Anda di halaman 1dari 4

LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Bioflok

Secara terminology biofloc berasal dari dua suku kata yaitu bio yang berarti
biologi atau hidup dan floc yang berarti gumpalan. bio-floc adalah flok atau gumpalan-
gumpalan kecil yang tersusun dari sekumpulan mikroorganisme hidup yang melayang-
layang di air.Teknologi biofloc adalah teknologi yang memanfaatkan aktivitas
mikroorganisme yang membentuk flok. Prinsip dasar dari teknologi ini adalah konversi
mikroba dari limbah nutrisi dalam sistem akuakultur (terutama amonia) menjadi biomassa
mikroba yang dapat dimanfaatkan kembali oleh organisme budidaya sebagai sumber
makanan. Aplikasi BFT (Bio Floc Technology) banyak diaplikasikan di sistem pengolahan
air limbah industri dan mulai diterapkan di sistem pengolahan air media aquaculture (Crab
et al., 2009).

2.3. Mekanisme Produksi Bioflokulasi

Mekanisme flokulasi dalam pembentukan bioflok ada 3 jenis, tergantung dari


kondisi limbah atau media yang akan diberi perlakuan flokulasi, yang meliputi bridging
mechanism, charged-patch neutralization, dan network model. Charged-patch
neutralization merupakan mekanisme penetralan partikel akibat adanya penambahan ion.
Flok yang bermuatan negatif, dengan diberi penambahan polimer atau flokulan bermuatan
positif, menyebabkan flok bermuatan netral dan polimer menjadi perekat antar partikel,
sehingga secara simultan koagulasi dapat terjadi. Sedangkan network model adalah proses
pelekatan antar partikel akibat penambahan polimer yang membentuk ikatan dengan ikatan
hidrogen, ikatan Van der Waals, maupun mekanisme pengikatan partikel yang lain.
Bridging mechanism merupakan proses alamiah yang umum terjadi pada aplikasi teknologi
bioflok. Mekanisme ini merupakan proses ketika rantai polimer yang dihasilkan suspensi
partikel saling terkait, sehingga membentuk flok yang dapat mengendap melalui proses
sedimentasi komponen polimer adalah sarana utama dalam agregasi individu sel bakteri
dalam membentuk partikel flok. Selain keberadaan polimer mekanisme lain yang mungkin
berperan dalam pembentukan flok bakteri adalah kondisi eksternal yang melingkupi sel
bakteri, konfigurasi bioreaktor, kation, kekuatan ion, serta jumlah partikel (Taw, 2010).
Selain hal-hal diatas, kandungan bahan organik, oksigen dan pH juga berpengaruh
terhadap terbentuknya flok. Pembentukan bioflok berkualitas memerlukan perbandingan
C/N/P sekitar 100:5:1. Oksigen terlarut di seluruh bagian air (vertical-horizontal) sebaiknya
>4 ppm, Kandungan karbon yang terlalu banyak dan kadar oksigen terlarut rendah
menyebabkan berkembangnya bakteri filamen sehingga flok menjadi berkualitas
buruk. Flok yang baik memiliki proporsi yang seimbang antara bakteri filamen (berfungsi
sebagai rangka flok) dan non-filamen. Berhubungan dengan pH, air yang berpH asam akan
menghambat terbentuknya bioflok karena akan mengurangi kandungan kation divalent
dalam air untuk ikatan esterasi (Bestania, 2015).

2.4. Mikroorganisme Penghasil Flokulasi

Bakteri heterotrof merupakan penyusun utama bioflok. Di alam, bakteri heterotrof


mendominasi ketersediaan mikroorganisme dengan jenis yang bervariasi. Bakteri heterotrof
dapat dengan cepat mengakumulasi C organik dan N organik yang kemudian dengan
adanya senyawa PHB mampu membentuk flok-flok bakteri (Bestania, 2015).
Komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi struktur bioflok dan
kandungan nutrisi bioflok. Bioflok yang didominasi oleh bakteri dan mikroalga hijau
mengandung protein yang lebih tinggi (38 dan 42% protein) daripada bioflok yang
didominasi oleh diatom (26%). Kondisi lingkungan abiotik juga berpengaruh terhadap
pembentukan bioflok seperti rasio C/N, pH, temperatur dan kecepatan pcngadukan (Van,
Wyk., Avnimeleeh, 2007).
Exopolisakarida adalah senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh bakteri
pembentuk flok. Exopolisakarida ini bersifat seperti glueatau lem yang menjadi tempat
penempelan bakteri menjadi satu kesatuan bioflok. Tidak semua bakteri mampu
menghasilkan exopolisakarida ini, hanya bakteri tertentu saja yang mampu menghasilkan
exopolisakarida ini. Bakteri penghasil exopolisakarida ini merupakan bakteri pembentuk
inti flok, dan disebut sebagai Floc Forming Bacteria (bakteri pembentuk flok). Beberapa
bakteri pembentuk floc yang sudah teruji diaplikasikan dilapangan adalah Achromobacter
liquefaciens, Arthrobacter globiformis, Agrobacterium tumefaciens, Pseudomonas
alcaligenes, Zoogloea ramigera . Bakteri lain dapat ikut membentuk bio-floc setelah
exopolisakarida dibentuk oleh bakteri pembentuk floc sebagai inti flok-nya. Bakteri yang
dapat ikut membentuk bio-floc misalnya Bacillus circulans, Bacillus coagulans, Bacillus
licheniformis, Bacillus subtillis. Bakteri yang ikut membentuk flok ini mempunyai fungsi
dalam siklus nutrisi didalam system bioflok. Bakteri ini disebut sebagai bakteri siklus
fungsional, misalnya Bacillus licheniformis yang berperan dalam siklus nitrogen (Montoya,
2000).
Mikroorganisme seperti bakteri dengan kemampuan lisis bahan organik
memanfaatkan detritus sebagai makanan. Sel bakteri mensekresikan lendir metabolit,
biopolymer (polisakarida, peptide dan lipid) atau senyawa kombinasi dan terakumulasi
disekitar dinding sel serta detritus. Kesalingtertarikan antara dinding sel bakteri
menyebabkan munculnya flok bacterial. Polimer ekstraseluler yang dibentuk sendiri oleh
bakteri berfungsi sebagai jembatan penghubung (mampu mencapai panjang 50 m). Dua
senyawa biopolymer dengan gugus karboksil (COOH) pada bakteri berbeda membentuk
ester dengan ion divalent (Ca, Mg). Ikatan-ikatan ini meningkatkan massa kumpulan
partikel, menjadikan inti kumpulan bersifat hidrofobik (takut air) dan tepinya bersifat
hidrofilik (suka air) sehingga terjadi dewaterisasi (lebih sedikit air di dalam partikel).
Kemudian karena ukuran diameter yang semakin besar menjadikan flok mudah terendap
(Schneider, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Avnimelech,Y., 2007, Feeding with microbial flocs by tilapia in minimal discharge bio
flocs technology ponds. Aquaculture 264,140-147

Bestania, Putri. Dkk (2015). Efektivitas Penggunaan Beberapa Sumber Bakteri Dalam
Sistem Bioflok Terhadap Keragaan Ikan Nila (Oreochromis niloticus). E-Jurnal
Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. Diakses tanggal 1 Oktober 2015

Crab R, Kochva W, Verstraete W, Avnimelech Y. 2009. Bio-flocs technology application


in over-wintering of tilapia. Aquacultural Engineering, 40(3): 105-112.

Montoya R, Velasco M. 2000. Role of bacteria on nutritional and management strategies


in aquaculture systems. The Advocate, April 2000: 35-36.

Schneider O, Sereti V, Eding EH, Verreth JAJ. 2005a. Analysis of nutrient flows in
integrated intensive aquaculture systems. Aquacultural Engineering, 32: 379-401.

Taw N. 2010. Recent progress of biofloc technology for sustainable shrimp (Pacific white
shrimp) farming: efficiency and profitability. Presentation in International
Conference on Shrimp Aquaculture (ICOSA), October 28-29, 2010. Surabaya,
Indonesia. 36 p.

Anda mungkin juga menyukai