A. Penulisan Huruf
A. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.
Misalnya:
Misalnya:
C. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan
nama kitab suci, termasuk ganti untuk Tuhan.
Misalnya:
D. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, dan
keagamaan yang diikuti nama orang.
Misalnya:
E. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama
orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya:
Misalnya:
Misalnya:
Albar Maulana
Kemal Hayati
Muhammad Rahyan
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau
satuan ukuran.
Misalnya:
mesin diesel
10 watt
2 ampere
5 volt
G. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa-bangsa dan bahasa. Perlu
diingat, posisi tengah kalimat, yang dituliskan dengan huruf kapital hanya huruf pertama nama bangsa,
nama suku, dan nama bahasa; sedangkan huruf pertama kata bangsa, suku, dan bahasaditulis dengan
huruf kecil.
Huruf kapital tidak dipakai sebagi huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa yang dipakai sebagai
bentuk dasar kata turunan.
Misalnya:
keinggris-inggrisan
H. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa
sejarah.
Misalnya:
tahun Saka
bulan November
hari Jumat
hari Natal
perang Dipenogoro
Huruf kapital tidak dipakai sebagi huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama.
Misalnya:
I. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama khas dalam geografi.
Misalnya:
Salah Benar
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri.
Misalnya:
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis.
Misalnya:
garam inggris
gula jawa
soto madura
J. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, nama resmi badan/
lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi.
Misalnya:
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan nama resmi lembaga pemerintah,
ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi.
K. Huruf kapital dipakai sebagai huruf kapital setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat
pada nama badan/ lembaga.
Misalnya:
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
L. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata ulang
sempurna) dalam penulisan nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata
seperti di, ke, dari, dan, dalam, yang, untuK yang tidak terletak pada posisi awal.
Misalnya:
M. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti Bapak,
Ibu, Saudara, Kakak, Adik, Paman, yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
Misalnya:
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang dipakai
dalam penyapaan.
Misalnya:
N. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.
Misalnya:
Dr. : doktor
Jend. : jendral
Sdr. : saudara
2. Huruf Miring
A. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang
dikutip dalam karangan.
Misalnya:
majalah Prisma
tabloid Nova
B. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata,
atau kelompok kata.
Misalnya:
C. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan kata ilmiah atau ungkapan
asing,kecuali yang sudah disesuaikan ejaannya.
Misalnya:
B. Penulisan Kata
1. Kata Dasar
Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
Misalnya:
1. Kata Turunan
Misalnya:
B. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata, awalan, atau akhiran ditulis serangkai dengan kata yang
langsung mengikuti atau mendahuluinya.
Misalnya:
C. Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan akhiran sekaligus, unsur
gabungan kata itu ditulis serangkai.
Misalnya:
memberitahukan
ditandatangani
melipatgandakan
1. Bentuk Ulang
1. Gabungan Kata
A. Gabungan kata yang lazim disebutkan kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur-unsurnya
ditulis terpisah.
Misalnya:
duta besar, kerja sama, kereta api cepat luar biasa, meja tulis, orang tua, rumah sakit, terima kasih, mata
kuliah.
B. Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan salah pengertian dapat
ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian unsur yang berkaitan.
Misalnya:
alat pandang-dengar (audio-visual), anak-istri saya (keluarga), buku sejarah-baru (sejarahnya yang baru),
ibu-bapak (orang tua), orang-tua muda (ayat ibu muda) kaki-tangan penguasa (alat penguasa)
C. Gabungan kata berikut ditulis serangkai karena hubungannya sudah sangat padu sehingga tidak
dirasakan lagi sebagai dua kata.
Misalnya:
D. Jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis
serangkai.
Misalnya:
Jika bentuk terikan diikuti oleh kata yang huruf awalnya kapital, di antara kedua unsur kata itu
Kata ganti ku dan kau sebagai bentuk singkat kataaku dan engkau, ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya.
Misalnya:
Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata
yang sudah dianggap kata yang sudah dianggap sebagai satu kata seperti kepada dan daripada.
Misalnya:
Misalnya:
1. Partikel
A. Partikel lah dan kah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Misalnya:
Catatan:
Kelompok berikut ini ditulis serangkaian, misalnyaadapun, andaipun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun,
kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, walaupun.
Misalnya:
C. Partikel per yang berarti (demi), dan (tiap) ditulis terpisah dari bagian kalimat yang mendahului
atau mengikutinya.
Misalnya:
A. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
Misalnya:
B. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf pengkodean suatu judul bab dan subbab.
Misalnya:
1. Subdit .
2. Subdit .
Catatan:
Tanda titik tidak dipakai di belakang angka pada pengkodean sistem digit jika angka itu merupakan yang
terakhir dalam deret angka sebelum judul bab atau subbab.
C. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka, jam, menit, dan detik yang menunjukan waktu dan
jangka waktu.
Misalnya:
D. Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak
menunjukkan jumlah.
Misalnya:
E. Tanda titik dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya
dan tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Lawrence, Marry S, Writting as a Thingking Process. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1974.
Misalnya:
Misalnya:
H. Tanda titik tidak dipakai di belakang (1) alamat pengirim atau tanggal surat atau (2) nama dan
alamat penerima surat.
Misalnya:
A. Tanda koma dipaki di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
B. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya
yang didahului oleh kata seperti tetapi ataumelainkan.
Misalnya:
Misalnya:
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak itu mengiringi
induk kalimatnya.
Misalnya:
D. Tanda koma harus dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang
terdapat pada awal kalimat, seperti oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan tetapi.
Misalnya:
E. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain
yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya:
O, begitu?
Misalnya:
Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal,
dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
Misalnya:
Surat ini agar dikirim kepada Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Raya
Salemba 6, Jakarta Pusat. Sdr. Zulkifli Amsyah, Jalan Cempaka Wangi VII/11, Jakarta Utara 10640
Bangkok, Thailand
Misalnya:
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Diskusi Insan Mulia, 2001), hlm. 27.
H. Tanda koma dipakai di antara orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk
membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:
I. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi.
Misalnya:
Semua siswa, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, mengikuti praktik komputer.
Bandingkan dengan keterangan pembatas yang tidak diapit oleh tanda koma.
Semua siswa yang berminat mengikuti lomba penulisan resensi segera mendaftarkan
namanya kepada panitia.
J. Tanda koma dipakai untuk menghindari salah baca di belakang keterangan yang terdapat pada
awal kalimat.
Misalnya:
Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa, kita memerlukan sikap yang bersunguh-sungguh.
K. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya
dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
Misalnya:
A. Tanda titik koma untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara.
Misalnya:
B. Tanda titik koma dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang
setara di dalam kalimat majemuk.
Misalnya:
Ayah mencuci mobil; ibu sibuk mengetik makalah; adik menghapal nama-nama menteri; saya sendiri
asyik menonton siaran langsung pertandingan sepak bola.
C. Tanda titik koma dipakai untuk memisahkan unsur-unsur dalam kalimat kompleks yang tidak cukup
dipisahkan dengan tanda koma demi memperjelas arti kalimat secara keseluruhan.
Misalnya:
Masalah kenakalan remaja bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab para orang tua, guru, polisi,
atau pamong praja; sebab sebagian besar penduduk negeri ini terdiri atas anak-anak, remaja, dan
pemuda di bawah umur 21 tahun.
Artikel
SEHUBUNGAN dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, satu masalah yang sangat serius dihadapi di
sekolah adalah mewujudkan pola belajar-mengajar yang membuat siswa aktif bertanya dan guru
dilarang berceramah terlebih dahulu. Ini terutama pada awal tatap muka di kelas: siswa harus bertanya
dulu, lalu ditanggapi siswa lain atau guru. Keluhan paling umum, termasuk dalam beberapa kali
pendidikan dan pelatihan berhubungan dengan implementasi Kurikulum 2013 yang saya ikuti, adalah
ruang kelas jadi sunyi. Bermenit-menit waktu berlalu dan terbuang sia-sia, tak ada siswa bertanya. Meski
berkali-kali guru minta siswa mengajukan masalah apa pun yang berhubungan dengan pelajaran atau
materi tertentu, tetap saja mereka diam. Sunyi!
Kadang-kadang satu-dua siswa terpaksa bertanya, tetapi tetap tidak berlanjut pada semua siswa aktif
bertanya jawab. Guru tak mungkin membiarkan kelas sunyi dalam sehari itu. Akhirnya ada guru yang
memilih kembali ke model konvensional: banyak ceramah, menyebarkan lembar kerja
siswa, ataukegiatan lain. Yang penting di kelas tetap ada aktivitas.
Kita tentu berharap agar kegiatan belajar-mengajar aktif dan eksploratif tetap diwujudkan. Namun,
harus diakui, di sinilah tantangan mewujudkan belajar siswa aktif, termasuk aktif bertanya dan mencari
sendiri. Langkah apa untuk mewujudkan itu? Kita perlu paham sumber masalah yang membuat kelas
sunyi.
Lima hal
Paling sedikit lima hal membuat siswa tidak aktif bertanya: malu atau minder, takut, tidak mengerti,
patuh, dan mental
meremehkan.
Pertama, malu atau minder cukup banyak diidap anak-anak kita. Bagi mereka, menampilkan diri di
depan umum sama dengan mempermalukan diri sendiri. Supaya tidak dipermalukan (diri sendiri),
sebaiknya tidak usah menonjol. Siswa pemalu umumnya berlatar sosial lemah: miskin, bodoh,
jelek, ndeso. Kemiskinan, kebodohan, kejelekan, dan ke-ndeso-an adalah realitas sehari-hari di negeri
kita. Kita cenderung memandang remeh bahkan menjauhi mereka. Jika sudah demikian, siswa pemalu
akan memilih sunyi di kelas: datang, duduk, diam, lalu pulang.
Biasanya siswa penakut tidak mau bertanya dan menanggapi meski sudah punya bahan bertanya atau
menjawab. Mereka baru berbicara setelah bahan yang sama sudah ditanyakan atau sudah dijawab
orang lain.
Kedua, siswa menjadi penakut karena tidak mau mengambil risiko jika pertanyaannya atau jawabannya
salah. Siswa seperti ini sudah punya pengalaman buruk (baik dialaminya sendiri maupun dialami orang
lain) bahwa kalau pertanyaan dan jawabannya salah atau jelek, ia harus terima risiko diolok-olok,
dimarahi, dikata-katakan jelek, bahkan mendapat hukuman dari guru atau orang lebih tua dalam
keluarga.
Realitas di sekolah dan dalam masyarakat: orang sering menghukum anak yang salah dalam berbicara,
bertanya, atau menjawab. Bentuknya bisa berupa olokan, kemarahan, bahkan pemukulan. Anak-anak
memilih diam. Lagi pula, masyarakat kita yang paternalistik tidak membiasakan anak-anak
mengeluarkan pendapat, mengkritik orangtua, bahkan tidak memiliki hak mengambil keputusan
penting. Yang dijunjung: diam dan patuh.
Ketiga, siswa tidak mengerti. Sampai saat ini kita bukan tipe pembaca buku atau media; juga bukan tipe
pencipta dan pembaru. Inilah yang membuat siswa tak mau bergerak mencari sendiri (termasuk
uji coba) di luar kegiatan belajar-mengajar untuk memperkaya wawasan dan pengalaman mereka.
Maka, ketika masuk kelas, mereka dalam keadaan tidak tahu. Bahkan, siswa tidak tahu apakah dia
belum atau sudah tahu suatu hal. Ini bisa dibuktikan dengan mengajukan pertanyaan apakah sudah
mengerti yang direspons dengan diam belaka. Ditanya mana yang belum mengerti, ya, diam juga.
Jadi, siswa bingung sendiri mana yang sudah ia ketahui dan mana yang belum ia ketahui. Mereka
memilih sunyi di kelas.
Keengganan siswa memburu wawasan dipengaruhi oleh nilai yang akan diberikan guru. Siswa tahu
bahwa tinggi-rendah nilai yang ia peroleh bergantung pada bisa-tidak dia menjawab soal yang diberikan.
Karena itu, betapa pun luas wawasannya, kalau tak ada dalam soal ujian, tetaplah ia sulit dapat nilai
tinggi.
Keempat, siswa patuh. Sudah lama pelaksana pendidikan kita mengajarkan kepatuhan dan
penghormatan antarindividu kepada anak-anak: harus patuh dan hormat kepada yang lebih tua, lebih
tinggi sekolahnya, lebih kaya, dan lebih berkuasa. Karena di kelas masih ada guru yang dipandang lebih
tua usianya dan lebih tinggi tingkat pendidikannya, siswa akan kesulitan mengajukan pendapat yang
sekiranya berbeda dari gurunya.
Jika Kurikulum 2013 menghendaki siswa bertanya dan menjawab, siswa khawatir kalau-kalau pendapat
mereka tidak sesuai dengan pendapat gurunya. Mereka risi sendiri dan memilih patuh saja pada
pendapat guru.
Kelima, mentalitas meremehkan. Ada siswa yang meremehkan materi pelajaran di kelas lantaran
mereka tahu bahwa di luar sana banyak orang bisa hidup tanpa harus menguasai materi pelajaran itu.
Untuk menciptakan siswa aktif bertanya, kita perlu mempersempit kesenjangan sosial. Jika masih gagal
merapatkan kesenjangan sosial, kita perlu membangun mentalitas positif kaum bawah untuk tetap
harus optimistis dan percaya diri. Hukuman bagi siswa di sekolah ataupun dalam masyarakat harus
dihentikan guna menumbuhkan percaya diri dan keberanian anak. Anak-anak harus diikutkan bahkan
bisa jadi penentu dalam pengambilan keputusan atau kebijakan di rumah, masyarakat, dan sekolah.
Iklim ini membuat anak-anak kita pemberani dan terampil berpendapat.
Kesempitan wawasan bisa diatasi dengan sistem penilaian yang bukan lagi pada kemampuan siswa
menjawab soal, melainkan pada keluasan wawasan siswa menyampaikan pendapat dan analisisnya. Juga
harus dihentikan ajaran patuhi guru dan orangtua, diganti dengan patuhi kebenaran. Berani karena
benar harus benar-benar diwujudkan meski akhirnya membongkar kesalahan atau kelemahan
guru/orangtua sendiri. Selama beberapa hal ini belum bisa kita singkirkan pada masyarakat dan di
sekolah, Kurikulum 2013 tak pernah bisa sukses.