Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemajuan dalam ilmu bedah dan pengobatan mengakibatkan

bertambah seringnya dilakukan transfusi darah. Pemberian darah ataupun

komponennya dimaksudkan antara lain untuk menjamin kemampuan

penyediaan oksigen dalam batas curah jantung yang dapat dihasilkan oleh

tubuh, menjamin cukup tersedia trombosit dan faktor-faktor pembekuan, dan

untuk mencukupi isi ruang intravaskular (Ramelan, 2010).

Transfusi darah sering merupakan penyelamat jiwa, akan tetapi

morbiditas dan motalitas setelah transfusi darah juga cukup tinggi. Karena itu

transfusi darah seyogiyanya hanya diberikan apabila ada indikasi yang jelas.

Biasanya seorang dewasa normal masih dapat dengan baik mengatasi

gangguan fungsional yang ditimbulkan oleh kehilangan 10% isi darah, 20%

kemampuan membawa oksigen atau kehilangan 40% faktor pembekuan.

Kehilangan sebanyak dua kali jumlah tersebut di atas masih belum

mengakibatkan kematian walaupun menimbulkan gejala yang cukup berat

(Ramelan, 2010).

Transfusi darah dapat menjadi prosedur yang dapat menyelamatkan

nyawa, tetapi memilliki risiko, komplikasi termasuk infeksi dan non-infeksi.

Terjadi perdebatan pada literature medis menngenai penggunaan darah dan

produk darah yang sesuai. Percobaan klinis meneliti kegunaannya,

menunjukan bahwa menunggu untuk mentransfusi pada kadar Hb terendah

adalah bermanfaat (Sharma, Sharma, and Tyler, 2011).

1
Komplikasi transfusi darah dapat dibagi menjadi 2 kategori

berdasarkan waktu munculnya gejala pertama: reaksi akut yang terjadi selama

atau dalam waktu 24 jam setelah transfuse darah, dan komplikasi terlambat

yang terjadi 1 hari setelah pemberian produk darah. Dengan mengamati

penyebab efek sampingnya, komplikasi infeksius dapat dibedakan dengan

komplikasi non-infeksius, dan dan selanjutnya dibedakan menjadi komplikasi

imunologi dan non-imunologi (Strobel, 2008).


Sekitar 16 juta unit sel darah merah, 13 juta konsentrat platelet, 6 juta

unit plasma terkoleksi setiap tahunnya untuk transfuse dari sekitar 10 juta

pendonor. Sekitar 72% donor mendonor ulang dan 95% terjadi disenter

komunitas darah (Glliss, Looney, and Gropper, 2011).

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah Definisi transfusi darah?
2. Apakah indikasi dan kontraindikasi transfusi darah?
3. Apa saja darah dan komponen darah?
4. Apa komplikasi transfusi darah?
5. Bagaimana penatalaksanaan transfusi darah?
1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi transfusi darah

2. Untuk mengetahui indikasi dan kontraindikasi transfusi darah

3. Untuk mengetahui apa saja darah dan komponen darah

4. Untuk mengetahui komplikasi transfusi darah

5. Untuk mengetahui penatalaksanaan transfusi darah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Transfusi Darah

2
Transfusi adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari seseorang

(donor) ke orang lain (resipien).Transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2

golongan utama berdasarkan sumbernya, yaitu transfusi allogenik dan transfusi

autologus. Transfusi allogenik adalah darah yang disimpan untuk transfusi berasal

dari tubuh orang lain. Sedangkan transfusi autologus adalah darah yang disimpan

berasal dari tubuh donor sendiri yang diambil 3 unit beberapa hari sebelumnya, dan

setelah 3 hari ditransferkan kembali ke pasien (Shannon, 2012).

2.2. Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi Transfusi Darah

Indikasi transfusi darah dan komponen-konponennya adalah : (WHO, 2012)

1. Anemia pada perdarahan akut setelah didahului penggantian volume

dengan cairan.

2.Anemia kronis jika Hb tidak dapat ditingkatkan dengan cara lain.

3.Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen.

4. Plasma loss atau hipoalbuminemia jika tidak dapat lagi diberikan plasma

subtitute atau larutan albumin.

Trombosit Pekat (Concentrate Platelets)

Biasanya tidak efektif pada pasien dengan destruksi trombosit yang cepat seperti: ITP,

TTP dan KID dan transfusi biasanya dilakukan hanya pada adanya perdarahan yang

aktif. Pasien dengan trombositopenia yang disebabkan oleh sepsis atau hipersplenisme

biasanya refrakter terhadap transfusi trombosit. (WHO 2012).

Hb dan jumlah eritrosit dan leukosit pasien yang tidak normal (Shannon, 2012)

b) Pasien yang bertekanan darah rendah.

3
c) Transfusi darah dengan golongan darah yang berbeda.

d) Transfusi darah dengan darah yang mengandung penyakit, seperti HIV/AIDS,

Hepatitis B.

Whoole Blood

Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik yang

normovolemik atau bertujuan meningkatkan sel darah merah (WHO 2012).

SEL DARAH MERAH PEKAT (PACKED RED BLOOD CELL)

Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam waktu

singkat (WHO, 2012).

2.3. Darah dan Komponen Darah

1. Darah Lengkap/ Whole Blood (WB)

Darah lengkap ini berisi sel darah merah, leukosit, trombosit dan

plasma. Satu unit kantong darah lengkap berisi 450 ml darah dan 63 ml

antikoagulan. Di Indonesia satu kantong darah lengkap berisi 250 ml darah

dengan 37 ml antikoagulan. Suhu simpan antara 1-6 0C. lama simpan dari

darah lengkap ini tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong

darah, pada pemakaian sitrat fosfat dektrose (CPD) lama simpan adalah 21

hari, sedangkan dengan CPD adenine (CPDA) adalah 35 hari (WHO, 2002).

Darah utuh ada 3 macam, yaitu (Sjamsuhidajat, 2005):

a) Darah utuh sangat segar, umurnya < 6 jam, masih berisi trombosit dan

semua factor pembekuan (juga faktor labil (V,VII))


b) Darah Utuh Segar, umurnya < 24 jam yang masih berisi trombosit dan

factor-faktor pembekuan kecuali factor labil

4
c) Darah Utuh Simpan, umurnya > 24 jam sampai 3-4 minggu, selain

eritrosit hanya berisi factor-faktor pembekuan yang umurnya panjang dan

albumin.

Darah lengkap diberikan dengan golongan ABO dan Rh yang

diketahui. Diberikan pada penderita yang mengalami perdarahan akut,

syok hipovolemik, bedah mayor dengan perdarahan >1500 ml. Indikasi:

1. Penggantian volume pada pasien dengan syok hemoragi, trauma atau

luka bakar

2. Pasien dengan perdarahan masif dan telah kehilangan lebih dari 25%

dari volume darah total.

2. Packed Red Cell

PRC berasal dari darah lengkap yang disedimentasikan selama

penyimpanan, atau dengan sentrifugasi putaran tinggi. Sebagian besar (2/3)

dari plasma dibuang. Satu unit PRC dari 500 ml darah lengkap volumenya

200-250 ml dengan kadar hematokrit 70-80%, volume plasma 15-25 ml, dan

volume antikoagulan 10-15 ml. Mempunyai daya pembawa oksigen dua kali

lebih besar dari satu unit darah lengkap. Waktu penyimpanan sama dengan

darah lengkap (Latief, 2007).

Secara umum pemakaian PRC ini dipakai pada pasien anemia yang tidak

disertai penurunan volume darah, misalnya pasien dengan anemia hemolitik,

anemia hipoplastik kronik, leukemia akut, leukemia kronik, penyakit

keganasan, talasemia, gagal ginjal kronis, dan perdarahan-perdarahan kronis

yang ada tanda oxsygen need (rasa sesak, mata berkunang, palpitasi, pusing,

5
dan gelisah). PRC diberikan sampai tanda oxsygen need hilang. Biasanya pada

Hb 8-10 gr/dl (Latief, 2007).

Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB

atau 1 unit dapat menaikkan kadar hematokrit 3-5 % (Ramelan, 2010).

Keuntungan transfusi PRC dibanding darah lengkap (Ramelan, 2010):

a. Kemungkinan overload sirkulasi menjadi minimal

b. Reaksi transfusi akibat komponen plasma menjadi minimal.

c. Reaksi transfusi akibat antibodi donor menjadi minimal.

d. Akibat samping akibat volume antikoagulan yang berlebihan menjadi

minimal.

e. Meningkatnya daya guna pemakaian darah karena sisa plasma dapat

dibuat menjadi komponen-komponen yang lain.

Kerugian PRC adalah masih cukup banyak plasma, lekosit, dan trombosit

yang tertinggal sehingga masih bisa terjadi sensitisasi yang dapat memicu

timbulnya pembentukan antibodi terhadap darah donor. Untuk mengurangi

efek samping komponen non eritrosit maka dibuat PRC yang dicuci (washed

PRC) (Ramelan, 2010).

3. Sel darah merah Pekat Dengan Sedikit Leukosit (Packed Red Blood Cell

Leukocytes Reduced)

Setiap unit sel darah merah pekat mengandung 1-3 x 10 9 leukosit.

American Association of Blood bank Standard for Transfusion Services

menetapkan bahwa sel darah merah yang disebut dengan sedikit leukosit jika

kandungan leukositnya kurang dari 5x106 leukosit/unit. Sel darah ini dapat

diperoleh dengan cara pemutaran, pencucian sel darah merah dengan garam

6
fisiologis, dengan filtrasi atau degliserolisasi sel darah merah yang disimpan

beku. Karena pada pembuatannya ada sel darah merah yang hilang, maka

kandungan sel darah merah kurang dibandingkan dengan sel darah merah

pekat biasa (WHO, 2012).

Suhu simpan 1-6 0C, sedang masa simpan tergantung pada cara

pembuatannya. Bila pemisahan leukosit dilakukan dengan memakai kantong

ganda (system tertutup) masa simpannya sama dengan darah lengkap asalnya,

tapi bila dengan pencucian/filtrasi (system terbuka) produk ini harus dipakai

secepatnya (dalam 24 jam) (WHO, 2012).

4. Sel Darah Merah Pekat Cuci (Packed Red Blood Cell Washed)

Dibuat dari darah utuh yang dicuci dengan normal saline sebanyak tiga

kali untuk menghilangkan antibodi. Washed PRC hanya dapat disimpan

selama 4 jam pada suhu 4oC, karena itu harus segera diberikan. Sel darah

merah yang dicuci dengan normal salin memiliki hematokrit 70-80 % dengan

volume 180 ml. Pencucian dengan salin membuang hamper seluruh plasma

(98%), menurunkan konsentrasi leukosit, dan trombosit serta debris. Karena

pembuatannya biasanya dilakukan dengan system terbuka maka komponen ini

hanya dapat disimpan dalam 4 jam dalam suhu 1-6 0C (WHO, 2012).

5. Sel Darah Merah Pekat Beku Yang Dicuci (Packed Red Blood Cell Frozen,

Packed Red Blood Cell Deglycerolized)

Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan gliserol suatu

sediaan krioprotektif terhadap darah yang usianya kurang dari 6 hari. Darah ini

kemudian dibekukan pada suhu -650C atau -2000C (tergantung sediaan

gliserol) dan dapat disimpan selama 10 tahun. Karena pada proses

penyimpanan beku, pencairan dan pencuciannya ada sel darah merah yang

7
hilang maka kandungan sel darah merah minimal 80% dari jumlah sel darah

merah pekat asal, demikian pula hematokrit kurang lebih 70-80%. Proses

pencucian dapat menggunakan larutan glukosa dan salin. Suhu simpan 1-6 0C

dan tidak boleh digunakan lebih dari 24 jam karena proses pencucian biasanya

memakai system terbuka (WHO, 2012).

6. Leukosit/Granulosit konsentrat

Diberikan pada penderita yang jumlah leukositnya turun berat, infeksi

yang tidak membaik/ berat yang tidak sembuh dengan pemberian antibiotik,

kualitas leukosit menurun. Komponen ini dibuat dari seorang donor dengan

metode pemutaran melalui hemonetic 30. Dengan alat ini darah dari donor

dilakukan pemutaran terus-menerus, memisahkan dan mengumpulkan buffy

coat yang banyak mengandung granulosit limfosit dan platelet kemudian

dicampur dengan larutan sitrat sebagai antikoagulan yang akhirnya dilarutkan

dalam plasma (WHO, 2012).

Indikasi :

a. Penderita neutropenia dengan febris yang tinggi yang gagal dengan

antibiotik

b. Anemia aplastik dengan lekosit kurang dari 2000/ml

c. Penyakit-penyakit keganasan lainnya.

Kapan saat yang tepat untuk pemberian transfusi granulosit, masih

belum pasti. Umumnya para klinisi menganjurkan pemberian transfusi

granulosit pada penderita neutropenia dengan panas yang tinggi dan gagal

diobati dengan antibiotik yang adekuat lebih dari 48 jam. Efek pemberian

transfusi granulosit tampak dari penurunan suhu badan penderita terjadi pada

1-2 jam setelah transfuse (WHO, 2012).

8
7. Trombosit

Pemberian trombosit seringkali diperlukan pada kasus perdarahan yang

disebabkan oleh kekurangan trombosit. Pemberian trombosit yang berulang-

ulang dapat menyebabkan pembentukan thrombocyte antibody pada penderita.

Transfusi trombosit terbukti bermanfaat menghentikan perdarahan karena

trombositopenia. Komponen trombosit mempunyai masa simpan sampai

dengan 3 hari (WHO, 2012).

Indikasi pemberian komponen trombosit ialah (WHO, 2012):

a. Setiap perdarahan spontan atau suatu operasi besar dengan jumlah

trombositnya kurang dari 50.000/mm3. Misalnya perdarahan pada

trombocytopenic purpura, leukemia, anemia aplastik, demam berdarah,

DIC dan aplasia sumsum tulang karena pemberian sitostatika terhadap

tumor ganas.
b. Splenektomi pada hipersplenisme penderita talasemia maupun hipertensi

portal juga memerlukan pemberian suspensi trombosit prabedah.

8. Plasma biasa dan Plasma Segar Beku

Dari 250 ml darah utuh diperoleh 125 ml plasma. Plasma banyak digunakan

untuk mengatasi gangguan koagulasi yang tidak disebabkan oleh

trombositopenia, mengganti plasma yang hilang, defisiensi imunoglobulin dan

overdosis obat antikoagulans (warfarin,dsb) (WHO, 2012).


Plasma tersedia dalam berbagai bentuk sediaan sebagai berikut :
Plasma segar (Fresh Plasma)
Dari darah utuh segar (<6 jam). Berisi semua faktor pembekuan (juga

faktor labil) dan trombosit. Harus diberikan dalam 6 jam.


Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma)
Didapat dari pemisahan darah segar (darah donor kurang dari 6 jam)

dengan metode pemutaran, kemudian dibekukan dan disimpan pada

temperatur 30 0C. Karena dibuat dari darah segar, maka hampir semua

9
faktor-faktor pembekuan masih utuh selama penyimpanan 30 0C kecuali

trombosit. Tapi bila disimpan pada temperatur 4oC, maka semua faktor

pembekuan yang labil itu akan rusak menjadi plasma biasa.


Kriteria pemberian Fresh Frozen Plasma
a. Perdarahan menyeluruh yang tidak dapat dikendalikan dengan jahitan

bedah atau kauter.


b. Peningkatan PT atau PTT minimal 1,5 kali dari normal.
c. Hitung trombosit lebih besar dari 70.000/mm3 (untuk menjamin bahwa

trombositopenia bukan merupakan penyebab perdarahan).


ASA merekomendasikan pemberian FFP dengan mengikuti petunjuk

berikut.
a. Segera setelah terapi warfarin
b. Untuk koreksi defisiensi faktor koagulasi yang mana untuk faktor yang

spesifik tidak tersedia.


c. Untuk koreksi perdarahan mikrovaskuler sewaktu terjadi peningkatan

>1,5 kali nilai normal PT atau PTT


d. Untuk koreksi perdarahan sekunder mikrovaskuler yang meningkat

akibat defisiensi faktor koagulasi pada pasien yang ditransfusi lebih

dari satu unit volume darah dan jika PT dan PTT tidak dapat diperoleh

saat dibutuhkan.
e. FFP sebaiknya diberikan dalam dosis yang diperhitungkan mencapai

suatu konsentrasi plasma minimum 30% (biasanya tercapai dengan

pemberian 10-15 ml/kg), kecuali setelah pemberian warfarin yang

mana biasanya cukup antara 5-8 ml/kg.


f. FFP dikontraindikasikan untuk peningkatan volume plasma atau

konsentrasi albumin.
Plasma biasa (Plasma Simpan)
Mengandung faktor stabil fibrinogen, albumin, dan globulin. Didapat

dari dari darah lengkap yang telah mengalami penyimpanan. Dari 250 cc

darah lengkap diperoleh 125 cc plasma. Dapat bertahan selama 2 bulan

pada suhu 4oC. Indikasi :


a. Untuk mengatasi keadaan shok (sebelum darah datang).
b. Memperbaiki volume sirkulasi darah.

10
c. Mengganti protein plasma yang hilang pada luka bakar yang luas.
d. Mengganti dan menambah jumlah faktor-faktor tertentu yang hilang

misalnya fibrinogen, albumin, dan globulin.


Plasma diberikan pada kehilangan plasma misalnya dengue

hemoragik fever, atau luka bakar yang luas. Dosis pemberian tergantung

keadaan klinis. Umumnya diberikan 10-15 ml/kgBB/hari. Hati-hati pada

orang tua, karena kemungkinan terjadinya payah jantung atau overload

sirkulasi. Indikasi ini sekarang tidak dianjurkan lagi karena lebih aman

menggunakan terapi larutan koloid atau albumin yang bebas resiko

transmisi penyakit (WHO, 2012).

9. Cryopresipitate

Komponen utama yang terdapat di dalamnya adalah faktor VIII,

faktor pembekuan XIII, faktor Von Willbrand, fibrinogen. Penggunaannya

ialah untuk menghentikan perdarahan karena kurangnya faktor VIII di

dalam darah penderita hemofili A (WHO, 2012).

Cara pemberian ialah dengan menyuntikkan intravena langsung, tidak

melalui tetesan infus, pemberian segera setelah komponen mencair, sebab

komponen ini tidak tahan pada suhu kamar (WHO, 2002).

Suhu simpan -18C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun,

ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Efek samping berupa

demam, alergi. Satu kantong (30 ml) mengadung 75-80 unit faktor VIII,

150-200 mg fibrinogen, faktor von wilebrand, faktor XIII (WHO, 2012).

Indikasi :

- Hemophilia A
- Perdarahan akibat gangguan faktor koagulasi
- Penyakit von wilebrand

10. Konsentrat Faktor VIII (Faktor VIII consentrate)

11
Konsentrate factor VIII dibuat dari plasma manusia atau diproduksi

melalui teknologi rekombinan. Konsentrate factor VIII ini dibuat dengan

proses fraksinasi dari plasma yang dikumpulkan dan dibekukan segera

setelah pengambilan darah. Semua produk dibuat steril, stabil, murni dan

beku kering (WHO, 2012).

11. Konsentrat Faktor IX

Dua konsentrat F IX sekarang tersedia sebagai hasil rekombinan.

Sediaan ini steril, stabil dan kering beku sebagai hasil dari fraksinasi

plasma yang dikumpulkan. Kompleks F IX merupakan sediaan yang

mengandung selain F IX juga sejumlah F II, VII, X dan beberapa protein

(WHO, 2012).

12. Albumin Dan Fraksi Protein Plasma

Albumin merupakan derivate plasma yang diperoleh dari darah

lengkap atau plasmafaresis, terdiri dari 96 % albumin dan 4 % globulin dan

beberapa protein lain yang dibuat dengan proses fraksinasi alcohol dingin.

Derivate ini kemudian dipanaskan 600C selama 10 jam sehingga bebas

virus (WHO, 2012).

Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan albumin

hanya dalam pemurniannya lebih kurang dibandingkan dengan albumin

dalam proses fraksinasi. Fraksi protein plasma ini mengandung 83 %

albumin dan 17 % globulin (WHO, 2012).

13. Immunoglobulin

Immunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi dengan

etanol dingin dari plasma yang dikumpulkan. Berisi immunoglobulin G

(IgG) dengan sedikit IgA dan IgM. Terdapat dua sediaan yakni

12
intramuscular (IM) dan intravena (IV). Pada sediaan IM, produk ini

mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada pemberiannya diperlukan

waktu 4-7 hari untuk mencapai kadar puncak dalam plasma, dosis

maksimum yang dapat diberikan dibatasi oleh massa otot dan pada

pemberiannya menyebabkan nyeri. Sediaan IM saat ini diberikan hanya

untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril dengan konsentrasi

protein kurang lebih 16,5 g/dl (WHO,2012).

14. Rh Immune Globulin

RhIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan mengandung IgG

anti D. terdapat dua sediaan yaitu IM dan IV. Sediaan IV dosis 120 ug dan

300 ug telah disetujui oleh FDA untuk supresi imun terhadap antigen D dan

untuk pengobatan ITP (WHO, 2012).

2.4. Komplikasi Transfusi Darah

Komplikasi terkait transfusi dapat dikategorikan menjadi akut atau

terlambat, yang dapat dibagi lagi menjadi kategori infeksius dan non infeksius.

Komplikasi akut terjadi dalam hitungan menit sampai 24 jam setelah transfusi,

dimana komplikais terlambat dapat terjadi dalam hitungan hari, bulan, atau

bahkan tahunan. AABB (diketahui sebagai American Association of Blodd Banks)

menggunakan istilah Efek samping serius non infeksius dari transfusi untuk

mengklasifikasikan komplikasi non infeksius. Infeksi terkait transfusi lebih jarang

karena kemajuan proses skrining darah; risiko untuk mendapatkan infeksi dari

telah menurun 10.000 kali lipat sejak tahun 1980 (Sharma, Sharma, and Tyler,

2011).

13
Efek samping non infeksius dari transfusi adalah lebih dari 1000 kali lebih

sering dari pada komplikasi infeksius. Namun, tidak ada kemajuan dalam

pencegahan efek samping serius non infeksius, dari pada perbaikan pada

pemeriksaan skrining dan kemajuan medis lainnya. Sehingga, pasien lebih sering

untuk mengalami efek samping transfusi non infeksius yang serius dari pada

komplikasi infeksius (Sharma, Sharma, and Tyler, 2011).

Non Infeksius
Akut
1. Reaksi Transfusi: Febris

Reaksi transfusi febris didefinisikan sebagai peningkatan

temperature satu derajat selama atau dalam 3 jam transfuse, yang tidak

dapat dijelaskan sebagai sepsis atau reaksi hemolitik. Insiden dilaporkan

bervariasi secara luas, tetapi bukti yang meyakinkan menunjukan bahwa

jumlah reaksi febris secara signifikan menurun dengan pengurangan

leuko dari unit sel darah merah (Glliss, Looney, and Gropper, 2011).

Rata-rata rasionya kira-kira 1:330 untuk transfuse sel darah

merah dan 1:20 untuk transfuse platelet. Reaksi transfuse febris dapat

disertai dengan menggigil, rigor, dan ketidaknyamanan. Sebanyak 50%

adri transfuse di Amerika Serikat di berikan premedikasi dengan

asetaminofen dan diphenhydramine, penelitian terbaru dari Cochrane

review menyimpulkan (berdasarkan pada data kualitas rendah) bahwa

pre-medikasi tidak menurunkanrisiko febris atau reaksi alergi transfuse

non-hemolitik. Terapi untuk reaksi febris penghentian transfuse dan

pelayanan suportif dan dapat diberikan terapi antipiretik (Glliss, Looney,

and Gropper, 2011).

14
2. Reaksi Alergi

Reaksi urtikaria dan pruritus general sering terjadi, terjadi selama

kira-kira 1-3% dari semua transfusi, dan diduga sebagai hasil dari

adanya antigen terlarut dalam plasma donor yang menyebabkan respon

klinis bergantung-dosis. Reaksi alergi biasanya berhubungan dengan

gejala ringan seperti eritema terlokalisir, pruritus, atau gatal-gatal, dan

biasanya berespon terhadap antihistamin parenteral (Glliss, Looney, and

Gropper, 2011).

Beberapa reaksi alergi, ditandai dengan bronkospasme, stridor,

hipotensi, dan gejala-gejala gastrointestinal mengarah pada anafilaktik

atau reaksi transfuse anafilaktoid. Reaksi ini terjadi secara spesifik oleh

reaksi yang dimediasi IgE ke protein asing, sementara istilah

anafilaktoid digunakan untuk mendeskripsikan reaksi-reaksi lainnya

yang memberikan sindroma klinis yang sama (Glliss, Looney, and

Gropper, 2011).

3. Transfusion-assosiated Circulatory Overload (TACO)

TACO merupakan edema paru akut terkait dengan hipertensi

atrial kiri atau volume berlebih yang terjadi dalam waktu 6 jam setelah

transfuse darah. Dikenali oleh dokter sebagai komplikasi yang umum

terjadi pada transfusi darah. Tanda-tandanya terdiri dari distress

pernapasan, hipertensi, hipoksemia, ditemukannya gagal jantung

kongestif terdiri daari peningkatan dan suara S3 serta redistribusi

vascular, Kerley B line, dan opasitas bilateral pada foto dada. Pada

15
pasien tanpa edema paru, tekanan kapiler paru diseimbangkan oleh

tekanan osmotic koloid di dalam kapiler-kapiler; sebagian kecil

transudate di hilangkan dari alveolus melalui system limfatik. Dengan

fungdi kardiovaskular yang normal, terdapat jarak antara tekanan atrium

kiri dan tekanan kapiler paru selama homeostasis tetap dijaga oleh

drainase limfatik; namun, terdapat hubungan linier antara peningkatan

tekanan atrium kiri dan rasio pembentukan edema paru. Edema paru

terjadi pada pasien dengan gagal jantung tanpa peningkatan volume

darah total. Pada TACO, peningkata sedang pada volume darah dan

tekanan kapiler paru dimediasi oleh transfuse darah yang mendorong

pasien dengan disfungsi kompensasi kardiak atau gagal ginjal kronik

melewati titik batas edema paru. Pada pasien dengan jantung dan ginjal

yang normal, transfuse massif diperlukan untuk membuatnya menjadi

edema paru hidrostatik (Roubinian and Murphy, 2015).

4. Transfusion Related Acute Lung Injury (TRALI)

TRALI terjadi dengan adanya kesulitan bernafas secara

mendadak selama atau beberapa saat setelah transfusi. Hipoksemia dan

infiltrate paru terdeteksi pada pemeriksaan x-ray thorax pada hampir

semua pasien TRALI, dan sebagian mengeluarkan sputum berbuih

warna kemerahan. Dapat juga terjadi takipnea, takikardi, dan

peningkatan tekanan jalan nafas. Demam, hipotensi, dan sianosis terjadi

pada kurang dari sepertiga pasien dengan TRALI (Joengmin and

Sungwon, 2015).

16
Konfirmasi hipoksemia, melakukan foto x-ray dada, dan

mengevaluasi tanda-tanda vital diperlukan untuk mendiagnosis TRALI

(Joengmin and Sungwon, 2015).

TRALI harus dibedakan dengan edema paru karena penyebab

lain. Reaksi transfuse hemolitik dan septik tampak mirip dengan TRALI.

Anafilaksis dapat menyebabkan insufisiensi respirasi mirip dengan

TRALI, tetapi tanda dan gejala jalan nafas lebih sering pada pasien

anafilaksis (Joengmin and Sungwon, 2015).

TACO merupakan penyebab lain dari insufisiensi respirasi terkait

transfuse. Gangguan fungsi miokardial dan terapi cairan yang cepat dan

agresif disangka sebagai faktor risiko TACO. TRALI lebih mengarah

pada hubungannya dengan tanda dan gejala inflamasi, termasuk demam,

hipotensi, dan infiltrate paru eksudatif. Sebaliknya, TACO lebih

mengarah pada hubungannya dengan temuan disfungsi kardiak dan/atau

kelebihan volume (Joengmin and Sungwon, 2015).

5. Hemolytic Transfusion reactions (HTR)

Pada mulanya, gejala hemolytic transfusion reactions akut sering

tidak spesifik. Jika pasien sadar, pasien dapat mengalami gangguan

agitasi, menggigil, dan sensasi terbakar pada tempat infuse, nyeri dada,

abdomen atau punggung, nyeri kepala, mual, muntah, takipneu dan/atau

dispneu. Gejala-gejala objektif juga dapat terlihat pada pasien yang tidak

sadar, misalnya demam (peningkatan temperature >1 0C), perubahan pada

kulit (misalnya kemerahan, edema, atau pucat), takikardi, hipotensi,

17
dan/atau perubahan warna urin (warna transparan kemerahan). Perdarahan

difus sebagai tanda DIC atau anuria sebagai akibat gagal ginjal dapat

terjadi. Terutama pada pasien yang dibius dimana tanda-tanda

subyektifnya hilan, syok, hemoglobinuria, dan status perdarahan sistemik

dapat menjadi gejala wala dari HTR akut (Strobel, 2008).

Terlambat
1. Transfusi terkait penyakit graft-Vs-host

Merupakan konsekuensi dari proliferasi limfosit donor dan

menyebabkan gangguan autoimun melawan jaringan dan organ

resipien. Hal ini fatal pada lebih dari 90% kasus. Pasien yang rentan

dengan kondisi ini adalah pasien imunokompromais atau

imunokompeten yang menerima transfuse dengan bertukaran

haplotypes HLA (misalnya, donor adalah anggota keluarga). Gejala

terdiri dari gatal, demam, diare, disfungsi liver, dan pansitopenia yang

terjadi 1 sampai 6 minggu setelah transfusi (Sharma, Sharma, and

Tyler, 2011).

Faktor risiko termasuk riwayat terapi fludarabine (Oforta),

penyakit Hodgkin, transplantasi stem sel, kemoterapi intensif, transfuse

intrauterine, atau erythroblastosis fetalis. Faktor risiko lain yang

mungkin termasuk riwayat tumor solid yang diobati dengan obat-

obatan sitotoksik, transfusi pada infant prematur, dan ikatan resipien-

donor dari populasi homogeny. Iradiasi gamma dari produk darah

mempertahankan limfosit donor dari proliferasi dan dapat mencegah

18
terjadinya penyakit graft-vs-host terkait transfuse (Sharma, Sharma,

and Tyler, 2011).

Infeksius

Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD) adalah masalah

utama yang terkait dengan transfusi darah. Estimasi yang akurat tentang risiko

IMLTD sangat penting untuk memantau keamanan suplai darah dan

mengevaluasi efektivitas dari prosedur skrining saat ini yang dikerjakan.

IMLTD ini menjadi kekhawatiran yang besar untuk menjamin keamanan

pasien. Prevalensi terjadinya IMLTD bervariasi dari satu negara dengan

negara lain, tergantung pada jumlah kasus IMLTD dalam populasi tertentu dari

mana unit darah yang diperoleh misalnya dari donor sukarela, donor komersial

maupun dari donor keluarga atau pengganti. Masalah ini sebenarnya

disebabkan oleh prevalensi pembawa asimtomatik dalam masyarakat, serta

mendonorkan darah selama window period , yaitu periode segera setelah

infeksi dimana darah donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif

(Kiswari, 2014).

Transfusi darah membawa risiko IMLTD, termasuk HIV, Hepatitis,

Sifilis, Malaria, Toksoplasmosis, Brucellosis dan beberapa infeksi virus

lainnya seperti CMV, EBV dan Herpes. Di antara semua infeksi HIV, Virus

Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis B (HCV), Sifilis adalah virus yang paling

sering skrining atau diuji saring di layanan transfusi sesuai dengan standard

WHO. Risiko infeksi dapat dihindari jika dilakukan skrining dengan cara yang

baik dan berfokus pada kualitasnya (WHO, 2010).

19
Semua donor sebaiknya dilakukan skrining pada minimal satu marker

serologis yang cocok untuk masing-masing empat infeksi ini dan skrining

untuk marker tambahan bisa dipertimbangkan, tergantung pada risiko residual,

logistik dan tingkat sumber daya yang tersedia. Setiap negara harus memenuhi

syarat dalam pengumpulan darah dan juga komponen darah untuk memastikan

bahwa suplei darah bebas dari HIV, virus hepatitis dan infeksi lain yang

mengancam jiwa orang yang dapat ditularkan melalui transfusi yang tidak

aman (WHO, 2010).

Keamanan darah adalah bagian integral dari rencana WHO HIV/AIDS

untuk pencegahan infeksi HIV bersamaan mencapai Millenium Development

Goals (MDGs) yang berhubungan dengan kesehatan untuk mengurangi angka

kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV dan

mengembangkan kerjasama global bagi pembangunan (WHO, 2010).

a. Hepatitis Karena Transfusi

Penularan infeksi hepatitis virus A sangat jarang terjadi

dibandingkan dengan hepatitis virus B dan hepatitis virus C. keadaan

ini bisa terjadi karena viremia virus hepatitis A sangat pendek dan tidak

menyebabkan karier. Diperkirakan kejadian infeksi hepatitis virus B

pasca transfusi sekitar 1 dari 300.000 kali transfusi, sedangkan

penularan hepatitis C pasca transfusi diperkirakan lebih besar dari

perkiraan penularan hepatitis B pasca transfusi. Penularan pasca

transfusi hepatitis C sering menyebabkan fibrosis bahkan dapat

menyebabkan karsinoma hepatik. Penularan hepatitis pasca transfusi ini

20
dapat dicegah atau diminimalkan dengan seleksi donor yang baik dan

ketat serta penapisan virus B dan C (IDAI, 2008).

b. Virus HIV tipe 1 dan 2

Infeksi HIV pasca transfusi jarang terjadi. Di Amerika serikat

1,9% kasus infeksi HIV melalui transfusi darah dan komponen darah.

Saat ini dengan seleksi donor yang baikterhadap HIV-1 kejadian

diperkirakan hanya 1 dari 500.000 kali transfusi dan HIV-2 hanya 1 dari

10.000.000 kali transfusi (IDAI, 2008).

c. Virus Human T Lymphotropic I dan II

Pada transfusi penularan lewat komponen sel darah, tapi tidak

dari komponen plasma yang diinginkan. Limfoma sel T dewasa muncul

pada usia 40-60, menggambarkan adanya masa infeksi laten yang lama

sebelumserangan klinisnya muncul. Dalam waktu beberapa bulan atau

tahun pasca transfusi (PAPDI, 2010)

d. Virus Cytomegalo

Infeksi hanya terjadi padatransfusi komponen darah seluler,

sedangkan penderita yang mendapat transfusi plasma beku segar dan

kriopresipitat tidak terjadi transmisi virus ini. Risiko transmisi dari

komponen darah yang sero-positif berkisar 8-25% dimana, risiko ini akan

berkurang menjadi kkira-kira 4% bila darah yang diberikan adalah

komponen darah rendah leukosit dengan virus sitomegalo sero-negatif

(IDAI, 2008).

e. Virus Epstein Barr

21
Sembilan puluh persen darah donor mempunyai antiboditerhadap

virus epsteiin-barr, karena infeksi berhubungan dengan leukosit maka

nampaknya akan aman dengan menggunakan darah yang leukositnya

dikurangi (PAPDI, 2010).

f. Infeksi yang disebarkan Arthropoda

Malaria merupakan penyakit infeksi global namun di AS penularan

secara transfusi jarang.Donor yang melewati daerah endemik, setahun tidak

boleh menjadi donor. 3 tahun bila pernah tinggal di daerah endemik

(Kiswari, 2014).

Babesiosis, infeksi yang disebabkan protozoa, menginfeksi eritrosit,

disebarkan oleh kutu, keluhan mulai dari tidak ada keluhan sampai yang

ringan seperti influenza ataumalaria, dengan anemia hemolitik, diobati

dengan kinin atau klindamisin. Infeksi ini jarang yang fatal (Kiswari,

2014).

Penyakit Lyme, disebabkan oleh Borrelia burgdorferi, tidak ada

catatan tentang penyakit ini pada penularan karena transfusi (Kiswari,

2014).

g. Kontaminasi Bakteri

Kontaminasi merupakan penyebab mayor fatalitas pada

transfusi.Sumber kontaminasi ini, kantong, donor bacteremia asimptomatik,

22
pembersihan kulit tidak adekuat. Transfusi trombosit yang disimpan pada

suhu kamar lebih sering menimbulkan febris dibanding eritrosit yang

didinginkan (Kiswari, 2014).

Organisme yang sering menimbulkan kontaminasi pada transfusi

eritrosit antara lain Yersinia, pseudomonas, enterobakter, dan seratia, pada

trombosit lebih bervariasi termasuk stafilokokus, streptokokus, klebsila,

dan salmonella. Keluhan dapat berupa seperti febris non hemolitik sampai

sepsis akut dengan panas, hipotensi dan kematian. Keluhan yang berat

dihubungkan dengan mikroorganisme dengan endotoksin. Pengobatan

sama seperti pada sepsis karena organisme lain yang sesuai (Kiswari,

2014).

h. Infeksi Lainnya

Seiring dengan pengujian yang disebutkan di atas, semua darah sebelum

transfusi diuji untuk mengetahui apakah beresiko terhadap penularan sifilis,

HTLV-I dan HTLV-II (virus terkait dengan T-cell leukemia / limfoma manusia).

Sejak tahun 2003, darah yang disumbangkan juga diuji untuk mengetahui virus

West Nile, yang terbaru adalah pengujian atas penyakit Chagas (penyakit umum

di Amerika Selatan dan Tengah). Penyakit yang disebabkan oleh bakteri

tertentu, virus, dan parasit, seperti Babesiosis, malaria, penyakit Lyme, dan lain-

lain juga dapat ditularkan melalui transfusi darah. Tapi karena donor potensial

disaring dengan pertanyaan tentang status kesehatan dan perjalanan mereka,

maka kasus-kasus penularan penyakit akibat tranfusi seperti di atas semakin

jarang terjadi (Kiswari, 2014).

23
2.5. Tatalaksana Reaksi Transfusi

Pada reaksi transfusi dibedakan berdasarkan ada tidaknya demam dan waktu

reaksinya. Reaksi transfusi akut terjadi selama atau kurang dari 24 jam setelah

transfusi, reaksi transfusi delayed terjadi lebih dari 24 jam setelah transfusi. (D. Joe

Chaffin, 2012).

Tabel.1 Klasifikasi Reaksi Transfusi (Jim Faed, Peter Flanagan, 2014).

Reaksi transfusi dengan adanya infeksi


AKUT DELAYED

1. Reaksi Hemolitik akut 1. Reaksi delayed Hemolitik


2. Reaksi Febris Non Hemolitik 2. Transfusion associated graft
3. Transfusion related Sepsis
4. Transfusi related acute lung versus host disease (TA-GVHD)

injury (TRALI)
Reaksi transfusi tanpa adanya infeksi
AKUT DELAYED

1. Reaksi alergi 1. Post Transfusion Purpura


2. Hypotensi 2. Iron Overload
3. Transfusion associated Dypsnea
4. Transfusion related circulatory

overload (TACO)

Berikut penatalaksanaan dari beberapa reaksi transfusi : (Boediwarsono, Soebiandiri,

Sugianto et al. 2007), (Jim Faed, Peter Flanagan, 2014).

1. Reaksi transfusi hemolitik


a. Hentikan transfusi segera dan diganti infus NaCl 0,9%
b. Atasi shock dengan dopamine drip intravena 5-10 mg/kgBB per menit sampai

tekanan darah sistolik > 100 mmHg dan perfusi jari-jari terasa hangat
c. Bila urine < 1 cc/kgBB/jam, maka segera berikan furosemide 1-2 mg/kgBB

untuk mempertahankan urine > 100 cc/jam

24
d. Atasi demam dengan antipiretik
e. Periksa faal hemostasis untuk mengatasi kemungkinan DIC
2. Reaksi transfusi febris non hemolitik
a. Transfusi dipelankan pada reaksi yang ringan dan sedang
b. Berikan antipiretik (paracetamol 1g PO) dan monitor secara ketat
3. Transfusion related Sepsis
a. Berikan segera antibiotik broadspectrum
b. Berikan O2 dan penunjang lain yang dibutuhkan
4. TRALI
Pengobatan TRALI yang utama adalah dengan pemberian Oksigen dan intubasi

bila diperlukan
5. Reaksi transfusi alergi
a. Transfusi dihentikan dan diganti dengan infus NaCl 0,9%
b. Ganti bloodset baru
c. Berikan antihistamin (IM atau IV)
d. Setelah gejala hilang transfusi dapat dilanjutkan, sebaiknya dengan unit darah

yang lain.
6. Reaksi Hipotensi
a. Hentikan transfusi dan berikan terapi cairan NaCl 0,9%
7. Reaksi anafilaksis
a. Tinggikan kedua tungkai untuk memperbaiki venous return
b. Hentikan transfusi dan diganti dengan infus NaCl 0,9%
c. Adrenalin 0,1-0,2 mg IV diulang tiap 5-15 menit sampai sirkulasi membaik.

Mungkin perlu dilanjutkan dopamine drip.


d. Berikan antihistamin (IM atau IV)
e. Steroid (hidrokortison 100 mg IV, deksametason 4-5 mg IV)
f. Aminofilin 5 mg/kgBB setelah tekanan darah membaik
g. Oksigen
8. Kelebihan cairan
a. Hentikan transfusi
b. Posisi penderita setengah duduk dan berikan oksigen
c. Furosemid 1-2 mg/kgBB IV dan digitalisasi cepat
d. Pertimbangkan phlebotomy, darah dikeluarkan 500 cc

Pada edema paru berat perlu diberikan morfin IV dengan titrasi pelan 1 mg pelan-

pelan, diulang tiap 10 menit sampai sesak mereda. Sedikit overdosis morfin akan

menyebabkan depresi nafas/apnea.

25
BAB III

RINGKASAN

Transfusi adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari seseorang

(donor) ke orang lain (resipien).Transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2

golongan utama berdasarkan sumbernya, yaitu transfusi allogenik dan transfusi

autologus. Transfusi allogenik adalah darah yang disimpan untuk transfusi berasal dari

tubuh orang lain. Sedangkan transfusi autologus adalah darah yang disimpan berasal

dari tubuh donor sendiri yang diambil 3 unit beberapa hari sebelumnya, dan setelah 3

hari ditransferkan kembali ke pasien.

Indikasi transfusi: Anemia pada perdarahan akut setelah didahului penggantian

volume dengan cairan; Anemia kronis jika Hb tidak dapat ditingkatkan dengan cara

lain; Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen; Plasma loss atau

hipoalbuminemia jika tidak dapat lagi diberikan plasma subtitute atau larutan

albumin.

Kontraindikasi transfusi: Pasien yang bertekanan darah rendah, transfusi darah

dengan golongan darah yang berbeda, transfusi darah dengan darah yang mengandung

penyakit, seperti HIV/AIDS, Hepatitis B.

26
Terdapat beberapa komponen darah, yaitu Darah Lengkap/ Whole Blood (WB),
Packed Red Cell, Sel darah merah Pekat Dengan Sedikit Leukosit (Packed Red Blood
Cell Leukocytes Reduced), Sel Darah Merah Pekat Cuci (Packed Red Blood Cell
Washed), Sel Darah Merah Pekat Beku Yang Dicuci (Packed Red Blood Cell Frozen,
Packed Red Blood Cell Deglycerolized), Leukosit/Granulosit konsentrat, Trombosit,
Plasma biasa dan Plasma Segar Beku, Cryopresipitate, Konsentrat Faktor VIII (Faktor
VIII consentrate), Konsentrat Faktor IX, Albumin Dan Fraksi Protein Plasma,
Immunoglobulin dan Rh Immune Globulin.

Secara garis besar komplikasi transfusi dibagi menjadi 2, yaitu komplikasi non

infeksius (akut, terlambat) dan komplikasi infeksius. Komplikasi akut terjadi dalam

hitungan menit sampai 24 jam setelah transfusi, dimana komplikasi terlambat dapat

terjadi dalam hitungan hari, bulan, atau bahkan tahunan.

Komplikasi non infeksius akut: reaksi transfusi febris, reaksi alergi, Transfusion-

assosiated Circulatory Overload (TACO), Transfusion Related Acute Lung Injury

(TRALI), Hemolytic Transfusion Reactions (HTR). Terlambat: Transfusi terkait

penyakit graft-Vs-host

Komplikasi infeksius: Hepatitis karena transfusi, virus HIV tipe 1 dan 2, Virus

Human T Lymphotropic I dan II, Virus Cytomegalo, Virus Epstein Barr, Infeksi yang

disebarkan Arthropoda, Kontaminasi Bakteri, Infeksi Lainnya.

Seiring dengan pengujian yang disebutkan di atas, semua darah sebelum

transfusi diuji untuk mengetahui apakah beresiko terhadap penularan infeksi. Infeksi

Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD) adalah masalah utama yang terkait dengan

transfusi darah. Estimasi yang akurat tentang risiko IMLTD sangat penting untuk

memantau keamanan suplai darah dan mengevaluasi efektivitas dari prosedur skrining

saat ini yang dikerjakan. Transfusi darah membawa risiko IMLTD, termasuk HIV,

Hepatitis, Sifilis, Malaria, Toksoplasmosis, Brucellosis dan beberapa infeksi virus

lainnya seperti CMV, EBV dan Herpes. Di antara semua infeksi HIV, Virus Hepatitis

27
B (HBV), Virus Hepatitis B (HCV), Sifilis adalah virus yang paling sering skrining

atau diuji saring di layanan transfusi sesuai dengan standard WHO. Risiko infeksi

dapat dihindari jika dilakukan skrining dengan cara yang baik dan berfokus pada

kualitasnya.

Penatalaksaan pada reaksi transfusi tergantung dengan jenis reaksi yang terjadi

dan gejala yang timbul pada pasien itu sendiri.

Daftar Pustaka
Boediwarsono, Soebiandiri, Sugianto et al. 2007. Transfusi Darah dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Dr.
Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press. pp:187-92

D. Joe Chaffin, MD. Transfusion Reactions. 2012. p: 1-21

Gilliss B. M., Looney M. R., and Gropper M. A. 2011. Reducing Non-Infectious


Risks of Blood Transfusion. Department of Anesthesia and Perioperative Care,
NCBI; 115(3): 635-649.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Buku Ajar Neonatologi Ed.1. Cetakan ke-1.
Badan penerbit IDAI. Jakarta. 2008

Jim Faed, Peter Flanagan. Guidlines for Management of Adverse Transfusion


Reaction. NZBlood. 2014. p: 1-8

Joengmin K. and Sungwon N. 2015. Transfusion-related Acute Lung Injury; Clinical


Perspectives. Korean Journal of Anesthesiology, 68(2): 101-105.

Kiswari Rukman, dr. Hematologi & Transfusi. Penerbit Erlangga. Jakarta. 2014.

Ramelan S, Gatot D, Transfusi Darah Pada Bayi dan Anak dalam Pendidikan
Kedokteran berkelanjutan (Continuing Medical Education) Pediatrics Updates, 2010,
Jakarta, IDAI cabang Jakarta, halaman: 21-30.
Roubinian N. H. and Murphy E. L. 2015. Transfusion-assosiated Circulatory
Overload (TACO): Prevention, Management, and Patient Outcomes. International
Journal of Clinical Transfusion Medicine, vol. 3, p; 17-28.

Shannon cooper, 2012, Clinic in Laboratory Medicine, Volume 12, Number 4,


Philadelphia: WB Saunders Company, halaman: 655-665

Sharma S, Sharma P, and Tyler L. N. 2011. Transfusion of Blood and Blood Products:
Indications and Complications. American Family of Family Physicians; volume 83,
Number 6, p; 719-724.

28
Sjamsuhidajat dan De Jong, 2005; Buku Ajar Ilmu Bedah; Edisi III, EGC Penerbit
Buku Kedokteran, Jakarta, hal. 911, 921 922

Staf Pengajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2
Ed.IV. Badan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2010

Strobel, E. 2008. Hemolytic Transfusion Reactions. Transfusion Medicine and


Hemotherapy; 35(5): 346-353.

WHO. Transfusi Darah. 2010 (diaskes pada tanggal 14 Agustus 2017).

WHO (World Health Organization Blood Transfusion Safety). The Clinical Use of
Blood in Medicine, Obstetrics, Pediatrics, Surgery & Anesthesia, Trauma & Burn.
GENEVA. 2012

29

Anda mungkin juga menyukai