Anda di halaman 1dari 6

TEORI DASAR Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala yang fungsinya memberi tanda tentang adanya gangguan-gangguan

di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanisme atau kimiawi, kalor atau listrik yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yang disebut mediator nyeri (Tjay dan Rahardja, 2002). Zat ini merangsang reseptor nyeri yang letaknya pada ujung saraf bebas dikulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari tempat ini rangsang dialirkan melalui saraf sensoris ke sistem saraf pusat (SSP), melalui sumsum tulang belakang ke talamus optikus kemudian ke pusat nyeri dalam otak besar dimana rangsang terasa sebagai nyeri (Anief, 1996). Berdasarkan tempat terjadinya, nyeri dibedakan menjadi 2 yaitu: nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik dibagi dua kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam. Bila nyeri berasal dari kulit rangsang yang bertempat dalam kulit maka rasa yang terjadi disebut nyeri permukaan, sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendian, tulang, atau dari jaringan ikat disebut nyeri dalam (Mutschler, 1991). Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamin, serotonin, plasmakinin (antara lain bradikinin) dan prostaglandin, juga ion-ion kalium. Zatzat tersebut dapat mengakibatkan reaksi-reaksi radang dan kejang-kejang dari jaringan otot yang selanjutnya mengaktifkan reseptor nyeri. Plasmakinin merupakan peptida (rangkaian asam-asam amino) yang terbentuk dari proteinprotein plasma, sedangkan prostaglandin merupakan zat yang mirip asam lemak dan terbentuk dari asam-asam lemak esensial. Kedua zat tersebut berkhasiat sebagai vasodilatator kuat dan memperbesar permeabilitas (daya hablur) kapiler dengan akibat terjadinya radang dan udema (Tjay dan Rahardja, 2002). Cara pemberantasan nyeri:

a. Menghalangi pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri perifer oleh analgetika perifer atau oleh anastetik lokal. b. Menghalangi penyaluran rangsang nyeri dalam syaraf sensoris, misalnya dengan anastetik lokal. c. Menghalangi pusat nyeri dalam sistem syaraf pusat dengan analgetika sentral (narkotik) atau dengan anastetik umum (Tjay dan Rahardja, 2002).

Analgetik Narkotik Analgetik narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi, dan kolik usus atau ginjal. Analgetik narkotik sering pula digunakan untuk pramedikasi anestesi, bersama-sama dengan atropin, untuk mengontrol sekresi (Ishak,2009). Aktivitas analgetik narkotik jauh lebih besar dibandingkan golongan analgetik non-narkotik, sehingga disebut juga analgetik kuat. Golongan ini pada umumnya menimbulkan euphoria sehingga banyak disalahgunakan. Pemberian obat secara terus-menerus menimbulkan ketergantungan fisik dan mental atau kecanduan, dan efek ini terjadi secara cepat. Penghentian pemberian obat secara tiba-tiba menyebabkan sindrom abstinence atau gejala withdrawal. Sedangkan kelebihan dosis dapat menyebabkan kematian karena terjadi depresi pernapasan. Analgetika narkotika bekerja di SSP, memiliki daya penghalang nyeri yang hebat sekali. Dalam dosis besar dapat bersifat depresan umum (mengurangi kesadaran), mempunyai efek samping menimbulkan rasa nyaman (euforia). Hampir semua perasaan tidak nyaman dapat dihilangkan oleh analgesik narkotik kecuali sensasi kulit. Harus hati-hati menggunakan analgesik ini karena mempunyai risiko besar terhadap ketergantungan obat (adiksi) dan kecenderungan penyalah gunaan obat. Obat ini hanya dibenarkan untuk penggunaan insidentil pada nyeri hebat (trauma hebat, patah tulang, nyeri infark jantung, kolik batu empedu/batu ginjal. Obat golongan ini hanya dibenarkan untuk penggunaan insidentil pada nyeri hebat

(trauma hebat, patah tulang, nyeri infark) kolik batu empedu, kolik ginjal. Tanpa indikasi kuat, tidak dibenarkan penggunaannya secara kronik, disamping untuk mengatasi nyeri hebat, penggunaan narkotik diindikasikan pada kanker stadium lanjut karena dapat meringankan penderitaan. Fentanil dan alfentanil umumnya digunakan sebagai premedikasi dalam pembedahan karena dapat memperkuat anestesi umum sehingga mengurangi timbulnya kesadaran selama anestesi(Sabby, 2010).

Analgetik Non-narkotik Analgetik non-narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan sampai moderat, sehingga sering disebut analgetik ringan. Analgetik nonnarkotik bekerja menghambat enzim siklooksigenase dalam rangka menekan sintesis prostaglandin yang berperan dalam stimulus nyeri dan demam. Karena itu kebanyakan analgetik non-narkotik juga bekerja antipiretik. Disebut juga analgesik perifer karena tidak mempengaruhi susunan syaraf pusat. Semua analgesik perifer memiliki khasiat sebagai anti piretik yaitu menurunkan suhu bada pada saat demam. Khasiatnya berdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, mengakibatkan vasodilatasi perifer di kulit dengan bertambahnya pengeluaran kalor disertai keluarnya banyak keringat. Misalnya parasetamol, asetosal, dll. Dan berkhasiat pula sebagai anti inflamasi , anti radang atau anti flogistik. Anti radang sama kuat dengan analgesik, digunakan sebagai anti nyeri atau rematik contohnya asetosal, asam mefenamat, ibuprofen. Anti radang yang lebih kuat contohnya fenilbutazon. Sedangkan yang bekerja serentak sebagai anti radang dan analgesik contohnya indometazin (Alex,2009). Antipiretik adalah zat-zat yang dapat mengurangi suhu tubuh. Antiinflamasi adalah obat atau zat-zat yang dapat mengobati peradangan atau pembengkakan (Alex,2009). Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat

siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Khusus parasetamol, hambatan

biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus.

Gambar 1: Inhibisi jaras trombokan A2 trombosit oleh aspirin dosis rendah. (Adji,2010)

Metode Pengujian Efek Analgetik Banyak metode yang telah ditemukan untuk mendeteksi aktivitas analgetika narkotik, tetapi masih sulit untuk menemukan teknik biologi dalam mengevaluasi aktivitas analgetika non narkotik. Metode kimia, mekanik dan listrik digunakan untuk mengevaluasi analgetika non narkotik, sedangkan metode induksi panas digunakan untuk mengevaluasi aktivitas analgetika narkotik (Febri, 2008). Stimulasi kimia Stimulasi kimia biasanya disebut juga metode induksi cara kimia atau metode Siegmund. Obat uji dalam metode tersebut dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri setelah diinduksi secara kimia dengan pemberian zat yang dapat digunakan sebagai perangsang nyeri seperti : larutan 0,02 % fenilquinon dalam etanol 95 %, asam asetat, kalsium klorida 1,8 %, klorobutanol, 5-hidroksitripton, magnesium sulfat 2 %. Pemberian zat tersebut dilakukan secara intraperitonial pada hewan uji mencit. Rasa nyeri pada mencit diperlihatkan dalam bentuk respon geliat. Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya. Jumlah geliat mencit yang diperoleh selanjutnya dihitung persentase proteksinya dengan rumus:

% Proteksi = 100% (p/k x 100%) Keterangan : p : jumlah geliat kumulatif kelompok percobaan tiap individu k : jumlah geliat kumulatif kontrol rata-rata (Turner, 1965)

DAFTAR PUSTAKA
Adji, A.S. 2010. Analgetika Non Narkotik. http://jurnalmedika.com/edisi-tahun-2010/edisino-05-vol-xxxvi-2010/188-artikel-penyegar/296-aspirin-asam-asetilsalisilat-efektivitasantitrombosis-vs-masalah-resistansi
Alex,W.2009. Kuliah Analgesik Antipiretik dan NSAID. pharmacy.blogspot.com/2009/02/kuliah-analgesik-antipiretik-dan-nsaid.html http://wiro-

Anief,

M.

1996.

Penggolongan

Obat Berdasarkan Khasiat dan

Penggunaan.

Yogyakarta: Penerbit Universitas Gadjah Mada Febri, Pratita. 2008. Efek Analgetika Ekstrak Etanol Daun Kayu Putih (Melaleuca leucadendron L.) Pada Mencit Jantan. Tersedia di http://www.scribd.com/ doc/43478357/8/Uji-analgetika [Diakses tanggal 24 Maret 2012] Ishak. 2009. Analgesik. http://ishak.unpad.ac.id/?p=886 Mutschler, E. 1991. Analgetika Dalam Dinamika Obat . Diterjemahkan oleh M. B., dan Ranti, A. S. Edisi V. Bandung: Penerbit ITB.
Sabby, M. 2010.Analgesik Kuat danLemah. http://lovechopin.wordpress.com/2010/03/15/analgetikkuat-dan-lemah/html.

Widianto,

Tjay, T.H. dan Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan efek Sampingnya. Edisi IV. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Turner, R.A. 1965. Screening Methods in Pharmacology. New York: Academic

dan Efek-

Press

Anda mungkin juga menyukai