Abstrak
Psikoneuroimunologi adalah sebuah interdisiplin ilmu dengan
fokus komunikasi biokimia antara otak, perilaku dan sistem
imun. Psikoneuroalergologi merupakan turunan
Psikoneuroimunologi yang lebih memfokuskan pada
keterkaitan alergi imunologi dengan faktor psikososial.
Peningkatan manifestasi alergi diduga berhubungan dengan
faktor-faktor lingkungan seperti stres. Berbagai penelitian
telah dilakukan dan terbukti adanya disfungsi hipotalamus-
hipofisis-adrenal (HPA) dalam respon terhadap stres dapat
memfasilitasi penyimpangan sistem imun dan dengan
demikian, dapat meningkatkan risiko sensitisasi dan
eksaserbasi alergi terutama dalam kondisi stres. Secara klinis
dan fisiologis telah dapat dijelaskan mengenai stres psikologis
yang merupakan kontributor penting pada perjalanan penyakit
alergi melalui efeknya secara langsung maupun tidak langsung
terhadap respon imun, ekspresi neuropeptide kulit, dan fungsi
sawar kulit.
Kata kunci: psikoneuroimunologi, psikoneuroalergologi,
hipotalamus-hipofisis-adrenal
Abstract
Psychoneuroimmunology is an inter disiplinary field that
specifically examines the biochemical cross talk between brain,
behavior and the immune system. Psychoneuroallergology at
the cross road between allergy immunology concept and
psycosocial factors. The increase of allergic manifestation may
be associated with environmental factors such as stress. A
growing number of studies have suggested an altered
Psychoneuroimmunology in Dermatology 1
hypothalamus-pituitary- adrenal (HPA) axis function to stress
in allergy. It is speculated that a dysfunctional HPA axis in
response to stress may facilitate and/or consolidate
immunological aberrations and thus, may increase the risk for
allergic sensitization and exacerbation especially under
stressful conditions. It has been established via clinical and
physiological means that psychological stress is a significant
contributor to allergy course through its direct and indirect
effects on immune response, cutaneous neuropeptide
expression, and skin barrier function.
Key words: psychoneuroimmunology, psychoneuroallergology,
hypothalamus-pituitary-adrenal
Pendahuluan
Psikoneuroimunologi adalah sebuah interdisiplin ilmu dengan
focus komunikasi biokimia antara otak, perilaku dan sistem
imun.1 Psikoneuroalergologi merupakan turunan
Psikoneuroimunologi yang lebih memfokuskan pada
keterkaitan alergi imunologi dengan faktor psikososial. 2 Istilah
'Alergi' mengacu pada peningkatan kepekaan terhadap
lingkungan seperti tungau debu, serbuk sari, bulu jamur atau
makanan pada keluarga. Reaksi hipersensitivitas ditandai
dengan produksi berlebihan imunoglobulin E (IgE). Gangguan
alergi terutama mencakup dermatitis atopik (DA), asma alergi
(AA), rhinitis alergi (RA) dan alergi gastrointestinal.3
Presentasi Alergen oleh sel dendritik mengawali
respon late phase dengan mengaktifkan sel T-helper (Th)
mensekresi interleukin (IL) -4, IL-5 dan IL-13 dalam jumlah
tinggi, yang mencerminkan dominasi Th2 yang memiiki peran
penting dalam kronisitas perjalanan peradangan alergi. IL-4
dan IL-13 menstimulasi sintesis IgE dan menginduksi switching
sel B dari isotypes Ig lain menjadi IgE. Selanjutnya terjadi
peningkatan ekspresi Vascular Cells Adhesion Molecule 1
Psychoneuroimmunology in Dermatology 2
(VCAM-1) dan terjadi perekrutan serta invasi eosinofil ke lokasi
peradangan. IL-5 menginduksi eosinofil untuk mensekresikan
Eosinophyl Cationic Protein (ECO) yang berkontribusi terhadap
kerusakan sel. Peran penting disfungsi imunitas dalam
patomekanisme penyakit alergi, termasuk DA telah dibuktikan
pada berbagai studi, namun demikian banyak hal yang belum
dapat dijelaskan.3,4
Salah satu hipotesis yang potensial untuk menjelaskan
peningkatan prevalensi alergi terutama DA adalah peran
berbagai faktor, antara lain gaya hidup, nutrisi, polusi maupun
stress psikososial pada immunopatologi penyakit tersebut.3,4
Pada makalah ini dibahas peran psikoneuroalergologi
pada patogenesis alergi, termasuk dampak potensial dari
hiporesponsif maupun hiper responsif aksis HPA pada onset
dan perjalanan kronis alergi pada bidang dermatologi, dalam
hal ini Dermatitis Atopik menjadi salah satu contoh manifestasi
alergi pada dermatoogi. Selain itu, juga dibahas berbagai
faktor yang berkontribusi pada disfungsi aksis HPA pada alergi,
serta terapi stres dengan target sistem neuroimun sebagai
upaya penatalaksanaan alergi yang komprehensif.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 3
lebih meningkatkan resiko sensitisasi alergi dan onset
terjadinya penyakit alergi. Kortisol yang menginduksi stimulasi
IL-4 selanjutnya akan menginduksi produksi IgE dari sel B.9
Selama perjalanan penyakit, hiper responsif pada aksis HPA
kemudian akan berubah menjadi hipo responsif. Berbagai
faktor yang berpengaruh terhadap perubahan fungsi aksis HPA
tersebut belum diketahui dengan pasti, namun diduga
disregulasi tersebut dapat disebabkan oleh proses inflamasi
kronis dengan sekresi.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 4
eksaserbasi dan kronisitas penyakit alergi (dengan faktor
pencetus stres).4,5 Dengan demikian, alergi pada masa anak
tampaknya dapat diinisiasi dan berlanjut karena adanya
disfungsi aksis HPA. Selain hal tersebut, pada gambar 1 dapat
dijelaskan bahwa hiper-reaktif maupun hipo reaktif aksis HPA
dapat mengakibatkan terjadinya disregulasi imun yang dapat
mengawali maupun mendorong terjadinya penyakit atopik,
menunjukkan peran penting regulasi imun.4
Psychoneuroimmunology in Dermatology 5
melalui ganglia dorsalis dan traktus spinalis pada area spesifik
di SSP. Sel mast kutaneus berhubungan erat dengan SP, CGRP,
pituitary adenylate cyclase activating protein (PACAP), dan
opioid-releasing neurons, dan responsif tethadap berbagai
neuromediator tersebut. Sel mas kutaneus mensistesis dan
mensekresi berbagai mediator inflamasi akibat respon dari
berbagai stimulus fisik maupun biokimia. Dengan demikian
terjadilah produksi lokal neuro-hormon dan neuropeptida,
dengan keluarnya SP dari serabut saraf pada kulit akibat
respon terhadap stres.1
Psychoneuroimmunology in Dermatology 6
yang dimediasi glukokortikoid. Formulasi topikal lipid dapat
menormalkan fungsi ini meskipun stres fisiologis terus
berlangsung, sehingga terapi ini sungguh menjanjikan
efektifitasnya pada pasien alergi dengan stres psikologis yang
tinggi dan adanya disfungsi sawar. Namun demikian sampai
saat ini belum ada publikasi tentang studi randomisasi dengan
kontrol yang membandingkan respon klinis pasien alergi
khususnya Dermatitis Atopik dengan stres vs tanpa stres
dengan pemberian terapi topikal yang bertujuan memperbaiki
integritas sawar. Pengetahuan mengenai perbedaan tersebut
seharusnya dibutuhkan bagi klinisi, dalam memilih
penatalaksanaan berdasarkan efikasi terapeutik pada alergi
terutama yang berkaitan dengan stres psikologis.1,15,16
Stres psikologis berkaitan dengan timbulnya gejala
gatal pada alergi dalam hal ini Dermatitis Atopik. Sensasi gatal
dengan keinginan untuk menggaruk, dapat merupakan suatu
sumber yang signifikan terhadap keberlanjutan stres psikologis
pada pasien, dimana hal ini menjelaskan bahwa pemberian
psikofarmakologi dapat bermanfaat pada penatalaksanaan
DA. Korelasi antara skor ansietas pada pasien Dermatitis
Atopik dengan gatal dan lebih beratnya reaktivitas NPY dan
NGF menjelaskan bahwa ansietas dapat meningkatkan
ekspresi neuropeptide ini, dimana keduanya dapat
berkontribusi terhadap gejala gatal. Gatal akibat ansietas yang
terinduksi akibat mediasi NGF dan NPY mendukung perlunya
strategi terapi yang mengarah pada ansietas dan
manajemen/reduksi stres.1,15,16
Pasien stres dengan Dermatitis Atopik juga mengalami
peningkatan sel mast yang responsif terhadap serotonin, dan
terdapat perbaikan pada penyakit kulit dan pruritus setelah
pemberian agonis serotonin dan SSRI. Mekanisme yang
Psychoneuroimmunology in Dermatology 7
mendasari efek anti pruritus tersebut belum dapat dijelaskan.
Selain itu, pemberian intradermal serotonin dapat
menginduksi gatal, efek inhibisi dari SSRI terutama terdapat di
SSP. Sehingga, efek anti pruritus SSRI diduga akibat pengaruh
sentral daripada efek perifer. Agonis serotonin ansiolitik
tandosiprone sitrat (TC) dapat digunakan pada
penatalaksanaan stres yang berhubungan dengan perburukan
DA. Hal ini didukung oleh data dengan menggunakan model
tikus, menunjukkan efikasi klinis pada inhibisi degranulasi sel
mast yang dimediasi stres. Selain itu, pemberian bupropion
dapat menunjukkan perbaikan melalui peran sebagai agen
antiinflamasi yang dapat menurunkan TNF, selain sebagai
inhibitor sentral terhadap reuptake neurotransmiter.1,15
Stres psikologis dapat mempengaruhi fungsi sawar
kulit, dengan adanya perilaku gatal-garuk yang makin
memperburuk integritas epidermis. SP diduga dapat
menginduksi terjadinya gatal, dan peningkatan level SP pada
plasma berkaitan dengan meningkatnya stres dan perburukan
Dermatitis Atopik. Penambahan olopatadine oral lebih efektif
daripada monoterapi topikal dalam menurunkan keparahan
penyakit, gatal dan level SP, menunjukkan peran olopatadine
yang sangat potensial dalam mereduksi peningkatan SP akibat
stres dan kemudian mengatasi pruritus pada Dermatitis
Atopik. Pada studi dengan menggunakan model tikus
menunjukkan inflamasi kulit yang berkurang dan perbaikan
dari gatal setelah pemberian antagonis NK1R. Hal ini didukung
oleh fakta yang menunjukkan peran reseptor NK1 terhadap SP
pada gambaran histologi Dermatitis Atopik dengan eksaserbasi
akibat stres.1 Intervensi farmakologi terhadap inflamasi
neurogenik yang dimediasi SP adalah target terapi yang
menarik, karena potensi terhadap aktivasi NK1R ini
Psychoneuroimmunology in Dermatology 8
menjanjikan dalam menurunkan siklus gatal. Level plasma SP
tetap meningkat pada pasien dengan remisi DA, hal ini
menunjukkan kemungkinan sistem SP-ergik tidak terlibat pada
perubahan akut di DA.1,15 Berbagai hal di atas menunjukkan
terdapat ketidakjelasan mengenai peran sentral maupun
perifer penatalaksanaan pruritus sehingga diperlukan
penelitian untuk menegakkan peran neuropeptida sebagai
pruritogenik pada Dermatitis Atopik, karena hal ini berpotensi
dapat memperbaiki modalitas terapi.
Pengambilan keputusan pada penatalaksanaan
Psikoneuroalergologi pada bidang dermatologi seperti
Dermatits Atopik selayaknya didukung oleh bukti klinis.
Sebuah review meta-analisis tentang stres psikologis dan
Dermatitis Atopik membuktikan adanya hubungan dua arah
antara kedua hal tersebut. Temuan ini mendukung perlunya
penatalaksanaan komprehensif pada Dermatitis Atopik,
dengan melibatkan intervensi psikologis pada
17
penatalaksanaan standar Dermatitis Atopik.
Kesimpulan
Mekanisme yang mendasari konsep Psikoneuroalergologi
pada dermatologi yaitu hubungan alergi imunologi a dengan
stres psikologis belum sepenuhnya dimengerti, namun ranah
Psikoneuroimunologi telah menjelaskan begitu banyak
persepsi dalam memahami peran stres pada konsep alergi di
bidang dermatologi, contohnya Dermatits Atopik. Secara klinis
dan fisiologis telah dapat dijelaskan mengenai stres psikologis
yang merupakan kontributor penting pada perjalanan penyakit
Dermatitis Atopik melalui efeknya secara langsung maupun
tidak langsung terhadap respon imun, ekspresi neuropeptide
kulit, dan fungsi sawar kulit. Berbagai penelitian ilmiah
Psychoneuroimmunology in Dermatology 9
mengenai interaksi neurokutaneus masih terus berlanjut,
dengan demikian terdapat potensi besar dalam
mengidentifikasi target terapi baru dalam memodulasi
neuroimun. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki
penatalaksanaan Dermatitis Atopik, yang bersifat kronis dan
sering kambuh, sehingga menjadi beban besar terhadap
kualitas hidup pasien.
Daftar Pustaka
1. Suarez AL, Feramisco JD, Koo J, Steinhoff M.
Psychoneuroimmunology of psychological stress and atopic
dermatitis: Pathophysiologic and Therapeutic Updates. Acta
Derm Venereol. 2012; 92: 7-15.
2. Iamandescu IB. Psychoneuroallergology. 2nd ed. Amaltea
Medical Publishing House. 2007.
3. Kirschbaum AB. Cortisol responses to stress in allergic children:
interaction with the immune response.
Neuroimmunimodulation. 2009; 16: 325-332.
4. Dave ND, Xiang L, Rehm KE, Marshall GD. Stress and allergic
diseases. Immunol Allergy Clin N Am. 2011; 31: 55-68.
5. Kirschbaum AB, Fischbach S, Rauh W, Hanker J, Hellhammer DH.
Increased responsiveness of the hypothalamus-pituitary-adrenal
axis to stress in newborns with atopic disposition.
Psychoneuroendocrinology. 2004; 29: 705–711.
6. Ball TM, Minto J, Anderson D, Halonen M. Circadian rhythms and
stress responses in infants at risk for allergic disease. J Allergy
Clin Immunol. 2006; 117: 306–311.
7. Wüst S, Federenko IS, van Rossum EF, Ko- per JW, Kumsta R,
Entringer S, Hellhammer DH. A psychobiological perspective on
genetic determinants of hypothalamus-pituitary-adrenal axis
activity. Ann NY Acad Sci. 2004; 1032: 52–62.
8. De Weerth C, Buitelaar JK, Mulder EJH: Prenatal programming of
behaviour, physiology and cognition. Neurosci Biobehav Rev.
2005; 29: 207–208.
9. Barnes PJ. Corticosteroids, IgE, and atopy. J Clin Invest. 2001;
107: 265–266.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 10
10. Glaser R, Kiecolt-Glaser JK. Stress-induced immune dysfunction:
implications for health. Nat Rev Immunol. 2005; 5: 243–251.
11. Foitzik K, Langan EA, Paus R. Prolactin and the skin: a
dermatological perspective on an ancient pleiotropic peptide
hormone. J Invest Dermatol. 2009; 129: 1071–1087.
12. Nordlind K, Azmitia EC, Slominski A. The skin as a mirror of the
soul: exploring the possible role of serotonin. Exp Dermatol
2008; 17: 301–311.
13. Slominski A, Wortman J, Tobin DJ. The cutaneous
serotoninergic/melatoninergic system: securing a place under
the sun. FASEB J. 2005; 19: 176-194
14. Roosterman D, George T, Scneider Sw, Bunnet Nw, Steinhoff M.
Neuronal control of skin function: the skin as a
neuroimmunoendocrine organ. Physiol Rev. 2006; 86: 1309–
1379.
15. Steinhoff A, Steinhoff M. Neuroimmunology of atopic dermatitis.
In: Granstein RD, Luger T, editors. Neuroimmunology of the skin.
Basic science to clinical practice. Berlin: Springer Verlag; 2009:
pp197-207.
16. Walker C, Papadopuolos L. Psychodermatology. The
psychological impact of skin disorders. London: Cambridge
University; 2005.
17. Chida Y, Hamer M, Steptoe A.A bidirectional relationship
between psychosocial factors and atopic disorders: a systematic
review and meta analysis. Psychosomatic Medicine. 2008;
70:102-116.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 11
Psychoneuroimmunology in Dermatology 12
PSIKONEUROIMUNOLOGI BERBASIS NEUROSAINS
Abstrak
Otak mengatur seluruh aktivitas kehidupan manusia antara
lain melalui mekanisme interaksi yang melibatkan sistem
neuroseluler, neuromolekuler, neuroendokrin dan neuroimun,
merupakan basis penelitian yang terus berkembang di bidang
neurosains. Semua sistem tersebut akan berespons pada
kondisi stres psikis yang melibatkan sistem limbik, sebagai
pusat pengaturan emosi dan hipotalamus sebagai pusat
pengaturan sistem saraf otonom. Respons seluler terutama
diperankan oleh sel neuron dengan aktivitas neurotransmiter
yang dihasilkan merupakan zat komunikasi penghubung dalam
berinteraksi dengan sistem neuroendokrin yang dikendalikan
oleh hipotalamus. Berbeda dengan neurotransmiter, hormon
yang dikendalikan oleh sistem neuroendokrin merupakan
molekul organik yang sangat khusus dalam mengerahkan aksi
terhadap sel target tertentu dan memodulasi respons sistemik
dan seluler. Psikoneuroimunologi adalah studi yang
mempelajari tentang hubungan/interaksi antara stres psikis
dengan sistem saraf dan sistem imun yang dimodulasi oleh
sistem neuroendokrin.
Keywords: Psikoneuroimun, neuron, neurotransmiter dan
neuroendokrin
Pendahuluan
Neurosains adalah ilmu yang memfokuskan studi/penelitian
tentang sistem saraf. Keberadaan sistem saraf dikaitkan
dengan keberadaan jenis sel khusus, yang disebut neuron dan
sel glia. Neuron memiliki struktur khusus berupa tonjolan
Psychoneuroimmunology in Dermatology 13
protoplasma yang dikenal sebagai akson untuk mengirim sinyal
secara cepat dan tepat. Melalui akson, neuron mengirimkan
sinyal dalam bentuk gelombang elektrokimia untuk
merealisasikan pembentukan bahan kimia yang disebut
neurotransmiter dan dituangkan ke dalam sinaps. Sel yang
menerima sinyal sinaptik dari sebuah neuron dapat tereksitasi,
terhambat, atau termodulasi. Hubungan antara neuron
membentuk sirkuit neural. Konsep modern memandang fungsi
sistem saraf sebagian dalam kerangka rangkaian interaksi
stimulus-respons, dalam kerangka pola aktivitas yang
dihasilkan secara intrinsik untuk menggenerasikan tingkah laku
berulang-ulang. Aktivitas stimulus respons pada sistem saraf
pada makalah ini difokuskan pada sudut pandang sistem
neuroseluler, neuromolekuler, neuroendokrin serta kaitannya
dengan psikoneuroimunologi.
Sistem Neuroseluler
Neuron merupakan sel otak dengan sifat yang paling mendasar
adalah neuron dapat berkomunikasi, interaksi dengan sel lain
melalui sinaps, yaitu pertautan membran-ke-membran yang
mengandung mesin molekular dan mengizinkan transmisi
sinyal cepat, baik elektrik maupun kimiawi. Neuron dan
tonjolan protoplasma semuanya terbenam di dalam suatu
matriks jaringan ikat neuroglia. Neuroglia terdiri dari sel :
astrosit, oligodendroglia dan mikroglia yang menyediakan
dukungan struktural menyangga, mengatur nutrisi dan proses
kimiawinya. Astrosit dan juga neuron menghasilkan
neurotropin seperti BDNF (Brain Derived Neurotrhopic Factor)
yang memegang peran dalam plastisitas otak
(neuroplastisitas)2. Setiap neuron terdiri dari satu badan sel
yang di dalamnya terdapat sitoplasma dan inti sel. Dari badan
Psychoneuroimmunology in Dermatology 14
sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu dendrit dan akson.
Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan sel saraf,
sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel
ke sel saraf yang lain atau ke jaringan lain. Pada bagian luar
akson terdapat lapisan lemak disebut mielin yang berfungsi
melindungi akson dan memberi nutrisi. Bagian dari akson yang
tidak terbungkus mielin disebut nodus Ranvier, yang dapat
mempercepat penghantaran impuls. Sinaps dapat berupa
elektrik atau kimia. Sinaps elektrik membuat hubungan
elektrik langsung di antara neuron-neuron. Sinaps kimia, sel
mengirimkan sinyal dari presinaps ke postsinaps. Presinaps
dan postsinaps penuh dengan mesin molekular yang
membawa proses sinyal. Daerah presinaps mengandung
vesikel yang terdiri dari bahan kimia neurotransmiter. Ketika
terminal presinaps terstimulasi secara elektrik, sebuah
susunan molekul yang melekat pada membran teraktivasi, dan
menyebabkan isi dari vesikel/neurotrnsmiter dilepaskan ke
dalam celah sinaps. Neurotransmiter kemudian berikatan
dengan reseptor yang melekat pada membran postsinaps,
menyebabkan neurotransmiter masuk ke dalam status
teraktivasi. Tergantung pada tipe reseptor, efek yang
dihasilkan pada sel postsinaps dapat bersifat eksitasi, inhibisi
atau modulasi. Konektivitas yang terintegrasi dari neuron
membentuk jaringan yang mampu menjalankan berbagai
fungsi. Kemampuan interkoneksi saraf dapat menimbulkan
perubahan interneural, reorganisasi sinaps yang merupakan
perkembangan intrinsik agar otak tetap berkembang melalui
rangsangan/stimuli.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 15
Sistem Neuromolekuler
Neurotransmiter merupakan molekul kimia endogen yang
mengirimkan sinyal dari neuron ke sel target di sinaps. Ketika
rangsang tiba di sinaps, ujung akson dari neuron prasinaps
akan membuat vesikula sinaps mendekat dan melebur ke
membrannya kemudian neurotransmiter dilepaskan melalui
proses eksositosis. Pada ujung akson neuron postsinaps,
protein reseptor mengikat molekul neurotransmiter dan
merespons dengan membuka saluran ion pada membran
akson yang kemudian mengubah potensial membran
(depolarisasi atau hiperpolarisasi) dan menimbulkan potensial
aksi pada neuron postsinap7 Penelitian elektrofisiologi
menunjukkan bahwa sistem saraf mengandung berbagai
mekanisme untuk menghasilkan pola aktivitas secara intrinsik,
dengan/tanpa memerlukan stimulus eksternal. Neuron-
neuron ditemukan mampu memproduksi rangkaian potensial
aksi reguler, atau rangkaian ledakan (sequences of bursts).
Stimulus akan menyebabkan terjadinya depolarisasi dan
hiperpolarisasi pada membran sel, yang menyebabkan
terjadinya potensial aksi. Ketika impuls dari neuron prasinaps
berhenti neurotransmiter yang telah ada akan didegradasi,
masuk kembali ke ujung akson neuron prasinaps melalui
proses endositosis. Beberapa jenis neurotransmiter adalah:
Norepinefrin berperan dalam kontrol/adaptasi stres
mental/psikologis. Adrenalin berperan dalam sistem
kardiovaskular dan metabolisme yang terkait dengan stres.
Dopamin berfungsi pada fungsi kognitif, motoris dan endokrin.
Serotonin (5-HT) berperan pada gangguan mood, menurunnya
serotonin dapat beakibat terjadinya depresi. Glutamat
mempunyai efek eksitasi sedangkan GABA (Gamma Amino
Butyric Acid) dengan efek inhibisi.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 16
Sistem Neuroendokrin dan Neuroimun
Sistem neuroendokrin dikendalikan oleh saraf otonom yang
bekerja secara reflektorik. Sistem neuroendokrin juga
terintegrasi dalam fungsi luhur yang menentukan kehidupan
emosional yang dikendalikan oleh sistem limbik. Struktur
limbik yang mempunyai peran penting dalam aktivitas perilaku
emosional melibatkan neurotransmiter norepinefrin dan
serotonin. Struktur limbik sebagai pusat pengaturan emosi
terintegrasi dengan aksis hipotalamus_pitutary_adrenal (HPA)
yang mengatur hubungan sistem saraf dan hormon. Bagian
paraventrikuler dari hipotalamus mensintesa vasopresin dan
CRH (corticotropin releasing hormone) yang mengatur lobus
anterior kelenjar pituitary mensekresi ACTH
(adrenocorticotropic hormone). ACTH pada gilirannya
mempengaruhi korteks adrenal untuk menghasilkan
glukokortikoid. Glukokortikoid berperan memberi umpan balik
negatif kepada hipotalamus dan hipofisis/pituitary untuk
menekan produksi CRH dan ACTH. Glukokortikoid mempunyai
kandungan antiinflamasi yang berkaitan dengan efek
mikrovaskuler dan menekan sitokin inflamasi. Glukokortikoid
memodulasi respons imun via immune adrenal axis yang
berperan dalam mekanisme peningkatan hormon kortisol
pada kondisi stres. HPA aksis dan sistem imun berkomunikasi
dua arah melalui mekanisme umpan balik yang kompleks, dan
berkontribusi pada terjadinya keseimbangan produk limfosit
Th1/immunceluler dan Th2/immunhumoral3. Pada kondisi
stres terjadi peningkatan kortisol sehingga terjadi penekanan
terhadap sitokin Th1 yang berakibat terjadinya penekanan
regulasi dari aktivitas inflamasi5. Peningkatan kortisol
distimulasi oleh sitokin Th1 terhadap HPA aksis yang kemudian
mereduksi aktivitas sistem imun pada Th16. Sitokin sebagai
Psychoneuroimmunology in Dermatology 17
modulator dalam respons imun saling berpengaruh secara
timbal balik terhadap kortisol dan CRH. Glukokortikoid
menyebabkan penurunan eosinofil yang beredar dari jaringan
limfoid terutama sel T menyebabkan retribusi dari sirkulasi ke
dalam kompartemen lain. Kortisol menghambat cell mediated
immunity, menghambat produksi dan mediator inflamasi,
seperti limfokin dan prostaglandin. Kerja ini terjadi via reseptor
glukokortikoid tipe II dan dihambat oleh inhibitor dan sisntesis
protein. Glukokortikoid menghambat produksi dan kerja IFN
oleh limfosit T dan produksi IL-1 dan IL-6 oleh makrofag. Pada
kondisi stres juga terjadi peningkatan kadar sitokin
proinflamasi termasuk TNF_ α, IL-1β, IL-6, IL-85. Sekresi
interleukin-6 sebagai sitokin proinflamasi ditekan
pengeluarannya oleh glukokortikoid namun distimulasi oleh
hormon katekolamin. Sitokin mempunyai kapasitas dalam
mempengaruhi sintesa, pelepasan dan reuptake dari
neurotransmiter termasuk monoamin4. Beberapa penelitian
dengan hewan coba menunjukkan pemberian sitokin dapat
mempengaruhi metabolisme serotonin, norepineprin dan
dopamin1.
Kesimpulan
Neuron merupakan komponen utama dalam merespons
aktivitas sensorik/stres melalui mekanisme yang terstruktur
dalam suatu sistem, terintegrasi dan membentuk konektivitas
yang kompleks. Komunikasi dan konektivitas antar sistem
neuroseluler, neuromolekuler, neuroendokrin dan neuroimun
bekerja melalui mekanisme umpan balik yang saling
mempengaruhi dalam usaha menjaga keseimbangan agar otak
tetap sehat, namun pada kondisi stres keseimbangan sistem
Psychoneuroimmunology in Dermatology 18
hormon neurotransmiter dan sistem imun mengalami
perubahan yang dapat berakibat pada kondisi sakit.
Referensi
1. Anisman H., Gibb J., Hayley S. 2008. Influence of continuous
infusion of interleukin 1-β on depression-related processes in
mice: corticosterone, circulating cytokines, brain monoamines,
and cytokine mRNA expression. Psychopharmacology
(Berl),199;233-44.
2. Cotman C.W., Berchtold N.C. 2002. Exercise: Behavioral
intervention to enhance brain health and plasticity. TRENDS in
neuroscience ; 25; 295-301.
3. Gill J.M., Saligan L., Wood S., Page G. 2009. PTSD is associated
with an excess of inflammatory immun activities. Perspect
Psychiatr Care; 45:262-77
4. Miller A.H. 2009. Norman Cousins Lecture. Mechanism of
cytokine-induced behavioral changes: psychoneuroimmunology
at the translational interface. Brain Behav Immun, 23;149-58.
5. Pace T.W., Heim C.M. 2011. A short review on the
psychoneuroimmunology of post traumatic stress disorder: from
risk factors to medical comorbidities. Brain Behav Immun; 25; 6-
13.
6. Sternberg E.M. 2006. Neural regulation of innate immunity: a
coordinated nonspecific host response to pathogens. Nat Rev
Immunol, 6; 318-28.
7. Turana I. 2015. Ilmu Neurosains Modern. Dalam Dito A, ed.
Pustaka Belajar, Yogyakarta. ISBN; 47-75. ISBN : 978-602-229-
547-1
Psychoneuroimmunology in Dermatology 19
ROLE OF NEUROTRANSMITTER IN SKIN IMMUNITY
ABSTRAK
Hubungan antara sistem saraf, endokrin dan sistem imunologis
telah lama diketahui, ke tiga sistem berkomunikasi melalui jalur;
sinyal listrik, sinyal biokimiawi dan jalur hormon. Komunikasi
tersebut tersebut berkoordinasi dalam upaya menjaga
homeostatis tubuh. Neurotransmiter adalah senyawa
organik endogenus membawa sinyal di antara neuron,
neurotransmiter terimpan di dalam vesikel sinapsis, sebelum
dilepaskan bertepatan dengan adanya potensial aksi (sinyal
elektrik). Neurotransmiter mengirimkan sinyal dari neuron ke sel
target di sinaps dan kemudian dilepaskan ke dalam celah
sinaptik, yang diikat pada reseptor membran pada
sisi postsynaptic dari sinaps. Sistem saraf dengan milyaran
neuronnya akan menghasilkan neurotransmiter dan juga adanya
sinyal listrik sebagai potelsial aksi akan membantu pelepasan
neurotransmiter. Sistem endokrin dengan produk hormonnya
dan sistem imun dengan berbagai jenis sitokinnya. Semua
mediator tersebut saling mempengaruhi antar ke tiga sistem
tersebut. Stres psikologis (stres) merupakan salah satu
meningkatkan sintesis dan pelepasan neurokimiawi tersebut
melalui suatu sistem konversi perilaku (behaviour) akan
mempengaruhi sinyal-sinyal pada sistem neuroendokrin baik
sinyal kimiawi maupun sinyal listrik dan pada akhirnya dapat
mencapai target pada kompartement imunologis. Setelah dalam
aliran darah, neurotrasmiter kemudian dapat berdifusi ke ruang
extraneuronal dan memiliki efek terhadap sistem imun.
Beberapa dari neurotransmiter tersebut dan sitokin akan
mempengaruhi terjadi inflamasi neurogenik. Inflamasi
Psychoneuroimmunology in Dermatology 20
neurogenik ini sebagai suatu respons yang dapat terjadi pada
beberapa kelainan kulit.
Dalam tulisan singkat ini akan dibahas beberapa
neurotransmiter yang memiliki pengaruh terhadap respon imun
dan manifestasinya pada kulit.
Kata kunci: Stres psikologis, neurotransmiter, Sistem imun.
ABSTRACT
The relationship between the nervous system, endocrine and
immune systems have long been known, the three major
systems coordinated effort to maintain homeostasis in the
body. Neurotransmitters are endogenous organic substances
carries signals between neurons, neurotransmitters storage in
synaptic vesicles, before being released to coincide with the
action potential. Neurotransmitters transmit signals from
neuron to a target cell in the synapse and then released into
the synaptic cleft, which is tied to membrane receptors on the
postsynaptic side of the synapse. The nervous system with
billions neurons will produce abundant neurotransmitter and
also the electrical signals as potensial action will help the
release of neurotransmitters. The endocrine system is the
product of hormones and the immune system with various
types of cytokines. All these as mediators interplay between all
three systems. Psychological stress (stress) is one of the
neurochemical increase the synthesis and release through a
conversion system behavior (behavior) will affect the signals on
both the neuroendocrine system of chemical signals and
electrical signaling and eventually may circulate to the target
in the immunological compartment. Once in the bloodstream,
neurotransmitter then diffuses into space extraneuronal and
have an effect on the immune system. Some of these
neurotransmitters and cytokines will affect neurogenic
inflammation. This neurogenic inflammation can occur in some
skin disorders.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 21
In this short article will discuss some of the
neurotransmitters that have an influence on the immune
response and its manifestations in the skin.
Keywords: Psychological stress, neurotransmitter, immune
system.
PENDAHULUAN
Susunan saraf pusat, sistem endokrin dan sistem imun,
merupakan tiga sistem besar untuk kehidupan mahluk hidup,
ketiganya terkoordinasi satu sama lain dalam
mempertahankan homeostatis. Ketiganya saling
berkomunikasi satu sama lain melalui berbagai jalur, baik
secara anatomi, biokimiawi dan melalui sinyal-sinyal listrik
(electrical signaling). Telah lama diketahui bahwa stres
psikologis (stres) memegang peran dalam memicu maupun
memperberat penyakit, banyak peneliti dapat telah
membuktikan peran stres psikologis dalam patobiologi
beberapa penyakit, ternyata diketaui pula sistem stres
mempengaruhi ketiga sistem tersebut.
Konsep hubungan antara stres dengan penyakit
(tubuh) telah ada sejak era Hipocrates yang mengatakan
bahwa ”kesalahan besar para dokter adalah memisahkan
antara badan dan pikiran”. Rene Descrates (1650) yang
menyatakan pikiran dan tubuh tidak terpisahkan dalam
kehidupan. Ivan Petrovich Pavlov (1849) dengan anjing
percobaannya membuktikan bahwa kognitif yang dikondisikan
dengan lonceng maka asam lambung keluar tanpa melihat
makanannya. Sejak tahun 1920 Dr. Walter Cannon, menkaji
secara ilmiah dengan mengemukakan teori homeostatis dan
teori “fight or flight”. Hans Selye (1936) memperkenalkan
respon biologis dan fisiologis dari stres melalui teori “General
Adaptation Syndrome”. Istilah Psikoneuroimunologi pertama
Psychoneuroimmunology in Dermatology 22
kali di perkenalkan oleh Dr. Robert Ader (1975), yang
mengungkapkan terjadi suatu learning process tubuh sehingga
tubuh merespon stres dengan melibatkan multiorgan.
Menurut Hans Selye, “Stres adalah respons yang bersifat
nonspesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada
dalam dirinya”. Stres adalah reaksi atau respons tubuh
terhadap stresor psikososial (tekanan mental atau beban
kehidupan)”.
Sinyal stres pada awalnya diterima oleh prefrontal
cortex dari perifer, sinyal diteruskan ke sistem lymbic, disini
Hipotalamus akan menterjemahkan sebagai stress perception.
Kemudian hipotalamu-hipofisis-adrenal aksis (HPA) dan
simpatik-adrenal medula aksis (SAM) sebagai sumbu utama
dalam memberikan respon terhadap stres (stress response).
Stres akan merangsang hipotalamus untuk menghasilkan
corticotropic-releasing hormone (CRH) yang menyebabkan
pelepasan adreno-corticotroprin hormone (ACTH) di hipofisis.
Pelepasan ACTH menimbulkan stimulasi korteks adrenal untuk
mensintesis kortisol. Melalui paraventrikular dari hipotalamus,
mensintesis dan melepaskan (CRH), hormon ini menstimuli
kelenjar pituitari anterior mensekresi (ACTH), ACTH pada
gilirannya bekerja pada adrenal korteks, yang menghasilkan
glukokortikoid hormon (terutama kortisol pada manusia)
sebagai tanggapan terhadap rangsangan oleh ACTH.
Glukokortikoid pada gilirannya kembali bertindak hipotalamus
dan hipofisis (untuk menekan produksi CRH dan ACTH dalam
siklus umpan balik negatif.
Corticotropin-releasing (CRH) adalah hormon peptida
dan neurotransmitter yang terlibat dalam respon stres.
Neurokimia adalah substansi biokimiawi (neurohormon,
neuropeptid dan neurotransmiter) yang disintesis di jaringan
Psychoneuroimmunology in Dermatology 23
saraf maupun di organ lain, selain berperan dalam sistem saraf
juga berperan dalam sistem imun, baik selular maupun
humural.
Tulisan ini akan membahas secara singkat peran
neurotransmiter dan neuropeptid terhadap respon imunitas
dan beberapa penyakit yang berhubungan dengan stres
psikologis dengan neurokimiawi dan resons imun.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 24
Neurotansmiter Neuropeptid
(Klasik)
Berat molekul Kecil, satu asam Besar, memiliki panjang
amino 2-40 asam amino
Sintesis Sitosol pada ujung Badan Golgi/retikulum
sinaps endoplasmik neuron
(badan sel) berjalan ke
ujung sinap melalui
transportasi akson
Pelepasan Terminal akson Terminal akson, dapat
bersama
neurotransmiter
Kecepatan & Respon cepat & Respon lambat,
durasi kerja singkat berkepanjangan
Tempat kerja Membran subsinaps Nonsinaps di sel
sel pasca sinaps prasinaps atau
pascasinaps dengan
konsentrasi lebih kecil
dari neurotransmiter
Efek Mengubah potensial Meningkatkan atau
sel dengan menekan efektivitas
membuka saluran sinaps pada sintesis
ion neurotransmiter atau
reseptor pascasinap
1. Noradrenalin (Norepinefrin)
Epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin) yang
dikenal sebagai neurotransmiter yang berasal dari tirosin.
Kedua bahan kimia ini mengatur perhatian, fokus mental,
gairah, dan kognisi pada manusia. Tugasnya adalah membuat
otak tetap sadar dan terjaga (tugas noradrenalin ini mirip
Psychoneuroimmunology in Dermatology 25
dengan tugas hormon adrenalin yang dihasilkan oleh kelenjar
anak ginjal (adrenal gland) yang terletak diatas ginjal hanya
saja noadrenalin dihasilkan oleh otak).
Norepinefrin bersama epinefrin dan dopamin
merupakan keluarga dari katekolamin, yang disintesis di
berbagai tempat. Norepinefrin sebagai neurotransmiter
kimiawi dilepas dari sinap semua ujung saraf pascaganglion
simpatis. Norepinefrin akan dilepaskan diantara sinap,
sebagian ada yang di reuptake kembali oleh neuron yang
mensekresinya. Norepinefrin juga di produksi oleh locus
seruleus dan nukleus lain di pons dan batang otak. Akson-
akson tersebut turun akan menstimuli paraventricular nucleus
(PVN) di batang otak yang akan mengaktivasi sumbu
Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA axis).
Sejak lama telah diketahui bahwa norepinefrin
memediasi respon fisiologis terhadap keadaan gawat yang
dikenal sebagai respon fight or flight (melawan atau lari), strs
akut dengan peran untuk memobilisasi energi, peningkatan
aliran darah pada otot dan sebagainya. Secara langsung
norepinefrin berefek meningkatkan aktivitas monosit dan sel
natural killer dan juga secara langsung meningkatkan aktivitas
sel Th-naif sehingga terjadi pengalihan (shift) ke arah Th2
sehingga meningkatkan peran imunitas humoral. Norefinefrin
juga dapat meningkatkan sintesis cortico-tropin-releasing
hormon. Cortico-tropin-releasing hormon (CRH) akan
menstimuli kelenjar hipofise anterior untuk memproduksi
adrenocorticotropic hormone (ACTH), yang kemudian akan
menstimuli korteks adrenal untuk mensintesis kortisol, sebagai
produk akhir dari sumbu HPA. Norepinefrin juga mempunyai
efek terhadap peningkatan produksi IL-10 dari monosit melalui
reseptor β-adrenergic, interleukin ini sebagai stimulator utama
Psychoneuroimmunology in Dermatology 26
Th2 untuk memproduksi IL-4 dan IL-5, norepinefrin melalui
reseptor beta adrenergik pada sel penyaji antigen akan
meningkatkan sintesis IL-10, interleukin ini secara langsung
meningkatkan sintesis IL-4 oleh Th2 dan menghambat
aktivitas sel Th1. Sebagai akibat, terjadi peningkatan IL-4 dan
IL-5, ke dua sitokin ini sangat berperan dalam
imunopatogenesis dermatitis atopik. Dengan demikian
norepinepfrin secara tidak langsung juga mempengaruhi
keseimbangan Th1/Th2. Secara anatomis, jalur CRH – Sel Mast
dan jalur neuropeptid, jalur-jalur tersebut langsung
mempengaruhi aktivitas sel Mast. Telah terbukti pada psoriasis
dan dermatitis atopik, psoriasis urtikaria kronis norepinefrin
meningkat secara bermakna.
2. Serotonin (Serotonine)
Hormon serotonin diproduksi di saluran pencernaan, kelenjar
pineal, sistem saraf pusat, dan platelet. Serotonin sering juga
disebut 5-HT atau 5-hydroxytryptamines (serotonin) adalah
neurotransmiter monoamine, bertugas sebagai penenang
sehingga sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas emosi
dan membuat kita tidur. Jika kita kekurangan serotonin sedikit
saja, maka hal itu dapat memunculkan perilaku yang dapat
membahayakan orang yang bersangkutan (misalnya timbulnya
penyakit bulimia, munculnya kecenderungan adiksi
(kecanduan) terhadap bahan-bahan berbahaya seperti
alkohol, tembakau dan sebagainya). Serotonin berperan dalam
mengontrol berbagai tingakatan emosional. Serotonin juga
berperan dalam mengendalikan mood, kegelisahan, depresi,
dan lain sebagainya.
Bersama skema representasi dari efek nikotin dan 5-
HT pada pelepasan sitokin dalam populasi sel darah yang
Psychoneuroimmunology in Dermatology 27
berbeda. 5-HT sebagai inhibitor yang kuat terhadap pelepasan
TNF tapi mempunyai efek berlawanan terhadap IL-1, dan IFN-
ɣ.
Sebaliknya, 5-HT dilaporkan dapat memfasilitasi
pelepasan IFN- ɣ dan natural killer cell (NK cell) dan IL-16 dalam
sel T helper. Oleh karena itu, 5-HT tampaknya berperan
perkembangan proses peradangan neurogenik (neurogenic
inflammatory) dengan ikut meningkatkan sintesis sitokin
proinflamasi. Penelitian terakir, serotonin berperan sebagai
pruritogenik pada pasien penyakit kulit alergi seperti
dermatitis atopik dan urtikaria kronis. Psoriasis yang dipicu
stres, inflamasi kronis berhubungan dengan inflamasi
neurogenik akibat peran sistem serotonergik.
3. Dopamin (Dopamine)
Dopamin diproduksi di beberapa daerah otak terutama di
hipoalamus, substantia nigra dan daerah tegmental ventral,
dopamin juga merupakan neurohormon. Dopamin
menghantarkan sinyal antar sel saraf atau dengan sel lainnya.
Awalnya dopamin dikenal sebagai neurotransmiter yang
menghantarkan sinyal hanya di dalam otak, namun juga
diketahui memiliki fungsi pada organ lain. Di dalam susunan
saraf pusat, dopamine memiliki peran dalam mengatur
pergerakan, pembelajaran, daya ingat, emosi, rasa senang,
tidur, dan kognisi. Perannya adalah mengatur gerakan motorik
kita dan membentuk postur tubuh kita agar menjadi
proporsional. Kekurangan dopamin akan mengakibatkan
timbulnya penyakit Parkinson. Dopamin merupakan major
neurotransmiter mentranmisi sinyal melalui beberapa
transmembrane reseptor D1–D5.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 28
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa dapat
memberikan kontribusi pada modulasi imunitas melalui
reseptor diekspresikan pada sel-sel kompartemen imun.
Sebelumnya telah dibuktikan bahwa Dopamin sebagai
autokrin dan parakrin pada sel dendritik (DC), dalam proses
presentasi Antigen ke sel CD4+ dan T naif, hal ini diperankan
reseptor D1. Penelitian lain menyatakan peran system
dopaminergik merespon Th-17 dalam patogenesis rheumatoid
arthritis (RA). Dalam sel CD4 + T naif, dopamin meningkat IL-6
tergantung sintesis IL-17 reseptor D1. Secara bersama-sama,
temuan ini menunjukkan bahwa dopamin dilepaskan oleh DC
menginduksi sumbu IL-6 dan Th17 dan menyebabkan
peradangan sinovial RA. Penelitian lain juga menunjukkan
peran dopamin berlebihan dalam patogenesis psoriasis, efek
pada patogenesis polimorfisme gen pada psoriasis yang
terlibat dalam metabolisme dopamin. Demikian juga
peningkatan C-reactive protein sangat berkorelasi dengan
peran dopamin, namun belum jelas perannya terhadap
hambatan terhadap TNF-α, IL-1, IL-12, IL-6 dan IL-8.
4. Asetilkolin (Acetylcholine)
Asetilkolin (Ach) merupakan molekul ester-kolin yang pertama
diidentifikasi sebagai neurotansmitter. ACh dibuat di dalam
susunan saraf pusat oleh neuron dan badan selnya yang
terdapat pada batang otak dan forebrain, selain itu disintesis
juga dalam saraf lain di otak. ACh beraksi pada sistem saraf
otonom di perifer dan di pusat, dan merupakan transmitter
utama pada saraf motorik di neuromuscular junction pada
vertebrata.
Asetilkolin memiliki peran dalam penyimpanan
memori. Mahluk hidup membutuhkan asetilkolin ketika
Psychoneuroimmunology in Dermatology 29
konsentrasi dan kognisi. ACh ini terbentuk pada akson terminal
neuron, sebagai neurotransmiter, dimulai saat potensial aksi
sudah sampai pada terminal akson. Hal ini akan bersamaan
dengan meningkatnya kalsium yang bermuatan dan aktifnya
asetilkolin. Asetilkolin yang aktif akan segera direspon oleh
ACh reseptor sel neuron terdekat. Selain itu, Ach menstimuli
sitokin proinflamasi dan menginduksi aktivasi sistem saraf
simpatik dan sumbu HPA. Terakhir ditemukan jalur baru dari
regulasi otak memediasi respon imun perifer disebut Jalur
kolinergik-antiinflamasi, hal ini mungkin langsung memodulasi
respon imun terhadap invasi patogen. Stimulasi listrik
(electrical signaling) dari saraf vagus eferen tampaknya secara
signifikan Ach menekan pelepasan sitokin IL-1β, IL-6, TNF-α
dan IL-18 tetapi tidak terhadap produksi IL-10 dalam
percobaan kultur makrofag. Ach mengaktivasi cholinergic anti-
inflammatory pathway dan menghambat TNF-α pada tikus
percobaan. Ach dikatakan berperan dalam penyakit urtikaria
kolinergik atau urtikaria yang dicetuskan keringat. Pada pasien
dengan peripheral arterial occlusive disease (PAOD) Ach
mempunyai efek ringan terhadap vasodilatasi lokal dengan
meningkatkan fungsi Ach dalam vaskular kulit.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 30
mengatasi gangguan yang terkait dengan stres emosional.
GABA telah dilaporkan dalam kultur makrofag murin, dan juga
ditemukan di ekstrak makrofag dikultur dari monosit darah
perifer. Enzim Glutamic Acid Decarboxylase (GAD) 65 (Salah
satu marker adanya antibodi terhadap enzim glutamat
dekarboksilase) dan anti anti-GAD65 ada dalam jumlah yang
banyak dalam sel dendritik (DC) dan konsentrasi lebih rendah
pada peritoneal makrofag, DC dan limfosit T juga dapat
melepaskan GABA. Stimulasi makrofag dan DC dengan
lipopolisakarida (LPS) terjadi peningkatan ekspresi GAD,
sementara jumlah GABA disekresikan tidak dipengaruhi secara
signifikan. Stimulasi CD4+ sel T dengan anti-CD3 dan antibodi
anti-CD28 juga memiliki berpengaruh pada konsentrasi GABA
dalam plasma. Kehadiran GABA-Transaminase yang
diprodukasi di makrofag dan limfosit mengaktifkan sel T sejak
spesifik limfosit T mitogen (phytohemagglutinin; PHA)
digunakan untuk stimulasi dan sel T sel B dengan rasio sekitar
3:1. Interaksi sel B dan sel T, diduga mempengaruhi ekspresi
sitokin sebagai bagian pada imunitas adaptif, beberapa
antibodi yang diproduksi sebagai respon terhadap infeksi,
seperti Ig M, juga disekresikan secara alami oleh sel B. Limfosit
T dalam fungsinya terdapat beberapa jenis, yang meliputi CD8+
(sitotoksik) sel T, yang dapat diaktifkan dengan CD4+ T (helper)
sel dan CD8+. Jenis lain termasuk T-reg (sel T-regulator) yang
dapat mengendalikan aktivasi sistem imun, dan diduga
berpengaruh terhadap Natural Killer Cell.
Penelitian in vivo maupun in vitro GABA diperifer
menghambat terjadi inflamasi neurogenik pada penyakit
autoimun. Dapat juga dipakai penggunaan lokal (topikal) dan
sistemik untuk kelainan otoimun. GABAA-R (GABA antagonis
reseptor) suatu antagonis dan senyawa yang menghambat
Psychoneuroimmunology in Dermatology 31
sintesis GABA mungkin berguna dalam penanganan supresi
imun akibat obat, misalnya pada pasien yang mendapat
sitostatika. Walaupun efektivitasnya tampaknya belum jelas,
dan lebih efektif pada penyakit didominasi oleh TNF-α, seperti
rheumatoid arthritis, asma dan penyakit radang usus.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 32
sebagai neurotransmiter, tetapi juga sebagai
immunomodulator penting. Dalam hal ini, beberapa reseptor
glutamat baru-baru ini telah dijumpai pada permukaan sel-T,
dan transporter glutamat dilaporkan membantu peran APC
seperti sel dendritik dan makrofag. Disamping itu, peningkatan
jumlah glutamin dilaporan telah menjelaskan mekanisme
autoimun sebagi pelindung autoantigen sel T, neurotransmiter
ini dalam sistem saraf melindungi neuron terhadap glutamat
neurotoksisitas. Ada peran glutamat sebagai imunomodulator,
hal penting dalam inisiasi dan perkembangan sistem imun yang
dimediasi sel T pada jaringan perifer dan dalam sistem saraf
pusat.
1. Substansi P
Substansi P (SP) adalah suatu neuropeptida yang berfungsi
sebagai neurotransmiter dan neuromodulator, dari golongan
neuropeptida takikinin. Selain itu, substansi P juga merupakan
elemen penting di dalam persepsi nyeri. Fungsi sensoris
substansi P diperkirakan berkaitan dengan transmisi informasi
nyeri ke dalam susunan saraf pusat. Substansi P dikaitkan
dengan regulasi gangguan mood, ansietas, stres, neurogenesis
mual/muntah, nyeri dan nosiseptif, dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Banyak bukti menunjukkan
hubungan antara neuron dan sistem kekebalan tubuh sebagai
immunomodulasi aktivasi sintesis pelepasan sitokin dan
kemokin, selain itu, substansi P terbukti memediasi
peradangan, angiogenesis. Substansi P mampu mengaktifkan
Psychoneuroimmunology in Dermatology 33
beberapa sel imun, seperti CD4+ dan limfosit CD8+, sel mast, sel
NK dan makrofag. Dalam studi terbaru menunjukkan bahwa
substansi P dapat mengaktifkan interleukin-8, kemokin CXC,
menunjukkan keterlibatannya dalam chemoattraction
terhadap sel T, dan penting dalam patofisiologi inflamasi
nerogenik yang terjadi pada kulit seperti dermatitis, psoriasis,
diskoid lupus dan lainnya.
2. Neuropeptide Y (NP-Y)
Peran utama dari sistem kekebalan tubuh adalah penahanan
patogen, sel-sel kanker, dan infeksi. Ini juga memainkan peran
sebagai kontrol mencegah munculnya disfungsi limfosit, yang
dapat menyerang jaringan dan menyebabkan penyakit
autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (SLE),
rheumatoid arthritis, dan multiple sclerosis. Stres dan episode
emosional yang kuat secara dramatis mengurangi resistensi
kita terhadap infeksi, dan perkembangan sel kanker. Namun,
sampai sekarang, hubungan antara kondisi mental dan
imunitas kanker belum diketahui dengan pasti. Terakhir
ditemukan bahwa neuropeptide Y (NPY), sebagai suatu
hormon yang dikeluarkan selama stres, mengganggu imunitas
seluler dan menghambat respon sel imun yang penting melalui
peran reseptor Y1. Ini adalah penemuan penting untuk
pertama mengkaji link baru antara stres psikologis dan
imunosupresi yang dimediasi NP-Y.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
sistem saraf simpatik mengatur manifestasi klinis dan patologis
chronic relapsing experimental autoimmune encephalomyelitis
(EAE), model penyakit autoimun dimediasi oleh sel Th1 dan
NP-Y. Meskipun peran katekolamin telah ditunjukkan dalam
studi sebelumnya, itu tetap mungkin bahwa neurotransmiter
Psychoneuroimmunology in Dermatology 34
simpatik lainnya seperti NP-Y juga terlibat dalam patogenesis
EAE. Efek NP-Y dan reseptornya mempunyai sifat spesifik pada
oligodendrocyte myelin glikoprotein 35-55 pada tikus,
sedangkan agonis reseptor Y5 atau pemberian antagonis
reseptor Y1 tidak menghambat tanda-tanda EAE. Suatu
penelitian mengungkapkan penghambatan yang signifikan dari
myelin oligodendrocyte glikoprotein terhadap respon sel Th1
spesifik bukan pada sel Th2, pada percobaan tikus yang
diberikan agonis reseptor Y1, analisis in vivo menunjukkan
mekanisme autoimun yang dimediasi sel T secara langsung
dipengaruhi oleh NP-Y melalui reseptor Y1. Kesimpulannya,
bahwa NP-Y merupakan immunomodulator potensial terlibat
dalam regulasi penyakit autoimun. NP-Y dapat menghambat
inflamasi neurogenik dengan menekan produksi Th17 dan Th1-
like cytokines, namun dapat meningkatkan sitokin Th2.
Penelitian terakhir menyatakan NP-Y sebagai
imunoreaktifaktor terhadap sel dendritik epidermal pada
dermtitis atopi, pada psoriasis, dan NP-Y berperan dalam
hantaran rasa gatal.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 35
imunitas alami dan didapat, ada dalam organ limfoid,
memodulasi fungsi sel-sel inflamasi melalui reseptornya.
Produksi dan pelepasan baik sitokin pro-inflamasi dan anti-
inflamasi oleh fagosit aktif dalam inisiasi respon imun. Respons
VIP dan PACAP dapat menghambat produksi sitokin pro-
inflamasi TNF-α, IL-6, IL-12 dan nitrit oksida dan merangsang
produksi anti-inflamasi sitokin IL-10.
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa bone
marrow-derived dendritic cells (BMDCs) berbeda dengan VIP,
BMDCs oleh diinduksi IL-10/transforming factor growth- β
(TGF)-β yang disintesis sel T regulator (T-reg) in vivo, bahwa
penambahan VIP untuk media kultur awal dalam diferensiasi
monosit manusia untuk monocyte-derived dendritic cells
(MDDC) dirangsang diferensiasi DC yang terpolarisasi pada
CD4+ T sel untuk IL-10/TGF-β memproduksi T-reg dan juga sel
CD8+ T. Sel CD8+ T diproduksi IL-10 dan menunjukkan adanya
perubahan pada CD 28/Antigen limfosit T sitotoksik (CTLA)
fenotipe, dan kedua CD4+ dan CD8+ T-regs dihasilkan oleh
respon imun yang diperantarai oleh VIP. Oleh karena itu, VIP
mungkin memiliki efek yang berbeda dengan DC tergantung
titik tangkap reseptor VIP. Reseptor terhadap VIP disebut
VPAC1, reseptor ini selain di saraf juga ditemukan pada limfosit
T, sehingga dapat mengendalikan sintesis sitokin seperti TNF-
α. Diketahui juga VIP memodulasi sel Mast untuk merespon
stres, hal ini terjadi pada urtikaria kronis dan penyakit alergi
lainnya.
4. β-Endophine
β-Endorphine adalah neuropeptid yang membuat seseorang
merasa senang, nyaman dan untuk aktivasi sistem imun. β-
Endorphine diproduksi oleh kelenjar pituitary yaitu pada saat
Psychoneuroimmunology in Dermatology 36
kita merasa bahagia (tertawa) dan pada saat kita istirahat yang
cukup. neuropeptida ini bertindak seperti morphine (endogen
opioid), bahkan dikatakan 200 kali lebih besar dari morphine.
β-endorphine atau endorphine mampu menimbulkan perasaan
senang dan nyaman hingga membuat seseorang berenergi. β-
endorphine juga memiliki peran terhadap sistem imunitas,
selain menurunkan keadaan emosi. Dengan endorphin
perasaan kita akan lebih rileks, dan tentunya kita pun akan
lebih mudah mengontrolnya, mengontrol rasa amarah
sekaligus berpikir positif dengan mengutamakan kesabaran.
Dapat dikatakan bahwa endorphin itu seperti zat yang
terkandung di dalam es krim atau coklat. Apabila kita
mengkonsumsi es krim atau coklat, kita akan merasakan
kenyamanan. Zat yang membuat kita nyaman pun juga
diproduksi oleh tubuh kita, guna menstabilkan emosi kita.
Dengan zat tersebut, kita dapat merasakan rileks, dan semua
yang berhubungan dengan tekanan pada perasaan kita seperti
marah, sedih dan depresi dapat dikurangi bahkan dihilangkan.
Manfaat endorphin sudah lama dikenal sebagai zat yang
banyak manfaatnya, seperti mengatur produksi growth factors
dan seksualitas, mengendalikan rasa nyeri serta sakit yang
menetap, mengendalikan perasaan stres, serta meningkatkan
sistem kekebalan tubuh. Endhorpine sebenarnya merupakan
gabungan dari endogenous dan morphine, zat yang
merupakan unsur dari protein yang diproduksi oleh sel-sel
tubuh serta sistem syaraf manusia, pelepasan zat ini bisa dipicu
melalui berbagai kegiatan, seperti pernapasan yang dalam,
relaksasi, serta meditasi. Sel natural killer adalah bagian dari
sistem kekebalan tubuh yang membunuh sel kanker atau
patogen lainnya. Stres mempengaruhi kemampuan sel-sel
pembunuh alami ini untuk meningkatan respon imun melalui
Psychoneuroimmunology in Dermatology 37
endorfin. Endorfin juga membantu menurunkan tekanan
darah, dengan memperbaiki enditel pembuluh daran, mampu
berikatan dengan limfosit B, dan untuk meningkat peran sel
natural killer. Sel B dan Sel NK adalah bagian kecil dari
keseluruhan peripheral blood mononuclear cells (PBMC).
Berdasarkan hasil penelitian deskriptif menunjukkan bahwa
dengan latihan pernapasan dapat meningkatkan β–endorphin
terbukti meningkatkan kebugaran fisik dan imuniglobulin-G
dan menekan interleukin 6 pada keadaan stres, sementara
interleukin 2 dan interleukin 4 tidak meningkat secara
bermakna. Demikian juga kortisol tidak menurun secara
signifikan. Penggunaan topikal aplikasi berefek positif pada
hidrasi kulit, elastisitas dan kerutan (wrinkle) pada kulit.
4. Kalsitonin
Kalsitonin (CT) adalah hormon yang berperan didalam regulasi
tulang dan kalsium darah. Neuropeptid ini belum begitu jelas
perannya pada keadaan stress, tetapi berpengaruh terhadap
respon imun. Sumber utama dari CT adalah parafollicular cells
kelenjar tiroid. Sebagian besar dari kelenjar tiroid adalah
folikular sel yang bertanggungjawab untuk sekresi hormon
tiroid. Selain itu, CT juga dijumpai di beberapa organ di dalam
tubuh, termasuk thymus, usus halus, kandung kemih, paru-
paru dan hepar. Kalsitonin adalah polipetida kecil, terdiri dari
32 asam amino dengan berat molekul 3410 Dalton. Sekresi
kalsitonin dipengaruhi oleh adanya serum Ca2+ yang tinggi,
target organ dari hormon ini adalah usus halus dan tulang.
Hormon ini bekerja menurunkan absorbsi Ca2+ dalam usus dan
menurunkan resorpsi Ca2+ dalam tulang sehingga serum
Ca2+ yang semula tinggi menjadi menurun. Hormon ini bekerja
berlawanan dengan hormon paratiroid. Kalsitonin plasma yang
Psychoneuroimmunology in Dermatology 38
lebih tinggi dari normal, dapat menyebabkan gangguan sistem
saraf (refleks lamban, kontraksi otot lamban & lemah
konstipasi & nafsu makan). Kalsitonin dapat mengurangi kadar
kalsium dalam aliran darah dengan menghambat kerja
destruksi sel tulang oleh osteoklas, menghancurkan matrix
ekstraseluler. Sekresi hormone kalsitonin mengontrol umpan
balik negative, ketika kalsium dalam darah tinggi, kalsitonin
menurunkan kalsium dan fosfat dalam darah dan menghambat
resorbsi tulang oleh osteoklas dan meningkatkan uptake
kalsium dan fosfat ke dalam matrix ekstraseluler tulang.
Dalam sistem imun dikatakan bahwa kalsitonin tidak
hanya stimulasi IL-1, IL-6, TNF-a, dan IL-12 tetapi juga IL-2, IL-8
dan IL-10 dalam peranan dalam etiopatogenesis osteoporesis.
Pada kelenjar hipofisis, kalsitonin diserap oleh reseptor C2a
dan menginduksi produksi cAMP. Setelah itu CT akan
menginduksi produksi IL-6 melalui jalur protein kinase A (PKA)
dan protein kinase C (PKC), atau menghambatnya melalui
aktivasi protein G1/G0, menghambat sekresi prolaktin, akan
memicu berbagai proses angiogenesis pada sel endothelial dan
pengaruh pada perkembangan sel
kanker payudara dan prostat.
DAFTAR PUSTAKA
Psychoneuroimmunology in Dermatology 39
3. Hayashi T. Conversion of psychological stress into cellular stress
response: Roles of the sigma-1 receptor in the process.
Psychiatry and Clinical Neurosciences 2015; 69: 179–191
4. Merlin. NJ. Neuropeptides –A Review. Asian J. Pharm. Res. 2014;
4: 4:198-200
5. Ganea D. Neuropeptides: Active Participants in Regulation of
Immune Responses in the CNS and Periphery. Brain Behav
Immun. 2008; 22[1]: 33–34.
6. Moreira LS. Neuropeptides as Pleiotropic Modulators of the
Immune Response. euroendocrinology, 2012;6: 1-12
7. Nardocci G, et al. Neuroendocrine mechanisms for immune
system regulation during stress. Fish & Shellfish Immunology 40
(2014) 531-538
8. Jara LJ. Immune-neuroendocrine interactions and autoimmune
diseases. Clinical & Developmental Immunology, June–
December 2006; 13[2]: 109–123
9. Tsigos C, et al. Hypothalamic–pituitary–adrenal axis,
neuroendocrine factors and stress. Journal of Psychosomatic
Research, 2002;53: 865– 871
10. Kojima M., et al. Effects of Neuropeptides in the Development
of the Atopic Dermatitis of Mouse Models. Allergology
International. 2004; 53: 169-78.
11. Mustafa GA. Neurogenic Inflammation and Allergy. J Pediatr
Allergy Immunol. 2009; 7[2]: 45-58
12. Hodeib A., et al. Nerve Growth Factor, Neuropeptides and
Cutaneous Nerves in Atopic Dermatitis. Indian J Dermatol. 2010;
55[2]: 135-9.
13. Botchkarev VA., et al. Neurothropins in Skin Biology and
Pathology. J Invest Dermatol. 2006; 126: [17]:19-27.
14. Operacz MC. Et al. Clinical and experimental aspects of
cutaneous neurogenic inflammation. British Journal of
Pharmacology, 2013; 170: 38–45
15. Mikolajczak ET.,et al. Neurogenic Markers of the Inflammatory
Process in Atopic Dermatitis: Relation to the Severity and
Pruritus. Postep Derm Alergol. 2013; 30[5]: 286-292.
16. Hosoi T, et al. 2004. Functional Role of Acetylcholine in The
Immune System. Frontiers in Bioscience 9: 2414-2419
17. Pacheco R. Role of glutamate on T-cell mediated immunity.
Journal of Neuroimmunology, 2007;185: 9–19
Psychoneuroimmunology in Dermatology 40
18. Mackay F. The Role of Neuropeptide Y and its Receptors in the
Immune System and Immune Disorders
19. Katsanos G.S. Impact of Substance P on Cellular Immune.
Journal of Biological Regulator & Homeostatic Agent.2008;
22[2]: 93-98
20. Inhibitory role for GABA in autoimmune inflammation
Roopa Bhata,1 . 2580–2585 | PNAS | February 9, 2010 | vol. 107
| no. 6
21. Szczepanik, M. Melatonin and its Influence on Immune System.
Jour of Physiology and Pharmacology. 2007;58[6]:115-124
22. Delgado M. al. The Significance of Vasoactive Intestinal Peptide
in Immunomodulation Pharmacological Review, 2011;56[2]:
249-290
23. Mikami N, Calcitonin Gene-Related Peptide Is an Important
Regulator of Cutaneous Immunity: Effect on Dendritic Cell and
T Cell Functions. The Journal of Immunology, 2011, 186: 6886–
6893.
24. Wanhong Ding .Calcitonin Gene-Related Peptide Biases
Langerhans Cells toward Th2-Type Immunity1. The Journal of
Immunology, 2008, 181: 6020 – 6026.
25. Ganea D. Neuropeptides as Modulators of Macrophage
Functions. Regulation of Cytokine Production and Antigen
Presentation by VIP and PACAP. A rchivum Immunologiae et
Therapiae Experimentalis, 2001, 49, 101–110
26. Henricks PA. GABA receptors and the immune system. Arne
Lucas ten Hoeve. Bachelor Biomedical Sciences 2011 Utrecht
University.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 41
Psychoneuroimmunology in Dermatology 42
PSIKONEUROIMUNOLOGI PADA DERMATITIS ATOPIK
Abstrak
Dermatitis atopik (DA) adalah suatu peradangan kulit kronik
ditandai dengan terganggunya fungsi barrier epidermal,
infiltrasi faktor-faktor inflamasi, rasa gatal berlebihan, dan
adanya periode flare dan remisi dari gejala klinis. Mekanisme
eksaserbasi penyakit DA masih belum dipahami sepenuhnya,
akan tetapi gejala klinis pada DA sering dikaitkan dengan stres
psikologis. Pada keadaan stres, peningkatan regulasi mediator
neuropeptida di otak, organ endokrin, dan sistim saraf perifer
akan memengaruhi secara langsung faktor imun dan sel di
kulit. Kulit lesi atau non-lesi pada pasien DA menunjukkan
peningkatan kontak antara sel mast dan serat sel saraf. Saraf
sensoris juga melepaskan neuromediator yang meregulasi
inflamasi dan respon imun, serta fungsi sawar. Perkembangan
pengetahuan mengenai hubungan antara neuroimun akan
menjelaskan bagaimana stres emosional dapat memengaruhi
DA. Obat psikofarmakologi yang dapat memodulasi reseptor
saraf atau jalur amplifikasi dari inflamasi, tidak hanya menjadi
pilihan terapi DA, tetapi dapat juga menjadi pilihan terapi
untuk penyakit inflamasi kulit karena stres.
Kata kunci: dermatitis atopik, eczema, stres psikologi,
inflamasi neurogenik, psikoneuroimunologi
Pendahuluan
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi kronik
dan berulang, yang ditandai dengan lesi kulit eczematous,
Psychoneuroimmunology in Dermatology 43
xerosis, likenifikasi, dan gatal yang hebat (1,2). Etiologi dari DA
belum diketahui dengan pasti, tetapi hasil laboratorium dan
gejala klinis mengarah ke patogenesis multifaktorial yang
terdiri dari genetik dan lingkungan (3,4). Stres yang disebabkan
oleh fisik maupun psikologis adalah pemicu dan pemberat dari
DA (5). Tulisan ini membahas tentang stres psikologis dan
perannya dalam DA.
Kulit adalah organ tubuh terbesar dan dilengkapi
dengan kemampuan metabolik dan endokrin yang
memfasilitasi kontrol homeostatis antara lingkungan internal
dan eksternal (6). Pada DA terjadi kegagalan sawar kulit,
sebagaimana dibuktikan oleh peningkatan kerentanan infeksi
kulit, peningkatan transepidermal water loss (TEWL), dan
penurunan pengeluaran keringat kepermukaan epidermis (7).
Kulit dipersarafi oleh serat sensorik yang banyak, kulit
mengekspresikan banyak reseptor neurotransmitter dan
neuropeptida yang sama dengan sistem saraf pusat, termasuk
corticotrophin-releasing hormone (CRH), serotonin, prolaktin,
dan substansi P (SP) (6). Dengan berbagai mediator kimia
terjadi hubungan timbal balik antara kulit, sistem saraf, dan
sistem endokrin (8, 9). Disregulasi mediator ini baik di sistem
saraf pusat (SSP) dan di kulit berperan dalam patofisiologi AD
(10, 11).
Psikoneuroimunologi adalah bidang interdisipliner
yang secara khusus meneliti lintas biokimia antara otak,
perilaku, dan sistem kekebalan tubuh. Tulisan dibawah ini
membahas secara komprehensif mengenai mekanisme
psikoneuroimunologi pada DA, berkaitan dengan respon
sistemik terhadap stres dan dampaknya pada fungsi kekebalan
tubuh, khususnya pada sel T dan sel mast, respon aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Juga akan ditinjau pada
Psychoneuroimmunology in Dermatology 44
pasien DA dengan stres kronik dan pengaruhnya pada respon
imun kulit, serta penemuan baru mengenai mediator peptida
inflamasi neurogenik di DA, mekanisme inflamasi neurogenik
dari gangguan sawar epidermis, dan penggunaan terapi
farmakologis yang menargetkan mekanisme neuroimunologi
sebagai terapi stres pada DA juga sedikit dibicarakan.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 45
dan hormon stres meningkatkan sintesis serotonin, yaitu
neurotransmitter dengan reseptor pada keratinosit, melanosit,
dan fibroblas dermal (17, 18, 19). Efek kulit lokal oleh serotonin
termasuk respon proinflamasi, seperti edema atau
vasodilatasi, serta induksi pruritus (20). Saraf aferen sensorik
di kulit menyalurkan sinyal rasa sakit dan gatal dari kulit ke SSP
dan melepaskan neuropeptida substansi P, calcitonin gene
relatedpeptide (CGRP), dan nerve growth factor (NGF) (20, 21).
Di kulit, mediator ini dilepaskan untuk menanggapi berbagai
rangsangan, termasuk sitokin dan protease, sehingga
mengaktifkan neuron sensorik, yang mempengaruhi respon
imun lokal dan memodulasi mekanisme kekebalan tubuh
(22,23). Sel lain yang berhubungan dengan unmyelinated C-
fibers di kulit adalah sel mast, yang berperan penting dalam
lokal inflamasi, termasuk vasodilatasi (eritema), ekstravasasi
plasma (edema), pengeluaran vascular endothelialmolecule,
pelepasan sitokin, dan produksi nerve growth factor atau
chemo-attraction (24, 25). Diaktifkan oleh beberapa mediator
hormon stres, (26,27) sel mast pada kulit mengekspresikan
berbagai neuropeptida atau reseptor isoform neurohormon,
termasuk CRH, (28) dan sel mast merupakan sel yang
memproduksi CRH (29). Selain itu, sel mast mensintesis dan
mengeluarkan lebih dari 50 molekul biologis aktif, termasuk
sitokin, substansi P, serotonin, TNF-α, NGF, tryptases, dan
chymases, yang seluruhnya merupakan mediator inflamasi
neurogenik (9,30). Inflamasi neurogenik mungkin terjadi
karena mediator merangsang neuropeptida yang mengandung
C-fibers, sitokin proinflamasi, dan kemokin dilepaskan dari sel-
sel mast termasuk histamine dan asetilkolin (31). Manifestasi
subjektif dari penyakit inflamasi kulit adalah gatal merupakan
sensasi tidak menyenangkan yang memprovokasi keinginan
Psychoneuroimmunology in Dermatology 46
untuk menggaruk (11,32,33). Karena garukan dan penderita
merasa susah untuk menghentikan garukan sehingga
menyebabkan kelainan kulit semakin berat, sehingga
menghasilkan siklus garuk-gatal-garuk yang meningkatkan rasa
cemas dan menurunkan kualitas hidup penderita (46).
Psychoneuroimmunology in Dermatology 47
sel mast, reseptor serotonin subtipe 5-HT1A dan 5-HT2A, dan
serotonin transporter protein (SERT) yang diamati pada lesi
dibandingkan dengan kulit yang tidak terlibat (38).
Terlepas dari aksis HPA, efek dari saraf perifer dan
disregulasi dari jalur glukokortikoid dan fungsi reseptor
glukokortikoid mungkin terlibat dalam stres efek
neuroimmune stress-induced pada inflamasi kulit. Karena
leukosit pasien DA menunjukkan peningkatan regulasi
reseptor glukokortikod untuk menurunkan kadar
glukokortikoid. Respon sel efektor terhadap peningkatan
kortisol akibat stres akan menyebabkan pergeseran respon
imun dari Th1 (cell-mediated) ke Th2 (humoral) (39). Selain itu,
pengaruh CRF pada penurunan produksiIL-18 di sel dendritik
juga dapat dipertimbangkan, mengingat bahwa IL-18 berfungsi
sebagai inducer IFN-γ dan promotor Th1. Dengan demikian,
hal ini mendukung bahwa stres menurunkan imunitas seluler,
dan CRF merangsang respon imun dengan mengaktivasi sel
dendritik (37).
Psychoneuroimmunology in Dermatology 48
Mediator inflamasi neurogenik pada dermatitis atopik
Neuropeptide Y (NPY) dan noradrenalin dilepaskan dari
terminal saraf simpatis dan berfungsi sinergis sebagai
agonisadrenergik. Sel NGF-reaktif lebih terekspresikan pada
epidermis dan dermis dan jumlah sel NPY-positif secara
signifikan lebih besar dalam epidermis kulit lesi DA
dibandingkan dengan kontrol sehat (44).
Stres psikologis dapat dikaitkan dengan gatal di DA.
Sensasi gatal, dengan dorongan untuk menggaruk, merupakan
sumber dari stres psikologis pada pasien, yang menunjukkan
dapat dilakukan intervensi psychopharmacologic (11). Korelasi
antara skor kecemasan yang tinggi pada pasien DA dengan
pruritus dan aktivitas NPY dan NGF yang meningkat
menunjukkan bahwa kecemasan dapat meningkatkan ekspresi
dari kedua neuropeptida ini, yang dapat berkontribusi untuk
pruritus (44). Rasa gatal yang dipicu oleh NGF dan NPY karena
kecemasan membutuhkan strategi terapi yang bertujuan
untuk mengurangi kecemasan dan stres.
Secara imunologis kimia terjadi peningkatan kontak
Substance P (SP) dan calcitonin gene related peptide (CGRP)
pada lesi dan non lesi pada kulit orang normal. Terdapat
peningkatan kadar NGF dan SP pada penderita DA, dan
berhubungan dengan keparahan penyakit (49, 50).
Psychoneuroimmunology in Dermatology 49
yang stres lebih berat daripada orang yang tidak stres. Pada
percobaan yang dilakukan pada hewan, tampak bahwa ada
hubungan antara stres dengan sintesa lemak epidermis yang
menyebabkan adanya gangguan barrier (47), serta terdapat
peningkatan koloni A Streptococcus pyogenes (GAS) pada
hewan yang stress (48). Pengobatan dengan cara memblok
hormon CRF atau glukokortikoid pada peripheral seperti
pemberian topikal akan menormalkan lemak fisiologis dan
akan menurunkan GAS pada kulit. Antagonis CRF1 (antalarmin;
RU-486).
Kesimpulan
Meskipun mekanisme yang mendasari asosiasi DA dengan
stres psikologis belum sepenuhnya terjelaskan, bidang
psikoneuroimunologi memiliki banyak wawasan baru untuk
memahami peran stres di DA. Baru-baru ini telah dibuktikan
lebih jauh melalui manifestasi klinis dan fisiologis bahwa stress
psikologis merupakan kontributor yang signifikan untuk
perjalanan penyakit DA melalui efek langsung dan tidak
langsung pada respon imun, ekspresi
Neuropeptida pada kulit, dan fungsi sawar kulit.
Penelitian ilmiah mengenai interaksi neurokutaneus ini masih
terus berkembang, dan terdapat potensi besar untuk
mengidentifikasi target terapi neuroimmunemodulating.
Perkembangan tersebut akan memperbaiki dan meningkatkan
pengobatan dan kekambuhan penyakit ini, yang sering kali
menurunkan kualitas hidup pasien.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 50
Daftar Pustaka
1. De Benedetto A, Agnihothri R, McGirt LY, Bankova LG, Beck LA.
Atopic dermatitis: a disease caused by innate immune defects? J
Invest Dermatol. 2009; 129:14–30. [PubMed: 19078985]
2. Solomon LM, Beerman H. Atopic dermatitis. Am J Med Sci. 1966;
252:478–496. [PubMed: 5332067]
3. Pastar Z, Lipozencic J, Ljubojevic S. Etiopathogenesis of atopic
dermatitis – an overview. Acta Dermatovenerol Croat. 2005;
13:54–62. [PubMed: 15788148]
4. Weidinger S, Gieger C, Rodriguez E, Baurecht H, Mempel M,
Klopp N, et al. Genome-wide scan on total serum IgE levels
identifies FCER1A as novel susceptibility locus. PLoS Genet. 2008;
4:e1000166. [PubMed: 18846228]
5. Morren MA, Przybilla B, Bamelis M, Heykants B, Reynaers A,
Degreef H. Atopic dermatitis: triggering factors. J Am Acad
Dermatol. 1994; 31:467–473. [PubMed: 8077475]
6. Slominski A, Wortsman J. Neuroendocrinology of the skin.
Endocr Rev. 2000; 21:457–487. [PubMed: 11041445]
7. O’Regan GM, Sandilands A, McLean WH, Irvine AD. Filaggrin in
atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol. 2009; 124:R2–6.
[PubMed: 19720209]
8. Chuong CM, Nickoloff BJ, Elias PM, Goldsmith LA, Macher E,
Maderson PA, et al. What is the ‘true’ function of skin? Exp
Dermatol. 2002; 11:159–187. [PubMed: 11994143]
9. Steinhoff M, Vergnolle N, Young SH, Tognetto M, Amadesi S,
Ennes HS, et al. Agonists of proteinase-activated receptor 2
induce inflammation by a neurogenic mechanism. Nat Med.
2000; 6:151–158. [PubMed: 10655102
10. Arck P, Paus R. From the brain-skin connection: the
neuroendocrine-immune misalliance of stress and itch.
Neuroimmunomodulation. 2006; 13:347–356. [PubMed:
17709957
11. Arndt J, Smith N, Tausk F. Stress and atopic dermatitis. Curr
Allergy Asthma Rep. 2008; 8:312–317. [PubMed: 18606083]
12. Cacioppo JT, Berntson GG, Malarkey WB, Kiecolt-Glaser JK,
Sheridan JF, Poehlmann KM, et al. Autonomic, neuroendocrine,
and immune responses to psychological stress: the reactivity
hypothesis. Ann N Y Acad Sci. 1998; 840:664–673. [PubMed:
9629293]
Psychoneuroimmunology in Dermatology 51
13. Glaser R, Kiecolt-Glaser JK. Stress-induced immune dysfunction:
implications for health. Nat Rev Immunol. 2005; 5:243–251.
[PubMed: 15738954]
14. Elenkov IJ, Webster EL, Torpy DJ, Chrousos GP. Stress,
corticotropin-releasing hormone, glucocorticoids, and the
immune/inflammatory response: acute and chronic effects. Ann
N Y Acad Sci. 1999; 876:1–11. discussion 11–13. [PubMed:
10415589]
15. Elenkov IJ. Glucocorticoids and the Th1/Th2 balance. Ann N Y
Acad Sci. 2004; 1024:138–146. [PubMed: 15265778]
16. Adams S, O’Neill DW, Bhardwaj N. Recent advances in dendritic
cell biology. J Clin Immunol. 2005; 25:177–188. [PubMed:
16118915] Tracey KJ. Understanding immunity requires more
than immunology. Nat Immunol. 2010; 11:561–564. [PubMed:
20562838]
17. Tracey KJ. Understanding immunity requires more
thanimmunology. Nat Immunol 2010; 11: 561–564.
18. Slominski A, Pisarchik A, Zbytek B, Tobin DJ, Kauser S, Wortsman
J. Functional activity of serotoninergic and melatoninergic
systems expressed in the skin. J Cell Physiol. 2003; 196:144–153.
[PubMed: 12767050]
19. Lundeberg L, El-Nour H, Mohabbati S, Morales M, Azmitia E,
Nordlind K. Expression of serotonin receptors in allergic contact
eczematous human skin. Arch Dermatol Res. 2002; 294:393–
398. [PubMed: 12522576]
20. Buddenkotte J, Steinhoff M. Pathophysiology and therapy of
pruritus in allergic and atopicdiseases. Allergy. 2010; 65:805–
821. [PubMed: 20384615]
21. Raap U, Kapp A. Neuroimmunological findings in allergic skin
diseases. Curr Opin Allergy ClinImmunol. 2005; 5:419–424.
[PubMed: 16131917]
22. Steinhoff M, Stander S, Seeliger S, Ansel JC, Schmelz M, Luger T.
Modern aspects of cutaneousneurogenic inflammation. Arch
Dermatol. 2003; 139:1479–1488. [PubMed: 14623709]
23. Elias PM, Steinhoff M. “Outside-to-inside” (and now back to
“outside”) pathogenic mechanisms inatopic dermatitis. J Invest
Dermatol. 2008; 128:1067–1070. [PubMed: 18408746]
Psychoneuroimmunology in Dermatology 52
24. Kawakami T, Ando T, Kimura M, Wilson BS, Kawakami Y. Mast
cells in atopic dermatitis. CurrOpin Immunol. 2009; 21:666–678.
[PubMed: 19828304]
25. Hakim-Rad K, Metz M, Maurer M. Mast cells: makers and
breakers of allergic inflammation. CurrOpin Allergy Clin
Immunol. 2009; 9:427–430. [PubMed: 19550301]
26. Theoharides TC, Conti P. Mast cells: the Jekyll and Hyde of tumor
growth. Trends Immunol.2004; 25:235–241. [PubMed:
15099563]
27. Mitschenko AV, Lwow AN, Kupfer J, Niemeier V, Gieler U.
Neurodermitis und Stress. Wiekommen Gefühle in die Haut?
Hautarzt. 2008; 59:314–318. [PubMed: 18389157]
28. Pisarchik A, Slominski AT. Alternative splicing of CRH-R1
receptors in human and mouse skin:identification of new
variants and their differential expression. FASEB J. 2001;
15:2754–2756.[PubMed: 11606483]
29. Kempuraj D, Papadopoulou NG, Lytinas M, Huang M,Kandere-
Grzybowska K, Madhappan B, et al. Corticotropinreleasing
hormone and its structurally related urocortin aresynthesized
and secreted by human mast cells. Endocrinology2004; 145: 43–
48.
30. Arck PC, Slominski A, Theoharides TC, Peters EM, PausR.
Neuroimmunology of stress: skin takes center stage. JInvest
Dermatol 2006; 126: 1697–1704.
31. Harvima IT, Nilsson G, Naukkarinen A. Role of mast cellsand
sensory nerves in skin inflammation. G Ital Dermatol Venereol
2010; 145: 195–204.
32. Vogelsang M, Heyer G, Hornstein OP. Acetylcholine
inducesdifferent cutaneous sensations in atopic and non-
atopicsubjects. Acta Derm Venereol 1995; 75: 434–436.
33. Cicek D, Kandi B, Berilgen MS, Bulut S, Tekatas A, DertliogluSB,
et al. Does autonomic dysfunction play a role inatopic
dermatitis? Br J Dermatol 2008; 159: 834–838.
34. Leung DY, Boguniewicz M, Howell MD, Nomura I, HamidQA. New
insights into atopic dermatitis. J Clin Invest 2004;113: 651–657.
35. Uehara M, Izukura R, Sawai T. Blood eosinophilia in
atopicdermatitis. Clin Exp Dermatol 1990; 15: 264–266.
36. Stephan M, Jaeger B, Lamprecht F, Kapp A, Werfel T,Schmid-Ott
G. Alterations of stress-induced expression ofmembrane
Psychoneuroimmunology in Dermatology 53
molecules and intracellular cytokine levels inpatients with atopic
dermatitis depend on serum IgE levels.J Allergy Clin Immunol
2004; 114: 977–978.
37. Lee HJ, Kwon YS, Park CO, Oh SH, Lee JH, Wu WH, etal.
Corticotropin-releasing factor decreases IL-18 in themonocyte-
derived dendritic cell. Exp Dermatol 2009; 18: 199–204.
38. Lonne-Rahm SB, Rickberg H, El-Nour H, Marin P, AzmitiaEC,
Nordlind K. Neuroimmune mechanisms in patients withatopic
dermatitis during chronic stress. J Eur Acad DermatolVenereol
2008; 22: 11–18.
39. Rupprecht M, Rupprecht R, Kornhuber J, Wodarz N, KochHU,
Riederer P, et al. Elevated glucocorticoid receptorconcentrations
before and after glucocorticoid therapy inperipheral
mononuclear leukocytes of patients with atopicdermatitis.
Dermatologica 1991; 183: 100–105.
40. Buske-Kirschbaum A, Ebrecht M, Hellhammer DH. BluntedHPA
axis responsiveness to stress in atopic patients is associatedwith
the acuity and severeness of allergic inflammation.Brain Behav
Immun 2010; 24: 1347–1353.
41. Arck PC, Rucke M, Rose M, Szekeres-Bartho J, DouglasAJ, Pritsch
M, et al. Early risk factors for miscarriage: aprospective cohort
study in pregnant women. Reprod BiomedOnline 2008; 17: 101–
113.
42. Seiffert K, Hilbert E, Schaechinger H, Zouboulis CC, DeterHC.
Psychophysiological reactivity under mental stress inatopic
dermatitis. Dermatology 2005; 210: 286–293.
43. Ikoma A, Steinhoff M, Stander S, Yosipovitch G, SchmelzM. The
neurobiology of itch. Nat Rev Neurosci 2006; 7:535–547.
44. Oh SH, Bae BG, Park CO, Noh JY, Park IH, Wu WH, et
al.Association of stress with symptoms of atopic dermatitis.Acta
Derm Venereol 2010; 90: 582–588.
45. Tausk FA, Nousari H. Stress and the skin. Arch Dermatol2001;
137: 78–82.
46. Bender BG, Ballard R, Canono B, Murphy JR, Leung DY, Disease
severity, scratching, and sleep quality in parients with atopic
dermatitis. J Am Acad Dermatol, 2008; 58: 415-420.
47. Kao JS, Fluhr JW, Man MQ, Fowler AJ, Hachem JP, Crumrine D, et
al. Short-term glucocorticoid treatment compromises both
permeability barrier homeostasis and stratum corneum
Psychoneuroimmunology in Dermatology 54
integrity: inhibition of epidermal lipid synthesis accounts for
functional abnormalities. J Invest Dermatol2003; 120: 456–464.
48. Aberg KM, Radek KA, Choi EH, Kim DK, Demerjian M, Hupe M, et
al. Psychological stress downregulates epidermal antimicrobial
peptide expression and increases severity of cutaneous
infections in mice. J Clin Invest 2007; 117: 3339–3349.
49. Toyoda M, Nakamura M, Makino T, Hino T, Kagoura M,
Morohashi M. Nerve growth factor and substance P are useful
plasma markers of disease activity in atopic dermatitis. Br J
Dermatol 2002; 147: 71–79.
50. Hodeib A, El-Samad ZA, Hanafy H, El-Latief AA, El-Bendary A,
Abu-Raya A. Nerve growth factor, neuropeptides and cutaneous
nerves in atopic dermatitis. Indian J Dermatol 2010; 55: 135–
139.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 55
Psychoneuroimmunology in Dermatology 56
PSORIASIS BASED ON PSYCHONEUROIMMUNOLOGY
Abstrak
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit yang
sampai saat ini patogenesisnya belum sepenuhnya dipahami
namun secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya karena berdampak pada aspek psikologis dan
sosialnya. Sebagian besar pasien psoriasis mengalami
gangguan psikologis seperti depresi, marah, dan cemas yang
akhirnya juga disertai adanya peningkatan penggunaan
alkohol. Penyakit yang bersifat menahun dan kambuh-
kambuhan serta efek pengobatan yang kurang memuaskan
menjadi beban psikososial bagi penderita psoriasis. Saat ini
psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit multifaktorial yang
dipengaruhi oleh adanya predisposisi genetik, faktor
lingkungan, serta faktor imunologi yang diduga berpengaruh
dalam patogenesis psoriasis. Faktor stres psikologis dikatakan
berperan besar dalam terjadinya psoriasis karena adanya
keterkaitan respon terhadap stres dengan respon imunitas
melalui hypothalamic-pituitary-adrenal axis dan sympathetic-
adrenal modullary axis, hormon stres, dan substansi P.
Psoriasis dalam hubungannya dengan psikoneuroimunologi
inimerupakan topik yang masih berkembang pesat dan
diharapkan dapat membuka peluang baru dalam
penatalaksanaan psoriasis.
Kata kunci: psoriasis, psikoneuroimunologi
Abstract
Psoriasis is a chronic inflammatory skin disease. The
pathogenesis is still not fully understood but yet caused a
significant effect to the quality of life of the patient because its
Psychoneuroimmunology in Dermatology 57
profound morbidity in the psychosocial aspect of patient’s life.
Most patients experienced psychological symptoms such as
depression, anger, and anxiety which eventually lead to
increased in alcohol abuse. The chronic nature of the disease
with intermittent flare and unsatisfying modality in
intervention become a huge burden for psoriasis patients.
Nowadays psoriasis is considered as a multifactorial disease
that influenced by genetic predisposition, environment factor,
and immunological response that interconnected in the
pathogenesis of psoriatic lesions. Psychological stress is
believed as one of important factor in pathogenesis of psoriasis
because response against stress is closely related with
immunological cascade through hypothalamic-pituitary-
adrenal axis and sympathetic-adrenal medullary axis, stress
hormone, and P substances. This topic is still vastly developing
and hopefully can open a new window in management of
psoriasis.
Key words: psoriasis, psychoneuroimmunology
Pendahuluan
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit yang
sampai saat ini patogenesisnya belum sepenuhnya dipahami.
Penyakit ini bersifat universal dan dapat mengenai semua
kelompok umur. Prevalensi penyakit ini sangat bervariasi pada
setiap populasi berkisar antara 0,1% hingga 11,8%. Prevalensi
tertinggi dilaporkan terjadi di Denmark mencapai 2,9%.1 Data
dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan insiden
psoriasis dalam kurun waktu selama 2003-2006 adalah 0,4%.2
Insidens psoriasis di RSUP Kariadi dalam kurun 5 tahun (2003-
2007) mencapai 0,9%.
Psoriasis secara signifikan mempengaruhi kualitas
hidup penderitanya dan hal ini berdampak pada psikologis dan
sosialnya.3 Sekitar 35 % pasien psoriasis mengalami depresi
dan 80% mengalami efek negatif terhadap hidupnya seperti
Psychoneuroimmunology in Dermatology 58
adanya rasa marah, cemas, dan peningkatan penggunaan
alkohol.4,5 Selain itu 40% pasien menyatakan frustasi terhadap
pengobatan yang diterima karena tidak menunjukkan efek
yang agresif.1 Saat ini psoriasis dianggap sebagai penyakit
multifaktorial yang dipengaruhi oleh adanya predesposisi
genetik, faktor lingkungan, serta faktor imunologi sangat
berpengaruh dalam patogenesis psoriasis.
Faktor Genetik
Peranan gen terhadap tejadinya psoriasis sudah banyak
diteliti. Identifikasi beberapa lokus gen telah ditentukan
seperti 6p (PSORS1), 17q25 (PSORS2), 4q34 (PSORS3), 1q21
(PSORS4), 3q21(PSORS5), 19p13 (PSORS6), 1p32(PSORS7), 16q
(PSORS8), 4q31(PSORS9).6 Diantara lokus gen tersebut diatas
gen Psors 1 yang terletak pada Human Leucocyte Antigen Class
1 Chromosom 6p (HLA-Cw6) merupakan gen yang paling
suseptibel dalam presentasi antigen terhadap sel T CD8+ dan
dalam hubungannya dengan respon imun adaptif. Pada PSOR1
juga ditemukan korneodesmosin pengkode protein yang
berperan dalam diferensiasi keratinosit dan diduga sebagai
faktor genetik lainnya.1,7
Faktor Lingkungan
Lingkungan berperan penting dalam patogenesis psoriasis.
Beberapa faktor lingkungan sepeti trauma fisik, obat-obatan,
infeksi dan stres psikologis dapat mencetuskan psoriasis pada
individu yang suseptibel secara genetik.7 Beberapa obat-
obatan diketahui dapat mencetuskan psoriasis seperti lithium,
beta-blocker, anti malaria, tetrasiklin dan non steroid anti
inflammatory (NSAID). Obat-obat lainnya yang masih diduga
Psychoneuroimmunology in Dermatology 59
adalah angiotensin-converting enzyme inhibitors, calcium
channel blockers, dan potassium iodide.8
Peran infeksi dalam mencetuskan psoriasis juga telah
diteliti. Infeksi terutama oleh Streptococcus pyogenes yang
terdapat pada tonsil dapat memicu terjadinya lesi psoriasis
oleh karena superantigen streptokokus ini dapat mengaktivasi
sel T. Secara normal APC mengenalkan antigen kepada sel T
maka sel T akan teraktivasi dan sel T yang telah teraktivasi
diketahui berperan penting dalam patogenesis psoriasis.10 Sel
T teraktivasi akan berproliferasi kemudian bermigrasi menuju
jaringan atau tempat antigen selanjutnya sel T teraktivasi ini
menjalankan fungsinya sebagai sel T efektor. Sebagian sel T
efektor akan menghilang setelah antigen target tereliminasi,
dan sebagian kecil sel T ini menetap menjadi sel memori. Sel T
memori dapat bertahan dalam beberapa tahun dalam organ
limfoid dan jaringan dan sel T ini akan dengan mudah
teraktivasi dan lebih cepat menjalankan fungsinya sebagai sel
T efektor atau berproliferasi apabila terpapar antigen yang
sama. Selama respon imun berlangsung sel T tidak hanya
berproliferasi akan tetapi juga berdifrensiasi menjadi subset
sel T seperti Th-1, Th-2, Th17 dan T-reg setelah teraktivasi oleh
antigen dan difrensiasi sel T ini dipengaruhi oleh sitokin-sitokin
yang dikeluarkan saat terjadi paparan antigen.10
Trauma juga dapat memicu lesi psoriasis karena
psoriasis adalah salah satu penyakit yang ditandai oleh
Fenomena Koebner, karena pada trauma akan menimbulkan
injuri pada epidermis selanjutnya menimbulkan inflamasi dan
muncul lesi psoriasis pada daerah trauma tersebut. Salah satu
faktor risiko penting adalah stres psikologis.11 Awalnya stres
psikologis dianggap hanya dapat mengakibatkan menurunnya
respons terapi dan menyebabkan bertambah beratnya
Psychoneuroimmunology in Dermatology 60
keadaan pasien, namun kemudian diketahui bahwa hormon
stres, seperti kortisol dan norepinefrin yang meningkat dapat
mengganggu keseimbangan Th1/Th2, sebagai akibat dari
stimuli stres terhadap sumbu hipotalamus-pituitary-adrenal
(HPA axis).12
Etiopatogenesis Psoriasis
Penyebab utama psoriasis belum diketahui. Keberhasilan
pengobatan lesi psoriasis dengan anti inflamasi siklosporin
Psychoneuroimmunology in Dermatology 61
menyebakan para ilmuwan lebih fokus pada peran imun dalam
patogenesis psoriasis.1,7 Sistem imun yang berperan adalah
sistem imun alami dan adaptif, yang mana kedua sistem imun
tersebut dapat melibatkan sel-sel keratinosit, fibroblas dan sel
endotel. Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel dendritik
dan makrofag memiliki peranan dalam mengawali respon
imun spesifik dan induksi self tolerance. Proliferasi abnormal
keratinosit diinduksi oleh sel limfosit T, berpengaruh terhadap
cell-mediated reactivity dan complement-mediated reaction
yang terlokalisir pada stratum korneum, semua ini diketahui
berimplikasi pada patogenesis psoriasis.13,14 Peran keratinosit
dalam patogenesis psoriasis adalah sebagai penghasil utama
sitokin proinflamasi, kemokin dan growth factor serta
mediator inflamasi lainnya seperti eikosanoid dan mediator
imunitas alami antara lain katelisidin, defensin dan protein
S100. Keratinosit pada psoriasis diaktifkan melalui suatu jalur
alternatif diferensiasi keratosit, yang mana jalur ini teraktivasi
sebagai respon terhadap stimulasi imunologi pada psoriasis,
akan tetapi mekanismenya masih belum dipahami.
Selanjutnya keratinosit dengan sitokin-sitokin yang dihasilkan
akan berperan sebagai faktor angiogenik menyebabkan
proliferasi vaskuler dermis yang abnormal dan angiogenesis.
Pada lesi psoriasis tipe plak didapatkan peningkatan kadar
vascular endothelial growth factor (VEGF).6
Psychoneuroimmunology in Dermatology 62
menyebabkan inflamasi lokal yang dapat sebagai pemicu lesi
psoriasis. Pada kulit orang sehat diinervasi oleh saraf sensoris
yang tidak bermielin dan substansi P terlokalisir pada ujung
bebas saraf pada papilare dermis dan epidermis.16,17 Keluarnya
neuropeptida lokal dari saraf sensoris pada kulit belum diyakini
sebagai stimuli respon stres, akan tetapi selama stres terjadi
aktivasi area korteks yang lebih tinggi dapat mengeluarkan
substansi P dari kelenjar adrenal melalui serat-serat eferen
saraf otonom. Beberapa serat saraf ini menginervasi opioid
interneuron pada kornu dorsalis yang bersinap dengan saraf
yang mengandung substasi P pada medula spinalis. Substansi
P keluar melalui mekanisme antidromik disertai stimulasi
nosiseptor yang berakibat terjadinya urtika (ekstravasasi
plasma protein dan vasodilatasi.18,19 Hal ini merupakan
sebagian penjelasan terhadap efek fisiologi kulit terhadap stres
emosional. Beberapa contoh yang mendukung pendapat ini
adalah pada kasus-kasus pembedahan yang menginduksi serat
sensoris dengan anastesi lokal menunjukkan bahwa rekarensi
psoriasis seiring dengan kembalinya sensasi kulit setelah
anastesi. Rekurensi lesi psoriasis pasca operasi setelah induksi
anaestesi dapat sebagai akibat dari regenerasi substansi P yang
terkandung dalam serat-serat saraf.20 Bukti lain yang
mendukung adalah keberhasilan penggunaan kapsaisin topikal
pada psoriasis derajat sedang dan berat. Efek menguntungkan
dari kapsaisin ini lebih berhubungn dengan terjadinya deplesi
lokal substansi P dari ujung terminal saraf sensoris.21,22
Ringkasan
Patogenesis psoriasis secara pasti belum sepenuhnya
dipahami, namun demikian telah diketahui bersifat
multifaktorial. Stres adalah salah satu faktor penting dalam
Psychoneuroimmunology in Dermatology 63
patogenesis psoriasis dan eksaserbasi psoriasis oleh karena
stres dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
seperti menimbulkan aktivasi respon imun yang melibatkan
hypothalamic-pituitary-adrenal axis dan sympathetic-adrenal
medullary axis dan mengakibatkan dikeluarkannya produksi
hormon glukokortikoid dan katekolamin.11 Selama stress
terjadi aktivasi area korteks yang lebih tinggi dapat
mengeluarkan substansi P dari kelenjar adrenal melalui serat-
serat eferen saraf otonom. Substansi P keluar melalui
mekanisme antidromik disertai stimulasi nosiseptor yang
berakibat terjadinya ekstravasasi plasma protein dan
vasodilatasi. Terjadinya eksaserbasi lesi psoriasis setelah
anaetesi lokal pada pembedahan merupakan regenerasi
substasi P pada serat saraf membuktikan bahwa substasi P
memegang peranan dalam mekanisme terjadinya lesi maupun
eksaserbasi lesi psoriasis.
Daftar Pustaka
1. Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilcherst BA, Paller AS, Leffell DJ, Eds. Fitzpatrick’s
Dermatology In Generald Medicine. 8th Ed. New York: McGraw
Hill; 2012. p.197-231.
2. Budiastuti A, Sugianto, R. Hubungan Umur dan Lama Sakit
terhadap Derajat Keparahan Penderita Psoriasis. Media Medika
Indonesiana. 2009;43(6):312-6.
3. Jobbling, R. Assessing the Impact of Psoriasis and The Relevance
of Qualitative Research. J Invest Dermatol. 2006;126 (7):1438-
40.
4. Mease PJ, Menter MA. Quality of Life Issues in Psoriasis and
Psoriatic Arthritis: Outcome Measure and Therapies from a
Dermatological Perspective. J Am Acad Dermatol. 2006; 54(4):
685-704.
5. Friedewald VE. Carther C. The Editor’s Rountable: Psoriasis
Inflammation and Coronary Artery Disease. Am J Cardiol.
2008;101(8):1119-26.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 64
6. Mahajan R, Handa S. Pathophysiology of Psoriasis. Indian J
Dermatol Venereol. 2013; 79(7): 1-9.
7. Bergboer JG, Zeuwen PL, Sehalkwijk J. Genetic of Psoriasis:
Immune Deviation. J Invest Deermatol. 2012; 132: 2320-1.
8. Basavararaj, KH, Ashok NM, Rashmi R, Pravee TK. The Role of
Drug in Induction and/ or Exacerbation of Psoriasis. Int J
Dermatol. 2010; 49: 1351-61.
9. Nograles KE, Davodovici B, Kruger JG. New Insight in the
Immunologic Basis of Psoriasis. Semin Cutan Med Surg. 2010; 29:
3-9.
10. Betteli E, Carrier Y, Gao W, Kom T, Strom TB, Oukka M.
Reciprocal Development Pathways for the Generation of
Pathogenic Effector Th-17 and Regulator Cells. Natur. 2006; 441:
235-8.
11. Nickoloff BJ. The Immunologic and Genetic Basis of Psoriasis.
Arch Dermatol. 1999; 135: 1104-10.
12. Karanikas E, Harsoulis F, Giouzepas F, Griveas I. Stimulation of
the Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis with Corticotropin
Releasing Hormone in Patients with Psoriasis. Hormone. 2007;
6(4): 314-320.
13. Valdimarsson H, Baker BS, Jonsdottir, I, Fry L. Psoriasis: A Disease
of Abnormal Keratinocyte Proliferation Induced by T-
Lymphocytes. Immunol Today. 1986; 7: 256-9.
14. Beutner EH. Autoimmunity in Psoriasis. In: Beutner et al, eds.
Immunopathology of The Skin. New York: John Wiley and Sons.
1987. p.703.
15. Farber EM, Nickoloff BJ, Recht B, Fraki JE. Stress, Symmetry, and
Psoriasis: Possible Role of Neuropeptides. J Am Acad Dermatol.
1986: 14: 305-11.
16. Farber EM, Rein G, Lanigan SE. Stress and Psoriasis:
Psychoneuroimmunology Mechanism. Int J Dermatol. 1991; 30:
8-12.
17. Wallengren J, Ekman R, Sundler F. Occurance and Distribution of
Neuropeptides in the Human Skin. Acta Derm Venereol. 1987;
67: 185-92.
18. Dalsgaard CJ, Jonsson CE, Hokfelt T, Cuello AC. Localization of
Substance P-Immunoreactive Nerve Fibers in The Human Digital
Skin. Experentia. 1983; 39: 1018-20.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 65
19. Hagermark O, Hokfelt T, Pernow B. Flare and Itch Induced by
Substance P in Human Skin. J Invest Derm. 1978; 71:233-235.
20. Farber EM, Lanigan SW, Rein G. The Role of
Psychoneuroimmunology in The Pathogenesis of Psoriasis. Cutis.
1990; 46: 314-6.
21. Bernstein JE, Swift RM, Soltani K, Lorincz AL. Inhibition of Axon
Reflex Vasodilatation by Topically Applied Capsaicin. J Invest
Dermatol. 1981; 76: 394-5.
22. Jessel TM, Iversen LL, Cuello AC. Capsaicin-induced Depletion of
Substance P from Primary Sensory Neurons. Brain Res. 1978;
152: 183-8.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 66
STRES PSIKOLOGIS, KONDISI SEHAT, DAN PENGUKURANNYA
Abstrak
Paradigma biopsikososial meyakini bahwa kajian terkait
dengan kondisi sehat dan sakit harus dilihat secara holistik.
Paradigma ini mengganti paradigm awal yang hanya menelaah
kondisi sakit dengan pendekatan kuratif semata. Psikologi
kesehatan menemukan sejumlah variabel yang berkaitan
dengan kehadiran penyakit, salah satunya stres. Stres pada
dasarnya memiliki aspek fisilogis dan psikologis. Secara
langsung, stres psikologi berdampak bagi kondisi sakit, health
habits, dan health behavior. Saat individu berhadapan dengan
peristiwa tertentu, penilaian yang dilakukan tidak hanya dalam
tataran awal (primary appraisal), yang terpenting dalam
pembentukan stres kemudian adalah persepsi individu dan
juga secondary appraisal yang dilakukan oleh individu.
Menjadi krusial kemudian untuk melakukan pengukuran
dalam tataran perceived stress dalam mendalami pengalaman
atau level stres dari individu.
Kata kunci: Stres Psikologis, Fisik, Perceived Stress
Pendahuluan
Pada awal tahun 1930, ilmu kedokteran psikosomatis dan ilmu
kedokteran perilaku mulai tergerak untuk meneliti kaitan
antara tubuh dan juga kondisi psikologis tertentu. Beberapa
kalangan meyakini bahwa kondisi sakit tidak hanya
mempengaruhi kondisi psikologis, namun juga dipengaruhi
oleh kondisi psikologis tertentu. Inilah cikal bakal dari lahirnya
ilmu psikologi kesehatan. Paradigma psikologi kesehatan
adalah paradigma biopsikososial, dimana setiap kondisi sakit
Psychoneuroimmunology in Dermatology 67
dan sehat sangat dipengaruhi oleh variabel psikologis dan juga
variabel sosial. Pandangan ini juga menggantikan pandangan
biomedis yang lebih menitikberatkan pada penyembuhan
kondisi sakit dan kurang mengakomodir kegiatan preventif dan
promotif di bidang kesehatan (Sundberg, Wineberg, & Taplin,
2007).
Dalam klasifikasi diagnostik yang sebagian besar
digunakan oleh praktisi psikologi, ketika seorang pasien
dinyatakan memiliki keluhan medis, maka diagnostik yang
ditegakkan adalah kondisi mental karena kondisi medis
tertentu. Kelemahannya adalah kecenderung untuk lebih
fokus kepada kondisi medisnya dibandingkan dengan kondisi
psikologis pasien, padahal pada beberapa kejadian, kondisi
psikologis pasien sebaiknya mendapatkan perhatian yang
utama. Salah satunya adalah kondisi stres. Makalah ini lebih
lanjut akan membahas terkait dengan:
1. Stres, penyebab dan tipenya.
2. Bagaimana stres psikologis berkaitan dengan
kondisi kesehatan fisik seseorang.
3. Ragam pengukuran stres: Bagaimana mendeteksi
stres sejak awal.
Pembahasan
1. Stres, Penyebab, dan Tipenya
Salah satu kondisi psikologis yang dikaitkan dengan kondisi
kesehatan seseorang adalah kehadiran stres. Lazarus dan
Folkman (1984) mendefinisikan stres sebagai sebuah proses
yang melibatkan stressor dan strain. Stressors diartikan
sebagai sumber stress dan strain adalah kondisi ketegangan
yang membutuhkan sebuah tindakan yang membantu individu
untuk terlepas dari kondisi stres. Lebih lanjut Atwater (1983)
Psychoneuroimmunology in Dermatology 68
mendefinisikan stres sebagai sebuah tuntutan dari lingkungan
yang membutuhkan respon adaptif dari individu. Berdasarkan
definisi ini, maka stres mencakup hubungan antara faktor
eksternal dan reaksi individu, bagaimana sesuatu diterima
sebagai sesuatu yang menekan serta pola adaptasinya, dan
pandangan bahwa setiap individu pasti mengalami stres, yang
membedakan kemudian adalah ragam dan tingkatannya.
Berdasarkan tingkatannya, dampak dari stres dapat bersifat
distress dan juga eustress. Dalam tataran performance
individu, maka eustress cenderung berdampak positif bagi
individu dibandingkan dengan distress.
Stres memiliki dua komponen, yakni fisik dan
psikologis. Komponen fisik melibatkan fisik dan tubuh,
kemudian komponen psikologi melibatkan bagaimana individu
memaknai kenyataan dan keadaan yang ada di dalam
kehidupannya (Lovallo, 1998). Stres terjadi ketika lingkungan
eskternal menghadirkan tekanan, konflik, rasa cemas, dan
frustrasi pada individu. Dalam hal ini, peristiwa yang
menghadirkan stress tidak selalu peristiwa yang negatif,
Holmes dan Rahe (dalam Atwater, 1983) menemukan
sejumlah peristiwa positif yang dialami individu yang
kemudian memiliki potensi untuk menghadirkan stres, seperti
peristiwa persiapan pernikahan, kehamilan, promosi jabatan,
dan menghadapi liburan. Hasil penelitian dari Holmes dan
Rahe (dalam Atwater, 1983) menunjukkan bahwa persepsi
individu terkait dengan peristiwa yang kemudian menjadi
utama dalam menghadirkan stres. Dua individu yang berbeda
bisa jadi menghadapi peristiwa yang sama, namun dengan
persepsi atau cara pandang yang berbeda terhadap peristiwa,
menghadirkan dampak yang berbeda pada setiap individu.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 69
Ada empat tipe stres psikologi, yakni tekanan,
frustrasi, konflik, dan kecemasan (Atwater, 1983). Tekanan
biasanya datang dari luar dan dalam diri individu. Seseorang
merasakan tekanan karena persaingan tuntutan sosial, dan
ambisi pribadi. Frustrasi hadir ketika individu merasakan
hambatan dalam pencapaian tujuannya. Frustrasi adalah
predictor bagi kemarahan dan agresi. Konflik timbul ketika
individu diminta untuk berespon secara simultan terhadap
sejumlah stimulus tertentu. Kecemasan adalah bentuk
ketakutan individu akan sesuatu yang belum tentu terjadi saat
ini. Lebih kepada ketakutan akan sesuatu yang baru akan
terjadi di masa depan.
Banyak peneliti dan praktisi di bidang ilmu kesehatan
meyakini bahwa terdapat hubungan antara stres psikologis
dengan kondisi sakit. Ketika seorang individu mengalami stres,
maka kondisi stres akan menurunkan daya tahan tubuh dan
mengganggu metabolisme. Demikian sebaliknya kondisi sakit
tertentu menjadi stressor atau penyebab stres bagi individu.
Sarafino (2007) mengatakan bahwa stres memiliki aspek
biologis dan psikologis. Aspek biologis mencakup gejala fisik
dari stres yang dialami oleh individu, seperti sakit kepala,
gangguan tidur, gangguan pencernaan, gangguan makan,
keluhan di kulit, dan produksi keringat yang berlebih. Dalam
tataran gejala psikologis aspek stres meliputi gejala kognisi,
gejala emosional, dan gejala tingkah laku. Individu yang
mengalami stres dalam tataran kognisi akan lebih mudah
mengalami gangguan daya ingat, konsentrasi menurun, dan
perhatian mudah teralih. Saat mengalami stress, emosi
menjadi tidak stabil. Individu yang mengalami stres akan
menunjukkan gejala mudah marah, cemas berlebih, merasa
sedih, dan depresi. Dalam hal tingkah laku, stres memiliki
Psychoneuroimmunology in Dermatology 70
kontribusi dalam perubahan perilaku. Tidak sedikit kemudian
stres mengganggu hubungan interpersonal individu dengan
individu lain di sekitarnya.
Yang penting kemudian ketika seseorang berhadapan
dengan stressor adalah kemampuannya untuk membangun
coping. Secara umum, ada dua macam tipe coping, yakni yang
hanya menurunkan gejala stres (symptom reducing responses)
dan yang berusaha untuk mengatasi stressor (problem solving
approach) (Atwater, 1983)
Psychoneuroimmunology in Dermatology 71
Ketika peristiwa dipersepsikan mengancam, maka
akan mempengaruhi korteks. Informasi di korteks kemudian
akan diteruskan ke hipotalamus. Disinilah respon awal
terhadap stres terbentuk yang kemudian mempengaruhi
adrenal glands dalam memproduksi epinephrine dan
norepinephrine. Mekanisme inilah yang kemudian
menghasilkan perasaan tidak nyaman pada individu ketika
berhadapan dengan stressor. Sympathetic arousal anak
meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan produksi
keringat. Gangguan tidur adalah efek dari terganggunya ritme
jantung. Tidak jarang, seseorang yang mengalami stres dan
depresi biasanya kualitas dan kuantitas tidurnya menurun
(Taylor, 2009).
Selye (dalam Taylor, 2009) memberikan dasar
pemikiran terkait dengan bagaimana kondisi stres
berpengaruh pada HPA. Selye dengan teorinya terkait general
adaptation syndrome (Atwater, 1983) mengungkapkan bahwa
terdapat tiga tahapan progresif saat individu berhadapan
dengan stres. Tahapan tersebut dan juga karakteristik adalah
sebagai berikut:
a. The Alarm Reaction
Tahapan ini adalah respon emergency individu
terhadap stres. Secara fisiologis akan ditandai dengan
adanya perubahan reaksi dan kimia tubuh. Dalam
tataran psikologis akan ditandai dengan adanya
kecemasan.
b. The Stage of Resistance
Dalam tahapan ini, tubuh sudah mampu beradaptasi
dengan stres yang berkepanjangan. Gejala pada
tahapan sebelumnya sudah hilang dan resistensi
tubuh hingga level di atas normal. Hal ini bentuk dari
Psychoneuroimmunology in Dermatology 72
coping terhadap stres. Selye (dalam Taylor, 2009)
melihat tahapan ini sebagai tahapan diseases
adaptation.
c. The Stage of Exhaustion
Tahapan ini terjadi ketika kondisi stres berlanjut
dimana pertahanan tubuh menjadi menurun. Gejala
fisiologis dari stres kembali muncul. Pada tahapan ini
terjadi penuruan yang drastis pada sistem imunitas
tubuh, beberapa penyakit degeneratif pun muncul.
Prosesnya hampir menyerupai proses penuaan dan
tubuh berespon terhadap tuntutan yang serupa.
Dari uraian tersebut dapat terlihat bahwa stres
memberikan dampak langsung pada kondisi fisik, kebiasaan,
dan juga perubahan tingkah laku.
STRESS
Psychoneuroimmunology in Dermatology 73
tidak lagi menjadi indikator obyektif dalam menilai apakah
individu mengalami stres atau tidak. Perceived stress juga
mampu memprediksi area yang luas dari dampak stres bagi
kesehatan. Dalam pengukuran ini, individu diminta untuk
memberikan penilaian terkait dengan perasaan dan pikirannya
dalam sebulan terakhir. Pada beberapa pertanyaan, individu
juga diminta untuk menilai seberapa sering perasaan dan
pikiran tersebut muncul. Dalam pengukuran ini akan ada
beberapa pertanyaan yang serupa, namun pada dasarnya
respon yang dikehendaki berbeda sehingga setiap individu
harus berespon pada setiap pertanyaan (lampiran 1)
Ilmu psikologi menemukan bahwa terdapat kontribusi
minor stress dan strain pada perkembangan penyakit tertentu.
Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada pasien atau
individu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa minor di
lingkungan dan keseharian yang memicu terbentuknya
ketegangan atau strain. Pada sejumlah peristiwa tersebut,
pasien kemudian diminta untuk mengukur tingkat ketegangan
yang dirasakan ketika pasien berhadapan dengan peristiwa
atau situasi tersebut dalam keseharian (lampiran 2)
Penutup
Kajian terkait hubungan antara kondisi psikologis dengan
kondisi kesehatan atau perkembangan penyakit sudah
berkembang sejak ilmu psikologi kesehatan berdiri sendiri
menjadi sebuah cabang dari ilmu psikologi. Salah satu kondisi
psikologis yang berkaitan dengan kondisi fisik adalah stres
psikologis. Makalah menyimpulkan bahwa sebuah peristiwa
membutuhkan tidak hanya primary appraisal, namun juga
persepsi atau secondary appraisal untuk berkembang menjadi
stressor dan menghasilkan dampak stres psikologis pada
Psychoneuroimmunology in Dermatology 74
individu. Aspek dari stres mencakup fisiologis, kognitif,
emosional, dan tingkah laku. Dalam tahapan progresif Hans
Selye (dalam Atwater, 1983), stres memberikan dampak
secara langsung terhadap kondisi fisik, termasuk di dalamnya
health habit dan juga health behavior. Sejumlah pertanyaan
singkat untuk mengukur perceived stress yang dibangun oleh
Cohen dkk (dalam Taylor, 2009) dapat dijadikan acuan dalam
screening awal kondisi stres pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Atwater, E. (1983). Psychology of Adjustment: Personal Growth in
Changing World. 2nd Ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Lazarus, R.S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New
York: Springer.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 75
Lampiran 1.
NO PERTANYAAN 0 1 2 3 4
Tidak Hampir Kadang- Sering Sangat
Pernah Tidak kadang Sering
Pernah
1. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa anda
merasa sedih
karena sesuatu
terjadi tidak
sesuai dengan
harapan anda?
2. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa sering
anda merasa
cemas dan
tertekan?
3. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa sering
anda merasa
tidak mampu
berhadapan
dengan hal-hal
yang harus anda
kerjakan?
4. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa sering
anda
mengekspresikan
kemarahan
Psychoneuroimmunology in Dermatology 76
karena sesuatu
terjadi di luar
kontrol anda?
5. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa sering
pikiran anda
terbebani oleh
hal-hal yang
harus anda
selesaikan?
6. Dalam sebulan
terakhir,
seberapa sering
anda merasa
bahwa goal atau
target yang anda
hadapi terlalu
sulit dan tinggi
sehingga anda
tidak bisa
mencapainya?
Psychoneuroimmunology in Dermatology 77
Lampiran 2.
NO PERISTIWA 0 1 2 3 4
Tidak Mild Somewhat Moderate Esktrim
Muncul
1. Konflik
dengan
tetangga.
2. Kemacetan
lalu lintas.
3. Kondisi
kesehatan
yang lemah.
4. Konflik
dengan
pasangan.
5. Kondisi
finansial.
6. Menyiapkan
kebutuhan
rumah
tangga.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 78
MENDETEKSI GANGGUAN PERILAKU DAN PSIKOLOGIS
PADA ANAK-ANAK DENGAN MASALAH KULIT
ABSTRAK
Anak-anak dengan gangguan kulit, seringkali menunjukkan
perilaku immature (tidak matang atau kekanak-kanakan),
kurang percaya diri dan menarik diri (lack of confidence and
withdrawal). Mereka mengalami keterasingan sosial, merasa
kurang percaya diri, merasa berbeda dan ‘dibedakan’ sehingga
hanya mempunyai beberapa orang teman, jarang bermain
dengan anak seusianya, dan kurang memiliki ketrampilan
sosial yang dibutuhkan untuk bersosialisasi. Beberapa di
antara mereka merasakan ketakutan yang melampaui keadaan
sebenarnya, kecemasan tanpa alasan, phobia, mengeluhkan
rasa sakit atau ketidaknyamanan dan mengembangkan gejala
psikosomatis yang digunakan untuk mencari ’perhatian dan
‘rasa aman’ maupun menghindari/ melarikan diri dari masalah.
Ada diantara mereka mengalami regresi yaitu kembali pada
tahap-tahap awal perkembangan dan selalu meminta bantuan
dan perhatian, dan beberapa diantara mereka menjadi
tertekan (depresi) tanpa alasan yang jelas yang akhirnya
menurunkan fokus dan berdampak pada prestasi di sekolah.
Stres pada anak-anak dengan masalah kulit tersebut terjadi
karena tidak adekuatnya kebutuhan dasar yang akan dapat
bermanifes pada kondisi dan perubahan fungsi fisiologis,
kognitif, emosi dan perilaku. Permasalahan perilaku, sosial dan
emosi yang berdampak pada prestasi akademis seringkali
menjadi gejala awal yang baru disadari lingkungan dan
akhirnya mendorong para orangtua untuk melakukan
Psychoneuroimmunology in Dermatology 79
intervensi psikologi.
Kata kunci: Gangguan perilaku dan emosi, anak dengan
masalah kulit
PENDAHULUAN
Gambaran perilaku anak dengan masalah kulit, bisa dijelaskan
dalam ilustrasi salah satu klien sebagai berikut: Putu (10 th)
kelas IV SDN datang dengan keluhan tidak percaya diri,
cenderung menyendiri, prestasi di sekolah semakin menurun,
merasa susah berkonsentrasi, memiliki keluhan eksim sejak
lahir dan sering menggaruk-garuk terutama ketika tegang
menghadapi tugas-tugas sekolahnya. Akhir-akhir ini sering
emosional dan menjadi ‘cengeng’, penakut, susah diatur dan
cenderung membangkang. Seminggu yang lalu mogok sekolah
karena diejek teman-temannya dan tersinggung dengan Guru
barunya yang memberi label negatif karena kondisi kulitnya.
Hasil pemeriksaan psikologi, kecerdasannya berfungsi
di atas normal (IQ 117 dengan WISC), namun prestasi di
sekolahnya di bawah rata-rata kelas. Profil kepribadiannya
tergolong tipe sociable dan introvert, kurang percaya diri,
kurang mampu mengekspresikan perasaan dan emosinya
dengan cara yang adekuat dan sehat, menunjukkan cara
pandang terhadap diri yang negatif, cenderung merasa tidak
berdaya dan malu dengan kondisi kulitnya.
Penelitian dan jurnal yang khusus membahas
hubungan langsung antara gangguan perilaku pada anak
dengan masalah kulit sangat susah ditemukan terutama di
Indonesia, sehingga pembahasan pada paparan ini bersifat
kualitatif menggunakan 11 kasus yang ditangani di
Pradnyagama Konsultan Psikologi. Gambaran perilaku lebih
banyak dihubungkan antara teori psikologi dan berdasarkan
pengalaman penulis sebagai psikolog yang cukup banyak
Psychoneuroimmunology in Dermatology 80
menangani kasus-kasus anak-anak dan remaja.
Menurut CCBD (Council for Children with Behavioral
Disorders), gangguan emosi dan tingkah laku adalah
ketidakmampuan yang ditandai dengan kesulitan merespon
perilaku dan sikap emosional dalam menghadapi program-
program pembelajaran sehingga sangat tidak sesuai dengan
usia, budaya atau norma-norma etnis maupun berdampak
buruk secara nyata pada kemampuan akademis, sosial,
keterampilan dan kepribadian (Mark & Barlow, 2006).
Indikasi seorang anak dikatakan mengalami gangguan
perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik
berikut dalam kurun waktu yang lama (Heward dan Orlansky
(1988) dalam Mahabbati (2006), yaitu:
a. Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan
oleh faktor intelektualitas, alat indra maupun kesehatan.
b. Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara
kepuasan dalam menjalin hubungan dengan teman
sebaya dan pendidik.
c. Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di
bawah keadaan normal.
d. Mudah terbawa suasana hati (emosi labil),
ketidakbahagiaan, atau depresi.
e. Kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom
fisik atau ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan
dengan permasalahan-permasalahan pribadi atau
sekolah.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 81
KARAKTERISTIK GANGGUAN PERILAKU, EMOSI DAN SOSIAL
PADA ANAK DENGAN MASALAH KULIT
A. Gangguan kecemasan, perilaku tidak matang dan tidak
percaya diri
Kesadaran diri yang berlebihan sehingga merasa ‘berbeda’ dan
‘dibedakan’, kurang percaya diri karena kondisi kulitnya,
ketakutan, kecemasan yang tinggi, gangguan psikosomatik,
tics, depresi, terlalu sensitif dan mudah sekali panik/ malu
adalah gambaran umum kepribadian yang ditunjukkan oleh
anak-anak dengan masalah kulit dari 11 kasus yang ditangani
penulis. Perilaku immature (tidak matang atau kekanak-
kanakan), kurang percaya diri dan menarik diri (lack of
confidence and withdrawal). Mereka mengalami keterasingan
sosial, merasa kurang percaya diri, merasa berbeda dan
‘dibedakan’ sehingga hanya mempunyai beberapa orang
teman, jarang bermain dengan anak seusianya, dan kurang
memiliki ketrampilan sosial yang dibutuhkan untuk
bersosialisasi.
Ada beberapa jenis masalah perilaku yang
diinternalisasi seperti depresi, anoreksia dan bulimia, bisu
selektif (selective mutism), ketakutan dan phobia, serta
penarikan diri dari lingkungan sosialnya (Mark & Barlow,
2006).
a. Gangguan perilaku agresif aktif dan pasif
Pada umumnya yang muncul adalah agresif pasif karena
mayoritas memiliki kepercayaan diri yang rendah, sehingga
semakin menyendiri dan menarik diri dari kelompok sosialnya
dan mogok sekolah sebagai ‘bom waktu’. Namun bisa menjadi
perusak, perilaku menyerang secara fisik dan verbal, sikap cari
perhatian yang berlebihan dan juga pemarah ketika diberi
label negatif oleh sekitarnya ataupun muncul ketika di rumah
Psychoneuroimmunology in Dermatology 82
sebagai zona yang bisa ‘dikuasai’nya.
b. Gangguan pemusatan perhatian dan prestasi sekolah di
bawah rata-rata kelas
Beberapa studi-studi awal menemukan bahwa mayoritas siswa
dengan gangguan emosi dan perilaku atas rata-rata
menunjukkan kecerdasan. Beberapa ahli, menemukan bahwa
anak-anak dengan gangguan ini memiliki inteligensi di bawah
normal (sekitar 90) dan beberapa di atas bright normal. Siswa-
siswa dengan gangguan emosi atau perilaku umumnya
memiliki prestasi akademik yang rendah untuk usia mereka.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 74% dari remaja
yang diklasifikasikan dengan gangguan ini memiliki kesulitan
akademis (Hallahan & Kauffmann, 2006).
Pengalaman penulis dari 11 kasus terakhir yang
ditangani pada umumnya mereka menunjukkan kecerdasan
normal (average) dan di atas rata-rata (brigth normal). Namun
sikap yang sering bingung/ panik merasa tidak mampu,
konsentrasi buruk, mudah terpecah, mudah lupa dan impulsif.
Beberapa anak yang kurang percaya diri seringkali merasa
gatal ketika tegang dan panik menghadapi stresor akademik
maupun sosial sehingga mengganggu kemampuan fokusnya
dalam menerima pelajaran. Berdasarkan kondisi ini semoga
bisa mendorong penelitian yang lebih spesifik terutama di
Indonesia untuk membuktikannya.
c. Gangguan Gerak
Gelisah, ketidakmampuan untuk duduk tenang, bahasa tubuh
yang canggung, tingkat tekanan tinggi dan sangat banyak
bicara atau gagap ketika bicara merupakan gambaran
gangguan gerak yang sering muncul. Seperti anak-anak dengan
ketidakmampuan belajar, salah satu yang paling umum dari
keluhan tentang anak-anak tersebut merujuk pada evaluasi
Psychoneuroimmunology in Dermatology 83
guru yang dinyatakan bahwa mereka memiliki gangguan emosi
dan perilaku yang disebut hiperaktif. Kondisi ini seringkali
semakin memperparah keadaan kulitnya karena banyaknya
keringat yang muncul akibat aktivitas yang berlebihan dan
menimbulkan gatal maupun ketidaknyamanan yang pada
akhirnya mengganggu proses belajar.
Namun ada beberapa kasus yang justru menunjukkan
bahasa tubuh yang canggung dan gerakan yang lamban
(clumsy) sehingga menghambat aktivitas sehari-hari baik yang
berhubungan dengan kemandirian dan bantu diri maupun
penyelesaian tugas-tugas di sekolah.
d. Gangguan perilaku antisosial
Penolakan dan kurang mampu beradaptasi dengan nilai-nilai
umum dan sosial, merupakan jenis gangguan perilaku ini,
mereka cenderung melakukan pelanggaran disekolah,
mencoba-coba perilaku negatif seperti merokok, membolos,
miras dan penyalahgunaan obat-obatan pada remaja untuk
dorongan perilaku terhadap kebutuhan diterima (acceptance)
oleh kelompok (peers group) ( Gunarsa, 1997).
Anak dengan gangguan emosional atau perilaku
biasanya memiliki kekurangan dalam ketrampilan sosial yang
mempengaruhi kemampuan untuk bekerja sama dengan guru,
fungsi di dalam kelas, dan bergaul dengan siswa lain
(Mahabbati, 2006).
Conduct disorder (gangguan perilaku) juga merupakan
permasalahan yang paling sering ditunjukkan oleh anak
dengan gangguan emosi atau perilaku. Perilaku-perilaku
tersebut seperti: memukul, berkelahi, mengejek, berteriak,
menolak untuk menuruti permintaan orang lain, menangis,
merusak, vandalisme, memeras, yang apabila terjadi dengan
frekuensi tinggi maka anak dapat dikatakan mengalami
Psychoneuroimmunology in Dermatology 84
gangguan. Anak normal lain mungkin juga melakukan perilaku-
perilaku tersebut tetapi tidak secara impulsif dan sesering anak
dengan conduct disorder (Mark & Barlow, 2006).
e. Perilaku Psikotik
Mengungkapkan ide-ide yang aneh, bicara diulang-ulang, tidak
sensitif, memperlihatkan perilaku aneh terutama pada remaja
dan dampak bullying kondisi fisik mereka kadang-kadang
memunculkan ide bunuh diri.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 85
ini terjadi pada masa kanak-kanak dan masa pubertas. Pada
masa kanak-kanak problem kulit kemungkinan hanya lebih
akan mengganggu secara fisikal dan emosi internal akibat
ketidaknyamanan. Sementara pada masa pubertas lebih luas
karena berhubungan dengan kebutuhan harag diri, proses
pencarian jati diri dan perasaan tidak percaya diri akibat
kondisi fisiknya.
Lingkungan Keluarga
Keluarga sangat penting dalam perkembangan anak-anak.
Interaksi negatif atau tidak sehat di dalam keluarga seperti
sikap overprotective, atau sebaliknya pelecehan dan
penelantaran, kurangnya pengawasan, minat, dan perhatian,
dapat mengakibatkan atau memperburuk kesulitan emosional
yang ada dan/ atau kesulitan perilaku. Di sisi lain, interaksi
yang sehat seperti kehangatan dan responsif, disiplin konsisten
dengan panutan, dan perilaku yang mengharapkan
penghargaan dapat sangat meningkatkan perilaku positif pada
anak-anak (Gunarsa, 1997)
Keluarga memiliki pengaruh yang demikian penting
dalam membentuk kepribadian anak. Keluargalah peletak
dasar perasaan aman pada anak, dalam keluarga pula anak
memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan
sikap social. Kasih sayang dan perhatian dari keluarga akan
membentuk kepribadian yang matang dan mampu
mengembangkan aspek-aspek non fisik sehingga penilaian
harga diri tidak semata-mata dari kondisi fisik saja, demikian
pula sebaliknya keluarga yang cenderung terlalu memfokuskan
diri pada kondisi fisik hanya akan menumbuhkan anak yang
tidak percaya diri dan tergantung secara emosional.
Keharmonisan keluarga juga memegang peranan
untuk menciptakan rasa nyaman dan aman ketika bertumbuh
Psychoneuroimmunology in Dermatology 86
dengan kelainan fisiknya.
Kondisi ekonomi juga mempengaruhi bagaimana
keluarga akan memberikan perawatan maksimal pada anak-
anak dengan kelainan kulit ini.
Lingkungan Sekolah
Guru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam interaksi
dengan siswa. Interaksi positif dan produktif guru-murid dapat
meningkatkan pembelajaran anak dan perilaku sekolah yang
sesuai serta memberikan dukungan ketika anak mengalami
masa-masa sulit. Lingkungan akademik yang tidak sehat
dengan guru yang tidak terampil atau tidak sensitif dapat
menyebabkan atau memperburuk perilaku atau gangguan
emosi yang sudah ada.
Lingkungan Masyarakat
Masalah masyarakat, seperti kemiskinan ekstrim disertai
dengan gizi buruk, keluarga yang tidak berfungsi, berbahaya
dan lingkungan yang penuh kekerasan, dan perasaan putus
asa, dapat mengakibatkan atau memperburuk gangguan
emosi atau perilaku.
Di dalam lingkungan masyarakat terdapat banyak
sumber yang merupakan pengaruh negative yang dapat
memicu timbulnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat
yang negative memandang seseorang hanya dari segi fisiknya
dan membuat stigma bahwa penyakit anak bisa menulari anak
lain sering menjadi pemicu munculnya perlakuan negatif dan
isolatif terhadap anak dengan gangguan kulit.
Psychoneuroimmunology in Dermatology 87
PENDEKATAN-PENDEKATAN HOLISTIK PADA ANAK DENGAN
MASALAH KULIT YANG MENGALAMI GANGGUAN EMOSI DAN
PERILAKU
A. Pendekatan Biomedis
Pendekatan ini berusaha untuk menerangkan gangguan emosi
dan tingkah laku dari sudut pandang medis/ klinis, akibat
ketidaknormalan psikoneuroimunologis sebagai penyebab
gangguan ini. Strategi penanganan yang ditekankan dalam
pendekatan ini yaitu penggunaan obat dan penanganan
medis lainnya. Guru dan orangtua bisa bekerjasama serta
berkomunikasi dalam membantu anak mengatur penggunaan
obat selama disekolah. Guru dapat pula mengawasi dan
mencatat perubahan-perubahan anak setelah mendapat
penanganan medis.
B. Pendekatan Psikodinamik
Pendekatan ini menitikberatkan pada kehidupan psikologis
anak, berusaha memahami dan memecahkan kesulitan-
kesulitan yang difokuskan pada penyebab-penyebab
hambatan perilaku dan emosi. Pendekatan ini juga terapi
untuk merubah sikap negatif anak ke arah yang lebih positif.
Ini bisa dilakukan oleh psikolog, konselor sebaya, guru
bimbingan konseling dan sejenisnya.
C. Pendekatan Perilaku
Pendekatan ini berusaha untuk mengubah perilaku yang
merupakan problematika secara sosial dan personal bagi anak
tersebut. Tujuannya adalah menghilangkan perilaku negatif
dan menggantinya dengan perilaku yang lebih layak secara
sosial.
D. Pendekatan Pendidikan
Jarang ditemukan seorang anak dengan gangguan emosional
dan tingkah laku mendapat prestasi baik secara akademis,
Psychoneuroimmunology in Dermatology 88
padahal mereka tidak memiliki masalah dengan tingkat
intelegensi yang mayoritas rata-rata dan diatas normal.
Mereka biasanya tidak mampu berkonsentrasi dan mengatur
pembelajaran diri mereka. Sebaliknya, penanganan
pembelajaran yang dapat membantu anak berhasil secara
akademis mungkin berdampak pada kehidupan emosi dan
sikapnya. Suasana kelas yang baik dapat benar-benar menjadi
lingkungan terapi secara tidak langsung.
E. Pendekatan Ekologi
Pendekatan ekologi menekankan perlunya pemahaman anak
ke dalam konteks kehidupan mereka secara total. Pendekatan
ini juga menekankan perlunya membantu anak yang
mengalami hambatan harus dilakukan melalui usaha-usaha
kolaborasi keluarga, sekolah, teman dan masyarakat.
KESIMPULAN
Beberapa keluhan dan gejala yang bisa kita gunakan untuk
mendeteksi kesulitan emosional atau perilaku pada anak-anak
dengan masalah kulit adalah sebagai berikut:
Ketidakmatangan keterampilan sosial yang dinyatakan
dalam kesulitan ketika beradaptasi dan melakukan
interaksi sosial yang tepat. Terlihat dari hanya sedikit
atau tidak ada teman, perilaku menghindar atau lari dari
masalah.
Distractibility atau ketidakmampuan mempertahankan
perhatian untuk waktu yang panjang dibandingkan
dengan teman-temannya sehingga berdampak pada
prestasi di sekolah.
Perilaku hiperaktif dan impulsif, sikap agresi terhadap
diri sendiri atau orang lain.
Kecemasan atau fearfulness yang menjadi pemicu
Psychoneuroimmunology in Dermatology 89
keluhan psikosomatik
Mengungkapkan pikiran untuk bunuh diri akibat
perasaan depresi dan ketidakbahagiaan atas keadaan
fisiknya.
Masalah dalam hubungan keluarga.
Masalah di sekolah dengan hubungan guru-murid.
Pendekatan-pendekatan yang bersifat biomedik
melalui pengobatan yang tepat dan teratur, perilaku
penguatan untuk kepribadian, psikodinamika lingkungan yang
kondusif, pendidikan dengan penciptaan suasana kelas yang
menyenangkan maupun ekologis diharapkan akan membantu
memperbaiki perilaku dan emosi anak-anak dengan masalah
kulit.
SARAN
Pentingnya peran yang sinergis antara lingkungan rumah,
sekolah dan masyarakat dalam mendeteksi, mencegah
maupun memberi intervensi pada problem perilaku anak-anak
dengan masalah kulit. Anak dengan masa sekolah dan sekolah
sebagai stresor gangguan perilaku dan emosi, maka peran
sekolah menjadi sangat mendesak untuk dipertimbangkan.
Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools) dengan Guru
sebagai SDM yang sudah terampil dan terlatih secara
profesional dimana semua komunitas sekolah mengerti bahwa
tujuan pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua
murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman (to be
save and secure), untuk mengembangkan diri (to develop a
sense of self), untuk membuat pilihan (to make choices), untuk
berkomunikasi (to communicate), untuk menjadi bagian dari
komunitas (to be part of a community), untuk mampu hidup
dalam situasi dunia yang terus berubah (live in a changing
Psychoneuroimmunology in Dermatology 90
world), untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan
untuk memberi kontribusi yang bernilai (to make valued
contributions).
DAFTAR PUSTAKA
Durant, V. Mark & David H. Barlow, 2006. Essencetial of Abnormal
Psychology. Terj Helly P. 2007. Intisari Psikologi Abnormal.
Yogyakarta : Pustaka Belajar
Psychoneuroimmunology in Dermatology 91
Psychoneuroimmunology in Dermatology 92
DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF PSYCHOSOMATIC
DISEASE
Abstract
People face many problems throughout life. Some can handle
most of them well, while others find it difficult to cope
successfully. Experiencing and dealing with problems may
make one stronger, but in certain cases it may negatively
influence thought, behaviour, and emotions, potentially
resulting in mental illness. Although the unconscious mind
always tries to resolve these problems, the individual may still
be unhappy and out of balance, albeit still psychologically
functional. These problems may have genetic, organic,
experiential, psychological causes, or a combination of them.
Psychosomatic medicine is, by definition multidisciplinary. It is
not confined to psychiatry, but it may concern any other field
of medicine. Interestingly, the general psychosomatic
approach has resulted in a number of subdisciplines within
their own areas of application: psychooncology,
psychonephrology, psychoneuroendocrinology,
psychoimmunology, psychodermatology and others. If we
endorse the psychosomatic perspective, we may better clarify
the pathophysiological links and mechanisms underlying
symptom presentation. At present, the research evidence that
has accumulated in psychosomatic medicine offers
unprecedented opportunities for the identification and
treatment of medical problems. Treatment focuses on
memory and the unconscious mind, and considers the effects
of proto-experiences on the (dys)functional psychological
development of the individual. Using a biopsychospirit-
Psychoneuroimmunology in Dermatology 93
sociocultural approach may improve final outcomes and
quality of life. Already psychiatry is being interwoven into the
rest of healthcare, and this trend will only expand as
technology and teamwork bring psychiatric expertise to those
who need it, treating each person as an integrated whole.
Keywords: psychosomatic, psychiatry, early life events,
biopsychospirit-sociocultural
Introduction
Throughout life one faces many problems. Some people can
handle most of them well, while others find it difficult to cope
successfully. Experiencing and dealing with problems may
make one a stronger individual, or in certain cases may
negatively influence thought, behaviour, and emotions and
potentially result in mental illness. Although the unconscious
mind always tries to resolve these problems, the individual
may still be unhappy and out of balance, albeit still
psychologically functional. Problems can have genetic, organic,
experiential, psychological, or a combination of these causes.
Past traumas can act as pathological triggers, resulting
in the above causes entering dysfunctional or
psychopathological states. Should one follow the current
psychobiological evidence-based approaches, one would,
arguably, conclude that psychology, and in particular
personality, begins developing through proto-experiences in
the womb, as soon as the foetal nervous system is formed.
These proto-experiences influence and shape the biological
foundations of thought, emotion, feeling, behaviour, response
to stimulation, and adaptation to new situations. Should these
proto-experiences be traumatic, they will contribute to the
dysfunctional dispositions of the psychobiological systems,
and subsequently increase the individual’s vulnerability to
Psychoneuroimmunology in Dermatology 94
stress and their ability to successfully cope with problems later
in life.
Somatic symptoms are common in the general
population and they are prevalent in different medical
conditions such as cancer or coronary heart disease and in the
context of mental disorders, e.g. somatoform disorders,
anxiety disorders, and depression. Because somatic symptoms
are related to impaired functioning, decreased health related
quality of life, increased health care service use and
psychological distress, the assessment of somatic symptom
burden is essential in evidence based patient care and
research.
Moreover, in epidemiology, multiple somatic
symptoms reliably predict psychopathology and healthcare
use in population-based studies (Creed et al., 2012).
Consequently, the introduction of the new DSM-5 category
‘somatic symptom disorder’ (SSD) is generally seen as a major
change in the fields of public mental health and psychiatry. For
these reasons, in the current APA psychiatric diagnostic system
(the fifth edition, or DSM-5), the “medically unexplained”
requirement was abandoned, as was the syllable “form” in
“somatoform.” DSM-5 introduced “somatic symptom and
related disorders” to characterize the spectrum of psychiatric
distress based on somatic symptoms. Similar to the older term
“psychiatric overlay,” the new definition focuses on the
emotional and psychological reactions to somatic symptoms
rather than on their etiology (van Geelen et al., 2015).
At present, the research evidence that has
accumulated in psychosomatic medicine offers unprecedented
opportunities for the identification and treatment of medical
problems. Treatment focuses on memory and the unconscious
Psychoneuroimmunology in Dermatology 95
mind, and considers the effects of proto-experiences on the
(dys)functional psychological development of the individual.
Using a biopsychospirit-sociocultural approach may improve
final outcomes and quality of life (Lesmana et al., 2009).
Diagnosis
Psychosomatic medicine cuts across many specialties and is
concerned with assessment of psychosocial variables in the
setting of medical disease. It has developed methods that
provide clinical information that is likely to increase diagnostic
sharpness and yield better targeted therapeutic approaches in
all fields of medicine, including psychiatry (Sirri & Fava, 2013).
Psychosomatic medicine has become in the US a
subspecialty recognized by the American Board of Medical
Specialties. This has led to identifying psychosomatic medicine
with consultation-liaison psychiatry, a subspecialty of
psychiatry concerned with diagnosis, treatment, and
prevention of psychiatric morbidity in the medical patient in
the form of psychiatric consultations, liaison and teaching for
nonpsychiatric health workers, especially in the general
hospital. Consultation liaison psychiatry is clearly within the
field of psychiatry; its setting is the medical or surgical clinic or
ward, and its focus is the comorbid state of patients with
medical disorders. Psychosomatic medicine is, by definition,
multidisciplinary. It is not confined to psychiatry, but may
concern any other field of medicine. Not surprisingly, in
countries such as Germany and Japan, psychosomatic activities
have achieved an independent status and are often closely
related to internal medicine. In the US, family medicine
endorses a comprehensive psychosocial approach as integral
to their training and practice. Interestingly, the general
Psychoneuroimmunology in Dermatology 96
psychosomatic approach has resulted in a number of
subdisciplines within their own areas of application:
psychooncology, psychonephrology,
psychoneuroendocrinology, psychoimmunology,
psychodermatology and others. Such sub-disciplines have
developed clinical services, scientific societies and medical
journals. The psychosomatic approach has resulted in
important developments also in the psychiatric field,
subsumed under the rubric of psychological medicine (Lokko
et al., 2016; Yoshiuchi, 2016).
Today the life expectancy in Western countries is
much higher and most of clinical activities are concentrated on
chronic disease or non-disease specific complaints (McGinnis,
2016). ‘The changed spectrum of health conditions, the
complex interplay of biological and nonbiological factors, the
aging population, and the inter individual variability in health
priorities render medical care that is centred primarily on the
diagnosis and treatment of individual diseases at best out of
date and at worst harmful. A primary focus on disease, given
the changed health needs of patients, inadvertently leads to
under treatment, overtreatment, or mistreatment’. Disease-
specific guidelines provide very limited indicators for patients
with multiple conditions. The goal of treatment should be the
attainment of individual goals, and the identification and
treatment of all modifiable biological and non biological
factors.
But how should we assess these nonbiological
variables? In clinical medicine there is the tendency to rely
exclusively on ‘hard data’, preferably expressed in the
dimensional numbers of laboratory measurements, excluding
‘soft information’ such as impairments and well-being. This
Psychoneuroimmunology in Dermatology 97
soft information can now, however, be reliably assessed by
clinical rating scales and indexes which have been validated
and used in psychosomatic research and practice. It is not that
certain disorders lack an explanation; it is our assessment that
is inadequate in most of the clinical encounters, since it does
not reflect a global psychosomatic approach (Bauer et al.,
2011).
All physicians in all fields of medicine should utilize the
psychosomatic approach in medical interviewing. The
psychosomatic interview properly managed should prevent
premature closure of diagnostic considerations and ensure
consideration of biological psychological and sociocultural
factors. No matter what the presenting complaint, whether a
medically unexplained complaint or a presurgical evaluation
for oncologic surgery, the patient exists in a milieu of
emotional reactions, biological vulnerability and a social
network composed of health care providers and whatever
support system is available. It is imperative that the physician
document and understand the salient factors in these domains
and conduct interviews utilizing a psychosomatic approach,
whatever the complaint might be. Utilizing the techniques of
open-ended questions, observing nonverbal behaviors, and
considering the perspectives of diseases, dimensions,
behaviors, and life stories, the physician will gather a more
complete picture of the patient (Rafanelli & Ruini, 2012).
Better care will follow.
One of the main criticisms against the use of the
traditional psychiatric classification with medical patients is
the misleading assumption of the organic versus functional
dichotomy claiming that the presence of an organic cause, as
well as a hierarchical higher-order psychiatric disorder such as
Psychoneuroimmunology in Dermatology 98
major depression or panic disorder, subsumes psychological
disturbances and, vice versa, the absence of an organic cause
strongly indicates the presence of a psychological or
psychiatric reason (Fava et al., 2012).
Psychiatric assessment in the medical setting includes
a standard psychiatric assessment as well as a particular focus
on the medical history and context of physical health care
(Barbosa, 2012). In addition to obtaining a complete
psychiatric history, including past history, family history,
developmental history, and a review of systems, the medical
history and current treatment should be reviewed and
documented. A full mental status examination, including a
cognitive examination, should be completed, and components
of a neurologic and physical examination may be indicated
depending on the nature of the presenting problem.
Another important objective of the psychiatric
evaluation is to gain an understanding of the patient’s
experience of his or her illness. In many cases, this becomes
the central focus for both the psychiatric assessment and
interventions. It is often helpful to develop an understanding
of the patient’s developmental and personal history as well as
key dynamic conflicts, which in turn may help to make the
patient’s experience with illness more comprehensible. Such
an evaluation can include use of the concepts of stress,
personality traits, coping strategies, and defense mechanisms.
Observations and hypotheses that are developed can help to
guide a patient’s psychotherapy aimed at diminishing distress
and may also be helpful for the primary medical team in their
interactions with the patient (Fava et al., 2012).
Finally, a full report synthesizing the information
should be completed and include specific recommendations
Psychoneuroimmunology in Dermatology 99
for additional evaluations and intervention. Ideally, the report
should be accompanied by a discussion with the referring
physician. A psychiatric consultant can relieve some of this
frustration by clarifying the diagnosis and providing guidance
on ways to improve the patient’s functioning and relationship
with the medical team.
Management
There have been major transformations in health care needs
in the past decades. Chronic disease is now the principal cause
of disability and use of health services consumes almost 80%
of health expenditures. Yet, current health care is still
conceptualized in terms of acute care perceived as a product
processing, with the patients as a customer, who can, at best,
select among the services that are offered. In health care the
product is clearly health and the patients is one of the
producers, not just a customer. As a result ‘optimally efficient
health production depends on a general shift of patients from
their traditional roles as passive or adversarial consumers to
become producers of health jointly with their health
professionals’ (Wholey et al., 2014).
The exponential spending on preventive medication
justified by the potential long-term benefits to a small segment
of the population is now being challenged, whereas the
benefits of modifying lifestyle by population-based measures
are increasingly demonstrated and are in keeping with the
biopsychosocial model. Medically unexplained symptoms
occur in up to 30–40% of medical patients and increase
medical utilization and costs. The traditional medical
specialties, based mostly on organ systems (e.g. cardiology,
gastroenterology), appear to be more and more inadequate in
Summary
Endorsement of the psychosomatic perspective may better
clarify the pathophysiological links and mechanisms underlying
symptom presentation. At present, the research evidence
which has accumulated in psychosomatic medicine offers
unprecedented opportunities for the identification and
treatment of medical problems. Treatment focuses on
memory and the unconscious mind, and considers the effects
of proto-experiences on the (dys)functional psychological
development of the individual using biopsychospirit-
sociocultural approach may improve final outcomes and
quality of life.
Ballard, C., Orrell, M., YongZhong, S., Moniz-Cook, E., Stafford, J.,
Whittaker, R., et al. (2016). Impact of Antipsychotic Review and
Nonpharmacological Intervention on Antipsychotic Use,
Neuropsychiatric Symptoms, and Mortality in People With Dementia
Living in Nursing Homes: A Factorial Cluster-Randomized Controlled
Trial by the Well-Being and Health for People With Dementia
(WHELD) Program. Am J Psychiatry, 173(3), 252-262. doi:
10.1176/appi.ajp.2015.15010130
Bauer, A. M., Bonilla, P., Grover, M. W., Meyer, F., Riselli, C., & White,
L. (2011). The role of psychosomatic medicine in global health care.
Curr Psychiatry Rep, 13(1), 10-17. doi: 10.1007/s11920-010-0162-2
Becker, J., Beutel, M. E., Gerzymisch, K., Schulz, D., Siepmann, M.,
Knickenberg, R. J., et al. (2016). Evaluation of a video-based Internet
intervention as preparation for inpatient psychosomatic
rehabilitation: study protocol for a randomized controlled trial.
Trials, 17(1), 287. doi: 10.1186/s13063-016-1417-y
Creed, F. H., Davies, I., Jackson, J., Littlewood, A., Chew-Graham, C.,
Tomenson, B., et al. (2012). The epidemiology of multiple somatic
symptoms. J Psychosom Res, 72(4), 311-317. doi:
10.1016/j.jpsychores.2012.01.009
Lokko, H. N., Gatchel, J. R., Becker, M. A., & Stern, T. A. (2016). The
Art and Science of Learning, Teaching, and Delivering Feedback in
Psychosomatic Medicine. Psychosomatics, 57(1), 31-40. doi:
10.1016/j.psym.2015.09.006
Lousada, J., Weisz, J., Hudson, P., & Swain, T. (2015). Psychotherapy
provision in the UK: time to think again. Lancet Psychiatry, 2(4), 289-
291. doi: 10.1016/S2215-0366(15)00082-6
Abstract
For more than thousand years layman and medical
practitioners as well, know the correlation of emotional factors
triggering certain disease symptoms, influencing the course of
disease, and if sustained, can even become the pathogenesis of
certain illnesses.
Cogitation by dermatologists, neurologists,
psychiatrists, immunologists, endocrinologists, led to the
creation of psycho-neuro-immunology (PNI). A relatively new
holistic medical approach to scientifically elucidate the
reciprocal relationship of the body and mind in certain
diseases.
Advanced neuroscience, immunology, endocrinology
and bio-molecular research reveal the existence of several
neurotransmitters, released by the brain, triggered by a
multitude of emotional conditions. Specific neurotransmitters
influence immune and endocrine systems. A cogency that
emotions can play an important role in certain diseases and
behaviors.
The clinical application of PNI in Dermatology, needs
mandatory insight in psycho-dermatology, keen observation in
patient’s behavior, encompassing body language (facial
expression), emotional content of complaints and awareness of
any apparent or hidden motives to be treated.
A chosen PNI treating modality should be studied,
applied and mastered. The outcome objectively evaluated.
Indications, contra-indications and placebo effects should be
kept in mind.
Abstrak
Hubungan antara kelainan kulit dan faktor psikologis sangatlah
erat dan telah lama menjadi topik yang menarik.
Psikodermatologi adalah cabang ilmu yang mempelajari
keterkaitan antara kulit dan pikiran. Kelainan psikodermatologi
atau dikenal dengan istilah penyakit psikokutaneous
merupakan kondisi yang tidak jarang ditemukan pada praktek
klinis. Sebanyak 30-40% pasien dengan manifestasi kulit
memiliki masalah psikologi. Secara umum penyakit
psikokutaneous dibagi menjadi 2, yaitu: (1) kelainan psikiatri
primer, dimana kelainan psikiatri yang mendasari adanya
manifestasi kulit; dan (2) kelainan dermatologi primer yaitu
adanya penyakit kulit yang menyebabkan stres psikologis
seperti depresi bahkan keinginan bunuh diri. Dokter kulit yang
umumnya menerima pasien untuk pertama kali diharapkan
memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk
mengidentifikasi penyakit psikokutaneous ini. Dokter kulit juga
diharapkan dapat melakukan pendekatan yang simpatik dan
menjadi jembatan bagi pasien untuk berkonsultasi dengan
psikiater maupun psikolog untuk mendapat penanganan yang
komprehensif. Penatalaksanaan farmakologis dan non-
farmakologis dengan kerjasama interprofesi diperlukan dalam
penanganan pasien dengan kelainan kulit yang disertai dengan
gangguan psikiatri.
Kata kunci: psikokutaneous, psikodermatologi, manifestasi
kulit, gangguan psikiatri
Pendahuluan
Kelainan kulit sangat erat kaitannya dengan kondisi psikis
pasien. Apakah berawal dari kelainan kulit yang menyebabkan
penurunan percaya diri, depresi dan fobia sosial, ataukah
berawal dari gangguan psikiatri yang kemudian menyebabkan
manifestasi kulit, keduanya memerlukan penanganan yang
adekuat dan komprehensif. Sistem saraf dan sistem integumen
sama-sama berasal dari ektoderm dalam embriologi.1,2,3 Oleh
karena itu, kulit dan saraf sangat berkaitan dalam respon
Trikotilomania
Trikotilomania dari sudut pandang dermatologi adalah suatu
kondisi dimana seseorang mencabut rambutnya sendiri.
Sedangkan dari sudut pandang psikiatri trikotilomania harus
mencakup sifat impulsif dalam pencabutan rambut tersebut.2
Kelainan psikiatri yang mendasari umumnya adalah gangguan
obsesi kompulsi, namun kelainan lain yang dapat mendasari
adalah simple habit disorder, reaksi terhadap situasi stres,
retardasi mental, depresi dan kecemasan, serta delusi yang
meyakinkan pasien bahwa ada sesuatu pada akar rambut yang
harus dicabut. Kondisi terakhir ini dikenal dengan trikofobia.
Beberapa diagnosis banding dari trikotilomania antara lain
alopesia areata, sifilis, dan tinea kapitis.2
Berdasarkan epidemiologi prevalensi berkisar antara
0,5% - 3,5% dengan rerata usia pasien antara 10-13 tahun.
Secara klinis trikotilomania akan tampak sebagai nonscarring
alopecia, dengan rambut patah pada panjang yang bervariasi,
dengan densitas rambut yang normal, serta hair pull test
negatif. Area yang terkena antara lain kulit kepala, bulu mata,
alis dan rambut pubis dengan sebagian besar pasien mencabut
rambut pada lebih dari satu lokasi.1,4
Kelainan Psikofisiologis
Kelainan psikofisiologis adalah kondisi kelainan kulit yang
seringkali dipengaruhi atau diperberat oleh stres emosional.
Klasifikasi kelompok ini diajukan oleh Koo dan Lee bersama
dengan dua kelompok klasifikasi lainnya.7 Kelainan pada
kelompok ini biasanya bersifat multifaktorial, dimana stres
ataupun kondisi psikologis tidak secara langsung sebagai
penyebab dari kelainan kulit yang terjadi namun, merupakan
salah satu faktor pemicu atau faktor yang memperberat.8 Pada
banyak dermatosis kronis, stres emosional dapat memicu
siklus gatal-garuk, sehingga terapi terhadap pasien yang
rekalsitran harus disertai dengan tatalaksana terhadap stres
sebagai faktor yang memperberat. Pasien biasanya merasa
malu mengakui masalah psikologis yang dihadapi, sehingga
diperlukan pendekatan secara perlahan. Kursus manajemen
stres, teknik-teknik relaksasi, musik, atau latihan dapat
membantu menangani masalah pada pasien dalam kondisi
seperti ini. Jika terdapat masalah psikososial atau pekerjaan
yang spesifik, terapi dan konseling yang terkait mungkin dapat
membantu.3,5
Pada pasien dengan stres atau ketegangan yang
memerlukan terapi anti cemas, terdapat dua kelompok
anticemas umum yang dapat dgunakan. Benzodiazepin secara
Daftar Pustaka
1. Rieder E, Tausk FA. Psychocutaneous Skin Disease. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:
McGraw-Hill; 2012, p. 1158-65.
2. Koo J, Lebwohl A. Psychodermatology: The Mind and Skin
Connection. AAFP 2001; 64(11): 1873-78.
Abstrak
Penyakit kulit sangat erat kaitannya dengan stres psikologis.
Sebanyak 30% penyakit kulit dikatakan tertangani dengan
lebih baik dan efektif jika mempertimbangkan faktor
psikososialnya. Stres secara definisi adalah akibat dari
kegagalan tubuh untuk merespon dengan baik tekanan fisik
maupun emosional. Stres ini dapat menjadi faktor yang
berperan penting dalam banyak penyakit kulit seperti
dermatitis atopi, psoriasis, urtikaria dan akne. Saat ini banyak
dikembangkan teknik untuk melakukan penilaian stres, dan
kuesioner nampaknya merupakan alat bantu yang mudah dan
banyak digunakan untuk menilai stres. Sayangnya, di Bidang
Dermatologi belum terdapat metode yang baku mengenai
penilaian stres pada berbagai penyakit kulit. Beberapa
kuesioner stres yang umum dan telah diterima luas seperti
Depression Anxiety and Stress Scale (DASS-21), Perceived
Stress Scale (PSS-10), Subjective Units of Distress Scale (SUDS),
The Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D), dan
Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A) merupakan kuesioner
yang sering digunakan untuk mengevaluasi tingkat stres
utamanya dalam berbagai penelitian di Bidang Dermatologi.
Dalam praktek klinis sehari-hari perhatian terhadap faktor
psikososial dan penilaian tingkat stres pada pasien dengan
penyakit kulit perlu ditingkatkan sehingga dicapai penanganan
yang komprehesif dan tingkat kesembuhan yang lebih tinggi.
Abstract
Skin disease are closely related with psychological stress.
Consideration of psychosocial factor is essential for managing
an estimated 30% of dermatologic disorders effectively. Stress
by definition is the consequences of the failure of the human
body to respond appropriately to emotional or physical threats.
Stress played an important factor of many skin diseases such
as atopic dermatitis, psoriasis, urticaria and acne. Nowdays,
various technique were developed for examination of stress
level, and questionnaire is a simple, easy and common
measurement tool to evaluate stress. Unfortunately, there is no
standard measures of stress in dermatologic patients yet. Some
general stress questionnaires such as Depression Anxiety and
Stress Scale (DASS-21), Perceived Stress Scale (PSS-10),
Subjective Units of Distress Scale (SUDS), The Hamilton Rating
Scale for Depression (HAM-D), and Hamilton Anxiety Rating
Scale (HAM-A) are largely use to evaluate stress especially in
various research of dermatologic patients. Increased uses of
these tools in daily clinical practice might be beneficial in order
to deliver a comprehensive treatment to patients with skin
disease.
Key word: stress questionairres, skin disease, DASS, PSS, SUDS,
HAM-D, HAM-A
Pendahuluan
Stres adalah respon mental dan fisiologi tubuh terhadap
stimulus atau ancaman fisik maupun emosional.1 Stres
emosional dapat menjadi faktor pencetus berbagai penyakit
kulit seperti dermatitis atopik, psoriasis, dermatitis seboroik
dan urtikaria. Penyakit-penyakit kulit tersebut dimasukan
kedalam kelainan psikofisiologi yang merupakan bagian dari
kelainan psikokutaneus atau psikodermatologi. Kelainan kulit
Stres
Stres adalah ketidakmampuan mengatasi ancaman yang
dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan spiritual manusia,
yang pada suatu ketika dapat mempengaruhi kesehatan
individu tersebut.8 Sumber stress atau disebut dengan stresor
dapat bersumber dari luar dan dalam tubuh. Radiasi, suhu, zat
kimia dan trauma merupakan stresor dari luar. Stresor dari
dalam dikenal dengan stresor psikologis berupa rasa frustasi,
kecemasan, rasa bersalah, khawatir berlebih, marah, benci
ataupun rasa sedih.2
Stres dapat dibagi menjadi beberapa konsep yaitu:
stres fisiologis, psikologis dan sosial. Stres secara fisiologis
dapat meningkatkan kadar hormon kortisol, denyut jantung,
tekanan darah dan mempengaruhi respon inflamasi dan
sistem imun. Stres secara psikologis dihubungkan dengan
emosi negatif seperti rasa takut dan cemas, sedangkan stres
terkait faktor sosial dihubungkan dengan lingkungan kerja atau
tempat tinggal serta interaksi antar personal yang negatif.1
Tingkat stres dapat dinilai dari tahapan stres yang
dialami individu tersebut. Stres menurut Hawari terdiri dari
enam tahapan stres. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu
stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang sangat berat
dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan pekerjaan
tanpa memerhitungkan tenaga yang dimilikinya, pada tahapan
ini penglihatan menjadi tajam. Stres tahap kedua, yaitu stres
yang disertai dengan keluhan dan ketidaknyamanan fisik
seperti perut tidak nyaman, jantung berdebar, otot tengkuk
DAFTAR PUSTAKA
1. Solowiey, K, Mason, V, Upton, D. Review of The Relationship
Between Stress and Wound Healing Part 1. J Wound Care 2009:
18 (9): 1-6.
2. Yadav, S, Narang, T, Kumaran, S, M. Psychodermatology: A
Comprehensive Review. Indian J Dermtol Venereol Leprol 2013:
79 (2): 176-92.
3. Tran, TD, Tran, T, Fisher, J. Validation of The Depression Anxiety
Stress Scales (DASS) 21 as a Screening Instrument for Depression
and Anxiety in a Rural Community-based Cohort of Northern
Vietnamese Woman. BMC Psychiatry, 2013: 13 (24): 1-7.
4. Andreou, E, Alexopoulos, EC, Lionis, C, Varvogli, L, Gnardellis, C,
Chrousos, GP, Darviri, C. Perceived Stress Scale: Reliability and
Validity Study in Greece. Int J Environ Res Public Health 2011: 8:
4287-98.
5. Musa, R, Fadzal, MA, Zain, Z. Translation, Validation and
Psychometric Properties of Bahasa Malaysia Version of the
Depression Anxiety and Stress Scales (DASS). ASEAN J Psychiatry
2007: 8 (2): 82-89.
6. Hedlund, JL, Vieweg, BW. The Hamilton Rating Scale for
Depression. J Operational Psychiatry, 1979; 10(2): 145-165.
7. Hamilton, M. The Assessment of Anxiety States by Rating. Br J
Med Psychol 1959; 32: 50-5.
8. Cohen, S, Deverts, DJ, Miller, GE. Psychological Stress and
Disease. JAMA 2007; 298 (14): 1685-7.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Abstrak
Uji kulit merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang
dapat membantu klinisi menetapkan penyebab alergi. Ada dua
jenis uji kulit yaitu tes tusuk (skin prick test) dan tes tempel
(skin patch test). Tes tusuk digunakan untuk mendiagnosis
reaksi hipersensitivitas tipe cepat, sedangkan tes tempel
digunakan untuk mendiagnosis reaksi hipersensitivitas tipe
lambat.
Kata Kunci: Uji Kulit, Uji Tusuk, Uji Tempel
UJI TUSUK
Uji tusuk atau skin prick test (SPT) merupakan metode
diagnosis untuk penyakit alergi yang dimediasi
immunoglobulin E (Ig E) seperti pada pasien dengan
rinokonjungtivitis, asma, urtikaria, anafilaksis, dermatitis
atopik, kecurigaan alergi makanan, dan alergi obat.1 Tes tusuk
merupakan pilihan utama untuk mendiagnosis alergi karena
hasil tes dapat diandalkan, aman, mudah, minimal invasif,
relatif murah, dapat mendeteksi multipel alergi dalam 15-20
menit tes dan reproducible jika dilakukan oleh professional
kesehatan yang terlatih.2 Pemeriksaan ini dapat dikerjakan
pada dewasa dan anak-anak. Uji tusuk cukup baik dalam
mendiagnosis alergi inhalan dengan spesifisitas (70-95%) dan
sensitivitas (80-97%), sedangkan untuk alergi makanan,
spesifisitas berkisar (30-90%) dan sensitivitas (20-60%)
tergantung tipe alergen dan tehnik yang digunakan. 1
Indikasi
- Dermatitis kontak alergi8,9
- Sindroma dermatitis kontak alergi (Allergic contact
dermatitis syndrome)9
- Untuk membedakan dermatitis kontak alergi atau
dermatitis kontak iritan8,9
- Dermatitis kronis dengan penyebab yang belum
diketahui8
- Kondisi penyakit eczematous (endogenous) seperti :
dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis
seboroik, asteatotic eczema, dermatitis stasis, lesi
eksim di sekitar ulkus pada tungkai, pomfoliks atau
dyshidrotic eczema, likenifikasi, eczematous psoriasis
(telapak tangan dan telapak kaki)9
Referensi
1 Heinzerling L, Mari A, Bergmann C, Bresciani M, Burbach G,
Darsow U, et al. The skin prick test -European Standard. Clinical
and Translational Allergy 2013; 3: 1-10.
2 Coetzee O, Green R.J., Masekela R. A guide to performing skin-
prick testing in practice: tips and tricks of the trade. S Afr Fam
Pract 2013; 55: 415-19.
3 Lachapelle JM, Maibach, H.I. The Spectrum of Diseases for
Which Prick Testing and Open (Non-Prick) Testing Are
Recommended. In: Patch Testing and Prick Testing (Lachapelle
JM, Maibach, H.I, ed), 2 nd edn. Berlin: Springer. 2009.
4 Kolegium IKKK. Modul Prick Test/ Uji Tusuk. In: Modul Dermato
Alergo Imunologi. 2008; 1-24.
5 Lachapelle JM, Maibach, H.I. The Methodology of Open (Non-
Prick) Testing, Prick Testing and its Variants. In: Patch Testing
and Prick Testing (Lachapelle JM, Maibach, H.I, ed). Berlin:
Springer. 2009; 141-52.
6 Bousquet J, Heinzerling L, Bachert C, Papadopoulos N.G.,
Bousquet P.J., Burney P.G., et al. Pratical guide to skin prick
tests in allergy to aeroallergens. Allergy 2012; 67: 18-24.
ABSTRAK
Targeted phototherapy laser excimer 308 nm merupakan
teknik fototerapi yang menghasilkan dosis terapeutik radiasi
UVB monokromatik energi tinggi dalam waktu singkat pada lesi
yang kecil. Laser ini dilaporkan efektif untuk berbagai penyakit
alergi pada kulit seperti: dermatitis atopik, psoriasis, alopesia
areata, dan vitiligo. Salah satu mekanisme kerja dari laser ini
adalah menurunkan proliferasi sel T melalui mekanisme
apoptosis. Walaupun laser ini merupakan modalitas terapi
yang efektif untuk berbagai kelainan kulit, namun tetap
diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keamanan dari
alat ini.
Kata kunci: laser, excimer, penyakit alergi pada kulit
PENDAHULUAN
Laser excimer berasal dari excited dimer yang terdiri dari gas
noble dan halide yang mempunyai aksi pada beberapa
penyakit kulit. Sinar ultraviolet B yang mempunyai panjang
gelombang antara 290 nm-310 nm dan gas xenon-klorida 308-
nm sering digunakan sebagai modalitas terapi di bidang
dermatologi. Keuntungan laser excimer monokromatik antara
lain, memancarkan dosis UV yang rendah, lama terapi yang
pendek, dapat digunakan pada daerah yang sulit dijangkau
secara anatomis serta kulit normal di sekitar lesi terlindung
dari radiasi.1
DERMATITIS ATOPIK
Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kulit
yang sangat gatal dan bersifat kronik residif. Etiologi dan
patogenesis dari DA adalah multifaktorial meliputi kelainan
genetik, gangguan sawar kulit, gangguan imunologik serta
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan stres.3
Pilihan terapi utama DA adalah steroid topikal,
emolien dan inhibitor kalsineurin topikal. Fototerapi
merupakan terapi lini kedua DA, setelah terjadi kegagalan
terapi lini pertama, maka fototerapi merupakan pilihan serta
dapat digunakan sebagai terapi pemeliharaan.4 Targeted UVB
laser phototherapy merupakan kemajuan dalam fototerapi
yang juga digunakan pada pengobatan DA. Beberapa
mekanisme kerja radiasi UVB pada DA meliputi: supresi sitokin
proinflamasi (IL-12, TNF-α), induksi IL-10, modulasi aktivasi
sistem imun, dan mengurangi jumlah bakteri pada permukaan
kulit.5
Penelitian Baltas dkk, mengenai evaluasi efikasi
terapeutik laser excimer 308 nm pada DA melaporkan 15
pasien DA dengan luas lesi kurang dari 15 % yang dinilai
berdasarkan skor Eczema Area Severity Index (EASI), skor
kualitas hidup dan visual linear analogue scale. Subyek
PSORIASIS
Psoriasis adalah penyakit proliferatif dan inflamasi pada kulit
bersifat kronis dan residif.1 Terapi psoriasis mengurangi
keparahan, efek samping obat dan memperbaiki kualitas hidup
pasien serta tingkat remisi. Indikasi fototerapi adalah untuk
psoriasis plak tingkat sedang dan berat. Adapun jenis
fototerapi yang tersedia meliputi: ultraviolet A (UVA),
ultraviolet B (UVB) dan laser excimer. Efikasi dari laser excimer
telah dilaporkan pada psoriasis lokal yang resisten (level
evidence II, strength recommendation B). Indikasi laser ini
adalah untuk psoriasis ringan, sedang dan berat dengan luas
keterlibatan BSA < 10 % pada anak dan dewasa. Dosis awal
terapi tergantung pada tipe kulit (MED) dan ketebalan dari
plakat (Tabel 1). Selanjutnya bila belum ada efek respon
eritema dan penipisan ketebalan dari plakat dalam waktu 12-
24 jam maka dosis dinaikkan bertahap sebesar 15-25%. Bila
sudah ada perbaikan, maka dosis dipertahankan, kemudian
secara bertahap diturunkan sebesar 15 %. Lama terapi rata-
rata 10-12 kali dengan frekuensi 2-3 kali/minggu.8,9
VITILIGO
Vitiligo merupakan leukoderma kronik didapat dengan
karakteristik berupa makula hipopigmentasi tunggal atau
multipel, dengan distribusi simetris, lokal, segmental dan
generalisata. Terdapat beberapa modalitas terapi, salah
satunya adalah fototerapi. Fototerapi UVB bertujuan untuk
menstimulasi aktivasi dan migrasi melanosit pada folikel
rambut menuju lapisan basal epidermis dari makula
depigmentasi, menstimulasi dopa-lacking amelanotic
melanocyte pada lapisan luar folikel rambut, menstimulasi
pelepasan endotelin-1 pada keratinosit yang berperan dalam
proses melanogenesis, menginduksi apoptosis sel T sitotoksik
yang merusak sel melanosit, mengurangi presentasi antigen
dan mengatur mediator inflamasi. 12,13
Penelitian komparatif menunjukkan laser excimer 308-
nm mempunyai efek biologik dan klinis yang sama bahkan
RINGKASAN
Laser excimer merupakan pilihan fototerapi UVB yang baru dan
sangat bermanfaat dengan waktu serta jumlah sesi terapi yang
pendek, dosis UV yang rendah dibandingkan fototerapi
standar yang lainnya dengan risiko terjadinya karsinogensis
yang rendah. Dapat digunakan kelainan penyakit inflamasi dan
kondisi hipopigmentasi lokalisata serta dapat digunakan untuk
di daerah mukosa. Terapi kombinasi antara laser excimer
Daftar Pustaka
1. Mehraban S, Felly A. 308 nm excimer laser in dermatology. J
Laser Med Sci 2014:5(1):8-12.
2. Mysore V. Targeted phototherapy. Indian J Dermatol Venereol
Leprol 2009: 75: 119-25.
3. Soebarya RW. Patogenesis dan gangguan imunologis pada
dermatitis atopik. Dalam : Diana IA, Boediharja SA, Soebaryo RW,
Suteja E, Lokanata MD, Sugito TL, Danarti R, Prihianti S, Agustin
T, Rahmayunita G, Astriningrum, edit.1 ed. Dermatitis atopik:
diagnosis dan tatalaksana terkini,. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
2014 :1-7.
4. Sidbury R, Davis DM, Davis DM, Cohern DE, Cordoro KM, Berger
TG, et al. Guidelines of care for the management of atopic
dermatitis. J Am Acad Dermatol 2014 ;17: 327-49.
5. Pugasheti R, Koo J. Photoherapy in pediatric patients: choosing
the appropriate treatment option. Semin Med Surg 2010; 29
:115-20.
6. Baltas E, Csoma Z, Bodal L, Ignacs F, Dobozy A, Kemeny L.
Treatment of atopic dermatitis with xenon chloride excimer
laser. European Academy of Dermatology and Venereology 2006
; 20 : 657-660.
7. Nistico SP, Saraceno R, Caprrioti E, et al. Efficacy of
monochromatic excimer light (308-nm) in the treatment of
atopic dermatitis in adults and children. Photomed laser Surg
2008 ; 26:14-8.
8. Psoriasis:recommendation for excimer laser therapy. [cited 2016
June18] Avalaible from: URL : htpp:// www.aad.org/practice-
tools/quality-care/clinical.
PERSIAPAN PASIEN
Tidak memerlukan persiapan khusus ataupun anestesi.
Jika bercak terlalu berskuama atau terlalu tebal, disarankan
penggunaan asam salisilat krim, pada malam hari sebelum
perawatan
PENENTUAN MED
Paparan pada 6 area untuk tes fluence (contoh 150, 200,
250, 300, 350, 400 ml/ cm2).
Baca dalam waktu 24 sampai 48 jam.
MED adalah fluence terendah yang menyebabkan eritema homogen
dengan batas yang bersih
PERAWATAN
Lakukan 2 sampai 3 kali sesi terapi per minggu.
Konsultasi pertama, fluence antara 1 dan 3 kali MED
disesuaikan dengan ketebalan dari tiap bercak.
Konsultasi selanjutnya, tingkatkan 1 MED setiap sesi terapi,
sampai tercapai eritema ringan setelah 24 jam.. Jika terjadi
eritema berat dan tidak terjadi bula, fluence diturunkan 1
MED.
Jika terjadi krusta atau bula, diperlukan perawatan untuk
area tersebut sampai sembuh sempurna.
Turunkan fluence 1 MED dan tetap pada fluence ini untuk 2
sesi berikutnya.
Mulai tingkatkan berikutnya sebesar 100mJ/ cm2 pada
setiap sesi terapi.
JADWAL
Lakukan 2-3x per minggu.
Jika hasil mulai membaik, direkomendasikan 1-2 kali perawatan per
minggu.
Jika hasil sudah terlihat baik, direkomendasikan 1 kali perawatan
dalam 2 minggu.
Follow-Up Pasien
Jumlah konsultasi: antara 6 dan 18 disesuaikan dengan kebutuhan
tiap pasien.
Kontraindikasi
Dermatosis dengan sindroma Koebner
Dermatosis fotosensitif autoimun: lupus, dermatomiositis
Radioterapi
Hiperfotosensitivitas
Penggunaan obat fotosensitif
Fotogenodermatosis, fotodermatosis
Riwayat kanker kulit
Melanoma, genodermatosis, kanker kulit non-melanoma
Wanita hamil (belum ada penelitian)
Anak berusia < 15 tahun (belum ada studi)
PERSIAPAN PASIEN
Perawatan ini tidak memerlukan persiapan khusus ataupun
anestesi.
Dokumentasikan pasien untuk melihat progesivitas
repigmentasi bercak putih dan bila terjadi efek samping.
PERAWATAN
Lakukan 2 sampai 3 kali konsultasi per minggu.
Fluence :
o Mulai perawatan pada 100 mJ/cm2 pada konsultasi
pertama.
o Naikkan tiap 100 mJ/cm2 per sesi terapi, sepanjang
masih ditoleransi pasien dan tidak terjadi bula.
Jika terjadi kemerahan yang parah atau krusta atau bula,
maka diperlukan perawatan untuk area tersebut sampai
sembuh sempurna.
Turunkan fluence 100 mJ/cm2 dan tetap pada fluence ini
untuk 2 sesi berikutnya.
Mulai tingkatkan berikutnya sebanyak 50mJ/ cm2 pada tiap
sesi terapi.
ENDPOINT
Eritema ringan 1-2 hari setelah perawatan
Tidak berkrusta
JADWAL
Lakukan 2-3x per minggu (tidak tiap hari).
Jika sudah mulai membaik, direkomendasikan 1-2 kali
perawatan per minggu.
Jika hasil sudah terlihat baik, direkomendasikan 1 kali
perawatan dalam 2 minggu.
KONTRAINDIKASI
Dermatosis dengan sindroma Koebner
Hipertiroidisme
Lupus Eritematosus
Tuberkulosis Vegetatif
Melanoma, genodermatosis, kanker kulit non-melanoma
Hiperfotosensitivitas
Radioterapi
Individu dengan menggunakan pacemaker
Penggunaan obat fotosensitivitas
Wanita hamil (belum ada studi)
Anak berusia < 15 tahun (belum ada studi)
Sumber: dikutip dari PPK 2015 sub divisi kosmetik medik IKK RSUP
Sanglah
ABSTRAK
Hipnosis adalah metode terapi yang kini banyak digunakan
dibidang dermatologi atau kondisi lainnya. Teknik ini
mengikutsertakan pasien dalam keadaan trance (bawah sadar)
untuk tujuan tertentu seperti relaksasi, mengurangi rasa sakit
atau mengurangi rasa gatal kronis, atau hendak modifikasi
kebiasaan yang tidak sehat. Hipnosis adalah induksi disengaja,
memperdalam, pemeliharaan, dan pemutusan negara trans
alami untuk tujuan tertentu. Fenomena hipnotis telah
digunakan sejak zaman kuno untuk membantu penyembuhan.
Untuk hipnoterapi medis, tujuannya adalah untuk mengurangi
penderitaan, untuk mempromosikan penyembuhan, atau
untuk membantu orang mengubah pola perilaku yang
merusak.Setelah pelatihan yang tepat, kita dapat
mengintensifkan negara trans ini dan menggunakan fokus
tinggi ini untuk mendorong interaksi pikiran-tubuh yang
membantu meringankan penderitaan atau mempromosikan
penyembuhan. Negara trans dapat diinduksi dengan
menggunakan citra dipandu, relaksasi, pernapasan dalam,
teknik meditasi, self-hypnosis, atau teknik hipnosis-induksi.
Individu bervariasi dalam kemampuan mereka untuk masuk ke
kondisi trance, tapi kebanyakan dapat memperoleh beberapa
manfaat dari hipnosis. Dalam dermatologi, saran yang
diberikan selama trance dapat membantu mengurangi rasa
sakit kulit dan pruritus, campur tangan dalam aspek
psikosomatis penyakit kulit, dan menyebabkan resolusi
beberapa penyakit kulit, termasuk veruka vulgaris dan kondisi
kulit lainnya.
PENDAHULUAN
Kata hipnosis akhir-akhir ini banyak dibicarakan oleh berbagai
kalangan, ada yang menanggapi secara positif dan banyak yang
negatif karena disetarakan dengan tindak kejahatan dengan
cara magis atau supra natural. Banyak kejahatan yang
dibuhungkan dengan menggunakan hipnosis. Padahal tidak
demikian, hipnosis itu ilmiah, faktual, alamiah karena siapa
saja pernah mengalami kondisi hipnosis dan siapa saja bisa
melakukan hipnosis asal masih mampu melakukan komunikasi
verbal.
Hipnosis adalah suatu kondisi mental dengan peran imajinatif
yang menonjol dan terjadi penurunan kesadaran atau
DEFINISI HIPNOSIS
Definisi hipnosis yang saat ini paling banyak digunakan dan
diterima adalah definisi yang dipublikasikan oleh U.S. Dept. of
Education, Human Services Division, Hypnosis is the by-pass of
the critical factor of the conscious mind followed by the
establishment of acceptable selective thinking” atau “hipnosis
adalah penembusan faktor kritis pikiran sadar diikuti dengan
diterimanya suatu pemikiran atau sugesti” jelas bahwa
hipnosis sama sekali tidak ada hubungannya dengan kondisi
rileks, rileks secara fisik. Untuk bisa dikatakan sebagai kondisi
hipnosis, menurut definisi di atas, maka ada dua syarat yang
harus dipenuhi. Pertama, penembusan faktor kritis dan kedua,
diterimanya suatu sugesti oleh pikiran bawah sadar. Berarti
asalkan bisa membuat menurunnya tingkat kesadaran
SEJARAH HIPNOTERAPI
Hipnoterapi sudah ada sejak lama, namun hipnoterapi modern
pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Franz Anton Mesmer
(1734-1815). Dokter asal Austria itu yang memperkenalkan
mesmerisme atau metode penggunaan energi
elektromagnetik manusia yang bisa ditransfer kepada orang
lain atau untuk diri sendiri. Dari namanya, muncul istilah
mesmeric sleep atau somnambulism, keadaan seseorang
dibuat tertidur tetapi tetap bisa diajak bicara, yang menjadi
cikal bakal hipnosis.
Hipnoterapi sampai saat ini masih terus berkembang
yang dimulai sejak abad ke-18, mulai dari konsep hypnosis
konvensional yang dikembangkan oleh Dr. James Braid sampai
dengan hipnoterapi klinis modern yang dikembangkan oleh Dr.
Milton H. Erickson sampai terakhir-terakhir yang
NEUROFISIOLOGI HIPNOSIS
Pikiran bawah sadar manusia menyimpan misteri yang luar
biasa. Banyak hal yang menyangkut manusia bersumber dari
berbagai data dan nilai yang tersimpan di pikiran bawah sadar.
Pikiran bawah sadar tidak saja terkait dengan perilaku dan
mental, tetapi lebih jauh lagi pikiran bawah sadar dapat
merubah metabolisme, mempercepat penyembuhan, atau
bahkan memperburuk suatu kondisi penyakit.
Hypnotherapy adalah suatu metode dimana pasien
dibimbing untuk melakukan relaksasi, dimana setelah kondisi
relaksasi dalam ini tercapai maka secara alamiah gerbang
pikiran bawah sadar sesesorang akan terbuka lebar, sehingga
yang bersangkutan cenderung lebih mudah untuk menerima
sugesti penyembuhan yang diberikan. Secara konvensional,
Hypnotherapy dapat diterapkan kepada mereka yang
memenuhi persyaratan dasar, yaitu: (1). Bersedia dengan
LANGKAH-LANGKAH HIPNOSIS
Untuk melakukan hipoterapi ada beberapa langkah yang harus
dilewati. Diantanya adalah:
Tes Sugestibilitas
Tes sugestivitas wajib dilakukan untuk mengetahui
tingkat sugestivitas seseorang, dan untuk menentukan
teknik induksi nantinya. Ketika pertama kali mengetahui
suatu informasi tentang hopnosis disebut Pre-Induction,
2. Induksi
Teknik komunikasi verbal maupun nonverbal yang
nantinya anda pakai untuk membawa klien menuju trane.
Tujuan pengguanaan teknik induksi adalah membawa
klien langsung menuju trance atau membuat klien
mempercayai bahwa apapun yang terjadi padanya
merupakan akibat dari “kekuatan” kalimat anda.
Induksi adalah langkah untuk membawa sesoerang dari
kondisi normal (beta) ke kondisi
hipnosis (alpha-theta).
Secara umum jenis induksi dibagi menjadi dua kekompok.
1. Induksi Normal (menggunakan rilaksasi).
- Rileksasi Tubuh untuk orang dengan tingkat
sugestivitas Moderat.
- Rileksasi Total (tubuh & pikiran) untuk orang dengan
tingkat sugestivitas Sulit.
5. Penghentian (Terminasi).
Ini adalah tahap dimana proses hipnotis berakhir. Subyek
akan diminta membuka matanya dan kembali sadar.
Dalam hypnotherapy, subyek akan kembali menjalani
hidup dengan lebih baik sesuai dengan sugesti yang
diberikan oleh terapis. Dalam stage hypnosis, umumnya
subyek akan lupa dengan apa yang terjadi pada dirinya
ketika melakukan tindakan-tindakan lucu / konyol.
Terminasi sebaiknya dilakukan secara bertahap dan
perlahan, agar klien tidak merasa pusing, bingung atau
linglung pada saat kembali sadar.
Inilah bagian yang kami suka. Karena begitu klien
membuka mata, kami sering melihat senyum yang ceria
dan mata berbinar. Itulah mengapa kami selalu ketagihan
melakukan hypnotherapy. Membangunkan klien dari
hypnosis adalah hal yang paling mudah dan
DAFTAR PUSTAKA
1. International Hanbook of Clinical Hypnosis. Edited by
Burrows G.D et al. John Wiley & Sons, LTD. New York. 2001
2. Hypnosis and Neuroscience:A Cross Talk Between Clinical
and Cognitive Research
Raz A, et al,. Arch Gen Psychiatry. 2002;59:85-90
3. Julia JR. Hypnosis in a Case of Long-Standing Idiopathic Itch.
Psychosomatic Medicine 61:355–358 (1999)
4. A. Vanhaudenhuyse. Neurophysiology of hypnosis. Clinical
Neurophysiology (2014) 44, 343—353
5. Dr. Ling CHIU Update on Medical Hypnosis The Hongkong
Medical Bulletin, VOL.14 NO.2 2009
6. Gruzelier J.H. A Review of the Impact of Hypnosis,
Relaxation, Guided Imagery and Individual Differences on
Aspects of Immunity and Health. Stress, 2002 Vol. 5 (2), pp.
147–163
7. Philips D, et al. Hypnosis in Dermatology. Arch
Dermatol,2000;136: 393-399
8. Philip D. Shenefelt. Applying Hypnosis in Dermatology.
Dermatology Nursing. 2003;15(6)