Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI
“BIOFILM”

Di Susun Oleh :

Nama : Rita Aspiyanti


NIM : 2011102415117
Kelas :D
Dosen Pengampu : Apt. Sylvan Septian Ressandy, S.Farm.,
M.Farm

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum
Biofilm
B. Tujuan Praktikum
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa mampu melakukan
metode antibiofilm
C. Dasar Teori
➢ Infeksi
Infeksi merupakan invasi tubuh oleh mikroorganisme patogen
yang mampu menyebabkan sakit (Potter et al, 2005). Infeksi
disebabkan pembiakan mikroorganisme pada jaringan tubuh,
terutama yang menyebabkan cedera selular lokal akibat kompetisi
metabolisme, toksin, replikasi intra seluler, atau respon antigen-
antibodi (Dorland, 1998).Mikroorganisme penyebab terjadi infeksi
adalah bakteri, virus, jamur dan protozoa. Mikroorganisme dapat
masuk ke tubuh inangnya melalui saluran pernapasan, saluran
pencernaan, kulit dan rongga mulut (Pratiwi, 2008).
➢ Biofilm
Biofilm merupakan bentuk dari pola hidup multiseluler
mikroba dan didefinisikan sebagai komunitas bakteri yang
terorganisir, saling berkomunikasi dan melekat pada permukaan
inert atau hidup. Mikroorganisme dalam biofilm terdapat di dalam
matriks polimer yang diproduksinya sendiri dengan bahan
utamanya eksopolisakarida. Matriks biofilm tersusun atas
polisakarida, protein dan DNA yang berasal dari mikroba (Paraje,
2011).
❖ Mekanisme Pembentukan Biofilm :
1. Perekatan Bakteri ke Permukaan
Bakteri planktonik bebas menuju suatu permukaan dan
melekat. Penempelan awal ini di dasarkan pada daya Tarik
fisik dan gaya elektrostatik tetapi belum ada penempelan
secara kimia (Paraje,2011).
2. Perekatan Bakteri Secara Permanen
Beberapa dari sel reversibel yang teradsorpsi ini mulai
membuat persiapan untuk penempelan yang lebih kuat
dengan membentuk struktur tetap yang kemudian secara
permanen mengikat ke permukaan (Paraje, 2011).
3. Pembentukan Koloni
Sel-sel perintis biofilm akan memproduksi dan membuat sel
anakan yang akan membentuk mikrokoloni di permukaan
beberapa jam kemudian setelah penempelan permanen
(Paraje, 2011).
4. Akumulasi Sel Biofilm
Biofilm yang terbentuk akan semakin banyak dan mulai
menghasilkan matriks polimer di sekitar mikrokoloni sebagai
langkah untuk penempelan yang ireversibel (Paraje, 2011).
5. Pelepasan Biofilm
Pada tahap berikutnya biofilm yang sudah matang akan pecah
dan sel-sel bakteri dibebaskan kemudian dapat menyebar
kelokasi lain untuk membentuk biofilm yang baru
(Paraje,2011).
❖ Resistensi Biofilm Terhadap Antibiotik
Satu aspek terpenting dari pembentukan biofilm bakteri
adalah peningkatan resistensi mikroba terhadap antibiotik dan
stressor lainnya. Sifat struktural dan karakteristik sel biofilm
menghasilkan resistensi terhadap agen mikroba dan stressor
lainnya yang berkaitan dengan mekanisme perlindungan dan
pertahanan dari kondisi lingkungan yang buruk (Keller, 2014).
Faktor intrinsik dari resistensi merupakan bagian dari
perkembangan biofilm yang disebabkan dari struktur biofilm dan
sifat fisiologi hasil dari perubahan pola hidup biofilm. Pengaruh
dari beberapa faktor intrinsik biofilm yang berbeda mempengaruhi
resistensi antibiotik telah diidentifikasi. Berikut ini adalah
mekanisme pertahanan yang menyebabkan resistensi :
1. Matriks biofilm dapat bertindak sebagai penghalang
difusi

Biofilm sebagai penghalang difusi fisik untuk mencegah


antibiotik mencapai target. Antibiotik mampu menembus struktur
campuran eksopolisakarida, DNA, dan protein untuk mencapai
target tetapi tidak mampu mencapai konsentrasi efektif di semua
bagian (Paraje, 2011).

2. Pembentukan lingkungan mikro dalam biofilm

Menipisnya jumlah nutrisi dan oksigen di dalam biofilm dapat


menyebabkan aktivitas metabolisme diubah dan menyebabkan
perlambatan pertumbuhan bakteri (Paraje, 2011).

3. Diferensasi menjadi selpersister

Persister sel dianggap tidak tumbuh atau tumbuh lambat, dan


juga memiliki kerentanan yang sangat berkurang terhadap
antibiotik. Dalam teori persister, rute dari subpopulasi kecil bakteri
dalam biofilm berdiferensiasi menjadi sel aktif, mampu bertahan
terhadap pengobatan antibiotik yang ekstrim karena perubahan
genetik yang stabil (Paraje, 2011).
4. Peningkatan produksi tekananoksidatif

Tekanan oksidatif yang disebabkan oleh ketidakseimbangan


antara jumlah oksidan, seperti radikal bebas, peroksida dan
oksida nitrat, dengan antioksidannya. Gangguan keseimbangan
prooksidan-antioksidan menyebabkan kelebihan produksi
Senyawa Oksigen Reaktif (SOR) yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada komponen seluler, termasuk DNA, protein dan
lipid. Bakteri akan membentuk senyawa antioksidan sebagai
respon fisiologis terhadap SOR, sehingga bakteri dapat
beradaptasi terhadap tekanan oksidatif yang menyebabkan
perubahan metabolic yang cepat.Enzimutama yang terlihat dalam
system pertahanan antioksidan dan detoksifikasi SOR adalah
Super Oksida Dismutase (SOD) dan Katalase (CAT)
(Paraje,2011).

5. Aksi antagonis antibiotik dan mekanisme degradasi


aktif di beberapa bagian biofilm

Microenvironments dapat melawan aksi dari antibiotic dengan


mekanisme degradasi aktif dibeberapa bagian biofilm. Bakteri
saling berkomunikasi dan mengaktifkan gen-gen tertentu
sehingga menghasilkan enzim atau toksin yang dapat
mendegradasi antibiotik (Paraje,2011).

❖ Kontrol Biofilm
Sterilisasi merupakan proses penghilangan semua jenis
organisme hidup yang terdapat pada suatu benda. Proses ini
melibatkan aplikasi Biocidal agent atau proses fisik dengan tujuan
untuk membunuh atau proses fisik dengan tujuan untuk
membunuh atau menghilangkan mikroorganisme (Pratiwi, 2008).
Strategi yang dilakukan dalam mengkontrol biofilm dapat dengan
menggunakan metode kimia, fisika, dan biologi (Rai, 2013).
a. Fisik : metode dengan steriliasi panas merupakan cara
yang paling dipercaya dan banyak digunakan. Sterilisasi
panas dibagi dua yaitu metode panas kering dan panas
basah (Pratiwi, 2008).
b. Kimia : metode yang dilakukan dengan menggunakan
suatu bahan kimia yang dapat membunuh atau
menghilangkan mikroorganisme. Senyawa kimia
antibiofilm ini dapat menghambat quorum sensing
sehingga mengganggu pertukaran sinyal kimia antara sel-
sel dalam sebuah proses dan dapat merusak matriks yang
menyebabkan perlepasan sel dari koloni dan pembebasan
sel ke lingkungan (Pratiwi, 2008 & Rai,2013).
c. Biologi (Bakteriofage) : Strategi dengan memanfaatkan
virus tertentu yang menginfeksi bakteri.Virusakan
menghancurkan bakteri dengan cara masuk ke sel inang
dan melekat pada reseptor spesifik pada permukaan
bakteri, termasuk lipopolisakarida, protein, atau bahkan
flagella. Sehingga bakteri akan mati dan terjadinya
penurunan biofilm.
BAB II

PELAKSANAAN PRAKTIKUM

A. Alat dan bahan


a. Alat
1. Cattonbuds 4. Cawanpetri
2. Tabungreaksi 5. Microplate 96wells
3. Raktabung 6. Microplate reader
b. Bahan
1. Media NA untuk bakteri, PDA untukJamur, Media BHI untuk
bakteri dan jamur
2. Kultur bakteri Staphylococcus epidermidis dan Kultur jamur
Candidatropicalis
3. Crystal violet
4. Etanol 96%
5. Air
6. Senyawa1-monolaurin
7. Flukonazol
8. Vankomisin
B. Metode Kerja
➢ Uji penghambatan pembentukan biofilm monospesies
Penentuan kadar hambat biofilm minimal
menggunakan metode microbroth dilution. Prinsip penentuan
MBIC adalah pemberian perlakuan senyawa uji bersamaan
dengan pembentukan biofilm. Dalam uji ini digunakan kultur
bakteri Staphylococcus epidermidis dan kultur jamur
Candida tropicalis pembentuk biofilm. Langkah-langkahnya
adalah sebagai berikut :
a. Menyiapkan microplate 96 well
b. Menyiapkan pembuatan dilusi serial untuk senyawa 1-
monolaurin dengan konsentrasi 1000 – 1,953 µg/mL,
sebagai berikut :
1. Memasukkan 200 µL larutan stok senyawa 1-
monolaurin pada kolom 1.
2. Mengisi sumuran pada kolom 1-10 dengan 200 µL
TSB.
3. Menghomogenkan larutan pada kolom 1
4. Mengambil 200 µL suspensi pada sumuran kolom
1, masukkan ke sumuran kolom 2, pipetting
5. Mengambil 200 µL suspensi dari sumuran kolom 2,
masukkan ke sumuran kolom 3, pipeting dan
seterusnya sampai sumuran kolom 10
c. Membuang 200 µL suspensi dari sumuran kolom 10
d. Pada kolom 11 diisi oleh media TSB dan kolom 12 sebagai
kontrol negative
e. Memasukkan 2 µL suspensi sel bakteri 1x108 CFU/mL
pada masing-masing sumuran kolom 1-12.
f. Pada baris yang lain dilakukan hal yang sama seperti
diatas dengan menggunakan kontrol positif vankomisin.,
g. Inkubasi pada suhu 37o C selama 24 jam.
h. Ambil microplate 96 well yang telah diinkubasi selama 24
jam.
i. Setelah proses inkubasi selesai, buang supernatant dan
sel planktonik secara hati-hati.
j. Cuci 3x dengan PBS 200 µL
k. Ditambahkan larutan kristal violet 1% ke tiap sumuran dan
diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang.
l. Dicuci kembali dengan PBS 200 µL dan dibiarkan kering
pada suhu ruang.
m. Setelah mikroplat kering, sebanyak 200 µL etanol 96%
dimasukkan kedalam mikroplat dan diinkubasi selama 15
menit pada suhu ruang.
n. Mikroplat diukur menggunakan ELISA reader pada
panjang gelombang 595 nm untuk mendapatkan nilai
Optical Density (OD).
o. Nilai OD yang didapatkan selanjutnya digunakan untuk
menghitung nilai MBIC.
p. Pada pengujian untuk kultur jamur C.tropicalis dilakukan
dengan pengerjaan yang sama seperti kultur bakteri
S.epidermidis, tetapi menggunakan kontrol obat
flukonazol dan juga menggunakan pewarna kristal violet
1% (Sapaar et al., 2014). Data yang didapatkan dari tiga
kali replikasi kemudian dievaluasi.
BAB III

HASIL PRAKTIKUM

A. Proses Pengujian Biofilm


Pengujian biofilm terdiri atas:
1. Menghilangkan sel-sel planktonik
2. Menodai sel biofilm
3. Larut dalam sel biofilm
Adapun metode kerjanya meliputi:
1. Periksa terlebih dahulu wadah agar tidak terjadi kontaminasi.
2. Tuangkan sel planktonik.
3. Isi 3 wadah dengan air yang telah disuling.
4. Bilas wadah 3 kali dengan air suling.
5. Isi wadah dengan Cristal violet.
6. Atur pipet sebanyak 100 µL.
7. Transfer 100 µL kristal violet ke setiap sumur.
8. Isi kembali 3 wadah dengan air yang telah disuling.
9. Lakukan pembilasan wadah sebanyak 3 kali.
10. Isi wadah dengan etanol.
11. Atur kembali pipet sebanyak 100 µL.
12. Transfer 100 µL etanol ke setiap sumur.
13. Arahkan pipet keatas dan kebawah sebanyak 3 Kali.
14. Jangan membuang etanol.
B. Inokulasi bakteri pada MSA 3 ml inokulasi 24 jam
Metode kerjanya meliputi:
1. Diencerkan hasil inokulasi bakteri (TSB 100 µL + 10 µL hasil
inoklasi).
2. Siapkan mikroplate (dasar flat).
3. Isi mikroplate dengan TSB sebanyak 100 µL (jumlah sumur yang
diisi menyesuaikan dengan jumlah pengulangan).
4. Tambahkan hasil inokulasi yang sudah diencerkan sebanyak 10
µL.
5. Dinkubasi pada suhu 37°C, 18-24 jam.
6. Setelah 24 jam, Dibuang planktonik pada sumur secara perlahan
sisakan biofilm pada bagian dasar.
7. Dicuci dengan PBS, Tambahkan 300 µL PBS dan buang lagi.
8. Ditambahkan 100 µL kristal violet 1%, diamkan selama 30 menit.
9. Dibuang crystal violet.
10. Cuci dan bilas sisa crystal violet dengan air, lalu keringkan dengan
cara membalik microplate.
11. Diperoleh hasil:

12. Ditambahkan 100 µL acid isopropanolol 5 %, inkubasi 15 menit


pada suhu ruang.
13. Selanjutnya, dihitung OD menggunakan ELISA reader.
BAB IV
PEMBAHASAN

Uji antibiofim adalah suatu teknik untuk mengukur efek suatu


senyawa dalam menghambat planktonik dan mono-spesies biofilm. Pada
praktikum kali ini digunakan kultur bakteri Staphylococcus epidermidis dan
kultur jamur Candida tropicalis, dengan pewarna kristal violet. Pengujian
ini menggunakan kontrol positif yaitu antibiotik vankomisin (antibacteri)
pada kultur bakteri Staphylococcus epidermidis dan flukonazol (antifungi)
pada kultur jamur Candida tropicalis.
Pada uji antibofilm digunakan metode microbroth dilution, metode
ini menggunakan antimikroba/antifungi dengan kadar yang menurun
secara bertahap. Biasanya volume yang digunakan 0,05 ml sampai 0,1 ml.
Metode dilusi cair merupakan prosedur sederhana untuk
menentukan MIC dengan keuntungan tambahan yaitu mengetahui
konsentrasibakteriosidal minimum (MBC) ketika MIC disubkultur.
Pengujian ini dilakukan dengan pengenceran serial produk alami dan
jumlah yang diketahui dari suspensi bakteri yang ditambahkan. Setelah
inkubasi, MIC dinyatakan sebagai pengenceran terendah yang
menghambat pertumbuhan, dinilai dengan kurangnya kekeruhan di dalam
tabung. Penambahan reagen warna telah digunakan oleh beberapa
peneliti untuk secara akurat menentukan titik akhir MIC (Akinduti dkk.,
2019).
Secara umum untuk penentuan MIC, pengenceran dilakukan
penurunan konsentrasi setengahnya misalnya dimulai dari 16, 8, 4, 2, 1,
0,5, 0,25 μg/ml. Konsentrasi terendah yang menunjukkan hambatan
pertumbuhan dengan jelas baik dilihat secara visual atau alat semi-
otomatis dan otomatis, disebut dengan konsentrasi daya hambat
minimum/MIC (minimal inhibitory concentration). Pengujian dilakukan
pada microtiterplate flat-bottom polystyrene 96 wells dengan seri kadar
senyawa uji yaitu 1 %, 0,5 %, 0,25 %, 0,125 % v/v. Kontrol yang
digunakan yaitu kontrol obat menggunakan vankomisin/flukonazol 1% v/v,
kontrol pertumbuhan berupa suspensi mikroba, kontrol pelarut disesuaikan
dengan pelarut senyawa uji, dan media tanpa pemberian senyawa uji
sebagai media kontrol. Setelah itu, diinkubasi pada suhu 37°C selama 24
jam untuk membentuk biofilm fase tengah. Pelat dicuci dengan air suling
sebanyak tiga kali. Larutan 100 µL kristal violet 1% ditambahkan ke
masing-masing sumur untuk mewarnai biofilm yang terbentuk. Pelat
diinkubasi dalam suhu kamar selama 15 menit. Setelah inkubasi,
microplates dicuci dengan air mengalir selama tiga kali untuk
membersihkan sisa-sisa kristal violet dan 200 µL etanol 96% ditambahkan
ke masing-masing sumur.
Pada metode ini dilakukan pembacaan nilai kerapatan optik (optical
density/OD) dengan menggunakan instrumen ELISA reader pada panjang
gelombang 595 nm yang diaplikasikan dalam nilai absorbans. Setelah itu,
dilakukan perhitungan % penghambatan. Jumlah sampel yang dapat
menghambat setidaknya 50% dari pembentukan biofilm dapat dianggap
sebagai konsentrasi penghambatan biofilm minimum (MBIC50) dan
konsentrasi pemberantasan biofilm minimum (MBEC50) (Pratiwi dkk.,
2015).
Pewarnaan kristal violet umumnya digunakan untuk kuantifikasi
pembentukan biofilm biomassa pada berbagai jenis mikroorganisme.
Kristal violet mengikat muatan negatif pada permukaan molekul dan
polisakarida ke EPS sehingga kristal violet tetap melekat pada biofilm
setelah dicuci dengan aquades (Peeters dkk., 2008). Kristal violet
digunakan untuk menunjukkan jumlah massa biofilm (Stepanovic dkk.,
2000).
Pembentukan biofilm dapat dilihat pada dasar lempeng pelat
setelah pemberian kristal violet. Pada media kontrol (tanpa pemberian
senyawa uji) intensitas pewarnaan kristal violet sangat jelas, hal ini
menunjukkan bahwa komposisi biofilm yang terdapat pada sumuran
tersebut sangat kental dan kuat. Adapun pada media uji (diberikan
senyawa uji (obat antibiotik)) intensitas pewarnaan kristal violet sangat
rendah, hal ini menunjukkan bahwa biofilm yang terbentuk lebih sedikit
daripada media kontrol. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa
senyawa vankomisin dapat menghambat bakteri Staphylococcus
epidermidis dan flukonazol dapat menghambat jamur Candida tropicalis.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum dapat disimpulkan bahwa uji antibiofim
adalah suatu teknik untuk mengukur efek suatu senyawa dalam
menghambat planktonik dan mono-spesies biofilm. Pada uji antibiofilm
hasil pengamatan dapat dilihat secara visual maupun melalui hasil
perhitungan. Secara visual pembentukan biofilm dapat dilihat pada dasar
lempeng pelat setelah pemberian kristal violet. Semakin rendah intensitas
pewarnaan kristal violet, semakin sedikit biofilm yang terbentuk. Artinya
senyawa uji yang digunakan efektif menghambat pembentukan biofilm.
Pada perhitungan % penghambatan, jumlah sampel yang dapat
menghambat setidaknya 50% dari pembentukan biofilm dapat dianggap
sebagai konsentrasi penghambatan biofilm minimum (MBIC50) dan
konsentrasi pemberantasan biofilm minimum (MBEC50).
B. Saran
Dalam melakukan praktikum ini diharapkan praktikan berhati-hati
dalam menggunakan alat dan bahan yang ada di laboratorium, serta
memperhatikan ketelitian saat melakukan percobaan agar berjalan
dengan lancar dan mendapatkan hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Akinduti, P. A., Motayo, B., Idowu, O. M., Isibor, P. O., Olasehinde, G. I.,
Obafemi, Y. D., Ugboko, H. U., Oyewale, J. O., Oluwadun, A., and
Adeyemi, G. A. 2019. Suitability of Spectrophotometric Assay for
Determination of Honey Microbial Inhibition. Journal of Physics:
Conference Series, 1299(1), 1-7.

Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 25. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hal 555.

Keller et al, 2014. Oral Biofilm : Entry and Immune System Response. Inside
Dentistry

Paraje, M.G et al. 2011. Antimicrobial Resistance in Biofilms. Argentina.


Formatex. Hal 736-744.
Peeters, E., Nelis, H. J., and Coenye, T. 2008. Comparison of Multiple Methods
for Quantification of Microbial Biofilms Grown in Microtiter Plates.
Journal of Microbiological Methods, 72, 157–165.

Potter & Perry. 2005. Fundanmental Keperawatan edisi 4. Jakarta. EGC.

Pratiwi, Sylvia. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta : Erlangga.

Rai, Ravishankar. 2013. Microbial Biofilms and Their Control by Various


Antimicrobial Strategies. Department of Studies in
Microbiology, University of Mysore. India. Formatex
Stepanović, S., Vuković, D., Dakić, I., Savić, B., and Švabić-Vlahović, M.
2000. A Modified Microtiter-Plate Test for Quantification of
Staphylococcal Biofilm Formation. Journal of Microbiological
Methods, 40, 175–179.

Anda mungkin juga menyukai