PERCOBAAN 4
ANTI INFLAMASI
Disusun oleh :
Deanira Tifani Hidayat
(G1F013001)
(G1F013003)
Dwani Yuliasih
(G1F013005)
Syifa Zakiyyah
(G1F013006)
(G1F013007)
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagian besar orang memiliki pendapat tertentu mengenai normal dan
mendefinisikan penyakit atau keadaan sakit sebagai suatu penyimpangan dari keadaan
normal atau tidak adanya keadaan normal. Akan tetapi, jika dilihat dengan lebih cermat,
konsep kenormalan terlihat kompleks dan tidak dapat didefinisikan secara singkat dan
jelas (Price danwilson. 2005).
Tubuh kita terus diancam oleh penyakit dari sumber eksternal (mis:
invasibakteridan virus) dan sumber internal (mis :sel yang bermutasi, sepertiselkanker).
Jika ancaman dari luar dapat menerobos baris pertama pertahanan tubuh, mereka akan
menghadapi baris pertahanan kedua dalam bentuk sel fagosit dan mati karena serangan
kimiawi yang toksik. Hal ini merupakan bagian dari respon inflamasi yang akan terjadi
setiap kali terdapat kerusakan jaringan dengan sebab apapu. (Chang dan Dally. 2009).
Selama hidup seseorang, jaringan maupun organ tubuh pasti pernah cedera. Agar
semua dapat berjalan dengan baik, maka terjadi perbaikan dan pemulihan pada jaringan
dan organ tersebut. Banyak factor lingkungan dan perorangan yang dapat memodifikasi
dan mempengaruhi proses pemulihan. Pemulihan atau penyembuhan biasanya didahului
dan diawali suatu proses peradangan. (Tembayong, 2000).
Bila sel-sel atau jaringan-jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, selama
pejamu masih bertahan hidup, jaringan hidup disekitarnya membuat suatu respon
mencolok yang disebut peradangan.Yang lebih khusus, peradangan adalah reaksi vaskuler
yang menimbulkan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi
darah kejaringan-jaringan interstisial di daerah cedera atau nekrosis (Price danwilson,
2005).
Inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau
kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung
(sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu
Apabila jaringan dalam tubuh mengalami cedera misalnya karena terbakar, teriris
atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan tersebut akan terjadi rangkaian reaksi
yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah age
nmenyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang
cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru.Rangkaian reaksi ini disebut radang.
Banyaknya kasus peradangan yang terjadi memacu para ahli farmasi untuk
memformulasikan suatu obat anti inflamasi yang kerjanya dapat meringankan atau
mengurangi gejala peradangan pada jaringan yang terluka.
Oleh karena itu, untuk mengerahui bagaimana cara kerja atau efek obat obat anti
inflamasi tersebut pada manusia, maka perlu dilakukan suatu uji praklinik terhadap
hewan coba mencit, Untuk membuktikan apakah obat anti iflamasi yang digunakan
benar-benar efektif dalam mengurangi peradangan yang terjadi.
B.
Tujuan Percobaan
Mempelajari daya anti inflamasi obat pada hewan uji yang diinduksi radang
buatan.
C.
Dasar Teori
Obat analgesic antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteorid merupakan sustu
kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara
kimia.Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek
terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat
golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs).
Kemampuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini member penjelasan mengapa
kelompok heterogen tersebut memiliki kesempatan efek terapi dan efek samping.
Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan
6 biosintesis prostaglandin (PG). Akan diuraikan dahulu mekanisme dan sifat dasar obat
mirip aspirin sebelum membahas masing-masing sub golongan.
Mekanisme kerja dari obat anti inflamasi ini telah disebutkan di atas bahwa efek
terapi maupun efek samping obat-pbat ini sebagian besar tergantung dari penghambatan
biosintesis PG. Mekanisme kerja yang berhubungan dengan sistem biosintesis PG ini
mulai dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane dan kawan-kawan yang memperlihatkan
secara in vitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin menghambat produksi
local. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vascular, tetapi efek
vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG, efek eksudasi histamin
plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke jaringan radang
merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG sendiri tidak bersifat kemotaktik,
tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni leukotrien B4 merupakan zat kemotaktik
yang sangat poten.
Rasa nyeri PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerudakan
jaringan atau inflamasi. Penelitin telah membuktikan bahwa PG menyebabkan sensitisasi
reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG meni,bulkan keadaan
hiperalgesia kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya
dan menimbulkan nyeri yang nyata.
Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan
oleh efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang dihambat oleh
golongan obat ini dan bukannya blokade langsung.
Demam, suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya
panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan emam
keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin.
Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan
suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) yang memacu
penglepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Selain itu PGE2
terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel serebral atau disuntikkan ke
daerah hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan
menghambat sintesis PG. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian PG tidak
dipengaruhi, demiian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik.
Secara skematis dibedakan 4 fase gejala-gejala inflamasi :
1. Eritem : vasodilatasi pembuluh darah menyebabkan tertahannya darah oleh perubahan
permeabilitas pembuluh sehingga plasma dapat keluar dari dinding pembuluh.
2. Ekstravasasi : keluarnya plasma melalui dinding pembuluh darah dan menyebabkan
udem.
3. Suppurasi dan nekrosis : pembentukan nanah dan kematian jaringan yang disebabkan
oleh penimbunan lekosit-lekosit di daerah inflasi.
c. CARA KERJA
Peralatan
-dipersiapkan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Kelompok 1
dicelupkan kaki kanan tikus
kedalam alat plestimograf
pada telapak kaki kanan
disuntikkan karagenin 1% dalam
aquadest
setelah disuntik, diamati dan catat
volume udem yang terjadi setiap
15 menit selama 2 jam
Kelompok 2-3-4
Tikus pada masing-masing kelompoj
diberi Na.Diklofenak, asam
mefenamat, prednison secara I.P
15 menit kemudian, tikus tersebut
disuntik dengan karagenin
Diamati dan dicatat volume udem
yang terjadi setiap 15 menit selama 2
jam
HASIL
130
200
X 5 = 3,25 mL
0,9
5
0,2307 gr
Vol pemberian =
160
100
1
2
160
100
x 2,5
x 0,2307 = 4,14 mg
= 0,0041 gr
x5
= 4 mL
Prednison
Dosis konv = 5 x 0,018
= 0,09 mg
0,09
2 x5
= 0,009 mg / mL
Vol pemberian =
170
100
1
2
170
100
x 2,5
= 0,00028 add 10 mL
x5
= 4,25 ml
Asam Mefenamat
Dosis konv = 500 x 0,018
= 9 / 200 gr BB tikus
9
Konsentrasi larutan stok = 2 X 5
Berat tablet yang diambi =
0,9
500
Vol pemberian =
190
100
160
100
x 2,5
= 4,75 mL
1
2
= 0,9 mg / mL
x 648
= 1,164 mg
= 0,001 gr
x5
Kontrol
kanan
0,6
0,3
1
1,3
1,4
1,1
1
0
15
30
45
60
75
90
Na.diklofenak
kiri
0,6
1
1
1,3
1,4
1,1
1,1
kanan
1
0,7
1
1,2
1,3
1,1
1,1
kiri
1
0,7
0,9
1,2
1,4
1,2
1,2
Asam
mefenamat
kanan
kiri
0,9
0,6
1
0,9
1,1
1,1
1,2
1,1
0,9
0,9
1
0,6
1,2
1
Prednison
kanan
1
0,7
1
1
1,1
1
0,6
kiri
1
0,6
1,2
1,1
1,1
1
0,9
AUC
Kelompok
kana
Kiri
Kelompok
n
96
99,7
1
Kelompok
95,25
5
97,5
2
Kelompok
94
3
Kelompok
4
Ket :
Kelompok 1 : control
Kelompok 2 : Na. Diklofenak
Kelompok 3 : asam mefenamat
Kelompok 4 : prednison
% Daya Anti Inflamasi ( DAI)
81
Bahan
Na.Diklofenak
84 mefenamat
89,2
Asam
prednison
5
Kanan
0,78 %
2,083 %
12,5 %
Kiri
2,25%
18,79 %
10,53 %
III. PEMBAHASAN
Prednison
Nama & Struktur
Kimia
17-hydroxy-17-(2-hydroxyacetyl)-10,13-dimethyl:
7,8,9,10,12,13,14,15,16,17-decahydro-6Hcyclopenta[a]phenanthrene-3,11-dione
Sifat Fisikokimia
Keterangan
:
Golongan/Kelas Terapi
Hormon, obat Endokrin Lain dan Kontraseptik
Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Prednison adalah kortikosteroid sintetik yang umum diberikan per oral, tetapi
dapat juga diberikan melalui injeksi intra muskular (im, iv), per nasal, atau melalui rektal.
Dosis awal sangat bervariasi, dapat antara 5 80 mg per hari, bergantung pada jenis dan
tingkat keparahan penyakit serta respon pasien terhadap terapi. Tetapi umumnya dosis
awal diberikan berkisar antara 20 80 mg per hari. Untuk anak-anak 1 mg/kg berat
badan, maksimal 50 mg per hari. Dosis harus dipertahankan atau disesuaikan, sesuai
dengan respon yang diberikan. Jika setelah beberapa waktu tertentu hasil yang
diharapkan tidak tercapai, maka terapi harus dihentikan dan diganti dengan terapi lain
yang sesuai.
Farmakologi
Efek utamanya sebagai glukokortikoid. Glukokortikoid alami (hidrokortison dan
kortison), umumnya digunakan dalam terapi pengganti (replacement therapy) dalam
kondisi defisiensi adrenokortikal. Sedangkan analog sintetiknya (prednison) terutama
digunakan karena efek imunosupresan dan anti radangnya yang kuat. Glukokortikoid
menyebabkan berbagai efek metabolik. Glukokortikoid bekerja melalui interaksinya
dengan protein reseptor spesifik yang terdapat di dalam sitoplasma sel-sel jaringan atau
organ sasaran, membentuk kompleks hormon-reseptor. Kompleks hormon-reseptor ini
kemudian akan memasuki nukleus dan menstimulasi ekspresi gen-gen tertentu yang
selanjutnya memodulasi sintesis protein tertentu. Protein inilah yang akan mengubah
fungsi seluler organ sasaran, sehingga diperoleh, misalnya efek glukoneogenesis,
meningkatnya asam lemak, redistribusi lipid, meningkatnya reabsorpsi natrium,
meningkatnya reaktivitas pembuluh terhadap zat vasoaktif , dan efek anti radang. Apabila
terapi prednison diberikan lebih dari 7 hari, dapat terjadi penekanan fungsi adrenal,
artinya tubuh tidak dapat mensintesis kortikosteroid alami dan menjadi tergantung pada
prednison yang diperoleh dari luar. Oleh sebab itu jika sudah diberikan lebih dari 7 hari,
penghentian terapi prednison tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba, tetapi harus bertahap
dan perlahan-lahan. Pengurangan dosis bertahap ini dapat dilakukan selama beberapa
hari, jika pemberian terapinya hanya beberapa hari, tetapi dapat memerlukan bermingguminggu atau bahkan berbulan-bulan jika terapi yang sudah diberikan merupakan terapi
jangka panjang. Penghentian terapi secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis
Addisonian, yang dapat membawa kematian. Untuk pasien yang mendapat terapi kronis,
dosis berseling hari kemungkinan dapat mempertahankan fungsi kelenjar adrenal,
sehingga dapat mengurangi efek samping ini. Pemberian prednison per oral diabsorpsi
dengan baik. Prednison dimetabolisme di dalam hati menjadi prednisolon, hormon
kortikosteroid yang aktif.
Stabilitas Penyimpanan
Simpan pada suhu 15 - 30C
Kontraindikasi
Infeksi jamur sistemik dan hipersensitivitas terhadap prednison atau komponenkomponen obat lainnya.
Asam Mefenamat
Rumus Molekul : C15H15NO2
Pada penderita tukak lambung, radang usus, gangguan ginjal, asma dan
hipersensitif terhadap asam mefenamat.
Pemakaian secara hati-hati pada penderita penyakit ginjal atau hati dan
peradangan saluran cerna.
Dewasa dan anak di atas 14 tahun : Dosis awal yang dianjurkan 500 mg
kemudian dilanjutkan 250 mg tiap 6 jam.
Dismenore : Asam Mefenamat 500 mg 3 kali sehari, diberikan pada saat mulai
menstruasi ataupun sakit dan dilanjutkan selama 2-3 hari.
Menoragia : Asam Mefenamat 500 mg 3 kali sehari, diberikan pada saat mulai
menstruasi dan dilanjutkan selama 5 hari atau sampai perdarahan berhenti.
Efek samping
Gangguan saluran cerna, antara lain iritasi lambung, kolik usus, mual, muntah dan
diare, rasa mengantuk, pusing, sakit kepala, penglihatan kabur, vertigo, dispepsia.
Pada penggunaan terus-menerus dengan dosis 2000 mg atau lebih sehari, asam
mefenamat dapat mengakibatkan agranulositosis dan anemia hemolitik.
Interaksi obat
Obat yg terikat pada protein plasma : menggeser ikatan dengan protein plasma,
sehingga dapat meningkatkan efek samping (contoh : hidantoin, sulfonylurea).
Obat lain yang juga memiliki efek samping pada lambung : kemungkinan dapat
meningkatkan efek samping terhadap lambung.
Na-Diklofenak
Rumus molekul: C14H10Cl2NNaO2
Berat molekul: 318,13
Sinonim: -asam benzeneasetat, 2-[(2,6-diklorofenil)amino] - Monosodium
-sodium [o(dikloroanilino)fenil]asetat
Pemerian : serbuk hablur, berwarna putih, tidak berasa (USP30, 2007)
Kelarutan : Sedikit Larut dalam air, Larut dalam alkohol; praktis tidak larut dalam
kloroform dan eter; Bebas larut dalam alcohol metil. pH larutan 1% b/v dalam air adalah
antara7.0 dan8. (Sweetman, 2009).
Natrium diklofenak adalah obat golongan antiinflamasi nonsteroid yang mempunyai
efek antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik.
Mekanisme kerjanya adalah dengan penghambatan sintesa prostaglandin. Natrium
diklofenak diabsorbsi secara cepat dan lengkap setelah pemberian peroral dan kadar
puncak dalam plasma dicapai dalam 2 - 3 jam. obat ini 99% terikat pada protein plasma.
metabolisme sebagian besar terjadi di dalam hati dan metebolit-metabolitnya
diekskresikan dalam urin sebesar 65% dan di dalam empedu sebesar 35%.
Percobaan yang dilakukan kali ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas
farmakologi prednisone, asam mefenamat, dan Na-diklofenak sebagai obat antiinflamasi
pada tikus yang kemudian diinjeksi karagenan, sebagai inisiator terjadinya inflamasi
tersebut. Selain itu, untuk membandingkan efektivitas farmakologi prednisone, asam
mefenamat, dan Na-diklofenak sebagai obat antiinflamasi pada tikus. Inflamasi
diidentifikasikan sebagai suatu reaksi lokal organisme terhadap suatu iritasi atau keadaan
non fisiologik.
Percobaan
ini
menggunakan
alat
yang
bernama
Plethysmograf
untuk
mengindikasikan terjadinya inflamasi pada kaki sebelah kanan tikus, dengan pengukuran
persentase besarnya radang pembengkakan. Caranya, tikus yang belum diberi obat diberi
tanda yang melingkari pergelangan kakinya sampai batas lutut, lalu kaki tersebut
dicelupkan dalam plethysmograf sampai batas lingkaran tadi dan diamati tinggi vulume
udem sebagai konversi volume kaki tikus yang tercelup dalam alat tersebut. Untuk
memudahkan pengamatan, karagenan diinjeksikan secara subplantar pada kaki tikus
tersebut agar efeknya lebih cepat.
Perlakuan yang diberikan pada tikus sebagai kontrol, adalah pemberian aquadest
secara peroral, lalu 15 menit kemudian disuntikkan karagenan secara subplantar, lalu
diamati pembengkakan yang terjadi setiap 15 menit selama 90 menit. aquadest berfungsi
sebagai injeksi untuk kontrol. Karagenan berfungsi sebagai inflamator, dan disuntikkan
secara subplantar pada telapak kaki kanan bawah tikus untuk memperoleh efek lokal
yang cepat. Pengamatan setiap 15 menit selama 90 menit dilakukan dengan tujuan
mengukur besarnya inflamasi yang terjadi pada kaki tikus akibat injeksi karagenin.
Pada tikus lainnya, sebagai tikus uji, mendapat perlakuan yakni pemberian oral
prednisone, asam mefenamat, dan Na-diklofenak, lalu 15 menit kemudian disuntikkan
karagenin secara subplantar lalu diamati setiap 15 menit selama 90 menit. Percobaan ini
dilakukan untuk menguji efektivitas prednisone, asam mefenamat, dan Na-diklofenak
pada pembentukan anti inflamasi.
Setelah
penyuntikan
karagenan,
pengamatan
dilakukan dengan cara yang sama pada tikus kontrol. Yakni tiap 15 menit, kaki tikus
dicelupkan dalam plethysmograf dan diamati tinggi volume udem yang terjadi untuk
mengindikasikan volume inflamasi yang terbentuk.
Mekanisme Inflamasi
Respon inflamasi merupakan upaya oleh tubuh untuk memulihkan dan
mempertahankan homeostasis setelah cidera. Sebagian besar elemen pertahanan tubuh
berada dalam darah dan inflamasi merupakan sarana sel-sel pertahanan tubuh dan
molekul pertahanan meninggalkan darah dan memasuki jaringan di sekitar tempat luka
(atau yang terinfeksi). Inflamasi pada dasarnya menguntungkan, namun inflamasi
berlebihan atau berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan.
Pada dasarnya, mekanisme inflamasi terdiri dari empat kejadian:
a. Otot-otot polos sekitar pembuluh darah menjadi besar, aliran darah menjadi lambat di
daerah infeksi tersebut. Hal ini memberikan peluang lebih besar bagi leukosit untuk
menempel pada dinding kapiler dan keluar ke jaringan sekitarnya.
b. Sel endotel (yaitu sel penyusun dinding pembuluh darah) menjadi kecil. Hal ini
menjadikan ruang antara sel-sel endotel meningkat dan mengakibatkan peningkatan
permeabilitas kapiler. Hal ini dinamakan vasodilatasi.
c. Molekul adhesi diaktifkan pada permukaan sel-sel endotel pada dinding bagian dalam
kapiler (inner wall). Molekul terkait pada pada permukaan leukosit yang disebut integrin
melekat pada molekul-molekul adhesi dan memungkinkan leukosit untuk rata (flatten)
dan masuk melalui ruang antara sel-sel endotel. Proses ini disebut diapedesis atau
ekstravasasi.
d. Aktivasi jalur koagulasi menyebabkan fibrin clot secara fisik menjebak mikroba
infeksius dan mencegah mereka masuk ke dalam aliran darah. Hal ini juga memicu
pembekuan darah dalam pembuluh darah kecil di sekitarnya untuk menghentikan
perdarahan dan selanjutnya mencegah mikroorganisme masuk ke aliran darah.
Inflamasi awal dan Diapedesis
1. Selama tahap awal inflamasi, rangsangan seperti cidera atau infeksi memicu
pelepasan berbagai mediator inflamasi seperti leukotrien, prostaglandin, dan histamin.
Pengikatan mediator ini pada reseptornya pada sel endotel menyebabkan vasodilatasi,
kontraksi sel endotel, dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Selain itu,
membran basal sekitar kapiler menjadi penataaan-ulang sehingga mempromosikan
migrasi leukosit dan pergerakan makromolekul plasma dari kapiler ke jaringan
sekitarnya.
Sel mast dalam jaringan ikat, juga basofil, neutrofil, dan trombosit meninggalkan
darah dari kapiler yang cidera, melepaskan atau merangsang sintesis vasodilator
seperti histamin, leukotrien, kinin, dan prostaglandin. Produk tertentu dari jalur
komplemen (C5a dan C3a) dapat mengikat sel-sel mast dan memicu rilis agen
2. Pengikatan TNF dan IL-1 dengan reseptornya pada sel endotel memicu suatu
penjagaan respon inflamasi oleh upregulasi produksi molekul adhesi E-selectin dan
penjagaan ekspresi P-selectin pada sel-sel endotel yang melapisi venula.
3. E-selectin pada permukaan bagian dalam dari sel-sel endotel sekarang dapat mengikat
kuat integrin terkait, E-selectin ligand-1 (ESL-1) pada leukosit.
4. Leukosit flatten out, squeeze antara sel-sel endotel, dan bergerak melintasi membran
basement karena mereka tertarik terhadap kemokin seperti IL-8 dan monocyte
chemotactic protein-1 (MCP-1) yang dihasilkan oleh sel pada tempat infeksi atau cidera.
Kebocoran fibrinogen dan fibronektin plasma kemudian membentuk sebuah molekular
scaffold yang meningkatkan migrasi dan retensi leukosit di situs yang terinfeksi.
Mekanisme Kerja Non streroid
Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS) berhubungan dengan sistem
biosintesis prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 menjadi terganggu. Enzim siklooksigenase
terdapat dalam 2 isoform yang disebut KOKS-1 dan KOKS-2. Kedua isoform tersebut
dikode oleh gen yang berbeda. Secara garis besar KOKS-1 esensial dalam pemelihraan
berbagai fungsi dalam keadaan normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran
cerna, dan trombosit. Di mukosa lambung aktivitas KOKS-1 menghasilakan prostasiklin
yang bersifat protektif. Siklooksigenase 2 diinduksi berbagi stimulus inflamatoar,
termasuk sitokin, endotoksindan growth factors. Teromboksan A2 yang di sintesis
trombosit oleh KOKS-1 menyebabkan agregasi trombosit vasokontriksi dan proliferasi
otot polos. Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang disintesis oleh KOKS-2 di endotel malro
vasikuler melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit.
MekanismeKerja anti inflmasi Steroid
Mekanisme kerja anti inflamasi steroid (Thruk, 2005)1. Glukokortikoid
membentuk komplek dengan reseptor glukokortikoid, kemudian dibawa ke nukleus dan
berikantan dengan glukokortikoi drespone element di DNA. Dengan melibatkan protein
koaktivator dan korepresor yang akan memodifikasi struktur kromatin, kemudian
memfasilitasi atau menhambat perakitan dari mesin transkripsi basal dan inisiasi
glukokortikoid-GRE
dengan
faktor transkripsi
lain,
seperti
NFkB.3.
IV. KESIMPULAN
Inflamasi adalah gabungan proses yang kompleks dengan tanda tanda dan gelaja
V.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh, Prof Drs Apt. Prinsip Utama Dalam Farmakologi. UGM Press: Yogyakarta
Anton. R. (ed). 2003. Monographs The Scientific Foundation for Herbal Medical
product, European Scientific Cooperative on Phytotherapy. United Kingdom.
107-111.
Betram, G Katzung. 1871. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 8. Jakarta : Salemba
Media
Mutchler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB.
Diskusi
1. Setelah pemberian Karagenin, mengapa pengukuran volume udem diulangi 3 jam
kemudian (waktu yang optimum 3-4 jam) ?
karena karagenin bekerja selama 6 jam, jadi waktu 3 jam merupakan waktu yang
optimum, sehingga akan terlihat seberapa besar efek yang akan ditimbulkan.
2. Tentukan Obat yang paling poten dalam menghambat peradangan karena karagenin,
jelaskan !
AINS yang tidak secara selektif menghambat COX mampu menurunkan produksi
prostlagadin di jaringan yang mengalami inflamasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa hanya AINS yang dapat menghambat secara selektif pada COX2 yang mampu
mencegah hiperalgesia, inflamasi serta demam. Farmakokinetik AINS di cairan
serebrospinal memberikan arti klinik tersendiri dalam hal efek terapi dan efek
sampingnya.
3. Cari dan jelaskan cara uji daya anti inflamasi yang lain !
Asam Asetat sebagai penginduksi rasa nyeri
Setelah dua minggu hewan diadaptasikan, mencit galur ICR jantan (18-25 gr)
dibagi secara acak kedalam empat kelompok, termasuk juga kedalamnya kelompok
normal dan kelompok positif kontrol, an dua kelompok sampel uji. Kelompok kontrol
diberikan salin, sedangkan kelompok positif kontrol diberikan indometasin (10mg/kg ip)
20 menit sebelum diberikan asam asetat. Dosis sampel uji dibeirkan dalam dua variasi
dosis, dimana diberikan secara peroral 60 menti sebelum asam asetat (0.1 ml/10g)
diberikan. % menit setelah injeksi IP asam asetat dilihat tikus yang mengalami nyeri
dalam rentang waktu 10 menit.
Tes formalin
Mencit galur ICR jantan (18-25 gr) dikelompokkan secara acak kedalam 4 grup
(n=8). Termasuk kedalamnys kelompok normal dan positif control dan kelompok sample
uji. Kelompok control hanya diberi pembawa, positf contro, indometasin (10mg/kg ip)
dilarutkan dalam tween 80 plus 0.9% (w/v) larutan salin dan diberikan secara IP pada
volume 0.1ml/10 g. Satu jama sebelum pengujian, hewan ditempatkan pada kandang
standar ( ukuran 30x12x13 cm) yang digunakan sebagai tempat observasi.Samepl
diberikan
secara
peroral
60
menit
sebelum
injeksi
formalin.
Indometasin
reaksi basal hewan terhadap panan dicatat. Hewan yang menunjukkan respon melompat
dalam waktu 6-8 detik dimasukkan kedalam kelompok percobaan. 60 menit setelah
administrasi senyawa uji dan positif control, hewan dikelompokkan kedalam 6 grup
dimana masing-masingnya ditaruh pada hot plate. Waktu sampai terjadi lompat hewan
coba disebut waktu reaksi.Persentasi inhibisi sakit dihutung denga rumus:
(PIP) = ((T1-T0)/T0) x 100 T1 =waktu setalah diberi obat
T0 = sebelum diberi obat
ekor (jarak 1-2 cm paling ujung) pada sumber panas. Respon dilihat ketika hwean
menarik ekor dari sumber panas. Hewan yang menunjukkan respon dalam 3-5 detik
dimasukkan kedlaam percobaan. Periode waktu pemgamatan selama 15 detik. Waktu
pengamatan dilakukan setelah 30 dan 60 menti administrasi obat. Persentase inhibis
dihutng dengan rumus:
(PIP) = ((T1-T0)/T0) x 100
T1 =waktu setalah diberi obat and T0 = sebelum diberi obat
Etil fenil propionate sebagai penginduksi edem pada telinga tikus
Tus jantan (100-150 gr) digunakan sebgai hewan coba. Edema telinga dinduksi
mengoleskan secara topical EEp dengan dosis 1mg/20 l pertelinga pada bagian
permukaan dan dalam kedua telinga dengan mengunakan pipet otomatis. Sampel uji juga
dioleskan pada telinga denga volum yang sama seperti EEP. Waktu sebelum, 30 menit, 1
jam dan 2 jam merupakan waktu pengamatan setelah induksi. Ketebalan telinga diukur
jangka sorong.
Putih telur sebagai penginduksi edema
Empat grup tikus wistar jantan dan betina diberikan : grup 1, 10% propilenglikol,
grup 2 dan 3 sampel uji, dan grup 4 diberikan natrium diklofenak sebagaikontrol positif
(100 mg/kg po). Setelah 30 menit, masing-masing kelompok disuntikkan dengan putih
telur sebanyak 0.5 ml pada tapak kaki kiri. Digunakan pletismometer digital untuk
mengukur volume kaki yang mengalami udema dalam perode 120 menit. Dengan interval
30, 60, 90 dan 120 menit.