Anda di halaman 1dari 49

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penyusun panjatkan ke hadirat Allah S.W.T karena


dengan rahmat-Nya jualah penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
epidural hematoma.

Makalah ini ditulis sebagai salah satu tugas makalah sistem neuro behavior
STIKES Surabaya.

Kritik dan saran terhadap makalah ini diharapkan dapat memberi masukan
untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam
menambah khasanah pengetahuan di bidang keperawatan terutama dalam bidang
neuro behavior bagi para pembacanya.

Surabaya, 01 April 2014

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul...............................................................................................................
1

Kata pengantar............................................................................................................
2

Daftar Isi......................................................................................................................
3

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
5

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
7

II.I Definisi ...........................................................................................................


7

II.II Insidensi dan Epidemiologi............................................................................


10

II.III Anatomi Otak dan Fisiologi ...........................................................................


11

II.IV Patofisiologi....................................................................................................
20

II.V Etiologi............................................................................................................
23

3
II.VI Gejala Klinis...................................................................................................
24

II.VII Pemeriksaan Penunjang..................................................................................


26

II.VIII Diagnosis........................................................................................................
27

II.IX Diagnosis Banding.........................................................................................


28

II.X Diagnosa Keperawatan...................................................................................


29

II.XI Rencana Tindakan Keperawatan....................................................................


30

II.XII Penatalaksanaan..............................................................................................
30

II.XIII Komplikasi.....................................................................................................
32

II.XIV Prognosis........................................................................................................
33

II.XV WOC..............................................................................................................
34

BAB III LAPORAN KASUS....................................................................................


34

III.I Pengkajian .....................................................................................................


34

4
III.II Analisa Data....................................................................................................
35

III.III Diagnosa Keperawatan...................................................................................


37

III.IV Tindakan Keperawatan...................................................................................


42

III.V Evaluasi...........................................................................................................
44

BAB IV PENUTUP....................................................................................................
47

IV.I Kesimpulan.....................................................................................................
47

IV.II Saran................................................................................................................
48

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................
50

BAB I

5
PENDAHULUAN

Otak di tutupi oleh tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di

kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura.

Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk

periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di

kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin

akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang

mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka

darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan

inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom.(1,2,3 )


Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency

dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang

lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom

berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.

Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah

tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi

perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.


Cedera kepala adalah kondisi yang umum secara neurologi dan bedah

saraf dan merupakan salah satu penyebab kematian utama di kalangan usia

produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena mobilitas

yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga

keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum

benar, rujukan yang terlambat.

6
Kasus terbanyak cedera kepala adalah kecelakaan mobil dan motor. Di

Amerika Serikat pada tahun 1990 dilaporkan kejadian cedera kepala 200/100.000

penduduk pertahun. Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang

hanya 3% - 5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya

dirawat secara konservatif.(1,2)

Makalah yang berjudul Epidural Hematoma ini dibuat untuk membahas

etiologi, gejala klinis, diagnosis, serta prognosis dari penyakit ini. Dengan itu

dapat lebih baik untuk menangani penyakit ini dengan tepat.

7
BAB II

PEMBAHASAN

II.I DEFINISI

Epidural hematoma adalah perdarahan akut pada lokasi epidural. Fraktur

tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea media

yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara

duramater dan tulang di permukaan dalam os temporale.

Perdarahan yang terjadi menimbulkan epidural hematoma. Desakan oleh

hematom akan melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala sehingga

hematom bertambah besar.(1,3)

Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan darah di antara

duramater dan tabula interna karena trauma (Gambar-1). Pada penderita traumatic

hematoma epidural, 85-96% disertai fraktur pada lokasi yang sama. Perdarahan

berasal dari pembuluh darah -pembuluh darah di dekat lokasi fraktur.

Sebagian besar hematoma epidural (EDH) (70-80%) berlokasi di daerah

temporoparietal, di mana bila biasanya terjadi fraktur calvaria yang berakibat

robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya, sedangkan 10% EDH

berlokasi di frontal maupun oksipital. Volume EDH biasanya stabil, mencapai

8
volume maksimum hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi pada 9%

penderita ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam pertama.

9
10
II.II INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan

hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional

frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di

Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang

memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.(2,9)

60 % penderita hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan

jarang terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka

kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari

55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan

perbandingan 4:1. (9)

Tipe- tipe : (6)

1. Epidural hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri

2. Subacute hematoma ( 31 % )

3. Cronic hematoma ( 11%) perdarahan dari vena

11
II.III ANATOMI OTAK DAN FISIOLOGI

Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang

membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita

seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.

Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat

mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan

akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan

secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang

menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.(1)

Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,

padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan

trauma eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan

membrane dalam yang mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek

pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan

12
kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala.

Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena

emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat emmbawa infeksi dari kulit

kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa

pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea

terkoyak. (1)

Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak

memungkinkan perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding

atau tabula yang di pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar di sebit tabula

eksterna, dan dinding bagian dalam di sebut tabula interna. Struktur demikian

memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang

lebih ringan . tabula interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria

meningea anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak

menyebabkan tekopyaknya salah satu dari artery-artery ini, perdarahan arterial

yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat manimbulkan

akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.

Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges

adalah dura mater, arachnoid, dan pia mater (1)

1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua

lapisan:

a. Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh

periosteum yang membungkus dalam calvaria

13
b. Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang

kuat yang berlanjut terus di foramen mgnum dengan dura mater

spinalis yang membungkus medulla spinalis

2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-

laba

3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak

pembuluh darah.

Persarafan Duramater(10)

Persarafan ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga saraf

servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus. resptor

reseptor nyeri dalam dura mater diatas tentorium mengirimkan impuls melalui

n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri

yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui

tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang kepala dan

leher.

Pendarahan Duramater (10)

Banyak arteri menyuplai duramater, yaitu arteri karotis interna, arteri

maxilaris, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis, dan arteri vertebralis. Dari

segi klinis, yang paling penting ialah arteri meningeal media, yang umumnya

mengalami kerusakan pada cedera kepala. Arteri meningea media berasal dari

arteri maxillaries dalam fossa temporalis, memasuki rongga kranialis melalui

14
foramen spinosum dan kemudian terletak antara lapisan meningeal dan endosteal

duramater. Arteri ini kemudian terletak antara lapisan meningeal dan endosteal

duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dank e lateral dalam suatu

sulkus pada permukaan atas squamosa bagian os temporale. Cabang anterior

(frontal) secara mendalam berada dalam sulkus atau saluran angulus antero

inferior os parietale, perjalanannya secara kasar berhubungan dengan garis gyrus

presentralis otak di bawahnya.

Cabang posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian

posterior duramater.Vena vena meningea terletak dalam lapisan endosteal

duramater. Vena meningea media mengikuti cabang cabang arteri meningea

media dan mengalir kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus

sphenoparietalis. Vena terletak di lateral arteri.

Sinus Venosus Duramater (10)

Sinus sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan

lapisan duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui

vena vena serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang ruang subarachnoidea

melalui villi arachnoidalis. Darah dalam sinus sinus duramatr akhirnya mengalir

kedalam vena vena jugularis interna dileher. Vena emissaria menghubungkan

sinus venosus duramater dengan vena vena diploika kranium dan vena vena

kulit kepala.

15
Sinus Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri yang terfiksasi,

mulai di anterior pada foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di

bawah lengkungan kranium, dan pada protuberantia occipitalis interna berbelok

dan berlanjut dengan sinus transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis

superior menerima vena serebralis superior. Pada protuberantia occipitalis interna,

sinus sagitallis berdilatasi membentuk sinus konfluens.

Dari sini biasanya berlanjut dengan sinus transverses kanan, berhubungan

dengan sinus transverses yang berlawanan dan menerima sinus occipitalis.

Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri,

berjalan kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas

tentorium cerebelli membentuk sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis

persambungan falx serebri dengan tentorium serebelli, terbentuk dari persatuan

sinus sagitalis inferior dengan vena serebri magna, berakhir membelok kekiri

membentuk sinus transfersus.

Sinus transverses merupakan struktur berpasangan dan mereka mulai pada

protuberantia occipitalis interna. Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus

sagitalis superior, dan bagian kiri berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus

menempati tepi yang melekat pada tentorium serebelli, membentuk sulkus pada os

occipitalis dan angulus posterior os parietale. Mereka menerima sinus petrosus

superior, vena vena serebralis inferior, vena vena serebellaris dan vena vena

diploika. Mereka berakhir dengan membelok ke bawah sebagai sinus sigmoideus.

Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus tranversus yang akan

16
melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis interna. Sinus occipitalis

merupakan suatu sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli yang melekat, ia

berhubungan dengan vena vena vertebralis dan bermuara kedalam sinus

konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa kranialis media pada setiap sisi

corpus os sphenoidalis.

Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf simpatis, berjalan

kedepan melalui sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus dan dipisahkan dari

darah oleh suatu pembungkus endothelial. Sinus petrosus superior dan inferior

merupakan sinus sinus kecil pada batas batas superior dan inferior pars

petrosus os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus kavernosus kedalam

sinus transverses dan setiap sinus inferior mendrainase sinus cavernosus kedalam

vena jugularis interna.

Arachnoidea Mater (10)

Arachnoidea mater merupakan membran tidak permeable, halus, menutupi

otak dan terletak diantara pia mater di interna dan duramater di eksterna.

Arachnoidea mater dipisahkan dari duramater oleh suatu ruang potensial, ruang

subdural, terisi dengan suatu lapisan tipis cairan, dipisahkan dari piamater oleh

ruang subarachnoidea, yang terisi dengan cairan serebrospinal. Permukaan luar

dan dalam arachnoidea ditutupi oleh sel sel mesothelial yang gepeng.

Pada daerah daerah tertentu, arachnoidea terbenam kedalam sinus venosus

untuk membentuk villi arachnoidalis. Villi arachnoidalis bertindak sebagai tempat

17
cairan serebrospinal berdifusi kedalam aliran darah. Arachnoidea dihubungkan ke

piamater oleh untaian jaringan fibrosa halus yang menyilang ruang

subarachnoidea yang berisi cairan.

Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus choroideus dalam ventrikulus

lateralis, ketiga dan keempat otak. Cairan ini keluar dari ventrikulus memasuki

subarachnoid, kemudian bersirkulasi baik kearah atas diatas permukaan

hemispherium serebri dan kebawah disekeliling medulla spinalis.

Piamater otak (10)

Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi oleh sel sel

mesothelial gepeng. Secara erat menyokong otak, menutupi gyri dan turun

kedalam sulki yang terdalam. Piamater meluas keluar pada saraf saraf cranial

dan berfusi dengan epineurium. Arteri serebralis yang memasuki substansi otak

membawa sarung pia mater bersamanya. Piamater membentuk tela choroidea dari

atap ventrikulus otak ketiga dan keempat, dan berfusi dengan ependyma untuk

membentuk pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga, dan keempat

otak.

FISIOLOGI MENINGEN (10)

Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang

konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater,

membrane tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan

18
membrane paling dalam halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat

dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta dikenal sebagai piamater.

Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai periosteum

tulang tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang

berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf saraf cranial

dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosus

terletak dalam duramater yang mengalirkan darah venosa dari otak dan meningen

ke vena jugularis interna dileher.

Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak

vertical antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium

serebelli, yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang

berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak dalam kranium.

Arachnoidea mater merupakan membrane yang lebih tipis dari duramater dan

membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater menjembatani

sulkus sulkus dan masuk kedalam yang dalam antara hemispherium serebri.

Ruang antara arachnoidea dengan pia mater diketahui sebagai ruang

subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal

merupakan bahan pengapung otak serta melindungi jaringan saraf dari benturan

mekanis yang mengenai kepala.

Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang menyokong otak

dengan erat. Suatu sarung pia mater menyertai cabang cabang arteri arteri

serebralis pada saat mereka memasuki substansia otak. Secara klinis, duramater

19
disebut pachymeninx dan arachnoidea serta pia mater disebut sebagai

leptomeninges.

Komponen otak yang mempengaruhi Tekanan Intrakranial


1. Cairan Serebro Spinal (CSS)
CSS dihasilkan oleh plleksus khoroideus di atap ventrikel dengan

kecepatan produksi 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral

melalui foramen Monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari Sylvius

menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan

masuk ke dalam ruang subarachnoid yang berada di seluruh permukaan

otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorpsi ke dalam sirkulasi

vena melalui granulasio arachnoid yang terdapat pada sinus sagitalis

superior. Adanya darah dalam CSS akan menyumbat granulasio

arachnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan

kenaikan TIK (hidrosefalus komunikans paska trauma).


2. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan

kenaikan Tekanan Intra Kranial (TIK; n=10 mmHg), keadaan ini akan

menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.


3. Aliran Darah ke Otak (ADO)
Normalnya antara 50-55 mL/100 gr jaringan otak/menit. Cedera

otak berat sampai koma dapat menurunkan 50 % ADO dalam 12 jam

pertama sejak trauma. ADO biasanya akan meningkat dalam 2-3 hari

berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma, ADO di bawah

normal sampai beberapa hari/minggu kemudian. ADO yang rendah

tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme otak segera setelah

trauma, sehingga mengakibatkan iskemi otak (fokal/difus).

20
Doktrin Monro-Kellie
Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan karena

rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang rigid. Segera setelah

trauma, massa (gumpalan darah) dapat terus bertambah sementara TIK masih

dalam batas normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuer mencapai titik

dekompensasi, TIK akan cepat meningkat.

II.IV PATOFISIOLOGI

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan

dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu

cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur

tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah

frontal atau oksipital.(8)

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen

spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.

Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma

akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom

bertambah besar. (8)

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada

lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian

21
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini

menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim

medis.(1)

Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus

formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di

tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf

ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan

kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan

respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda

babinski positif.(1)

Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan

terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar.

Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan

deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.(1)

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus

keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur

mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu

beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,

kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran

ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid.

Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural

hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat

22
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval

karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
(8)

Sumber perdarahan : (8)

a. Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )

b. Sinus duramatis

c. Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a.

diploica dan vena diploica

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah

saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada

sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah

herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala

yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat,

harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.(8)

23
Arteri meningea media

II.V ETIOLOGI

Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,

beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya

benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat

trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan

laserasi pembuluh darah.(2,9)

Pada keadaan yang normal, sebenarnya tidak ada ruang epidural pada

kranium. Dura melekat pada kranium. Perdarahan biasanya terjadi dengan fraktur

tengkorak bagian temporal parietal yang mana terjadi laserasi pada arteri atau

vena meningea media. Pada kasus yang jarang, pembuluh darah ini dapat robek

tanpa adanya fraktur. Keadaan ini mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara

dura dengan kranium dan menimbulkan ruang epidural. Perdarahan yang berlanjut

akan memaksa dura untuk terpisah lebih lanjut, dan menyebabkan hematoma

menjadi massa yang mengisi ruang.

Oleh karena arteri meningea media terlibat, terjadi perdarahan yang tidak

terkontrol, maka akan mengakibatkan terjadinya akumulasi yang cepat dari darah

24
pada ruang epidural, dengan peningkatan tekanan intra kranial (TIK) yang cepat,

herniasi dari unkus dan kompresi batang otak.(1,4,5,6)

II.VI GEJALA KLINIS

Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa apa.

Pada anamnesa didapatkan riwayat cedera kepala dengan penurunan kesadaran.

Pada kurang lebih 50 persen kasus kesadaran pasien membaik dan adanya lucid

interval diikuti adanya penurunan kesadaran secara perlahan sebagaimana

peningkatan TIK. Pada kasus lainnya, lucid interval tidak dijumpai, dan

penurunan kesadaran berlangsung diikuti oleh detoriasi progresif. Beberapa

penderita epidural hematom mengeluh sakit kepala, Muntah muntah, Kejang

kejang. Epidural hematoma terkadang terdapat pada fossa posterior yang pada

beberapa kasus dapat terjadi sudden death sebagai akibat kompresi dari pusat

kardiorespiratori pada medulla. Pasien yang tidak mengalami lucid interval dan

mereka yang terlibat pada kecelakaan mobil pada kecepatan tinggi biasanya akan

mempunyai prognosis yang lebih buruk.(1)

Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil

ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal

dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.

Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir kesadaran

akan menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga akan mengalami

25
pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi,

yang merupakan tanda kematian.(3)

Tanda Diagnostik Klinik Epidural Hematoma :(7)

1. Lucid interval (+)

2. Kesadaran makin menurun

3. Late hemiparese kontralateral lesi

4. Pupil anisokor

5. Babinsky (+) kontralateral lesi

6. Fraktur daerah temporal

Gejala dan Tanda Klinis Epidural Hematoma di Fossa Posterior :(7)

1. Lucid interval tidak jelas

2. Fraktir kranii oksipital

3. Kehilangan kesadaran cepat

4. Gangguan serebellum, batang otak, dan pernafasan

5. Pupil isokor

II.VII PEMERIKSAAN PENUNJANG

26
Rontgen kepala

CT scan

Meskipun foto radiologi skull atau tengkorak sering dilakukan untuk

mengevaluasi sebuah fraktur tengkorak, dewasa ini CT scan merupakan pilihan

primer dalam hal mengevaluasi trauma kepala. Emergensi CT scan adalah

modalitas utama yang digunakan untuk mengevaluasi trauma kepala akut setelah

27
penilaian neurologis dilakukan. Diagnosis yang tepat dari hasil CT scan sangat

krusial untuk menentukan metode penanganan yang tepat.

Epidural hematoma terjadi dibawah calvarium, diluar dari dura periosteal.

Sangat jarang melebihi batas dari sutura dikarenakan perlekatan yang kuat dari

dura periosteal dengan batas dari sutura. Karena perlekatan yang kuat ini, sebuah

epidural hematoma memiliki batas yang kasar dan penampakan yang bikonveks

pada CT scan dan MRI. Kasus epidural hematoma yang khas memberikan

tampakan lesi bikonveks dengan densitas tinggi yang homogeny pada CT scan,

tetapi mungkin juga tampak sebagai densitas yang heterogen akibat dari

pencampuran antara darah yang menggumpal dan tidak menggumpal.

II.VIIIDIAGNOSIS

Diagnosis epidural hematoma didasarkan gejala klinis serta pemeriksaan

penunjang seperti foto Rontgen kepala dan CT scan kepala. Adanya garis fraktur

yang menyokong diagnosis epidural hematoma bila sisi fraktur terletak ipsilateral

dengan pupil yang melebar garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi

hematoma.(3)

Computed tomografi (CT) scan otak akan memberikan gambaran

hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan dura, umumnya di daerah

temporal dan tampak bikonveks.

28
II.IX DIAGNOSIS BANDING

1. Subdural Hematoma

Perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arachnoid, akibat robeknya vena

jembatan. Gejala klinisnya adalah :

1) sakit kepala

2) kesadaran menurun + / -

Pada pemeriksaan CT scan otak didapati gambaran hiperdens (perdarahan)

diantara duramater dan arakhnoid, umumnya robekan dari bridging vein dan

tampak seperti bulan sabit.(7)

2. Subarakhnoid hematoma

Gejala klinisnya yaitu :

1) kaku kuduk

2) nyeri kepala

3) bisa didapati gangguan kesadaran

Pada pemeriksaan CT scan otak didapati perdarahan (hiperdens) di ruang

subarakhnoid.

II.X DIAGNOSA KEPERAWATAN

29
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi,
hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia,
disritmia jantung)
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada
pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi
trakeobronkhial.
3. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma
atau defisit neurologis).
4. Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah
baring, imobilisasi.
6. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi
tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran
CSS)
7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran).
Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status
hipermetabolik.
8. Perubahan proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian
tentang hasil/harapan.
9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang
pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.

II.XI RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran


darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung)

Tujuan:

30
1. Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sensorik.

II.XII PENATALAKSANAAN

Penanganan darurat :

1) Dekompresi dengan trepanasi sederhana

2) Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa

Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal

atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan intracranial

dan meningkakan drainase vena.(9)

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan

dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam),

mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema

cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana

yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin

sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic

dan untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.

Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat

masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium

bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat

31
dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek

protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan

adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan

dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar

serum 3-4mg%.(8)

Terapi Operatif

Operasi di lakukan bila terdapat :

1) Volume hematom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)

2) Keadaan pasien memburuk

3) Pendorongan garis tengah > 3 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk

fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi

operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini di sebabkan oleh lesi desak

ruang.(8)

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

1) > 25 cc desak ruang supra tentorial

2) > 10 cc desak ruang infratentorial

3) > 5 cc desak ruang thalamus

Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :

32
1) Penurunan klinis

2) Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif.

3) Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif.

Penatalaksaan epidural hematoma dapat dilakukan segera dengan cara

trepanasi dengan tujuan melakukan evakuasi hematoma dan menghentikan

perdarahan.(3)

II.XIIIKOMPLIKASI (11)

1) Kelainan neurologik (deficit neurologis), berupa sindrom gegar otak dapat

terjadi dalam beberapa jam sampai bebrapa bulan.

2) Kondisi yang kacau, baik fisik maupun mental

3) Kematian

II.XIV PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada : (8)

1) Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

33
2) Besarnya

3) Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,

karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar

antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada

pasien yang mengalami koma sebelum operasi. (2)

Prognosis epidural hematoma biasanya baik. Mortalitas pasien dengan

epidural hematoma yang telah dievakuasi mulai dari 16% - 32%. Seperti trauma

hematoma intrakranial yang lain, biasanya mortalitas sejalan dengan umur dari

pasien. Resiko terjadinya epilepsi post trauma pada pasien epidural hematoma

diperkirakan sekitar 2%.(9)

BAB III

LAPORAN KASUS

34
III.I PENGKAJIAN

Identitas :
Nama : TN. S.
Umur : 50 tahun
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia.
Agama : Islam
Alamat : Blimbing Ngeran Bojonegoro
Pekerjaan : tidak bekerja
Pendidikan : SLTA
Tgl.MRS : 28 April 2002 jam: 02.30
Tgl. Pengkajian : 29 April 2002 jam: 08.00
Diagnosa Medik : Post op Trepanasi Cedera Otak Berat, OF TP (S)

Alasan MRS : Kecelakaan lalu lintas, naik sepeda motor ditabrak truck,
klien tidaksadarkan diri dari kejadian sampai dibawa ke RS, muntah-muntah (-),
kejang (-) dan klien dibawa ke RSUD Cepu dan langsung dirujuk ke RSUD Dr.
Soetomo.

Observasi dan pemeriksaan fisik :


1) Pernapasan
Klien menggunakan respirator, Mode: CR Insp MV: 500 Exp MV: - FIO2: :
50% A:aDO2:
Bentuk dada simetris, tidak ada jejas pada daerah dada, wheezing -/-, Ronchi +/+,
RR 18 x/menit. Pada hidung terpasang NGT.
2) Kardiovaskuler/sirkulasi:
S1, S2 tunggal, tidak ada suara tambahan, hasil monitor EKG: irama sinus 75
x/menit, tekanan darah: 130/100, suhu: 36,5 C
3) Persarafan/neurosensori
Klien tampak gelisah, GCS: 1 x 1 , pupil isokor, reaksi cahaya +/+
4) Perkemihan Eliminasi uri

35
Terpasang Dower kateter produksi urine 1000 ml/12 jam warna kuning jernih
5) Pencernaan Eliminasi alvi
infus Dext 1500cc/24 jam, manitol 4 x 100 cc/24 jam. Tidak ada jejas pada daerah
abdomen, bising usus (+), b.a.b (-). Cairan maag slang warna kecoklatan 200 cc.
6) Tulang otot integumen:
Kemampuan pergerakan pada ektrimitas atas dan bawah tidak dapat dikaji karena
pasien dalam tingkat kesadaran koma. Pada kepala ada luka operasi tertutup
hipafix, tidak tampak adanya perdarahan, kulit wajah dibagian rahang bawah
tampak lecet-lecet, kedua kelopak mata odem dan hematoma. Turgor baik, warna
kulit pucat.

Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium tanggal 30 April 2002:
Hb: 9,3 gr/dl. Leko: 5,6. Trombo: 101.
PCV: 0,28.
Blood Gas:
PH: 7,265 PCO2: 46,0 PO2: 259,4
HCO3: 20,4 BE: -6,6
CT Scan tanggal 29 April 2002:
ICH daerah temporofrontal kiri dengan pnemotocele.
Fr Impresi frontal kanan dan kiri
Fraktur temporal kiri

1.9 Terapi:
Rantin 2x 1 IV Novalgin 3 x 1 amp IV
Afriaxon 1 x 2 gr IV Dilantin 3x 100 IV
Manitol 4 x 100 cc
Fisioterapi napas + Suction tiap 3 jam

36
III.II ANALISA DATA
Data Kemungkinan penyebab Masalah
DS: - Trauma kepala Gangguan perfusi
DO: jaringan cerebral
Kesadaran me , GCS: 1 Hematom Subarachnoid
x 1,
CT Scan : Odema otak
ICH daerah
temporofrontal kiri dengan
pnemotocele. TIK
Fr Impresi frontal kanan dan
kiri
Fraktur temporal Aliran darah ke otak
kiri
O
DS: - TIK Gangguan pola
DO: napas
Menggunakan respirator, rangsangan simpatis
Mode: CR Insp MV:
500 Exp MV: - FIO2: :
50% A:aDO2: tahanan vaskuler sistemik
Wheezing -/-, Ronchi +/+,
RR 18 x/menit
terjadi pe tek. pada sist.
pemb. darah pulmonal.

Pe tek.hidrostatik
kebocoran cairan kapiler

Pe hambatan difusi O2 -
CO2

Hipoksemia
DS: - Trauma kepala Resiko nutrisi
DO: kurang dari
GCS: 1-x-1, terpasang Stress kebutuhan tubuh
sonde, infus Dex 1500

37
cc/24 jam. Pe katekolamin
NGT dibuka, cairan maag
slang warna coklat 200 cc. Pe sekresi asam lambung

Mual, muntah

Asupan nutrisi tidak adekuat
DS: -
DO: Trauma jaringan, kulit rusak, Resiko tinggi
Luka post op trepanasi prosedur invasif. terhadap infeksi
pada farietal tertutup
pembalut, tidak tampak
adanya perdarahan, luka
laserasi pada rahang
bawah dan tertutp kasa
serta luka jejas pada
phalank distal sinistra dan
mengeluarkan bau dan
secret berwarna kuning,
Turgor baik, warna kulit
pucat. Klien terpasang
respirator, dower katheter,
NGT.
Hasil lab: Hb: 9,3 gr/dl.
Leko: 5,6.
DS: - Trauma kepala Sindroma defisit
DO: perawatan diri
Kesadaran me , GCS: 1-
Hematom Subarachnoid
x-14
Klieb tidak sadar
TIK

Aliran darah ke otak

O

Penurunan kesadaran

III.IV DIAGNOSA KEPERAWATAN

38
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d hemoragi/ hematoma; edema cerebral
2. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan
otak).

3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.

4. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan yang tidak adekuat

5. Defisit perawatan diri b.d penurunan kesadaran

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


DP 1: Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi/ hematoma; edema
cerebral.
Tujuan:
1. Mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.

Kriteria hasil:
1. Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
2. Tingkat kesadaran membaik

Intervensi Rasional
Pantau /catat status Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan
neurologis secara teratur TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,
dan bandingkan dengan perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
nilai standar GCS.
Evaluasi keadaan pupil, Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)
ukuran, kesamaan antara berguna untuk menentukan apakah batang otak masih
kiri dan kanan, reaksi baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan
terhadap cahaya. antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon
terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang
terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan

39
okulomotor (III).
Pantau tanda-tanda vital: Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan
TD, nadi, frekuensi nafas, TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda
suhu. terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan
kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan
kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat
mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi
oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil)
yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
Pantau intake dan out put, Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh yang
turgor kulit dan membran terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma
mukosa. serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus.
Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah
hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang
akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan
serebral.
Turunkan stimulasi Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi
eksternal dan berikan fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk
kenyamanan, seperti mempertahankan atau menurunkan TIK.
lingkungan yang tenang.
Bantu pasien untuk Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan
menghindari /membatasi intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
batuk, muntah, mengejan.
Tinggikan kepala pasien 5- Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
15 derajad. akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko
terjadinya peningkatan TIK.
Batasi pemberian cairan Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema
sesuai indikasi. serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD
dan TIK.
Berikan oksigen tambahan Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
sesuai indikasi. meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral
yang meningkatkan TIK.
Berikan obat: Manitol digunakan untuk menurunkan air dari sel otak,
1. Manitol 4 x 100 cc menurunkan edema otak dan TIK. Sedatif digunakan 40
Intervensi Rasional
Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
kedalaman pernapasan pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan
setiap 1 jam. Catat otak.
ketidakteraturan
pernapasan.
Pantau / cek pemasangan Adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya
tube, selang ventilator pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara
sesering mungkin. yang tidak adekuat.
Siapkan ambu bag tetap Membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila ada
berada didekat pasien gangguan pada ventilator.
Lakukan penghisapan Penghisapan pada trakhea dapat menyebabkan atau
dengan ekstra hati-hati, meningkatkan hipoksia yang menimbulkan
jangan lebih dari 10-15 vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh
detik. Catat karakter, cukup besar pada perfusi jaringan.
warna dan kekeruhan dari
sekret.
Lakukan fisioterapi Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien
Napas . dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini
seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
Auskultasi suara napas, atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang
perhatikan daerah membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau
hipoventilasi dan adanya menandakan terjadinya infeksi paru.
suara tambahan yang tidak
normal misal: ronkhi,
wheezing, krekel. Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan
Pantau analisa gas darah, asam basa dan kebutuhan akan terapi.
tekanan oksimetri Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
Lakukan ronsen thoraks tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau
ulang. bronkopneumoni.

41
Intervensi Rasional
Berikan perawatan aseptik Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
dan antiseptik, nosokomial.
pertahankan tehnik cuci
tangan yang baik.
Observasi daerah kulit
Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan
yang mengalami
untuk melakukan tindakan dengan segera dan
kerusakan, daerah yang
pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
terpasang alat invasi, catat
karakteristik dari drainase
dan adanya inflamasi.
Pantau suhu tubuh secara
Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang
teratur, catat adanya
selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan
demam, menggigil,
segera.
diaforesis.
Berikan antibiotik sesuai
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang
program dokter.
mengalami trauma, atau setelah dilakukan pembedahan
untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi.

III.V TINDAKAN KEPERAWATAN

Tanggal Diagnosa Tindakan Keperawatan

42
29/4/02 1 Mengobservasi dan mencatat status neurologis dan tanda-
tanda vital setiap 1 jam, GCS: 1- x - 1, pupil: isokor reaksi
cahaya +/+, TD 130/90, nadi 76 , RR: 17x/menit, suhu:
37C.
Memantau intake dan out put, turgor kulit cukup dan
membran mukosa agak kering.
Memberi posisi dengan meninggikan kepala pasien 30
derajad.
Memberian cairan infus Dext 21 tetes/menit.
Memberikan obat:
1. Rantin 2 x 1 iv ( jam 12.00 24.00)
2. Novalgin 3 x 1 amp IV ( jam 12.00 20.00 04.00)

3. Afriaxon 1 x 2 gr iv ( jam 12.00 24.00)

4. Manitol 4 x 100 cc/drip ( jam 12.00 18.00 - 24.00


06.00 )
2

Mengecek pemasangan tube dan selang ventilator.


Melakukan fisioterapi napas dan melakukan penghisapan
sekret setiap 3 jam (jam 08.00 11.00 14.00 17.00
20.00 23.00 02.00 05.00) , mencatat karakter warna
lendir putih kental.
.Mendengarkan suara napas: ronkhi +/+, wheezing -/-.
3

Mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan,


daerah yang terpasang alat invasi (infus, drain,catheter),
drainase dari drain warna merah, infus tidak ada plebitis,
cateter terfiksasi baik, warna urine kuning jernih. Kulit kering
tidak tampak tanda inflamasi.
Melakukan perawatan luka secara aseptik.

43
30/4/02 1 Mengobservasi dan mencatat status neurologis dan tanda-
tanda vital setiap 1 jam, GCS: 1- x-1, pupil: isokor reaksi
cahaya +/+, TD 145/90, nadi 78 , RR: 20x/menit, suhu:
37C.
Memantau intake dan out put, turgor kulit cukup dan
membran mukosa agak kering.
Memberi posisi dengan meninggikan kepala pasien 15
Memberikan cairan infus Tutofusi OPS: 14 tetes/menit,
cabang Intrafusin 3,5: 7 tetes/menit
Memberikan obat:
1. Rantin 2 x 1 iv ( jam 12.00 24.00)
2. Novalgin 3 x 1 amp IV ( jam 12.00 20.00 04.00)

3. Afriaxon 1 x 2 gr iv ( jam 12.00 24.00)

4. Manitol 4 x 100 cc/drip ( jam 12.00 18.00 - 24.00


06.00 )

2
Melakukan fisioterapi napas, memberikan nebulizer dan
melakukan penghisapan sekret setiap 3 jam (jam 08.00
11.00 14.00 17.00 20.00 23.00 02.00 05.00) ,
mencatat karakter warna lendir putih kental. Mendengarkan
suara napas: ronkhi +/+, wheezing -/-.

3
Mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan,
daerah yang terpasang alat invasi (infus, drain,catheter),
drainase dari drain warna merah, infus tidak ada plebitis,
cateter terfiksasi baik, warna urine kuning jernih. Kulit kering
tidak tampak tanda inflamasi.
Melakukan perawatan luka secara aseptik.
Melakukan pemeriksaan lab:

1/5/02 Pasien Meninggal

44
III.VI EVALUASI

TGL DIAGNOSA EVALUASI


29/4/2002 1. Perubahan perfusi jaringan S: -
serebral berhubungan dengan O:
hemoragi/ hematoma; edema Klien masih tampak gelisah, GCS: 1- x-1 pupil isokor reaksi
cerebral. cahaya +/+
TTV stabil TD berkisar antara 140/100 - 120/90, nadi: 72 -
76 x/menit, RR: 17 22 x/menit, suhu : 36,6 37,5 C.
A: masalah belum teratasi
P: rencana tindakan dilanjutkan
29/4/2002 2. Pola napas tidak efektif S: -
berhubungan dengan O:
kerusakan neurovaskuler TTV stabil TD berkisar antara 130/100 - 90/70, nadi: 72 - 76
x/menit, RR: 17 22 x/menit. Ventilator terpasang
(cedera pada pusat
Menggunakan respirator, Mode: CR Insp MV: 500 Exp
pernapasan otak). MV: - FIO2: : 50% A:aDO2:
Wheezing -/-, Ronchi +/+,
RR 18 x/menit
A: Masalah belum teratasi
P: Rencana keperawatan dilanjutkan,
29/4/2002 3. Resiko tinggi terhadap S:
infeksi b.d trauma jaringan,
O:
kulit rusak, prosedur invasif.
TTV stabil TD berkisar antara 140/80 - 150/100, nadi: 72 -
80 x/menit, RR: 17 22 x/menit. suhu : 36,8 37,5 C.
Cairan drain kepala warna merah, luka ditangan merembes
cairan (serum) warna kecoklatan.
A: masalah belum teratasi
P: rencana tindakan dilanjutkan

30/4/2002 Perubahan perfusi jaringan S: -


serebral berhubungan dengan O:
hemoragi/ hematoma; edema GCS: 1- 1-1 pupil isokor reaksi cahaya +/+
cerebral. TTV stabil TD berkisar antara 130/100 - 140/110, nadi: 72 -
76 x/menit, RR: 17 22 x/menit, suhu : 36,6 37,5 C.
A: masalah belum teratasi
P: rencana tindakan dilanjutkan.

2. Pola napas tidak efektif S: -


berhubungan dengan O:
kerusakan neurovaskuler TTV stabil TD berkisar antara 130/100 - 90/70, nadi: 72 - 76
x/menit, RR: 17 22 x/menit. Ventilator dilepas, dipasang T
(cedera pada pusat
Piece , dengan O2 6 lt/menit, Ronchi +/+,
pernapasan otak). RR 18 x/menit
Hasil Blood Gas Blood Gas:
PH: 7,265 PCO2:46,0 PO2: 254,4
HCO3: 20,4 BE: - 6,6
A: Masalah belum teratasi
P: Rencana keperawatan :
Klien bernapas dengan alat Bantu T-Piece.
3. Resiko tinggi terhadap S:
infeksi b.d trauma jaringan,
O:
kulit rusak, prosedur invasif.
TTV stabil TD berkisar antara 140/80 - 150/100, nadi: 72 -
80 x/menit, RR: 17 22 x/menit. suhu : 37,3 37,7 C.
Cairan drain kepala warna merah, luka ditangan merembes
cairan (serum) warna kekuning-kuningan.
A: masalah infeksi belum terjadi
P: rencana tindakan dilanjutkan

Tanggal 1/5/2002 klien meninggal


BAB IV

PENUTUP

IV.I Kesimpulan

Epidural hematoma adalah perdarahan akut pada lokasi epidural. Fraktur

tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea media

yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara

duramater dan tulang di permukaan dalam os temporale.

Tanda Diagnostik Klinik Epidural Hematoma :(7)

1. Lucid interval (+)

2. Kesadaran makin menurun

3. Late hemiparese kontralateral lesi

4. Pupil anisokor

5. Babinsky (+) kontralateral lesi

6. Fraktur daerah temporal

Diagnosis epidural hematoma didasarkan gejala klinis serta pemeriksaan

penunjang seperti foto Rontgen kepala dan CT scan kepala. Prognosis epidural

hematoma biasanya baik. Mortalitas pasien dengan epidural hematoma yang telah

dievakuasi mulai dari 16% - 32%.


IV.II Saran

1. Diagnosis dini perlu diperhatikan pada pasien

2. Bila dijumpai gejala seperti yang disebutkan di atas, maka sebaiknya dilakukan

pemeriksaan lengkap sampai Epiduralhematoma dapat disembuhkan.

3. Diharapkan dengan meningkatkan penemuan kasus dini penangulangan

terhadap penyakit ini dapat disembuhkan. Sehingga angka kematian dapat ditekan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gilroy J. Basic Neurology. USA: McGraw-Hill, 2000. p. 553-5

2. Japardi I. Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif. Bagian Bedah

Fakultas Kedokteran USU. [serial online] 2004. [cited 20 Mei 2008].

Didapat dari : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar

%20japardi61.pdf

3. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC,

2003. p. 818-9

4. Waxman SG. Correlative Neuroanatomy. USA: Lange Medical Books,

2000. p. 183-5

5. Duus P. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.

Jakarta: EGC, 1994. p. 329-30

6. Agamanolis DP. Traumatic Brain Injury and Increased Intracranial

Pressure. Northeastern Ohio Universities College of Medicine. [serial

online] 2003. [cited 20 Mei 2008]. Didapat dari :

http://www.neuropathologyweb.org/chapter4/chapter4aSubduralepidural.h

tml

7. PERDOSSI. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma

Spinal. Jakarta: PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2006. p. 9-11


8. Ekayuda I. Radiologi Diagnostik edisi kedua. Jakarta: Gaya Baru, 2006. p.

359-65, 382-87

9. Evans RW. Neurology and Trauma. Philadelphia: W.B. Saunders

Company, 1996. p. 144-5

10. Snell R.S. Neurologi Klinik. Editor, Sjamsir, edisi ke dua, cetakan

pertama, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta 1996. hal 521-532.

11. Prince DD, Epidural Hematoma in Emergency Medicine. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/824029-followup#a2649. Accessed

on 26 Agustus 2013.

Anda mungkin juga menyukai