Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Obat-obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteroid (AINS)
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Protip obat golongan ini
sering disebut juga sebagai obat mirip asoirin sifat dasar obat anti inflamasi non
steroid. Golongan obat ini menghambat enzim siklo oksigenase sehingga konversi
asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Khusus paracetamol, hambatan
biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid yang
dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi paracetamol
praktis tidak ada.
Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi
bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman,
ataupun obat-obatan. Interaksi obat adalah efek suatu obat akibat pemakaian obat
dengan bahan-bahan lain tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia
lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus
dalam satu periode (polifarmasi) digunakan bersama-sama. Interaksi obat saling
berpengaruh antar obat sehingga terjadi perubahan efek. Didalam tubuh obat
mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di keluarkan lagi dari
tubuh. Proses-proses tersebut meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme
(biotransfarmasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai macam obat
diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain itu, obat
juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan
obat.
Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukanlah praktikum analgesik,
antipiuretik dan anti inflamasi adalah agar praktikan dapat mengetahui obat-obat
A3 serta mekanisme kerja setiap obat agar penggunaannya tidak menyebabkan
efek samping yang berbahaya bagi tubuh.
B. Maksud dan Tujuan Percobaan
1. Maksud Percobaan
a. Mengetahui penggolongan obat-obat Analgesik, Antipiuretik, dan
Antiinflamasi;
b. Mengetahui respon nyeri, mengukur suhu netral dengan termometer dan
mengukur volume kaki hewan coba;
c. Mengetahui efek pemberian obat-obat Analgesik, Antipiuretik, dan
Antiinflamasi pada hewan coba.
2. Tujuan Percobaan
a. Dapat memahami dan menentukan penggolongan obat-obat Analgesik,
Antipiuretik, dan Antiinflamasi;
b. Dapat memahami respon nyeri mengukur suhu rektal dengan termometer
dan mengukur volume kaki hewan coba;
c. Dapat memahami dan mengetahui efek pemberian obat-obat Analgesik,
Antipiuretik, dan Antiinflamasi.
C. Prinsip Percobaan
1. Penentuan efektivitas paracetamol sebagai agen analgetik dengan mengamati
repon pada mencit
2. Penentuan efektivitas paracetamol sebagai agen antipiretik dengan
pengukuran suhu tubuh
3. Penentusn efektivitas obat sebagai agen antiinflamasi dengan pengukuran
volume kaki dan induksi albumin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Umum
Analgetika adalah obat-obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan
rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Analgetika pada umumnya diartikan
sebagai suatu obat yang efektif untuk menghilangkan sakit kepala, nyeri otot,
nyeri sendi, dan nyeri lain misalnya nyeri pasca bedah dan pasca  bersalin,
dismenore (nyeri haid) dan lain-lain sampai pada nyeri hebat yang sulit
dikendalikan. Hampir semua analgetik ternyata memiliki efek antipiretik dan efek
anti inflamasi. (Anonim, 2010:8)
Menurut The International Association for the Study of Pain (1979, dalam
Potter & Perry 2005), nyeri didefenisikan sebagai perasaan sensori dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan  jaringan atau
potensial yang menyebabkan kerusakan jaringan. Sementara itu defenisi
keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan
individu yang mengalaminya yang ada kapanpun individu mengatakannya.  Nyeri
terjadi bersamaan dengan terjadinya proses penyakit atau  bersamaan dengan
beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatannya.  Nyeri sangat mengganggu
dan menyulitkan lebih banyak orang dari pada  penyakit apapun. Rangsangan
yang diterima oleh reseptor nyeri dapat berasal dari berbagai faktor dan
dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Rangsangan Mekanik : Nyeri yang di sebabkan karena pengaruh mekanik
seperti tekanan, tusukan jarum,irisan pisau dan lain-lain.
2. Rangsangan Termal : Nyeri yang disebabkan karena pengaruh suhu. Rata-
rata manusia akan merasakan nyeri jika menerima panas di atas 45 o C,
dimana mulai pada suhu tersebut jaringan akan mengalami kerusakan.
3. Rangsangan Kimia : Jaringan yang mengalami kerusakan akan
membebaskan zat yang di sebut mediator yang dapat berikatan dengan
reseptor nyeri antara lain:  bradikinin, serotonin, histamin, asetilkolin dan
prostaglandin. Bradikinin merupakan zat yang  paling berperan dalam
menimbulkan nyeri karena kerusakan jaringan. Zat kimia lain yang
berperan dalam menimbulkan nyeri adalah asam, enzim  proteolitik, Zat
dan ion K+ (ion K positif). (Diphalma, 1986: 102)
Proses Terjadinya Nyeri
Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang
ditemukan hampir pada setiap jaringantubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem
Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem Serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut
Aδ bermielin halus bergaris tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran 6-30
m/detik. Sistem kedua terdiri dari serabut C tak  bermielin dengan diameter 0.4-
1.2 µm, dengan kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik. Serabut Aδ berperan dalam
menghantarkan "Nyeri cepat" dan menghasilkan persepsi nyeri yang jelas, tajam
dan terlokalisasi, sedangkan serabut C menghantarkan "nyeri lambat" dan
menghasilkan persepsi samar-samar, rasa pegal dan perasaan tidak enak. Pusat
nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir pada neuron traktus
spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui traktus ini ke
nukleus posteromida ventral dan posterolateral dari talamus. Dari sini impuls
diteruskan ke gyrus  post sentral dari korteks otak. (Sunaryo, 1995 : 185)
Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria antara lain
a. Klasifikasi nyeri berdasarkan waktu dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi secara tiba-tiba dan terjadinya singkat contoh
nyeri trauma nyeri Kronis adalah nyeri yang terjadi atau dialami sudah lama.
Contoh: kanker
b. Klasifikasi nyeri berdasarkan tempat terjadinya nyeri. Nyeri somatik adalah
nyeri yang dirasakan hanya pada tempat terjadinya kerusakan atau gangguan,
bersifat tajam, mudah dilihat dan mudah ditangani, contoh nyeri karena tertusuk.
Nyeri visceral adalah nyeri yang terkait kerusakan organ dalam, contoh nyeri
karena trauma di hati atau paru-paru. Nyeri reperred adalah nyeri yang dirasakan
jauh dari lokasi nyeri, contoh nyeri angina. 
c. Klasifikasi nyeri berdasarkan persepsi nyeri. Nyeri nosiseptis adalah nyeri yang
kerusakan jaringannya jelas. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang kerusakan
jaringan tidak jelas. Contohnya  nyeri yang diakibatkan oleh kelainan pada
susunan saraf. (Sarjono, 1995 : 178)
Asam salisilat, paracetamol mampu mengatasi nyeri ringan sampai sedang,
tetapi nyeri yang hebat membutuhkan analgetik sentral yaitu analgetik narkotik.
Efek antipiretik menyebabkan obat tersebut mampu menurunkan suhu tubuh pada
keadaan demam sedangkan sifat anti inflamasi  berguna untuk mengobati radang
sendi (artritis reumatoid) termasuk  pirai/gout yaitu kelebihan asam urat sehingga
pada daerah sendi terjadi  pembengkakan dan timbul rasa nyeri. (Anonim, 2010:
8)
Analgesik anti inflamasi diduga bekerja berdasarkan penghambatan
sintesis prostaglandin (penyebab rasa nyeri). Rasa nyeri sendiri dapat dibedakan
dalam tiga kategori :
a. Nyeri ringan (sakit gigi, sakit kepala, nyeri otot, nyeri haid dll), dapat diatasi
dengan asetosal, paracetamol bahkan placebo.
b. Nyeri sedang (sakit punggung, migrain, rheumatik), memerlukan analgetik
perifer kuat.
c. Nyeri hebat (kolik/kejang usus, kolik batu empedu, kolik batu ginjal, kanker),
harus diatasi dengan analgetik sentral atau analgetik narkotik. (Anonim, 2010: 7) .
Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di
kulit, otot, tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf  pusat
melalui dua jaras, yaitu jaras nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan
jaras nyeri lambat dengan neurotransmiternya substansi P (Guyton & Hall, 1997:
76; Ganong, 2003: 111).
Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamin, bradikin,
leukotrien dan prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-
ujung saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan
antara lain reaksi radang dan kejang-kejang. Nociceptor ini juga terdapat di
seluruh jaringan dan organ tubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan
disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat
banyak sinaps via sumsum-belakang, sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari
thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls
dirasakan sebagai nyeri. (Tjay dan Rahardja, 2007: 85)
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang
berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang
adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang
otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan
zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat
mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri
di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan  jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat
diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di
salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat
benyak sinaps via sumsum tulang  belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah.
Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana
impuls dirasakan sebagai nyeri. (Tjay dan Rahardja, 2007: 85).
Demam pada umumnya adalah suatu gejala dan bukan merupakan
penyakit. Para ahli berpendapat demam adalah suatu reaksi yang berguna bagi
tubuh terhadap suhu, pasca suhu di atas 37 oC. Limfosit akan menjadi lebih aktif
pada suhu melampaui 45 oC, barulah terjadi situasi kritis yang bisa berakibat fatal,
tidak terkendali lagi oleh tubuh. (Tjay dan Rahardja, 2007: 89)
Demam terjadi jika “ set point “ pada pusat pengatur panas di hipotalamus
anterior meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh sintesis PEG yang dirangsang
bila suatu zat penghasil demam endogen (pirogen) seperti sitokinin dilepaskan
dari sel darah putih yang diaktivasi oleh infeksi, hipersensitifitas, keganasan atau
inflamasi. Salisilat  menurunkan suhu tubuh si penderita demam dengan jalan
menghalangi sintesis dan pelepasan PG. (Mycek, 2001: 73)
Mediator nyeri yang penting adalah mista yang bertanggung jawab untuk
kebanyakan reaksi. Akerasi perkembangan mukosa dan nyeri adalah polipeption
(rangkaian asam amino) yang dibentuk dari protein plasma. Prostaglandin mirip
strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam-asam anhidrat. Menurut
perkiraan zat-zat bertubesiset vasodilatasi kuat dan meningkat permeabilitas
kapiler yang mengakibatkan radang dan nyeri yang cara kerjanya serta waktunya
pesat dan bersifat lokal. (Tjay dan Rahardja, 2007: 91)
Prostaglandin diduga mensintesis ujung saraf terhadap efek kradilamin,
histamine dan mediator kimia lainnya yang dilepaskan secara lkcal oleh proses
inflamasi. Jadi, dengan menurunkan sekresi PG, aspirin dan AINS lainnya
menekan sensasi rasa sakit. (Mycek, 2001: 75)
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat- zat
mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak
organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat
perbaikan jaringan (Mycek, 2001: 76).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena
infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang
memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen
menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang
cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut
radang (Rukmono, 2000: 150).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian
diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.),
suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet),
listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai
agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu
terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian)
jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler,
terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada
tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas,
terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik
(Rukmono, 2000: 150).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh
darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan,
kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah
besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang
disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam
jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang
menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin,
beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem
pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang
dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton, 1997: 331).
Proses inflamasi ini juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator
yang berperan, di antaranya adalah sebagai berikut (Abrams, 2005: 25):
1. Amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi triptophan (5-HT/serotonin). Keduanya
terjadi melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama
2. Plasma protease: kinin, sistem komplemen & sistem koagulasi fibrinolitik,
plasmin, lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen
3. Metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4,
LTE4 , 5-HETE (asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
4. Produk leukosit – enzim lisosomal dan limfokin
5. Activating factor dan radikal bebas
Banyak obat–obat antiinflamasi yang bekerja dengan jalan menghambat
sintesis salah satu mediator kimiawi yaitu prostaglandin. Sintesis prostaglandin
yaitu (Mycek, 2001: 86): asam arakidonat , suatu asam lemak 20 karbon adalah
prekursor utama prostaglandin dan senyawa yang berkaitan. Asam arakidonat
terdapat dalam komponen fosfolipid membran sel, terutama fosfotidil inositol dan
kompleks lipid lainnya. Asam arakidonat bebas dilepaskan dari jaringan fosfolipid
oleh kerja fosfolipase A2 dan asil hidrolase lainnya. Melalui suatu proses yang
dikontrol oleh hormon dan rangsangan lainnya. Ada 2 jalan utama sintesis
eukosanoid dari asam arakidonat:
1. Jalan siklo-oksigenase
Semua eikosanoid berstruktur cincin sehingga prostaglandin, tromboksan,
dan prostasiklin disintesis melalui jalan siklo – oksigenase. Telah diketahui dua
siklo-oksigenase : COX-1 dan COX-2 Yang pertama bersifat ada dimana – mana
dan pembentuk, sedangkan yang kedua diinduksi dalam respon terhadap
rangsangan inflamasi.
2. Jalan lipoksigenase
Jalan lain, beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam arakidonat
untuk membentuk HPETE, 12-HPETE dan 15-HPETE yang merupakan turunan
peroksidasi tidak stabil yang dikorvensi menjadi turunan hidroksilasi yang sesuai
(HETES) atau menjadi leukotrien atau lipoksin, tergantung pada jaringan.
Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang
lampau. Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup
pada abad pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang
utama. Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda
radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor
(pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu
functio laesa (perubahan fungsi) (Mitchell, 2003:7).
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di
daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi
pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih
banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat
terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 2005: 29).
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut.
Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang
memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih
banyak daripada ke daerah normal (Rukmono, 2000: 157).
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif
lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang
meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang (Rukmono, 2000: 157).
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar
ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-
jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah
peradangan disebut eksudat meradang (Rukmono, 2000: 157).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang
(Dorland, 2002: 350). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah
dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya
fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 2005: 30)
B. Uraian Hewan Cob
1. Klasifikasi Mus musculus
Kingdom :Animalia
Phyllum :Chordata
Subphyllum :Vertebrata
Classis :Mammalia
Ordo :Rodentia
Familia :Muridae
Genus :Mus
Spesies :Mus musculus
2. Data Biologis
- Konsumsi pakan per hari 5 g (umur 8 minggu)
- Konsumsi air minum per hari 6,7 ml (umur 8 minggu)
- Diet protein 20-25%
- Ekskresi urine per hari 0,5-1 ml
- lama hidup 1,5 tahun
- Bobot badan dewasa
        Jantan 25-40 g
        Betina 20-40 g
- Bobot lahir 1-1,5 g
- Dewasa kelamin (jantan=betina) 28-49 hari
- Siklus estrus (menstruasi) 4-5 hari (polyestrus)
- Umur sapih 21 hari
- Mulai makan pakan kering 10 hari
- Rasio kawin 1 jantan – 3 betina
- Jumlah kromosom 40
- Suhu rektal 37,5oC
- Laju respirasi 163 x/mn
- Denyut jantung 310 – 840 x/mn
- Pengambilan darah maksimum 7,7 ml/Kg
- Jumlah sel darah merah (Erytrocyt) 8,7 – 10,5 X 106 / μl
- Kadar haemoglobin (Hb) 13,4 g/dl
- Pack Cell Volume (PCV) 44%
- Jumlah sel darah putih (Leucocyte) 8,4 X 103 /μl

BAB III
METODE KERJA
A. Alat dan Bahan
1. Alat
Adapun alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah Alkohol 70%,
Hote plate, Kapas, Lap kasar, Spoit 1 ml, Spoit oral (Kanula) dan Termometer.
2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Albumin 1%,
Asam mefenamat, Ibuprofen, Indometarin dan Paracetamol.
B. Cara Kerja
1. Percobaan Analgetik
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Diambil 5 ekor mencit untuk masing-masing kelompok
c. Dihandling mencit dengan cara baik dan benar
d. Kelompok 1 diberi Paracetamol secara oral
e. Kelompok 2 diberi Ibuprofen secara peroral
f. Kelompok 3 diberi Indometarin secara oral
g. Kelompok 4 diberi Asam mefenamat secara oral
h. Kelompok 5 diberi Natrium diklorofenat secara oral
i. Diletakkan Mencit di hote plate dan diamati waktu lompat Mencit pada
selang waktu 5 menit, 10 menit, 15 menit dan 20 menit oada suhu 55 C
2. Percobaan Antipiretik
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Diambil 5 ekor mencit untuk masing-masing kelompok, diukur suhu dan
diberikan peptan 1,5 % peroral
c. Kelompok 1 diberi Paracetamol
d. Kelompok 2 diberi Ibuprofen
e. Kelompok 3 diberi Indometarin
f. Kelompok 4 diberi Asam mefenamat
g. Kelompok 5 diberi Natrium diklorofenat
h. Diukur suhu setiap mencit pada selang waktu 5 menit, 10 menit, 15 menit,
dan 20 menit
i. Dicatat hasil pengamatan
3. Percobaan Anti inflamasi
a. Disiapakan alat dan bahan
b. Diambil 5 ekor mencit untuk masing-masing kelompok
c. Diberikan masing-masing mencit obat Albumin 1% secara oral
d. Kelompok 1 diberi Paracetamol
e. Kelompok 2 diberi Ibuprofen
f. Kelompok 3 diberi Indometarin
g. Kelompok 4 diberi Asam mefenamat
h. Kelompok 5 diberi Natrium diklorofenat
i. Diukur volume kaki setiap mencit pada selang waktu 15 menit, 30 menit,
45 menit, dan 60 menit.
j. Dicatat hasil pengamatan

BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBHASAN
A. Tabel Pengamatan
1. Percobaan Analgesik
Perlakuan Waktu (menit)
5 10 15 20
Paracetamol +++ ++ + +
Ibuprofen +++ +++ - -
Indometarin +++ ++ + +
Asam mefenamat +++ +++ +++ +++
Natrium diklorofenat +++ ++ ++ +

2. Percobaan Antiinflamasi
Perlakuan Sebelum Sesudah Efek
diberikan diberikan obat
albumin albumin
Paracetamol 0,3 mm3 O,65 mm3 0,2 mm3
Ibuprofen 0,2 mm3 0,4 mm3 0,3 mm3
Indometarin 0,3 mm3 0,6 mm3 0,35 mm3
Asam mefenamat 0,7 mm3 0,9 mm3 0,55 mm3
Natrium 0,4 mm3 0,16 mm3 0,3 mm3
diklorofenat

Keterangan
+++ = Terjadi sering kali
++ = Terjadi beberapa kali
+ = Terjadi satu kali
- = Tidak terjadi efek/mengalami kematian
B. Pembahasan
Obat-obat analgesik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid (AINS)
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Protip obat golongan ini
sering disebut juga sebagai obat mirip asoirin sifat dasar obat antiinflamasi non
steroid. Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi
asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Khusus paracetamol, hambatan
biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid yang
dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek antiinflamasi paracetamol
praktis tidak ada.
Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi
bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman,
ataupun obat-obatan. Interaksi obat adalah efek suatu obat akibat pemakaian obat
dengan bahan-bahan lain tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia
lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus
dalam satu periode (polifarmasi) digunakan bersama-sama. Interaksi obat saling
berpengaruh antar obat sehingga terjadi perubhan efek. Didalam tubuh obat
mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di keluarkan lagi dari
tubuh. Proses-proses tersebut meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme
(biotransfarmasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai macam obat
diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain itu, obat
juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan
obat.
Pada percobaan Analgesik, kelompok 1 diberikan Paracetamol yang
diberikan secara oral kepada mencit diletakkkan pada hot plate pada selang waktu
5-20 menit mencit memberikan respon lompat banyak kali pada mencit pertama (5
menit) setelah diberikan obat, kemudian respon lompat 10 menit terjadi beberapa
kali, serta menit ke 15 dan ke 20 menit mencit lompat satu dua kali saja. Pada
percobaan Ibuprofen kelompok 2 mencit mengalami respon lompat sering kali
pada hot plate. Namun pada menit ke 15 dan ke 20 menit mencit mengalami
kematian. Pada percobaan Indometarin oleh kelompok 3 mencit mengalami
respon lompat pada menit ke 5 respon lompat beberapa kali dan pada menit ke 10,
dan respon lompat satu dua kali saja pada menit ke 15 dan ke 20. Pada percobaan
kelompok 4 yaitu Asam mefenamat respon lompat mencit terjadi sering kali pada
menit ke 5, 10, 15 dan 20. Pada percobaan kelompik 5 yaitu obat Natrium
diklorofenat pada menit ke 5 mengalami respon lompat sering kali, menit ke 10
dan ke 15 mengalami respon lompat beberapa kali dan menit ke 20 mengalami
respon lompat satu dua kali.
Pada percobaan Antiinflamasi, data hasil pengamatan kelompok 1 obat
paracetamol sebelum diberikan albumin volume kaki mencit 0,3 mm 3, setelah
diberi albumin 0,65 mm3. Pada hasil pengamatan kelompok 2 obat Ibuprofen
sebelum diberikan albumin 0,2 mm3, setelah diberikan albumin o,65 mm3 dan
setelah diberi obat 0,3 mm3. Pada hasil pengamatan kelompok 3 sebelum
diberikan albumin 0,3 mm3 setelah diberi albumin 0,6 mm3 dan efek obat 0,35
mm3. Pada hasil pengamatan kelompok 4 sebelum diberikan albumin volume kaki
mencit 0,7 mm3 setelah diberikan albumin 0,9 mm3 dan efek obat 0,55 mm3. Pada
hasil pengamatan kelompok 5 obat Natrium diklrofenat volume kaki mencit
sebelum diberikan albumin 0,4 mm3, setelah diberikan albumin 0,16 mm3 dan
efek obat 0,3 mm3.
Berdasarkan perbandingan literatur pada percobaan analgesik pemberian
Parasetamol menurut (Binowo,Agung.2016:4) merupakan obat analgetik yang
menghambat prostaglandin lemah. Jadi hal ini menyebabkan terjadi penambahan
lompataan yang tidak signifikan. Kedua pemberian Ibuprofen pada hewan coba
menurut (Birowo,Agung.2016:10) merupakan obat analgetik dan antipiretik lalu
antiinflamasi mekanisme kerjanya ialah inhibitor nonselektif. Indometrin
tergolong obat NSAID yaitu golongan obat yang bekerja perifer, memiliki
aktifitas penghambat ladaang dengan mekanisme kerjanya menghambat
biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim siklookginase.
Pemberian obat Asam mefenamat menunjukkan hasil perubahan signifikan.
Menurut (Birowo,Agung.2016:6) pemberian obat Natrium diklorofenat terjadi
pengurangan efek karena Natrium diklorofenat merupakan obat analgetik.
Perbandingan literatur percobaan antiinflamasi Ibuprofen merupakan obat
antiinflamasi, analgetik, dan antipiuretik yang mampu mengurangi rasa nyeri,
deman dan radang. Natrium diklorofenat merupakan obat antiinflamasi,
sedangkan indometrin dan asam mefenamat merpakan obat antiinflamasi, dimana
obat tersebut menghambat sintesis prostaglandin sehingga mengurangi efek
pembengkakan. Paracetamol merupakan obat A3 dengan efek Antipiuretik yang
tinggi karena paracetamol menghambat enzim siklookginase yang merangsang
prostaglandin. (Birowo,Agung.2016:7)
Faktor kesalahan dari percobaan ini ialah mencit yang diletakkan di hot
plate terlalu lama, pembuatan obat yang tidak sesuai dengan berat mencit dan
pemberian obat yang masuh kurang benar.
Hubungan dengan farmasi ialah sebagai seorang farmasist harus
mengetahui perbedaan dan kesamaan obat golongan A3, mekanisme kerja,
indikasi, serta efek samping dari pemberian obat tersebut agar obat dengan efek
tertinggi bekerja sesuai golongannya.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada percobaan Analgesik, kelompok 1 diberikan Paracetamol yang
diberikan secara oral kepada mencit diletakkkan pada hot plate pada selang waktu
5-20 menit mencit memberikan respon lompat banyak kali pada mencit pertama (5
menit) setelah diberikan obat, kemudian respon lompat 10 menit terjadi beberapa
kali, serta menit ke 15 dan ke 20 menit mencit lompat satu dua kali saja. Pada
percobaan Ibuprofen kelompok 2 mencit mengalami respon lompat sering kali
pada hot plate. Namun pada menit ke 15 dan ke 20 menit mencit mengalami
kematian. Pada percobaan Indometarin oleh kelompok 3 mencit mengalami
respon lompat pada menit ke 5 respon lompat beberapa kali dan pada menit ke 10,
dan respon lompat satu dua kali saja pada menit ke 15 dan ke 20. Pada percobaan
kelompok 4 yaitu Asam mefenamat respon lompat mencit terjadi sering kali pada
menit ke 5, 10, 15 dan 20. Pada percobaan kelompik 5 yaitu obat Natrium
diklorofenat pada menit ke 5 mengalami respon lompat sering kali, menit ke 10
dan ke 15 mengalami respon lompat beberapa kali dan menit ke 20 mengalami
respon lompat satu dua kali.
Pada percobaan Antiinflamasi, data hasil pengamatan kelompok 1 obat
paracetamol sebelum diberikan albumin volume kaki mencit 0,3 mm 3, setelah
diberi albumin 0,65 mm3. Pada hasil pengamatan kelompok 2 obat Ibuprofen
sebelum diberikan albumin 0,2 mm3, setelah diberikan albumin o,65 mm3 dan
setelah diberi obat 0,3 mm3. Pada hasil pengamatan kelompok 3 sebelum
diberikan albumin 0,3 mm3 setelah diberi albumin 0,6 mm3 dan efek obat 0,35
mm3. Pada hasil pengamatan kelompok 4 sebelum diberikan albumin volume kaki
mencit 0,7 mm3 setelah diberikan albumin 0,9 mm3 dan efek obat 0,55 mm3. Pada
hasil pengamatan kelompok 5 obat Natrium diklrofenat volume kaki mencit
sebelum diberikan albumin 0,4 mm3, setelah diberikan albumin 0,16 mm3 dan
efek obat 0,3 mm3.

B. Saran
1. Laboratorium
Laboratorium dan jenis peralatannya merupakan sarana dan prasarana
penting untuk menunjang kelancaran praktikum, jadi kelengkapan laboratorium
perlu ditingkatkan terutama alat-alat dan bahan-bahan yang akan digunakan.
2. Asisten
Semakin semangat dan tetap menjalin hubungan baik sengan praktikan
serta berusaha untuk membuka pikiran praktikan agar lebih paham dalam
melakukan praktikum.

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1
Skema kerja
LAMPIRAN 2
Perhitungan dosis
Lampiran 3
Gambar

Anda mungkin juga menyukai