A. Gambaran Umum
Page 1
Gerakan rakyat yang diyakini menjadi pengawal sejati demokrasi
dan kedaulatan rakyat dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan
sosial, pada perkembangan terakhir juga menunjukkan penurunan
kuantitas dan kualitas. Termasuk juga gerakan buruh sebagai salah
satu kekuatan terorganisir masih belum mampu berperan aktif sebagai
kekuatan alternatif dalam situasi politik nasional.
B. Tujuan Acara
Selamat berdiskusi,
Page 2
DIKUSI TEMATIK
Sesi I
Negara:
1. HUKUM
2. PENEGAKAN HUKUM
Page 3
F. Pengadilan Negeri
G. Ombudsman
H. Komisi Nasional Hak-Hak Azasi Manusia (Komnasham)
I. Polisi
J. Masyarakat sipil
A. Amandemen/Referendum
B. Komisi Yudisial (KY)
C. Mahkamah Konstitusi
D. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
E. Masyarakat sipil.
F. Masalah buruh.
Page 4
I. PADA TATARAN DUNIA
Revolusi industri
Krisis :
Daya Beli;
Pasar;
Diversifikasi Produksi.
Jalan Keluar :
Keynesian (Sosial Demokrat);
Campur-tangan Pemerintah (kasus produksi untuk perang)
Perluasan Pasar;
Kembali ke Ekonomi Liberal (Neoliberalisme);
Perang Harga (terutama produk-produk pertanian);
Kesepakatan Bretton Woods (GATT);
Perluasan Investasi dan Pasar ke Negeri-negeri Berkembang (yang kaya sumberdaya
alam dan potensi pasar);
Sentralisasi Modal/Alat-alat Produksi Semakin Mengerucut;
Page 5
Tekanan hutang luar negeri;
Kesepakatan-kesepakatan dagang dan produksi; belenggu hukum internasional melalui
badan-badan keuangan dan perdagangan dunia (terutama World Bank; International
Monetary Fund; dan World Trade Organization);
Pemotongan subsidi dan pembelanjaan sosial;
Privatisasi;
Liberalisasi.
Tidak terdapat (tidak dominan) Sentralisasi Tenaga Produktif (terutama tanah dan
tenaga kerja) Ala Feodalisme Eropa, Cina, atau Amerika Latin; Cara Produksi
Penyakapan
Merkantilisme
Kolonialisme:
Modal (negara kolonial/swasta Asing) beroperasi di sektor agribisnis;
Sentralisasi tenaga produktif dengan cara produksi kapitalisme kolonial (tanam paksa;
kemudian erpacht/eigendom)
Page 6
Pasar; hasil-hasil pertanian Barat; Asia Selatan/Cina/Tailand/Vietnam); barang-barang
manufaktur menengah/kecil (Cina/Taiwan/Singapura/ Hongkong/Malaysia/Vietnam);
barang-barang modal/manufaktur besar (Amerika/Jepang/Jerman);
Melalui:
Tekanan hutang luar negeri;
Kesepakatan-kesepakatan dagang dan produksi; belenggu hukum internasional melalui
badan-badan keuangan dan perdagangan dunia (terutama World Bank; International
Monetary Fund; dan World Trade Organization);
Pemotongan subsidi dan pembelanjaan sosial;
Privatisasi;
Liberalisasi.
Page 7
Nilai-nilai kebudayaan dan kesenian yang masih vulgar, profan, sarat dengan
niali-nilai kekerasan, tidak ilmiah, tidak demokratik, hipokrit, dan konsumeris
(yang extravargant);
Media massa yang masih tidak seimbang, berat sebelah, dan masih rentan
terhadap tekanan negara.
8. Seluruh rakyat (termasuk buruh, ibu rumah tangga, dan mereka yang
bekerja untuk usahanya sendiri) mendapakan pensiun;
Page 8
9. Jaminan kesehatan gratis sepenuhnya bagi seluruh rakyat (termasuk
buruh), sakit apapun (termasuk melahirkan) dan berapa lama pun
pengobatannya, alias gratis seumur hidup;
12. Dll.
Point-point :
Ekonomi politik yang diajarkan kepada kaum buruh dan atau pergerakan
buruh berlainan sama sekali dengan ekonomi politik yang diajarkan
dalam unversitas-universitas yang ada.
Page 9
- Krisis
Daya beli:
Pasar:
Diversifikasi produksi: pengadaan barang-barang yang dapat di
jangkau oleh daya beli rendah
Catatan: Saat ini, 80% hasil produksi dunia dikuasai oleh 200
perusahaan.
- Kembali Ke Liberalisme
Perluasan Pasar:
Kapitalis menginginkan hasil produksi yang banyak, murah dan
berkualitas baik. Maka upahnya harus murah.
Page
10
- Investasi Modal / pasar melalui tekanan utang luar negeri.
- Membuat lembaga-lembaga internasional
Page
11
DIKUSI TEMATIK
Sesi II
Pokok Bahasan : Buruh berkuasa, Rakyat sejahtera
Pemateri : Wilson Obrigados
Pemantik : Simon, SH
Hanya ada satu cara untuk menyingkirkan setan besar ini, yaitu melalui penegakan satu sistem
perekonomian sosialis, yang diiringi dengan sistem pendidikan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan
sosial. Dalam sistem ekonomi semacam ini alat-alat produksi dimiliki oleh masyarakat.
Albert Einstein, Why Socialism?
Transisi demokrasi di Indonesia tidak hanya menjadi pertarungan politik antara kekuatan
demokratis dan kekuatan ororitarian Orde Baru, tapi juga jadi arena pertarungan antara faksi
kapitalisme internasional (Neo Liberalisme) berhadapan dengan faksi oligarki kapital yang
tumbuh dan besar karena menempel pada kekuasaan politik Soeharto dan militerkapitalisme
dalam-negeri yang berkarakter parasit, korup, cengeng, tidak mandiri dan tidak
mengembangkan kekuatan produktif (teknologi dan ilmu pengetahuan). Seluruh oligarki kapital
yang tumbuh di seputar kekuasaan Soeharto ini harus menerima kenyataan bahwa kapitalis
asing adalah pemenang dalam kompetisi memperebutkan Indonesia dan seluruh
sumberdayanya.
Dalam proses melakukan dominasi, kekuatan modal internasional ini terpaksa harus
mendukung (atau tepatnya membonceng) liberalisasi politik yang telah diperjuangkan dengan
tetesan keringat-darah oleh gerakan demokrasi di Indonesia. Ini artinya, ikut mendukung
tuntutan gerakan demokrasi untuk menumbangkan kekuasaan Soeharto. Bagi kapitalisme
internasional, turunnya Soeharto berarti ikut menghancurkan kaki-kaki politik yang mendukung
oligarki Soeharto dan kroninya.
Ironisnya, pembonceng ini, dalam waktu cepat berhasil memimpin proses liberalisasi politik
dan mendapatkan agen-agen politik baru yang dilegitimasi melalui proses politik elektoral.
Proses liberalisasi politik, di satu sisi juga memberikan ruang dan kesempatan bagi gerakan
progresif kerakyatan untuk mengembangkan organisasinya, melakukan propaganda,
membangun front dan koalisi serta memajukan program-proram alternatif. Bahkan Partai
Rakyat Demokratik berpartisipasi dalam Pemilu 1999. Saat itu, respon atas politik elektoral
menjadi politik alternatif ketika jalan yang lebih revolusionerseperti membentuk
Pemerintahan Koalisi Kerakyatan dan gerakan boikot yang massifterbukti gagal dilakukan.
Page
12
Intervensi kekuatan pasar-bebas terhadap kalangan faksi-faksi elite politik baru yang
terdapat di berbagai partai untuk mengarahkan proses demokrasi di Indonesia cukup berhasil.
Tidak rugi dana trilyunan rupiah dikucurkan oleh berbagai negara dan donor untuk mengawal
munculnya kepemimpinan politik baru pasca Seoharto agar sesuai atau sejalan dengan
kepentingan-kepentingan pasar-bebas. Hasilnya dapat kita lihat, semua rezim pasca Soeharto
seperti Gus Dur, Megawati, dan SBY semuanya tunduk, jinak dan menjalankan berbagai proses
liberalisasi ekonomi secara terjun bebas, tanpa mampu direm lagi.
Oligarki politik pro-pasar bebas yang merupakan kelanjutan dari Orde Baru masih begitu
kuat dalam ekonomi-politik yang merupakan kelanjutan dari Orde Baru. Menurut Jeffrey A
Winter Indonesia setelah Soeharto merupakan sebuah paduan kompleks antara oligarki dan
demokrasi . Dimana sistem politik berkembang menjadi oligarki elektoral dimana posisi-posisi
kekuasaan semakin terjalin dengan kekayaan personal. Para oligarki ini adalah aktor-aktor
yang sangat berkuasa dalam ekonomi-politik Indonesia, sangat berpengaruh di era Orde Baru
dan transisi demokrasi bukanlah gangguan bagi mereka.
Para oligarki ini menurut Winters mempunyai uang, kerajaan media, jaringan dan posisi-
posisi di partai sehingga memungkinkan mereka mendominasi sistem baru yang demokratik.
Para oligarki ini memiliki semua sumber kekuasaan yang siap melayani kepentingan oligarki
dengan cara membeli dan mendistorsi sitem hukum, dari polisi dan jaksa sampai ke hakim dan
politisi. 1
Pendapat yang hampir sama juga dinyatakan oleh ahli politik Indonesia dari Australia
Marcus Mietzner yang melihat bahwa faksi konservatif dikalangan elit sedang berusaha keras
untuk menghentikan proses reformasi demokrasi. Elemen konservatif berusaha mendapatkan
kembali keistimewaan-keistimewaan yang pernah mereka miliki pada masa lalu, ketimbang
bergandengan tangan dengan masyarakat mendukung demokrasi.
1 Jeffrey A Winter. Oligarki Dan Demokrasi di Indonesia . Dalam AE Priyono & Usman Hamid (Editor) .
Merancang Arah Baru Demokrasi; Indonesia Pasca Reformasi. KPG & Public Virtue Institute, Agustus
2014.
2 Marcus Mietzner. Stagnasi Demokratik Indonesia: Elit Konservatif vs Masyarakat Sipil. Dalam .
Merancang Arah Baru Demokrasi; Indonesia Pasca Reformasi. KPG & Public Virtue Institute, Agustus
2014
Page
13
Dengan demikian negara pasca reformasi menjadi alat dari pasar bebas. Seperti
dikatakan oleh Meichael A Lebowitz sehingga kapital menoleh pada negara. ..Negara yang
disiapkan untuk menghancurkan serikat-serikat pekerja, mengabaikan semua kamuflase
bentuk-bentuk demokratik, menoleh pada fasisme untuk mendapatkan apa yang mereka
inginkankekuaaan koersif (memaksa) negara ....kapital menciptakan negara sesuai dengan
kebutuhannya. 3
Ketika faksi modal internasional berhasil melakukan intervensi dan mengarahkan proses
transisi demokrasi menuju pasar-bebas, serta dengan mengkooptasi politik elektoral
mendapatkan oligarki politik sebagai agen-agen politik baru di puncuk kekuasaan eksekutif dan
legislatif, sebaliknya berbagai kekuatan yang menjadi garda depan penumbangan Soeharto
semakin terserak dan tersubordinasi.
Ben Reid (2003) dalam analisinya tentang transisi demokrasi di Brazil pasca
kediktatoran militer menyimpulkan, ada beberapa hal yang menyebabkan gerakan rakyat
menjadi lemah dalam perjuangan politik di awal transisi demokrasi. Dalam beberapa segi
analisis Reid itu dapat digunakan untuk menganalisa proses pembajakan demokrasi setelah 19
tahun reformasi di Indonesia.
Pertama, partisipasi politik oleh kelas pekerja dan berbagai lapisan sosial lainnya
disalurkan kebanyakan melalui patronase di antara para elite yang saling berkompetisi.
Ini sudah terbukti dalam kasus Indonesia, di mana massa terpecah belah dalam
berbagai patronase politik elite yang dipersonifikasikan dalam berbagai partai. Massa arus
bawah PDIP yang militan dan mempunyai pengalaman politik praktis melawan kediktatoran
berhasil diseret kedalam lorong politik elektoral oleh politik patronase yang disetir oleh para elite
PDIP. Sementara massa yang lain juga berhasil digiring ke politik patronase dengan identitas
politik Islam seperti PKS, PKB, atau PPP.
Kedua, perjuangan demokratik harus dapat keluar dari persoalan yang hanya
menyederhanakan isu restorasi dalam mekanisme keterwakilan politik, kebebasan sipil dan
semacamnya.
Kasus ini juga terjadi di Indonesia, di mana semua pemilu elektoral sejak 1999 telah
menciptakan ilusi di kalangan kaum demokrat liberal, yang mendominasi wacana di media dan
di LSM, bahwa demokrasi elektoral adalah puncak perjuangan demokrasi.
Para demokrat liberal itu menyibukan diri dalam kegiatan pemantauan dan pelatihan
pemilih, sehingga secara tak langsung melegitimasi demokrasi perwakilan, bukannya
mengembangkan demokrasi partisipatoris dari arus bawah. Kenyataan politik elektoral
kemudian membuktikan, pemilu menjadi alat restorasi kekuatan lama dan dominasi kekuatan
pasar-bebas melalui agen-agen politik domestiknya yang baru pasca Soeharto.
3
Michael A Lebowitz. Jalan Menuju Pembangunan Manusia; Kapitalisme atau Sosialisme. Politik Rakyat. 2013. Hlm.
38.
Page
14
Ketiga, kebanyakan oposisi politik saat itu telah disubordinatkan di bawah dominasi
kekuatan borjuasi. Kekuatan oposisi di Indonesia boleh dikatakan tidak signifikan, kalaupun
ada itu adalah oposisi di antara blok politik pendukung pasar-bebas untuk berebut posisi di
puncak kekuasaan, atau untuk saling berbagi kekuasaan.
Oposisi progresif kerakyatan yang programatik dan yang mengajukan alternatif di luar
demokrasi liberal dan pasar-bebas relatif tidak mempunyai kekuatan signifikan. Hal ini
dikarenakan gerakan progresif kerakyatan yang mengusungnya masih lemah dalam hal
pengorganisasian basis dukungan serta terserak-serak dalam fragmentasi yang kronis.
Empat pemilu transisi demokrasi di Indonesia (1999, 2004, 2009 dan 2014) tidak
menghasilkan perubahan signifikan bagi partisipasi politik dan kesejahteraan rakyat. Empat
pemilu itu tak lebih dari rotasi dan bagi-bagi kekuasaan di antara para elite politik. Proses
transisi demokrasi di Indonesia selama 19 tahun itu telah dibajak oleh para elite politik dan
membelokannya menjadi pro pasar-bebas dan oligarki politik partai-partai. Ketidakpuasan akan
partai-partai lama justru diperburuk oleh munculnya partai-partai baru yang jauh lebih
konservatifdua di antaranya didirikan oleh dua petinggi militer di zaman Soeharto yaitu Partai
Hanura yang dipimpin mantan Pangab Wiranto dan partai Gerindra yang dipimpin oleh mantan
Danjen Kopassus Prabowo. .
Legitimasi lembaga-lembaga negara yang diisi oleh para elite dan parpol yang ada juga
semakin pudar dan hilang di hadapan rakyat. Berbagai kasus skandal korupsi menimpa hampir
semua partai yang duduk di parlemen dan pemerintahan. Berbagai produk kebijakan dan
undang-undang yang dikeluarkan oleh parlemen dan pemerintah, juga semakin dirasakan tidak
memihak kepada kepentingan dan aspirasi rakyat.
Sementara korupsi makin merajelela, bahkan KPK terus dipangkas oleh politisi. Pluralisme
bangsa juga dintimidasi oleh kelompok politik ekstrem berkedok agama yang ironisnya
dibiarkan dan didiamkan oleh negara. Bahkan oligarki politik menngunakan sentimen agama
dan ras dalam pertarungan politik diantara mereka, seperti tampak di Pilkada DKI Jakarta yang
lalu. Partai, politisi elit dan lembaga tinggi negara telah menjadi predator politik yang
menciptakan pemiskinan masif, kesenjangan sosial, dan disfungsi demokrasi.
Dalam arena kompetisi politik elektoral, sangat dirasakan bahwa gerakan rakyat seperti
menjadi kekuatan marginal dalam arus pertarungan politik formal untuk merebut lembaga
negara baik di parlemen maupun pemerintahan.
Beberapa elemen gerakan rakyat mengambil sikap realistis atas fenomena politik yang
bekembang dengan jalan melakukan intervensi dalam proses politik elektoral di tingkat nasional
dan lokal. Namun sayangnya, partai-partai yang dibentuk oleh para aktivis gerakan gagal dalam
Page
15
proses verifikasi administratif. Akibatnya, mimpi akan ada partai alternatif yang muncul dari
gerakan untuk berkompetisi secara elektoral menjadi sirna.
Beberapa aktivis mencoba ikut bertarung melalui jalur independen dalam pemilihan DPD
dan kepala daerah, tapi hasilnya lebih banyak berupa kegagalan. Sementara yang
mencantolkan pada partai-partai utama juga mayoritas mengalami kebuntuan. Upaya
internvensi dalam politik elektoral dan politik partisan seperti yang dilakukan oleh Partai
Perserikatan Rakyat dan Partai Persatuan Pembebasan Nasional untuk merespon pemilu 2009
dan membangun blok oposisi kerakyatan juga telah gagal dalam proses verifikasi KPU.
Sementara itu beberapa unsur gerakan rakyat mengambil posisi untuk memboikot proses
politik elektoral. Namun strategi ini juga tak mampu mendapatkan dukungan luas, apalagi untuk
menandingi dan menggagalkan proses politik elektoral yang berlangsung. Kalaupuan terjadi
suara golput hampir 30 persen, itu bukan karena sebuah gerakan tapi tak lebih dari sikap
apatisme atas proses politik yang terjadi.
Meskipun begitu, berbagai upaya dilakukan oleh gerakan untuk tetap dapat melakukan
intervensi dalam realitas politik yang sedang berlangsung. Berbagai Front yang didukung
puluhan unsur gerakan politik muncul: seperti Front Perjuangan Rakyat (FPR), Front
Pembebasan Nasional (FPN), Front Rakyat Menggugat (FRM), Front Oposisi Rakyat Indonesia
(FORI) dan Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) untuk menyatukan langgam
gerakan agar lebih solid dan terkoordinasi.
Namun dalam kenyataanya front-front ini lebih berfungsi sebagai komite aksi untuk
merespon momentum politik atau berbagai kebijakan negara yang anti rakyat. Rencana
strategis jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan front ini sebagai badan
perjuangan politik bersama untuk merebut kekuasaan negara dan bertarung menghadapi
partai-partai yang ada di dalam dan di luar arena politik elektoral masih sebatas wacana, belum
menjadi praktek politik bersama.
Pada 2008, untuk mencari jawaban politik alternatif yang bisa dibangun oleh berbagai unsur
gerakan rakyat, dalam rangka refleksi 10 tahun reformasi diadakan diskusi dengan berbagai
unsur gerakan buruh, tani, lingkungan, mahasiswa dan organisasi politik progresif yang
difasilitasi Jurnal Bersatu. Diskusi ini sebagai bagian dari proyek persatuan politik gerakan yang
sedang digagas saat itu. Para peserta yang mewakili pimpinan organisasi lintas sektor sedang
mencemaskan situasi yang sama; kemiskinan rakyat, kehancuran ekologis dan kehancuran
tatanan kemanusiaaan akibat kebijakan neo-liberalisme, pembusukan politik dominan, dan
pencarian politik alternatif.
Dari diskusi itu, ada tiga hal pokok yang menjadi kesimpulan kunci.
Pertama, neo-liberalisme atau kapitalisme atau kekuasaan modal telah menjadi sumber
bencana utama berupa kemiskinan rakyat, perusakan lingkungan, perendahan perempuan,
konflik dan peperangan.
Kedua, politik formal melalui partai-partai yang ada telah gagal dan sangat tidak mungkin
menjadi alat untuk perubahan fundamental. Karena itu diperlukan alat politik baru untuk
melancarkan perjuangan politik dan membela kepentingan rakyat akibat kebijakan neo-
liberalisme.
Page
16
Ketiga, menemukan ideologi alternatif di luar kapitalisme (neo-liberalisme) yang
mensejahterakan buruh, petani, pro-gender, ramah lingkungan dan membebaskan manusia dari
relasi penindasan. Para peserta secara tegas menemukan ideologi pembebasan dan pro-
kesetaraan itu dalam sosialisme. Sehingga, dalam satu kalimat dapat ditegaskan bahwa politik
alternatif untuk masa depan Indonesia adalah sosialisme. Jalan lain di luar itu hanyalah tambal
sulam belaka, tidak membuat perubahan mendasar.
Pilihan sosialisme sebagai alternatif dan antitesa atas neo-liberalisme (atau imperialisme
dan kapitalisme) sepertinya sangat dipengaruhi dengan keberhasilan kemunculan
pemerintahan kiri di Amerika Latin seperti di Brazil, Venezuela, Bolivia, Uruguay, Chile dan
Argentina. Amerika Latin menjadi inspirasi bahwa sosialisme bukanlah utopia, tapi kenyataan
yang sedang berlangsung dan diperjuangkan dalam realitas politik kontemporer.
Perdebatan yang dilakukan oleh para pimpinan gerakan di zaman sekarang seperti
membalikan mesin waktu ke masa lalu. Tema yang didiskusikan, meskipun dalam zaman yang
berbeda, tetap mempunyai esensi yang sama dengan perdebatan dan perjuangan yang
dilakukan para pendiri bangsa menuju Indonesia merdeka.
Cita cita masa depan Indonesia yang terbebas dari penindasan kapitalisme dan
menjadikan sosialisme sebagai cita-cita bersama sudah menjadi pikiran dan perjuangan para
pendiri bangsa sejak zaman pra kemerdekaan. Pemikiran seperti ini dapat kita temukan dalam
sosok Tjokroaminoto, Soekarno, Sjahrir, Hatta atau Tan Malaka.
Para pendiri bangsa ini secara tegas dalam berbagai tulisan menyatakan penolakan
pada kapitalisme, sebagai sebuah sistem yang menciptakan kolonialisme dan penghisapan
manusia atas manusia untuk kepentingan pemilik modal. Jejak pemikiran kritis anti kapitalisme
itu bahkan tercantum dalam pasal 33 UUD 45 dan pasal-pasal yang menyatakan negara
bertanggungjawab atas fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Page
17
Kita diserukan oleh Sjahrir (n.d.) untuk menjalankan revolusi kerakyatan. Revolusi kita ini
sebenarnya harus dipandang revolusi yang akan turut menutup sejarah kapitalistis-imperialis.
Di dalam pemikiran Islam, tokoh nasionalis senior seperti Tjokroaminoto, pimpinan Sarikat
Islam yang karismatik sudah menunjukan penolakannya atas kapitalisme. Tjokro menulis buku
yang berjudul Islam dan Sosialisme, sebuah pemikiran teologi pembebasan yang melihat
agama harus berperan dalam perjuangan bangsa.Sarikat Islam yang diyakininya adalah tidak
mengakui segolongan orang berkuasa atas golongan lainnya.. Tjokro menginginkan
kehancuranstelsel kapitalisme yang jahat.
Dalam salah satu program kerja di tahun 1917, Sarikat Islam bahkan sudah secara radikal
memasukan program nasionalisasi atas industri-industri yang mempunya sifat monopoli atas
hajat yang bersifat pokok bagi rakyat banyak (Deliar Noer 1985). Suatu tuntutan yang mirip
dengan pasal 33 UUD 1945 yang dianggap bernafaskan sosialistik.
Seorang aktivis Sarikat Islam dari Solo, Haji Misbach bahkan lebih revolusioner lagi dengan
melihat perjuangan anti kapitalisme, yang diperjuangan golongan Islam dan komunisme, adalah
sesuatu yang saling sinergis. Misbach memandang keduanya sebagai kekuatan yang dapat
disatukan untuk menghantam Kapitalisme.
Dalam tulisannya Islam dan Komunisme, Misbach memaparkan bahwa Islam dan
komunisme merupakan kekuatan yang akan menghancurkan kapitalisme, dan keduanya tidak
saling bertentangan, sebaliknya bahkan saling melengkapi satu sama lain. Misbach
berkeyakinan, jika petunjuk adanya ajaran Islam benar-benar digerakkan, sudah tentu tidak
akan ada antagonisme antara muslim dan pemeluk agama lain, juga antara Islam dan
komunisme karena pada hakekatnya kesemuanya itu adalah untuk mencari keselamatan di
dunia dan akhirat (Nor Hiqmah 2006).
Dengan legasi dari pemikiran masa lalu para pendiri bangsa yang menolak kapitalisme,
pengalaman perlawanan di masa kini atas neo-liberalisme, dan keberhasilan pemerintahan
sayap kiri di Amerika Latin mengalahkan neo-liberalisme, semakin jelas bahwa dunia di bawah
sistem neo-liberalisme yang berporos pada negara-negara kapitalisme di Utara bukanlah
sebuah alternatif bagi masa depan. Sosialisme adalah jalan keluar, sosialisme adalah alternatif
peradaban bagi masa depan.
Sosialisme sebagai politik alternatif di abad ke-21 pertama kali diwacanakan oleh almarhum
Presiden Venezuela, Hugo Chaves pada tahun 2005. Saat itu Chaves mulai menjalankan
program sosialistisnya dengan membuat kebijakan pro kaum-miskin, reformasi agraria, menolak
privatisasi, mengambil alih mayoritas industri strategis minyak ke tangan negara, menolak
agenda pasar-bebas di Amerika Latin, menolak pembayaran minyak dengan dollar, dan
menolak berbagai politik imperialis Amerika Serikat di berbagai belahan dunia.
Sosialisme abad ke-21 bagi Chavez adalah pertarungan antara poros kebaikan, yang
akan berhadapan dengan blok poros setan yang mendukung neo-liberalisme.
Seperti bola salju yang menggelinding, satu persatu negara Amerika Latin mengambil jalan
sosialis, atau paling tidak menyatakan penolakan yang tegas atas neo-liberalisme. Kaki tangan
poros setan di politik nasional di Amerika Latin semakin terpinggirkan dan tidak populer.
Page
18
Inspirasi sosialisme abad ke-21 ini membuktikan bahwa sebuah alternatif di luar sistem neo-
liberalisme sangat mungkin dilakukan, diperjuangkan, bahkan direalisasikan.
Pertama, ideologi ini tidak hanya bersikap kritis, tapi haruslah revolusioner dan alternatif di
luar kerangka sistem dan ideologi neo-liberalisme. Politik alternatif bukanlah sekadar rotasi
pergantian rezim di antara faksi kelas dominan seperti yang terjadi selama 19 tahun reformasi
di sini. Politik alternatif juga berbeda secara mendasar dengan kekuatan yang hendak
melakukan reformasi atas kapitalisme atau hanya menentang satu faksi kapitalisme saja,
seperti yang ditunjukan oleh berbagai partai baru yang menggarap propaganda nasionalisme
dan program populis tapi tidak menunjukan ketegasan ideologis atas kapitalisme. Politik
alternatif secara tegas menyatakan tidak kepada neo-liberalisme, dan tidak kepada kapitalisme
dalam segala bentuk manifestasinya. Bagi kita, ganti rejim, harus bermakna ganti sistem !
Ketiga, mengubah fungsi negara menjadi aparat politik kesejahteraan untuk membebaskan
rakyat miskin dari neo-liberalisme dan individualisme. Chavez mengidentikan dirinya dengan
sebutan rezim sosio-ekonomi sebagai antitesis atas rezim pasar-bebas yang menjadi
kecenderungan utama dari fungsi negara di berbagai belahan dunia. Perbedaan dengan negara
sosialis demokrasi mapan di Eropa, sosialisme Chavez jelas lebih radikal karena tidak bertujuan
mereformasi negara kapitalis agar lebih baik budi, tapi menggantinya dengan pemerintahan
rakyat miskin. Negara sebagai alat kepentingan kelas sosial lama yang minoritas digantikan
dengan negara sebagai alat kepentingan kaum miskin yang mayoritas dengan cara-cara
demokratis dan partisipatoris.
Page
19
Menurut Hugo Chavez terdapat segitiga penyusun sosialisme . 4
, yaitu:
Pertama, Pemilikan sosial atas alat-alat produksi. Pemilikan sosial atas alat produksi
menjadikan satu-satunya cara agar produktivitas sosial masyarakat ditujukan untuk
membebaskan manusia daripada tujuan pribadi kapitalis, kelompok ataupun birokrat. Namun
kepemilikan sosial bukanlah kepemilikan negara, karena perusahaan negara dapat menjadi
kapitalis negara (birokrat) atau perusahan negara yang hirarkris. Pemilikan sosial menghendaki
suatu demokrasi yang mendalam dimana rakyat berfungsi sebagai subyek baik sebagai
produsen maupun anggota masyarakat.
Kedua, produksi sosial diorganisasikan oleh kelas pekerja. Menciptakan relasi baru
antara produsen dan manusia dalam bentuk kerjasama dan solidaritas. Kaum pekerja juga bisa
mengembangkan kapasitas pribadinya sebagai manusia, lepas dari keterasingan. Dunia
pekerja tidak lagi terasing dan terfragmentasi dalam dunia kecil di pabrik seperti dalam
kapitalisme.
Epilog
Pembajakan demokrasi yang sedang terjadi bukanlah sebuah kecelakaan, tapi memang
sebuah hukum sejarah yang akan terjadi dalam pertarungan kelas-kelas sosial dalam merebut
dominasi negara.
Karena itu sebuah ideologi alternatif harus dijadikan antitesa dari sistem pengabdi
kapital yang telah memiskinkan, merusak lingkungan dan menciptakan peperangan. Ideologi
alternatif harus dijalankan oleh sebuah kekuatan politik alternatif, yang tidak saja handal dalam
melakukan pengorganisasian demokrasi langsung dan partisipatoris di akar rumput, tapi juga
mampu mentransformasikannya dalam perjuangan elektoral bila memang dibutuhkan.
Tentu saja membangun politik alternatif seperti ini bukanlah jalan mulus, karena pasti
akan menghadapi banyak tantangan baik dari faktor eksternal dan internal. Proyek
pembangunan politik alternatif sudah menjadi eksperimen gerakan progresif sejak tahun 2004
dalam politik persatuan gerakan dan front-front programatik yang bersifat taktis serta dalam
perluasan perlawanan dan pengorgansiran kaum buruh yang teroganisir.
4
Michael A Lebowitz. Hlm 50-54
Page
20
Semua material sejarah ini bila bisa dipertemukan dalam suatu wadah politik altenatif,
niscaya akan menjadi efektif dan lebih berjangka panjang untuk menjadi lawan strategis politik
dominan yang semakin membusuk.
Dari pengalaman yang sudah terjadi tampaknya kita memang memerlukan agenda yang
bisa mengintervensi proses ekonomi-politik yang sedang terjadi secara efektif, dan pada saat
yang bersamaan membangun dan mengembangkan politik radikal yang realistis, terkoordinasi,
dan solid.
Pada akhirnya, Semua pembangunan sosialisme masa depan akan tergantung dari
soliditas, pengorganisiran, kesadaran dan kepemimpinan kelas buruh dalam perjuangan
didalam dan diluar sistem. Tanpa pondasi dan kepemimpinan kelas buruh, maka sosialisme
menjadi mimpi indah belaka.
Bibliografi
- Farid, Hilmar (2005), Analisis Atas Inisiatif Perlawanan Lokal, Praxis, Januari-Mei 2005;
- Hiqmah, Nor (2006), Haji Misbach Haji Merah (Jakarta: Komunitas Bambu);
- Noer, Deliar (1985), Gerakan Islam Modern di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta: LP3ES);
- Reid, Ben (2003), The Brazilian Workers Party and the Participatory Budget in Rio Grande do;
- Sul, LINKS, No 23, Januari-April;
- Sjahrir, Sutan (1988), Nasionalisme dan internasionalisme (Banda Naira: Rumah Syahrir);
- Sjahrir, Sutan (n.d.), Perjuangan Kita (Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik Guntur;
- Michael A. Lebowitz. Jalan Menuju Pembangunan Manusia; Kapitalisme atau Sosialisme ?. Poltik
Rakyat. 2013;
- Martha Harnecker. Memahami Revolusi Venezuela.. Jakarta. 2006;
- Simon Tormey. Anti Kapitalisme. Penerbit Teraju. Jakarta 2005.
Page
21