Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep HIV/AIDS
2.1.1 Pengertian HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency virus) adalah jenis virus yang dapat
menurunkan kekebalan tubuh (BKKBN, 2007). Menurut Depkes RI (2008)
menyatakan bahwa HIV adalah sejenis retrovirus-RNA yang menerang system
kekebalan tubuh manusia. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency
Syndrome suatu kumpulan gejala penyakit yang didapat akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV. HIV/AIDS adalah suatu kumpulan
kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia &
Wilson, 2005).
Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan
menjadi masalah global yang melanda dunia. Menurut data WHO (World Health
Organization) tahun 2012, penemuan kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di
dunia pada tahun 2012 mencapai 2,3 juta kasus, dimana sebanyak 1,6 juta penderita
meninggal karena AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) sedangkan menurut
UNAIDS pada tahun 2010, Asia Tenggara merupakan negara dengan kasus HIV/AIDS
terbanyak diikuti oleh Thailand, Myanmar, Indonesia, dan Nepal.
Berdasarkan data Ditjen P2PL (Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan), statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan dari tahun 2011-
2012 mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2011 kasus baru HIV sebesar 21.031
kasus, kemudian meningkat menjadi 21.511 kasus pada tahun 2012. Begitu juga
dengan AIDS dari tahun 2011 sebanyak 37.201 kasus, meningkat menjadi 42.887 kasus
pada tahun 2012. HIV/AIDS tersebar di 386 (78%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh
provinsi di Indonesia dan jumlah kumulatif infeksi HIV tertinggi di Indonesia yaitu
DKI Jakarta (32.782), diikuti Jawa Timur (19.249), Papua (16.051), Jawa Barat
(13.507), dan Bali (9.637) (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2014)
Jawa Barat termasuk pemberi kontribusi yang besar untuk kasus HIV di
Indonesia. Menduduki peringkat 4 teratas dengan jumlah kasus mencapai 13.507 ka
AIDS atau sindrom kehilangan kekebaan tubuh adalah kehilangan kekebalan
tubuh manusia sebuah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan
kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur,
parasit, dan pirus tertentu yang bersipat oportunistik. Selain itu penderita AIDS sering
sekali menderita keganasan, khususnya sarkoma Kaposi dan limpoma yang hanya
menyerang otak (Djuanda, 2007). Kesimpulan dari beberapa definisi di atas adalah
HIV/AIDS adalah suatu syndrom atau kumpulan tanda dan gejala yang terjadi akibat
penurunan dan kekebalan tubuh yang didapat atau tertular/terinfeksi virus HIV.
2.1.2 Etiologi
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV dan saat ini telah diketahui dua tipe
yaitu tipe HIV-1 dan HIV-2. Infeksi yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh HIV-
1, sedangkan HIV-2 benyak terdapat di Afrika Barat. Gambaran klinis dari HIV-1 dan
HIV-2 relatif sama, hanya infeksi oleh HIV-1 jauh lebih mudah ditularkan dan masa
inkubasi sejak mulai infeksi sampai timbulnya penyakit lebih pendek (Martono, 2006).
HIV yang dahulu disebut virus limpotrofik sel T manusia atau virus limfadenopati
(LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari family lentivirus. Retrovirus
mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA)
setelah masuk ke dalam sel penjamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik,
dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia (Sylvia & Wilson,
2005).
Persentase HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,1%),
diikuti kelompok umur 20-24 tahun (17,2%) dan kelompok umur > 50 tahun (5,5%).
Resiko HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Persentase faktor resiko HIV
tertinggi adalah hubungan seks beresiko pada heteroseksual (57%). LSL (Lelaki Seks
Lelaki 15%) dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (4%) sedangkan
persentase AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (42%), diikuti kelompok
umur 20-29 tahun (36,9%) dan kelompok umur 40-49 tahun (13,1%). Resiko AIDS
antara laik-laki dan perempuan adalah 2:1. Persentase faktor resiko AIDS tertinggi
adalah hubungan seks beresiko pada heteroseksual (67%). LSL (6 %), penggunaan
jarum suntik tidak steril pada penasun (6%), dan dari ibu postitf HIV ke anak (4%)
(Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2014)
2.1.3 Perjalanan Penyakit HIV/AIDS
Perjalanan penyakit HIV/AIDS dibagi dalam tahap - tahap berdasarkan keadaan
klinis dan jumlah CD4 (Cluster of Differentiaton). Menurut WHO (2006) tahapan
infeksi HIV/AIDS terbagi menjadi 4 stadium klinis :
a. Stadium klinis I
1) Sejak virus masuk sampai terbentuk anti body (berlangsung 15 hari 3 bulan).
2) Keluhan yang sering muncul seperti sakit flu biasa dan bila diberi obat akan
berkurang atau sembuh, kadang terdapat limfadenopati generalisata.
3) Hasil tes negatif, namun orang yang sudah terinfeksi ini sudah dapat menularkan
pada orang lain.
4) CD4-nya 500 1000.
b. Stadium klinis II
1) Waktunya antara 3 bulan s/d 5-10 tahun.
2) Hasil tes positif.
3) Tidak ada keluhan.
4) CD4-nya 500 750.
c. Stadium klinis III (pra AIDS)
1) Sudah tampak gejala tetapi masih umum seperti penyakit lainnya.
2) Keluhan yang sering muncul : sariawan, kandidiasis mulut persisten, selera makan
hilang, demam berkepanjangan > 1 bulan, diare kronis > 1 bulan, kehilangan BB >
10%, timbul bercak-bercak merah di bawah kulit, TB paru, anemia yang tidak diketahui
sebabnya, trombositopenia, limfisitopenia, pneumobakterial.
3) CD4-nya 100 500.
d. Stadium klinis IV
1) Penderita tampak sangat lemah sekali.
2) Daya tahan tubuh menurun.
3) Munculnya beberapa penyakit yang sangat fatal seperti pneumonia bacterial
berulang, herpes simpleks kronis, toksoplasmosis otak, cito megalo virus,
mikobakteriosis, tuberkolosis luar paru, ensefalopati HIV, timbul tumor atau kanker
(limfoma dan sarkoma kaposi).
Data di klinik Teratai RSHS sampai dengan akhir Desember 2008 tercatat 1.593
kasus infeksi HIV, sebanyak 1.009 kasus di antaranya adalah AIDS, 496 penderita aktif
menggunakan ARV (Rachmat Sumantri,dkk) dan penelitian yang dilakukan oleh Lia
Faridah dkk Hasil pemeriksaan sementara ditemukan 15 (55,56%) parasit intestinal,
yaitu Blastocystis hominis, pada berbagai level jumlah CD4 dan durasi terapi
antiretroviral.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Menurut Sylvia & Wilson (2005) AIDS memiliki beragam manifestasi klinis
meliputi:
a. Keganasan
Sarkoma Kaposi (SK) adalah jenis keganasan yang tersering di jumpai pada laki-laki
homoseks atau biseks yang terinfeksi oleh HIV (20%), tetapi jarang pada orang dewasa
lain (kurang dari 2%) dan sangat jarang pada anak. Tanda lesi berupa bercak-bercak
merah kekuningan di kulit, tetapi warna juga mungkin bervariasi dari ungu tua, merah
muda, sampai merah coklat. Gejala demam, penurunan berat badan, dan keringat
malam.
b. Sistem Syaraf Pusat (SSP)
Gejala tanda awal limfoma sistem syaraf pusat (SSP) primer mencakup nyeri kepala,
berkurangnya ingatan jangka pendek, kelumpuhan syaraf kranialis, hemiparesis, dan
perubahan kepribadian.
c. Respiratorius
Pneumonia pneumocystis carini, gejala: demam, batuk kering non produktif, rasa
lemah, dan sesak nafas.
d. Gastro Intestinal
Manifestasi gastrointestinal penyakit AIDS mencakup hilangnya selera makan, mual,
vomitus, kandidiasis oral serta esophagus dan diare kronis.
e. Neurologik
Manifestasi dini nerologik penyakit AIDS ensefalopati HIV mencakup gangguan daya
ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, pelambatan
psikomotorik, apatis dan ataksia.
f. Integumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunis serta malignasi. Infeksi
oportunistik seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan
pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit. Dermatitis seboreika
akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala
serta wajah. Penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang
disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti
exzema atau psoriasis.
2.1.5 Cara Penularan
Empat prinsip dasar penularan HIV/AIDS (KPAD, 2010) adalah :
a. Exit, yakni terdapat virus yang keluar tubuh
b. Survival, yakni virus bertahan hidup
c. Suffient, yakni jumlah virus yang cukup
d. Enter, yakni terdapat pintu masuk bagi virus ke dalam tubuh Menurut Martono
(2006) virus HIV dapat ditularkan melalui beberapa cara yaitu :
a. Hubungan seksual
Dengan orang yang menderita HIV/AIDS baik hubungan seksual secara vagina, oral
maupun anal, karena pada umumnya HIV terdapat pada darah, sperma dan cairan
vagina. Ini adalah cara penularan yang paling umum terjadi. Sekitar 70-80% total kasus
HIV/AIDS di dunia (hetero seksual >70% dan homo seksual 10%) disumbangkan
melalui penularan seksual meskipun resiko terkena HIV/AIDS untuk sekali terpapar
kecil yakni 0,1-1,0%.
b. Tranfusi darah yang tercemar HIV
Darah yang mengandung HIV secara otomatis akan mencemari darah penerima. Bila
ini terjadi maka pasien secara langsung terinfeksi HIV, resiko penularan sekali terpapar
>90%. Transfusi darah menyumbang kasus HIV/AIDS sebesar 3-5% dari total kasus
sedunia.
c. Tertusuk atau tubuh tergores oleh alat yang tercemar HIV Jarum suntik, alat tindik,
jarum tattoo atau pisau cukur yang sebelumnya digunakan oleh orang HIV (+) dapat
sebagai media penularan. Resiko penularannya 0,5-1-1% dan menyumbangkan kasus
HIV/AIDS sebesar 5-10% total seluruh kasus sedunia.
d. Ibu hamil yang menderita HIV (+) kepada janin yang dikandungnya dengan
resiko penularan 30% dan berkontribusi terhadap total kasus sedunia sebesar
5-10%.
2.1.6 Hal Hal yang Tidak Dapat Menularkan HIV/AIDS
BKKN (2007) menegaskan bahwa HIV/AIDS tidak dapat menular melalui
aktifitas seperti :
a. Berjabat tangan
b. Makan bersama
c. Menggunakan telepon bergantian
d. Bergantian pakaian
e. Tinggal serumah dengan ODHA
f. Mandi bersama di kolam renang
g. Gigitan nyamuk
h. Batuk/bersin
i. Ciuman
j. Duduk bersama
2.1.7 Klasifikasi
HIV/AIDS akan menyebabkan pengidapnya mudah mengalami infeksi
oportunis, kanker sekunder, dan kelainan pada sistem saraf pusat (SSP). AIDS terjadi
bila infeksi HIV telah menekan fungsi system kekebalan tubuh sedemikian rupa
sehingga tubuh menjadi mudah terserang oleh kanker yang tidak biasa dan infeksi-
infeksi yang biasanya tidak berbahaya. Penyakit inilah yang disebut opportunitis
karena mereka tidak akan menyerang manusia yang fungsi kekebalannya normal,
penyakit ini terbagi menjadi 5 kelompok yaitu kanker, infeksi parasitic, infeksi virus,
infeksi jamur, dan infeksi bakteri. (Bisma Raga, 1990)
Data Kementerian Kesehatan RI (2011) memperlihatkan proporsi IO pada
penderita AIDS di Indonesia adalah tuberkulosis (41%), diare kronik (25%), kandidiasis
orofaringeal (24,6%), dermatitis generalisata (6,1%), dan limfadenopati (2,75%).
Tabel 1 Klasifikasi Infeksi HIV Menurut WHO 2006
Kelas Kriteria
Stadium Klinis I Asimtomatik 1. Asimtomatik
Total CD4 : >500/ml 2. Limfadenopati generalisata persisten
1. Penurunan berat badan 10%
2. Ispa berulang (sinusitis, tonsillitis,
Stadium Klinis II Sakit Ringan
otitismedia dan faringitis
Total CD4 : 200-499/ml
3. Herpes zoster
4. Kelitis angularis

1. Diare kronis > 1 bulan


Stadium Klinis III Sakit sedang 2. Kandidiasis oral
Penurunan berat badan >10% 3. TB Paru
4. Limfadenopati generalisata persisten
1. HIV wasting syndrome
2. Pneumonia pneu mosistis
3. Herpes simpleks > 1 bulan
Stadium Klinis IV Sakit berat (AIDS)
4. Kandidiasis esophagus
Total CD4 : < 200/ml
5. TB ekstra paru
6. Sarkoma Kaposi
7. Retinitis CMV
8. Toksoplasmosis
9. Ensefalopati HIV
10. Meningitis kriptokus
11. Infeksi mykobakterium non TB
Iseminata
12. Progresssivemultifocal
13. Mikosis profunda
14. Limfoma
15. Karsinoma
16. Isoproriasis kronis
17. Nefropati dan kardiomiopati terkait
HIV
Berdasarkan klasifikasi tersebut diatas, maka makin kronis suatu penyakit
terutama pada pasien HIV/AIDS dapat mengganggu kemampuan untuk terlibat dalam
aktivitas yang menunjang perasaan berharga atau berhasil, makin besar pengaruhnya
pada peningkatan harga diri. Penyakit HIV/AIDS yang mengubah pola hidup dapat
juga menurunkan perasaan nilai diri. Sedangkan harga diri pada pasien HIV/AIDS
adalah rasa ingin dihormati, diterima, kompeten, dan bernilai. Orang dengan harga diri
rendah, sering merasa tidak dicintai dan sering mengalami depresi dan ansietas (Perry
& Potter, 2005).
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik
Ada dua pemeriksaan yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antibodi
terhadap HIV. Pertama adalah ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay), bereaksi
terhadap antibodi yang ada adalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih
tua jika terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar. Pemeriksaan ELISA mempunyai
mempunyai sensitifitas 93% sampai 98% dan spesifitasnya 98% sampai 99%. Tetapi
hasil positif palsu (negatif palsu) dapat berakibat luar biasa, karena akibatnya sangat
serius.
Oleh sebab itu, pemeriksaan ELISA diulang dua kali, dan jika keduanya
menunjukkan hasil positif, dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih spesifik, yaitu
Western blot. Pemeriksaan Western blot juga dilakukan dua kali. Pemeriksaan ini lebih
sedikit memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Jika seseorang telah
dipastikan mempunyai sero positif terhadap HIV, maka dilakukan pemeriksaan klinis
dan imunologik untuk menilai keadaan penyakit, dan mulai dilakukan usaha untuk
mengendalikan infeksi. (Djoerban, dkk. 2006).
2.1.9 Penatalaksanaan
a. Penanganan pasien HV/AIDS meliputi penanganan umum dengan istirahat yang
cukup, dukungan nutrisi, terapi psikososial dengan konseling serta penanganan khusus
pada pasien HIV/AIDS
b. Penanganan khusus terdiri dari :
1) Penanganan pada wasting syndrom mencakup penanganan penyebab yang
mendasari infeksi oportunistik sistemik maupun gastrointestinal. Diet seimbang
merupakan terapi nutrisi yang esensial bagi pasien HIV/AIDS. Tujuannya adalah untuk
mempertahankan berat badan ideal pasien dan jika bisa menaikkan berat badannya
(Brunner and Suddarth, 2002).
2) Prinsip dasar penanganan pasien HIV/AIDS adalah menurunkan angka kesakitan
dan kematian akibat AIDS, memperbaiki/meningkatkan kualitas hidup pasien,
mempertahankan serta memulihkan sistem kekebalan tubuh pasien, menekan dan
menghambat pembelahan virus.
2.1.10 Pelayanan Paliatif
Perawatan pelayanan paliatif terhadap penderita HIV/AIDS adalah perawatan
kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh diberikan terhadap penderita
melalui pendekatan multidisiplin keahlian yang terintegrasi. Tujuan pelayanan
perawatan HIV/AIDS di rumah sakit adalah untuk mengurangi penderitaan,
memperpanjang umur, meningkatkan kualitas hidup, juga memberikan support kepada
keluarga, meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal
dia sudah siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit
yang dideritanya (Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo,
2008).
Paliatif yang dikembangkan mempunyai prinsip sebagai berikut :
a. Menghargai setiap kehidupan
b. Menganggap kematian sebagai proses yang normal
c. Tidak mempercepat atau menunda kematian
d. Menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan
e. Menghilangkan nyeri
f. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam perawatan pasien dan
keluarga
g. Menghindari tindakan medis yang sia-sia
h. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan
kondisinya sampai akhir hayat
i. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita (Pusat Pengembangan
Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo, 2008).
2.1.11 Komplikasi
Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAD, 2003) komplikasi yang
terjadi pada pasien HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
a. Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru-paru
b. Kandidiasis esophagus
c. Kriptokokosis ekstra paru
d. Kriptosporidiosis intestinal kronis (>1 bulan)
e. Renitis CMV (gangguan penglihatan)
f. Herpes simplek, ulkus kronik (> 1 bulan)
g. Mycobacterium tuberculasis di paru atau ekstra paru
h. Ensefalitis tox
2.2 Kerangka Konsep

Distribusi Proporsi Jenis Infeksi


Opportunistik Pada Penderita
AIDS

UMUR JENIS KELAMIN TRANSMISI PENULARAN

Anda mungkin juga menyukai