Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan obstetri dapat terjadi setiap saat, baik selama kehamilan,


persalinan, maupun masa nifas. Oleh karena itu, setiap perdarahan yang terjadi
dalam masa kehamilan, persalinan dan nifas harus dianggap sebagai suatu
keadaan akut dan serius, karena dapat membahayakan ibu dan janin. Setiap wanita
hamil dan nifas yang mengalami perdarahan, harus segera dirawat dan ditentukan
penyebabnya, untuk selanjutnya dapat diberi pertolongan dengan tepat.1
Salah satu masalah penting dalam bidang obstetri dan ginekologi adalah
masalah perdarahan. Perdarahan pada kehamilan sendiri berarti perdarahan
melalui vagina yang terjadi pada masa kehamilan, bukan perdarahan dari organ
atau sistem lainnya. Perdarahan pada kehamilan adalah masalah yang cukup
serius yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang mengakibatkan mortalitas
yang cukup tinggi pada ibu-ibu di Indonesia. Walaupun angka kematian maternal
telah menurun secara drastis dengan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dan
perawatan kehamilan dan persalinan di rumah sakit serta adanya fasilitas transfusi
darah, namun kematian ibu akibat perdarahan masih tetap merupakan penyebab
utama dalam kematian maternal.2
Pengelompokan perdarahan pada kehamilan tersebut secara praktis dibagi
menjadi: perdarahan pada kehamilan muda, perdarahan sebelum melahirkan
(antepartum hemoragik), dan perdarahan setelah melahirkan (postpartum
hemoragik).2
Perdarahan dalam bidang obstetri hampir selalu berakibat fatal bagi ibu
maupun janin, terutama jika tindakan pertolongan terlambat dilakukan, atau jika
komponennya tidak dapat segera digunakan. Oleh karena itu, tersedianya sarana
dan perawatan sarana yang memungkinkan penggunaan darah dengan segera,
merupakan kebutuhan mutlak untuk pelayanan obstetri yang layak.1,2,3
Pada referat ini secara spesifik akan dibahas mengenai perdarahan pada
kehamilan muda/trimester pertama.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Perdarahan pervaginam pada kehamilan muda adalah perdarahan yang


terjadi sebelum kehamilan 22 minggu.1
Kehamilan normal biasanya tidak disertai dengan perdarahan pervaginam,
tetapi terkadang banyak wanita mengalami episode perdarahan pada trimester
pertama kehamilan. Darah yang keluar biasanya segar (merah terang) atau
berwarna coklat tua (coklat kehitaman). Perdarahan yang terjadi biasanya ringan,
tetapi menetap selama beberapa hari atau secara tiba-tiba keluar dalam jumlah
besar.1
Terdapat klasifikasi perdarahan pada kehamilan muda, yaitu:1
1. Abortus
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu
hidup di luar kandungan.
2. Mola hidatidosa
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh
vili korialisnya mengalami perubahan hidrofik.
3. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
KET adalah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang
bersangkutan, berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan
yang gawat.

A. ABORTUS
1. Definisi dan Epidemiologi
Abortus merupakan kehamilan yang berhenti prosesnya pada
umur kehamilan di bawah 20 minggu, atau berat fetus yang lahir 500
gram atau kurang. Sedangkan menurut WHO abortus didefinisikan
sebagai keluarnya janin sebelum mencapai viabilitas, dimana masa
gestasi belum mencapai 22 minggu dan beratnya kurang dari 500
gram.2

2
Menurut WHO 15-50 % kematian ibu disebabkan oleh abortus.
Komplikasi abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat
menyebabkan kematian. Berdasarkan data WHO, diperkirakan 4,2 juta
abortus terjadi setiap tahun di Asia Tenggara.2
2. Etiologi
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya abortus yaitu :
a. Faktor Genetik
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan
kariotip dari embrio. Data ini berdasarkan pada 50% kejadian
abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik
yang berupa aneuploidi yang bisa disebabkan oleh kejadian
nondisjuction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal dan
separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester
pertama berupa trisomi autosom.3
Triplodi ditemukan pada 16% kejadian abortus di mana
terjadi fertilisasi ovum normal oleh 2 sperma (dispermi). Insiden
trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi (30% dari
seluruh trisomi) adalah penyebab terbanyak abortus spontan
diikuti dengan sindroma Turner (20-25%) dan Sindroma Down
atau trisomi 21 yang sepertiganya bisa bertahan sehingga lahir.
Selain kelainan sitogenetik, kelainan lain seperti fertilisasi
abnormal iaitu dalam bentuk tetraploidi dan triploid dapat
dihubungkan dengan abortus absolut.3
Kelainan dari struktur kromosom juga adalah salah satu
penyebab kelainan sitogenetik yang berakibat aborsi dan kelainan
ini sering diturunkan oleh ibu, sedangkan kelainan struktur
kromoson pada pria berdampak pada rendahnya konsentrasi
sperma, infertilitas dan faktor lainnya yang bisa mengurangi
peluang kehamilan.3
Selain itu, gen yang abnormal akibat mutasi gen bisa
mengganggu proses implantasi dan mengakibatkan abortus

3
seperti mytotic dystrophy yang berakibat pada kombinasi gen
yang abnormal dan gangguan fungsi uterus. Gangguan genetik
seperti Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos,
hemosistenuri dan pseudoxantoma elasticum merupakan
gangguan jaringan ikat yang bisa berakibat abortus. Kelainan
hematologik seperti pada penderita sickle cell anemia,
disfibronogemi, defisiensi faktor XIII mengakibatkan abortus
dengan mengakibatkan mikroinfak pada plasenta.3
b. Faktor Anatomi
Defek anatomi diketahui dapat menjadi penyebab
komplikasi obstetrik terutama abortus. Pada perempuan dengan
riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27% pasien.
Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus
adalah septum uterus akibat daripada kelainan duktus Mulleri
(40-80%), dan uterus bicornis atau uterus unicornis (10-30%).
Mioma uteri juga bisa mengakibatkan abortus berulang dan
infertilitas akibat dari gangguan passage dan kontraktilitas
uterus. Sindroma Asherman bisa mengakibatkan abortus dengan
mengganggu tempat implantasi serta pasokan darah pada
permukaan endometrium. Kelainan kogenital arteri uterina yang
membahayakan aliran darah endometrium dapat juga
berpengaruh.3
Selain kelainan yang disebut di atas, serviks inkompeten
juga telah terbukti dapat meyebabkan abortus terutama pada
kasus abortus spontan. Pada kelainan ini, dilatasi serviks yang
silent dapat terjadi antara minggu gestasi 16-28 minggu.
Wanita dengan serviks inkompeten selalu memiliki dilatasi
serviks yang signifikan yaitu 2 cm atau lebih dengan
memperlihatkan gejala yang minimal. Apabila dilatasi mencapai
4 cm atau lebih, maka kontraksi uterus yang aktif dan pecahnya
membran amnion akan terjadi dan mengakibatkan ekspulsi

4
konsepsi dalam rahim. Faktor-faktor yang mengakibatkan serviks
inkompeten adalah kehamilan berulang, operasi serviks
sebelumnya, riwayat cedera serviks, pajanan pada
dietilstilbestrol, dan abnormalitas anatomi pada serviks.1
Sebelum kehamilan atau pada kehamilan trimester pertama,
tidak ada metode yang bisa digunakan untuk mengetahui bila
serviks akan inkompeten namun, setelah 14-16 minggu, USG
baru dapat digunakan untuk menilai anatomi segmen uterus
bagian bawah dan serviks untuk melihat pendataran dan
pemendekan abnormal serviks yang sesuai dengan serviks
inkompeten.1
c. Faktor Endokrin
Ovulasi, implantasi dan kehamilan dini sangat bergantung
pada koordinasi sistem pengaturan hormonal martenal yang baik.
Perhatian langsung pada sistem hormonal secara keseluruhan,
fase luteal dan gambaran hormon setelah konsepsi terutamanya
kadar progesteron sangat penting dalam mengantisipasi abortus.3
Pada diabetes mellitus, perempuan dengan kadar HbA1c
yang tinggi pada trimester yang pertama akan berisiko untuk
mengalami abortus dan malformasi janin. Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) dengan kontrol yang tidak adekuat
berisiko 2-3 kali lipat untuk abortus.3
Kadar progesteron yang rendah juga mempengaruhi
reseptivitas endometrium terhadap implantasi embrio. Kadar
progesteron yang rendah diketahui dapat mengakibatkan abortus
terutamanya pada kehamilan 7 minggu di mana trofoblas harus
menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan.
Pengangkatan korpus luteum pada usia 7 minggu akan berakibat
abortus dan jika diberikan progest.3
Penelitian pada perempuan yang mengalami abortus
berulang, didapatkan 17% kejadian defek luteal yaitu kurangnya

5
progesteron pada fase luteal. Namum pada saat ini, masih belum
ada metode yang bisa terpercaya untuk mendiagnosa kelainan
ini.3
Faktor humoral terhadap imunitas desidua juga berperan
pada kelangsungan kehamilan. Perubahan endometrium menjadi
desidua mengubah semua sel pada mukosa uterus. Perubahan
morfologi dan fungsional ini mendukung proses implantasi,
proses migrasi trofoblas dan mencegah invasi yang berlebihan
pada jaringan ibu. Di sini interaksi antara trofoblas ekstravillus
dan infiltrasi leukosit pada mukosa uterus berperan penting di
mana sebagian besar leukosit adalah large granular cell dan
makrofag dengan sedikit sel T dan sel B. Sel Natural Killer (NK)
dijumpai dalam jumlah yang banyak terutama pada endometrium
yang terpapar progesteron. Perannya adalah pada trimester 1 akan
terjadi peningkatan sel NK untuk membunuh sel target dengan
sedikit atau tanpa ekspresi Human Leukocyte antibody (HLA).
Trofoblas ekstravillous tidak bisa dihancurkan oleh sel NK
karena sifatnya yang cepat menghasilkan HLA1 sehingga
terjadinya invasi optimal untuk plasentasi yang optimal oleh
trofoblas extravillous. Maka, gangguan pada sistem ini akan
berpengaruh pada kelangsungan kehamilan.3
d. Faktor Infeksi
Ada berbagai teori untuk menjelaskan keterkaitan infeksi
dengan kejadian abortus. Antaranya adalah adanya metabolik
toksik, endotoksin, eksotoksin dan sitokin yang berdampak
langsung pada janin dan unit fetoplasenta. Infeksi janin yang
bisa berakibat kematian janin dan cacat berat sehingga janin sulit
untuk bertahan hidup.3
Infeksi plasenta akan berakibat insufisiensi plasenta dan bisa
berlanjut kematian janin. Infeksi kronis endometrium dari
penyebaran kuman genetalia bawah yang bisa mengganggu

6
proses implantasi. Amnionitis oleh kuman gram positif dan gram
negatif juga bisa mengakibatkan abortus. Infeki virus pada
kehamilan awal dapat mengakibatkan perubahan genetik dan
anatomik embrio misalnya pada infeksi rubela, parvovirus,
Cytomegalovirus (CMV), Herpes Simpleks Virus (HSV),
koksakie virus dan varisella zoster.3
Di sini adalah beberapa jenis organisme yang bisa
berdampak pada kejadian abortus: 3
1) Bakteria: listeria monositogenes, klamidia trakomatis,
ureaplasma urealitikum, mikoplasma hominis, bakterial
vaginosis.
2) Virus: CMV, HSV, HIV dan parvovirus
3) Parasit: toksoplasma gondii, plasmodium falsifarum.
4) Spirokaeta: treponema pallidum.
e. Faktor imunologi
Beberapa penyakit berhubungan erat dengan kejadian
abortus. Antaranya adalah SLE dan Antiphospholipid Antibodies
(aPA). aPA adalah antibodi spesifik yang ditemukan pada ibu
yang menderita SLE. Peluang terjadinya pengakhiran kehamilan
pada trimester 2 dan 3 pada SLE adalah 75%. Menurut penelitian,
sebagian besar abortus berhubungan dengan adanya aPA yang
merupakan antibodi yang akan berikatan dengan sisi negatif dari
phosfolipid. Selain SLE, antiphosfolipid syndrome (APS) dapat
ditemukan pada preemklamsia, IUGR, dan prematuritas. Dari
International Consensus Workshop pada tahun 1998, klasifikasi
APS adalah:3
1) Trombosis vaskular (satu atau lebih episode trombosis
arteri, venosa atau kapiler yang dibuktikan dengan
gambaran Doppler, dan histopatologi).
2) Komplikasi kehamilan (3 atau lebih abortus dengan sebab
yang tidak jelas, tanpa kelainan anatomik, genetik atau

7
hormonal/ satu atau lebih kematian janin di mana gambaran
sonografi normal/ satu atau lebih persalinan prematur
dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengan
preeklamsia berat,atau insufisiensi plasenta yang berat)
3) Kriteria laboratorium (IgG dan atau IgM dengan kadar yang
sedang atau tinggi pada 2 kali atau lebih dengan
pemeriksaan jarak lebih dari 1 atau sama dengan 6 minggu)
4) Antibodi fosfolipid (pemanjangan koagulasi fospholipid,
aPTT, PT, dan CT, kegagalan untuk memperbaikinya
dengan pertambahan dengan plasma platlet normal dan
adanya perbaikan nilai tes dengan pertambahan fosfolipid)
f. Faktor trauma
Trauma abdominal yang berat dapat menyebabkan
terjadinya abortus yang yang diakibatkan karena adanya
perdarahan, gangguan sirkulasi maternoplasental, dan
infeksi.Namun secara statistik, hanya sedikit insiden abortus
yang disebabkan karena trauma.1,3
g. Faktor nutrisi dan lingkungan
Diperkirakan 1-10% malformasi janin adalah akibat dari
paparan obat, bahan kimia atau radiasi yang umumnya akan
berakhir dengan abortus. Faktor-faktor yang terbukti
berhubungan dengan peningkatan insiden abortus adalah
merokok, alkohol dan kafein.4
h. Faktor kontrasepsi berencana
Kontrasepsi oral atau agen spermicidal yang digunakan
pada salep dan jeli kontrasepsi tidak berhubungan dengan risiko
abortus. Namun, jika pada kontrasepsi yang menggunakan IUD,
intrauterine device gagal untuk mencegah kehamilan, risiko
aborsi khususnya aborsi septik akan meningkat dengan
signifikan.1

8
3. Klasifikasi
Abortus dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, antara
lain:2,5
a. Menurut kejadianya
1) Abortus spontan adalah abortus yang terjadi dengan
sendirinya, tidak didahului faktor-faktor mekanis, semata-
mata disebabkan oleh faktor alamiah, merupakan 20%
dari semua abortus.
2) Abortus Provokatus adalah abortus yang sengaja
digugurkan, merupakan 80% dari semua abortus.
a) Abortus Provokatus Terapetikus, dengan alasan
kehamilan membahayakan ibunya atau janin cacat.
b) Abortus Provokatus Kriminalis, tanpa alasan medis
yang sah dan dilarang oleh hukum.
b. Menurut derajatnya
1) Abortus Imminens adalah peristiwa terjadinya perdarahan
dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana
hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya
dilatasi serviks.
2) Abortus Insipien adalah peristiwa terjadinya perdarahan
dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, dengan
adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil
konsepsi masih berada di dalam uterus.
3) Abortus inkompletus adalah peristiwa pengeluaran sebagian
hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu, dengan
masih ada sisa tertinggal dalam uterus, perdarahan yang
banyak.
4) Abortus komplitus adalah terjadinya pengeluaran lengkap
seluruh jaringan konsepsi sebelum usia kehamilan 20
minggu.

9
5) Missed abortion adalah kematian janin dan nekrosis
jaringan konsepsi tanpa ada pengeluaran selama lebih dari 4
minggu atau lebih (beberapa buku: 8minggu). Biasanya
didahului tanda dan gejala abortus imminens yang
kemudian menghilang spontan atau menghilang setelah
pengobatan.
6) Abortus habitualis adalah abortus spontan 3 kali atau lebih
secara berturut-turut.
4. Patofisiologi
Abortus dimulai dari perdarahan ke dalam decidua basalis yang
diikuti dengan nekrosis jaringan disekitar perdarahan. Jika terjadi lebih
awal, maka ovum akan tertinggal dan mengakibatkan kontraksi uterin
yang akan berakir dengan ekpulsi karena dianggap sebagai benda asing
oleh tubuh. Apabila kandung gestasi dibuka, biasanya ditemukan fetus
maserasi yang kecil atau tidak adanya fetus sama sekali dan hal ini
disebut blighted ovum.1
Pada abortus yang terjadi lama, beberapa kemungkinan boleh
terjadi. Jika fetus yang tertinggal mengalami maserasi, yang mana
tulang kranial kolaps, abdomen dipenuhi dengan cairan yang
mengandung darah, dan degenarasi organ internal. Kulit akan
tertanggal di dalam uterus atau dengan sentuhan yang sangat minimal.
Bisa juga apabila cairan amniotik diserap, fetus akan dikompress dan
mengalami desikasi, yang akan membentuk fetus compressus. Kadang-
kadang, fetus boleh juga menjadi sangat kering dan dikompres
sehingga menyerupai kertas yang disebut fetus papyraceous.1
Pada kehamilan di bawah 8 minggu, hasil konsepsi dikeluarkan
seluruhnya, karena vili korialis belum menembus desidua terlalu
dalam; sedangkan pada kehamilan 8-14 minggu, vili korialis telah
masuk agak dalam, sehingga sebagian keluar dan sebagian lagi akan
tertinggal. Perdarahan yang banyak terjadi karena hilangnya kontraksi
yang dihasilkan dari aktivitas kontraksi dan retraksi miometrium.4

10
5. Gejala Klinis
Gejala klinis dari abortus adalah:
a. Perdarahan
Berlangsung ringan sampai dengan berat. Perdarahan
pervaginam bisa sedikit atau banyak dilihat dari pads atau
tampon yang telah dipakai, dan biasanya berupa darah beku
tanpa atau desertai dengan keluarnya fetus atau jaringan. Ini
penting untuk melihat progress abortus.4,5
b. Nyeri
"Cramping pain", rasa nyeri seperti pada waktu haid di
daerah suprasimfiser, pinggang dan tulang belakang yang bersifat
ritmis.5
c. Febris
Pada abortus yang sudah lama terjadi atau pada abortus
provokatus sering terjadi infeksi yang dilihat dari demam, nadi
cepat, perdarahan, berbau, uterus membesar dan lembek, nyeri
tekan,dan leukositosis.4
6. Diagnosis
a. Anamnesis
3 gejala utama (postabortion triad) pada abortus adalah
nyeri di perut bagian bawah terutamanya di bagian suprapubik
yang bisa menjalar ke punggung, bokong dan perineum,
perdarahan pervaginam dan demam yang tidak tinggi. Gejala ini
terutamanya khas pada abortus dengan hasil konsepsi yang masih
tertingal di dalam rahim. Selain itu, ditanyakan adanya amenore
pada masa reproduksi kurang 20 minggu dari HPHT. Perdarahan
pervaginam dapat tanpa atau disertai jaringan hasil konsepsi.
Bentuk jaringan yang keluar juga ditanya apakah berupa jaringan
yang lengkap seperti janin atau tidak atau seperti anggur. Rasa
sakit atau keram bawah perut biasanya di daerah atas simpisis.4

11
Riwayat penyakit sekarang seperti IDDM yang tidak
terkontrol, tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol, trauma,
merokok, mengambil alkohol dan riwayat infeksi traktus
genitalis harus diperhatikan. Riwayat bepergian ke tempat
endemik malaria dan pengambilan narkoba malalui jarum suntik
dan seks bebas dapat menambah curiga abortus akibat infeksi.4
b. Pemeriksaan Fisik
Bercak darah diperhatikan banyak, sedang atau sedikit.
Palpasi abdomen dapat memberikan idea keberadaan hasil
konsepsi dalam abdomen dengan pemeriksaan bimanual. Yang
dinilai adalah uterus membesar sesuai usia gestasi, dan
konsistensinya. Pada pemeriksaan pelvis, dengan menggunakan
spekulum keadaan serviks dapat dinilai apakah terbuka atau
tertutup , ditemukan atau tidak sisa hasil konsepsi di dalam uterus
yang dapat menonjol keluar, atau didapatkan di liang vagina.3
Tabel 1. Hasil pemeriksaan fisik pada kehamilan muda: 3
Perdarahan Serviks Uterus Gejala dan tanda Diagnosis
Bercak Tertutup Sesuai dengan usia Kram perut bawah, Abortus
sedikit gestasi uterus lunak immines
hingga Tertutup/ Lebih kecil dari Sedikit/tanpa nyeri perut Abortus
sedang terbuka usia gestasi bawah, riwayat ekspulsi komplit
hasil konsepsi

Sedang Terbuka Sesuai dengan usia Kram atau nyeri perut Abortus
sehingga kehamilan bawah, belum terjadi insipien
masif ekspulsi hasil konsepsi

Kram atau nyeri perut Abortus


bawah, ekspulsi sebagian inkomplit
hasil konsepsi
Terbuka Lunak dan lebih Mual/muntah, kram Abortus
besar dari usia perut bawah, sindroma mola
gestasi mirip PEB, tidak ada
janin, keluar jaringan
seperti anggur

12
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium berupa tes kehamilan,
hemoglobin, leukosit, waktu bekuan, waktu perdarahan,
trombosit, dan gula darah sewaktu. Pada pemeriksaan USG
ditemukan kantung gestasi tidak utuh, ada sisa hasil konsepsi
dalam uterus.4y
7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding abortus, diantaranya: 6
a. Kehamilan ektopik tertanggu
b. Perdarahan anovular pada wanita yang tidak hamil
c. Abortus mola hidatidosa
d. Polip endoserviks
e. Karsinoma serviks
8. Penatalaksanaan
a. Abortus Imminens
Pada abortus imminens, tidak perlu pengobatan khusus atau
tirah baring total dan pasien dilarang dari melakukan aktivitas
fisik berlebihan ataupun hubungan seksual. Jika terjadi
perdarahan berhenti, asuhan antenatal diteruskan seperti biasa
dan penilaian lanjutan dilakukan jika perdarahan terjadi lagi.
Pada kasus yang perdarahan terus berlansung, kondisi janin
dinilai dan konfirmasi kemungkinan adanya penyebab lain
dilakukan dengan segera. Pada perdarahan berlanjut khususnya
pada uterus yang lebih besar dari yang diharapkan, harus
dicurigai kehamilan ganda atau mola.3
b. Abortus Insipiens
Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi uterus
dilakukan dengan aspirasi vakum manual. Jika evakuasi tidak
dapat segera dilakukan maka, Ergometrin 0,2 mg IM atau
Misopristol 400mcg per oral dapat diberikan. Kemudian

13
persediaan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus
dilakukan dengan segera.3
Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, ekpulsi spontan
hasil konsepsi ditunggu, kemudian sisa-sisa hasil konsepsi
dievakuasi. Jika perlu, infus 20 unit oxytoxin dalam 500cc cairan
IV (garam fisiologik atau larutan Ringer Laktat) dengan
kecepatan 40 tetes per menit diberikan untuk membantu ekspulsi
hasil konsepsi. Setelah penanganan, kondisi ibu tetap dipantau.
c. Abortus Inkomplit
Jika perdarahan tidak beberapa banyak dan kehamilan
kurang dari 16 minggu, evakuasi dapat dilakukan secara digital
atau dengan cunam ovum untuk mengeluarkan hasil konsepsi
yang keluar melalui serviks. Jika perdarahan berhenti,
Ergometrin 0,2 mg IV atau misoprostol 400mcg per oral
diberikan.3
Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung, dan usia
kehamilan kurang dari 16 minggu, hasil konsepsi dievakuasi
dengan aspirasi vakum manual. Evakuasi vakum tajam hanya
digunakan jika tidak tersedia aspirasi vakum manual (AVM).
Jika evakuasi belum dapat dilakukan dengan segera, Ergometrin
0,2mg IM atau Misoprostol 400mcg per oral dapat diberikan.3
Jika kehamilan lebih dari 16 minggu, infus oksitosin 20 unit
diberikan dalam 500ml cairan IV (garam fisiologik atau RL)
dengan kecepatan 40 tetes per menit sampai terjadi ekspulsi hasil
konsepsi. Jika perlu Misoprostol 200mcg pervaginam diberikan
setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Hasil
konsepsi yang tertinggal dalam uterus segera dievakuasi.3
d. Abortus Komplit
Pada kasus ini, evakuasi tidak perlu dilakukan lagi.
Observasi untuk melihat adanya perdarahan yang banyak perlu
diteruskan dan kondisi ibu setelah penanganan tetap dibuat.

14
Apabila terdapat anemia sedang, tablet sulfas ferrosus
600mg/hari selama 2 minggu diberikan, jika anemia berat
diberikan transfusi darah. Seterusnya lanjutkan dengan konseling
asuhan pascakeguguran dan pemantauan lanjut jika perlu.3
e. Abortus septik/infeksius
Pengelolaan pasien pada abortus septik harus
mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan perlunya
pemberian antibiotika yang mencukupi sesuai dengan hasil kultur
dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan cairan flour
yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama dapat diberikan
Penisillin 4x 1juta unit atau ampicillin 4x 1gram ditambah
gentamisin 2x80mg dan metronidazol 2x1gram. Selanjutnya,
antibiotik dilanjutkan dengan hasil kultur.3
Tindakan kuretase dilaksanakan bila tubuh dalam keadaan
membaik minimal 6 jam setelah antibiotika adekuat telah
diberikan. Pada saat tindakan, uterus harus dilindungi dengan
uterotonik untuk mengelakkan komplikasi. Antibiotik harus
dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2
hari pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan
antibiotik yang lebih sesuai dah kuat. Apabila ditakutkan terjadi
tetanus, injeksi ATS harus diberikan dan irigasi kanalis
vagina/uterus dibuat dengan larutan peroksida H2O2.
Histerektomi harus dibuat secepatnya jika indikasi.3
9. Komplikasi
a. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari
sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah.
Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan
tidak diberikan. Perdarahan yang berlebihan sewaktu atau
sesudah abortus bisa disebabkan oleh atoni uterus, laserasi

15
cervikal, perforasi uterus, kehamilan serviks, dan juga
koagulopati. 4
b. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada
uterus dalam posisi hiperretrofleksi. Terjadi robekan pada rahim,
misalnya abortus provokatus kriminalis. Dengan adanya dugaan
atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera
dilakukan untuk menentukan luasnya perlukaan pada uterus dan
apakah ada perlukan alat-alat lain. Pasien biasanya datang
dengan syok hemoragik.4
c. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok
hemoragik) dan karena infeksi berat. Vasovagal syncope yang
diakibatkan stimulasi canalis sevikalis sewaktu dilatasi juga
boleh terjadi namum pasien sembuh dengan segera.4
d. Infeksi
Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada
desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi
menyebar ke perimetrium, tuba, parametrium, dan peritonium.
Organisme-organisme yang paling sering bertanggung
jawab terhadap infeksi paska abortus adalah E.coli,
Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob,
Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan
Clostridium perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai
adalah Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium
tetani. Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena
dapat membentuk gas.4
10. Prognosis
Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi aborsi
spontan sebelumnya. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita
dengan abortus yang rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar

16
>90 %. Pada wanita keguguran dengan etiologi yang tidak diketahui,
kemungkinan keberhasilan kehamilan sekitar 40-80 %. Sekitar 77 %
angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas jantung janin pada
kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih aborsi
spontan yang tidak jelas.4

B. MOLA HIDATIDOSA
1. Definisi
Mola hidatidosa merupakan suatu kehamilan yang tidak wajar,
yang sebagianatau seluruh vili korialisnya mengalami degenerasi
hidropik berupa gelembung yang menyerupai anggur.1
Berbagai istilah pernah digunakan untuk menggambarkan
kelainan ini, misalnya bila seluruh vili korialis mengalami degenerasi
hidropobik, tanpa ada embrio, disebut sebagai Complete Mole, True
Mole, Classic Mole, atau Mole Hydatidiform (Prancis). Bila diantara
gelembung ditemukan embrio, disebut Transitional Mole (Alter &
Crosgrove), Incomplete Mole (Szulman), atau Mole Embryonee.1
2. Epidemiologi
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika dan
Amerika Latin dibandingkan dengan Negara-negara barat. Di negara-
negara barat dilaporkan 1:200 atau 2000 kehamilan. Di Negara-negara
berkembang dilaporkan 100 atau 600 kehamilan. Biasanya dijumpai
lebih sering pada umur reproduktif (14-45 tahun) dan multipara. Jadi
dengan meningkatnya paritas kemungkinan menderita mola akan lebih
besar. Sebire dkk menemukan bahwa insidensi dari MH meningkat 10
kali lipat pada wanita berusia 15 tahun dan 45 tahun.7,8
3. Etiologi
Penyebab pasti mola hidatidosa tidak diketahui, tetapi faktor-
faktor yang mungkin dapat menyebabkan dan mendukung terjadinya
mola, antara lain:7

17
a. Faktor ovum, di mana ovum memang sudah patologik sehingga
mati, tetapi terlambat dikeluarkan
b. Imunoselektif dari trofoblas
c. Keadaan sosioekonomi yang rendah
d. Paritas tinggi
e. Kekurangan protein
f. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas
4. Faktor Risiko
Mola hidatidosa (MH) dapat terjadi pada semua wanita dalam
masa reproduksi. Pasien termuda yang pernah dilaporkan berusia 12
tahun dan tertua berusia 57 tahun. Penelitian selanjutnya menunjukkan
bahwa kelompok umur dengan resiko lebih tinggi adalah mereka yang
hamil pada usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun. Bahkan
menurut Pritchard dan Smalbraak, pada usia diatas 40 tahun,
insidensinya 4-10 kali dari mereka yang berusia 20-40 tahun.1
Selain itu, faktor gizi juga dianggap berpengaruh terhadap
kejadian MH. Berdasarkan beberapa penelitian, diketahui bahwa
kekurangan atau defisiensi zat-zat seperti protein, asam folat, histidin,
dan -carotene dapat meningkatkan insidensi MH.1
WHO Scientific Group tahun 1983, berkesimpulan bahwa selain
usia dan gizi, riwayat obstetrik juga memiliki pengaruh terhadap
kejadian MH. Mereka mengatakan bahwa kejadian MH akan
meningkat pada wanita yang pernah mendapat MH dan kehamilan
kembar, tetapi multiparitas bukan merupakan faktor resiko.1
Genetik juga merupakan faktor resiko lain yang mendapat
perhatian. Hasil penelitian sitogenetik Kaiji et al dan Lawler et al,
menunjukkan bahwa pada kasus MH lebih banyak ditemukan kelainan
Balance Translocation dibandingkan dengan populasi normal (4,6%
dan 0,6%). Wanita dengan kelainan sitogenetik seperti ini, memiliki
kemungkinan untuk lebih banyak mengalami gangguan proses meiosis

18
berupa nondisjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang
kosong atau yang intinya tidak aktif.1
Wanita dengan MH akan memiliki resiko tinggi untuk menderita
Mola Hidatidosa Komplit (MHK) atau Mola Hidatidosa Parsial (MHP)
pada kehamilan selanjutnya. Garner dkk melaporkan bahwa sekitar
1,4% wanita dengan MHK sebelumnya akan menderita MH di
kehamilan selanjutnya dan 2,4% pada pasien dengan MHP.7
5. Patofisiologi
Untuk menahan ovum yang telah dibuahi selama perkembangan
sebutir ovum, sesudah keluar dari ovarium diantarkan melalui tuba
uterin ke uterus (pembuahan ovum secara normal terjadi dalam tuba
uterin) sewaktu hamil yang secara normal berlangsung selama 40
minggu, uterus bertambah besar, tapi dindingnya menjadi lebih tipis
tetapi lebih kuat dan membesar sampai keluar pelvis, masuk ke dalam
rongga abdomen pada masa fetus.3
Pada umumnya setiap kehamilan berakhir dengan lahirnya bayi
yang sempurna. Tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian.
Sering kali perkembangan kehamilan mendapat gangguan. Demikian
pula dengan penyakit trofoblas, yang merupakan kegagalan
reproduksi. Di sini kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang
sempurna, melainkan berkembang menjadi keadaan patologik yang
terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan, berupa degenerasi
hidrofik dari jonjot karion, sehingga menyerupai gelembung yang
disebut mola hidatidosa. Sebagian dari villi berubah menjadi
gelembung gelembung berisi cairan jernih merupakan kista kista
kecil seperti anggur dan dapat mengisi seluruh cavum uteri. Secara
histopatologik kadang-kadang ditemukan jaringan mola pada plasenta
dengan bayi normal. Bisa juga terjadi kehamilan ganda mola, yaitu
satu jenis tumbuh dan yang satu lagi menjadi mola hidatidosa.
Gelembung mola besarnya bervariasi, mulai dari yang kecil sampai
yang berdiameter lebih dari 1 cm 5. Pada ummnya penderita mola

19
hidatidosa akan menjadi baik kembali, tetapi ada diantaranya yang
kemudian mengalami degenerasi keganasan yang berupa karsinoma.3
Teori terjadinya penyakit trofoblas ada 2, yaitu teori missed
abortion dan teori neoplasma. Teori missed abortion menyatakan
bahwa mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu (missed abortion)
karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi
penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya
terbentuklah gelembung-gelembung. Teori neoplasma menyatakan
bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas dan juga fungsinya
dimana terjadi resorbsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga
timbul gelembung.3
6. Klasifikasi
Penelitian sitogenetik dilakukan pada tahun 1970-an oleh Kaiji,
Vassilokos, Szulman, dan lain-lain dan telah dicapai kesepakatan
bahwa mola hidatidosa itu terdiri dari dua jenis, yaitu:1,9
a. Mola Hidatidosa Komplit (MHK)
Pada MHK seluruh vili korialis mengalami degenerasi
hidropik sehingga sama sekali tidak ditemukan unsur janin.
Secara makroskopis, MHK mempunyai gambaran yang khas,
yaitu berbentuk kista atau gelembung-gelembung dengan ukuran
antara beberapa mm sampai 2-3 cm, berdinding tipis, kenyal,
berwarna putih jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau
edema. Kalau ukurannya kecil, tampak seperti kumpulan telur
katak, tetapi kalau besar, tampak seperti serangkaian buah anggur
yang bertangkai. Oleh karena itu, MHK disebut juga sebagai
kehamilan anggur. Tangkai tersebut melekat pada endometrium.
Bila tangkainya putus, terjadilah perdarahan. Kadang-kadang
gelembung-gelembung tersebut diliputi oleh darah merah atau
coklat tua yang sudah mengering.

20
b. Mola Hidatidosa Parsial (MHP)
Pada MHP hanya sebagian dari vili korialis yang
mengalami degenerasi hidropik sehingga unsur janin selalu ada.
Perkembangan janin akan tergantung kepada luasnya plasenta
yang mengalami degenerasi, tetapi janin biasanya tidak dapat
bertahan lama dan akan mati dalam rahim, walaupun dalam
kepustakaan ada yang melaporkan tentang kasus MHP yang
janinnya dapat hidup sampai aterm.
7. Manifestasi Klinis
Mola hidatidosa merupakan suatu kehamilan, walaupun
bentuknya patologis. Oleh karena itu, pada bulan-bulan pertama,
tanda-tandanya tidak berbeda dengan kehamilan biasa, yaitu dimulai
dengan amenore, mual, dan muntah. Ada beberapa laporan yang
mengatakan bahwa pada MH lebih sering terjadi hiperemesis dan
keluhannya lebih hebat dari kehamilan biasa.1,10
Pada kehamilan biasa, pembesaran uterus terjadi melalui dua
fase, yaitu fase aktif sebagai akibat dari pengaruh hormonal dan fase
pasif sebagai akibat pembesaran hasil kehamilan (anak, plasenta dan
air ketuban). Proses ini tidak terjadi pada MH. Vili korialis yang
mengalami degenarasi hidropik, berkembang dengan cepat dan
mengisi seluruh kavum uteri. Akibatnya uterus ikut membesar dengan
cepat pula, sehingga ukuran uterus lebih besar dari tuanya kehamilan
atau lamanya amenore. Pembentukan segmen bawah rahim (SBR)
biasanya sudah terjadi pada kehamilan yang lebih muda (24 minggu).
Menurut Acosta Sison, SBR ini terbentuk berupa penonjolan, yang
disebut sebagai ballooning, dan merupakan ciri khas dari MHK.
Ballooning dapat diraba pada pemeriksaan dalam sebagai penonjolan
SBR ke arah depan, dengan konsistensi yang lunak.1
Perdarahan per vaginam juga dapat terjadi, sebagai akibat dari
respon tubuh untuk mengeluarkan gelembung mola. Bedanya dengan
abortus biasa adalah pada abortus biasa, besar uterus sesuai dengan

21
lamanya amenore. Perdarahan pada MH dapat berupa bercak-bercak
sedikit, intermiten, atau sekaligus banyak, sehingga dapat
menyebabkan syok hipovolemik. Kadang-kadang perdarahan ini
disertai dengan keluhan keluarnya gelembung mola, sehingga
mempermudah diagnosis.1
Pada kehamilan biasa, kadar hormon hCG (human
choriogonadotrophin) yang dihasilkan oleh sel sinsitiotrofoblas akan
naik terus sampai usia kehamilan 60-80 hari, dan kemudian turun lagi
setelah umur kehamilan 85 hari. Pada puncaknya, kadar hCG dapat
mencapai 600.000 mIU/ml. Selanjutnya, sampai kehamilan aterm,
kadar hCG rata-rata adalah 20.000 mUI/ml. Sementara pada MHK,
seluruh kavum uteri diisi oleh jaringan trofoblas sehingga tidak akan
terjadi penurunan kadar hCG. Kadar hCG ini akan terus meningkat
sampai bisa mencapai 5.000.000 mIU/ml, selama ada pertumbuhan sel
trofoblas dan selama gelembung mola belum keluar atau dikeluarkan.1
Kelainan lain yang menyertai MHK adalah adanya kista lutein
sebagai akibat rangsangan yang berlebihan terhadap ovarium oleh
kadar hCG yang sangat tinggi. Kista yang terjadi bisa unilateral atau
bilateral, dan besarnya bervariasi antara beberapa sentimeter sampai
sebesar boa voli. Umumnya kista ini akan mengecil lagi setelah
jaringan mola dievakuasi. Oleh karena itu, kita tidak perlu
mengangkatnya walaupun ukurannya sangat besar, kecuali jika ada
komplikasi seperti torsi atau ruptur.1
8. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, USG dan histologis:11
a. Anamnesis
Ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda
yang berlebihan, perdarahan pervaginam berulang cenderung
berwarna coklat dan kadang bergelembung seperti busa.

22
Gejala mola parsial tidak sama seperti komplet mola.
Penderita biasanya hanya mengeluhkan gejala seperti terjadinya
abortus inkomplet atau missed abortion, seperti adanya
perdarahan vaginal dan tidak adanya denyut jantung janin.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan fisik meliputi:
a) Inspeksi : muka dan kadang-kadang badan kelihatan
kekuningan yang disebut muka mola (mola face)
b) Palpasi : uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya
kehamilan, teraba lembek Tidak teraba bagian-bagian
janin dan ballotement dan gerakan janin.
c) Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung
janin.
d) Pemeriksaam Dalam : memastikan besarnya uterus,
uterus terasa lembek, terdapat perdarahan dalam
kanalis servikalis.
2) Temuan fisik yang didapat, diantaranya:
a) Mola Sempurna
Ukuran yang tidak sesuai dengan umur gestasi.
Pembesaran uterus lebih besar daripada
biasanya pada usia gestasi tertentu merupakan
tanda yang klasik dari mola sempurna.
Pembesaran tidak diharapkan disebabkan oleh
pertumbuhan trofoblasik berlebih dan darah
yang tertampung. Namun, pasien yang datang
dengan ukuran sesuai dengan umur kehamilan
bahkan lebih kecil tidak jarang ditemukan.
Preeklampsia. Sekitar 27% pasien dengan mola
sempurna mengalami toxemia ditandai oleh
adanya hipertensi (BP >140/90 mm Hg),

23
proteinuria (> 300 mg/d), dan edema dengan
hiperreflexia. Kejang jarang terjadi.
Kista teca lutein: Merupakan kista ovarium
dengan diameter lebih besar dari 6cm dan
diikuti dengan pembesaran ovarium. Kista ini
biasanya tidak dapat dipalpasi pada pemeriksaan
bimanual namun dapat teridentifikasi dengan
USG. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri
pelvis. Karena adanya peningkatan ukuran
ovarium, terdapat resiko torsi. Kista ini
berkembang akibat adanya kadar beta-HCG
yang tinggi dan kadarnya biasanya menurun
setelah mola.
b) Mola Parsial
a. Lebih sering tidak memperlihatkan tanda fisik.
Paling sering ditemukan dengan USG.
b. Pembesaran uterus dan preeklampsia dilaporkan
terjadi hanya pada 3% kasus
c. Kista Theca lutein, hiperemesis dan
hipertiroidisme jarang terjadi.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain
kadar beta HCG yang normal. Bila didapatkan > 100.000
mIU/mL merupakan indikasi dari pertumbuhan trofoblasik
yang banyak sekali dan kecurigaan terhadap kehamilan
mola harus disingkirkan. Anemia merupakan komplikasi
yang sering terjadi disertai dengan kecenderungan
terjadinya koagulopati.sehingga pemeriksaan darah lengkap
dan tes koagulasi dilakukan. Dilakukan juga pemeriksaan

24
tes fungsi hati, BUN dan kreatinin serta thyroxin dan serum
inhibin A dan activin.
2) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan
standar untuk mengidentifikasi kehamilan mola. Dari
gambaran USG tampak gambaran badai salju (snowstorm)
yang mengindikasikan vili khoriales yang hidropik. Dengan
resolusi yang tinggi didapatkan massa intra uterin yang
kompleks dengan banyak kista yang kecil-kecil. Bila telah
ditegakkan diagnosis mola hidatidosa, maka pemeriksaan
rontgen pulmo harus dilakukan karena paru - paru
merupakan tempat metastasis pertama bagi PTG.
3) Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histologis memperlihatkan pada mola
komplet tidak terdapat jaringan fetus, terdapat proliferasi
trofoblasik, vili yang hidropik, serta kromosom 46,XX atau
46,XY. Sebagai tambahan pada mola komplet
memperlihatkan peningkatan faktor pertumbuhan, termasuk
c-myc, epidermal growth factor, dan c-erb B-2,
dibandingkan pada plasenta yang normal. Pada mola parsial
terdapat jaringan fetus beserta amnion dan eritrosit fetus.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, antara
lain:1
a. Perbaiki keadaan umum
Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola,
keadaan umum penderita harus distabilkan dahulu. Tergantung
pada bentuk penyulitnya, penderita dapat diberikan:1
1) Transfusi darah untuk mengatasi syok hipovolemik
2) Antihipertensi atau konvulsi seperti pada terapi
preeklampsia / eklamsia

25
3) Obat antitiroid (bekerjasama dengan Bagian Penyakit
Dalam)
Untuk emboli paru-paru, tidak ada pengobatan spesifik,
hanya suportif saja, terutama oksigenasi dan antikoagulan sampai
gejala akutnya hilang.3
b. Evakuasi jaringan
Mola hidatidosa merupakan suatu bentuk kehamilan
patologis yang sering disertai dengan penyulit, sehingga pada
pinsipnya gelembung mola harus dievakuasi secepat mungkin.
Ada dua cara evakuasi, yaitu:3
1) Kuret Vakum (KV)
a) Dilakukan setelah persiapan pemeriksaan selesai
(pemeriksaan darah rutin, kadar -hCG, serta foto
thoraks) kecuali bila jaringan mola sudah keluar
spontan dan keadaan umum stabil.
b) Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan
pemasangan laminaria stifft dan tampon vagina.
Kuretase dilakukan 24 jam setelahnya.
c) Sebelum kuretase terlebih dahulu disiapkan darah dan
pemasangan infus dengan tetesan oxytocin 10 UI
dalam 500 cc Dextrose 5%
d) Setelah KV, dinding uterus dibersihkan dengan kuret
tajam.
e) Untuk PA, diambil jaringan yang melekat pada
dinding uterus.
f) Laporan harus mencakup: jumlah jaringan, darah,
diameter gelembung, ada tidaknya bagian janin.
g) Kuretase dilakukan hanya 1 kali. Kuretase selanjutnya
harus ada indikasi.

26
2) Histerektomi Totalis (HT)
a) Hanya untuk golongan resiko tinggi = GRT (umur
>35 tahun dengan jumlah anak cukup (>3 orang),
sebagai tindakan profilaksis terhadap terjadinya
keganasan di uterus.
b) Dilakukan dengan jaringan mola in toto, atau
beberapa hari pasca kuret. Kalau dilakukan in toto,
harus hati-hati karena pembuluh darah berukuran
besar, perdarahan bisa banyak terutama pada uterus
diatas 20 minggu.
c) Kalau ada kista lutein, berapapun besarnya, tidak
perlu diangkat karena akan mengecil sendiri. Kalau
mengganggu, cukup dilakukan dekompresi saja.
c. Profilaksis
Ada dua cara, yaitu dengan histerektomi totalis dan
kemoterapi. Kemoterapi diberikan pada GRT yang menolak atau
tidak bisa dilakukan HT, atau wanita muda dengan hasil PA yang
mencurigakan. Caranya adalah:1
1) Metotreksat (MTX) 20 mg/hari, IM, Asam Folat 10 mg 3
dd 1 dan Cursil 35 mg 2 dd 1, selama 5 hari berturut-turut.
2) Profilaksis dengan tablet MTX dianggap tidak bermafaat.
Asam Folat adalah antidote dari MTX sedangkan Cursil
berfungsi sebagai hepatoprotektor.
3) Actinomycin D 1 flakon sehari selama 5 hari berturut-turut.
Tidak perlu antidote maupun hepatoprotektor.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bila setelah
diberikan profilaksis sitostatika terjadi juga keganasan,
pengobatannya akan menjadi lebih sukar. Oleh karena itu,
banyak pakar yang tidak setuju dengan pemberian profilaksis ini.
Di samping alas an diatas, mereka mengatakan juga bahwa
sitostatika itu sering memberikan efek samping membahayakan.

27
Dengan follow up yang baik, kita dapat membuat diagnosis
keganasan secara dini sehingga kemoterapi yang diberikan secara
kuratif, akan dapat mengobatinya secara efektif. Tindakan
profilaksis dapat menurunkan presentase keganasan pasca MHK,
tetapi hanya terhadap keganasan di uterus saja, tidak terhadap
kemungkinan metastasis di tempat lain. Oleh karena itu,
penderita harus tetap di-follow up seperti biasa.1
d. Follow up
Tujuan dari follow up ada dua, yaitu:1
1) Untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara
normal, baik anatomis, laboratoris maupun fungsional,
seperti involusi uterus, turunnya kadar -hCG dan
kembalinya fungsi haid.
2) Untuk menentukan adanya transformasi keganasan,
terutama pada tingkat yang sangat dini.
Pada umumnya, para pakar sepakat bahwa lama follow up
berlangsung selama satu tahun, tetapi ada juga yang sampai dua
tahun. Dalam tiga bulan pertama pasca evakuasi, penderita
diminta datang untuk kontrol setiap dua minggu. Kemudian
dalam tiga bulan berikutnya, setiap satu bulan. Selanjutnya dalam
enam bulan terakhir, tiap dua bulan. Selama follow up, hal-hal
yang perlu dicatat adalah:1
1) Keluhan, terutama perdarahan, batuk atau sesak napas.
2) Pemeriksaan ginekologis, terutama adanya tanda-tanda
suatu involusi.
3) Kadar -hCG, terutama bila ditemukan ada tanda-tanda
distorsi dari kurva regresi yang normal.
Kurva regresi -hCG pasca evakuasi
Setelah jaringan mola dievakuasi, kadar -hCG akan
menurun secara perlahan-lahan, sampai akhirnya tidak terdeteksi
lagi. Waktu rata-rata yang diperlukan untuk mencapai kadar

28
normal (<5 mIU/mL) adalah 12 minggu. Bila terjadi distorsi
kurva regresi yang normal, berarti terjadi keganasan. Karena itu
diagnosis dini TTG dapat didiagnosis dengan memperhatikan
kurva ini, dengan syarat penderita harus patuh melakukan follow
up.

Gambar 1. Kurva regresi -hCG normal dan abnormal3

Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut ditemukan


salah satu dari tanda-tanda tersebut diatas, penderita harus
dirawat kembali untuk dilakukan pemeriksaan yang lebih
intensif, seperti USG, foto thoraks, dan lain-lain. Follow up
dihentikan bila sebelum satu tahun wanita sudah hamil normal
lagi, atau bila setelah setahun tidak ada keluhan uterus dan kadar
-hCG dalam batas normal, serta fungsi haid sudah normal
kembali.1
Jenis kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, atau
kalau -hCG sudah normal, atau haid sudah normal kembali,
dapat menggunakan pil kombinasi. Bila pil antihamil diberikan
sebelum -hCG normal, kemungkinan terjadinya keganasan akan
lebih besar. Jangan menggunakan IUD atau preparat
progesterone jangka panjang, seperti DepoProvera atau Norplant,
karena keduanya dapat menyebabkan gangguan perdarahan yang

29
bisa menyerupai salah satu tanda adanya transformasi
keganasan.1
10. Komplikasi
Komplikasi tersering yang bisa terjadi padapasien mola
hidatidosa adalah preeklampsia, tirotoksikosis (hipertiroidism), dan
emboli paru-paru.1,3
a. Preeklamsia
Preeklamsia pada MH tidak berbeda dengan kehamilan
biasa, bisa ringan, berat dan bahkan sampai eklampsia. Hanya
saja, pada MH biasanya terjadi lebih dini. Menurut Pritchard, bila
ditemukan preeclampsia pada uterus usia kehamilan sebesar 24
minggu, harus dicurigai adanya MH. Cara penanganannya,
disamping evakuasi jaringan molanya, tidak berbeda pada
preeclampsia akibat kehamilan biasa.
b. Tirotoksikosis3
Gejala klinis tirotoksikosis pada mola, ternyata berbeda
dengan Graves disease, terutama dalam kecepatan
perkembangannya. Pada MH, perkembangannya sangat cepat,
dari status eutiroid sampai krisis tiroid yang dapat
berlangsung dalam beberapa jam saja, dan menyebabkan
kematian. Diagnosis tirotoksikosis pada MH dipersulit karena
sering disertai adanya penyulit-penyulit lain seperti preeclampsia,
payah jantung, emboli paru-paru, dan anemia, yang masing-
masing dapat memberikan gejala seperti tirotoksikosis.
c. Emboli Paru1,12
Pada tahun 1893, Schmorl melihat adanya migrasi sel-sel
trofoblas ke dalam peredaran darah, dan akhirnya sampai ke
paru-paru, pada kehamilan normal. Pada MH, fenomena ini juga
terjadi, dengan atau tidak disertai vili korialis. Kadang-kadang
jumlah sel yang bermigrasi sedemikian banyak, sehingga
menyebabkan tanda-tanda emboli paru-paru akut dan

30
menyebabkan kematian. Hal seperti ini jarang sekali terjadi. Pada
foto toraks, akan tampak sebagai suatu metastasis. Fenomena ini
disebut sebagai benign metastases.
Dengan adanya ketiga bentuk penyulit yang memberikan
gejala-gejala non-obstetrik itu, maka setiap dokter spesialis
obstetric dan ginekologi harus sadar bahwa penanggulangan
kasus MH seringkali harus melibatkan keahlian lain. Oleh karena
itu, pada setiap kasus MH, adanya penyulit harus dicari secara
aktif.1

C. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET)


1. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat
implantasi/nidasi/ melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang
normal, yakni di luar rongga rahim. Sedangkan yang disebut sebagai
kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang
mengalami abortus ruptur pada dinding tuba.5,3
Berdasarkan tempat implantasinnya, kehamilan ektopik dapat
dibagi dalam beberapa golongan: 3
a. Tuba Fallopii
b. Uterus (diluar endometrium kavum uterus)
c. Ovarium
d. Intraligamenter
e. Abdominal
f. Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus
2. Epidemiologi
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik
berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun.Insiden
kejadian KET di Amerika serikat berdasarkan Centers for Disease
Control and Prevention (1995), terjadi peningkatan insiden KET dari
4.5 per 1,000 kehamilan pada tahun 1970 menjadi 19.7 per 1,000

31
kehamilan pada tahun 1992. Diantara kehamilan-kehamilan ektopik
terganggu, yang banyak terjadi ialah pada daerah tuba (90%). Lokasi
kehamilan ektopik terganggu paling banyak terjadi di tuba (90-95%),
khususnya di ampula tuba (78%) dan isthmus (2%). Pada daerah
fimbrae (5%), intersisial (2-3%), abdominal (1-2%), ovarium (1%),
servikal (0,5%). Frekuensi kehamilan ektopik terganggu yang berulang
adalah 1-14,6 %.1,3,5

Gambar 2. Lokasi kehamilan ektopik3


3. Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki,
tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui.Terdapat beberapa
faktor yang berhubungan dengan penyebab kehamilan ektopik
terganggu:3,13,14
a. Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan
lumen tuba menyempit atau buntu. Keadaan uterus yang
mengalami hypoplasia dan saluran tuba yang berkelok-kelok
panjang dapat menyebabkan sillia tuba tidak berfungsi dengan
baik. Juga pada keadaan pasca operasi, endometriosis tuba atau
divertikel saluran tuba.

32
b. Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila zigot tumbuh terlalu cepat dengan ukuran yang
besar, maka zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat
melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di saluran tuba.
c. Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba
yang berkontralateral, dapat membutuhkan proses khusus atau
waktu yang lebih panjang sehingga kemungkinan terjadinya
kehamilan ektopik lebih besar.
d. Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung
progesterone dapat mengakibatkan gerakan tuba
melambat.Apabila terjadi pertumbuhan dapat menyebabkan
terjadinya kehamilan ektopik.
e. Faktor lain
Termasuk pemakaian IUD dimana dapat timbul proses
peradangan pada endometrium dan endosalping, factor umur
penderita yang sudah menua dan factor perokok juga
dihubungkan.
4. Patofisiologi
Kebanyakan dari kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii.
Tempat yang paling umum terjadi adalah pada pars ampullaris, sekitar
80 %. Kemudian berturut-turut adalah isthmus (12%), fimbriae (5%),
dan bagian kornu dan daerah intersisial tuba (2%), dan seperti yang
disebut pada bagian diatas, kehamilan ektopik non tuba sangat jarang.
Kehamilan pada daerah intersisial sering berhubungan dengan
kesakitan yang berat, karena baru mengeluarkan gejala yang muncul
lebih lama dari tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan biasanya
menghasilkan perdarahan yang sangat banyak bila terjadi ruptur.3,15,16
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada
kehamilan ektopik dalam tuba. Karena tuba bukan merupakan tempat

33
yang baik untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin
dapat tumbuh secara utuh seperti di uterus. Sebagian besar kehamilan
tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 minggu sampai 10
minggu. Kemungkinan itu antara lain:1,3
a. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat
mati karena vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi
resorbsi total. Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-
apa, hanya haidnya saja yang terlambat untuk beberapa hari.
b. Abortus tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-
pembuluh darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat
implantasi dapat melepaskan mudigah dari koriales pada dinding
tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis.
Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung
dari derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh,
mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan
kemudian didorong oleh darah kearah ostium tuba abdominale.
Frekuensi abortus dalam tuba tergantung pada implantasi telur
yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum terjadi pada kehamilan
tuba pars ampullaris, sedangkan penembusan dinding tuba oleh
villi koriales kea rah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan
pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars
amoullaris lebih luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah
pertumbuhan hasil konsepsi dibandingkan dengan bagian isthmus
dengan lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada
abortus, perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit
oleh darah, sampai berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan
akan keluar melalui fimbriae dan masuk rongga abdomen dan
terkumpul secara khas di kavum Douglas dan akan membentuk

34
hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup, tuba fallopii dapat
membesar karena darah dan membentuk hematosalping.
c. Ruptur tuba
Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat
mengakibatkan rupture pada saluran lahir pada beberapa tempat.
Sebelum metode pengukuran kadar korionik gonadotropin
tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada trimester
pertama oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih
sering terjadi bila ovum berimplantasi pada isthmus dan biasanya
muncul pada kehamilan muda, sedangkan bila berimplantasi di
pars intersisialis, maka muncul pada kehamilan yang lebih lanjut.
Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau karena trauma ringan
seperti koitus atau pemeriksaan vagina.
Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam
tuba dan ostium tuba tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang
sudah menipis karena invasi dari trofoblas, akan pecah karena
tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi diarah
ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter. Jika
janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter. Pada
ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba,
tetapi bila robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Bila pasien tidak mati dan meninggal
karena perdarahan, nasib janin bergantung pada kerusakan yang
diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil,
dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak dapat diubah
menjadi litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati
dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan
plasenta yang utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga
abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal sekunder.

35
Gambar 3. Ruptur tuba15
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis kehamilan tuba yang belum terganggu tidak
khas, biasanya penderita dan dokter tidak mengetahui adanya kelainan
dalam kehamilan, sampai terjadi abortus tuba atau rupture tuba. Pada
KET terdapat trias klasik yaitu:5,3,10,13,14
a. Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada kehamilan
ektopik terganggu. Pada ruptur tuba nyeri peru bagian bawah
terjadi secara tiba tiba dan intesitasnya disertai dengan
perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke
dalam syok. Biasanya pada abortus tuba nyeri tidak seberapa
hebat dan tidak terus menerus.Rasa nyeri mula mula terdapat
pada satu sisi, setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa
nyeri menjalar ke bagian tengah atau seluruh perut bawah.
b. Perdarahan pervaginam
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua
pada kehamilan ektopik terganggu.Hal ini menunjukan kematian
janin, dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan
desidua.Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya tidak

36
banyak dan erwarna coklat tua.Perdarahan berarti gangguan
pembetukan human chorionic gonadotropin.Jika plasenta mati,
desidua dapat dikeluarkan seluruhnya.
c. Amenore
Amenore juga merupakan tanda yang penting pada
kehamilan ektopik. Lamanya amenore tergantung pada
kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi.Sebagian penderita
tidak mengalami amenorea karena kematian janin terjadi sebelum
haid berikutnya.
Pada kehamilan ektopik tergangu ditemukan pada pemeriksaan
vaginal bahwa usaha usaha menggerakan serviks uteri menimbulkan
rasa nyeri, demikian pula kavum douglas, menonjol dan nyeri pada
perabaan. Pada abortus tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor
di samping uterus dengan berbagai ukuran dengan konsistensi agak
lunak. Hematokel retrouterina dapat diraba sebagai tumor di cavum
douglas. Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang
klasik dengan gejala perdarahan mendadak dalam rongga perut dan
ditandai oleh abdomen akut sampai gejala gejala yang samar,
sehingga sukar membuat diagnosis.13
6. Diagnosis
Gejala-gejala kehamilan ektopik terganggu beraneka ragam,
sehingga pembuatan diagnosis kadang-kadang menimbullkan kesulitan
khususnya pada kasus-kasus kehamilan ektopik yang belum
mengalami atau ruptur pada dinding tuba sulit untuk dibuat
diagnosis.Untuk mendiagnosis KET dapat dilakukan dengan:2,3,5,13,14
a. Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis
kehamilan ektopik lainnya, faktor resiko serta kemungkinan
komplikasi yang terjadi. Riwayat terlambat haid , gejala dan
tanda kehamilan muda, dapat ada atau tidak ada perdarahan
pervaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah. Berat atau

37
ringannya nyeri bergantung pada banyaknya darah yang
terkumpul dalam peritoneum
b. Pemeriksaan Fisik
Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di
daerah adneksa. Adanya tanda tanda syok hipovoloemik, yaitu
hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin, adanya tanda tanda
abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan
nyeri lepas dinding abdomen.
c. Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan dalam: serviks teraba lunak, nyeri
tekan/goyang portio, nyeri hebat pada penekanan kavum douglas,
dan kavum douglas teraba menonjol karena ada cairan.
d. Pemeriksaan Penunjang
1) HCG-
Pengukuran sub unit dari HCG- (Human
Chorionic Ganadotropin-) merupakan tes labolatorium
terpenting dalam dalam diagnosis. Pemeriksaan ini dapat
membedakan antara kehamilan intrauterin dengan
kehamilan ektopik.
-hCG diproduksi oleh trofoblas dan dapat dideteksi
dalam serum pada kira-kira 1 minggu sebelum haid
berikutnya. Jika serum -hCG negatif, kemungkinan besar
tidak terjadi kehamilan. Hanya ada sedikit sekali kasus
yang dilaporkan pasien dengan tes serum -hCG negative
dengan kehamilan ektopik. Dinamika normal kenaikan
kadar -hCG dua kali lipat kira-kira setiap 1,4 sampai 2,1
hari sampai mencapai puncaknya 100.000 mIU/ml.
kenaikan ini akan melambat bila sudah mencapai nilai
puncaknya, dan pada saat itu sudah harus dilakukan
diagnosis dengan USG. Pemeriksaan tunggal tes -hCG
kuantitatif ini berguna untuk mendiagnosis kehamilan,

38
namun tidak dapat membedakan antara kehamilan ektopik
atau kehamilan intrauterine. Pemeriksaan laboratorium
umum lainnya adalah pemeriksaan darah rutin untuk
mengetahui kadar hemoglobin yang dapat rendah bila
terjadi perdarahan yang sudah lama. Juga dinilai kadar
leukosit untuk membedakan apakah terjadi infeksi yang
bisa disebabkan oleh kehamilan ektopik ini atau dugaan
adanya infeksi pelvik. Pada infeksi pelvik biasanya lebih
tinggi hingga dapat lebih dari 20.000. Wiknjosastro,
Hanifa. 3,17
2) Kuldosintesis
Kuldosintesis adalah prosedur klinik diagnostik untuk
mengidentifikasi adanya perdarahan intra peritoneal,
khusunya pada kehamilan ektopik terganggu. Kuldosintesis
diindikasikan pada kasus kehamilan ektopik dan abses
pelvik. Teknik :
a) Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi
b) Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
c) Speculum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit
dengan cunam serviks dengan traksi ke depan
sehingga forniks posterior tampak.
d) Jarum spinal no.18 ditusukkan ke dalam kavum
Douglas dan dengan semprit 10 ml dilakukan
pengisapan.
e) Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya
disemprotkan pada kain kasa dan diperhatikan apakah
darah merah yang dikeluarkan merupakan :
Darah segar berwarna merah dan akan
membeku; darah berasal dari arteri atau vena
yang tertusuk

39
Darah tua berwarna coklat sampai hitam yang
tidak membeku,darah menunjukkan adanya
hematokel retrouterina.

Gambar 4. Kuldosintesis10
3) Dilatasi dan kuretase
Biasanya kuretase dilakukan apabila sesudah amenore
terjadi perubahan yang cukup lama tanpa menemukan
kelainan yang nyata disamping uterus.
4) Laparoskopi
Laparaskopi hanya digunakan sebagai alat bantu
diagnosis terakhir apabila hasil hasil penilaian prosedur
diagnostik lain untuk kehamilan ektopik terganggu
meragukan. Namun beberapa dekade terakhir alat ini juga
dipakai untuk terapi.
5) USG
Keunggulan cara pemeriksaan ini terhadap
laparoskopi ialah tindakan invasive, artinya tidak perlu
memasukan alat dalam rongga perut. Dapat dinilai kavum
uteri apakah ada atau tidak kantung kehamilan, kantung
kehamilan palsu (pseudo gestational sac); kelainan adnexa
berupa adanya kantung kehamilan, bisa ditemukan janin

40
namun jarang, masa kompleks, cairan bebas sampai ke
kavum douglas.12

Gambar 5. USG Kehamilan Ektopik3


6) Tes Oksitosin
Pemberian oksitosin dalam dosis kecil intravena dapat
membuktikan adanya kehamilan ektopik lanjut.Dengan
pemeriksaan bimanual, di luar kantong janin dapat diraba
suatu tumor.
7. Diagnosis Banding
Yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding adalah:2
a) Pelvic inflamatory disease acute
Gejala klinis berupa demam tinggi, nyeri panggul berat dan
mual. Nyeri perut bagian bawah dan tahanan yang dapat diraba
pada pemeriksaaan vaginal pada umumnya bilateral.Leukositosis
lebih tinggi daripada kehamilan ektopik terganggu dan tes
kehamilan menunjukkan hasil negatif.
b) Abortus iminens/Abortus inkomplit
Dibandingkan dengan kehamilan ektopik terganggu
perdarahan lebih merah sesudah amenore, rasa nyeri yang sering
berlokasi di daerah median dan adanya perasaan subjektif
penderita yang merasakan rasa tidak enak di perut lebih
menunjukkan ke arah abortus imminens atau permulaan abortus
insipiens.Pada abortus tidak dapat diraba tahanan di samping atau
di belakang uterus dan gerakan servik uteri tidak menimbulkan
rasa nyeri.

41
c) Tumor/Kista ovarium
Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore dan perdarahan
pervaginam biasanya tidak ada.Tumor pada kista ovarium lebih
besar dan lebih bulat dibanding kehamilan ektopik terganggu.
d) Appendisitis
Pada appendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada
gerakan servik uteri seperti yang ditemukan pada kehamilan
ektopik terganggu.Nyeri perut bagian bawah pada appendisitis
terletak pada titik McBurney.
e) Divertikulitis
Sering pada wanita dewasa, ditandai dengan nyeri panggul
disisi kiri, diare berdarah, demam dan leukositosis.
f) Torsio adneksa
Paling sering pada wanita usia subur. Dengan memuntir
pada pedikel vaskularnya, masa adneksa dapat menyebabkan
nyeri hebat dengan tiba-tiba mengganggu suplai darah, nyeri
hilang timbul disertai rasa mual muntah.
g) Endometriosis
Gejala klinis berupa nyeri yang berat terus-menerus
terutama saat menstruasi, dispareunia (nyeri saat berhubungan
seksual).
8. Penatalaksanaan3,5,10,13
a. Terapi pembedahan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah
laparotomi. Dalam tindakan demikian, beberapa hal harus
diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu kondisi penderita saat
itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi
kehamilan ektopik, kondisi anatomi organ pelvis, kemampuan
teknik bedah mikro dokter operator dan kemampuan teknologi
fertilisasi in vitro setempat.

42
1) Salpingotomi Linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan
yang ideal dilakukan pada kehamilan tuba yang belum
mengalami ruptur. Karena lebih dari 75% kehamilan
ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba. Prosedur ini
dimulai dengan menampakkan, mengangkat, dan
menstabilisasi tuba. Satu insisi linier kemudian dibuat
diatas segmen tuba yang meregang. Insisi kemudian
diperlebar melalui dinding antimesenterika hingga
memasuki ke dalam lumen dari tuba yang meregang.
Tekanan yang hati-hati diusahakan dilakukan pada sisi
yang berlawanan dari tuba, produk kehamilan dikeluarkan
dengan hati-hati dari dalam lumen. Biasanya terjadi
pemisahan trofoblas dalam jumlah yang cukup besar maka
secara umum mudah untuk melakukan pengeluaran produk
kehamilan ini dari lumen tuba. Tarikan yang hati-hati
dengan menggunakan sedotan atau dengan menggunakan
gigi forsep dapat digunakan bila perlu, hindari jangan
sampai terjadi trauma pada mukosa. Setiap sisa trofoblas
yang ada harus dibersihkan dengan melakukan irigasi pada
lumen dengan menggunakan cairan ringer laktat yang
hangat untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa.
Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus
dilakukan, karena kegagalan pada tindakan ini akan
menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan membawa
pada terjadinya adhesi intralumen.Batas mukosa kemudian
ditutup dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan
hanya dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa dan
lapisan otot dan tidak ada tegangan yang berlebihan. Perlu
juga diperhatikan bahwa jangan ada sisa material benang
yang tertinggal pada permukaan mukosa, karena sedikit

43
saja dapat menimbulkan reaksi peradangan sekunder yang
diikuti dengan terjadinya perlengketan.
2) Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah
diajukan sebagai satu alternatif dari salpingotomi. Prosedur
ini dilakukan dengan mengangkat bagian implantasi, jadi
prosedur ini tidak dapat melibatkan kehamilan tuba yang
terjadi berikutnya. Tujuan lainnya adalah dengan
merestorasi arsitektur normal tuba. Prosedur ini baik
dilakukan dengan menggunakan loupe magnification atau
mikroskop. Penting sekali jangan sampai terjadi trauma
pada pembuluh darah tuba. Hanya pasien dengan
perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk menjalani
prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi
dan dipisahkan dengan hati-hati untuk menghindari
terbentuknya hematom pada ligamentum latum. Jahitan
seromuskuler dilakukan dengan menggunakan
mikroskop/loupe. Dengan benang absorbable 6-0 atau 7-0,
dan lapisan serosa ditunjang dengan jahitan terputus
tambahan.Salpingektomi dapat dilakukan dalam beberapa
kondisi, yaitu :
a) Kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan
syok.
b) Kondisi tuba buruk, terdapat jaringan perut yang
tinggi resikonya akan kehamilanektopik berulang
c) Penderita menyadari kondisi fertilitasnya dan
mengingini fertilitas in vitro, maka dalam hal ini
salpingektomi mengurangi resiko kehamilan ektopik
pada prosedur fertilisasi in vitro.
d) Penderita tidak ingin mempunyai anak lagi.

44
3) Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan
tuba mengalami ruptur, karena perdarahan intraabdominal
akan terjadi dan harus segera diatasi. Hemoperitonium yang
luas akan menempatkan pasien pada keadaan krisis
kardiopulmunonal yang serius. Insisi suprapubik
Pfannenstiel dapat digunakan, dan tuba yang meregang
diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly
sedekat mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi
dengan memotong irisan kecil pada myometrium di daerah
cornu uteri, hindari insisi yang terlalu dalam ke
myometrium. Jahitan matras angka delapan dengan benang
intrauteri digunakan untuk menutup myometrium pada sisi
reseksi baji. Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus
dengan menggunakan benang absorbable. Hemostasis yang
komplit sangat penting untuk mencegah terjadinya
hematom pada ligamentum latum.
4) Salpingooforektomi
Tidak jarang ovarium termasuk dalam gumpalan
darah dan sukar dipisahkan sehingga terpaksa dilakukan
salpingooforektomi.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis dipertimbangkan pada kehamilan
ektopik yang belum ruptur, terutama pada pasien yang masih
memerlukan sistem reproduksi. Agen agen yang bias dipakai
adalah methotrexate, dosis : single dose 50 mg/m2 IM, atau
variable dose methotrexate 1mg/kgbb IM, dan leukovorin 0,1
mg/kgbb berselang seling selama 8 hari dengan monitoring
kadar HCG-.Diagnosis awal dan terapi yang optimal merupakan
kunci agar terhindar dari komplikasi maupun menghindari
kematian. Dosis optimal penggunaan MTX masih menjadi

45
kontroversi. Namun pemberian MTX ini memiliki syarat antara
lain:
1) Status hemodinamik stabil
2) Kehamilan kurang dari 8 minggu
3) Kantung kehamilan ektopik < 3 cm
4) Tidak tampak pulsasi jantung janin
5) Kadar HCG < 10.000 IU/ml
6) Tidak ada kontraindikasi pemberian MTX
7) Pasien dapat dipantau
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu:13
1. Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik
terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi
perdarahan ulang. Ini merupakan indikasi operasi.
2. Infeksi
3. Sterilitas
4. Pecahnya tuba fallopi
5. Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya
embrio
10. Prognosis
Bagi kehamilan berikutnya: Umumnya penyebab kehamilan
ektopik (misalnya penyempitan tuba atau pasca penyakit radang
panggul) bersifat bilateral. Sehingga setelah pernah mengalami
kehamilan ektopik pada sisi tuba yang lain, dapat lagi terjadi pada sisi
tuba yang satu. Bagi ibu: Bila diagnosis cepat ditegakkan umumnya
prognosis baik, terutama cukup penyediaan darah dan fasilitas operasi.
Indonesia belum mempunyai angka yang pasti tentang manifestasi
klinis kehamilan ektopik. Kematian di USA terjadi sekitar 2-3% oleh
karena pertolongan terlambat diberikan dan kehamilan ektopik yang
terganggu berlokalisasi di interstisium tuba sehingga terjadi

46
perdarahan banyak dan mendadak sehingga berakhir dengan syok
ireversibel.14

47
BAB III
PENUTUP

Salah satu masalah penting dalam bidang obstetri dan ginekologi adalah
masalah perdarahan. Perdarahan pada kehamilan adalah masalah yang cukup
serius yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang mengakibatkan mortalitas
yang cukup tinggi pada ibu-ibu di Indonesia.
Pengelompokan perdarahan pada kehamilan tersebut secara praktis dibagi
menjadi: perdarahan pada kehamilan muda, perdarahan sebelum melahirkan
(antepartum hemoragik), dan perdarahan setelah melahirkan (postpartum
hemoragik).
Terdapat klasifikasi perdarahan pada kehamilan muda, yaitu:1
1. Abortus
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu
hidup di luar kandungan.
2. Mola hidatidosa
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh
vili korialisnya mengalami perubahan hidrofik.
3. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
KET adalah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang
bersangkutan, berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan
yang gawat.
Perdarahan dalam bidang obstetri hampir selalu berakibat fatal bagi ibu
maupun janin, terutama jika tindakan pertolongan terlambat dilakukan, atau jika
komponennya tidak dapat segera digunakan. Oleh karena itu, tersedianya sarana
dan perawatan sarana yang memungkinkan penggunaan darah dengan segera,
merupakan kebutuhan mutlak untuk pelayanan obstetri yang layak.

48

Anda mungkin juga menyukai