Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah
perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan ancaman kerusakan
jaringan. Rasa nyeri dalam kebanyakan halnya merupakan suatu gejala yang berfungsi
sebagai isyarat bahaya tetangadanyagangguan di jaringan seperti peradangan, rematik, encok
atau kejang otot (Tjay, 2007).
Reseptor nyeri (nociceptor ) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di kulit, otot,
tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui dua jaras, yaitu
jaras nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri lambat dengan
neurotransmiternya substansi P (Guyton & Hall, 1997;Ganong, 2003).
Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan
prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor )di ujung-ujung saraf bebasdi kulit,
mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejang-
kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP.
Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron
dengan sangat banyak sinaps via sumsum- belakang, sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari
thalamus impuls kemudianditeruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan
sebagai nyeri (Tjaydan Rahardja, 2007).
Analgetika adalah obat-obat yang dapat mengurangi dan menghilangkan rasa sakit
tanpa menghilangkan kesadaran. Analgetika pada umumnya diartikan sebagai obat yang
efektif untuk menghilangkan sakit, nyeri otot, dan nyeri lainnya. Hamper semua analgetika
ternyata memiliki efek antinflamasi. Antiinflamasi sendiri berguna untuk mengobati radang
sendi (arthtritis) jadi analgetika anti inflamasi non steroid adalah obat-obatan algetika yang
selain yang mempunyai efek analgetika juga mempunyai efek anti inflamasi,sehingga obat
sejenis ini digunakan dalam pengobatan rhematik dan encok. Antalgin (metampiron)
mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C13H16N3NaO4S7, dihitung
terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemeriaan serbuk berwarna putih atau putih kekuningan
yang berkhasiat sebagai analgesik dan antipiretik (Depkes RI, 1995:538).
Natrium diklofenak merupakan golongan anti inflamasi nonsteroid (AINS) derivat
asam fenil asetat yang dipakai untuk mengobati penyakit reumatik dengan kemampuan
menekan tanda-tanda dan gejalagejala inflamasi. Natrium diklofenak cepat diserap sesudah

1
pemberian secara oral, tetapi bioavaibilitas sistemiknya rendah hanya antara 30 - 70%
sebagai efek metabolisme lintas pertama di hati. Waktu paruh natrium diklofenak juga
pendek yakni hanya 1 - 2 jam. Efek-efek yang tidak diinginkan bisa terjadi pada kira-kira
20% dari pasien meliputi distres gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang
terselubung, dan timbulnya ulserasi lambung (Katzung, 2002). Salah satu alternatif untuk
mengatasi masalah tersebut adalah bentuk sediaan dengan rute pemberian topikal (Ranade et
al, 2004).
Pada praktikum uji analgesik kali ini menggunakan obat kita mempelajari bagaimana
cara meredakan nyeri pada mencit menggunakan obat dari golongan tertentu, dengan tujuan
agar kita mengetahui apakah obat tersebut dapat meredakan ambang nyeri yang ada didalam
tubuh seseorang dan tentunya tidak berbahaya saat dikonsumsi.

1.2 Tujuan

Mengenal dan mempraktikkan uji analgetika pada hewan uji menggunakan metode
rangsangan kimia

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Tinjauan Tentang Nyeri


Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman,
berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri erat kaitannya dengan
inflamasi atau radang karena nyeri merupakan respon pertama munculnya
peradangan. Nyeri merupakan gejala penyakit yang timbul jika terdapat rangsang
mekanik, termal, kimia, atau listrik yang melampaui nilai ambang nyeri dan
menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan mediator nyeri seperti
bradikinin dan prostaglandin. Kemudian prostaglandin menimbulkan hiperalgesia,
sehingga mediator nyeri seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan
menimbulkan nyeri yang nyata (Mutschler, 1986; Wilmana, 1995).
Nyeri sering dikasifikasikan sebagai akut atau kronis di alam. Nyeri akut berhubungan
dengan trauma atau penyakit dan biasanya memiliki lokasi, karakter, dan waktu tertentu. Hal
ini disertai dengan gejala hiperaktif otonom seperti takikardia, hipertensi, berkeringat, dan
midriasi. Disisi lain, nyeri kronis biasanya dianggap sebagai nyeri yang berlangsung lebih
dari beberapa bulan. Ini mungkin tidak jelas terkait dengan trauma, penyakit atau mungkin
kekambuhan sedelah cedera awal telah sembuh, lokasi, karakter, dan waktu nyeri yang lebih
jelas daripada dengan nyeri akut. Selanjutnya, adanya penyesuaian sistem saraf otonom,
tanda-tanda hiperaktif otonom yang terkait dengan nyeri akut menghilang. Beberapa bentuk
dari nyeri dianggap sebagai kronis seperti serangan intermiten nyeri dengan diikuti oleh
periode nyeri yang relatif lama. Pasien dengan nyeri kronis dari pengalaman fisik, psikologis,
sosial, dan kerusakan fungsional memberikan konstribusi terhadap eksaserbasi nyeri.
Terapi dini dari nyeri sangat penting sebagaimana nyeri yang tidak teratasi dapat
memiliki efek psikologi yang mendalam pada pasien, dan nyeri akut yang tidak ditanggulangi
daengan baik dapat menjadi nyeri kronik., yang mungkin terbukti menjadi jauh lebih sulit
untuk diobati.

1.2 Tinjauan Tentang Analgesik


Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau
menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan analgetika umum)
(Tjay dan Rahardja, 2007).

3
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagia dalam dua kelompok besar,
yakni:
a. Analgetika primer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk kelompok ini.
b. Analgetika narkotikkhusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada
fraktur dan kanker (Tjay dan Rahardja, 2007).
Mekanisme kerja obat analgetik, yaitu :
a. Analgetika primer (non-narkotik)
Obat-obat dalam kelompok ini memiliki target pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis nyeri, salah satunya adalah
prostalglandin. Mekanisme umun analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan
prostalglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka
dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri. Mekanismenya tidak
berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitor. Efek samping yang paling umum dari
golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati
dsn ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh
penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar (Anchy, 2011)
b. Analgetika narkotik
Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase
dalam pembentukan prostalglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan
efek sampingnya. Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diprifer. Efek
analgesiknya telah dilihat dalam waktu satu jam setelah pemberian per-ora. Semntara
efek antiinflamasi OAINS telah tampak oada waktu satu-dua minggu pemberian,
sedangkan efek maksimalnya timbul berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberian
peroral, kadar puncaknya NSAID didalam darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setalh
pemberian, penyerapan umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume
distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan mempunyai ikatan dengan protein plasma
yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh eliminasinya untuk golongan derivat
arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh indometasin sangat berpariasi
diantara individu yang menggunakannya, sedangkan prioksikam mempunyai waktu
paruh paling panjang (45 jam) (Gilang, 2010).

4
1.3 Tinjauan Tentang Obat
1.3.1 Antalgin
Antalgin termasuk derivat metasufonat dari amidopiryn yang mudah larut dalam air
dan cepat diserap kedalam tubuh. Bekerja secara sentral pada otak untuk menghilangkan
nyeri, menurunkan deman dan meyembuhkan reumatik. Antalgin merupakan inhibitor
selektif dari prostalglandin F2a yaitu: suatu mediator inflamasi yang menyebabkan reaksi
radang seperti panas, merah, nyeri, bengkak, dan gangguan fungsi yang biasa terlihat pada
penderita demam rheumatik dan rheumatik anthritis. Antalgin mempengaruhi hipotalamus
dalam menurunkan sensifitas reseptor rasa sakitdan thermostar yang mengatur suhu tubuh
(Lukmanto, 1986)
Morfologi :
Pemerian : Serbuk hablur putih atau putih kekuningan
Kelarutan : Larut dalam air dan HCL 0,02 N
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik (Anonim, 1995)
Khasiat : Analgetik
Dosis : 500 mg (Anonim,1979)
1.3.2 Tramadol
Tramadol merupakan analgetik yang bekerja di sentral yang memiliki afinitas sedang
pada reseptor mu(μ) dan afinitasnya lemah pada reseptor kappa dan delta opioid. Obat
golongan opioid sendiri telah banyak digunakan sebagai obat anti nyeri kronis dan nyeri non-
maligna. Tramadol mengikat reseptor μ-opiod. Reseptor opioid akan diaktifkan oleh peptide
endogen dan juga eksogen ligand. Reseptor-reseptor ini terdapat pada banyak organ, seperti
thalamus, amygdala dan juga ganglia dorsalis (Lubis, 2011).
Tramadol bekerja dengan dua macam mekanisme yang saling memperkuat yaitu:
1. Berikatan dengan reseptor opioid yang ada di spinal dan otak sehingga menghambat
transmisi sinyal nyeri dari perifer ke otak
2. Meningkatkan aktivitas saraf penghambat monoaminergik yang berjalan dari otak ke
spinal sehingga terjadi inhibisi transmisi sinyal nyeri
Tramadol dapat diberikan secara oral, i.m. atau i.v. dengan dosis 50-100 mg dan dapat
diulang setiap 6-7 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari. Kadar terapeutik dalam darah
berkisar antara 100-300 ng/ml. Obat ini dapat melakukan penetrasi pada sawar darah dengan
baik, sehingga konsentrasi tramadol dapat dihitung pada cairan serebrospinal (Mirmansouri,
et al, 2010).

5
Dibandingan dengan analgesik NSAID, Tramadol lebih aman untuk digunakan karena
tidak memiliki efek yang serius terhadap pencernaan, sistem koagulasi, dan ginjal. Obat ini
bermanfaat pada penanganan nyeri kronik karena obat ini tidak menyebabkan toleransi atau
adiksi dan tidak berkaitan dengan toksisitas organ utama atau efek sedatif yang signifikan.
Obat ini juga bermanfaat pada pasien yang mengalami intoleransi pada obat anti inflamasi
non steroid (Mirmansouri, et al, 2010).
1.3.3 Natrium Diklofenak
Diklofenak adalah derivat sederhana dari asam fenil asetat yang termasuk obat anti
inflamasi nonsteroid yang terkuat daya anti radangnya dengan efek samping yang lebih
ringan dibandingkan dengan obat antiinflamasi nonsteroid lainnya seperti indometasin dan
piroksikam (Tan, 2007).
Diklofenak mempunyai aktifitas analgetik, antipiretik, dan antiradang. Senyawa ini
merupakan inhibitor siklooksigenase. Selain itu, diklofenak tampak menurunkan konsentrasi
intrasel arakidonat bebas dalam leukosit, dengan mengubah pelepasan atau pengambilan
asam lemak tersebut (Godman dan Gilman, 2012). Obat ini efektif untuk peradangan lain
akibat trauma (pukulan, benturan, kecelakaan), misalnya setelah pembedahan, atau pada
memar akibat olahraga. Selain itu natrium diklofenak digunakan untuk mencegah
pembengkakan jika diminum sedini mungkin dalam dosis yang cukup tinggi (Tan, 2007).
Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang merupakan penghambat
COX yang kuat dengan efek anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik. Obat ini cepat
diabsorpsi setelah pemberian oral dan mempunyai waktu paruh yang pendek. Obat ini
dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti arthritis rematoid dan osteoarthritis serta
untuk pengobatan nyeri otot rangka akut (Neal, 2006).
Mekanisme kerjanya, bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan
kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida
menjadi asam arachidonat. Asam lemak poli-tak jenuh ini kemudian untuk sebagian diubah
oleh enzim siklooksigenase menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi prostaglandin.
siklooksigenase terdiri dari dua isoenzim yaitu COX-1 (tromboxan dan prostacyclin) dan
COX-2 (prostaglandin). Kebanyakan COX-1 terdapat di jaringan, antara lain dikeping darah,
ginjal dan saluran cerna. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat dijaringan tetapi
dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel radang. Penghambatan COX-2 lah yang
memberikan efek anti radang dari obat NSAIDs. NSAID yang ideal hanya menghambat
COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan mukosa lambung) (Tan, 2007).

6
Diklofenak merupakan obat NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs)
yang bersifat tidak selektif dimana kedua jenis COX dihambat. Dengan penghambatan
COX-1, maka tidak ada lagi yang bertanggung jawab melindungi mukosa lambung-usus
dan ginjal sehingga terjadi iritasi dan (Tan, 2007).
Efek samping terjadi kira-kira 20% penderita dan meliputi distress saluran cerna,
perdarahan saluran cerna dan tukak lambung. Inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa
saluran cerna sering menyebabkan kerusakan gastrointestinal (dyspepsia, mual, dan gastritis).
Efek samping yang paling utama adalah perdarahan gastrointestinal dan perforasi (Neal,
2006).
Morfologi :
Rumus molekul : C14H10Cl2NO2
Nama Kimia : (2- (2,6-diklorophenyl) amino benzeneacetic acid) Na
Berat Molekul : 318,13
Pemerian : Serbuk hablur, berwarna putih, tidak berasa (USP 30, 2007).
Kelarutan : Sedikit larut dalam air, larut dalam alkohol; praktis tidak larut dalam
kloroform dan eter; bebas larut dalam alkohol metil. pH larutan 1% b/v
dalam air adalah antara 7.0 dan 8 (Sweetman, 2009).
1.3.4 Asam Asetat
Asam asetat adalah senyawa asam organik yang berfungsi sebagai iritan yang dapat
merusak jaringan secara lokal dan menyebabkan nyeri rongga perut pada pemberian
intraperitonial (Wulandari dan Hendra, 2011). Asam asetat digunakan sebagai penginduksi
rasa nyeri pada pengujian efek analgesik. Dalam pengujian ini, asam asetat menyebabkan
peradangan pada dinding rongga perut sehingga menimbulkan respon geliat berupa kontraksi
otot atau peregangan otot perut. Timbulnya respon geliat akan muncul maksimal 5-20 menit
setelah pemberian asam asetat dan biasanya geliat akan berkurang 1 jam kemudian (Puente,
et al., 2015).
Asam asetat secara tidak langsung bekerja dengan cara mendorong pelepasan
prostaglandin sebagai hasil produk dari COX ke dalam peritoneum. Asam asetat juga dapat
merangsang sensitifitas nosiseptif terhadap obat NSAID, sehingga asam asetat cocok
digunakan untuk mengevaluasi aktivitas analgesik (Prabhu et al., 2011). Hal ini dikarenakan
adanya kenaikan ion H+ akibat turunnya pH dibawah 6 yang akan menyebabkan luka pada
abdomen 13 sehingga menimbulkan rasa nyeri (Wulandari dan Hendra, 2011). Penggunaan
asam asetat sebanyak 10 ml/KgBB pada metode writhing test diketahui dapat menimbulkan

7
respon geliat yang baik pada mencit mulai dari 5 menit pertama setelah penyuntikan (Gupta,
et al., 2015).
1.3.5 Dextrosa
1. Komposisi
Glukosa = 50 gr/l (5%), 100 gr/l (10%), 200 gr/l (20%).
Komposisinya adalah glukosa anhidrous dalam air untuk injeksi. Larutan di jaga pada pH
antara 3,5 sampai 6,5 dengan natrium bikarbonat. Larutan dextrose 5% iso-osmosis
dengan darah. Larutan dextrose injeksi merupakan larutan jernih dan tidak berwarna.

2. Kemasan : 100, 250, 500 ml.


3. Indikasi
Sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk keperluan hidrasi selama
dan sesudah operasi. Diberikan pada keadaan oliguria ringans ampai sedang (kadar
kreatinin kurang dari 25 mg/100ml).
4. Kontraindikasi
Hiperglikemia. Adverse Reaction :Injeksi glukosa hipertonik dengan pH rendah dapat
menyebabkan iritasi pada pembuluh darah dan trombo flebitis. Komadia betikum,
pemberian bersama produk darah; anuria, perdarahan intraspinal & intrakranial,
delirium dehidrasi (dehydrated delirium tremens).
5. Sifat Fisika kimia
Dextrose berisi satu molekul air hidrasi atau anhydrous. Kristal tidak berwarna
atau putih, serbuk Kristal atau granul. Tidak berbau dan mempunyai rasa manis. Larut
1 dalam 1 bagian air dan 1 dalam 100 bagian alkohol; sangat larut dalam air
mendidih; larut dalam alcohol mendidih.
6. Sub kelas terapi : parenteral
7. Kelas terapi :larutan, elektrolit, nutrisi, dll.
8. Dosis pemberian
Larutan dextrose 10% adalah hipertonik dan sebaiknya diberikan dengan
kateter pada venasentral yang besar. Jika digunakan vena perifer, dipilih vena besar
pada lengan dan bila memungkinkan tempat infus harus dipindah-pindah tiap hari.
Kecuali pada penanganan emergensi hipoglikemia berat, konsentrasi dextrose yang
lebih tinggi (20% keatas) harus diberikan melalui vena sentral dan hanya setelah
dilakukan dilusi yang tepat. Kecepatan infus pada orang sehat adalah 0,5g/kg/jam
untuk tanpa menimbulkan glikosuria.

8
Kecepatan maksimum pemberian infus dextrose tidak boleh melebihi 0,8
g/kg/jam. Dextrose 5% dapat diberikan secara intra vena melalui vena perifer.
Kecepatan pemberian infus yang dapat diberikan tanpa menimbulkan glukosuria
adalah 0,5 g/kg/jam, dengan kecepatan maksimum tidak melebihi 0,8 g/kg/jam. Dosis
dextrose tergantung pada usia, berat badan dan keseimbangan cairan, elektrolit,
glukose dan asam basa dari pasien.
9. Farmakologi
Dextrose adalah monosakarida dijadikan sebagai sumber energi bagi tubuh.
Dextrose juga berperanan pada berbagai tempat metabolisme protein dan lemak.
Dextrose disimpan di dalam tubuh sebagai lemak dan di otot dan hati sebagai
glikogen. Jika diperlukan untuk meningkatkan kadar glukosa secara cepat, maka
glikogen segera akan melepaskan glukosa. Jika suplai glukosa tidak mencukupi maka
tubuh akan memobilisasi cadangan lemak untuk melepaskan atau menghasilkan
energi. Dextrose juga mempunyai fungsi berpasangan dengan protein (protein
sparing). Pada keadaan kekurangan glukosa, energy dapat dihasilkan dari oksidasi
fraksi-fraksi asam amino yang terdeaminasi. Dextrose juga dapat menjadi sumber
asam glukoronat, hyaluronat dan kondroitin sulfat dan dapat dikonversi menjadi
pentose yang digunakan dalam pembentukan asam inti (asam nukleat). Dextrose
dimetabolisme menjadi karbondioksida dan air yang bermanfaat untuk hidrasi tubuh.
10. Stabilitas penyimpanan
Simpan di bawah suhu 25oC
11. Efeksamping
Efek Samping yang sering terjadi: injeksi dextrose, khususnya jika hipertonik
dapat menurunkan pH dan dapat menyebabkan iritasi vena dan thrombophlebitis.4
Hiperglikemia dan glukosuria dapat terjadi pada pemberian dengan kecepatan lebih dari
0,5 g/kg/jam. Ada juga yang menyebutkan diatas 0,8 g/kg/jam.
Penggunaan jangka lama dapat menimbulkan gangguan keseimbangan cairan dan
asam basa serta pengenceran konsentrasi elektrolit, yang dapat menimbulkan udem,
hipokalemia, hipomagnesia dan hipofosfatemia. Dapat juga terjadi defisiensi vitamin B
kompleks.
12. Interaksi makanan :Tidak ada
13. Interaksi obat
Cairan parenteral, khususnya yang mengandung ion natrium, harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien yang sedang menggunakan kortikosteroid atau kortikotropin.

9
14. Peringatan
Larutan dextrose digunakan terutama untuk menggantikan cairan yang hilang dan
dapat diberikan sendiri hanya jika tidak terjadi kehilangan elektrolit secara bermakna;
pemberian larutan dextrose jangka lama tanpa elektrolit dapat menimbulkan
hiponatraemia dan gangguan elektrolit. Oleh karena itu pada terapi jangka panjang harus
dilakukan pemantauan terjadinya gangguan keseimbangan cairan, konsentrasi elektrolit
dan keseimbangan asam basa. Pemberian secara intravena dapat menimbulkan overload
cairan disertai gangguan (pengenceran) elektrolit serum dan dapat juga trjadi edema
perifer dan paru. Kebutuhan cairan rata-rata pada orang dewasa sehat berkisar antara 1.5
sampai 2.5 liter perhari dan hal ini diperlukan untuk menyeimbangkan kehilangan cairan
yang tidak dapat dihindari melalui kulit dan paru-paru dan untuk keperluan
ekskresimelaluiurin. Kehilangan cairan (dehidrasi) cenderung terjadi ketika cairan yang
dikeluarkan tidak sesuai (lebih banyak) dibandingkan asupan (intake), yang dapat
menimbulkan komaataudisfagia (dysphagia) atau pada usia lanjut atau mereka yang apatis
yang tidak mau minum cukup air atas inisiatif mereka sendiri.
Larutan dextrose harus digunakan dengan hati-hati pada pasien diabetes atau
diketahui intoleran karbohidrat. Pemberian infuse secra cepat atau insufisiensi metabolic
dapat menimbulkan hiperglikemia dan glikosuria. Glukosa darah dan urin harus dipantaus
ecara regular.
15. Mekanisme aksi
Mengkompensasi kehilangan atau kekurangan karbohidrat dan cairan; menjadi
sumber nutrisi yang diberikan secara parenteral dan meningkatkan kadar gula darah pada
keadaan hipoglikemia.
1.4 Tinjauan Tentang Mencit
Pemilihan hewan uji idealnya harus dipilih semirip mungkin dengan kondisi manusia,
utamanya dalam hal absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi terhadap senyawa uji. Hal
ini dilakukan untuk memperkecil perubahan respon antar jenis dan dalam satu jenis hewan
uji terhadap efek senyawa uji. Pada umumnya hewan uji yang sering digunakan adalah tikus,
tikus, kelinci, anjing, kera serta kucing (Hanum, 2013).
Penggunaan mencit purih jantan (Mus musculus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan
sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai
macam penelitian. Terdapat beberapa galur atau varietas mencit yang memiliki kekhususan
tertentu antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih berkepala kecil dan

10
ekornya lebih panjang daripada badannya dan galur Wistar yang ditandai dengan kepala
besar dan ekor lebih pendek (Hardianty, 2011).
Mencit putih jantan (Mus musculus) lebih besar dari famili tikus umumnya dimana
tikus ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor dan berat 140-500
gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih kecil dari tikus jantan dan memiliki
kematangan seksual pada umur 4 bulan dan dapat hidup selama 4 tahun (Hardianty, 2011).
Mencit putih jantan (Mus musculus) dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat
melihat dan mendengar mencit lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, mencit-mencit ini
tenang dan mudah ditangani di laboratorium. (Hardianty, 2011).
Dibandingkan dengan mencit liar, mencit laboratorium lebih cepat menjadi dewasa, tidak
memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih mudah berkembang biak. Jika
tikus liar dapat hidup dapat hidup 4-5 tahun, tikus laboratorium jarang hidup lebih dari 3
tahun (Hardianty, 2011).
Umumnya berat mencit laboratorium lebih ringan dibandingkan berat tikus liar. Biasanya
pada umur empat minggu beratnya 35-40 gram, dan berat dewasa rata-rata 200-250 gram,
tetapi bervariasi tergantung pada galur. Mencit jantan tua dapat mencapai 500 gram, tetapi
tikus betina jarang lebih dari 350 gram (Hardianty, 2011).
Ada dua sifat yang membedakan mencit dari hewan percobaan lain. Mencit tidak dapat
muntah, karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam
lambung dan mencit tidak mempunyai kandung empedu (Hardianty, 2011).
Pada penelitian ini hewan uji yang digunakan adalah Mencit putih jantan (Mus musculus)
karena jika dibandingkan dengan mencit betina, mencit jantan menunjukkan periode
pertumbuhan yang lebih lama. Selain itu mencit putih jantan dapat memberikan hasil
penelitian lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan
seperti pada mencit putih betina. Mencit putih jantan (Mus musculus) juga mempunyai
kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil
dibanding mencit betina (Hanum, 2013). Keadaan hiperkolesterolemia pada hewan terjadi
jika kadar kolesterol total dalam darah melebihi normal. mencit memiliki kadar kolesterol
total normal dengan nilai 10-54mg/dl. Hiperkolesterolemia juga menyebabkan kadar HDL
dalam darah menurun. Kadar kolesterol HDL plasma darah mencit yang normal yaitu ≥35
mg/dl, ambang batas normal LDL pada mencit adalah 7-27,2 mg/dl.
Terdapat prinsip untuk persiapan hewan percobaan, yaitu menjaga lingkungan sehat
bagi hewan, kontrol kesehatan, pengaturan makanan dan air minum, pengawasan sistem

11
pengelolaan dan pengawasan kualitas hewan (National Advisory Committee for Laboratory
Animal Research, 2004).
Sifat-sifat seperti mudah marah, penakut, fotofobik, mudah bersembunyi, berkumpul,
aktif pada malam hari, mudah terganggu oleh manusia (Syamsudin dan Darmono, 2011 : 3).
Hewan uji mencit memiliki gen yang mirip dengan manusia, termasuk hewan mamalia,
kemampuan berkembang biak tinggi sehingga cocok untuk digunakan sebagai penelitian,
mudah dalam penanganannya, dan karena bentuk tubuhnya yang kecil menyebabkan obat
yang digunakan di badannya relatif cepat termanifestasi. Mencit yang digunakan berjenis
kelamin jantan karena memiliki kondisi biologis yang stabil dari pada mencit betina, karena
dipengaruhi oleh siklus esterus. Selain keseragaman jenis kelamin, juga digunakan
keseragaman berat badan dan umur yang bertujuan untuk memperkecil variabilitas biologis
antara hewan uji yang digunakan, sehingga dapat memberikan respon yang relatif lebih
seragam terhadap rangsangan kimia yang digunakan pada penelitian ini (Wahyuningsih,
2015).
1.4.1 Anatomi dan Fisiologi Mencit (Musmusculus)
Nama latin mencit adalah Mus musculus yang dapat dikasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus L

Gambar 1. Anatomi mencit secara keseluruhan.

12
BAB III
METOLOGI
3.1 Alat, Bahan dan Hewan Uji
 Alat :
1. Spluit injeksi (1,0ml)
2. Jarum oral (ujung tumpul)
3. Beker glass
4. Stopwatch
 Hewan Uji :
Lima belas ekor mencit betina umur 40 – 60 hari berat 20-30 g
 Bahan :
1. Larutan Dekstrosa 5% dalam air (pH 5)
2. Larutan Na diklofenak (50mg) dalam dekstrosa 5%
3. Larutan tramadol HCl dalam dekstrosa 5%
4. Larutan asam asetat 3%
5. Larutan Antalgin dalam dekstrosa 5%
3.2 Metodologi
1. Mencit dibagi menjadi tiga kelompok (A, B, C) yang masing – masing terdiri dari 5
ekor.
2. Masing – masing mencit ditimbang kemudian diberi label.
3. Mencit – mencit pada kelompok A (kelompok kontrol) diberi larutan dekstrosa secara
per oral kemudian ditunggu selama 5 menit.
4. Mencit – mencit pada kelompok B diberi larutan Na-Diklofenak dengan dosis
50mg/kgBB per oral kemudian ditunggu selama 30 menit (hitunglah volume
pemberiannya dan konsentrasi larutan yang harus dibuat).
5. Mencit – mencit pada kelompok C diberi larutan tramadol HCl dengan dosis
50mg/kgBB per oral kemudian ditunggu selama 30 menit (hitunglah volume
pemberiannya dan konsentrasi larutan yang harus dibuat).
6. Mencit – mencit pada kelompok D diberi larutan Antalgin dengan dosis 500mg/kgBB
per oral kemudian ditunggu selama 30 menit (hitunglah volume pemberiannya dan
konsentrasi larutan yang harus dibuat).
7. Semua mencit diberi larutan asam asetat 3% v/v dengan volume 0,2 ml melalui rute
intraperitoneal.

13
8. Dilakukan pengamatan geliat mencit (perut kejang dan kaki ditarik kebelakang).
9. Dicatat jumlah kumulatif geliat yang timbul setiap selang waktu 5 menit selama 20
menit.
10. Dilakukan perhitungan persen daya analgetik.
11. Analisis data dilakukan dengan membandingkan rata –rata daya analgetik antara
kelompok B dan C menggunakan t-test (jika data terdistribusi normal) atau uji
wilcoxon (jika data tidak berdistribusi normal).
3.3 Skema Kerja

Mencit dibagi menjadi tiga kelompok (A, B, C)


yang masing – masing terdiri dari 5 ekor.

Masing – masing mencit ditimbang kemudian


diberi label.

kel. A (5 ekor) kel. B (5 ekor) kel. C (5 ekor) kel. D (5 ekor)

(kontrol) diberi lar.Na-Diklofenac Lar.Tramadol HCl Lar. Antalgin


lar. Dekstrosa 5% 50mg/kgBB per 50mg/kgBB per 500mg/kgBB per
per oral oral oral oral

kemudian ditunggu selama 30 menit (hitunglah volume pemberiannya


dan konsentrasi larutan yang harus dibuat)

Semua mencit diberi larutan asam asetat 3% v/v dengan volume 0,2 ml
melalui rute intraperitoneal.

Dilakukan pengamatan geliat mencit (perut kejang dan kaki ditarik


kebelakang).

Dicatat jumlah kumulatif geliat yang timbul setiap selang waktu 5


menit selama
BAB20 IVmenit.

Dilakukan perhitungan persen daya analgetik dan analisis data


menggunakan R studio

14
BAB IV
ANALISIS DATA

Data non-parametrik, alasannya karena jumlah data masing-masing kelompok tidak seragam.

Data terdistribusi normal, berdasarkan hasil P>0.05 pada Shapiro test. (NAMUN, Barlett-
Test abaikan, karena jumlah data sudah menyatakan data non-parametrik)

15
Hasil Dunn.test : terdapat perbedaan signifikan antara tramadol dan antalgin (P<0.05),
sedangkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara nadif dibandingkan antalgin maupun
dengan tramadol (P>0.05).

Hasil dunnTest: khasiat lebih poten ditunjukkan oleh tramadol dibandingkan nadif maupun
antalgin (lihat hasil dunnTest atau Boxplot).

16
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Jumlah geliat mencit selama 20 menit


Dari hasil praktikum menggunakan mencit berjumlah 20 ekor di dapatkan hasil
sebagai berikut :
Menit Kontrol tramadol antalgin Na. diklofenak
I 96 18 43 9
II 113 10 60 44
III 3 8 76 16
IV 134 17 62 68
V 62 - 57 -
Jumlah 408 53 298 137

5.2. Presentase Daya Analgetik


𝑃
Rumus : %DA = 100 -𝐾 X 100%

Menit tramadol antalgin Na.


Diklofenak
I 81.25 % 55.20 % 90.62 %
II 91.15% 46.90 % 61.06 %
III -166.7 % -2433.3 % -433.3 %
IV 87.32% 53.73 % 49.25 %
V - 8.06 % -
JUMLAH 93.02 % -2269.41% -232.37%

5.3. Pembahasan
Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi atau
menghalau rasa sakit atau nyeri. Tujuan dari percobaan kali ini adalah mengenal dan
mempraktikkan uji analgetika pada hewan uji menggunakan metode rangsangan kimia dari
obat tramadol, antalgin dan natrium diklofenak menggunakan metode rangsang kimia.
Percobaan ini dilakukan terhadap hewan percobaan, yaitu mencit. Metode rangsang
kimia digunakan berdasarkan atas rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia
yang digunakan untuk penetapan daya analgetika.

17
Percobaan menggunakan metode rangsangan kimia yang ditujukan untuk melihat
respon tikus terhadap larutan Asam Asetat 0,3% dengan volume pemberian 0.2 ml melalui
rute intraperitoneal yang dapat menimbulkan respon menggeliat dan menarik kaki ke
belakang dari mencit ketika menahan nyeri pada perut. Langkah pertama yang dilakukan
adalah pemberian obat-obat analgetik pada tiap mencit. Mencit kelompok pertama
diberikan larutan tramadol secara per oral dan di tunggu selama 30 menit kemudian diberi
larutan Asam Asetat 0,3% secara intra peritonial. Tikus kelompok kedua diberikan larutan
dextrosa (bertindak sebagai kontrol) secara per oral dan setelah 5 menit kemudian diberi
larutan Asam Asetat 0,3% secara intra peritonial. Tikus kelompok ketiga diberikan larutan
antalgin secara per oral dan setelah 30 menit kemudian diberi larutan Asam Asetat 0,3%
secara intra peritonial. Tikus kelompok keempat diberikan larutan Na Diklofenak secara per
oral dan setelah 30 menit kemudian diberi larutan Asam Asetat 0,3% secara intra peritonial.
Pemberian larutan Asam Asetat 0,3% dilakukan secara intraperitonial karena untuk
mencegah penguraian asam asetat saat melewati jaringan fisiologik pada organ tertentu
dan larutan steril asam asetat dikhawatirkan dapat merusak jaringan tubuh jika diberikan
melalui rute lain, misalnya per oral, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak tahan
terhadap pengaruh asam.
Pemberian asam asetat ini bertujuan untuk menimbulkan rangsang nyeri melalui
rangsang kimia. Pemberian bahan kimia tertentu akan merusak jaringan sehinggan memicu
keluarnya / terlepasnya mediator – mediator nyeri seperti bradikinin, prostaglandin dari
jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung – ujung saraf perifer
yang selanjutnya diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri yang oleh saraf sensoris melalui
sumsum tulang belakang dan talamus yang kemudian berupa rasa nyeri sebagai akibat dari
rangsang otak tersebut. Digunakan asam asetat yang merupakan asam lemah yang pada
dasarnya bersifat mengiritasi dan dapat membuat luka yang dapat menimbulkan rasa sakit/
nyeri, tetapi senyawa ini merusak jaringan lebih sedikit atau tidak permanen bila
dibandingkan dengan menggunakan asam atau basa kuat seperti asam chlorida, dsb.
Larutan asam asetat 0.3% diberikan setelah 30 menit karena diketahui bahwa obat
yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan rasa
nyeri. Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan asam asetat 0,3% mencit
akan menggeliat dengan ditandai dengan kejang perut dan kaki ditarik ke belakang.
Jumlah geliat mencit dihitung setiap selang waktu 5 menit selama 20 menit.
Pada percobaan ini diperoleh data, jumlah kumulatif geliat pada mencit yang diberi
Tramadol adalah jumlahnya 53, mencit yang diberi dextrosa/kontrol adalah 408, mencit yang

18
diberi antalgin adalah 298, dan mencit yang diberi Na Diklofenak adalah 137. Diperoleh juga
data presentase daya analgetik mencit yang diberi tramadol adalah jumlahnya 93.02% ,
mencit yang diberi antalgin adalah -2269.41% dan mencit yang diberi Na Diklofenak -
232.37%.
Dari data percobaan yang diperoleh, diketahui bahwa jumlah kumulatif geliat pada
mencit dapat diurutkan menjadi kontrol > tramadol> Na Diklofenak > antalgin. Daya
Analgetik dari tinggi ke rendah adalah tramadol > Na Diklofenak > Aantalgin
>kontrol/dextrosa. Hal ini dapat disimpulkan bahwa obat yang paling efektif dalam
mengatasi nyeri yang diakibatkan oleh rangsangan kimia adalah pertama tramadol, kedua
natrium diklofenak, dan ketiga antalgin.
Hal ini sesuai dengan literatur yang didapatkan, hanya saja perbedaan kumulatif dan
daya analgetik setiap obat yang terlalu sempit. Ada kemungkinan data yang didapatkan
kurang valid. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain praktikan sulit
membedakan antara geliatan yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena
mencit merasa kesakitan akibat penyuntikan intraperitoneal pada perut mencit, faktor
penyuntikan yang tertunda karena mencit sempat menolak.
Obat-obatan analgesik golongan Nonopioid memiliki target aksi pada enzim, yaitu
enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya
adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka
dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri. Sedangkan Analgesik golongan
Narkotika Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam
pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek sampingnya.
Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diperifer . maka dari itu tramadol mempunyai
efek analgesik lebih cepat.
Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil bahwa urutan obat yang memiliki daya
analgetik paling tinggi atau kuat adalah tramadol, natrium diklofenak, dan antalgin. Hasil
yang didapat setelah diuji dengan menggunakan R studio yang kemudian didapat Hasil
Dunn.test : terdapat perbedaan signifikan antara tramadol dan antalgin (P<0.05), sedangkan
tidak terdapat perbedaan signifikan antara nadif (natrium diklofenak) dibandingkan antalgin
maupun dengan tramadol (P>0.05). dan juga Hasil dunnTest: khasiat lebih poten ditunjukkan
oleh tramadol dibandingkan nadif maupun antalgin (lihat hasil dunnTest atau Boxplot).

19
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita.
2. Obat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu Analgesik Non Opioid/Perifer (Non-
Opioid Analgesics), dan Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
3. Pada percobaan yang dilakukan diperoleh hasil obat yang paling efektif dalam
mengatasi nyeri yang diakibatkan oleh rangsangan kimia adalah pertama Tramadol,
kedua Na Diklofenak dan ketiga antalgin.
5.2 Saran
Diharapkan agar lebih meningkatkan segala aspek yang mendukung kelancaran
praktikum.

20
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia edisi 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Gilang. 2010. Analgesik non-opioid atau NSAID/OAINS. Goodman & Gilman, 2012, Dasar
Farmakologi Terapi, Edisi 10, Editor Joel. G. Hardman & Lee E. Limbird, Konsultan
Editor Alfred Goodman Gilman, Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah
Farmasi ITB, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Lukmanto, H., 1986, Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia, Edisi II, Jakarta.
Mirmansouri A, Farzi F, Khalkhalirad S, Haryalchi K, Abdolahzadeh M, Sediginejad
A. Comparison Between Tramadol and Meperidine after Emergency Cesarean
Section, Professional Med J.2010:17(3);400-4
Mutschler, 1986, Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Widianto, M.B dan Ranti,
E.S., edisi V, Penerbit ITB, Bandung.
Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit
Erlangga. pp. 85.
Priyambodo. 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penebar Swadaya. Jakarta. 135 hal
Setijono, Marcellino Mardanung. 1985. Mencit (Mus musculus) Sebagai Hewan
Percobaan. Skripsi. Institut Petanian Bogor.
Smith, J, B, dan Mangkoewidjojo. (1988), Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press.
Sweetman, S.C., 2009, Martindale The Complete Drug Reference, Thirty Sixth
Edition, Pharmaceutical Press, New York
Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, K., 2007. Obat-obat Penting., Jakarta : PT Gramedia
Wilmana, P.F., 1995, Analgesik-Antipiretik, Analgesik-Antiinflamasi Nonsteroid
dan Obat Piral, dalam Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F, D.,
Purwantyastuti, Nafrialdi, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian
Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, 207-
220.
Ganong, William F, 2003,Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari
Widjajakusumah: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20, EGC, Jakarta.

21
Hartwig, Wilson, Lorraine M, Mary S, 2006, Nyeri Dalam Patofisiologi Konsep Klinis
Proses – Proses Penyakit, Terjemahan dari Huriawati Hartanto et all, Ed 6. Hal :
1063 -1103. EGC, Jakarta
Wilmana, P. F. dan Gan, S., 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Jakarta: FK UI
Wahyuningsih, Sri S dan Linda Widiastutik. 2015. Uji Efek Analgetik Infusa Daun Beluntas
(Pluchea indica L.) Pada Mencit Jantan Galur Swiss. Jawa Tengah : POLTEKES
Bhakti Mulia Sukoharjo

22
LAMPIRAN
Tabel penimbangan Berat mencit:
Mencit Berat (g)
I 16
II 14
III 16
IV 16
V 15

Perhitungan Dosis Antalgin


Dosis x BB mencit
C=
volume
0.016 x 500 mg
C=
0.5 ml

= 16 mg/ml
Larutan sediaan di buat dalam 50 ml akuadest
50 x 16 = 800 mg / 50ml
Dibulatkan menjadi 1000 (2 tab antalgin sediaan 500 mg paling besar) dan dilarutkan
dalam 50 ml akuadest.
1000
C= = 20 mg/ml
50 ml

Perhitungan Volume pemberian


500 mg x 0.016
Mencit I = = 0.4 ml
20 mg/ml
500 mg x 0.014
Mencit II = = 0.35 ml
20 mg/ml
500 mg x 0.016
Mencit III = = 0.4 ml
20 mg/ml
500 mg x 0.016
Mencit IV = = 0.4 ml
20 mg/ml
500 mg x 0.015
Mencit V = = 0.375 ml
20 mg/ml

23
Analisi Data
Hasil dunn.test

24
Hasil shapiro test

25

Anda mungkin juga menyukai