Anda di halaman 1dari 15

Laporan Praktikum Mikrobiologi

Uji Aktivitas Antibakteri

Oleh :
Nama : Indri Permata Wibisari
NIM : 1308617050
Kelompok :3
Tanggal Praktikum : Selasa, 16 April 2019
Dosen : Dr. Tri Handayani K, M. Si

Biologi A 2017
Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Jakarta
2019
BAB I
A. TUJUAN PRAKTIKUM

Tujuan dilaksanakannya praktikum ini adalah sebagai berikut:


1. Memahami pengertian dari aktivitas antibakteri atau antimikroba.
2. Mengetahui pengaruh dari aktivitas bahan antibakteri terhadap pertumbuhan
bakteri.
3. Mengetahui jenis-jenis antimikroba beserta perbedaannya.
4. Mengetahui cara kerja dari antibakteri.
5. Mengukur zona bening (clear zone) yang dihasilkan dari aktivitas bahan
antibakteri.

B. PENDAHULUAN
Mikroba ialah jasad renik yang mempunyai kemampuan sangat baik untuk
bertahan hidup. Jasad tersebut dapat hidup hampir di semua tempat di permukaan bumi.
Mikroba mampu beradaptasi dengan lingkungan yang sangat dingin hingga di lingkungan
yang relatif panas, dari lingkungan yang asam hingga basa. Berdasarkan peranannya,
mikroba dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu mikroba menguntungkan dan mikroba
merugikan. (Afriyanto, 2005)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sulit sekali mencegah
aktivitas pertumbuhan dari mikroba, khususnya bakteri. Hal ini dikarenakan bakteri ada
dan bisa hidup dimana-mana. Maka dari itu apabila ingin mencegah aktivitas dari suatu
bakteri, perlu digunakan suatu bahan yang bersifat antibakteri.
Antibakteri atau antimikroba adalah bahan yang dapat membunuh atau
menghambat aktivitas mikroorganisme dengan bermacam-macam cara. Senyawa
antimikroba terdiri atas beberapa kelompok berdasarkan mekanisme daya kerja atau
tujuan penggunaannya. Bahan antimikroba dapat secara fisik atau kimia, dan berdasarkan
peruntukannya dapat berupa desinfektan, antiseptik, sterilizer, sanitizer, dan sebagainya.
(Lutfi, 2006)
Beberapa sifat yang perlu dimiliki oleh zat antimikroba menurut Waluyo (2004)
adalah sebagai berikut:
1. Menghambat atau membunuh mikroba patogen tanpa merusak hospes/inang.
2. Bersifat bakterisida atau mampu menghentikan laju pertumbuhan/membunuh
mikroba, bukan bakteriostatik yang hanya mampu menghambat laju
pertumbuhan mikroba.
3. Tidak menyebabkan resistensi.
4. Berspektrum luas, efektif digunakan untuk berbagai spesies bakteri, baik
kokus, basil, dan spiral.
5. Tidak menimbulkan efek samping bila digunakan dalam jangka waktu lama.
6. Tetap aktif dalam plasma, cairan tubuh atau eskudat.
7. Dapat larut dalam air dan stabil.
Mekanisme kerja dari zat antimikroba adalah dengan mengganggu bagian yang
peka pada suatu sel, yaitu:
1. Menghambat metabolisme sel
2. Menghambat sintesis protein
3. Menghambat sintesis dinding sel
4. Menghambat permeabilitas dinding sel
5. Merusak asam nukleat dan protein
Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antimikroba dapat dilakukan
dengan salah satu dari dua metode pokok yakni dilusi atau difusi. Penting sekali untuk
menggunakan metode standar untuk mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi
aktivitas antimikroba. (Jawetz et al., 2005)
Metode Dilusi dibedakan mejadi dua, yaitu:
a. Metode Dilusi Cair/Broth Dilution Test
Zat antimikroba diencerkan pada medium cair yang telah ditambahkan
bakteri uji. Larutan antimikroba dengan kadar terkecil dan terlihat jernih
ditetapkan sebagai KHM (Kadar Hambat Minimum). KHM dikultur ulang pada
media cair tanpa penambahan bakteri dan zat antimikroba, kemudian
diinkubasi selama 18-24 jam. Media yang tetap cair ditetapkan sebagai KBM.
b. Metode Dilusi Padat/Solid Dilution Test
Hampir sama dengan metode dilusi cair, namun menggunakan media
padat/solid. Metode dilusi padat dapat menguji beberapa macam bakteri dalam
satu konsentrasi zat antimikroba.

Metode Difusi dibedakan mejadi lima, yaitu:


a. Metode Disc Diffusion/Kirby Baure
Menggunakan kertas cakram yang berisi zat antimikroba dan diletakkan
pada media agar yang telah ditanami bakteri uji.
b. Metode E-Test
Menggunakan strip plastik yang telah berisi zat antibakteri dan
diletakkan pada media agar
c. Ditch-plate Technique
Meletakkan zat antimikroba pada semacam parit yang telah dibuat
dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah
secara membujur dengan bakteri uji yang telah digoreskan pada parit tersebut.
d. Cup-plate Technique
Meletakkan zat antimikroba pada semacam sumur yang telah dibuat pada
media agar dalam cawan petri. Hampir sama dengan metode disc diffusion,
namun bedanya tidak menggunakan kertas.
e. Gradient-plate Technique
Menambahkan larutan antimikroba pada media agar yang sedang
dicairkan, kemudian campuran tersebut dituangkan ke dalam cawan petri dan
diletakkan dalam posisi miring.
Setelah melakukan metode Kirby Baure, aktivitas dari zat antimikroba dan apa
pengaruhnya terhadap bakteri dapat dilihat melalui terbentuk atau tidak terbentuknya
zona bening (clear zone) di sekitar kertas cakram. Seperti menurut Melnick (2001)
bahwa zona bening di sekitar kertas cakram dapat menunjukkan adanya aktivitas
antibakteri. Luas zona bening sangat dipengaruhi oleh adanya antibakteri fraksi tersebut.
Apabila semakin luas zona bening yang didapat, hal ini menunjukkan bahwa semakin
baik antimikroba yang digunakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroba
yaitu pH lingkungan, komponen-komponen perbenihan, stabilitas obat, besarnya
inokulum bakteri, masa pengeraman, dan aktivitas metabolik mikroorganisme.
Desinfektan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mencegah terjadinya
infeksi dengan membunuh jasad renik (bakterisid), terutama pada benda mati. Proses
desinfeksi dapat menghilangkan 60%-90% jasad renik. Desinfektan digunakan secara luas
untuk sanitasi baik di rumah tangga, laboratorium, dan rumah sakit. (Larson, 2013)
Kriteria suatu desinfektan yang ideal adalah bekerja dengan cepat untuk
menginaktivasi mikroorganisme pada suhu kamar, berspektrum luas, aktivitasnya tidak
dipengaruhi oleh bahan organik, pH, temperatur, dan kelembaban, tidak toksik pada
hewan dan manusia, tidak bersifat korosif, bersifat biodegradable, memiliki kemampuan
menghilangkan bau yang kurang sedap, tidak meninggalkan noda, stabil, mudah
digunakan, dan ekonomis. (Butcher dan Ulaeto, 2010)
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas desinfektan yang digunakan untuk
membunuh jasad renik adalah ukuran dan komposisi populasi jasad renik, konsentrasi zat
antimikroba, lama paparan, temperatur, dan lingkungan sekitar. (Pratiwi, 2008)
Menurut Tjay (2002), desinfektan dapat digolongkan dalam beberapa kelompok,
yaitu:
a. Senyawa halogen, seperti povidon-iod, iodoform, Ca-hipoklorit, Na-hipoklorit,
tosilkloramida, klorheksidin, kliokinol, dan triklosan.
b. Derivat, seperti fenol, kresol, resorsinol, dan timol.
c. Zat-zat dengan aktivitas permukaan, seperti cetrimida, cetylpiridinium,
benzalkonium, dan dequalinium.
d. Senyawa alkohol dan asam, seperti aldehida, etanol, isopropanol, formaldehida,
glutaral, asam asetat dan borat.
e. Senyawa logam, seperti merkuri klorida, fenil merkuri nitrat, merbromin, perak
nitrat, silverdiazin, dan sengoksida.
f. Oksidansia, seperti hidrogen peroksida, sengperoksida, Na-perborat dan kalium
klorat.
g. Bahan lainnya, seperti heksetidin, heksamidin, belerang, etilen oksida,
oksikinolin dan acriflavin.
Antiseptik didefinisikan sebagai bahan kimia yang dapat menghambat atau
membunuh pertumbuhan jasad renik seperti bakteri, jamur dan lain-lain pada jaringan
hidup. Disinfektan adalah senyawa yang dapat mencegah infeksi dengan jalan
penghancuran atau pelarutan jasad renik yang patogen. Disinfektan digunakan untuk
barang-barang tak hidup. (Subronto dan Tjahajati, 2001)
Mekanisme kerja antiseptik pada mikroba adalah melalui unsur protein yang
membentuk struktur seluler mikroba dengan akibat yang bermacam-macam. Akibat
terhadap mikroba tersebut adalah rusaknya dinding sel, adanya gangguan sistem enzim
yang berkibat terhadap metabolisme sel, terjadinya denaturasi protein, dan rusaknya asam
nukleat. Penggolongan antiseptik secara garis besar adalah alkohol, halogen dan
senyawanya, oksidansia, logam berat dan garamnya, asam, turunan fenol, dan basa
ammonium kuarierner (Darmadi 2008).
Berikut adalah zat kimia yang secara umum digunakan dan digolongkan sebagai
antiseptik menurut Saifuddin (2005), yaitu:
a. Alkohol 60-90%, misalnya etil, isopropil, dan methylated spirit.
b. Klorheksidin glukonat 2-4%.
c. Klorheksidin glukonat dan setrimid dalam berbagai konsentrasi, misalnya
Savlon.
d. Yodium 3%, misalnya yodium dan produk alkohol berisi yodium (yodium
tincture).
e. Iodofor 7,5-10%, misalnya Betadine dan Wescodyne.
f. Klorosilenol 0,5-4%, misalnya para kloro metaksilenol (PCMX).
g. Triklosan 0,2-2%.
Antibiotik pertama kali ditemukan oleh Alexander Flemming pada tahun 1929,
yang secara kebetulan menemukan suatu zat antibakteri yang sangat efektif yaitu
penisilin. Penisilin ini pertama kali dipakai dalam ilmu kedokteran tahun 1939 oleh Chain
dan Florey Antibiotik adalah suatu bahan kimia yang dikeluarkan oleh jasad renik hasil
sin atau semi sintesis yang mempunyai struktur yang sama dan zait ini dapat
merintangi/memusnahkan jasad renik lainnya. (Widjajanti, 1996).
.
BAB II
A. ALAT DAN BAHAN

Alat :
 Botol semprot  Plastik wrap
 Blank/Antibiotic disk  Penggaris
 Korek api  Pipet
 Label  Spidol OHP
 Lampu spiritus  Tabung reaksi
 Loop Ose  Tisu

Bahan :
 Alkohol 70%  Medium Nutrient Agar cair
 Biakan murni dalam  Larutan Antimikroba
medium cair umur 24 jam 1. Larutan
1. Bakteri Bacillus Chloramphenicol
pumilus 2. Ekstrak daun saga
2. Bakteri Salmonela 3. Sabun cair
typhimurium 4. Teepol

B. METODE

Sebelum praktikum dimulai, meja disterilisasi terlebih dahulu dengan cara


disemprotkan alkohol 70% dan dibersihkan dengan tisu. Setelahnya, pastikan seluruh
bahan telah dipersiapkan di atas meja. Ketika suspensi dipindahkan ke medium, harus
dilakukan di dekat api sebagai bentuk teknik aseptis.
1 ml bakteri diinokulasikan dengan pipet ke dalam cawan petri. Kemudian,
medium NA yang masih dalam bentuk cair dituangkan juga ke dalam cawan petri
tersebut. Cawan petri ditutup, digeser-geserkan dengan pola angka delapan di atas
meja sebanyak 3 kali, dan dibiarkan sejenak hingga medium menjadi padat. Bagian
atas cawan petri dibagi menjadi 4 daerah atau kuadran yang diberi tanda dengan spidol
OHP dan penggaris.
Blank disk yang berbentuk bulat dan berdiamter 6 mm masing-masing
dicelupkan ke dalam larutan antimikroba yang berbeda-beda, sedangkan antibiotic disk
tidak perlu dicelupkan ke dalam larutan lagi karena di dalamnya telah terdapat
kandungan antibiotik. Setelah medium padat, masing-masing disk tersebut diletakkan
di setiap kuadran yang berbeda pula dengan hati-hati dan dengan jarak yang tepat.
Lalu cawan petri ditutup dan dilapisi dengan plastik wrap sehingga tidak ada
kontaminasi dari udara yang mungkin masuk. Cawan petri setelahnya diinkubasi
selama 24-48 jam pada suhu ruang. Terakhir, diamati dan diukur zona bening (clear
zone) yang terbentuk di sekitar blank/antibiotic disk.
Cara perhitungan zona bening (clear zone) adalah sebagai berikut :
Keterangan :
Clear Zone a : diameter disk (6 mm)
Blank/antibiotic disk b : diameter keseluruhan (mm)
d : diameter clear zone (mm)
a D : diameter clear zone
b rata-rata (mm)

𝒅1 = 𝒃1 − 𝒂1

𝒅1 + 𝒅2
𝑫=
2
BAB III
A. HASIL PENGAMATAN

Percobaan 1. Bakteri Bacillus pumilus

Foto Perhitungan Clear Zone


Kuadran Larutan Antibakteri Diameter
Pengamatan

𝒅1 = 15 − 6 = 9 𝑚𝑚
𝒃1 = 15 𝑚𝑚 𝒅2 = 18 − 6 = 12 𝑚𝑚
Kuadran I Chloramphenicol 𝒃2 = 18 𝑚𝑚 9 + 12
𝑫= = 10,5 𝑚𝑚
2

Kuadran II Ekstrak daun saga 𝒃 = 8 𝑚𝑚 𝒅 = 8 − 6 = 2 𝑚𝑚

Kuadran III Sabun cair 𝒃 = 0 𝑚𝑚 𝒅 = 0 𝑚𝑚

𝒅1 = 38 − 6 = 32 𝑚𝑚
𝒅2 = 40 − 6 = 34 𝑚𝑚
Kuadran IV Teepol 𝒃1 = 38 𝑚𝑚
𝒃2 = 40 𝑚𝑚 32 + 34
𝑫= = 33 𝑚𝑚
2
Percobaan 2. Bakteri Salmonela typhimurium

Foto Perhitungan Clear Zone


Kuadran Larutan Antibakteri Diameter
Pengamatan

𝒅1 = 34 − 6 = 28 𝑚𝑚
𝒃1 = 34 𝑚𝑚 𝒅2 = 29 − 6 = 23 𝑚𝑚
Kuadran I Chloramphenicol 𝒃2 = 29 𝑚𝑚 28 + 23
𝑫= = 25,5 𝑚𝑚
2

Kuadran II Ekstrak daun saga 𝒃 = 9 𝑚𝑚 𝒅 = 9 − 6 = 3 𝑚𝑚

Kuadran III Sabun cair 𝒃 = 0 𝑚𝑚 𝒅 = 0 𝑚𝑚

Kuadran IV Teepol 𝒃 = 7 𝑚𝑚 𝒅 = 7 − 6 = 1 𝑚𝑚
B. PEMBAHASAN

Dari percobaan yang telah dilakukan terhadap dua jenis bakteri, didapat hasil
perhitungan diameter zona bening dari keempat kuadran adalah sebagai berikut:
Percobaan I. Bakteri Bacillus pumilus
Kuadran I. Chloramphenicol : 10,5 mm
Kuadran II. Ekstrak Daun Saga : 2 mm
Kuadran III. Sabun Cair : 0 mm
Kuadran IV. Teepol : 33 mm
Percobaan II. Bakteri Salmonela Typhimurium
Kuadran I. Chloramphenicol : 25,5 mm
Kuadran II. Ekstrak Daun Saga : 3 mm
Kuadran III. Sabun Cair : 0 mm
Kuadran IV. Teepol : 1 mm

Kuadran I. Chloramphenicol
Dilansir dari www.alodokter.com, Chloramphenicol merupakan salah satu obat
golongan antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi serius yang disebabkan
oleh bakteri. Jika dilihat dari hasil percobaan, kuadran I dengan disk yang mengandung
Chloramphenicol menghasilkan diameter zona bening yang cukup luas. Pada bakteri
Bacillus pumilus menghasilkan diameter 10,5 mm, sedangkan pada bakteri Salmonela
typhimurium menghasilkan diameter 25,5 mm. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa
Chloramphenicol termasuk ke dalam golongan antibiotik dan dapat dibuktikan dengan
cukup luasnya diameter zona bening yang terbentuk. Zona bening tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat pertumbuhan bakteri di sekitar disk dengan
kandungan Chloramphenicol pada jarak di atas 10 mm.
Aktivitas antibakteri Chloramphenicol seperti dijelaskan pada artikel ilmiah
karya Dinos, dkk. (2016) yang berjudul ‘Chloramphenicol Derivatives as Antibacterial
and Anticancer Agents: Historic Problems and Current Solutions’ adalah dengan
menghambat sintesis protein dari bakteri.
Chloramphenicol (CAM) is the D-threo isomer of a small molecule, consisting
of a p-nitrobenzene ring connected to a dichloroacetyl tail through a 2-amino-1,3-
propanediol moiety. CAM displays a broad-spectrum bacteriostatic activity by
specifically inhibiting the bacterial protein synthesis.
Kuadran II. Ekstrak Daun Saga
Pada bakteri Bacillus pumilus menghasilkan diameter 2 mm, sedangkan pada
bakteri Salmonela typhimurium menghasilkan diameter 3 mm. Dari hasil tersebut dapat
dilihat bahwa disk dengan kandungan ekstrak daun saga menghasilkan diameter zona
bening yang sangat kecil.
Berdasarkan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Praptiwi, dkk.
(2009) sebetulnya menunjukkan bahwa daun saga dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Phorphyromonas gingivalis dan Prevotella spp. Namun, daya hambat daun
saga dalam penelitian tersebut hanya menempati urutan ketiga dari total ektrak daun
yang digunakan. Ekstrak daun sirih menempati urutan pertama, ekstrak kayu manis
pada urutan kedua, sedangkan di urutan keempat terdapat ekstrak daun sisik naga. Hal
ini rupanya diakibatkan oleh kandungan flavonoid, tannin, serta polifenol pada ekstrak
daun saga yang memang berperan sebagai antibakteri, hanya saja lebih lemah daya
hambatnya jika dibandingkan dengan kandungan betlephenol dan chavicol yang
terdapat pada ekstrak daun sirih. Sehingga daun saga bukanlah bahan antibakteri yang
dapat dijadikan sebagai pilihan utama dan mungkin itulah sebabnya mengapa diameter
zona bening yang terbentuk sangat kecil.
Selain itu, kemungkinan daun saga mengandung nutrisi yang dibutuhkan
bakteri untuk bertahan hidup. Sehingga bukannya menjadi bahan yang membunuh
bakteri, disk yang mengandung ekstrak daun saga tersebut justru menjadi medium
yang tepat bagi bakteri untuk berkembang biak. Hal ini dapat pula menjadi alasan
mengapa diameter zona bening yang dihasilkan sangat kecil.
Kuadran III. Sabun Cair
Tidak terbentuk zona bening di sekitar disk yang telah dicelupkan ke dalam
sabun cair, dan koloni bakteri dari kedua biakkan justru tumbuh subur hingga
menutupi disk tersebut. Hal ini dimungkinkan terjadi karena formulasi dari sabun cair
tesebut yang hanya diperuntukkan untuk membersihkan lapisan sel kulit mati saja, dan
tidak difungsikan sebagai antibakteri. Sehingga bakteri tetap akan tumbuh tanpa
hambatan.
Pun jika sabun cair ini merupakan sabun antibakteri, belum tentu dapat bekerja
secara efektif dalam membunuh bakteri. Dilansir dari artikel pada laman
www.dokter.id, bahwa memang sekitar 75% dari sabun cair dan 30% dari sabun
batangan mengandung bahan aktif Triclosan, tetapi sifat antibakteri pada Triclosan ini
sebetulnya masih diragukan. Dari tes yang dilakukan menunjukkan bahwa sabun
dengan kandungan Triclosan hanya membunuh bakteri sedikit lebih banyak dibanding
sabun biasa tanpa Triclosan dan itu belum cukup untuk menjadikan bahan ini sebagai
pilihan utama bahan aktif antibakteri. Bahkan Triclosan dikhawatirkan akan
menimbulkan resistensi bakteri. Sehingga jika bahan kimia ini sering digunakan,
meskipun bakteri memang terbunuh, tetapi nantinya bakteri tersebut akan bermutasi.
Akibatnya tentu akan membahayakan si pengguna sabun, selain itu akan membuat
sabun yang mengandung Triclosan ini menjadi tidak berguna dalam melawan bakteri
lagi.
Di luar dari masalah formulasi sabun yang memungkinkan tidak terbentuknya
zona bening, kesalahan selama praktikum juga dapat menyebabkan hal ini terjadi.
Kemungkinan bukan karena sabun cair tersebut tidak memiliki aktivitas antibakteri
sama sekali, tetapi mungkin karena terjadi kesalahan dalam metode yang dilakukan.
Mungkin bakteri seharusnya tidak cukup hanya diekstraksi dengan aquades steril,
melainkan harus dengan methanol atau senyawa pelarut lainnya. Mungkin bakteri yang
diinokulasikan terlalu banyak. Atau mungkin juga karena penyebarannya yang tidak
rata dan menumpuk di kuadran III ini, sehingga bakteri yang tumbuh jadi terlalu
banyak dan bahan antibakteri sudah tidak mampu lagi melawan pertumbuhan bakteri
tersebut.
Kuadran IV. Teepol
Teepol merupakan suatu bahan yang biasa digunakan untuk membersihkan
kotoran, bisa juga disebut sebagai detergent atau cairan pembersih serba guna. Melihat
langsung ke Safety Data Sheet dari produk ini, Teepol rupanya mengandung sodium
dodecylbenzene sulfonate, Sodium C12-C15 Alcohol Ether Sulphat, dan Triclosan.
Ketiganya memiliki sifat antibakteri yang jika digabungkan akan menjadi bahan aktif
yang ampuh membunuh bakteri. Bahkan mereka mengklaim bahwa produknya mampu
membunuh bakteri hingga 99,9%.
Jika dilihat dari percobaan pertama menggunakan bakteri Bacillus pumilus,
diameter zona bening yang dihasilkan cukup besar yaitu 33 mm. hal ini sesuai dengan
fakta bahwa produk ini memang dikhususkan sebagai sabun antibakteri. Namun, pada
percobaan kedua menggunakan bakteri Salmonela typhimurium, hanya terbentuk 1 mm
diameter zona bening. Kemungkinan terjadi kesalahan pada saat melakukan praktikum,
seperti kesalahan pada ekstraksi, inokulasi, distribusi bakteri yang tidak merata,
terjadinya kontaminasi bakteri baru, atau bahkan terjadi mutasi pada sel bakteri yang
sudah resisten di sekitar disk yang mengandung Teepol tersebut.
BAB IV

KESIMPULAN
1. Aktivitas antibakteri atau antimikroba merupakan suatu reaksi yang ditimbulkan oleh
antimikroba yang diberikan kepada suatu mikroorganisme, baik untuk membunuh
mikroorganisme tersebut atau hanya untuk menghambat perkembangbiakannya.
2. Pengaruh aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri adalah menghambat
pertumbuhan dari bakteri tersebut atau bahkan membunuh seluruh bakteri yang hidup.
3. Terdapat 4 jenis antimikroba, yaitu:
1. Antibiotik, adalah zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan memiliki
daya hambat terhadap pertumbuhan mikroorganisme lain. Biasanya dipakai
untuk membunuh mikroorganisme di dalam tubuh.
2. Antiseptik adalah larutan antimikroba yang digunakan untuk mencegah
infeksi, sepsis dan putrefaksi.
3. Desinfektan adalah larutan antimikroba yang bisa mencegah atau membunuh
mikroba pada benda mati.
4. Antibakteri adalah bahan yang hanya bisa digunakan untuk melawan,
membunuh, atau mencegah pertumbuhan bakteri.
4. Cara kerja dari antimikroba dapat dengan merusak dinding sel, merubah permeabilitas
sel, merubah molekul protein dan asam nukleat, menghambat kerja enzim ataupun
menghambat sintetis asam nukleat dan protein. Hasil akhir dari aktivitas antimikroba
adalah terbentuknya zona jernih yang menandakan tidak adanya mikroorganisme
yang hidup.
5. Cara mengukur diameter zona bening adalah dengan mengurangi diameter
keseluruhan dengan diameter blank disk yang biasanya berukuran 6 mm. Berikut
rumus perhitungannya:

𝒅1 = 𝒃1 − 𝒂1

𝒅1 + 𝒅2
𝑫=
2
Daftar Pustaka

Afrianto, Eddy. 2008. Pengawasan Mutu Bahan/Produk Pangan. Jakarta: Departemen


Pendidikan Nasional.

Butcher, W and Ulaeto, D. 2010. Contact Inactivation of Orthopoxviruses by Household


Disinfectants. Philadelphia: Department of Biomedical Sciences, Dstl Porton Down.
Hal. 279-283.

Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta: Salemba


Medika.

George, P. Dinos, dkk. 2016. Chloramphenicol Derivatives as Antibacterial and Anticancer


Agents: Historic Problems and Current Solutions. Greece: University of Patras.

Jawetz, E., Melnick, J.L. & Adelberg, E.A. 2005.Mikrobiologi Kedokteran Edisi XXII.
Diterjemahkan oleh Mudihardi, E., Kuntaman, Wasito, E. B., Mertaniasih, N. M.,
Harsono, S., Alimsardjono, L. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Hal 327-335, 362-
363.

Lutfi, Ahmad. 2004. Kimia Lingkungan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Marianti. 2017. Chlorompenicol. https://www.alodokter.com/chloramphenicol. Diakses pada


Senin, 29 April 2019.

Praptiwi ,Y.H., Sukmasari, S. & Mulyanti, S. 2009. Daya Antibakteri Ekstrak Daun Sisik
Naga Dibandingkan Dengan Ekstrak Daun Saga, Daun Sirih dan Kayu Manis
Terhadap Isolat Bakteri Penderita Periodontitis Kronis. Jurnal Riset Kesehatan. Hal.
58-64.

Pratiwi, S. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 17-18.

Saifuddin, 2005. Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan
Sumber Daya Terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Siswanto, Eko. 2018. Alasan Jangan Lagi Menggunakan Sabun Antibakteri.


https://www.dokter.id/berita/alasan-jangan-lagi-menggunakan-sabun-antibakteri.
Diakses pada Senin, 29 April 2019.
Subronto & Tjahajati, I. 2008. Ilmu Penyakit Ternak III: Farmakologi Veteriner,
Farmakodinamika dan Farmakokinesis, Faramkologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Tim Dokter Indonesia. 2016. 5 Alasan Berhenti Menggunakan Sabun Antibakteri.


https://www.dokter.id/berita/5-alasan-berhenti-menggunakan-sabun-antibakteri.
Diakses pada Senin, 29 April 2019.

Tjay, T.H., Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya Edisi VI. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Widjajanti, U. & Nuraini. 1996. Obat-obatan. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai