terapi, individu dengan tipe
kulit II-IV lebih toleran terhadap dosis iradiasi dengan efek
samping minimal (terbentuk bula, terbakar) dibandingkan tipe
kulit terang (tipe II).12
Penelitian Antonio dkk, melaporkan dari 77 sampel
vitiligo lokalisata dan generalisata, lebih dari 50%
menunjukkan terjadi repigmentasi > 60 %, 26 sampel 40-50%,
dan 20 % sampel terjadi repigmentasi < 39 %. Lesi di wajah
mempunya respon terapi terbaik dibandingkan area yang
lainnya. Dosis terapi awal yang digunakan 100 mj/cm2, bila
belum terjadi eritema maka dosis dinaikan 100 mj/cm2, dan
jika terjadi eritema kurang dari 24 jam dosis dinaikkan 50
mJ/cm2 dengan lama terapi minimum 8, rata-rata 23 sesi
terapi. Pada vitiligo menggunakan dosis low fluences (50-
200mJ/cm2) dibandingkan pada psoriasis, dengan frekuensi
terapi 1-3 kali/minggu. Terjadinya repigmentasi dari bercak
vitiligo tergantung dari total jumlah sesi terapi.12,13

Psychoneuroimmunology in Dermatology 171


ALOPESIA AREATA
Alopesia Areata (AA) merupakan penyakit autoimun yang
karakteristik diperantarai sel T menyerang folikel rambut,
adanya infiltrat limfosit peribulbar merupakan tanda khas pada
AA. Tersedia beberapa modalitas terapi pada AA. Laser excimer
telah dilaporkan efektif mengobati pasien AA. Penelitian pada
11 anak dengan AA yang rekalsitran pada kepala diterapi
dengan laser excimer selama 12 minggu menunjukkan
pertumbuhan kembali sebesar 60 % dibandingkan bercak AA
yang tidak diterapi dengan laser. Penelitian yang lain pada 28
orang anak dan dewasa dengan bercak AA yang rekalsitran
(dengan jumlah 42 bercak) menunjukkan pertumbuhan
rambut pada 17 bercak AA (42 %) setelah 12 minggu terapi.
Nampaknya foton excimer secara langsung mempunyai efek
imun pada melanosit. Diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai tehnik laser excimer pada AA.14
Gundogan dkk melaporkan 2 pasien AA yang progresif,
diterapi dengan xenon chloride laser excimer dengan dosis
300-2300mJ/cm2 persesi. Dalam waktu 11 minggu (11-12 sesi)
menunjukkan pertumbuhan rambut yang tebal dan pasien
diikuti selama 5 bulan dan 18 bulan tidak nampak
kekambuhan.15

RINGKASAN
Laser excimer merupakan pilihan fototerapi UVB yang baru dan
sangat bermanfaat dengan waktu serta jumlah sesi terapi yang
pendek, dosis UV yang rendah dibandingkan fototerapi
standar yang lainnya dengan risiko terjadinya karsinogensis
yang rendah. Dapat digunakan kelainan penyakit inflamasi dan
kondisi hipopigmentasi lokalisata serta dapat digunakan untuk
di daerah mukosa. Terapi kombinasi antara laser excimer

Psychoneuroimmunology in Dermatology 172


dengan modalitas terapi yang lain nampaknya akan
berkembang dan menunjukkan efikasi yang baik. Secara umum
laser ini dapat ditoleransi dengan baik dan mempunyai efek
samping yang minimal. Diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk mengevaluasi efek jangka panjang dan keamanan dari
terapi laser excimer.

Daftar Pustaka
1. Mehraban S, Felly A. 308 nm excimer laser in dermatology. J
Laser Med Sci 2014:5(1):8-12.
2. Mysore V. Targeted phototherapy. Indian J Dermatol Venereol
Leprol 2009: 75: 119-25.
3. Soebarya RW. Patogenesis dan gangguan imunologis pada
dermatitis atopik. Dalam : Diana IA, Boediharja SA, Soebaryo RW,
Suteja E, Lokanata MD, Sugito TL, Danarti R, Prihianti S, Agustin
T, Rahmayunita G, Astriningrum, edit.1 ed. Dermatitis atopik:
diagnosis dan tatalaksana terkini,. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
2014 :1-7.
4. Sidbury R, Davis DM, Davis DM, Cohern DE, Cordoro KM, Berger
TG, et al. Guidelines of care for the management of atopic
dermatitis. J Am Acad Dermatol 2014 ;17: 327-49.
5. Pugasheti R, Koo J. Photoherapy in pediatric patients: choosing
the appropriate treatment option. Semin Med Surg 2010; 29
:115-20.
6. Baltas E, Csoma Z, Bodal L, Ignacs F, Dobozy A, Kemeny L.
Treatment of atopic dermatitis with xenon chloride excimer
laser. European Academy of Dermatology and Venereology 2006
; 20 : 657-660.
7. Nistico SP, Saraceno R, Caprrioti E, et al. Efficacy of
monochromatic excimer light (308-nm) in the treatment of
atopic dermatitis in adults and children. Photomed laser Surg
2008 ; 26:14-8.
8. Psoriasis:recommendation for excimer laser therapy. [cited 2016
June18] Avalaible from: URL : htpp:// www.aad.org/practice-
tools/quality-care/clinical.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 173


9. Eng CS, Jamil A, Chin CL, Cheng CH, Ambrose D, Abdul Majid H,et
al. Management of psoriasis vulgaris. [cited 2016 June15]
Avalaible from: URL : htpp://www.moh.gov.my
10. Morison W L, Atkinson DF, Werthman L. Effective treatment of
scalp psoriasis using the excimer (308 -nm) laser. Photodermatol
Photoimmunol Photomed 2006;22:181-3.
11. Fieldman SR, Mellen BG, Housman TS, Fitzpatrick RE, Gerenemus
RG, Friedman PM, et al. Efficacy of the 308-nm excimer laser for
treatment of psoriasis: Result of a multicenter study. J AM Acad
Dermatol 2002;46:900-6
12. Antonio CR, Antonio JR, Vita Marques AM. Treating vitiligo with
excimer laser: a retrospectif study. Surg Cosmet Dermatol
2011;3(3):213-8.
13. Park KK, Murase JE. Ultraviolet B (UVB) phototherapy in the
treatment of vitiligo. [cited 2016 June18] Avalaible from: URL :
htpp://cdn.interchopen.com/pdfs-wm/24970.pdf.
14. McMichael AI. Excimer laser: A module of the alopecia areata
common protocol. Journal of Investigative Dermatology
Symposium Proceedings 2013;16:577-79.
15. Gundogan C, Greve B, Raulin C. Treatment of alopecia areata
with 308-nm xenon chloride excimer laser : case reportof two
successful treatments with the excimer laser. Laser in Surgery
and Medicine 2004 ;34 :86-90.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 174


Lampiran
PANDUAN FOTOTERAPI SMALL EXCIMER LASER 308-NM
PSORIASIS

PERSIAPAN PASIEN
 Tidak memerlukan persiapan khusus ataupun anestesi.
 Jika bercak terlalu berskuama atau terlalu tebal, disarankan
penggunaan asam salisilat krim, pada malam hari sebelum
perawatan

PENENTUAN MED
 Paparan pada 6 area untuk tes fluence (contoh 150, 200,
250, 300, 350, 400 ml/ cm2).
 Baca dalam waktu 24 sampai 48 jam.
MED adalah fluence terendah yang menyebabkan eritema homogen
dengan batas yang bersih

PERAWATAN
 Lakukan 2 sampai 3 kali sesi terapi per minggu.
 Konsultasi pertama, fluence antara 1 dan 3 kali MED
disesuaikan dengan ketebalan dari tiap bercak.
 Konsultasi selanjutnya, tingkatkan 1 MED setiap sesi terapi,
sampai tercapai eritema ringan setelah 24 jam.. Jika terjadi
eritema berat dan tidak terjadi bula, fluence diturunkan 1
MED.
 Jika terjadi krusta atau bula, diperlukan perawatan untuk
area tersebut sampai sembuh sempurna.
 Turunkan fluence 1 MED dan tetap pada fluence ini untuk 2
sesi berikutnya.
 Mulai tingkatkan berikutnya sebesar 100mJ/ cm2 pada
setiap sesi terapi.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 175


ENDPOINT
 Eritema ringan;
 Tidak berkrusta dan tidak muncul bula

JADWAL
Lakukan 2-3x per minggu.
Jika hasil mulai membaik, direkomendasikan 1-2 kali perawatan per
minggu.
Jika hasil sudah terlihat baik, direkomendasikan 1 kali perawatan
dalam 2 minggu.

Follow-Up Pasien
Jumlah konsultasi: antara 6 dan 18 disesuaikan dengan kebutuhan
tiap pasien.

Kontraindikasi
 Dermatosis dengan sindroma Koebner
 Dermatosis fotosensitif autoimun: lupus, dermatomiositis
 Radioterapi
 Hiperfotosensitivitas
 Penggunaan obat fotosensitif
 Fotogenodermatosis, fotodermatosis
 Riwayat kanker kulit
 Melanoma, genodermatosis, kanker kulit non-melanoma
 Wanita hamil (belum ada penelitian)
 Anak berusia < 15 tahun (belum ada studi)

VITILIGO, ALOPESIA AREATA


PERHATIAN
 Hindari paparan pada area peri-orbital (kelopak mata).
 Selama perawatan, gunakan kaca mata pelindung: dokter,
pasien, dan siapapun yang berada di area tersebut.
 Dosis lebih rendah digunakan untuk vitiligo karena kulit
depigmentasi lebih sensitif terhadap radiasi UV.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 176


 Terbentukknya bula harus dihindari.

PERSIAPAN PASIEN
 Perawatan ini tidak memerlukan persiapan khusus ataupun
anestesi.
 Dokumentasikan pasien untuk melihat progesivitas
repigmentasi bercak putih dan bila terjadi efek samping.

PERAWATAN
 Lakukan 2 sampai 3 kali konsultasi per minggu.
 Fluence :
o Mulai perawatan pada 100 mJ/cm2 pada konsultasi
pertama.
o Naikkan tiap 100 mJ/cm2 per sesi terapi, sepanjang
masih ditoleransi pasien dan tidak terjadi bula.
 Jika terjadi kemerahan yang parah atau krusta atau bula,
maka diperlukan perawatan untuk area tersebut sampai
sembuh sempurna.
 Turunkan fluence 100 mJ/cm2 dan tetap pada fluence ini
untuk 2 sesi berikutnya.
 Mulai tingkatkan berikutnya sebanyak 50mJ/ cm2 pada tiap
sesi terapi.

ENDPOINT
 Eritema ringan 1-2 hari setelah perawatan
 Tidak berkrusta

JADWAL
 Lakukan 2-3x per minggu (tidak tiap hari).
 Jika sudah mulai membaik, direkomendasikan 1-2 kali
perawatan per minggu.
 Jika hasil sudah terlihat baik, direkomendasikan 1 kali
perawatan dalam 2 minggu.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 177


FOLLOW-UP PASIEN
Jumlah konsultasi: antara 15 dan 30 sesuai dengan kebutuhan tiap
pasien

KONTRAINDIKASI
 Dermatosis dengan sindroma Koebner
 Hipertiroidisme
 Lupus Eritematosus
 Tuberkulosis Vegetatif
 Melanoma, genodermatosis, kanker kulit non-melanoma
 Hiperfotosensitivitas
 Radioterapi
 Individu dengan menggunakan pacemaker
 Penggunaan obat fotosensitivitas
 Wanita hamil (belum ada studi)
 Anak berusia < 15 tahun (belum ada studi)

Sumber: dikutip dari PPK 2015 sub divisi kosmetik medik IKK RSUP
Sanglah

Psychoneuroimmunology in Dermatology 178


CLINICAL HYPNOSIS:
HIPNOSIS DI BIDANG KEDOKTERAN

Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), (CHT)


Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

ABSTRAK
Hipnosis adalah metode terapi yang kini banyak digunakan
dibidang dermatologi atau kondisi lainnya. Teknik ini
mengikutsertakan pasien dalam keadaan trance (bawah sadar)
untuk tujuan tertentu seperti relaksasi, mengurangi rasa sakit
atau mengurangi rasa gatal kronis, atau hendak modifikasi
kebiasaan yang tidak sehat. Hipnosis adalah induksi disengaja,
memperdalam, pemeliharaan, dan pemutusan negara trans
alami untuk tujuan tertentu. Fenomena hipnotis telah
digunakan sejak zaman kuno untuk membantu penyembuhan.
Untuk hipnoterapi medis, tujuannya adalah untuk mengurangi
penderitaan, untuk mempromosikan penyembuhan, atau
untuk membantu orang mengubah pola perilaku yang
merusak.Setelah pelatihan yang tepat, kita dapat
mengintensifkan negara trans ini dan menggunakan fokus
tinggi ini untuk mendorong interaksi pikiran-tubuh yang
membantu meringankan penderitaan atau mempromosikan
penyembuhan. Negara trans dapat diinduksi dengan
menggunakan citra dipandu, relaksasi, pernapasan dalam,
teknik meditasi, self-hypnosis, atau teknik hipnosis-induksi.
Individu bervariasi dalam kemampuan mereka untuk masuk ke
kondisi trance, tapi kebanyakan dapat memperoleh beberapa
manfaat dari hipnosis. Dalam dermatologi, saran yang
diberikan selama trance dapat membantu mengurangi rasa
sakit kulit dan pruritus, campur tangan dalam aspek
psikosomatis penyakit kulit, dan menyebabkan resolusi
beberapa penyakit kulit, termasuk veruka vulgaris dan kondisi
kulit lainnya.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 179


ABSTRACT
Hypnosis is a tool with many useful dermatologic applications.
It involves guiding the patient into a trance state for a specific
purpose such as relaxation, pain or pruritus reduction, or habit
modification. Hypnosis is the intentional induction, deepening,
maintenance, and termination of the natural trance state for a
specific purpose. The hypnotic phenomenon has been used
since antiquity to assist healing. For medical hypnotherapy, the
intent is to reduce suffering, to promote healing, or to help the
person alter a destructive behavior pattern.
After appropriate training, we may intensify this trance state
and use this heightened focus to induce mind-body interactions
that help alleviate suffering or promote healing. The trance
state may be induced by using guided imagery, relaxation,
deep breathing, meditation techniques, self-hypnosis, or
hypnosis-induction techniques. Individuals vary in their ability
to enter the trance state, but most can obtain some benefit
from hypnosis.
In dermatology, suggestions given during trance may help
decrease skin pain and pruritus, intervene in psychosomatic
aspects of skin diseases, and lead to the resolution of some skin
diseases, including verruca vulgaris and other skin conditions.

PENDAHULUAN
Kata hipnosis akhir-akhir ini banyak dibicarakan oleh berbagai
kalangan, ada yang menanggapi secara positif dan banyak yang
negatif karena disetarakan dengan tindak kejahatan dengan
cara magis atau supra natural. Banyak kejahatan yang
dibuhungkan dengan menggunakan hipnosis. Padahal tidak
demikian, hipnosis itu ilmiah, faktual, alamiah karena siapa
saja pernah mengalami kondisi hipnosis dan siapa saja bisa
melakukan hipnosis asal masih mampu melakukan komunikasi
verbal.
Hipnosis adalah suatu kondisi mental dengan peran imajinatif
yang menonjol dan terjadi penurunan kesadaran atau

Psychoneuroimmunology in Dermatology 180


penurunan gelombang otak. Orang yang melakukan proses
hipnosis (memberikan sugesti) terhadap subjek disebut
hipnotis (bahasa inggris: hypnotist). Hipnosis biasanya
disebabkan oleh prosedur yang dikenal sebagai induksi
hipnosis, yang umumnya terdiri dari rangkaian komunikasi
yang panjang dan dilanjutkan dengan pemberian sugesti.
Sugesti hipnosis dapat disampaikan oleh seorang hipnotis di
hadapan subjek, atau mungkin dilakukan sendiri oleh subjek
(swa-hipnosis). Penggunaan hipnosis untuk terapi disebut
hipnoterapi, sedangkan penggunaannya sebagai bentuk
hiburan bagi penonton dikenal sebagai Stage hipnosis.
Kondisi hipnosis sebenarnya sudah dialami oleh semua
orang dalam kehidupan sehari-hari, paling tidak 2 kali dalam
sehari yaitu ketika mengantuk atau mau tidur dan pada pagi
hari waktu bangun pagi. Contoh lain adalah ketika anda sedang
tidur dan mendengar ada pasangan anda yang buka pintu
kamar, anda mendengarnya namun anda tidak mau bangun.
Itu adalah contoh kondisi hipnosis. Demikian juga ketika kita
menyaksikan sinetron yang sangat menyedihkan, ikut sedih
sampai ikut meneteskan air mata dan banyak lagi kondisi
hipnosis yang kita alami sehari-hari.

DEFINISI HIPNOSIS
Definisi hipnosis yang saat ini paling banyak digunakan dan
diterima adalah definisi yang dipublikasikan oleh U.S. Dept. of
Education, Human Services Division, Hypnosis is the by-pass of
the critical factor of the conscious mind followed by the
establishment of acceptable selective thinking” atau “hipnosis
adalah penembusan faktor kritis pikiran sadar diikuti dengan
diterimanya suatu pemikiran atau sugesti” jelas bahwa
hipnosis sama sekali tidak ada hubungannya dengan kondisi
rileks, rileks secara fisik. Untuk bisa dikatakan sebagai kondisi
hipnosis, menurut definisi di atas, maka ada dua syarat yang
harus dipenuhi. Pertama, penembusan faktor kritis dan kedua,
diterimanya suatu sugesti oleh pikiran bawah sadar. Berarti
asalkan bisa membuat menurunnya tingkat kesadaran

Psychoneuroimmunology in Dermatology 181


(gelombang otak) atau memasuki pikiran bawah sadar maka
sugesti atau afirmasi akan dengan mudah diterima dan
bertahan lama. Definisi hipnosis menurut Asosiasi Hipnoterapi
Indonesia, hipnosis adalah keadaan seperti tidur karena
sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada di bawah
pengaruh orang yg memberikan sugestinya, tetapi pada taraf
berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.
Ketika proses hipnosis, seseorang (subyek) dipandu
oleh orang lain (hypnotis) untuk memberikan respon terhadap
sugesti untuk berubah pada pengalaman subyektifnya,
perubahan persepsi, sensasi, emosi, pikiran atau tingkah laku.
Orang tersebut dapat juga melakukan hipnosis diri sendiri (swa
hipnosis) yang merupakan tindakan untuk mengatur prosedur
hipnosis atas kemauan sendiri. Jika subyek berespon terhadap
sugesti hipnotis, umumnya menandakan bahwa hipnosis telah
berhasil dilakukan. Prosedur hipnosis dan pemberian sugesti
akan berbeda, tergantung dari tujuan praktisi dan kegunaan
klinis.

SEJARAH HIPNOTERAPI
Hipnoterapi sudah ada sejak lama, namun hipnoterapi modern
pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Franz Anton Mesmer
(1734-1815). Dokter asal Austria itu yang memperkenalkan
mesmerisme atau metode penggunaan energi
elektromagnetik manusia yang bisa ditransfer kepada orang
lain atau untuk diri sendiri. Dari namanya, muncul istilah
mesmeric sleep atau somnambulism, keadaan seseorang
dibuat tertidur tetapi tetap bisa diajak bicara, yang menjadi
cikal bakal hipnosis.
Hipnoterapi sampai saat ini masih terus berkembang
yang dimulai sejak abad ke-18, mulai dari konsep hypnosis
konvensional yang dikembangkan oleh Dr. James Braid sampai
dengan hipnoterapi klinis modern yang dikembangkan oleh Dr.
Milton H. Erickson sampai terakhir-terakhir yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 182


dikembangkan oleh Dr. Dave Elman, Gill Boyne maupun DR.
Calvin Banyan. Dr. Milton H. Erickson pertama kali
memperkenalkan bahwa jiwa manusia sangat unik. Tidaklah
mudah meminta orang untuk secara langsung menghilangkan
kebiasaan buruk yang ingin dia tinggalkan. Seperti kita
menyampaikan nasihat kepada seseorang yang mengeluh
karena dia mempunyai masalah, “Sekarang kamu dapat
menyelesaikannya”, atau seseorang yang mempunyai masalah
perilaku lalu kita berikan nasihat, “Sekarang perilaku anda
sudah berubah menjadi baik”. Belum tentu dia akan merubah
perilakunya dengan segera. Mungkin ya, untuk sementara,
tetapi biasanya kebiasaan itu akan kembali lagi. Apalagi jika
kita tidak mengetahui akar permasalahannya mengapa dia
berperilaku demikian, tidak mengetahui nilai dasar dan
keinginan sebenarnya yang dimiliki orang tersebut. Ingat, jiwa
manusia sangat kompleks, setiap orang mempunyai jiwa dan
nilai yang unik. Perilaku atau respons seseorang tidak sama
dalam menghadapi peristiwa yang berbeda. Bahkan sangat
mungkin sekali untuk peristiwa yang sama, perilaku atau
respons seseorang yang sama dapat berbeda.
Konsep dan langkah Mesmer disempurnakan oleh Dr.
James Braid, dokter bedah asal Skotlandia, pada 1843. Dia juga
yang mempopulerkan istilah hypnosis / hipnosis / hipnotisme.
Dr. James Braid mengembangkan temuan Mesmer dengan
membaginya menjadi dua cabang: magnetisme dan
hipnotisme. Braid menggunakan sugesti verbal untuk terapi
penyembuhan.
Pada tahun 1955: The British Medical Association
mengakui hypnosis sebagai salah satu terapi medis yang sah.
Pada tahun 1958: Hypnosis diakui oleh The American
Medical Association. Pada tahun 1960: The American

Psychoneuroimmunology in Dermatology 183


Psychological Association mengakui hypnotherapy sebagai
salah satu cabang ilmu psikologi. Hypnotherapy merupakan
salah satu bentuk psikoterapi dalam dunia psikiatri. Namun
demikian, hypnotherapy juga bisa digunakan pada pasien
nonpsikiatrik.
Hypnotherapy dapat digabungkan dengan jenis
pengobatan lainnya (medis maupun alternatif). Hypnotherapy
banyak digunakan oleh psikiater, dokter, psikolog, maupun
paramedis.
Seorang hipnoterapis adalah orang yang tidak
mempunyai latar belakang medis, tetapi sengaja
memperdalam ilmu (science), pengetahuan (knowledge),
ketrampilan (skill) dan serta seni (art) yang terdapat di dalam
hipnoterapi.

NEUROFISIOLOGI HIPNOSIS
Pikiran bawah sadar manusia menyimpan misteri yang luar
biasa. Banyak hal yang menyangkut manusia bersumber dari
berbagai data dan nilai yang tersimpan di pikiran bawah sadar.
Pikiran bawah sadar tidak saja terkait dengan perilaku dan
mental, tetapi lebih jauh lagi pikiran bawah sadar dapat
merubah metabolisme, mempercepat penyembuhan, atau
bahkan memperburuk suatu kondisi penyakit.
Hypnotherapy adalah suatu metode dimana pasien
dibimbing untuk melakukan relaksasi, dimana setelah kondisi
relaksasi dalam ini tercapai maka secara alamiah gerbang
pikiran bawah sadar sesesorang akan terbuka lebar, sehingga
yang bersangkutan cenderung lebih mudah untuk menerima
sugesti penyembuhan yang diberikan. Secara konvensional,
Hypnotherapy dapat diterapkan kepada mereka yang
memenuhi persyaratan dasar, yaitu: (1). Bersedia dengan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 184


sukarela (2). Memiliki kemampuan untuk fokus (3). Memahami
komunikasi verbal.
Untuk memahami Hypnosis atau Hypnotherapy secara
mudah dan benar, sebelumnya kita harus memahami bahwa
aktivitas pikiran manusia secara sederhana dikelompokkan
dalam 4 wilayah yang dikenal dengan istilah Brainwave, yaitu:
Beta, Alpha, Theta, dan Delta
Beta adalah kondisi pikiran pada saat sesorang sangat aktif dan
waspada. Kondisi ini adalah kondisi umum ketika seseorang
tengah beraktivitas normal. Frekwensi pikiran pada kondisi ini
sekitar 14 – 24 Cps (diukur dengan perangkat electro
encephalo gram atau EEG).
Alpha adalah kondisi ketika seseorang tengah fokus pada
suatu hal (belajar, mengerjakan suatu kegiatan teknis,
menonton televisi), atau pada saat seseorang dalam kondisi
relaksasi. Frekwensi pikiran pada kondisi ini sekitar 7 – 14 Cps.
Theta adalah kondisi relaksasi yang sangat ekstrim, sehingga
seakan-akan yang bersangkutan merasa “tertidur”, kondisi ini
seperti halnya pada saat seseorang melakukan meditasi yang
sangat dalam. Theta juga gelombang pikiran ketika seseorang
tertidur dengan bermimpi, atau kondisi REM (Rapid Eye
Movement). Frekwensi pikiran pada kondisi ini sekitar 3.5 – 7
Cps.
Delta adalah kondisi tidur normal (tanpa mimpi). Frekwensi
pikiran pada kondisi ini sekitar 0.5 – 3.5 Cps.
Kondisi Hypnosis sangat mirip dengan kondisi
gelombang pikiran Alpha dan Theta. Yang sangat menarik,
bahwa kondisi Beta, Alpha, dan Theta, merupakan kondisi
umum yang berlangsung secara bergantian dalam diri kita.
Suatu saat kita di kondisi Beta, kemudian sekian detik kita

Psychoneuroimmunology in Dermatology 185


berpindah ke Alpha, sekian detik berpindah ke Theta, dan
kembali lagi ke Beta, dan seterusnya.
Pada saat setiap orang menuju proses tidur alami,
maka yang terjadi adalah gelombang pikiran ini secara
perlahan-lahan akan menurun mulai dari Beta, Alpha, Theta,
kemudian Delta dimana kita benar-benar mulai tertidur.
Perpindahan wilayah ini tidak berlangsung dengan cepat,
sehingga sebetulnya walaupun seakan-akan seseorang sudah
tampak tertidur, mungkin saja ia masih berada di wilayah
Theta.
Pada wilayah Theta seseorang akan merasa tertidur,
suara-suara luar tidak dapat didengarkan dengan baik, tetapi
justru suara-suara ini didengar dengan sangat baik oleh pikiran
bawah sadarnya, dan cenderung menjadi nilai yang permanen,
karena tidak disadari oleh “pikiran sadar” yang bersangkutan

CARA KERJA HIPNOSIS


Kita bisa mengucapkan suatu afirmasi atau sugesti kepada
seseorang dalam kondisi sadar tanpa hasil apapun, tetapi
apabila kita mengucapkan sugesti yang sama dalam kondisi
hypnosis, maka hasilnya sangat luar biasa. Mengapa bisa
demikian? Dalam hypnosis, pikiran manusia mempunyai dua
jenis pikiran yang bekerja secara simultan dan saling
mempengaruhi, yaitu pikiran sadar dan pikiran bawah sadar.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 186


Gambar Model Pikiran Manusia

Pikiran sadar/conscious mind adalah proses mental


yang Anda sadari dan bisa Anda kendalikan. Pikiran bawah
sadar/subconscious mind adalah proses mental yang berfungsi
secara otomatis sehingga kita tidak menyadarinya.
Besarnya pengaruh pikiran sadar terhadap seluruh
aspek kehidupan seseorang, misalnya sikap, kepribadian,
perilaku, kebiasaan, cara pikir, dan kondisi mental seseorang
hanya 12%. Sedangkan besarnya pengaruh pikiran bawah
sadar adalah 88%. Untuk mudahnya kita bulatkan menjadi 10%
dan 90%. Dari sini dapat kita ketahui bahwa pikiran bawah
sadar mengendalikan diri kita 9 kali lebih kuat dibandingkan
pikiran sadar.
Pikiran sadar mempunyai fungsi mengidentifikasi
informasi yang masuk, membandingkan dengan data yang
sudah ada dalam memori kita, menganalisa data yang baru
masuk tersebut dan memutuskan data baru akan disimpan,
dibuang atau diabaikan sementara.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 187


Sementara itu pikiran bawah sadar yang kapasitasnya
jauh lebih besar dari pikiran sadar mempunyai fungsi yang jauh
lebih komplek. Semua fungsi organ tubuh kita diatur cara
kerjanya dari pikiran bawah sadar. Selain itu nilai-nilai yang kita
pegang, sistem kepercayaan dan keyakinan terhadap segala
sesuatu juga disimpan di sini. Memori jangka panjang kita juga
terdapat dalam pikiran bawah sadar.
Garis putus-putus (pada gambar di atas) meng-
ilustrasi-kan critical factor. Critical Factor adalah bagian dari
pikiran yang selalu menganalisis segala informasi yang masuk
dan menentukan tindakan rasional seseorang. Critical factor ini
melindungi pikiran bawah sadar dari ide, informasi, sugesti
atau bentuk pikiran lain yang bisa mengubah program pikiran
yang sudah tertanam di bawah sadar. Ketika kita dalam kondisi
sadar seperti sekarang ini, critical factor akan menghalangi
afirmasi atau sugesti yang ingin kita tanamkan ke pikiran
bawah sadar. Sugesti yang diucapkan dalam kondisi sadar
terhalang oleh critical factor, sehingga efeknya sangat kecil
atau bahkan tidak ada sama sekali.
Saat hypnotist melakukan hypnosis, yang terjadi
adalah hypnotist mem-by-pass critical factor subjek (orang
yang dihipnotis) dan langsung berkomunikasi dengan pikiran
bawah sadar subjek. By-pass di sini jangan disalah artikan
sebagai suatu bentuk manipulasi. Menembus critical factor ini
dilakukan dengan suatu teknik yang dinamakan "induksi".
Induksi bisa dilakukan dengan cara membuat pikiran
sadar subjek dibuat sibuk, lengah, bosan, bingung (tidak
memahami) atau lelah sehingga pintu gerbang menuju pikiran
bawah sadar, yaitu Critical Factor terbuka atau tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Karena critical factor terbuka atau
pengawasannya lemah maka sugesti akan langsung

Psychoneuroimmunology in Dermatology 188


menjangkau pikiran bawah sadar. Critical Factor menjadi tidak
aktif ketika seseorang dalam kondisi trance hypnosis. Maka
dari itu, semua sugesti - selama tidak bertentangan dengan
sistem kepercayaan dan nilai-nilai dasar yang dianut
seseorang-akan diterima oleh pikiran bawah sadar sebagai
kebenaran, kemudian disimpan sebagai program pikiran.
Program pikiran yang sudah ditanamkan melalui sugesti dalam
kondisi hypnosis, akan menjadi pemicu perubahan yang
seketika dan permanen.

Konflik Pikiran Sadar dan Pikiran Bawah Sadar


Apabila terjadi konflik antara pikiran sadar dan pikiran bawah
sadar, maka pikiran bawah sadar selalu menang. Kita ambil
seorang perokok yang kesulitan berhenti merokok. Kebiasaan
merokok adalah hasil kerja dari pikiran bawah sadar.
Sedangkan keinginan untuk berhenti merokok adalah hasil
logika pikiran sadar. Perokok ingin berhenti merokok karena
jelas rokok merugikan secara kesehatan maupun ekonomi.
Namun logika bahwa rokok itu merugikan kesehatan dan
menguras kantong terkalahkan oleh kebiasaan yang sudah
tertanam kuat di pikiran bawah sadar.
Havens dan Walter dalam bukunya Hypnotherapy
Scripts: A Neo-Ericksonian Approach, menyebutkan antara
pikiran bawah sadar dan pikiran sadar dapat diibaratkan
seorang Kapten dengan Anak Buah Kapal (ABK). Sedangkan diri
Anda adalah kapal itu sendiri. Kapten sebagai pikiran sadar
menentukan arah dan tujuan kapal, sedangkan ABK sebagai
pikiran bawah sadar yang menjalankan kapal. Kapal akan
selamat sampai di tujuan jika ada kerja sama yang baik antara
nakhoda dengan ABK. Masalah akan timbul bila terjadi
perbedaan tujuan antara Kapten dengan ABK. Masalahnya,

Psychoneuroimmunology in Dermatology 189


Kapten (pikiran sadar) kadang tidak tahu apa yang di-inginkan
ABK (pikiran bawah sadar), sehingga kehidupan seolah tidak
seperti yang Anda inginkan. Padahal itu adalah keinginan ABK
yang seharusnya Anda pimpin. Hypnosis memungkinkan Anda
untuk meningkatkan kendali terhadap pikiran bawah sadar
kita. Sehingga bisa menggunakan daya yang sangat besar itu
untuk kesembuhan, kesuksesan dan pengendalian diri. Dengan
hipnosis kita bisa menghilangkan kebiasaan-kebiasaan negatif,
misalnya kebiasaan merokok dan menunda pekerjaan.
Menanamkan sugesti untuk merubah pribadi menjadi lebih
baik hanyalah salah satu manfaat dari hipnosis. Hipnosis bisa
digunakan untuk berbagai macam keperluan. Dengan hipnosis,
kita bisa mengakses pikiran bawah sadar.
Jadi pada perinsipnya hipnosis, pasien diajak untuk
relaks secara fisik dan mental dengan memusatkan perhatian
melalui sarana fiksasi berupa suara, tatapan, dan sentuhan
secara berulang dan monoton. Ini membuat pasien merasa
semakin santai. Dalam kondisi hipnosis, lanjutnya, sugesti
positif yang ditanamkan disusun dalam kalimat yang
sederhana.

PERAN HIPNOSIS TERHADAP SISTEM IMUN


Beberapa penelitian uji klinis ini menyatakan bahwa hipnosis
dapat memodulasi subset T-sel, dan bahwa efek ini dimediasi
oleh perubahan hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA)
mediator, dan terjadi aktivasi sel T dan sitokin intraseluler
(Interferon (IFN-g, Interleukin-2, Interleukin-4, dan HPA axis
mediator (ACTH, kortisol, dan betta-endorphin). Respon
aktivasi sel T untuk poliklonal stimulasi berkorelasi positif
dengan ACTH dan b-endorphin, sedangkan ekpresi IFN-g
berkorelasi dengan tingkat kortisol.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 190


Memodulasi subset sel T dan bahwa efek ini dimediasi
oleh perubahan hipotalamus-pituitaryadrenal (HPA) mediator,
seperti kortisol. Psikoneuroimunologi (PNI) adalah studi dari
interaksi antara proses psikologis dan saraf dan sistem
imunitas, dengan pendekatan interdisipliner termasuk
psikologi, neuroscience, imunologi, fisiologi, genetika,
farmakologi, biologi molekuler, psikiatri, kedokteran perilaku,
penyakit menular, endokrinologi. Di sini dapat dikaitkan
tentang sejarah PNI berfokus pada hipnosis sebagai modulator
respon sistem imun dan debagai terapi untuk menangani
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan stres. Penelitian
lain juga menyatakan hipnosis mempengaruhi kortisol sebagai
monitor diandalkan untuk terapi hipnosis pada homeostasis
dari hipotalamus-pituitaryadrenalaxis (HPA axis).
Dengan demikian, bahwa kortisol memiliki efek
penghambatan pada sel-sel Th2 yang mengekspresikan IL-4.
Biasanya, IL-4 diproduksioleh Th2 memiliki efek
penghambatan pada produksi IFN-g oleh Th1 Tcells. Dengan
demikian, adalah mungkin bahwa penghapusan umpan balik
penghambatan IL-4 mengarah kekenaikan produksi IFN-g, atau
sebaliknya.

APLIKASI HIPNOSIS DI BIDANG KEDOKTERAN


Hipnotis kedokteran telah mengalami banyak perkembangan
sejak pertama kali diterapkan oleh dr Franz Anton Mesmer
(1734-1815) dan dr James Braid (1795-1860). Pada 1955, The
British Medical Association mengakui hipnotis sebagai salah
satu terapi medis yang valid. Demikian juga The American
Medical Association mengakuinya hipnosis dapat
dimanfaatkan sebagai terapi sejak 1958. Hipnotis kedokteran
kini terbagi atas hipnopromosi (meningkatkan kesehatan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 191


dengan hipnosis bagi orang sehat), hipnoprevensi (mencegah
gangguan kesehatan dengan hipnosis bagi orang sehat),
hipnoterapi (hipnosis bagi untuk penyembuhan), serta masih
ada hipnotis untuk rehabilitasi bagi orang cacat. Hipnotis juga
digunakan di bidang kebidanan (hypnobirthing) dan
kedokteran gigi (hypnodontics). Hipnoterapi merupakan salah
satu bentuk psikoterapi dalam dunia psikiatri. Namun
demikian, hipnoterapi juga bisa digunakan pada pasien
nonpsikiatrik. Pengobatan model ini bisa digabungkan dengan
jenis pengobatan lainnya. Banyak dokter terutama ahli bedah
dan anestesi yang terlatih dalam masalah hipnoterapi.
Demikian pula dokter gigi serta para perawat.
Pada umumnya praktisi medis, melontarkan
pertanyaan mengenai mekanisme hipnosis, terutama dari
perspektif ilmu kedokteran. Aplikasi hipnosis di bidang
kedokteran masih sangat minim. Padahal berdasarkan
penelitian, hipnosis sangat efektif dalam manajemen sensasi
sakit. Hal ini karena hipnosis lebih menekankan melalui
perspektif psikologis dibandingkan fisiologis. Aplikasi hypnosis
bidang kedokteran lebih dominan pada hypnoanalgesia
(aplikasi hipnosis untuk mengurangi sensitivitas terhadap rasa
sakit) dan hypnoanaesthesia (aplikasi hipnosis untuk
mengurangi sensitivitas terhadap semua sensasi). Pada kedua
aspek tersebut, hal terpenting adalah kemampuan pasien
dalam memfokuskan pikiran yang berkenaan dengan
mekanisme psikologis dan fisiologi mendukung konsep
mengenai penggunaan pikiran bawah sadar mengendalikan
pikiran atas tubuh.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 192


Kasus yang Dapat Ditangani dengan Hipnoterapi
Beberapa kasus yang dapat ditangani dengan hipnoterapi
seperti kasus kecemasan dan fobia adalah yang paling sering.
Bagi pasien yang mengalami gangguan kecemasan sehingga
cemas pula untuk menelan obat, hipnoterapi adalah tindakan
yang utama, gangguan psikosomatik dan beberapa gangguan
fisik murni (somatik), hipnoterapi berperan sebagai
penunjang. Kasus kebutaan histerik, yakni kebutaan yang
timbul setelah mengalami trauma psikis, Hipnoterapi juga
mempunyai manfaat pada anak-anak seperti kebiasaan buruk
gigit kuku, menghisap jari, gagap, ngompol, alergi/kulit merah-
merah. Hipnoterapi juga diterapkan pada pasien autisme.
Pada orang dewasa, hipnoterapi dapat menghilangkan
kebiasaan buruk seperti merokok, judi, insomnia,
kleptomania, serta dapat mempercepat penyembuhan
ketergantungan narkoba. Di samping itu juga dapat membantu
mengatasi rasa nyeri/sakit waktu melahirkan (hgypnobirthing),
mengurangi nyeri waktu cabut gigi (hypnodental). Dibidang
pendidikan, hipnosis dapat diarahkan untuk mengingkatkan
konsentrasi, daya ingat, kreatifitas, ataupun kesiapan
menghadapi ujian. Sementara di bidang industri, hipnotis
bermanfaat untuk meningkatkan mutu SDM
(hypnomotivation) sehingga diharapkan mampu menghadapi
situasi kompetitif dan efektif dalam menjalani tugas.

HIPNOTERAPI MENURUT KONSIL KEDOKTERAN


Hipnoterapi adalah suatu bentuk terapi dengan
memberdayakan pikiran bawah sadar dapat berupa energi
sinar elektro magnetik satu oktaf dari Far Infra Red Rays (FIR),
yang mempunyai panjang gelombang 6-14 mikron atau
dengan menggunakan teknik komunikasi dan pemberian

Psychoneuroimmunology in Dermatology 193


sugesti/afirmasi. Para dokter, menggunakan hipnoterapi
berdasarkan Standar Kompetensi Dokter dari Konsil
Kedokteran Indonesia (Indonesian Medical Council) dalam
rangka terapi kedokteran sebagai salah satu layanan Hipnosis
Kedokteran, yaitu Hipnosis Kedokteran Kuratif (Early diagnosis
and promt traetment); disamping Hipnosis Kedokteran
Promotif (Health promotion), Hipnosis Kedokteran Preventif
(Prevention of diseases) serta Hipnosis Kedokteran
Rehabilitatif (Rehabilitative Medical Hypnosis). Banyak
psikiater psikolog atau dokter umum, menggunakan
hipnoterapi sebagai salah satu bentuk dari psikoterapi,
disamping somaterapi (farmakoterapi dan fisioterapi seperti
ECT/listrik, light therapy/sinar).
Dokter, menggunakan hipnoterapi berdasarkan Standar
Kompetensi Dokter dari Konsil Kedokteran Indonesia
(Indonesian Medical Council) dalam rangka terapi kedokteran
sebagai salah satu layanan Hipnosis Kedokteran, yaitu Hipnosis
Kedokteran Kuratif (Early diagnosis and promt traetment);
disamping Hipnosis Kedokteran Promotif (Health promotion),
Hipnosis Kedokteran Preventif (Prevention of Diseases) serta
Hipnosis Kedokteran Habilitatif (Habilitative Medical Hypnosis)
untuk kasus retardasi dan Hipnosis Kedokteran Rehabilitatif
(Rehabilitative Medical Hypnosis) untuk kasus regresi.
Paramedik, menggunakan hipnoterapi dibawah pengawasan
dokter.
Psikiater, menggunakan hipnoterapi sebagai salah satu bentuk
dari Psikoterapi, disamping Somaterapi (farmakoterapi dan
fisioterapi seperti ECT / listrik. light therapy / sinar) dan
Sosioterapi (WHO: bio-psiko-sosial), dengan Tingkat
Kemapuan (Level of Expected Ability) 1 - 4 (knows - does).
Psikolog, menggunakan hipnoterapi sebagai salah satu bentuk

Psychoneuroimmunology in Dermatology 194


Psikoterapi, dalam rangka Hipnosis Klinik Kuratif, disamping
Hipnosis Klinik Promotif, Hipnosis Klinik Preventif, Hipnosis
Klinik Habilitatif dan Hipnosis Klinik Rehabilitatif. Juga,
penggunaan hipnosis untuk bidang psikologi lainnya, seperti
pendidikan, penelitian, manajemen, peningkatan sumber daya
manusia,dsb.
Hipnoterapis adalah seseorang yang khusus mempelajari
hipnoterapi, menggunakan hipnoterapi sebagai satu-satunya
bentuk terapi; sehingga di samping menguasai ilmu
pengetahuan dan seni ketrampilannya (knowledge and skills,
science and art, teori dan praktek), juga perlu mengetahui
benar, tujuh hal berikut ini: Alasan penggunaaan hipnoterapi
(Indications)
1. Pencegahan penggunaan hipnoterapi untuk kasus
tertentu (Precautions)
2. Pantangan penggunaan hipnoterapi (Contra
Indications)
3. Efek Samping yang dapat timbul pada hipnoterapi
(Side Effects)
4. Penanggulangan efek samping dari hipnoterapi (Side
Effects Management)
5. Bahaya yang mungkin timbul pada penggunaan
hipnoterapi (Dangers of hypnotherapy)
6. Aspek Hukum dan Etika dari hipnoterapi (Legal and
ethical aspects of hypnotherapy)

LANGKAH-LANGKAH HIPNOSIS
Untuk melakukan hipoterapi ada beberapa langkah yang harus
dilewati. Diantanya adalah:

Psychoneuroimmunology in Dermatology 195


1. Pra-induksi (wawancara) tes sugestibilitas
Saat pra induksi biasanya seorang hypnotist (pelaku
hipnotis) membangun keakraban dengan calon suyet
(orang yang dihipnotis) dengan memberi pemahaman
tentang hipnosis.
Setiap proses dalam hipnotis selalu diawali dengan
percakapan antara hypnotist dengan subyek. Tujuan dari
interview antara lain adalah untuk menjalin keakraban dan
rasa nyaman diantara keduanya.
Dalam Hypnotherapy interview dilakukan untuk
memahami masalah klien, menentukan tujuan terapi dan
menjelaskan kepada klien tentang prosedur terapi yang
akan dilakukan. Tahap ini merupakan tahap awal dalam
proses hipnotis dan merupakan faktor penentu
keberhasilan hipnotis yang sangat penting. Pra induksi
menyangkut kesan pertama yang kita tampilkan kepada
subyek. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan
dalam tahap interview/pra-induksi antara lain:
 Berperilaku yang sopan.
 Berpakaian yang baik.
 Keahlian berkomunikasi.
 Berikan pengetahuan hipnotis yang cukup kepada
subyek/klien
 Hindari gerakan/tindakan yang berlebihan

Tes Sugestibilitas
Tes sugestivitas wajib dilakukan untuk mengetahui
tingkat sugestivitas seseorang, dan untuk menentukan
teknik induksi nantinya. Ketika pertama kali mengetahui
suatu informasi tentang hopnosis disebut Pre-Induction,

Psychoneuroimmunology in Dermatology 196


tahap sebelum dimulai induksi. Pre-Induction juga disebut
tahap Pre-Talk.

Suggestibility Test/Uji sugestibilitas


Uji sugestibilitas digunakan untuk mengetahui apakah
seseorang memiliki tipe physical suggestibility
(sugestibilitas fisik) atau emotional suggestibility
(sungestibilitas perasaan). Mengetahui tipe sugestibilitas
seseorang sangat penting untuk menentukan tipe induksi
yang digunakan dan teknik terapi yang cocok. Pada
umumnya 10 % manusia adalah sangat sugestibel atau
dengan mudah dibawa ke kondisi hipnosis, 10 % sangat
tidak sugestibel dan sekitar 80 % biasa saja.

2. Induksi
Teknik komunikasi verbal maupun nonverbal yang
nantinya anda pakai untuk membawa klien menuju trane.
Tujuan pengguanaan teknik induksi adalah membawa
klien langsung menuju trance atau membuat klien
mempercayai bahwa apapun yang terjadi padanya
merupakan akibat dari “kekuatan” kalimat anda.
Induksi adalah langkah untuk membawa sesoerang dari
kondisi normal (beta) ke kondisi
hipnosis (alpha-theta).
Secara umum jenis induksi dibagi menjadi dua kekompok.
1. Induksi Normal (menggunakan rilaksasi).
- Rileksasi Tubuh untuk orang dengan tingkat
sugestivitas Moderat.
- Rileksasi Total (tubuh & pikiran) untuk orang dengan
tingkat sugestivitas Sulit.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 197


2. Induksi Cepat.
Induksi cepat hanya untuk orang dengan tingkat
sugestivitas tinggi atau mudah dihipnosis, induksi jenis
inilah yang sering kita lihat pada StageHipnosis (hipnotis
untuk hiburan).

Induksi adalah cara yang digunakan oleh hypnotist


untuk membawa klien menuju kondisi hipnotis. Ada
banyak cara yang dapat digunakan untuk melakukan
induksi. Setiap ahli umumnya memiliki metodenya sendiri.
Seorang hypnotist harus mampu memahami tipe pikiran
kliennya agar ia bisa menggunakan metode yang tepat.
Pada setiap kalimat yang diucapkan, seorang hypnotist
harus memastikan bahwa subyek sudah memahami
maksudnya. Biasanya subyek diminta untuk
menganggukan kepala jika mengerti dan menggelengkan
kepala jika tidak mengerti. Induksi (dalam bahasa
hypnosis) adalah cara yang digunakan oleh hypnotist
untuk membimbing klien mengalami trance hypnosis.
Trance hypnosis adalah suatu kondisi kesadaran dimana
bagian kritis pikiran sadar tidak aktif, sehingga klien sangat
reseptif terhadap sugesti yang diberikan oleh hypnotist.
Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk induksi. Akan
sangat panjang dan terlalu teknis bila kami jelaskan disini.
Cukup Anda perhatikan satu hal penting ini: Syarat utama
agar proses induksi berjalan lancar adalah Anda harus
bersedia dihipnotis. Bila Anda menolak dihipnotis maka
kami atau siapapun tidak akan mampu menghipnotis
Anda. Hypnosis tidak bisa diterapkan secara paksa.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 198


3. Deepening
Teknik memperdalam tingkat trance klien. Untuk tahap
awal ini jika sudah mencapai Alpha sudah terbilang bagus
tetapi jika ingin memperdalam ke Theta anda bisa mulai
menggunakan deepening sederhana di buku ini.
Deepening merupakan proses lanjutan dari induksi. Teknik
ini digunakan untuk memperdalam level hipnotis yang
dialami klien. Secara umum level kondisi hipnotis adalah
light trance, medium trance, dan deep trance atau
somnambulism. Level somnambulism merupakan kondisi
ideal untuk memberikan sugesti. Apabila setelah induksi
klien ternyata belum mencapai tahap somnambulism,
hypnotist perlu melakukan deepening untuk mengarahkan
klien menuju kondisi somnambulism.
Dilakukan untuk memperdalam trance level
seseorang, semakin dalam trance levelnya semakin
sugestif pula tentunya, sehingga suyet lebih mudah untuk
menerima sugesti dari hypnotist. Deepening merupakan
kelanjutan dari induksi. Tujuannya dari penggunaan teknik
deepening adalah untuk membuat klien semakin
suggestible (meningkatkan kemampuan untuk menerima
sugesti). Kita mengenal ada beberapa tingkatan trance
hypnosis. Secara sederhana kita bisa membagi tingkatan
trance hypnosis menjadi light trance, medium trance, deep
trance atau somnambulism. Somnambulism adalah
kondisi mental dimana pikiran subjek menjadi sangat
sugestif. Level trance hypnosis yang paling tepat untuk
terapi ataupun untuk stage hypnosis adalah
somnambulism.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 199


Oleh karena itu, apabila setelah induksi seorang klien
belum mencapai kondisi somnambulism, hypnotist perlu
melakukan deepening dengan teknik tertentu yang bisa
membuat klien mengalami somnambulism. Untuk
mengetahui tingkat tance hypnosis yang dialami klien,
hypnotist bisa melakukan trance level test, atau bagi
hypnotist yang berpengalaman cukup melihat dari tanda-
tanda yang ditunjukkan klien.

4. Sugesti (Mind Therapy, Afirmasi)


Sebenarnya tujuan utama proses hypnosis adalah
memasukkan sugesti positif ke pikiran bawah sadar klien,
sebaiknya hindari membuat sugesti yang berhubungan
dengan masalah-masalah emosi dan pikiran yang berat.
Pada saatnya nanti anda bisa melakukakan tindakan
pertolongan pada berbagai kasus jika sudah menguasai
konsep hypnotherapy. Terkadang bantuan yang kita
berikan dengan cara yang salah justru bisa memperburuk
keadaan. Dalam buku ini ada contoh skrip untuk beberapa
masalah yang bisa dengan mudah dan aman anda pakai.
Pada tahap inilah seorang terapis memberikan
sugestinya. Setelah klien mencapai level kedalam hipnotis
yang ideal, terapi pikiran akan dimulai. Bentuknya adalah
pemberian sugesti yang sudah dirancang agar bisa
menggali akar permasalahan dan menetralisirnya. Dalam
stage hypnosis, biasanya pada tahap inilah seorang
hypnotist akan memberikan perintah-perintah
lucu/konyol kepada subyek, yang bertujuan untuk
menghibur para pemirsa. Sugesti bisa berupa saran,
ajakan, ataupun perintah langsung kepada pikiran bawah
sadar.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 200


Banyak hypnotist pemula yang kurang memahami
bahwa dalam menjalankan hypnotherapy, ada teknik-
teknik tertentu yang harus dikuasai. Sering kali ada
hypnotist pemula yang karena sudah menguasai teknik
induksi (membimbing orang mengalami trance hypnosis),
maka dia merasa sudah menguasai seluruh ilmu hypnosis.
Misalkan komputer dengan OS Windows, teknik induksi
hanyalah password. Orang yang mengetahui password dan
berhasil membuka windows belum tentu memahami cara
mengoperasikan atau membuat program komputer
dengan benar, salah-salah malah bisa merusaknya. Begitu
juga dengan hypnosis, orang yang baru bisa menghipnotis
belum tentu bisa melakukan terapi untuk menyelesaikan
masalah yang serius.

5. Penghentian (Terminasi).
Ini adalah tahap dimana proses hipnotis berakhir. Subyek
akan diminta membuka matanya dan kembali sadar.
Dalam hypnotherapy, subyek akan kembali menjalani
hidup dengan lebih baik sesuai dengan sugesti yang
diberikan oleh terapis. Dalam stage hypnosis, umumnya
subyek akan lupa dengan apa yang terjadi pada dirinya
ketika melakukan tindakan-tindakan lucu / konyol.
Terminasi sebaiknya dilakukan secara bertahap dan
perlahan, agar klien tidak merasa pusing, bingung atau
linglung pada saat kembali sadar.
Inilah bagian yang kami suka. Karena begitu klien
membuka mata, kami sering melihat senyum yang ceria
dan mata berbinar. Itulah mengapa kami selalu ketagihan
melakukan hypnotherapy. Membangunkan klien dari
hypnosis adalah hal yang paling mudah dan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 201


menyenangkan, lebih mudah daripada membangunkan
remaja di hari minggu. Siapapun tidak perlu takut
dihipnotis karena takut tidak bisa bangun. Sepanjang
sejarah penggunaan hypnosis yang saya tahu, tidak
satupun orang yang tidak bisa bangun dari kondisi
hypnosis.

Kelima langkah hipnosis di atas dalam praktek


hipnoterapi hendaknya dilakukan secara benar agar proses
hipnotis berjalan lancar. Pada dasarnya semua orang dapat
melakukan hipnoterapi, asal melalui pelatihan terlebih dahulu.
Di kota besar di Indonesia telah banyak dibuka klinik
hipnoterapi, demikian juga pelatihan untuk menjadi
hipnoterapist.

DAFTAR PUSTAKA
1. International Hanbook of Clinical Hypnosis. Edited by
Burrows G.D et al. John Wiley & Sons, LTD. New York. 2001
2. Hypnosis and Neuroscience:A Cross Talk Between Clinical
and Cognitive Research
Raz A, et al,. Arch Gen Psychiatry. 2002;59:85-90
3. Julia JR. Hypnosis in a Case of Long-Standing Idiopathic Itch.
Psychosomatic Medicine 61:355–358 (1999)
4. A. Vanhaudenhuyse. Neurophysiology of hypnosis. Clinical
Neurophysiology (2014) 44, 343—353
5. Dr. Ling CHIU Update on Medical Hypnosis The Hongkong
Medical Bulletin, VOL.14 NO.2 2009
6. Gruzelier J.H. A Review of the Impact of Hypnosis,
Relaxation, Guided Imagery and Individual Differences on
Aspects of Immunity and Health. Stress, 2002 Vol. 5 (2), pp.
147–163
7. Philips D, et al. Hypnosis in Dermatology. Arch
Dermatol,2000;136: 393-399
8. Philip D. Shenefelt. Applying Hypnosis in Dermatology.
Dermatology Nursing. 2003;15(6)

Psychoneuroimmunology in Dermatology 202


9. Shenefelt PD. Applying Hypnosis in Dermatology.
Dermatology Nursing. 2003;15(6):1-7
10. Rossi EL., et al. THE NEW NEUROSCIENCE OF
PSYCHOTHERAPY, THERAPEUTIC HYPNOSIS &
REHABILITATION: A CREATIVE DIALOGUE WITH OUR GENES.
Published by: Ernest Lawrence. 125 Howard Avenue Los
Osos CA 93402 USA. 2008
11. Mendoza M.E. Efficacy of Clinical Hypnosis: A Summary of
its Empirical Evidence. Papeles del Psicólogo, 2009. Vol.
30(2): 98-116
Scardino M., et al. Hypnosis and Cortisol: The Odd Couple.
MOJ Immunology. 2014;1[2]: 1-5
12. Chamber, Bradford. 2005. How to hypnotize. Stravon
Publisher : New York
13. Murphy, Joseph. 1997. The power of Your Subconscious
Mind (terjemahan) spektrum : Jakarta
14. Wood G.J. et al. Hypnosis, Differential Expression of
Cytokines by T-Cell Subsets, and the Hypothalamo-
Pituitary-Adrenal Axis. American Journal of Clinical
Hypnosis 45:3, January 2003. 179-196
15. Shenefelt P.D. Using Hypnosis to Facilitate Resolution of
Psychogenic Excoriations in Acne Excoriée. American
Journal of Clinical Hypnosis.2004:46[3]:239-245
16. Burgess P. The Use of Hypnosis with Dermatological
Condition. Australian Journal of Clinical and Experimental
Hypnosis. 1996; 24[2]: 110-119
17. McDonald F., 2006, Hypnotherapy Applications in Pain
Management. http://www.fmcdonald.com/
18. Ericson MH, Hersman S, Secter I. Practical Application of
Medical and Dental Hypnisis. 2005. OTC Publishing corp

VOL.11 NO.5 MAY

Psychoneuroimmunology in Dermatology 203

Anda mungkin juga menyukai