Anda di halaman 1dari 4

Proletariat dan Rezim yang Sekarat

Oleh: Hilmar Farid*


Malam hari 15 Mei 2011, empat orang buruh bangunan tewas yang sedang tidur pulas
dilindas bus di halaman parkir depo Mayasari Bhakti, Cikarang Barat. Bedeng kecil dipojok
depo rupanya tidak cukup menampung 70 buruh bangunan yang dikontrak perusahaan itu
untuk membangun gedung baru, sehingga beberapa di antaranya terpaksa menggelar tikar
di lapangan parkir. Kernet tembak yang mengendarai bus lari meninggalkan tubuh mereka
yang remuk. Polisi kini mengejarnya dengan tuduhan “kelalaian kerja yang menyebabkan
orang lain terluka atau meninggal dunia.” Kenyataan bahwa buruh bangunan tewas karena
perusahaan tidak menyediakan tempat tidur yang aman, tidak dipersoalkan, begitu pula
kelalaian mandor membiarkan kernet tembak mengendari bus. Kasus itu selanjutnya
menjadi perkara pidana biasa. Perusahaan membayar biaya rumah sakit dan memberi uang
duka. Manajer perusahaan tenang-tenang berkantor seperti biasanya di gedung yang
memajang tulisan besar “utamakan keselamatan kerja”. Para penonton kejadian umumnya
menyalahkan keteledoran buruh bangunan karena tidur di halaman parkir dan ada juga yang
menduga kernet tembak itu teler karena narkoba.

Setiap tahun ada ribuan kasus semacam di seluruh Indonesia, tapi DPR nampaknya tidak
bernafsu mendesak pemerintah menetapkan aturan ketat mengenai kesehatan dan
keselamatan kerja, atau membentuk pansus yang menyelidiki kasus-kasus itu. Alasannya
sederhana, tidak ada wakil buruh yang duduk di DPR sementara bagi elite yang menguasai
lembaga itu masalah buruh tidak relevan bagi pertikaian mereka. Mungkin malah
merepotkan saja. Jika kecelakaan yang berakibat kematian saja tidak menarik, apalagi
pembayaran upah yang tidak layak, pembatasan hak berserikat, pelecehan seksual,
penggebukan aksi protes oleh aparat dan preman yang menjadi makanan buruhsehari-hari.

Buku Vedi R. Hadiz, Workers and the State in New Order Indonesia membantu kita
memahami perjalanan yang membawa buruh di Indonesia sampai pada situasi di
atas.Munculnya Orde Baru ditandai penataan ulang hubungan industrial. Penguasa militer
menerapkan model exlusionary corporatism yang menyingkirkan buruh dari proses
pengambilan keputusan dan menyelesaikan perselisihan dengan represi. Gerakan buruh
yang tumbuh subur sebelum 1965 dihancurkan (dimulai dengan membunuh dan
menangkapi aktivis sayap kirinya) dan tahun 1973 dibentuk Federasi Buruh Seluruh
Indonesia (FBSI) sebagai wadah tunggal.
Militer yang mulai terlibat dalam urusan perburuhan ketika terjadi nasionalisasi perusahaan
tahun 1957 memegang peran utama dalam kontrol terhadap gerakan buruh semasa Orde
Baru. Pangkopkamtib Laksamana Sudomo yang kemudian menjadi Tenaga Kerja
pertengahan 1980an merombak wadah tunggal menjadi semakin terpusat dan dikontrol
dengan nama baru, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Dengan sistem perburuhan
seperti ini pemerintah mulai meningkatkan produksi untuk ekspor dan mendorong laju
industrialisasi. Pengusaha dan birokrat pendukungnya menikmati keuntungan berlipat tapi
pada saat bersamaan memelihara kontradiksi yang inheren dalam sistem kapitalis.
Industrialisasi berkelanjutan ini menyedot jutaan orang bekerja sebagai buruh.
Dibandingkan masa sebelumnya, kelas buruh ini di samping lebih besar dari segi jumlah,
lebih berpendidikan dan cukup akan hak-hak mereka. Kehidupan bersama di kota-kota
pusat industri dan kesadaran bahwa tidak ada pilihan hidup lain kecuali bertahan di sana,
membuat mereka lebih militan memperjuangkan nasib. Awal 1990an terjadi gelombang-
gelombang pemogokan dan protes yang melibatkan jutaan buruh di Jawa dan Sumatera.
Penguasa tetap menghadapinya dengan represi walau terasa semakin tidak efektif.
Pemerintah mencari jalan lain dengan memenuhi sebagian tuntutan, seperti peningkatan
upah minimum secara berkala dan perbaikan kondisi kerja di pabrik-pabrik.

Gelombang protes ini mendorong terbentuknya berbagai organisasi buruh independen


seperti SBM Setiakawan, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia, Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia dan puluhan LSM di bidang perburuhan. Bekerjasama dengan organisasi buruh
internasional seperti ICFTU dan juga ILO, serta lembaga hak asasi manusia, gerakan ini
gencar menuntut keadilan dalam hubungan industrial. Tapi keterbatasan dalam
pengorganisasian di tingkat basis, kepemimpinan yang masih didominasi aktivis nonburuh
dan perbedaan strategi politik yang cenderung berujung pada perpecahan, serta hambatan
struktural seperti mobilitas modal internasional yang tinggi, menghalangi terbentuknya
gerakan buruh yang kuat.

Belajar dari kelemahan berbagai pendekatan yang ada sebelumnya, Hadiz mengembangkan
kerangka teoretik yang menekankan pentingnya struktur di satu sisi dan kemampuan serta
strategi buruh mempengaruhi dan mengubah struktur tersebut di sisi lain (him. 37). Dengan
membandingkan proses industrialisasi di Eropa, Amerika Latin, Asia Timur dan Tenggara,
ia berpendapat model hubungan antara negara, modal dan buruh adalah produk pergulatan
antara agen-agen sejarah (historical agencies). Buruh dengan begitu tidak dilihat sebagai
korban pembangunan yang pasif, tapi kekuatan yang aktif menentukan jalannya sejarah.

Di negara-negara Asia yang lebih lambat mengalami industrialisasi, negara berperan lebih
penting dalam menentukan hubungan industrial dan strategi industrialisasi. Di Indonesia
industrialisasi 1980an berpijak pada ketenangan industrial (industrial peace) yang
diciptakan penguasa Orde Baru pada dekade sebelumnya. Pertumbuhan kelas buruh
sebagai by-product industrialisasi berkelanjutan akhirnya menciptakan tantangan baru bagi
pola hubungan itu. Saat buku itu ditulis, belum ada perubahan berarti. Orde Baru masih
menerapkan politik perburuhan yang sama. Jatuhnya Soeharto pun tidak membawa
perubahan mendasar, sekalipun membuka peluang untuk mengganti tatanan exclusionary
corporatism ke bentuk yang lebih adil bagi buruh.

Studi ini, seperti diakui Hadiz sendiri, bisa jadi dianggap unfashionable dalam studi tentang
Indonesia maupun wacana politik yang selama ini seperti terpaku pada kaum elite, kelas
menengah dan lembaga seperti parlemen, pers dan partai politik. Dalam ilmu sosial pada
umumnya pun diskusi tentang kelas buruh atau politik berbasis kelas dianggap masa lalu
yang terkubur seiring gagalnya eksperimen sosialisme di Eropa. Kelas sebagai kekuatan
politik dianggap sudah lenyap begitu pula sosialisme yang menjadi tujuannya. Para penulis
dan aktivis kiri pun menggeser perhatian dari pabrik mencari agen sejarah yang lain.

Dalam konteks ini ada beberapa hal yang membuat karya Hadiz menjadi penting. Buku itu
setahu saya adalah usaha pertama untuk merangkum pengalaman perjuangan buruh selama
masa Orde Baru secara sistematis dengan perspektif kritis. Menjadi karya pertama setelah
kekosongan literatur di bidang itu sekitar 30 tahun tentunya adalah kelebihan tersendiri.
Apalagi seperti dikatakan Hadiz, “studi ini dibuat dengan kesadaran penuh bahwa analisis
yang digunakan, bukan semata-mata intellectual exercise, melainkan sebuah bentuk
praksis.” (him, 5). Tidak banyak ilmuwan saat ini yang secara sadar bergerak melampaui
“batas-batas obyektivitas” membawa teori ke dalam gerakan, dan sebaliknya membawa
aktivisme dalam wacana akademik.

Tidak adanya perhatian terhadap kelas buruh industri dan subaltern classes selama ini
adalah kelemahan mendasar dalam analisis tentang politik Indonesia kontemporer dan ikut
menyebabkan agenda perubahan berjalan di tempat. Kenyataan bahwa reformasi yang
dikendalikan elite sekarang ini menemui jalan buntu seharusnya membuat kita berpikir
lebih banyak tentang subyek perubahan yang lain. Karya Hadiz membuka ruang perdebatan
dan merangsang penelitian lebih lanjut ke arah itu.

Hal lain, kegagalan eksperimen sosialisme dan bergesernya perhatian ilmuwan dari kelas
buruh sebagai agen sejarah tidak berarti perbedaan kelas dengan sendirinya lenyap. Justru
sebaliknya sekarang kita menyaksikan polarisasi dan kesenjangan kelas yang semakin
mendalam, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Human Development Report
1999 dari UNDP mencatat saat ini seperlima penduduk dunia yang tinggal di negeri-negeri
terkaya menguasai 86 persen GDP dunia, 82 persen pasar ekspor dunia, 68 persen
penanaman modal asing langsung dan 74 persen saluran telepon. Sementara seperlima
penduduk paling miskin, yang bukan kebetulan tinggal di Dunia Ketiga, hanya memiliki
satu persen dari masing-masing kategori.

Dalam beberapa tahun belakangan di berbagai belahan termiskin dunia gerakan berbasis
kelas bermunculan dengan keragaman bentuk organisasi, strategi dan taktik yang efektif
membantu orang membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme. Gerakan buruh industri
yang dibicarakan Hadiz dalam studinya adalah bagian dari perkembangan ini.

***

“Ini adalah studi mengenai kemunculan kelas buruh industri di Indonesia,” demikian Hadiz
membuka bukunya. Namun dalam halaman-halaman selanjutnya deskripsi maupun puluhan
halaman untuk menjabarkan kerangka pemikiran – yang cenderung berulang-ulang – tidak
sampai sepuluh halaman yang disediakan untuk memberi gambaran konkret tentang buruh
industri yang menjadi fokus studinya. Asal-usul, proses pencerabutannya dari desa, dan
seluruh pengalaman yang membentuk subyektivitas tidak mendapat tempat cukup.
Pengalaman konkret buruh menjadi kelas tidak nampak, begitu pula gambaran mengenai
harapan, gagasan politik, sikap terhadap organisasi atau aksi kolektif yang sangat
diperlukan dalam analisis mengenai politik kelas.

Berbeda dengan janji untuk menempatkan buruh sebagai agen sejarah yang aktif, bukunya
lebih banyak menyoroti kebijakan negara, strategi industrialisasi dan sikap para pejabat
serikat buruh – yang tidak bekerja sebagai buruh – dalam proses itu. Dengan kata lain ia
masih melihat perjalanan politik perburuhan melalui kacamata birokrat negara maupun
serikat buruh, ketimbang kelas buruh itu sendiri. Begitu pula saat berbicara tentang gerakan
protes dan pembentukan berbagai organisasi di tahun 1990an. Hampir semuanya dilihat
berdasarkan keterangan para pejabat, aktivis dan sedikit sekali komentar dari kelas buruh
industri yang terlibat di dalamnya.

Hal ini membawa kita pada beberapa persoalan menyangkut perspektif dalam bukunya.
Menempatkan buruh sebagai agen sejarah yang aktif menuntut kerangka metodologi yang
memungkinkan kita melihat sejarah dari perspektif mereka. Hadiz melihat kelas buruh
sebagai akibat atau produk dari the rise of capital. Analisis kelas dan perspektif buruh
sebaliknya melihat the rise of capital sebagai proses penghancuran perlawanan dan segala
bentuk kehidupan non-kapitalis. Apa yang bagi pemilik modal dan birokrat pendukungnya
adalah pertumbuhan, peningkatan produktivitas dan efisiensi bagi kelas buruh berarti
penggusuran, kemiskinan, dan segala bentuk kesulitan hidup yang memaksa mereka
menjual tenaga kerjanya, menjadi proletariat.

Lebih jauh ia melihat industrialisasi sebagai titik tolak bangkit dan berkembangnya kelas
buruh beserta kesadaran dan ekspresi politiknya di dalam hubungan industrial. Dalam
analisis kelas perhatian utama bukanlah perkembangan industrialisasi tapi proses
penaklukan, ketegangan dan pertentangan dalam hubungan kerja upahan (kapitalis) yang
menjadi basis berkembangnya industri. Dalam konteks itu kekuatan gerakan kelas buruh
tidak hanya ditentukan oleh seberapa jauh mereka dapat berkiprah membela hak-haknya di
tempat kerja melalui organisasi atau mengatur kebijakan negara mengenal hubungan
industrial, tapi seberapa jauh kelas ini terlibat menentukan arah dan perkembangan
kapitalisme.

Hadiz memusatkan perhatiannya pada industrialisasi dan kemunculan kelas buruh industri,
namun ada banyak hal seperti komposisi kelas yang dibentuk dan sekaligus membentuk
proses itu tidak dijelaskan, sehingga pilihan itu tidak punya dasar kuat terlepas dari
pembelaan yang ditulisnya (him. 8-9). Lagipula analisis tentang industri itu sendiri,
penggunaan teknologi, pengorganisasian kerja di pabrik dan berbagai skema manajemen
yang sangat berpengaruh terhadap politik kelas juga sangat terbatas. Penggunaan teknologi
di industri manufaktur ringan seperti garmen dan tekstil misalnya bukan hanya untuk
meningkatkan produksi, tapi bagian dari strategi kapitalis menghadapi pergolakan di tempat
kerja. Sayangnya pembahasan Hadiz cenderung pada “gambar besar” yang disusun
berdasarkan argumen teoretik. Analisis data empirik hanya mengisi kerangka teoretik
ketimbang sebaliknya.

Analisis yang bertolak dari dialektika kapitalisme – bukan sekadar hubungan kausal atau
sebab-akibat dalam sistem itu – jauh lebih membantu memahami kompleksitas sistem dan
politik kelas. Studi dan perdebatan lebih lanjut mengenainya sangat diperlukan untuk
berpikir tentang berbagai (bukan satu) prospek politik kelas buruh di masa mendatang.
Seperti dikatakan Hadiz, semua ini bukan hanya sebuah intellectual exercise, tapi berkait
dengan perlunya gerakan kelas buruh memikirkan kembali sikap dasar dan tujuan, metode
pengorganisasian, termasuk membangun organisasi-organisasi baru berbasis kelas (bukan
hanya serikat, buruh). Tujuannya bukan hanya memperbaiki posisi dalam dunia industri dan
mendapatkan “hak-hak yang layak” atau bersuara lebih besar dalam penataan hubungan
industrial, tapi juga membangun tatanan sosial baru yang lebih adil dan manusiawi dari
kapitalisme. Bukan sekadar memantau dan mencegah kasus kematian karena kecelakaan
kerja, tapi membuat kerja yang mematikan menjadi sejarah.

*Hilmar Farid adalah seorang sejarawan, aktivis, dan pengajar. Sejak 31 Desember 2015,
Hilmar Farid dilantik sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Tulisan di atas merupakan tinjauannya terhadap karya Vedi Hadiz,
Workers and the State in New Order Indonesia, (Routledge Studies in the Growth
Economies of Asia, 11), November 5, 1997. Tulisan ini pertama kali tayang di website
pribadi Hilmar Farid (hilmarfarid.org).

Anda mungkin juga menyukai