Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI KLINIK
“ANALGETIK ANTIPIRETIK”

OLEH : YELLIA SYAFITRI (1901078)


S1-4B
KELOMPOK
KAMIS, 22 MEI 2021
NAMA DOSEN : apt. NOVIA SINATA, M.Si
NAMA ASISTEN :
JIHAN FAHIRA SASMITO
MARGARETTA FEBIOLA

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIV RIAU

2021

OBJEK 2
ANALGETIK ANTIPIRETIK

I. TUJUAN PERCOBAAN
a. Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek analgesik
suatu obat.
b. Memahami dasar-dasar perbedaan daya analgesik berbagai analgetika.
c. Mampu memberikan pandangan yang kritis mengenai kesesuaian khasiat yang
dianjurkan bentuk untuk sediaan-sediaan farmasi analgetik.
d. Memahami teknik evaluasi obat antipiretika.
e. Memahami manifestasi dari demam dan penggunaan obat-obatan antipiretika serta
penggunaannya secara kimia

II. TINJAUAN PUSTAKA


Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya. Namun
terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu
tanda terhadap adanya berbagai gangguan tubuh, seperti infeksi kuman, peradangan dan kejang otot
(Guyfon, 1996).
Rasa nyeri sendiri dapat dibedakan dalam tiga kategori :
a. Nyeri ringan    : sakit gigi, sakit kepala, nyeri otot, nyeri haid. Dapat iatasi dengan
asetosal, parasetamol bahkan placebo.
b. Nyeri sedang   : sakit punggung, migrain, rheumatik. Memerlukan analgetik perifer
kuat.
c. Nyeri hebat     : kolik/kejang usus, kolik batu empedu, kolik batu ginjal, kanker. Harus
diatasi dengan analgetik sentral (Katzung, 1998).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang fungsinya adalah
melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan di dalam tubuh,
seperti peradangan (rematik, encok), infeksi-infeksi kuman atau kejang-kejang otot. Penyebab rasa
nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang dapat menimbulkan
kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator
nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir,atau jaringan-jaringan
(organ-organ) lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf-saraf sensoris ke Sistem Saraf
Pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak
besar, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah
histamine, serotonin, plasmakinin-plasmakinin, dan prostaglandin-prostagladin, sertaion-ion kalium
(Mutschler, 1991).
Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan
prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-ujung saraf  bebas di kulit, mukosa
serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksi radang dan kejang-kejang.
Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini
rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak
sinaps via sumsum- belakang, sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari thalamus impuls
kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay dan
Rahardja, 2007).
Terkadang, nyeri dapat berarti perasaan emosional yang tidak nyaman dan berkaitan dengan
ancaman seperti kerusakan pada jaringan karena pada dasarnya rasa nyeri merupakan suatu gejala,
serta isyarat bahaya tentang adanya gangguan pada tubuh umumnya dan jaringan
khususnya. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat menimbulkan ketergantungan
pada pemakai. Untuk mengurangi atau meredakan rasa sakit atau nyeri tersebut maka banyak
digunakan obat-obat analgetik (seperti parasetamol, asam mefenamat dan antalgin) yang bekerja
dengan memblokir  pelepasan mediator nyeri sehingga reseptor nyeri tidak menerima rangsang
nyeri (Green, 2009).
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni
penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap
perangsang ini (Anief, 2000).
Analgetika pada umumnya diartikan sebagai suatu obat yang efektif untuk menghilangkan
sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri lain misalnya nyeri pasca bedah dan pasca bersalin,
dismenore (nyeri haid) dan lain-lain sampai pada nyeri hebat yang sulit dikendalikan. Hampir semua
analgetika memiliki efek antipiretik dan efek anti inflamasi (Katzung, 1998).
Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi
ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi psychis yang
diakibatkan oleh rangsangan sakit (Anief, 2000).
Terdapat perbedaan mencolok antara analgetika dengan anastetika umum yaitu meskipun
sama-sama berfungsi sebagai zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri namun, analgetika
bekerja tanpa menghilangkan kesadaraan. Nyeri sendiri terjadi akibat rangsangan mekanis, kimiawi,
atau fisis yang memicu pelepasan mediator nyeri. Intensitas rangsangan terendah saat seseorang
merasakan nyeri dinamakan ambang nyeri (Tjay dan Rahardja, 2007).
Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping, analgetika di bedakan menjadi
2 kelompok, yaitu :
a. Analgetika yang bersifat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika → kelompok opiat)
b. Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer
dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi dan
antireumatik (Tjay dan Rahardja, 2007).
Berdasarkan atas kerja farmakologisnya, analgetika dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
a. Analgetik narkotik  (analgetik sentral). Analgetika narkotika bekerja di SSP, memiliki
daya penghalang nyeri yang hebat sekali. Dalam dosis besar dapat bersfat depresan
umum (mengurangi kesadaran), mempunyai efek samping menimbulkan rasa
nyaman(euphoria). Hampir semua perasaan tidak nyaman dapat dihilangkan oleh
analgesik narkotik kecuali sensasi kulit.
b. Analgesik non opioid (non narkotik). Disebut juga analgesik perifer karena tidak
mempengaruhi susunan saraf pusat. Semua analgesik perifer memiliki khasiat sebagai
anti piretik yaitu menurunkan suhu badan pada saat demam. Khasiatnya berdasarkan
rangsangan terhadap pengatur kalor dihipotamalus, mengakibatkan vosodilatasi
perifer dikulit dengan bertambahnya pengeluaran kalor disertai banyaknya keluar
keringat.
Pireksia atau demam merupakan gejala umum yang dapat timbul dari berbagai penyakit.
Menurut Guyton dan Hall (2007), demam berarti suhu tubuh di atas normal, dapat disebabkan oleh
kelainan di dalam otak sendiri atau oleh bahan-bahan toksik yang memengaruhi pusat pengaturan
suhu. Timbulnya demam disebabkan respons imunitas tubuh dalam melawan infeksi. Reaksi ini
menimbulkan zat pirogen yang menyebabkan hipotalamus untuk meningkatkan set-point suhu dalam
mengatasi infeksi. Mengatasi demam, dapat digunakan obat-obat yang dapat menekan suhu tubuh
pada keadaan demam atau disebut antipiretik, antifebrile, antithermic, dan febrifugal (Gunawan et al.,
2007).
Demam (pyrexia) merupakan kendali terhadap peningkatan suhu tubuh akibat suhu set point
hipotalamus meningkat. Alasan yang paling umum ketika hal ini terjadi adalah adanya infeksi,
kelainan inflamasi dan terapi beberapa obat (Sweetman, 2008). Demam adalah keadaan dimana suhu
tubuh lebih dari 37,5ºC dan bisa menjadi manifestasi klinis awal dari suatu infeksi. Suhu tubuh
manusia dikontrol oleh hipotalamus. Selama terjadinya demam hipotalamus di reset pada level
temperatur yang paling tinggi (Dipiro, 2008).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor
lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit
autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (penyakit Hodgkin,
Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik dan antihistamin)
(Kaneshiro and Zieve, 2013).
Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah 2 gangguan
sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau
gangguan lainnya (Nelwan, 2009).
Obat – obat antipiretik secara umum dapat digolongkan dalam beberapa golongan yaitu
golongan salisilat, (misalnya aspirin, salisilamid), golongan para-aminofenol (misalnya
acetaminophen, fenasetin) dan golongan pirazolon (misalnya fenilbutazon dan metamizol) (Wilmana,
2007). Acetaminophen, Non Steroid Anti-inflammatory Drugs, dan cooling blanket biasa digunakan
untuk mencegah peningkatan suhu tubuh pada pasien cedera otak agar tetap konstan pada kondisi
suhu ≤ 37,5ºC (Dipiro, 2008). Pemberian obat melalui rute intravena atau intraperitonial biasanya
juga digunakan pada keadaan hipertermia, yaitu keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41ºC. Suhu ini
dapat membahayakan kehidupan dan harus segera diturunkan (Sweetman, 2008).
Obat antipiretik pada umumnya menghambat ekspresi enzim siklooksigenase-2 (Cox-2)
sehingga biosintesis prostaglandin E2 (PGE2) terganggu. Obatobat antipiretik sintetis banyak beredar
dan digunakan masyarakat antara lain salisilat dan para amino fenol. Salisilat merupakan obat tertua
sebagai antipiretik dan telah dikembangkan sebagai natrium salisilat, sedangkan kelompok para
amino fenol dengan derivatnya seperti fenasetin dan asetaminofen. Fenasetin tidak lagi digunakan
karena bersifat toksik dan sekarang yang banyak digunakan adalah metabolit fenasetin yaitu
parasetamol (Djamhuri, 1995).
Bouldin et al. (1999) yang disitasi Valamarthi et al. (2010) menyatakan bahwa obat-obat
antipiretik sintetis pada umumnya mempunyai selektivitas yang tinggi dan bersifat ireversibel dalam
menghambat COX-2, sehingga menimbulkan toksik bagi hati, glomeruli ginjal, korteks otak, dan otot
jantung. Obat antipiretik golongan salisilat mempunyai efek samping antara lain iritasi lambung,
muntah, pembentukan protrombin yang menurun sehingga menimbulkan perdarahan kulit atau
perdarahan lambung pada penderita tukak lambung, sedangkan kelompok para amino fenol berupa
kerusakan sel darah, hati, ginjal, dan stimulasi susunan saraf pusat hingga konvulsi (Djamhuri, 1995).
Oleh karena itu, obat antipiretik hanya digunakan pada saat demam dan tidak boleh
digunakan secara rutin karena bersifat toksik. Selain obat antipiretik sintetis, digunakan juga obat
antipiretik alami. Pada obat antipiretik alami, misalnya yang bersumber dari tanaman cenderung
mempunyai selektivitas yang lebih rendah sehingga mempunyai efek samping yang lebih sedikit.
Oleh karenanya permintaan akan obat-obatan alami terus meningkat. Hal ini mendorong para peneliti
secara intensif mengkaji bahan obat bersumber tanaman (Bouldin et al., 1999 yang disitasi
Valarmathi et al., 2010)

III. ALAT DAN BAHAN


a. Analgetik
i. Metode jentik ekor
1. Hewan percobaan : tikus putih jantan 3 ekor
2. Obat yang dignakan : lar. Morfin HCl 1%, lar. Kodein HCl 6%, larutan
antalgin 10%.
3. Dosis obat : morfin HCl 10mg/kgbb, kodein HCl 120mg/kgbb, antalgin
300mg/kgbb.
4. Rute pemberian obat : intraperitoneal.
5. Alat yang digunakan : alat suntik 1ml, jarum suntik intraperitoneal,
penangas air suhu 50°C, stopwatch, alat penahan tikus yang
memungkinkan ekornya keluar, timbangan tikus
ii. Metode plat panas
1. Hewan percobaan : mencit jantan 6 ekor
2. Obat yang diberikan : Lar. Morfin HCl 0,1% , Lar. Antalgin 1%, Lar.
NaCl 0,9%
3. Dosis yang diberikan : Morfin Hcl 10mg/kgbb, antalgin 100mg/kgbb,
4. Rute pemberian obat : intraperitoneal
5. Alat yang digunakan : plat panas yang dilengkapi sumber panas dengan
thermostat 55-56°C, alat suntik 1ml, stopwatch, timbangan.
iii. Metode siegmund
1. Hewan percobaan : mencit jantan 6 ekor.
2. Obat yang digunakan : Lar. Benzokuinon 0,02% dalam etanol 10%
atau asam asetat 0,1%, Lar. Asetosal 1%, Lar. Antalgin 1%, NaCl
0,9%.
3. Dosis yang diberikan : asetosal 100mg/kgbb, antalgin 100mg/kg.
4. Rute pemberian obat : oral
5. Alat yang diperlukan : seperangkat alat siegmund, stopwatch, alat
suntik 1ml, timbangan mencit, sonde oral
b. Antipiretik :
1. Hewan yang digunakan : mencit
2. Bahan yang digunakan : ragi 10% 0,5 ml/kgbb, asetosal, parasetamol,
antalgin, 50 dan 100 mg/kgbb.
3. Alat yang digunakan : thermometer, timbangan, alat suntik, gelas,
stopwatch, dan alat gelas lainnya.

IV. PROSEDUR KERJA


a. Analgetik
Prosedur metode jentik ekor

1. Sebelum pemberian obat,catat dengan stopwatch berapa waktu yang diperlukan tikus

untuk menjentikkan ekornya keluar dari penangas air. Tiap rangkaian pengamatan

dilakukan 3 kali selang 2 menit. Pengamatan pertama diabaikan.hasil dari pengamatan

terakhir dirata-ratakan dan dicatat sebagai respon normal masing-masing tikus

terhadap stimulus nyeri. Jika perlu, stimulus disesuaikan untuk mencapai respon

normal terhadap stimulus nyeri sekitar 3-5 detik.

2. Suntikkan kepada masing-masing tikus obat-obat berikut :

Tikus I : morfin HCl

Tikus II : kodein HCl

Tikus III : antalgin26

3. Diamkan 10 menit, nilai masing-masing respon tikus terhadap stimulus nyeri. Jika

tikus tidak menjentikkan ekornya keluar dalam waktu 10 detik setelah pemberian
stimulus nyeri, maka dapat dianggap bahwa ia tidak menyadaari stimulus nyeri

tersebut. Jangan biarkan ekornya melampaui waktu dalam air tersebut.

4. Ulangi penilaian respon tikus tiap 20 menit, 30menit, 60 menit, 90menit dan

seterusnya sampai efek analgesik hilang.

5. Tabelkan hasil-hasil pengamatan saudara.

6. Gambarkan kurva yang merefleksikan pengaruh obat-obat yang diberikan terhadap

respon tikus untuk stimulus nyeri.

Prosedur metode plat panas

1. Timbang masing-masing mencit dan beri nomor.

2. Bagi dalam 3 kelompok masing-masing 2 ekor.

3. Letakkan masing-masing mencit dalam kandang plat panas, catat waktu yang

diperlukan sampai mengangkat dan menjilat kaki depannya sebagai waktu respon,

catat sebagai respon normal atau respon sebelum perlakuan.

4. Berikan obat secara intraperitoneal kepada masing-masing kelompok. Kelompok I

deiberikan NaCl fisiologis 10ml/kgbb, kelompok II diberikan Morfin HCl 10mg/kgbb

dan kelompok III diberikan antalgin 100mg/kgbb.

5. Lakukan uji pada plat panasdan catat waktu responnya pada waktu 10, 20, 30, 45, 60

dan 90 menit setelah pemberian obat.27

6. Evaluasi dan bahas percobaan ini. Respon analgetik dinilai positif bila waktu respon

setelah pemberian obat lebih besar dari 30 detik paling kurang 1 kali atau apabila

3/lebih kali memberikan waktu respon 3xrespon normal.

Prosedur metode siegmund


1. Hewan yang digunakan adalah mencit yang menunjukkan geliat secara berulang

dalam waktu 10menit dan paling sedikit 1 geliat dalam 5 menit, setelah penyuntikkan

intraperitoneal 0,2 ml Lar. Benzokuinon 0,02% atau asam asetat 10%.

2. Beri tanda dan timbang bobot tiap hewan.

3. Kelompokkan dalam 3 kelompok, masing-masing terdiri dari 2ekor.

4. Masing-masing kelompok berikan obatnya secara oral I. NaCl 0,9% 10ml/kgbb, II.

Asetosal 100mg/kgbb, III. Antalgin 100mg/kgbb. Setelah 30 menit pada semua mencit

suntikkan secara intraperitoneal 0,2 Lar.benzokuinon atau asam asetat.

5. Letakkan hewan dalam alat uji siegmund.

6. Amati dan catat jumlah geliatannya yang ditunjukkan tiap mencit selama 1 jam tiap 5

menit.

7. Evaluasi data yang diperoleh, nyatakan lama kerja masing-masing obat yang diuji.

b. antipiretik

Prosedur

1. Semua hewan yang digunakan ditimbang dan periksa temperature dasar tubuhnya.

2. Hitung dosis yang diperlukan untuk hewan.

3. Suntikkan suspense ragindalam air suling secara intravena brachial.

4. 15 menit kemudian, hewan-hewan disuntik secara ip dengan suspense obat. Untuk

kelompok 1 berikan asetosal, kelompok 2 berikan parasetamol dan kelompok 3

berikan antalgin. Untuk kelompok 4 adalah kelompok kontrol yang hanya diberi air

suling.

5. Catat suhu rectum pada menit ke 5, 10, 15, 30, 60, dan 120 setelah penyuntikkan ragi.

6. Tabelkan hasil saudara dan buat grafik hubungan antara waktu dan temperature tubuh

hewan.
7. Bandingkan grafik hasil kelompok saudara dengan kelompok lain.

8. Hitung persen proteksi.

9. Bahaslah hasil saudara dan ambil kesimpulan percobaan.

V. HASIL
a. Hasil Analgetik
No Perlakuan 5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’
1 NaCMC 1% 37 30 24 25 23 18 15 13 12 8 3 0
2 Asetosal 100 23 25 19 16 17 9 11 9 4 2 2 0
mg/kgbb
3 Asetosal 200 26 20 18 16 17 10 6 6 7 8 1 0
mg/kgbb
4 Antalgin 100 22 20 15 16 13 17 15 9 6 4 2 0
mg/kgbb
5 Antalgin 200 24 18 19 12 17 15 7 5 1 2 0 0
mg/kgbb
6 Asam mefenamat 22 17 12 16 15 14 6 7 4 2 0 0
100 mg/kgbb
7 Asam mefenamat 27 17 19 14 10 7 3 0 0 1 0 0
200 mg/kgbb

Jumlah geliat perlakuan perwaktu


% Proteksi = 100 - x 100%
Jumlah geliatan kontrol perwaktu

Diket: jumlah geliatan kontrol perwaktu= 208

1. Asetosal 100 mg/kgbb


23
 % Proteksi 5’ = 100 - x 100% = 37,83%

37

25
 % Proteksi 10’ = 100 - x 100% = 16,67%

30

19
 % Proteksi 15’ = 100 - x 100% = 20,83%
24

16
 % Proteksi 20’ = 100 - x 100% = 36%

25

17
 % Proteksi 25’ = 100 - x 100% = 26,08%

23

9
 % Proteksi 30’ = 100 - x 100% = 50%

18

11
 % Proteksi 35’ = 100 - x 100% = 26,67%

15

9
 % Proteksi 40’ = 100 - x 100% = 30,77%

13

4
 % Proteksi 45’ = 100 - x 100% = 66,67%

12

2
 % Proteksi 50’ = 100 - x 100% = 75%

2
 % Proteksi 55’ = 100 - x 100% = 33,33%

0
 % Proteksi 60’ = 100 - x 100% = 0%

2. Asetosal 200 mg/kgbb


26
 % Proteksi 5’ = 100 - x 100% = 29,72%

37
20
 % Proteksi 10’ = 100 - x 100% = 33,33%
30

18
 % Proteksi 15’ = 100 - x 100% = 25%

24

16
 % Proteksi 20’ = 100 - x 100% = 36%

25

17
 % Proteksi 25’ = 100 - x 100% = 26,08%

23

10
 % Proteksi 30’ = 100 - x 100% = 44,44%

18

6
 % Proteksi 35’ = 100 - x 100% = 60%

15

6
 % Proteksi 40’ = 100 - x 100% = 53,85%

13

7
 % Proteksi 45’ = 100 - x 100% = 41,67%

12

8
 % Proteksi 50’ = 100 - x 100% = 0%

1
 % Proteksi 55’ = 100 - x 100% = 66,67%

0
 % Proteksi 60’ = 100 - x 100% = 0%

3. Antalgin 100 mg/kgbb


22
 % Proteksi 5’ = 100 - x 100% = 40,54%

37

20
 % Proteksi 10’ = 100 - x 100% = 33,33%

30

15
 % Proteksi 15’ = 100 - x 100% = 37,5%

24

16
 % Proteksi 20’ = 100 - x 100% = 36%

25

13
 % Proteksi 25’ = 100 - x 100% = 43,48%

23

17
 % Proteksi 30’ = 100 - x 100% = 5,56%

18

15
 % Proteksi 35’ = 100 - x 100% = 0%

15

9
 % Proteksi 40’ = 100 - x 100% = 30,77%

13

6
 % Proteksi 45’ = 100 - x 100% = 50%

12

4
 % Proteksi 50’ = 100 - x 100% = 50%

2
 % Proteksi 55’ = 100 - x 100% = 33,33%

3
0
 % Proteksi 60’ = 100 - x 100% = 0%

4. Antalgin 200 mg/kgbb


24
 % Proteksi 5’ = 100 - x 100% = 35,14%

37

18
 % Proteksi 10’ = 100 - x 100% = 40%

30

19
 % Proteksi 15’ = 100 - x 100% = 20,83%

24

12
 % Proteksi 20’ = 100 - x 100% = 52%

25

17
 % Proteksi 25’ = 100 - x 100% = 26,08%

23

15
 % Proteksi 30’ = 100 - x 100% = 16,67%

18

7
 % Proteksi 35’ = 100 - x 100% = 53,33%

15

5
 % Proteksi 40’ = 100 - x 100% = 61,54%

13
1
 % Proteksi 45’ = 100 - x 100% = 91,67%

12

2
 % Proteksi 50’ = 100 - x 100% = 75%
8

0
 % Proteksi 55’ = 100 - x 100% = 0%

0
 % Proteksi 60’ = 100 - x 100% = 0%

5. Asam mefenamat 100 mg/kgbb


22
 % Proteksi 5’ = 100 - x 100% = 40,54%

37

20
 % Proteksi 10’ = 100 - x 100% = 33,33%

30

15
 % Proteksi 15’ = 100 - x 100% = 37,5%

24

16
 % Proteksi 20’ = 100 - x 100% = 36%

25

13
 % Proteksi 25’ = 100 - x 100% = 43,48%

23

17
 % Proteksi 30’ = 100 - x 100% = 5,56%

18

15
 % Proteksi 35’ = 100 - x 100% = 0%

15

9
 % Proteksi 40’ = 100 - x 100% = 30,77%

13
6
 % Proteksi 45’ = 100 - x 100% = 50%

12

4
 % Proteksi 50’ = 100 - x 100% = 50%

2
 % Proteksi 55’ = 100 - x 100% = 33,33%

0
 % Proteksi 60’ = 100 - x 100% = 0%

6. Asam mefenamat 200 mg/kgbb


27
 % Proteksi 5’ = 100 - x 100% = 27,02%

37

17
 % Proteksi 10’ = 100 - x 100% = 43,33%

30

19
 % Proteksi 15’ = 100 - x 100% = 20,83%

24

14
 % Proteksi 20’ = 100 - x 100% = 44%

25

10
 % Proteksi 25’ = 100 - x 100% = 56,52%

23

7
 % Proteksi 30’ = 100 - x 100% = 61,11%

18

3
 % Proteksi 35’ = 100 - x 100% = 80%
15

0
 % Proteksi 40’ = 100 - x 100% = 0%

13

0
 % Proteksi 45’ = 100 - x 100% = 0%

12

1
 % Proteksi 50’ = 100 - x 100% = 87,5%

0
 % Proteksi 55’ = 100 - x 100% = 0%

0
 % Proteksi 60’ = 100 - x 100% = 0%
0

b. Hasil Antipiretik
No Perlakuan T0 T demam T 15 T 30 T 45 T 60
1 Kontrol NaCMC 1% 36,2°C 38,4°C 38,4°C 38,3°C 38,2°C 38°C
2 Antalgin 100 mg/kg 36,4°C 38,5°C 38,1°C 37,7°C 37,3°C 36,8°C
3 Antalgin 200 mg/kg 36,4°C 38,6°C 38°C 37,5°C 37°C 36,6°C
4 Ibuprofen 100 mg/kg 36,5°C 38,7°C 38,2°C 37,8°C 37,3°C 36,8°C
5 Ibuprofen 200 mg/kg 36,3°C 38,4°C 37,8°C 37,3°C 36,9°C 36,6°C
6 Paracetamol 100 mg/kg 36,5°C 38,4°C 38°C 37,6°C 37,2°C 36,7°C
7 Paracetamol 200 mg/kg 36,4°C 38,7°C 38,3°C 37,8°C 37,2°C 36,5°C

Suhu demam−suhu perlakuan


% Proteksi = x 100%
suhu demam−suhu normal

1. Kontrol NaCMC 1%
38,4 ° C−38,4 ℃
 % proteksi T15 : ×100 %=0 %
38,4 ℃−36,2 ℃

38,4 ° C−38,3 ℃
% proteksi T30 : × 100 %=4,5 %
38,4 ℃−36,2 ℃
38,4 ° C−38,2 ℃
% proteksi T45 : ×100 %=9 %
38,4 ℃−36,2 ℃

38,4 ° C−38 ℃
% proteksi T60 : ×100 %=18 %
38,4 ℃−36,2 ℃

2. Antalgin 100 mg/kg


38,5° C−38,1℃
 % proteksi T15 : ×100 %=19 %
38,5 ℃−36,4 ℃

38,5° C−37,7 ℃
% proteksi T30 : ×100 %=38 %
38,5℃ −36,4 ℃

38,5° C−37,3 ℃
% proteksi T45 : ×100 %=57 %
38,5℃ −36,4 ℃

38,5° C−36,8 ℃
% proteksi T60 : ×100 %=80,9 %
38,5℃ −36,4 ℃

3. Antalgin 200 mg/kg


38,6 ° C−38 ℃
 % proteksi T15 : × 100 %=27,27 %
38,6℃ −36,4 ℃

38,6° C−37,5 ℃
% proteksi T30 : ×100 %=50 %
38,6℃ −36,4 ℃

38,6° C−37 ℃
% proteksi T45 : × 100 %=72,72 %
38,6℃ −36,4 ℃

38,6° C−36,6 ℃
% proteksi T60 : ×100 %=90,9 %
38,6℃ −36,4 ℃

4. Ibuprofen 100 mg/kg


38,7 ° C−38,2 ℃
 % proteksi T15 : ×100 %=22,727 %
38,7 ℃−36,5 ℃

38,7 ° C−37,8 ℃
% proteksi T30 : ×100 %=40,9 %
38,7 ℃−36,5 ℃

38,7 ° C−37,3 ℃
% proteksi T45 : ×100 %=63,636 %
38,7 ℃−36,5 ℃

38,7 ° C−36,8 ℃
% proteksi T60 : ×100 %=86,36 %
38,7 ℃−36,5 ℃

5. Ibuprofen 200 mg/kg


38,4 ° C−37,8 ℃
 % proteksi T15 : × 100 %=28,57 %
38,4 ℃−36,3 ℃

38,4 ° C−37,3 ℃
% proteksi T30 : × 100 %=52,38 %
38,4 ℃−36,3 ℃

38,4 ° C−36,9 ℃
% proteksi T45 : ×100 %=71,42 %
38,4 ℃−36,3 ℃

38,4 ° C−36,6 ℃
% proteksi T60 : × 100 %=85,71 %
38,4 ℃−36,3 ℃

6. Paracetamol 100 mg/kg


38,4 ° C−38 ℃
 % proteksi T15 : ×100 %=21,05 %
38,4 ℃−36,5 ℃

38,4 ° C−37,6 ℃
% proteksi T30 : × 100 %=42,10 %
38,4 ℃−36,5 ℃

38,4 ° C−37,2 ℃
% proteksi T45 : ×100 %=63,157 %
38,4 ℃−36,5 ℃

38,4 ° C−36,7 ℃
% proteksi T60 : × 100 %=89,47 %
38,4 ℃−36,5 ℃
7. Paracetamol 200 mg/kg
38,7 ° C−38,3 ℃
 % proteksi T15 : ×100 %=17,39 %
38,7 ℃ −36,4 ℃

38,7 ° C−37,8 ℃
% proteksi T30 : ×100 %=39,13 %
38,7℃ −36,4 ℃

38,7 ° C−37,2 ℃
% proteksi T45 : ×100 %=65,217 %
38,7 ℃ −36,4 ℃

38,7 ° C−36,5 ℃
% proteksi T60 : ×100 %=95,65%
38,7 ℃ −36,4 ℃

VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum mengenai anlgetik dengan tujuan agar mahasiswa dapat mengenal berbagai
cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek analgesik suatu obat, memahami dasar-dasar
perbedaan daya analgesik berbagai analgetika, serta mampu memberikan pandangan yang kritis
mengenai kesesuaian khasiat yang dianjurkan bentuk untuk sediaan-sediaan farmasi analgetik.Dan
hasil yang didapat dilihat dari geliat pada hewan uji disetiap waktu berbeda setelah diberikan
perlakuan yang berbeda pula. Ada yang diberikan NaCMC 1%, ada yg diberikan Asetosal 100
mg/kgbb, Asetosal 200 mg/kgbb, Antalgin 100 mg/kgbb, Antalgin 200 mg/kgbb, Asam mefenamat
100 mg/kgbb, lalu ada juga yang diberikan Asam mefenamat 200 mg/kgbb. Setelah didata geliat
yang tejadi pada hewan uji hal yang dilakukan selanjutnya adalah menghitung % proteksi dengan
rumus :

% Proteksi = 100 - Jumlah geliat perlakuan perwaktu x 100%

Jumlah geliatan kontrol perwaktu

Dengan jumlah geliat hewan uji yang berbeda disetiap waktunya, maka berbeda pulalah %
proteksinya.

Pada praktikum kali ini menggunakan pepton sebagai penginduksi demam. Pepton merupakan
protein yang digunakan sebagai induksi demam pada mencit. pepton merangsang pelepasan pirogen
endogen yg dihasilkan oleh makrofag sehingga menyebabkan reaksi pirogen endogen dan
merangsang hipotalamus utk meningkatkan sintesis prostaglandi sehingga dapat meningkatkan suhu
tubuh. Demam dapat disebabkan gangguan otak atau akibat bahan toksik yang mempengaruhi pusat
pengaturan suhu. Protein merupakan salah satu jenis pirogen yang dapat menyebabkan efek
perangsangan terhadap pusat pengaturan suhu sehingga menimbulkan demam.

Analgesik (Obat-obatan penekan fungsi sistem saraf pusat) digolongkan menjadi dua yaitu
analgesik narkotik dan analgesik non narkotik. Analgesik narkotik khusus digunakan untuk
menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura dan kanker, sedangkan analgesik non narkotik yang
terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.

Mekanisme kerja kedua golongan obat tersebut pun berbeda, obat analgesik narkotik bekerja
pada SSP (sistem saraf pusat) yaitu apabila obat narkotik sudah memasukin SSP obat tersebut akan
terikat pada reseptor, sehingga menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ (kalsium) ke dalam
sel, selain itu ikatan obat-reseptor ini dapat pula mengakibatkan terjadinya hiperpolarisasi ion K+
(kalium) dikarenakan meningkatnya pemasukan ion K+ ke dalam sel. Hasil dari pengurangan kadar
ion kalsium (CA+) dalam sel menyebabkan terjadinya pengurangan lepasnya serotonin, dan peptida
dalam otak yang berperan sebagai penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan
mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat. Sedangkan analgetik non narkotik atau disebut
pula sebagai NSAIDs (non-steroidal anti-inflamatory drugs) merupakan obat yang dapat
menghambat terjadinya sintesis prostaglandin, yaitu dengan cara menghambat siklooksigenase
(COX). Siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yang dapat disebut COX-1 dan COX-2. COX-1
menghasilkan protasiklin yang bersifat sitoprotektif sedangkan COX-2 sebagai induksi stimulus
inflamasi.

Penggunaan obat analgesik baik analgesik narkotik ataupun analgesik non narkotik (NSAID)
secara umum banyak menyebabkan adverse drug reaction 3 (ADR) atau reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD) yang telah dilaporkan oleh berbagai badan regulasi obat pada berbagai uji
klinik dan studi epidemiologi. Obat golongan analgesik narkotik dapat menyebabkan ketergantungan
bagi pasien sedangkan obat analgesik non narkotik, ROTD yang paling sering terjadi adalah reaksi
yang mempengaruhi saluran pencernaan, khususnya dispepsia dan perdarahan saluran pencernaan
bagian atas. Gangguan saluran cerna akibat penggunaan NSAID mempunyai rentang tingkat
keparahan yang bervariasi, dari mulai kerusakan mukosa yang bersifat asimptomatik, keluhan
keluhan seperti nyeri abdomen, heartburn dan dispepsia, sampai komplikasi saluran cerna yang
bersifat serius seperti pembentukan ulkus atau perdarahan saluran cerna yang memerlukan perawatan
di rumah sakit. Semua bentuk keluhan dan masalah yang timbul tersebut melibatkan berbagai tingkat
kerusakan mukosa lambung yang terjadi karena adanya penghambatan prostaglandin.

Obat analgesik di Indonesia banyak beredar di pasaran dalam bentuk sediaan tablet dengan
nama paten maupun nama generik. Tercatat dalam ISO 2006 terdapat 305 merk obat yang
mengandung analgesik asetaminofen yang dari tahun ke tahun semakin bertambah.

Antipiretik adalah kelompok obat-obatan yang dapat menurunkan temperature tubuh.


Pengobatan dengan antipiretik ini sangat penting pada keadaan infeksi. Biasanya efek antipiretik
adalah sebagai efek samping dari obat-obat analgetika dan antiinflamasi. Prinsip penentuan aktivitas
antipiretik ini adalah adanya respon turun panas dari hewan yang didemamkan oleh obat yang
digunakan. Dalam percobaan ini anda akan dibekali dengan menentukan evaluasi obat antipiretika.

Pada praktikum kali ini menggunakan mencit sebagai hewan uji, dan diberikan perlakuan terhadap
mencit ada yang diberikan Kontrol NaCMC 1%, Antalgin 100 mg/kg, Antalgin 200 mg/kg, Ibuprofen
100 mg/kg, Ibuprofen 200 mg/kg, Paracetamol 100 mg/kg, dan Paracetamol 200 mg/kg. Dimana
nantinya akan diukur suhu mencit pada waktu berbeda yaitu pada suhu normal atau sebelum
diberikan perlakuan, lalu pada menit ke-15, menit ke-30, menit ke-45 dan menit ke-60 setelah
diberikan perlakuan.
Setelah seluruh prosedur dilakukan, praktikan pun telah mendapatkan hasil sesuai tabel diatas,
lalu yang harus dilakukan selanjutnya adalah menghitung persen proteksi dengan rumus :

% Proteksi = Suhu demam-suhu perlakuan x 100% suhu demam-suhu normal

Dari perhitungan dengan rumus tersebut didapatkan hasil persen proteksi pada mencit dengan
perlakuan control NaCMC 1% pada menit ke-15 sebesar 0%, menit ke-30 4,5%, menit ke-45 9% dan
menit ke-60 18%. Perlakuan dengan Antalgin 100 mg/kg pada menit ke-15 19%, menit ke-30 38%,
menit ke-45 57% dan menit ke-60 80,9%. Perlakuan dengan Antalgin 200 mg/kg pada menit ke-15
27,27%, menit ke-30 50%, menit ke-45 72,72% dan menit ke-60 90,9%. Perlakuan dengan Ibuprofen
100 mg/kg pada menit ke- 15 22,727%, menit ke-30 40,9%, menit ke-45 63,636% dan menit ke-60
86,36%. Perlakuan dengan Ibuprofen 200 mg/kg pada menit ke-15 28,57%, menit ke-30 52,38%,
meit ke-45 71,42% dan menit ke-60 85,71%. Perlakuan dengan Paracetamol 100 mg/kg pada menit
ke-15 21,05%, menit ke-30 42,1%, menit ke-30 63,157% dan menit ke-60 89,47%. Lalu pada
perlakuan dengan Paracetamol 200 mg/kg menit ke-15 17,39%, menit ke-30 39,13%, menit ke-45
65,217% dan menit ke-60 95,65%. Dari hasil yang didapat dapat disimpulkan bahwa semakin lama
waktu atau durasi mencit yang diberikan perlakuan maka semakin besar persen proteksinya.

Demam (pyrexia) merupakan kendali terhadap peningkatan suhu tubuh akibat suhu set point
hipotalamus meningkat. Alasan yang paling umum ketika hal ini terjadi adalah adanya infeksi,
kelainan inflamasi dan terapi beberapa obat. Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih dari
37,5ºC dan bisa menjadi manifestasi klinis awal dari suatu infeksi. Suhu tubuh manusia dikontrol
oleh hipotalamus. Selama terjadinya demam hipotalamus di reset pada level temperatur yang paling
tinggi.

Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor
lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit
autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (penyakit Hodgkin,
Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat -obatan (antibiotik dan antihistamin). Hal
lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah 2 gangguan sistem saraf
pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya.

Obat-obat antipiretik sintetis pada umumnya mempunyai selektivitas yang tinggi dan bersifat
ireversibel dalam menghambat COX-2, sehingga menimbulkan toksik bagi hati, glomeruli ginjal,
korteks otak, dan otot jantung. Obat antipiretik golongan salisilat mempunyai efek samping antara
lain iritasi lambung, muntah, pembentukan protrombin yang menurun sehingga menimbulkan
perdarahan kulit atau perdarahan lambung pada penderita tukak lambung, sedangkan kelompok para
amino fenol berupa kerusakan sel darah, hati, ginjal, dan stimulasi susunan saraf pusat hingga
konvulsi.

Oleh karena itu, obat antipiretik hanya digunakan pada saat demam dan tidak boleh
digunakan secara rutin karena bersifat toksik. Selain obat antipiretik sintetis, digunakan juga obat
antipiretik alami. Pada obat antipiretik alami, misalnya yang bersumber dari tanaman cenderung
mempunyai selektivitas yang lebih rendah sehingga mempunyai efek samping yang lebih sedikit.
Oleh karenanya permintaan akan obat- obatan alami terus meningkat.
VII. KESIMPULAN
a. Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa
sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
b. Pireksia atau demam merupakan gejala umum yang dapat timbul dari berbagai
penyakit.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Anief, M. 2000. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta
Goodman and Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, diterjemahkan oleh Amalia.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Guyton dan Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi  Kedokteran. EGC: Jakarta.

Green. 2009. Analgetika. Available online at: http://greenhati.blogspot.com/2009/05/obat-


analgetik dan farmakodinamikanya.html (diakses 20 Maret 2014).
Katzung, G. B. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi keenam. EGC: Jakarta.

Medicastore. 2006. Obat Analgesik


Antipiretik. http://medicastore.com/apotik_online/obat_saraf_otot/obat_nyeri.htm (diakse
s pada tanggal 20 Maret 2014).
Mutschler,E. 1991. Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi & Toksikologi edisiV. Penerbit
ITB: Bandung.
Tjay, T.H dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. PT Gramedia: Jakarta.

IX. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai