Oleh :
Nama : Indri Permata Wibisari
NIM : 1308617050
Kelompok :3
Tanggal Praktikum : Selasa, 16 April 2019
Dosen : Dr. Tri Handayani K, M. Si
Biologi A 2017
Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Jakarta
2019
BAB I
A. TUJUAN PRAKTIKUM
B. PENDAHULUAN
Mikroba ialah jasad renik yang mempunyai kemampuan sangat baik untuk
bertahan hidup. Jasad tersebut dapat hidup hampir di semua tempat di permukaan bumi.
Mikroba mampu beradaptasi dengan lingkungan yang sangat dingin hingga di lingkungan
yang relatif panas, dari lingkungan yang asam hingga basa. Berdasarkan peranannya,
mikroba dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu mikroba menguntungkan dan mikroba
merugikan. (Afriyanto, 2005)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sulit sekali mencegah
aktivitas pertumbuhan dari mikroba, khususnya bakteri. Hal ini dikarenakan bakteri ada
dan bisa hidup dimana-mana. Maka dari itu apabila ingin mencegah aktivitas dari suatu
bakteri, perlu digunakan suatu bahan yang bersifat antibakteri.
Antibakteri atau antimikroba adalah bahan yang dapat membunuh atau
menghambat aktivitas mikroorganisme dengan bermacam-macam cara. Senyawa
antimikroba terdiri atas beberapa kelompok berdasarkan mekanisme daya kerja atau
tujuan penggunaannya. Bahan antimikroba dapat secara fisik atau kimia, dan berdasarkan
peruntukannya dapat berupa desinfektan, antiseptik, sterilizer, sanitizer, dan sebagainya.
(Lutfi, 2006)
Beberapa sifat yang perlu dimiliki oleh zat antimikroba menurut Waluyo (2004)
adalah sebagai berikut:
1. Menghambat atau membunuh mikroba patogen tanpa merusak hospes/inang.
2. Bersifat bakterisida atau mampu menghentikan laju pertumbuhan/membunuh
mikroba, bukan bakteriostatik yang hanya mampu menghambat laju
pertumbuhan mikroba.
3. Tidak menyebabkan resistensi.
4. Berspektrum luas, efektif digunakan untuk berbagai spesies bakteri, baik
kokus, basil, dan spiral.
5. Tidak menimbulkan efek samping bila digunakan dalam jangka waktu lama.
6. Tetap aktif dalam plasma, cairan tubuh atau eskudat.
7. Dapat larut dalam air dan stabil.
Mekanisme kerja dari zat antimikroba adalah dengan mengganggu bagian yang
peka pada suatu sel, yaitu:
1. Menghambat metabolisme sel
2. Menghambat sintesis protein
3. Menghambat sintesis dinding sel
4. Menghambat permeabilitas dinding sel
5. Merusak asam nukleat dan protein
Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antimikroba dapat dilakukan
dengan salah satu dari dua metode pokok yakni dilusi atau difusi. Penting sekali untuk
menggunakan metode standar untuk mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi
aktivitas antimikroba. (Jawetz et al., 2005)
Metode Dilusi dibedakan mejadi dua, yaitu:
a. Metode Dilusi Cair/Broth Dilution Test
Zat antimikroba diencerkan pada medium cair yang telah ditambahkan
bakteri uji. Larutan antimikroba dengan kadar terkecil dan terlihat jernih
ditetapkan sebagai KHM (Kadar Hambat Minimum). KHM dikultur ulang pada
media cair tanpa penambahan bakteri dan zat antimikroba, kemudian
diinkubasi selama 18-24 jam. Media yang tetap cair ditetapkan sebagai KBM.
b. Metode Dilusi Padat/Solid Dilution Test
Hampir sama dengan metode dilusi cair, namun menggunakan media
padat/solid. Metode dilusi padat dapat menguji beberapa macam bakteri dalam
satu konsentrasi zat antimikroba.
Alat :
Botol semprot Plastik wrap
Blank/Antibiotic disk Penggaris
Korek api Pipet
Label Spidol OHP
Lampu spiritus Tabung reaksi
Loop Ose Tisu
Bahan :
Alkohol 70% Medium Nutrient Agar cair
Biakan murni dalam Larutan Antimikroba
medium cair umur 24 jam 1. Larutan
1. Bakteri Bacillus Chloramphenicol
pumilus 2. Ekstrak daun saga
2. Bakteri Salmonela 3. Sabun cair
typhimurium 4. Teepol
B. METODE
𝒅1 = 𝒃1 − 𝒂1
𝒅1 + 𝒅2
𝑫=
2
BAB III
A. HASIL PENGAMATAN
𝒅1 = 15 − 6 = 9 𝑚𝑚
𝒃1 = 15 𝑚𝑚 𝒅2 = 18 − 6 = 12 𝑚𝑚
Kuadran I Chloramphenicol 𝒃2 = 18 𝑚𝑚 9 + 12
𝑫= = 10,5 𝑚𝑚
2
𝒅1 = 38 − 6 = 32 𝑚𝑚
𝒅2 = 40 − 6 = 34 𝑚𝑚
Kuadran IV Teepol 𝒃1 = 38 𝑚𝑚
𝒃2 = 40 𝑚𝑚 32 + 34
𝑫= = 33 𝑚𝑚
2
Percobaan 2. Bakteri Salmonela typhimurium
𝒅1 = 34 − 6 = 28 𝑚𝑚
𝒃1 = 34 𝑚𝑚 𝒅2 = 29 − 6 = 23 𝑚𝑚
Kuadran I Chloramphenicol 𝒃2 = 29 𝑚𝑚 28 + 23
𝑫= = 25,5 𝑚𝑚
2
Kuadran IV Teepol 𝒃 = 7 𝑚𝑚 𝒅 = 7 − 6 = 1 𝑚𝑚
B. PEMBAHASAN
Dari percobaan yang telah dilakukan terhadap dua jenis bakteri, didapat hasil
perhitungan diameter zona bening dari keempat kuadran adalah sebagai berikut:
Percobaan I. Bakteri Bacillus pumilus
Kuadran I. Chloramphenicol : 10,5 mm
Kuadran II. Ekstrak Daun Saga : 2 mm
Kuadran III. Sabun Cair : 0 mm
Kuadran IV. Teepol : 33 mm
Percobaan II. Bakteri Salmonela Typhimurium
Kuadran I. Chloramphenicol : 25,5 mm
Kuadran II. Ekstrak Daun Saga : 3 mm
Kuadran III. Sabun Cair : 0 mm
Kuadran IV. Teepol : 1 mm
Kuadran I. Chloramphenicol
Dilansir dari www.alodokter.com, Chloramphenicol merupakan salah satu obat
golongan antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi serius yang disebabkan
oleh bakteri. Jika dilihat dari hasil percobaan, kuadran I dengan disk yang mengandung
Chloramphenicol menghasilkan diameter zona bening yang cukup luas. Pada bakteri
Bacillus pumilus menghasilkan diameter 10,5 mm, sedangkan pada bakteri Salmonela
typhimurium menghasilkan diameter 25,5 mm. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa
Chloramphenicol termasuk ke dalam golongan antibiotik dan dapat dibuktikan dengan
cukup luasnya diameter zona bening yang terbentuk. Zona bening tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat pertumbuhan bakteri di sekitar disk dengan
kandungan Chloramphenicol pada jarak di atas 10 mm.
Aktivitas antibakteri Chloramphenicol seperti dijelaskan pada artikel ilmiah
karya Dinos, dkk. (2016) yang berjudul ‘Chloramphenicol Derivatives as Antibacterial
and Anticancer Agents: Historic Problems and Current Solutions’ adalah dengan
menghambat sintesis protein dari bakteri.
Chloramphenicol (CAM) is the D-threo isomer of a small molecule, consisting
of a p-nitrobenzene ring connected to a dichloroacetyl tail through a 2-amino-1,3-
propanediol moiety. CAM displays a broad-spectrum bacteriostatic activity by
specifically inhibiting the bacterial protein synthesis.
Kuadran II. Ekstrak Daun Saga
Pada bakteri Bacillus pumilus menghasilkan diameter 2 mm, sedangkan pada
bakteri Salmonela typhimurium menghasilkan diameter 3 mm. Dari hasil tersebut dapat
dilihat bahwa disk dengan kandungan ekstrak daun saga menghasilkan diameter zona
bening yang sangat kecil.
Berdasarkan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Praptiwi, dkk.
(2009) sebetulnya menunjukkan bahwa daun saga dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Phorphyromonas gingivalis dan Prevotella spp. Namun, daya hambat daun
saga dalam penelitian tersebut hanya menempati urutan ketiga dari total ektrak daun
yang digunakan. Ekstrak daun sirih menempati urutan pertama, ekstrak kayu manis
pada urutan kedua, sedangkan di urutan keempat terdapat ekstrak daun sisik naga. Hal
ini rupanya diakibatkan oleh kandungan flavonoid, tannin, serta polifenol pada ekstrak
daun saga yang memang berperan sebagai antibakteri, hanya saja lebih lemah daya
hambatnya jika dibandingkan dengan kandungan betlephenol dan chavicol yang
terdapat pada ekstrak daun sirih. Sehingga daun saga bukanlah bahan antibakteri yang
dapat dijadikan sebagai pilihan utama dan mungkin itulah sebabnya mengapa diameter
zona bening yang terbentuk sangat kecil.
Selain itu, kemungkinan daun saga mengandung nutrisi yang dibutuhkan
bakteri untuk bertahan hidup. Sehingga bukannya menjadi bahan yang membunuh
bakteri, disk yang mengandung ekstrak daun saga tersebut justru menjadi medium
yang tepat bagi bakteri untuk berkembang biak. Hal ini dapat pula menjadi alasan
mengapa diameter zona bening yang dihasilkan sangat kecil.
Kuadran III. Sabun Cair
Tidak terbentuk zona bening di sekitar disk yang telah dicelupkan ke dalam
sabun cair, dan koloni bakteri dari kedua biakkan justru tumbuh subur hingga
menutupi disk tersebut. Hal ini dimungkinkan terjadi karena formulasi dari sabun cair
tesebut yang hanya diperuntukkan untuk membersihkan lapisan sel kulit mati saja, dan
tidak difungsikan sebagai antibakteri. Sehingga bakteri tetap akan tumbuh tanpa
hambatan.
Pun jika sabun cair ini merupakan sabun antibakteri, belum tentu dapat bekerja
secara efektif dalam membunuh bakteri. Dilansir dari artikel pada laman
www.dokter.id, bahwa memang sekitar 75% dari sabun cair dan 30% dari sabun
batangan mengandung bahan aktif Triclosan, tetapi sifat antibakteri pada Triclosan ini
sebetulnya masih diragukan. Dari tes yang dilakukan menunjukkan bahwa sabun
dengan kandungan Triclosan hanya membunuh bakteri sedikit lebih banyak dibanding
sabun biasa tanpa Triclosan dan itu belum cukup untuk menjadikan bahan ini sebagai
pilihan utama bahan aktif antibakteri. Bahkan Triclosan dikhawatirkan akan
menimbulkan resistensi bakteri. Sehingga jika bahan kimia ini sering digunakan,
meskipun bakteri memang terbunuh, tetapi nantinya bakteri tersebut akan bermutasi.
Akibatnya tentu akan membahayakan si pengguna sabun, selain itu akan membuat
sabun yang mengandung Triclosan ini menjadi tidak berguna dalam melawan bakteri
lagi.
Di luar dari masalah formulasi sabun yang memungkinkan tidak terbentuknya
zona bening, kesalahan selama praktikum juga dapat menyebabkan hal ini terjadi.
Kemungkinan bukan karena sabun cair tersebut tidak memiliki aktivitas antibakteri
sama sekali, tetapi mungkin karena terjadi kesalahan dalam metode yang dilakukan.
Mungkin bakteri seharusnya tidak cukup hanya diekstraksi dengan aquades steril,
melainkan harus dengan methanol atau senyawa pelarut lainnya. Mungkin bakteri yang
diinokulasikan terlalu banyak. Atau mungkin juga karena penyebarannya yang tidak
rata dan menumpuk di kuadran III ini, sehingga bakteri yang tumbuh jadi terlalu
banyak dan bahan antibakteri sudah tidak mampu lagi melawan pertumbuhan bakteri
tersebut.
Kuadran IV. Teepol
Teepol merupakan suatu bahan yang biasa digunakan untuk membersihkan
kotoran, bisa juga disebut sebagai detergent atau cairan pembersih serba guna. Melihat
langsung ke Safety Data Sheet dari produk ini, Teepol rupanya mengandung sodium
dodecylbenzene sulfonate, Sodium C12-C15 Alcohol Ether Sulphat, dan Triclosan.
Ketiganya memiliki sifat antibakteri yang jika digabungkan akan menjadi bahan aktif
yang ampuh membunuh bakteri. Bahkan mereka mengklaim bahwa produknya mampu
membunuh bakteri hingga 99,9%.
Jika dilihat dari percobaan pertama menggunakan bakteri Bacillus pumilus,
diameter zona bening yang dihasilkan cukup besar yaitu 33 mm. hal ini sesuai dengan
fakta bahwa produk ini memang dikhususkan sebagai sabun antibakteri. Namun, pada
percobaan kedua menggunakan bakteri Salmonela typhimurium, hanya terbentuk 1 mm
diameter zona bening. Kemungkinan terjadi kesalahan pada saat melakukan praktikum,
seperti kesalahan pada ekstraksi, inokulasi, distribusi bakteri yang tidak merata,
terjadinya kontaminasi bakteri baru, atau bahkan terjadi mutasi pada sel bakteri yang
sudah resisten di sekitar disk yang mengandung Teepol tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Aktivitas antibakteri atau antimikroba merupakan suatu reaksi yang ditimbulkan oleh
antimikroba yang diberikan kepada suatu mikroorganisme, baik untuk membunuh
mikroorganisme tersebut atau hanya untuk menghambat perkembangbiakannya.
2. Pengaruh aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri adalah menghambat
pertumbuhan dari bakteri tersebut atau bahkan membunuh seluruh bakteri yang hidup.
3. Terdapat 4 jenis antimikroba, yaitu:
1. Antibiotik, adalah zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan memiliki
daya hambat terhadap pertumbuhan mikroorganisme lain. Biasanya dipakai
untuk membunuh mikroorganisme di dalam tubuh.
2. Antiseptik adalah larutan antimikroba yang digunakan untuk mencegah
infeksi, sepsis dan putrefaksi.
3. Desinfektan adalah larutan antimikroba yang bisa mencegah atau membunuh
mikroba pada benda mati.
4. Antibakteri adalah bahan yang hanya bisa digunakan untuk melawan,
membunuh, atau mencegah pertumbuhan bakteri.
4. Cara kerja dari antimikroba dapat dengan merusak dinding sel, merubah permeabilitas
sel, merubah molekul protein dan asam nukleat, menghambat kerja enzim ataupun
menghambat sintetis asam nukleat dan protein. Hasil akhir dari aktivitas antimikroba
adalah terbentuknya zona jernih yang menandakan tidak adanya mikroorganisme
yang hidup.
5. Cara mengukur diameter zona bening adalah dengan mengurangi diameter
keseluruhan dengan diameter blank disk yang biasanya berukuran 6 mm. Berikut
rumus perhitungannya:
𝒅1 = 𝒃1 − 𝒂1
𝒅1 + 𝒅2
𝑫=
2
Daftar Pustaka
Jawetz, E., Melnick, J.L. & Adelberg, E.A. 2005.Mikrobiologi Kedokteran Edisi XXII.
Diterjemahkan oleh Mudihardi, E., Kuntaman, Wasito, E. B., Mertaniasih, N. M.,
Harsono, S., Alimsardjono, L. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Hal 327-335, 362-
363.
Praptiwi ,Y.H., Sukmasari, S. & Mulyanti, S. 2009. Daya Antibakteri Ekstrak Daun Sisik
Naga Dibandingkan Dengan Ekstrak Daun Saga, Daun Sirih dan Kayu Manis
Terhadap Isolat Bakteri Penderita Periodontitis Kronis. Jurnal Riset Kesehatan. Hal.
58-64.
Saifuddin, 2005. Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan
Sumber Daya Terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Tjay, T.H., Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya Edisi VI. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.