Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tekanan Darah


Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Tekanan
puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik
adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya
digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik. Rata-rata tekanan
darah normal biasanya 120/80 mmHg (Smeltzer & Bare, 2001). Menurut Hayens (2003),
tekanan darah timbul ketika sejumlah volume darah bersirkulasi di dalam pembuluh darah.
Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam proses ini dimana jantung
sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan darah, dan
pembuluh darah yang memiliki dinding yang elastis dan ketahanan yang kuat. Palmer
(2007) menyatakan bahwa tekanan darah diukur dalam satuan milimeter air raksa (mmHg)
dan dapat diukur menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop.
2.2 Hipertensi pada Kehamilan
Hipertensi pada kehamilan yaitu tekanan sistolik 140 mmHg atau tekanan diastolik
90 mmHg dan kenaikan tekanan sistolik 15 mmHg dibandingkan tekanan darah sebelum
hamil atau pada trimester pertama kehamilan (WHO, 2010). Hipertensi pada kehamilan
merupakan kelainan vaskular yang terjadi sebelum kehamilan, atau timbul dalam
kehamilan atau pada masa nifas. Hipertensi pada kehamilan ditandai dengan tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg dan sering disertai
proteinuria, edema, kejang, koma atau gejala-gejala lainnya (Fatimah, 2010). Diagnosis
hipertensi pada kehamilan ditegakkan apabila hipertensi tanpa proteinuria pertama kali
terjadi pada kehamilan lebih dari 20 minggu atau dalam waktu 48 72 jam pasca
persalinan.
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) klasifikasi
tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi,
hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (Eduward, 2009).
2.3 Epidemiologi Hipertensi pada Kehamilan
Hipertensi pada kehamilan merupakan satu di antara tiga penyebab kematian dan
kesakitan ibu bersalin. Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering
muncul selama kehamilan dan dapat menimbulkan komplikasi pada 23% kehamilan.
Kejadian hipertensi pada kehamilan sekitar 515%, dan merupakan satu di antara tiga
penyebab mortalitas dan morbiditas ibu bersalin di samping infeksi dan perdarahan
(Yudasmara, 2010).
Menurut Riskesdas (2007), dari 8.341 kasus ibu hamil yang berusia 1554 tahun di
33 provinsi yang tersebar di Indonesia, didapatkan prevalensi hipertensi pada ibu hamil
sebesar 1.062 kasus (12,7%). Dari 1062 kasus ibu hamil dengan hipertensi, ditemukan 125
kasus (11,8%) yang pernah didiagnosis menderita hipertensi oleh petugas kesehatan. Ibu
hamil yang menderita hipertensi sebelum hamil memiliki kemungkinan komplikasi pada
kehamilannya lebih besar dibandingkan dengan ibu hamil yang menderita hipertensi ketika
sudah hamil. Angka rata-rata hipertensi pada ibu hamil secara keseluruhan di seluruh
provinsi di Indonesia yaitu sebesar 12,6% (Riskesdas, 2007).
Umur ibu hamil < 18 tahun dan > 35 tahun adalah umur dengan risiko tinggi
terjadinya preeklamsia dan eklamsia. Sebanyak 24,3% ibu hamil di kelompok umur ini
menderita hipertensi (Riskesdas, 2007). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Bale (2010) yang menyatakan bahwa wanita yang menikah pada usia muda (< 20
tahun) fungsi organ-organ reproduksinya belum maksimal, sehingga mudah timbul
komplikasi.
Selain itu, menurut Riskesdas (2007) diketahui bahwa persentase hipertensi pada
ibu hamil di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Pada
analisis multavariat, risiko hipertensi pada ibu hamil yang berada di daerah perkotaan 1,59
lebih besar (95% CI: 1,371,86) dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Hal ini juga
didukung oleh penelitian lainnya yang menampilkan karakteristik pada daerah perkotaan
memiliki kecenderungan peningkatan insiden hipertensi pada ibu hamil mencapai 46-50%,
namun pendataan resmi masih sulit dilakukan (Ahaneku, 2011, Xu, 2008). Bale (2010)
dalam penelitiannya juga menyatakan hal serupa. Teori yang ada menitikberatkan kejadian
hipertensi dengan gaya hidup perkotaan.
2.4 Faktor Sosiodemografi Penyebab Hipertensi pada Kehamilan
Terdapat beberapa faktor sosiodemografi yang dapat menyebabkan terjadinya
hipertensi pada kehamilan. Adapun yang tergolong faktor sosiodemografi yaitu:
1. Umur ibu
Umur ibu yang dikategorikan aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 23-35 tahun.
Kematian maternal pada wanita hamil dan bersalin pada usia dibawah 20 tahun dan setelah
usia 35 tahun meningkat, karena wanita yang memiliki umur kurang dari 20 tahun dan
lebih dari 35 tahun di anggap lebih rentan terhadap kejadian hipertensi pada kehamilan.
Selain itu ibu hamil yang berumur 35 tahun telah terjadi perubahan pada jaringan alat-
alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi sehingga lebih berisiko untuk terjadi
gangguan hipertensi seperti preeklamsi. Terdapat sebuah penelitian yang menemukan
bahwa prevalensi hipertensi kerena kehamilan meningkat tiga kali lipat pada ibu hamil
yang berumur < 20 tahun dan 35 tahun dibandingkan dengan wanita yang termasuk
kelompok kontrol yaitu ibu yang berumur 20-34 tahun (Van Dongen, 1977). Selain itu,
Hansen (1986) meninjau beberapa penelitian dan melaporkan peningkatan insiden (kasus
baru) hipertensi pada kehamilan sebesar 2-3 kali lipat pada nulipara yang berusia di atas 40
tahun bila dibandingkan dengan yang berusia 25 29 tahun. Di negara berkembang
diketahui sekitar 10-20% bayi dilahirkan dari ibu yang berumur < 20 tahun (Moerman,
2001). Dari hasil penelitian di beberapa negara berkembang, selain menyebabkan
hipertensi pada kehamilan, ditemukan wanita berumur 15 tahun mempunyai angka
kematian ibu 7 kali lebih besar dari wanita berusia 2024 tahun (Harisson, 1985).
2. Paritas
Sebanyak 85% kejadian hipertensi terjadi pada kehamilan pertama. Paritas 2-3
merupakan paritas paling aman ditinjau dari kejadian hipertensi dan risiko meningkat lagi
pada grandemultigravida hingga memicu kejadian preeklamsi (Cunningham, 2006). Hasil
sistematik review yang dilakukan pada beberapa penelitian menunjukkan dari seluruh
insiden hipertensi pada kehamilan di dunia, terdapat 12% dikarenakan oleh primigravida
(Pauline, 1993). Risiko hipertensi pada kehamilan primigravida lebih tinggi bila
dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda (Duffus, 1994).
Persalinan yang berulang-ulang akan mempunyai banyak risiko terhadap kehamilan, telah
terbukti bahwa persalinan kedua dan ketiga adalah persalinan yang paling aman. Menurut
penelitian yang dilakukan Sacks, et al. (2010) tercatat bahwa pada kehamilan pertama
risiko terjadinya hipertensi pada kehamilan hanya sebesar 3,9% , kehamilan kedua sebesar
1,7% , dan kehamilan ketiga sebesar 1,8%.
3. Pendapatan Keluarga
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wanita yang hidup dengan pendapatan
keluarga yang lebih maju jarang terjangkit penyakit gangguan hipertensi hingga kejadian
preeklampsi. Secara umum gangguan hipertensi dapat dicegah dengan asuhan prenatal
yang baik. Namun, pada kalangan wanita yang memiliki pendapatan keluarga tergolong
masih rendah dan pengetahuan yang kurang seperti di Indonesia insiden hipertensi pada
kehamilan masih sering terjadi. Menurut Sirait (2012), prevalensi kejadian hipertensi pada
ibu hamil dengan pendapatan keluarga rendah (13,4%) lebih besar dibandingkan dengan
pendapatan keluarga tinggi (12,0%). Kelompok masyarakat yang miskin sering
dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membiayai perawatan kesehatan sebagai
mana mestinya. Bahkan dikatakan orang miskin tidak percaya dan tidak mau menggunakan
fasilitas pelayanan medis walupun tersedia (Rozhikan, 2007). Pasien yang memiliki
pendapatan keluarga rendah dengan pemeriksaan antenatal yang kurang atau tidak sama
sekali merupakan faktor predisposisi terjadinya hipertensi pada kehamilan (Taber, 1994).

4. Tingkat pendidikan ibu rendah


Pendidikan adalah suatu kegiatan atau usaha untuk meningkatkan kepribadian,
sehingga proses perubahan perilaku menuju kepada kedewasaan dan penyempurnaan
kehidupan manusia (Notoadmojo, 2005). Semakin tinggi pendidikan yang didapatkan
seseorang, maka kedewasaannya semakin matang, mereka dengan mudah untuk menerima
dan memahami suatu informasi yang positif. Notoadmojo (2005) menyebutkan bahwa
wanita yang mempunyai pendidikan lebih tinggi cenderung lebih menperhatikan kesehatan
dirinya.
Pendidikan ibu hamil secara umum masih sangat rendah. Hasil Riskesdas (2007)
menunjukkan keadaan pendidikan perempuan pada umumnya di Indonesia masih rendah.
Jumlah kasus hipertensi pada ibu hamil yang berpendidikan rendah adalah 14,5%
sedangkan persentase ibu hamil yang tinggal di desa dan berpendidikan rendah sebanyak
56,1%. Dari sini tampak bahwa ibu hamil dengan hipertensi memiliki pengetahuan yang
kurang mengenai perawatan antenatal. Ibu hamil yang memiliki tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, umumnya lebih memiliki kemudahan untuk mengakses informasi dan lebih
mudah untuk menjangkau fasilitas kesehatan dibandingkan dengan ibu hamil dengan
tingkat pendidikan rendah. Sebuah penelitian lainnya menyebutkan bahwa sebanyak 49,7%
kasus hipertensi pada kehamilan mempunyai pendidikan kurang dari 12 tahun (Sofoewan,
2009).
5. Pelayanan Kesehatan/Antenatal Care (ANC)
Preeklapmsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan berkelanjutan dari
keadaan hipertensi pada kehamilan. Oleh karena itu, diperlukan antenatal care yang
bertujuan untuk mencegah perkembangan hipertensi pada kehamilan menjadi
preeklampsia, atau setidaknya dapat mendeteksi diagnosa dini sehingga dapat mengurangi
kejadian kesakitan (Cunningham, 2006). Jika calon ibu melakukan kunjungan setiap
minggu ke klinik prenatal selama 4-6 minggu terakhir kehamilannya, ada kesempatan
untuk melekukan tes proteinuria, mengukur tekanan darah, dan memeriksa tanda-tanda
oedema. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Rozhikan (2007), diketahui dari 70%
pasien primigravida yang menderita hipertensi pada kehamilan, 90% dari mereka tidak
melaksanakan antenatal care dan ditemukan bahwa pemeriksaan ANC kurang atau sama
dengan 3 kali berisiko 1,50 kali menyebabkan hipertensi pada kehamilan berkembang
menjadi pre-eklampsia. Selain itu hasil penelitian yang dilakukan oleh Salim (2005)
menyebutkan bahwa ibu yang pemeriksaan ANC tidak lengkap berisiko 3,615 kali
mengalami hipertensi pada kehamilan.
2.5 Faktor Nutrisi Penyebab Hipertensi pada Kehamilan
Menurut Institute of Medicine (2011), faktor nutrisi yang berperan memicu kejadian
hipertensi pada kehamilan adalah rendahnya asupan kalsium. Sebuah studi terbaru
menunjukkan bahwa mereka yang memiliki asupan kalsium yang rendah mungkin berisiko
untuk tekanan darah tinggi (Wang dalam American Heart Association, 2011). Ditemukan
bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi 400 mg kalsium per hari memiliki persentase 23%
lebih tinggi untuk mederita hipertensi daripada ibu hamil yang mengonsumsi 800 mg
kalsium atau lebih setiap hari.
Perkembangan janin membutuhkan keseimbangan kalsium ibu selama kehamilan
khususnya pada akhir umur kehamilan. Kurang lebih 200 mg/hari kalsium tersimpan dalam
tulang janin pada trimester III, dengan jumlah keseluruhan mencapai 30 gram (Pitkin,
1985; Hojo & August, 1997). Selama kehamilan kadar kalsium total dalam serum turun
akibat dari kadar albumin yang turun selama kehamilan, akan tetapi kadar kalsium yang
terionisasi tidak mengalami perubahan (Power et al., 1999). Rerata kadar kalsium total
darah pada wanita hamil akan menurun sesuai dengan bertambahnya umur kehamilan
yaitu: Trimester I 9,6 0,26 mg/dL; trimester II 9,12 0,28 mg/dL; dan pada trimester III
8,92 0,32 mg/dL (Pitkin, 1975).

Gambar 2.1 Kadar kalsium pada tiap-tiap umur kehamilan


Sumber: Arnaud, 1994
Terdapat teori yang menyatakan terdapat hubungan antara asupan kalsium dengan
kejadian hipertensi, melalui tahapan sebagai berikut (Gambar 2.2). Apabila wanita hamil
kekurangan asupan kalsium akan menyebabkan peningkatan hormon paratiroid (PTH).
Peningkatan hormon paratiroid ini akan menyebabkan kalsium intraseluler meningkat
melalui peningkatan permiabilitas membran sel terhadap kalsium, aktivasi adenilsiklase
dan peningkatan cAMP (cyclic adenosine monophosphate), akibatnya kalsium dari
mitokondria lepas ke dalam sitosol. Peningkatan kadar kalsium intraseluler otot polos
pembuluh darah akan menyebabkan mudah terangsang untuk vasokontriksi yang akhirnya
menyebabkan tekanan darah meningkat (Belizan, 1988).
Ca (diet) PTH Ca++ Muscular reactivity BP
(vascular smooth muscle)

Ca (diet) PTH Ca++ Muscular reactivity BP


Gambar 2.2 Tahapan hubungan antara asupan kalsium dengan kejadian hipertensi pada
kehamilan
Sumber : Belizan et al, 1988
Keterangan : Ca=Kalsium ; PTH = hormon paratiroid ; BP = tekanan darah
Defisiensi kasium berperan terhadap terjadinya tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Kadar kalsium yang rendah dalam darah akan merangsang hormon paratiroid dan
mengakibatkan kadar ion kalsium intrasel meningkat. Hal tersebut menyebabkan sel otot
polos pembuluh darah bekerja lebih aktif (vasokonstriksi), sehingga resistensi perifer
pembuluh darah meningkat dan akan meningkatkan tekanan darah (Belizan, 2008). Studi
menunjukkan bahwa pola makan yang cukup kalsium termasuk sayur dan buah-buahan
lebih efektif dan aman dibandingkan obat-obatan dalam menurunkan tekanan darah.
Suplemen atau bahan makanan yang mengandung kalsium dapat menurunkan tekanan
darah tinggi dengan mengekskresi natrium yang meningkat. Dengan kata lain, kalsium
akan bekerja seperti obat diuretik alami, membantu ginjal mengeluarkan natrium dan air
sehingga tekanan darah menurun (Braverman, 1996 dan Wirakusumah, 2001).
Dalam penyerapan kalsium dibutuhkan vitamin D dan magnesium. Tanpa vitamin
D, daya serap tubuh terhadap kalsium yang dikonsumsi hanya 10% -15% saja (Fiedler,
2012). Masyarakat Indonesia diketahui memiliki kadar vitamin D hasil sintesis sinar
matahari yang rendah (Sofoewan, 2009). Rendahnya kadar vitamin D disebabkan oleh
kurangnya pajanan sinar matahari dan/atau diet kurang baik. Selain itu, di Indonesia,
kebiasaan berpakaian, warna kulit, penghindaran sinar matahari karena cuaca yang panas
dan polusi yang berat dapat mempengaruhi jumlah sinar ultraviolet (UV) yang mencapai
permukaan kulit (Brown, 2002; Lenora, 2007).
2.6 Patofisiologi Hipertensi pada kehamilan
Selama kehamilan normal terdapat perubahan-perubahan dalam sistem
kardiovaskuler, renal dan endokrin. Perubahan ini akan berbeda dengan respons patologi
yang timbul pada hipertensi pada kehamilan (Elkayam, 2002; Sibai, 1996). Pada kehamilan
trimester kedua akan terjadi perubahan tekanan darah, yaitu penurunan tekanan sistolik
rata-rata 5 mmHg dan tekanan darah diastolik 10 mmHg, yang selanjutnya meningkat
kembali dan mencapai tekanan darah normal pada usia kehamilan trimester ketiga
(Elkayam, 2002; Kaplan, 2002; William et al, 2000). Selama persalinan tekanan darah
meningkat, hal ini terjadi karena respon terhadap rasa sakit dan karena meningkatnya
beban awal akibat ekspulsi darah pada kontraksi uterus.
Tekanan darah juga meningkat 4-5 hari post partum dengan peningkatan rata-rata
adalah sistolik 6 mmHg dan diastolik 4 mmHg (Elkayam, 2002; William et al, 2000). Pada
keadaan istirahat curah jantung meningkat 40% dalam kehamilan. Perubahan tersebut
mulai terjadi pada kehamilan 8 minggu dan mencapai puncak pada usia kehamilan 20-30
minggu (Elkayam, 2002; Kaplan, 2002; William et al, 2000). Sedangkan,
tahanan perifer menurun pada usia kehamilan trimester pertama. Keadaan ini
menyebabkan volume darah yang beredar juga meningkat 40%, peningkatan ini melebihi
jumlah sel darah merah, sehingga hemoglobin dan viskositas darah menurun.
Pada ibu hamil tertentu akan terjadi keadaan dimana terdapat peningkatan aktifitas
sistem reninangiotensin aldosteron dan juga sistem saraf simpatis. Meningkatkatnya
aktifitas sistem renin-angiotensin aldosterone dapat terjadi akibat empat teori yaitu teori
kegagalan invasi tropoblast, teori iskemik plasenta, teori maladaptasi immunologi, dan
teori adaptasi kardiovaskular (Kaplan, 2002; William et al, 2000). Peningkatan aktifitas
sistem reninangiotensin aldosteron dan juga sistem saraf simpatis akan merangsang
terjadinya vasokontriksi (penyempitan) pembuluh darah sehingga menyebabkan terjadinya
tekanan tinggi pada otot polos pembuluh darah. Hal tersebut akan memicu terjadinya
hipertensi pada kehamilan (William et al, 2000; Sedyawan, 1996).
2.7 Pencegahan Hipertensi pada Kehamilan
Pencegahan disini bermaksud untuk mencegah terjadinya hipertensi pada wanita
hamil yang mempunyai risiko terjadinya preeklamsi. Pencegahan dapat dilakukan dengan
(POGI, 2010):
1. Pencegahan dengan medikal berupa suplementasi diet
a. Minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh, misalnya omega-3,
PFA
b. Antioksidan : vitamin C, vitamin E, eta-carotene, CoQ10, N-Acetylcysteine,
asam lipoik.
c. Elemen logam berat : seng, magnesium, kalsium.
2. Pencegahan dengan non medical
Pengaturan pola makan dengan pendekatan Dietary Approach to Stop
Hypertension (DASH) dengan meningkatkan konsumsi makanan seperti sayur
dan buah-buahan yang tinggi kandungan mineral seperti kalium, kalsium dan
magnesium serta tinggi asupan serat dan protein serta membatasi asupan
natrium.
2.8 Metode Semi Quantitative Food Frequency Questionaire (SQ-FFQ)
Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi
sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu. Metode frekuensi
makanan sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi karena dapat memperoleh
gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, dan dapat membedakan
individu berdasarkan rangking tingkat konsumsi zat gizi. Terdapat pula modifikasi dari
metode food frequency yatu Semi Quantitative Food Frequency Questionaire (SQ-FFQ).
SQ-FFQ berguna untuk mengetahui perhitungan konsumsi makanan baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Selain itu, SQ-FFQ juga dapat mengetahui kebiasaan asupan nutrisi
dari responden yang akan ditanyakan (Grootenhuis et al., 2004). Pada SQ-FFQ skor zat
gizi yang terdapat disetiap subyek dihitung dengan cara mengalikan frekuensi setiap jenis
makanan yang dikonsumsi yang diperoleh dari data komposisi makanan yang tepat. SQ-
FFQ ini memberikan gambaran ukuran porsi yang dimakan seseorang dan frekuensi makan
dalam waktu tahun, bulan, minggu dan hari makanan yang dimakan oleh responden, serta
memberikan gambaran ukuran yang dimakan oleh responden dalam bentuk besar, sedang,
dan kecil yang nantinya jenis dan berat dari makanan itu datanya akan dimasukkan ke
dalam komputer dengan mengalikan nutrisi yang terkandung dalam makanan tersebut
(Syukriawati, 2011). Kelebihan penggunaan SQ-FFQ yaitu keefektifan biaya lebih baik,
mengurangi terjadinya eror dalam pengolahan data, dan tidak terlalu menyusahkan
responden, karena asupan makanan yang ditanyakan oleh peneliti hanya dengan satuan
besar, sedang, dan kecil saja (Rankin et al., 2010).

Anda mungkin juga menyukai