Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Insiden
dan prevalensinya semakin meningkat dan sudah merupakan masalah kesehatan
global.
Di negara-negara barat CKD merupakan sebuah epidemi dengan angka
pertumbuhan dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade terakhir
terjadi peningkatan prevalensi gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal terminal yang
memerlukan terapi pengganti ginjal Tidak hanya itu, prevalensi CKD stadium awal
juga turut mengalami peningkatatan. Diperkirakan satu dari sembilan orang Amerika
Serikat mengidap CKD dan sebagian besar tidak menyadari hal ini.
Tiga strategi yang dapat membantu untuk memperlambat progresifitas CKD
meliputi: identifikasi dini penderita, modifikasi faktor risiko dan manajemen secara
paripurna. Beberapa faktor risiko untuk terjadinya CKD adalah umur diatas 60
tahun, diabetes melitus, hipertensi atau penyakit kardiovaskular, adanya riwayat
keluarga yang menderita sakit ginjal, infeksi saluran kemih yang berulang,
penggunaan obat nefrotoksik berulang (NSAID, antibiotik, zat kontras) dan kontak
dengan bahan kimia yang berulang.
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis (GN) yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuri masif
3.5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduri. Pada proses awal atau SN ringan untuk
menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri masif
merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin
serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang, proteinuria juga
berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.
Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan
nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta
hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal
kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir

1
Kondisi proteinuri yang berat, hematuri, hipoalbumniemia,
hiperkolesterolemia, edema dan hipertensi yang tidak terdiagnosa atau tidak teratasi
akan berkembang secara progresif menjadi kerusakan gromeruli yang akan
menurunkan Laju Filtrasi Gromerulus (LFG) yang akhirnya menjadi gagal ginjal.

1.2. Tujuan
a. Tujuan Umum
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk melengkapi
syarat kepanitraan klinik senior (KKS) SMF Interne di
Rumah Sakit Umum Daerah Solok.
b. Tujuan Khusus
Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan CKD dan
Sindrom Nefrotik

1.3. Manfaat

a. Bagi Mahasiswa
Sebagai bahan acuan dalam memahami dan
mempelajari mengenai Gastritis dan CKD
b. Bagi Institut Pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan
perbandingan bagi kegiatan yang ada kaitannya dengan
pelayanan kesehatan, khususnya yang berkaitan
dengan Gastritis dan CKD.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
1. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
a. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal.

Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik


1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG),
dengan manifestasi:
Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau rutin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73 m 2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Tabel 1 : Kriteria penyakit ginjal kronik

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan
LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m 2, tidak termasuk kriteria
penyakit ginjal kronik.

b. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta
penduduk per tahun.
c. Etiologi

3
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara
dengan Negara lain. Tabel 4 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit
ginjal kronik di Amerika Serikat.Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia seperti pada Tabel 5.
Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya, nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.

Tabel 4. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat (1995-1999)


Penyebab Insiden
Diabetes Melitus 44%

- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstitialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%

Tabel 5. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialis di Indonesia Tahun 2000
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan Infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%

d. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

4
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut :

( 140umur ) X berat badan


ml /menit/1,73 m2= =
72 X kreatinin plasma ( mg/dl )
LFG

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut tampak pada table berikut :


Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73m2)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal
1 90
atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
2 60 89
ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
3 30-59
sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
4 15-29
berat
Gagal ginjal
5 < 15 atau dialysis

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Penyakit Tipe mayor (contoh)


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
- Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasia)
- Penyakit vaskuler (Penyakit pembuluh darah
Penyakit Ginjal non
besar, hipertensi, mikroangiopati)
diabetes
- Penyakit tubulointertitial (pielonefritis kronik,
batu, obstruksi, keracunan obat)
- Penyakit kistik (ginjal polikistik)
- Rejeksi Kronik
Penyakit pada - Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
transplantasi - Penyakit recurrent (glomerular)
- Transplant glomerulopathy
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi

e. Patofisiologi

5
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
structural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis rennin-agiotensin-aldosteron-intravenal, ikut memeberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.Aktivasi
jangka panjang aksis rennin-agiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor (TGF- ).Beberapa hal yang
juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik
adalah albuminaria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan,
tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30% mulai terjadi keluhan pada pasien seperti : nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah
30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya.Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga
akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang serius, dan pasien sudah memerlukan

6
terapi pengganti ginjal antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Secara umum terdapat tiga mekanisme patogenesis terjadinya CKD yaitu


glomerulosklerosis, parut tubulointerstisial, dan sklerosis vascular.
Glomerulosklerosis
Proses sklerosis glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh
sel intra glomerular dan sel ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-
glomerular dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik (endotel, sel
mesangium sel epitel), maupun sel ekstrinsik (trombosit, limfosit,
monosit/makrofag).

Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih
berkorelasi dengan fungsi ginjal dibangdingkan dengan
glomerulosklerosis. Proses ini termasuk inflamasi, proliferasi
fibroblas interstisial dan deposisi ECM yang berlebih. Sel tubular
yang mengalami kerusakan berperan sebagai antigen presenting
cell yang mengekspresikan cell adhesion molecules dan
melepaskan sel mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan
growth factor, serta meningkatkan produksi ECM dan menginvasi
ruang periglomerular dan peritubular. Resolusi deposisi ECM
tergantung pada dua jalur yaitu aktivasi matriks metalloproteinase
dan aktivasi enzim proteolitik plasmin oleh aktivator
plasminogen.Parut ginjal terjadi akibat gangguan kedua jalur
kolagenolitik tersebut, sehingga teradi gangguan keseimbangan
produksi ECM dan pemecahan ECM yang mengakibatkan fibrosis
yang irreversibel.

Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular
oleh berbagai sebab (misalnya diabetes, hipertensi,
glomerulonefritis kronis) akan menimbulkan terjadinya eksaserbasi
iskemi interstisial dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan

7
menyebabkan sel tubulus dan fibroblas untuk memproduksi ECM
dan mengurangi aktivitas kolagenolitik. Kapiler peritubular yang
rusak akan menurunkan produksi proangiogenic vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan ginjal yang mengalami
parut akan mengekspresikan thrombospondin yang bersifat
antiangiogenic sehingga terjadi delesi mikrovaskular dan iskemi.

f. Diagnosis
1. Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) dan lain sebagainya
Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihanvolume cairan (volume overload), neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampaikoma.
Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistorfi renal,
payah jantung, asidosismetabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida)

2. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
Sesuai dengan penyakit yang mendasari
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunanLFG yang dihitung menggunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat,hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,hipokalsemia, asidosis
metabolik.
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria

8
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
Foto Polos Abdomen, bisa tampak batu radio-opak
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yangsudah mengalami
kerusakan.
Pielografi antegrad dan retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanyahidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi
Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi

4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yg masih mendekati normal,dimana diagnosis secara
noninvasif tidak bisa ditegakkan.Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil
terapi yg telah diberikan.Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan
dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Terapi pengganti fungsi ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

9
Tabel 6. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
LFG
Derajat (ml/mnt/1,73 Rencana Tatalaksana
m2)
-Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
1 >90 evaluasipemburukan ( progression ) fungsi
ginjal, memperkecilrisiko kardiovaskuler
- Menghambat pemburukan (progression)
2 60 89
fungsi ginjal
3 30 59 - Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 29 - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 -Terapi pengganti ginjal

1. Terapi Spesifik Penyakit Terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal
tidak terjadi.Pada ukuran ginjal yang masih normal secara uktrasonografi,
biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat memntukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik.Sebaliknya, bila LFG sudah menurun
samai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak
banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengkuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik.Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-
obat nefrotoksisk, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit
dasarnya.

3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal


Factor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Skemati tentang pathogenesis perburukan fungsi
ginjal dapat dilihat pada gambar berikut :

10
Kompensasi
Netropat hiperfiltrasi dan
hipertrofi

Berkurangnya
jumlah netron

Hipertensi Kebocoran protein


Angiostensin II
hiperemik lewat glomerulus

Meningkat ekspresi growth


Glomeruosklerosis
mediatoral inflamasi/fibrosis

Gambar 1.Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus :Pembatasan


Asupan Protein. Pembatan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0,6-0,8/kg.bb/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan
protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari.Di butuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi protein
dapat ditingkatkan.Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak
disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama dieksresikan mealui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein pada pasien
penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan subtansi nitrogen dan ion
anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut
uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik.

Terapi farmakologis

11
Pemakaian obat antihipertensi disamping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus
dan hipertropi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian
tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan
asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Dsamping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terakait dengan
derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria
merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain
derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat enzim Konverting
Angiostenin, melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburuan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihpertensi dan antiproteinuria.

Tabel 7. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LFG Fosfat
Asupan Protein g/kg/hari
ml/menit g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi

25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk 0,35 10 g


gr/kg/hr
Nilai biologi tinggi
5-25 10 g
0,6-0,8/kg/hari, termasuk 0,35
gr/kg/hr
Protein nilai biologi tinggi atau
Tambahan 0,3 g asam amino
<60 (sindrom esensial atau asam keton 9 gr
nefrotik)
0,8/kg/hr (+1 gr protein/ g

12
proteinuria atau
0,3 g/kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupkan hal
yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardivaskular.Hal-hal yang termasuk dalam
pencegahan dan terapi penyakit kardivaskular adalah, pengendalian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian hiperfosfstemia dan terapi
teradap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.Semua ini
terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal
kronik secara keseluruhan.

5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi


Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Beberapa diantara komplikasi tersebut akan dibicarakan pada bagian
ini, sedangkan sisanya dibicarakan pada bagian lain.

Table 8.Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik


Derajat Penjelasan LFG(ml/mnt) Komplikasi
Kerusakan ginjal
1 90
dengan LFG normal
Kerusakan gnjal
- Tekanan darah
2 denan penurunan LFG 60-89
mulai meningkat
ringan
Penruunan LFG - Hiperfosfatemia
- Hipokalceia
sedang
- Anemia
3 30-59 - Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistune
mia
4 Penurunan LFG berat 15-29 - Malnutrisi
- Asidosis
Metabolik

13
- 5Cenderung
hiperkalemia
- Dislipidemia
Gagal ginjal - Gagal jantung
5 < 15
- Uremia

a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik.Anemia
pada penyakit ginja kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropotin.Hal-hal lain yang ikut berperan dalam trjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah, masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap
anemia dimualai saat kadar hemoglobin 10g% atau hematokrit 30%,
meliputi evaluasi terhadap status besi(kadar besi, serum,kapasitas ikat besi
total), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan lain sebagainya.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya,
disamping penyebab lain bila ditemukan pemberian eritropotein merupakan
hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, statur besi harus selalu
mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya
karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian
transfuse pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati0hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfuse darah
yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan
tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin
menurut berbagai studi klinik adalah 11-12g/dl.

b. Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
sering terjadi.Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar.
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone kalsitriol (1.25(OH)2D3).
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorsi fosfat di saluran

14
cerna.dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut
berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
c. Mengatasi Hiperfosfatemia
- Pembatasanan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet
pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam
daging dan produk hean seperti susu dan telur. Asupan fosfat yang terlalu ketat
tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.
- Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral, untuk menghambat absorsi fosfat yang berasal dari
makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan kalsium acetate.
- Pemberian bahan kalsium memetik. Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis
obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kalenjer paratiroid,dengan
nama sevelamer hidrokhlotida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent,
dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping
yang minimal.

Tabel 9.Pengikat Fosfat, Efikasi dan efek Sampingnya


Cara/Bahan Efikasi Efek samping
Diet rendah fosfat Tidak selalu mudah Malnutrisi
Al(OH)3 Bagus Intoksikasi Al
Ca CO3 Sedang Hipercalcemia
Ca Acetat Sangat bagus Mual, Muntah
Mg(OH)2/MgCO3 Sedang Ontoksikasi Mg

d. Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3)


Pemberian Kalsitriol 1.25(OH)2D3) untuk mengatasi osteodistrofi renal
banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat
meningkatkan absorsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga dikhwatirkan
mengakibatkan penumpukan garam kalsium varbonat di jaringan, yang disbut
kalsifikasi metastatic.Disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang
berlebihan terhadap kalenjer paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi

15
pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormone paratiroid
(PTH) > 2,5 kali normal.

e. Pembatasan Cairan dan Elektrolit


Pembatasan asupan cairan air pada pasien penyakit ginjal kronik sangat
perlu dilakukan.Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan kompikasi
kardiovaskular.Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang
keluar. Bai melalui urin maupun insensible water lose. Dengan berasumsi bahwa
air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 ml/hari, maka air
yang masuk dianjurkann 500-800ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan
natrium.Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal.Oleh karena itu, pemberian obat-obatan yang
mengandung kalium dan makanan yang mengandung tinggi kalium. Pembatasan
natrium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. pembatasan natrium dimaksudkan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yan diberikan,
disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terajadi.

6. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt.Terapi penggannti tersebut dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialis atau transplantasi ginjal.

2. Sindrom Nefrotik
A. Definisi
Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit gromerular
yang ditandai dengan proteinuri massif lebih dari 3.5 gram/hari ,hipoalbuminemia kurang
dari 3,5g/hari, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas

B. Klasifikasi dan Etiologi


I. Sindrom nefrotik pada anak-anak / infantil.
Sindrom nefrotik infantil adalah sindrom nefrotik yang terjadi pada usia tiga bulan
sampai satu tahun, sedangkan jika terjadi sebelum usia tiga bulan disebut sebagai

16
sindrom nefrotik kongenital. Indonesia dilaporkan ada enam per 100.000 anak per tahun
menderita sindrom nefrotik.
II. Sindrom nefrotik pada dewasa:
a. Glomerulonefritis primer (Sebagian besar tidak diketahui sebabnya).
1) Glomerulonefritis membranosa
Jarang menjadi penyebab SN pada anak tetapi sering pada dewasa. Hampir
semua pada orang dewasa. Pada mikroskop biasa terlihat gambaran penebalan
dinding kapiler, pada mikroskop elektron terlihat kelainan membrana basalis.
Kelainan ini jarang memberikan respon terhadap steroid dan prognosis mortalitas
lebih kurang 50%
2) Glomerulonefritis Kelainan Minimal
Merupakan penyebab utama SN anak-anak, Pada dewasa hanya 20%. Dengan
mikroskop biasa tidak tampak kelainan yang jelas pada glomerulus sedangkan ada
mikroskop elektron dapat dilihat sel epitel kapiler glomerulus yang membengkak
dan bervakuol. Fungsi ginjal biasanya tidak banyak terganggu dan tidak ada
hipertensi.

3) Glomerulonefritis membranoproliferatif

Biasa ditemukan pada anak besar dan orang dewasa muda. Perjalanan penyakit
progresif lambat, tanpa remisi dan berakhir dengan payah ginjal. Ciri khasnya
adalah kadar komplemen serum yang rendah

4) Glomerulonefritis pasca streptokok

b. Glomerulonefritis sekunder akibat:


1) Infeksi
i. HIV, hepatitis virus B dan C
ii. Sifilis, malaria, skistosoma
iii. Tuberkulosis, lepra

2) Keganasan
Adenokarsinoma paru, kanker payudara, kolon, bronkus, limfoma hodgkin,
myeloma multiple, dan karsinoma ginjal
3) Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, arthritis reumatoid, MCTD (Mixed connective
tissue disease)

17
4) Efek Obat dan Toksin
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAIN), preparat emas, penisilamin, kaptopril,
heroin
5) Lain-lain: Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf kronik,
refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.

C. Patofisiologi
Sindrom nefrotik dapat terjadi karena perubahan struktur glomerulus yang dapat
terjadi karena kerusakan permukaan endotel, kerusakan membrana basalis dan atau
kerusakan podosit oleh beberapa faktor yang disebutkan diatas. Satu atau lebih
mekanisme ini akan terjadi pada salah satu tipe SN.

D. Manifestasi Klinis
Gejala utama yang ditemukan adalah:
1. Proteinuri >3.5 g/ hari pada dewasa atau 0.05 g/ kg BB/ hari pada anak-anak.
2. Hipoalbuminemia < 30 g/ l
3. Edema generalisata, edema terutama jelas dikaki, namun dapat ditemukan edema
muka, ascites dan efusi pleura.
4. Hiperlipidemia. umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
5. Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan arteri.

Kadang-kadang tidak semua tidak semua gejala tesebut diatas ditemukan. Ada yang
berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yang masif serta hipoalbuminemia
sudah cukup untuk menengakkan diagnosis SN.

a. Proteinuria
Nefrotik diabetika adalah penyebab paling sering dari nefrotik proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal mambrana basalis glomerulus (MBG)
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge Barrier) pada SN keduanya terganggu. Proteinuria
dibedakan menjadi proteinuria selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul
protein yang keluar melalui urin. Proteinuri selektif apabila protein yang keluar terdiri
dari molekul yang kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif apabila protein

18
yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuri
ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.

b. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin
hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh
proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati,
tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminemia dapat juga terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme
albumin oleh tubulus proksimal.
c. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan intertisium dan terjadi edema.
Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium
dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskuler tetapi
juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.

E. Komplikasi
a. Keseimbangan nitrogen
Proteinuri masif pada SN menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif.
Penurunan masa otot sering ditemukan (10% - 20%) tetapi gejala ini tertutup oleh
gejala edema anasarka, dan baru tampak setelah edema menghilang.
b. Hiperlipidemia dan lipiduri

19
Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari
normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kolesterol disebabkan peningkatan
LDL ( Low Density Lipoprotein ), lipoprotein utama pangangkut kolesterol, LDL yang
tinggi ini disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. lipiduri
ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel cast seperti badan lemak berbentuk
oval (Oval Fat Boddies) dan Fatty cast .

c. Hiperkoagulasi
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktifitas berbagai faktor
koagulasi intinsik dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek
meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis.
d. Metabolism kalsium dan tulang
Vitamin D merupakan unsur yang penting dalam metabolisme kalsium dan tulang
pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekresikan melalui urin sehingga
menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH) 2D plasma
juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan.
Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi dan
hipoparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai.
e. Infeksi
Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan gangguan
sistem komplemen. Penurunan kadar IgG, IgA, dan Gamma Globulin sering
ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang
meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam
sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini
dikaitkan dengan keluarnya transferin dan Zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat
berfungsi dengan normal.
f. Gangguan fungsi ginjal
Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya
nekrosis tubuler akut, mekanisme lain yang menjadi penyebab gagal ginjal akut
adalah edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.
g. Komplikasi lain
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada pasien SN dewasa terutama apabila
disertai proteinuri masif, asupan oral yang kurang dan proses katabolisme yang tinggi.

20
Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan dengan
retensi natrium dan air.

F. Diagnosa
a. Anamnesis: Bengkak seluruh tubuh & buang air kecil warna keruh
b. Pemeriksaan fisik: edema anasarka & asites
c. Laboratorium: proteinuri masif, hiperlipidemia, hipoalbuminemia, (<3.5 gr/ l)
lipiduria, hiperkoagulabilitas.
d. Pemeriksaan penunjang
Urinalisis, ureum, creatinin, tes fungsi hati, profil lipid, elektrolit.
Gula darah, hemostasis, pemeriksaan imunologi, biopsi ginjal,proteiun urin
kuantitatif.

Pada pemeriksaan analisis darah, kadar BUN dan kreatinin mungkin bisa atau tidak
naik. Jika BUN dan kreatinin meningkat berarti pasien mempunyai penyakit gagal ginjal
dan prognosisnya buruk. Biasanya ditemukan penurunan kalsium plasma. Diagnosis pasti
melalui biopsi ginjal. Walaupun SN merupakan indikasi utama biopsi ginjal, namun ada
pengecualian: anak berusia 1 tahun - pubertas. biasanya jenis perubahan minimal dan
responsif terhadap steroid. Biopsi perlu dilakukan untuk sindrom nefrotik kongenital

G. Diagnosa Banding

a. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal, edema
Quincke.
b. Glomerulonefritis akut
c. Lupus sistemik eritematosus.

H. Penatalaksanaan

Pengobatan SN terdiri dari pengobatan yang spesifik yang ditujukan terhadap

penyakit dasar dan pengobatan non spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengotrol

edema dan mengobati komplikasi.

21
Diuretik disertai dengan diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu

mengobati edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi

dengan tiazid, metalazon, acetazolamid.

Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hiperalbuminemia dan mengurangi

komplikasi resiko yang timbulkan. Pembatasan asupa protein yang diberikan 0,8-1,0

g/kg berat badan/hari dapat mengurangi proteinuria.

Obat penghambat enzim konversi angiotensin dan antagonis reseptor

angiotensin II dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai

efek aditif dalam menurunkan proteinuria.

Resiko tromboemboli meningkat pada SN dan perlu mendapat penannganan,

walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversi tetapi pada suatu

studi terbukti memberikan suatu keuntungan.

Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan resiko

penyakit kardiovaskular tetapi bukti klinik dalam populasi menyokonng pendapat

perlunya mengontrol keadaan ini, obat penurun lemak golongan statin seperti

simvastatin, lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, triglserid dan meningkatkan

kolesterol HDL.

22
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki Laki
Umur : 35 Tahun
Status perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Koto Hilalang
Pekerjaan : Buruh bangunan
Tanggal Masuk : 7 juli 2017

3.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kaki Bengkak (edema) yang hilang timbul setelah di obati sejak 1 bulan yang lalu
sebelum masuk rumah sakit.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Kaki bengkak (edema) yang hilang timbul setelah di obati sejak 1 bulan
yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak juga terjadi di daerah
wajah. Kaki terasa padat ketika berjalan. Bengkak terjadi bergantian pada
kedua sisi kaki. Pasien juga merasakan pegal pegal pada tubuh, letih dan
lesu. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya muntah sejak 1 minggu
yang lalu dan mual sejak 1 bulan yang lalu. Pasien merasakan kembung
setelah makan dan Buang air besar pasien juga encer.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Pasien belum pernah dirawat sebelumnya

23
b. Riwayat hipertensi disangkal
c. Riwayat penyakit jantung disangkal
d. Riwayat diabetes mellitus disangkal
e. Riwayat trauma disangkal
f. Pernah berobat ke puskesmas dan bengkak hilang setelah meminum obat,
namun bengkak kambuh lagi setelah obat habis.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat hipertensi dalam keluarga disangkal
b. Riwayat DM dalam keluarga disangkal
c. Riwayat Penyakit Ginjal dalam keluarga disangkal
d. Riwayat penyakit jantung dikeluarga disangkal
e. Riwayat penyakit paru keluarga disangkal

5. Riwayat Psikososial
Pasien seorang laki laki berumur 35 tahun bekerja sebagai seorang buruh
bangunan. Pasien memiliki riwayata merokok dan minum minuman energi
(penambah stamina)
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : composmentis cooperatif
1. Vital Signs
a. Tekanan Darah : 140/90 mmHg
b. Frekuensi Nadi : 63 x/i reguler
c. Frekuensi Napas : 20 x/menit
d. Suhu : 36,1 C
2. Status Gizi :
a. Berat Badan : 58 kg
b. Tinggi Badan : 165 cm
c. BMI : 20,3 (normal)
3. Status Generalisata
a. Kulit : Normal,tidak kering, tidak ada sianosis

24
b. Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
(KGB) submandimula, sepanjang M.Sternocleidomastoideus,
supra/infraclavikula kiri dan kanan, axilla kiri dan kanan, serta inguinal
kiri dan kanan.
c. Kepala :
- Bentuk : Normochepal
- Rambut : Hitam, mudah rontok (-), mudah dicabut (-)
- Wajah : Edem (+) ,Konjungtiva anemis, sklera ikhterik
- Telinga: Dalam Batas Normal
- Hidung : Dalam Batas Normal
- Mulut : mukosa mulut pucat, tidak ada gusi berdarah
d. Leher :
- JVP 5-2 cmH2O
- Benjolan massa (-)
e. Paru-paru :
- Inspeksi : Dinding simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis
dan dinamis
- Palpasi : Fremitus sama kanan dan kiri
- Perkusi : Sonor diseluruh lapangan paru
- Auskultasi : vesikuler,rhonki (-), wheezing (-)
f. Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus kordis teraba linea midclavicula RIC 5, kuat
angkat (-)
- Perkusi :
Batas jantung
Batas jantung kanan di RIC 4 linea sternal dextra
Batas jantung kiri di RIC 5 linea midclavicularis
sinistra
Batas atas jantung di RIC 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang jantung di RIC 3 linea
midclavicularis sinistra
- Auskultasi : S1-S2 Normal reguler, murmur(-)
g. Abdomen :

25
- Inspeksi : Cembung, umbilikus tidak menonjol, venektasi(-),
sikatrik (-)
- Palpasi :Dinding perut supel, nyeri tekan (-) di Epigastrium,
nyeri lepas (-)
Hepar : Sulit dinilai, Stood Palpasi
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Bimanual (-), ballottement (-), nyeri
ketok CVA (-)
- Perkusi : Tympani
- Auskultasi : Bising usus normal

h. Ekstremitas :
Superior
- Inspeksi : edema (-), sianosis (-)
- Palpasi : Perabaan hangat, pulsasi arteri radialis kuat angkat.
Inferior :
- Inspeksi : edema (+/+),sianosis (-/-)
- Palpasi : Perabaan hangat, pulsasi A.Femoralis, A.Dorsalis
pedis, A.Tibialis posterior, dan A. Poplitea kuat angkat

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan lab 7 Juli 2017

-Hb : 9.7 g/dl (rendah)


-Ht : 28.1 % (rendah)
-Trombosit : 377000 IU (Normal )
-leukosit : 900000 IU (Normal)
-Ureum : 55 mg/dL ( tinggi )
-Creatinin : 4.6 mg/dL ( tinggi )
-GDR : 100 mg% ( normal )
-Total Protein : 3.53 g/dl (rendah)
-Albumin : 1.11 g/dl (rendah)
-Globulin : 2.42 g/dl (Normal)

Pemeriksaan lab 8 Juli 2017

26
Urinalisa Protein : +++
Urinalisa Blood : ++
Urinalisa Glukosa : ++

Pemeriksaan lab 11 Juli 2017

-Albumin : 1.20 g/dl (rendah)

Pemeriksaan Radiologi

- Rontgen Thorax PA (8 Juli 2017)

Kesan : Suspek Efusi Pleura kiri minimal

27
- USG Whole Abdomen

Kesan : Suspek Chronic Parenchymal Renal Disease


Ascites
Efusi Pleura Kiri minimal

3.5 Diagnosa Kerja


Diagnosis Kerja
Chronic Kidney Disease ( CKD ) Stage IV + Sindrom Nefrotik

28
3.6 Diagnosa Banding
- Gagal Ginjal Akut
3.7 Penatalaksanaan
a. Umum
Bed rest
Diet Rendah garam dengan protein 1-1,2 gr / kgBB / Hari
b. Khusus
IVFD Nacl 0.9 % = 12J / kolf
Captopril 3 x 12,5 mg
Prednison 1-1,5 mg/ kgBB / haro
Cefixim 200mg 2x/ hari
Asam folat 1 x 1
Domperidon 2 x 1
Furosemid 2 x 1

3.8 Pemeriksaan Anjuran


a. Pemeriksaaan urinalisa
b. Faal ginjal lengkap
c. Faal Hati lengkap
d. Pemeriksaan EKG
e. Foto Rontgen Thorax PA
f. USG Whole Abdoment
g. Biopsi ginjal
h. CT Scan
i. MRI
j. Pemeriksaan endoskopi dan histopatologi

3.9 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad fungtionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

FOLLOW UP
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planing
13/07/2 - Bengka KU : Sedang CKD + SN Captopril 12,5 2x1
Kes : CMC
017 k di Prednison 3x1

29
kedua TD:130/80 Transfusi Albumin
tungkai mmHG 20% 50 cc
Nadi : 82
kaki Cefixim 2x1
P : 20 s : 36.5
- Kembun
g
setelah
makan

BAB IV

ANALISIS KASUS

30
Tn A 35 tahun datang ke RSUD Solok dan dirawat di ruang interne dengan keluhan
Kaki bengkak (edema) yang hilang timbul setelah di obati sejak 1 bulan yang lalu sebelum
masuk rumah sakit. Bengkak juga terjadi di daerah wajah. Kaki terasa padat ketika berjalan.
Bengkak terjadi bergantian pada kedua sisi kaki. Pasien juga merasakan pegal pegal pada
tubuh, letih dan lesu. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya muntah sejak 1 minggu
yang lalu dan mual sejak 1 bulan yang lalu. Pasien merasakan kembung setelah makan dan
Buang air besar pasien juga encer.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tanda tanda vital Tn A yaitu Keadaan
Umum Sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 140/90 mmHG, frekuensi
nadi 63x/menit reguler, frekuensi nafas 20x/menit dan suhu 36,1 oC. Pasien mempunyai
BMI normal dengan tinggi badan 165 cm dengan berat 58 kg. Pada pemeriksaan khusus
didapatkan kulit normal,tidak kering, tidak sianosis, konjungtiva anemis, sklera tidak
iktherik,mukosa mulut pucat, rambut tidak mudah rontok, JVP 5 2 cmH2O, tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening (KGB) submandimula, sepanjang
M.Sternocleidomastoideus, supra/infraclavikula kiri dan kanan, axilla kiri dan kanan, serta
inguinal kiri dan kanan. Pemeriksaan fisik paru dan jantung dalam batas normal. Pada
pemriksaan abdomen di dapatkan nyeri tekan pada epigastrium disangkal dan nyeri lepas
disangkal, hepar dan lien tidak teraba,ginjal : Bimanual (-), ballottement (-), nyeri
ketok CVA (-), perkusi tympani, shifting dulnes (-), dan pada pemeriksaan ektremitas
terdapat edema pada kedua kaki. Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan Hb : 9.7 g/dl
(rendah), Ht : 28.1 % (rendah), Trombosit: 377000 IU (Normal ), leukosit: 900000 IU
(Normal), Ureum : 55 mg/dL (tinggi ),Creatinin : 4.6 mg/dL ( tinggi ), GDR: 100 mg%
( normal ) Total Protein : 3.53 g/dl (rendah), Albumin : 1.11 g/dl (rendah),
Globulin:2.42g/dl(Normal),Urinalisa Protein : +++, Urinalisa Blood : ++,
Urinalisa Glukosa: ++

Diagnosa pada pasien didapatkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Dari keseluruhan dapat didiagnosa bahwa pasien menderita Chronic Kidney Disease e.c.
Sindrom Nefrotik. Untuk penatalaksanaan diberikan obat untuk menghilangkan keluhan
yang dialami pasien IVFD Nacl 0.9 % = 12J / kolf, Captopril 3 x 12,5 mg, Prednison 1-1,5
mg/ kgBB / haro, Cefixim 200mg 2x/ hari, Asam folat 1 x 1, Domperidon 2 x 1, Furosemid
2 x 1, dan pasien di anjurkan untuk bed rest dan Diet Rendah garam dengan protein 1-1,2

31
gr / kgBB / Hari. Selanjutnya pasien dibolehkan pulang dengan edukasi harus menjaga pola
makan, istirahat yang cukup dan kembali konsul ke poli interne.

BAB V

32
PENUTUP

Kesimpulan

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Ada beberapa kriteria dalam penegakan diagnosa chronic
kidney disease ( CKD ) dimana perlu pemeriksan penunjang penunjang lainnya agar dapat
menegakkan diagnosa dengan benar sehingga kita dapat menterapi sesuai peyebab
terjadinya CKD.

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit gromerular
yang ditandai dengan proteinuri massif lebih dari 3.5 gram/hari ,hipoalbuminemia kurang
dari 3,5 g/hari, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas

DAFTAR PUSTAKA

33
Setyohadi, Bambang, dkk. 2011. Buku EIMED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam
Jilid 1 dan 2. Jakarta: Interna Publising
Setiati, Siti, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1dan 2 edisi VI. Jakarta:
Internal Publishing
Mc.Phee,Stephen J, dkk. 2010. Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedokteran Klinis
edisi 5.Jakarta : EGC
Sherwood L,dkk. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC
Halim, Mubin 2011. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Edisi 2. Jakarta: EGC
Alwi, Idrus. 2015. Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktis Klinis.
Jakarta: Interna Publishing
Dorland, W.A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland.Jakarta : EGC
Price SA, Wilson LM.2011. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi ke 6.
Jakarta. EGC.

34

Anda mungkin juga menyukai

  • Borang UKM
    Borang UKM
    Dokumen39 halaman
    Borang UKM
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • PENDAHULUAN Kelvin Minipro
    PENDAHULUAN Kelvin Minipro
    Dokumen33 halaman
    PENDAHULUAN Kelvin Minipro
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Miniproject Fix
    Miniproject Fix
    Dokumen47 halaman
    Miniproject Fix
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Minipro
    Minipro
    Dokumen44 halaman
    Minipro
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • MINI PROJECT AIR DINGIN Mantap
    MINI PROJECT AIR DINGIN Mantap
    Dokumen47 halaman
    MINI PROJECT AIR DINGIN Mantap
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Minipro
    Minipro
    Dokumen44 halaman
    Minipro
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • CP Gerd
    CP Gerd
    Dokumen1 halaman
    CP Gerd
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Akreditasi
    Akreditasi
    Dokumen1 halaman
    Akreditasi
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Notulen PPI
    Notulen PPI
    Dokumen4 halaman
    Notulen PPI
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Case KDS
    Case KDS
    Dokumen47 halaman
    Case KDS
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • TOR Akreditasi
    TOR Akreditasi
    Dokumen4 halaman
    TOR Akreditasi
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Unair
    Jurnal Unair
    Dokumen6 halaman
    Jurnal Unair
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Tor Ppi
    Tor Ppi
    Dokumen4 halaman
    Tor Ppi
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Bayi
    Lapsus Bayi
    Dokumen15 halaman
    Lapsus Bayi
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Kolik Renal
    Lapsus Kolik Renal
    Dokumen13 halaman
    Lapsus Kolik Renal
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Pedis Fracture
    Pedis Fracture
    Dokumen19 halaman
    Pedis Fracture
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • PPK Gerd
    PPK Gerd
    Dokumen1 halaman
    PPK Gerd
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Ulcus Pedis Dextra
    Ulcus Pedis Dextra
    Dokumen24 halaman
    Ulcus Pedis Dextra
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Atresia Ani
    Atresia Ani
    Dokumen16 halaman
    Atresia Ani
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Hemoroid
    Hemoroid
    Dokumen17 halaman
    Hemoroid
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • CP Ikterik Neonatorum Ok
    CP Ikterik Neonatorum Ok
    Dokumen1 halaman
    CP Ikterik Neonatorum Ok
    tri indriani
    Belum ada peringkat
  • PPK Bronkopnemonia
    PPK Bronkopnemonia
    Dokumen3 halaman
    PPK Bronkopnemonia
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Herpes Zoster Kelompok 2
    Herpes Zoster Kelompok 2
    Dokumen22 halaman
    Herpes Zoster Kelompok 2
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Susp Appendicitis
    Susp Appendicitis
    Dokumen15 halaman
    Susp Appendicitis
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Pitiriasis Versikolor
    Pitiriasis Versikolor
    Dokumen17 halaman
    Pitiriasis Versikolor
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar DM
    Kata Pengantar DM
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar DM
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Case Diare
    Case Diare
    Dokumen33 halaman
    Case Diare
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Teori Case Skizoafektif Tipe Manik
    Teori Case Skizoafektif Tipe Manik
    Dokumen26 halaman
    Teori Case Skizoafektif Tipe Manik
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar Diare
    Kata Pengantar Diare
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar Diare
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan: 1.1 Latar Belakang
    Bab I Pendahuluan: 1.1 Latar Belakang
    Dokumen49 halaman
    Bab I Pendahuluan: 1.1 Latar Belakang
    kelvin aidilfitra
    Belum ada peringkat