Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Paritas merupakan suatu istilah untuk menunjukkan jumlah kehamilan bagi

seorang wanita yang melahirkan bayi yang dapat hidup pada setiap kehamilan.

Prevalensi grande-multiparitas masih tergolong tinggi di negara berkembang

sedangkan di negara maju grande-multiparitas jarang ditemukan (Mgaya et al, 2013).

Angka paritas di Indonesia masih tergolong cukup tinggi. Paritas merupakan

salah satu faktor resiko terjadinya perdarahan postpartum. Resiko terjadi perdarahan

post partum akan menjadi empat kali lebih besar pada paritas lebih dari atau sama

dengan empat dimana insidennya adalah 2,7% (Niswati et al, 2012).

Alsammani dan Ahmed (2015) menggambarkan bahwa populasi ibu bersalin

dengan primiparitas dan multiparitas lebih banyak dibandingkan dengan populasi

ibu bersalin dengan grande-multiparitas di Maternity and Children Hospital (MCH),

Buraidah, Arab Saudi periode 1 Januari 2012 sampai 31 Desember 2012 (Ika, 2016).

Penelitian di Point G National Hospital, Bamako, Mali yang meneliti tentang

resiko grande-multipara dalam kehamilan tahun 1985 sampai 2003 menggambarkan

bahwa populasi ibu bersalin yang tergolong primiparitas dan multiparitas lebih

banyak dibanding populasi ibu bersalin yang tergolong grande-multiparitas dengan

perbandingan tiga banding satu (Ika, 2016).

Angka Paritas yang tinggi dilaporkan menjadi faktor risiko bagi ibu dan

perinatal. Faktor ini Bisa menjadi predisposisi ibu terhadap anemia, diabetes mellitus

(DM), hipertensi, malpresentation, abruptio placentae, Plasenta previa, perdarahan

post partum karena rahim Atoni, dan ruptur uterus.

1
Grande Multipara, dalam literatur yang lebih tua didefinisikan sebagai paritas

yang lebih dari 7. Definisi grande multipara telah berubah dalam beberapa literatur

yang lebih baru disampaikan bahwa paritas 5 kali atau diatas 4 kali. Dengan

meningkatnya keterampilan dan antenatal care grande multipara tidak lagi dianggap

sebagai faktor risiko untuk hasil ibu yang buruk. Namun sebagian besar laporan di

negara-negara berkembang masih menganggapnya sebagai indikator prognostik

untuk hasil ibu yang buruk (Rita, 2015)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uterus

2.1.1 Anatomi Uterus

Uterus berbentuk seperti buah advokat atau buah peer yang sedikit gepeng

kearah depan belakang, ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga.

Dindingnya terdiri atas otot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7 7,5 cm,

lebar di atas 5, 25 cm, tebal 2,5 cm dan tebal dinding uterus adalah 1,25 cm. Letak

uterus dalam keaadan fisiologis adalah anteversiofleksio (serviks depan dan

membentuk sudut dengan vagina, sedangkan korpus uteri kedepan dan membentuk

sudut dengan serviks uteri).

Uterus terdiri atas :

a. Fundus uteri, adalah bagain uterus proksimal di atas muara tuba uterina

yang mirip dengan kubah, di bagian ini tuba Fallopi masuk ke uterus. Fundus

uteri ini biasanya diperlukan untuk mengetahui tuanya kehamilan dengan

melakukan palpasi pada fundus uteri

b. Korpus uteri, adalah bagian uterus terbesar. Korpus uteri menyempit di

bagian inferior dekat ostium internum dan berlanjut sebagai serviks. Pada

kehamilan, bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai tempat janain

berkembang. Rongga yang terdapat di korpus uteri disebut kavum uteri

(rongga rahim).

c. Serviks uteri, serviks menonjol ke dalam vagina melalui dinding

anteriornya, dan bermuara ke dalamnya berupa ostium eksternum. Serviks

uteri terdiri dari:

Pars vaginalis servisis uteri yang dinamakan porsio

3
Pars supravaginalis servisis uteri yaitu bagian serviks yang berada di atas

vagina

Uterus sebenarnya terapung didalam rongga pelvis dengan jaringan ikat dan

ligamen yang menyokongnya, sehingga terfiksasi dengan baik. Ligamenta yang

memfiksasi uterus adalah (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014):

1. Ligamentum kardinale sinistra et dekstra (Mackenrodt) yakni ligamentum

yang terpenting, mencegah supaya uterus tidak turun, terdiri atas jaringan ikat

tebal yang berjalan dari serviks dan puncak vagina kearah lateral dinding

pelvis. Didalamnya ditemukan banyak pembuluh darah, yaitu vena dan arteri

uterina

2. Ligamentum sakro- uterinum sinistra et dekstra, yakni ligamentum yang

menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan dari serviks bagian

belakang, kiri dan kanan, kearah os sacrum kiri dan kanan.

3. Ligamentum rotundum sinistra et dekstra, yakni ligamentum yang

menahan uterus dalam antefleksi. Berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan

kanan, ke daerah inguinal kiri dan kanan. Pada kehamilan kadang-kadang

terasa sakit di daerah inguinal pada waktu berdiri cepat karena uterus

berkontraksi kuat dan ligamentum rotundum menjadi kencang serta

mengadakan tarikan pada daerah inguinal. Pada persalinan pun teraba kencang

dan terasa sakit bila dipegang.

4. Ligamentum latum sinistra et dekstra, yakni ligamentum yang meliputi

tuba, berjalan dari uterus kearah lateral, tidak banyak mengandung jaringan

ikat. Sebenarnya ligamentum ini adalah bagian dari peritoneum viserale yang

meliputi uterus dan kedua tuba dan berbentuk sebagai lipatan. Di bagian

dorsal, ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium sinistrum et

4
dekstrum). Untuk memfiksasi uterus, ligamentum latum ini tidak banyak

artinya.

5. Ligamentum infundibulo-pelvikum sinistra et dekstra, yakni ligamentum

yang menahan tuba Falloppii berjalan dari arah infundibulum ke dinding

pelvis. Di dalamnya ditemukan saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena

ovarica.

Ismus adalah bagian uterus antara servik dan korpus uteri, diliputi oleh

peritoneum viserale yang mudah digeser dari dasarnya atau gerakan di daerah

plika vesikouterina. Di tempat yang longgar inilah dinding uterus dibuka jika

melakukan seksio sesarea transperitonealis profunda. Dinding belakang uterus

seluruhnya diliputi oleh peritoneum viserale yang di bagian bawah membentuk

suatu kantong yang disebut kavum douglasi.

Uterus diberi darah oleh arteri uterine kiri dan kanan yang terdiri atas ramus

asenden dan ramus desenden. Pembuluh darah ini berasal dari arteri iliaka interna

(disebut juga dengan arteri hipogastrika) yang melalui dasar ligamentum latum

masuk ke dalam uterus didaerah cervics kira kira 1,5 cm diatas forniks lateralis

vagina. Pembuluh darah lain yang memperdarai adalah arteri ovarika kiri dan

kanan. Arteri ini berjalan dari dinding lateral pelvis, melalui dinding ligamentum

infundibulo-pelvicum mengikuti tuba falopi, beranastomose dengan ramus asenden

arteri uterine disebelah lateral, kanan dan kiri uterus. Bersama sama dengan arteri

tersebut diatas terdapat vena-vena yang kembali melalui pleksus vena ke vena

hipogastrika (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

Inervasi uterus terutama terdiri atas sistem saraf simpatik dan untuk sebagian

terdiri atas sistem parasimpatik dan serebrospinal. Sistem parasimpatik berada

dalam panggul sebelah kiri dan kanan os sacrum, berasal dari saraf sakral 2,3 dan 4

5
yang selanjutnya memasuki pleksus Frankenhauser. Sistem simpatik masuk ke

rongga panggul sebagai pleksus hipogastrikus melalui melalui bifurcatio aorta dan

promontorium terus ke bawah menuju ke pleksus Frankenhauser. Pleksus ini terdiri

atas ganglion-ganglion berukuran besar dan kecil yang terletak terutama pada dasar

ligamentum sakrouterina. Serabut-serabut saraf tersebut di atas memberi inervasi

pada miometrium dan endometrium. Kedua sistem simpatik dan parasimpatik

mengandung unsur motorik dan sensorik yang bekerja secara antagonis. Saraf

simpatik menimbulkan kontraksi dan vasokonstriksi, sedangkan parasimpatik

sebaliknya menimbulkan vasodilatasi dan mencegah kontraksi (Ilmu Kebidanan

Sarwono, 2014).

Saraf yang berasal dari torakal 11 dan torakal 12 mengandung saraf sensorik

dari uterus dan meneruskan perasaan sakit dari uterus dari uterus ke pusat

(cerebrum). Saraf sensorik dari serviks dan bagian atas vagina melalui saraf sakral

2,3, dan 4, sedangkan yang berasal dari bagian bawah vagina melalui nervus

pudendus dan nervus ileoinguinalis.

2.1.2 Fisiologi Uterus

Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi harus ada kerjasama antara

korteks serebri, hipotalamus, hipofisis, ovarium, glandula tiroidea, glandula

suprarenalis dan kelenjar endokrin lainnya. Yang memegang peranan penting

dalam proses tersebut adalah hubungan hipotalamus, hipofisis dan ovarium.

Hipotalamus menghasilkan factor yang telah dapat diisolasi dan disebut

Gonadotropin Relaksing Hormon (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan

Lutenizing Hormon (LH) dan Follicle Strimulating Hormon (FSH) dari hipofisis.

6
Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua

fase dan 1 saat, yaitu fase folikular, saat ovulasi dan fase luteal. Perubahan kadar

hormone sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik

(feedback) antara hormone steroid dan horman gonatropin. Estrogen menyebabkan

umpan balik negative terhadap FSH, sedangkan terhadap LH estrogen

menyebabkan umpan balik negative jika kadarnya rendah dan umpan balik positif

jika kadarnya tinggi (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular ini, beberapa folikel

berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat. Peningkatan FSH ini disebabkan

oleh agregasi korpus luteum, sehingga hormone steroid berkuran. Dengan

berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat, dan inilah menekan produksi

FSH; folikel yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia,

sedangkan folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH meningkat, namun

penurunan pada tingkat ini hanya membantu pembuatan estrogendalam folikel

(Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen dalam plasma

meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur angsur, kemudian

dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif terhadap

pusat siklik dan dengan lonjakan LH pada pertengan siklus, mengakibatkan

terjadinya ovulasi. LH meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan menurun pada

fase luteal. Dalam beberapa jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan

mungkin inilah yang menyebabkan LH menurun (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel sel granulusa membesar, membentuk

vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein); menjadi korpus luteum. Luteinzed

theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormone itu

7
meningkat pada fase luteal. Mulai 10-12 hari setelah ovulasi korpus luteum

mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler

dan diikuti oleh penurunan sekresi progesterone dan estrogen (Ilmu Kebidanan

Sarwono, 2014).

2.1.3 Inisiasi persalinan

Sejumlah besar bukti menyatakan bahwa, pada sebagian besar hewan

vivipara, janin lah yang mengatur kapan persalinan akan terjadi. kemungkinan

kondisi persalinan dicapi melalui aktivitas aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal

HHA janin sebelum dimulainya proses persalinan dan kondisi semacam ini

sering dijumpai disemua spesies Suatu kaskade persalinan (Errol, 2016).

Plasenta manusia merupakan suatu organ steroidogenik inkomplet dan

produksi esterogen plasenta membutuhkan obligat androgen. Kelebihan

androgen dipasok oleh janin dalam bentuk DHEAS

(dehidroepiandrostenedione sulfat).

Aktivasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal janin saat aterm

menyebabkan pelepasan DHEAS secara berlebihan dan zona intermediate

(janin) dari adrenal janin. DHEAS mengalami 16-hidroksilasi di dalam hepar

janin dan kemudian melewati sirkulasi janin ke plasenta yang kemudian

diubah hampir secara ekslusif menjadi estriol (16-hidroksiestradiol 17 beta).

Kehamilan manusia ditandai dengan keadaan hiperestrogenik. Plasenta

merupakan sumber estrogen primer. kadar estrogen dalam sirkulasi ibu

meningkat dengan semakin bertambahnya usia kehamilan. Estron plasenta dan

estradiol 17 beta terutama berasal dari androgen C19 ibu (testosteron dan

androstenedione) sementara estriol hampir secara eksklusif berasal dari

8
DHEAS janin. Estrogen tidak menyebabkan kontraksi uterus namun

mendorong serangkaian perubahan pada miometrium (mencakup peningkatan

jumlah reseptor prostaglandin, reseptor oksitosin dan gap junction ) yang

meningkatkan kapasitas miometrium untuk menghasilkan kontraksi uterus

(Errol, 2016).

Selain DHEAS, kelenjar adrenal janin menghasilkan kortisol yang

berperan dalam DHEAS menyiapkan sistem organ janin untuk kehidupan

diluar uterus DHEAS mendorong ekspresi sejumlah produk plasenta termasuk

corticotropin releasing hormon (CRH). oksitosin dan prostaglandin (terutama

prostaglandin E2 PGE2) CRH plasenta menginisiasi loop umpan balik

positif dengan merangsang HHA janin untuk memproduksi DHEAS dan

kortisol yang semakin banyak, yang selanjutnya melakukan up regulation

ekspresi CRH plasenta (efek stimulai kortisol terhadap CRH plasenta harus di

kontras kan dengan inhibisi umpan balik kortisol pada CRH ibu) Oksitosin

plasenta beraksi secara langsung pada miometrium sehingga menyebabkan

kontraksi dan secara tidak langsung melalukan up regulation terhadap

produksi prostaglandin (terutama prostaglandin PGF2 alpha oleh desidua.

PGF2 alpha terutama dihasilkan oleh desidua dan bekerja pada miometrium

untuk melalukan pengaturan atas reseptor oksitosin dan gap junction

sehingga mendorong terjadinya kontraksi uterus. PGE2 terutama berasal dari

plasenta janin dan mungkin paling penting dalam mendorong maturasi serviks

serta pecahnya ketuban secara spontan (Errol, 2016).

9
2.2 Grande Multipara

2.2.1 Definisi

Grande multipara merupakan suatu keadaan dimana seorang ibu telah

melahirkan bayi lebih dari lima kali, dimana bayi yang dilahirkannya dapat

hidup dengan usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan berat badan bayi lebih

dari 1000 gram. Bagi ibu yang sudah melahirkan lebih dari sepuluh kali

dengan bayi yang dapat hidup (viable) digolongkan pada grande multiparity

atau great multiparity ( Tri, 2013)

Grande multipara merupakan salah satu risiko tinggi kehamilan..

Angka kejadian grande multipara mengalami penurunan karena meningkatnya

kesadaran norma keluarga kecil. Sebagian besar ibu grande multipara dari

keluarga miskin, pekerja keras, kelelahan dan kurang makanan. Mereka

biasanya mengalami anemia, kekurangan vitamin dan protein serta

kekurangan kalsium yang sangat cepat disebabkan proses kehamilan dan

laktasi ( Tri, 2013).

Di Indonesia, faktor yang mempengaruhi tingginya angka kematian ibu

antara lain adalah grande multipara. Risiko kematian ibu hamil dari golongan

ini adalah delapan kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang hamil kurang dari

lima kali. Hal ini disebabkan banyaknya komplikasi yang dapat dijumpai pada

grande multipara, baik pada kehamilan, persalinan maupun setelah melahirkan

(masa nifas) sehingga ibu dengan riwayat persalinan lebih dari lima kali atau

telah memiliki lebih dari lima orang anak digolongkan dalam kehamilan risiko

tinggi, mengingat tingginya angka kematian ibu hamil (Manubala, 2001)

10
Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan grande multipara juga

digolongkan dengan risiko tinggi. Komplikasi yang dapat terjadi pada

kehamilan juga pada persalinan pada ibu grande multipara dengan sendirinya

juga berpengaruh pada bayi yang akan dilahirkan. Komplikasi yang dapat

timbul seperti kelainan letak, karena dinding rahim atau perut ibu yang telah

longgar, kelainan letak plasenta (plasenta previa) karena dinding rahim

tempat perlekatan plasenta yang normal (di daerah fundus dan corpus rahim)

sudah pernah dilekati plasenta pada kehamilan sebelumnya sehingga pada

kehamilan yang lebih dari lima kali, plasenta melekat di bagian bawah rahim.

Komplikasi-komplikasi lain yang menyebabkan bayi tidak dapat lahir melalui

jalan lahir normal (pervaginam) dapat menyebabkan bayi harus dilahirkan

berisiko tinggi sehingga jalan yang harus ditempuh untuk dapat melahirkan

bayi tersebut adalah melalui pembukaan dinding perut (seksio sesarea). Hal

ini untuk menghindari bahaya yang dapat terjadi jika tidak dilahirkan secara

seksio sesarea, misalnya gawat janin yang dapat berakhir dengan kematian.

(Manubala, 2001).

Sebagian besar ibu dengan grande multipara adalah dari golongan

sosial ekomoni yang rendah. Adanya kepercayaan dan budaya masyarakat dan

tingkat pendidikan yang masih rendah juga berpengaruh. Keluarga dengan

enam anak atau lebih tentulah akan mendapat kesulitan dalam hal kehidupan

sosial ekonomi, pedidikan anak-anak, kesehatan dan lain sebagainya. Setiap

pertambahan anggota keluarga tentulah konsekuensinya menambah

permintaan kebutuhan hidup, dengan sendirinya akan berpengaruh pada

tingkat pendidikan dan kesehatan dari anak, sehingga anak akan rentan

11
terhadap penyakit akibat gizi yang buruk, akan banyak terdapat anak terlantar

akibat pendidikan yang buruk.

Ibu yang telah melahirkan lebih dari lima kali anak yang dapat hidup

sebaiknya mengikuti program keluarga berencana (KB) untuk menghindari

komplikasi yang mungkin akan timbul akibat kehamilannya baik bagi ibu,

maupun anak yang dilahirkannya.

Komplikasi yang dapat dialami oleh grade multipara dalam kehamilan

terutama antepartum adalah anemia (terutama bila jarak kehamilan kurang dari

1 tahun), obesitas, hipertensi dan plasenta previa. Komplikasi intrapartum dan

pascapartum adalah presentasi abnormal, persalinan dan perlahiran yang

dipercepat atau keduanya, distosia persalinan karena tonus otot yang buruk,

bayi besar pada masa kehamilan dan perdarahan pasca partum (Morgan et all

2009)

2.4. DISTOSIA

2.4.1. Definisi

Persalinan disfungsional (distosia akibat kelainan tenaga) merupakan

masalah persalinan dan merupakan salah satu indikasi dilakukannya intervensi

selama persalinan dengan tingkat kekerapan kejadian sebesar 4-40%.

Persalinan disfungsional dapat disebabkan oleh anemia dalam kehamilan.

Kekuatan kontraksi uterus atau his ibu hamil dengan anemia kurang dari

normal, lemah dan dalam durasi yang pendek sehingga tidak cukup kuat untuk

melahirkan janin dan ibu hamil akan cepat lelah, akibatnya persalinan dapat

mengalami perlambatan atau terhenti.Semakin berat anemia, semakin berat

manifestasi klinis yang muncul (Mega, 2015)

12
Persalinan disfungsional atau yang lebih dikenal dengan distosia

karena kelainan tenaga, merupakan masalah persalinan dunia dan merupakan

salah satu indikasi dilakukannya instervensi selama persalinan dengan tingkat

kekerapan kejadian sebesar 4-40%. Setengah juta kematian ibu yang

diperkirakan terjadi setiap tahunnya, sebanyak 99% terjadi di negara

berkembang. Persalinan yang sulit atau macet dan berlangsung lama termasuk

salah satu dari lima penyebab utama kematian ibu di negara berkembang,

walaupun terdapat variasi antara suatu negara dengan negara lainnya.

Persalinan yang lama dapat menyebabkan kesulitan melahirkan janin,

dehidrasi ibu, perdarahan postpartum, asfiksia janin, infeksi neonatal serta

kematian. Dapat dipastikan bahwa distosia dan efek yang menyertainya

berkontribusi dalam jumlah kematian ibu dan janin di seluruh dunia.

Distosia didefinisikan sebagai persalinan abnormal akibat kelainan

pada power (kontraksi uterus), passenger (posisi, ukuran dan presentasi janin)

dan passage (pelvis). Distosia akibat kelainan tenaga terdiri atas dua tipe pola

kontraksi yag berbeda yaitu hypertonic dan hypotonic. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Knapp dan Warenski pada tahun 1963 pada 71 orang ibu hamil

dengan persalinan disfungsional, 70 orang diantaranya adalah tipe hypotonic

(Mega, 2015).

Hypotonic uterine inertia atau inersia uteri hipotonik menyebabkan

proses persalinan terhenti dan janin terlantar akibat adanya kelainan his pada

rahim ibu, berupa kekuatan yang tidak adekuat untuk melakukan pembukaan

mulut rahim atau mendorong janin keluar. Salah satu penyebab kelainan his

adalah anemia yang terjadi selama kehamilan (Mega, 2015).

13
2.4.2. Etiologi

Kelainan His terutama ditemukan pada primigravida, khususnya

primigravida tua. Pada multipara lebih banyak ditemukan kelainan yang bersifat

inersia uteri. Faktor herediter mungkin memegang peranan pula dalam kelainan

his. Sampai seberapa jauh faktor emosi (ketakutan dan lain-lain) mempengaruhi

kelainan his, khususnya inersia uteri, ialah apabila bagian bawah janin tidak

berhubungan rapat dengan segmen bawah uterus seperti pada kelainan letak

janin atau pada disproporsi sefalopelvik. Peregangan rahim yang berlebihan pada

kehamilan ganda ataupun hidramnion juga dapat merupakan penyebab inersia

uteri yang murni. Akhirnya, gangguan dalam pembentukan uterus pada masa

embrional, misalnya uterus bikornu unikolis, dapat pula mengakibatkan kelainan

his. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus kurang lebih separuhnya, penyebab

inersia uteri tidak diketahui (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

2.4.2 Patofisiologi

Persalinan lama, disebut juga distosia, didefinisikan sebagai persalinan

yang abnormal/sulit. Sebab-sebabnya dapat dibagi dalam 3 golongan berikut ini.

a. Kelainan tenaga (kelainan His), His yang tidak normal dalam kekuatan atau

sifatnya menyebabkan kerintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat

pada setiap persalinan, tidak dapat diatasi sehingga persalinan mengalami

hambatan atau kemacetan.

b. Kelainan janin, persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan karena

kelainan dalam letak atau dalam bentuk janin.

c. Kelainan jalan lahir, kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa

menghalangi kemajuan persalinan atau menyebabkan kemacetan.

14
2.4.3. Jenis-jenis kelainan his

a. Inersia uteri

Disini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi lebih

kuat dan lebih dahulu daripada bagian-bagian lain, peranan fundus tetap

menonjol. Kelainannya terletak dalam hal kontraksi uterus lebih aman ,

singkat dan jarang daripada biasa. Keadaan umum penderita biasanya baik dan

rasa nyeri tidak seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya tidak

berbahaya baik bagi ibu maupun janin, kecuali persalinan berlangsung terlalu

lama; dalam hal terakhir ini morbiditas ibu dan mortalitas janin baik. Keadaan

Ini dinamakan inersia uteri primer atau hypotonis uterine contraction. Kalau

Timbul setelah berlangsung his kuat untuk waktu yang lama, dan hal itu

dinamakan inersia uteri sekunder. Karena dewasa ini persalinan tidak

dibiarkan berlangsung demikian lama sehingga dapat menimbulkan kelelahan

uterus, maka inersia uteri sekunder seperti yang digambarkan dibawah jarang

ditemukan, kecuali pada ibu yang tidak diberi pengawasan baik waktu

persalinan. Dalam menghadapi inersia uteri, harus diadakan penilain yang

saksama untuk menetukan sikap yang harus diambil. Jangan dilakukan

tindakan yang tergesa-gesa untuk mempercepat lahirnya janin. Tidak dapat

diberikan waktu yang pasti yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk

membuat diagnosis inersia uteri atau untuk memulai terapi aktif (Ilmu

Kebidanan Sarwono, 2014).

Diagnosis inersia uteri paling sulit ditegakkan pada masa laten.

Kontraksi uterus yang disertai dengan rasa nyeri, tidak cukup untuk menjadi

dasar utama diagnosis bahwa persalinan sudah dimulai. Untuk sampai pada

15
kesimpulan ini diperlukan kenyataan bahwa sebagai akibat kontraksi itu

terjadi perubahan pada serviks yakni pendataran dan/atau pembukaan.

Kesalahan yang sering dibuat adalah mengobati seorang penderita untuk

inersia uteri padahal perslainan belum mulai (false labour).

b. His terlampau kuat

His terlampau kuat atau disebut juga hypertonic uterine contraction.

Walaupun pada golongan coordinated hypertonic uterine contraction bukan

merupakan penyebab distosia. His yang terlalu kuat dan terlalu efisien

menyebabkan persalinan selesai dalam waktu yang sangat singkat. Partus yang

sudah selesai kurang dari 3 jam dinamakan partus presipitatus yang ditandai

oleh sifat his yang normal, tonus otot diluar his juga biasa kelainannya terletak

pada kekuatan his. Bahaya partus presipitatus bagi ibu ialah terjadi perlukaan

luas pada jalan lahir, khususnya vagina dan perineum. Bayi bisa mengalami

perdarahan dalam tengkorak karena bagian tersebut mengalami tekanan kuat

dalam waktu yang singkat (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

Batas antara bagian atas dan segmen bawah rahim atau lingkaran

retraksi menjadi sangat jelas dan meninggi. Dalam keadaan demikian

lingkaran ini dinamakan lingkaran retraksi patologik atau lingkaran bandl.

Ligamenta rotunda menjadi tegang serta lebih jelas teraba, penderita merasa

nyeri terus-menerus dan menjadi gelisah. Akhirnya, apabila tidak diberi

pertolongan, regangan segmen bawah uterus melampaui kekuatan jaringan

sehingga dapat menyebabkan terjadinya ruptura uteri.

16
c. Incoordinate uterine action

Di sini sifat his berubah. Tonus otot terus meningkat, juga diluar his,

dan kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronisasi

kontraksi bagian-bagiannya. Tidak adanya koordinasi antara kontraksi bagian

atas, tengah, dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan

pembukaan (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

Disamping itu. Tonus otot yang terus menaik menyebabkan rasa nyeri

yang lebih keras dan lama lagi bagi ibu dapat pula menyebabkan hipoksia

pada janin. His jenis ini juga disebut sebagai hypertonic uterine contraction.

Kadang-kadang pada persalinan lama dengan ketuban yang sudah lama pecah,

kelainan his ini menyebabkan spasmu sirkuler setempat, sehingga terjadi

penyempitan kavum uteri pada tempat itu. Ini dinamakan lingkaran kontraksi

atau lingkaran kontriksi. Secara teoritis lingkaran ini dapat terjadi dimana-

mana, tetapi biasanya ditemukan pada batas bagian atas dengan segmen bawah

uterus. Lingkaran konstriksi ini tidak dapat diketahui dengan pemeriksaan

dalam, kecuali kalau pembukaan sudah lengkap, sehingga tangan dapat

dimasukkan dalam kavum uteri. Oleh sebab itu, jika pembukaan belum

lengkap, biasanya tidak mungkin mengenal kelainan ini dengan pasti. Ada

kalanya persalinan tidak maju karena kelainan pada serviks yang dinamakan

distosia servikalis. Kelainan ini bisa primer atau sekunder. Distosia servikalis

dinamakan primer kalau serviks tidak membuka karena tidak mengadakan

relaksasi berhubung dengan incoordinate uterine action. Penderita biasanya

seorang primigravida. Kala I menjadi lama , dan dapat diraba jelas pinggir

serviks yang kaku. Kalau keadaan ini dibiarkan, maka tekanan kepala terus-

menerus dapat menyebabkan nekrosis jaringan serviks dan dapat

17
mengakibatkan lepasnya bagian tengah serviks secara sirkuler. Distosia

servikalis sekunder disebakan oleh kelainan organik pada serviks, misalnya

karena jaringan parut atau karena karsinoma. Dengan his kuat serviks bisa

robek dan robekan ini dapat menjalar kebagian bawah uterus. Oleh karena itu,

setiap ibu yang pernah operasi pada serviks, selalu harus diawasi

persalinannya dirumah sakit.

2.4.3 Penatalaksanaan

a. Inersia uteri

Dahulu sering diajarkan bahwa menunggu adalah sikap yang terbaik

dalam menghadapi inersia uteri selama ketuban masih utuh. Pendapat ini

dianut karena bahaya besar yang menyertai tindakan pembedahan pada waktu

itu. Sekarang kebenaran sikap menunggu itu ada batasnya, karena didasari

bahwa menunggu terlalu lama dapat menambah bahaya kematian janin dan

karena resiko tindakan pembedahan kini sudah lebih kecil dari dahulu (Ilmu

Kebidanan Sarwono, 2014).

Setelah diagnosis inersia uteri diterapkan, harus diperiksa keadaan

serviks, presentasi serta posisi janin, turunnya kepala janin dalam panggul, dan

keadaan panggul. Kemudian harus disusun rencana menghadapi pesalinan

yang lamban ini. Apabila ada disproporsi sefalopelvik yang berarti, sebaiknya

diambil keputusan untuk melakukan seksio sesarea. Apabila tidak ada

disproporsi atau ada disproporsi ringan dapat diambil sikap rektum

dikosongkan. Apabila kepala atau bokong janin sudah masuk kedalam

panggul, penderita disuruh berjalan-jalan. Tindakan sederhana ini kadang-

kadang menyebabkan his menjadi kuat dan selanjutnya persalinan menjadi

18
lancar. Pada waktu pemeriksaan dalam ketuban boleh dipecahkan. Namun

tindakan tersebut dapat dibenarkan dapat merangsang his sehingga

mempercepat jalannya persalinan. Kalau diobati dengan oksitosin, 5 satuan

oksitosin dimasukkan dalam larutan glukosa 5% dan diberikan secara dan

diberikan secara infus intravena dengan kecepatan kira-kira 12 tetes per menit

dan perlahan dapat dinaikkan sampai 50 tetes, bergantung pada hasilnya.

Kalau 50 tetes tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka tidak banyak

gunanya memberi oksitosin dalam dosis yang lebih tinggi (Ilmu Kebidanan

Sarwono, 2014).

Maksud pemberian oksitosin ialah memperbaiki his sehingga serviks

dapat membuka, satu ciri khas oksitosin ialah bahwa hasil pemberiannya

tampak dalam waktu singkat. Oleh karena itu, tidak ada gunanya memberikan

oksitosin berlarut-larut. Sebaiknya oksitosin diberikan beberapa jam saja.

Kalau ternyata tidak ada kemajuan, pemberiannya dihentikan supaya penderita

dapat beristirahat. Kemudian dicoba lagi untuk beberapa jam, kalau masih

tidak ada kemajuan, lebih baik dilakukan seksio sesaria. Oksitosin yang

diberikan dengan suntikan intramuskular dapat menimbulkan incoordinate

uterine action. Akan tetapi, ada kalanya terutama dalam kala II, hanya

diperlukan supaya persalinan dapat diselesaikan. Disini seringkali 0,5 satuan

oksitosin intramuskulus sudah cukup untuk mencapai hasil yang diinginkan

(Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

Oksitosin merupakan obat yang sangat kuat yang dahulu pemberian

sekaligus dalam dosis besar sering menyebabkan kematian janin karena

kontraksi uterus terlalu kuat dan lama, dan dapat pula menyebabkan timbulnya

ruptura uteri. Pemberian intravena dengan jalan infus (intavenous drip) yang

19
memungkinkan masuknya dosis sedikit demi sedikit telah mengubah

gambaran ini dan dan sudah pula dibuktikan bahwa oksitosin dengan jalan ini

dapat diberikan dengan aman apabila penetuan indikasi, pelaksanaan dan

pengawasan dilakukan dengan baik (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

b. His terlalu kuat

Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan karena

biasanya bayi sudah lahir tanpa adanya penolong. Pada persalinan keadaan

diawasi dengan cermat, dan episiotomi dilakukan pada waktu yang tepat untuk

menghindari terjadinya ruptura perinei tingkat ke 3. Bilamana his kuat dan ada

rintangan yang mengahalangi lahirnya janin, dapat timbul lingkaran retraksi

patologik, yang merupakan tanda bahaya akan terjadi ruptura uteri. Dalam

keadaan demikian janin harus dilahirkan dengan cara yang memberikan

trauma minimal bagi ibu dan anak (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

c. Incoordinate uterine action

Kelainan ini hanya dapat diobati secara simptomatis karena belum ada

obat yang dapat memperbaiki koordinasi fungsional antara bagian-bagian

uterus. Usaha yang dapat ialah mengurangi tonus otot dan mengurangi

ketakutan penderita. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian analgetika,

seperti morfin dan petidin. Akan tetapi, persalinan tidak boleh berlangsung

berlarut-larut apalagi kalau ketuban sudah pecah. Dalam hal ini dalam

pembukaan belum lengkap, perlu dipertimbangkan seksio sesarea. Lingkaran

konstriksi dalam kala I biasanya tidak diketahui, kecuali kalau lingkaran ini

terdapat dibawah kepala janin sehingga dapat diraba melalui kanalis servikalis,

jikalau diagnosis lingkaran konstriksi dalam kala I dapat dibuat, persalinan

harus diselesaikan dengak seksio sesarea. Biasanya lingkaran konstriksi dalam

20
kala II baru diketahui setelah usaha melahirkan dengan cunam gagal. Dengan

tangan yang dimasukkan kedalam kavum uteri untuk mencari sebab kegagalan

cunam, lingkaran konstriksi mungkin dapat diraba. Dengan narkosis dalam,

lingkaran tersebut kadang-kadang dapat dihilangkan dan janin dapat dilahirkan

dengan cunam. Apabila tindakan gagal dan janin masih hidup, terpaksa

dilakukan seksio sesarea (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

Pada distosia servikalis primer diambil sikap seperti pada incoordinate

uterine action. Pada distosia servikalis sekunder harus dilakukan seksio

sesarea sebelum jaringan parut serviks sobek, yang dapat menjalar ke atas

sampai segmen bawah uterus (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

2.4.6. Kelainan kala satu

a. Fase laten memanjang

Friedman mengembangkan konsep tiga tahap fungsional pada

persalinan untuk menjelaskan tujuan-tujuan fisiologis persalinan. Walaupun

pada tahap persiapan (preparatory division) hanya terjadi sedikit pembukaan

serviks, cukup banyak perubahan yang berlangsung di komponen jaringan ikat

serviks. Tahap persalinan ini mumgkin peka terhadap sedasi dan anestesi

regional. Tahap pembukaan/dilatasi (dilatational division), saat pembukaan

berlangsung paling cepat, tidak dipengaruhi oleh sedasi atau anestesi regional.

Tahap panggul (pelvic division) berawal dari fase deselerasi pembukaan

serviks. Mekanisme klasik persalinan yang melibatkan gerakan-gerakan pokok

janin pada presentasi kepala, masuknbya janin ke panggul (engagement),

fleksi, penurunan, rotasi internal (putaran paksi dalam), ekstensi, dan rotasi

eskternal (putaran paksi luar) terutama berlangsung selama selama tahap

21
panggul. Namun , dalam praktik sebenarnya awitan tahap panggul jarang

diketahui dengan jelas (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

Pola pembukaan serviks selama tahap persiapan dan pembukaan

persalinan normal adalah kurva sigmoid. Dua fase pembukaan serviks adalah

fase laten yang sesuai dengan tahap persiapan dan fase aktif yang sesuai

dengan tahap pembukaan. Friedman membagi lagi fase aktif menjadi fase

akseleratif, fase lereng (kecuraman) maksimum, dan fase deselerasi (Ilmu

Kebidanan Sarwono, 2014).

Awitan persalitan laten didefinisikan menurut fredman sebagai saat

ketika ibu mulai merasakan kontaksi yang teratur. Selama fase ini orientasi

kontraksi uterus berlangsung bersama perlunakan dan pendataran serviks.

Kriteria minimum friedman untuk fase laten kedalam fase aktif adalah

kecepatan pembukaan serviks 1,2 cm/jam bagi nulipara dan 1,5 cm/jam untuk

multipara. Kecepatan pembukaan serviks ini tidak dimulai pada pembukaan

tertentu. Sebagai contoh, peisner dan rosen mendapatkan bahwa 30 % ibu

mencapai pembukaan 5 cm sebelum kecepatan pembukaan mereka setara

dengan persalinan fase aktif. Sebaliknya, sebagian lain ibu mengalami

pembukaan labih cepat dan telah mencapai kecepatan fase aktif pada

pembukaan sebesar 3 cm. Dengan demikian, fase laten tejadi bersamaan

dengan persepsi ibu yang bersangkutan akan adanya his yang teratur disertai

oleh pembukaan serviks yang progresif, walaupun lambat, dan berakhir pada

pembukaan 3 sampai 5 cm. Ambang ini secara klinis mungkin bermanfaat,

karena mendefinisikan batas-batas pembukaan serviks yang bila terlewati

dapat diharapkan menjadi persalinan aktif. Roesen menganjurkan agar semua

ibu diklasifikasikan berada dalam persalinan aktif apabila dilatasi mencapai

22
5 cm, sehingga apabila tidak terjadiperubahan progresif, perlu

dipertimbangkan untuk melakukan intervensi (Ilmu Kebidanan Sarwono,

2014).

Friedman dan sachtleben mendefinisikan fase laten berkepanjangan

apabila lama fase ini lebih dari 20 jam pada nullipara dan 14 jam pada

multipara. Kedua patokan ini adalah persentil ke-95. Dalam laporan

sebelumnya, friedman menyajikan data mengenai durasi fase laten pada

nulipara. Durasi rata-ratanya adalah 8,6 jam dan rentangnya dari 1 jam smapai

44 jam. Dengan demikian, lama fase lsten sebesar 20 jam pada ibu nulipara

dan 14 jam pada ibu multipara mencerminkan nilai maksimum secara statistik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi durasi fase laten antara lain adalah

anestesia regional atau sedasi yang berlebihan, keadaan serviks yang buruk

(misal tebal, tidak mengalami pendataran atau tidak membuka), dan persalinan

palsu. Friedman mengklain bahwa istirahat atau stimulasi oksitosin sama

efektif dan amannya dalam memperbaiki fase laten yang berkepanjangan.

Istirahat lebih disarankan karena persalinan palsu sering tidak disadari.

Dengan sedatif kuat, 85 % dari para ibu ini akan memulai persalinan aktif.

Sekitar 10 % lainnya berhenti berkontraksi, dan karenanya mengalami

persalinan palsu. Akhirnya 5 % mengalami rekurensi fase laten abnormal dan

memerlukan stimulasi oksitosin. Amniotomi tidak dianjurkan karena adanya

insiden persalinan palsu yang 10 % tersebut. Friedman melaporkan bahwa

memanjangnya fase laten tidak memperburuk morbiditas atau mortalitas janin

atau ibu (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

23
b. Fase aktif memanjang

Kemajuan persalinan pada ibu nulipara memiliki makna khusus karena

kurva-kurva memperlihatkan perubahan cepat dalam kecuraman pembukaan

serviks antara 3-4 cm.dalam hal ini, fase aktif persalinan, dari segi kecepatan

pembukaan serviks tertinggi, secara konsistensi berawal saat serviks

mengalami pembukaan 3 sampai 4 cm. Kemiripan yang agak luar biasa ini

digunakan untuk menentukan fase aktif dan memberi petunju bagi

penatalaksanan. Dengan demikian, pembukaan serviks 3-4 cm atau lebih,

disertai adanya kontraksi uterus, dapat secara meyakinkan digunakan sebagai

batas awal persalinan aktif (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

Secara spesifik ibu nulipara yang masuk ke fase aktif dengan

pembukaan 3-4 cm dapat diharapkan mencapai pembukaan 8-10 cm dalam 3

sampai 4 jam. Pengamatan ini mungkin bermanfaat. Sebagai contoh, apabila

pembukaan serviks mencapai 4 cm, dokter dapat memperkirakan bahwa

pembukaan lengkap akan tercapai dalam 4 jam apabila persalinan spontan

berlangsung normal. Namun, kelainan persalinan fase aktif sering dijumpai.

Memahami analisis friedman tentang fase aktif bahwa kecepatan

penurunan janin diperhitungkan selain kecepatan pembukaan serviks, dan

keduanya berlangsung bersamaan. Penurunan dimulai pada tahap akhir dilatasi

aktif, dimulai pada sekitar 7 sampai 8 cm pada nulipara dan paling cepat

setelah 8 cm. Friedman membagi lagi masalah fase aktif menjadi gangguan

protraction (berkepanjangan/berlarut-larut) dan arrest (macet, tak maju). Ia

mendefinisikan protraksi sebagai kecepatan pembukaan atau penurunan yang

lambat, yang untuk nulipara adalah kecepatan pembukaan kurang dari 1,2 cm

per jam atau penurunan kurang dari 1 cm per jam. Untuk multipara, protraksi

24
didefinisikan sebagai kecepatan pembukaan kurang dari 1,5 cm per jam atau

penurunan kurang dari 2 cm per jam. Ia mendefinisikan sebagai berhentinya

secara total pembukaan atau penurunan. Kemacetan pembukaan (arrest of

dilatation) didefinisikan sebagai tidak adanya perubahan serviks dalam 2 jam

dan kemacetan penurunan (arrest of descent) sebagai tidak adanya penurunan

janin dalam 1 jam. Prognosis persalinan yang berkepanjangan dan macet

cukup berbeda. Ia mendapatkan sekitar 30 % ibu dengan persalinan

berkepanjangan mengalami disproporsi sefalopelvik, sedangkan kelainan ini

didiagnosis pada 45 % ibu yang mengalami gangguan kemacetan persalinan

(Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

2.4.7. Kelainan kala dua

a. Kala dua memanjang

Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir

dengan keluarnya janin. Median durasinya adalah 50 menit untuk nulipara dan

20 menit untuk multipara, tetapi angka ini juga sangat bervariasi. Pada ibu

dengan paritas yang tinggi yang vagina dan perineumnya sudah melebar, dua

atau tiga kali usaha mengejan setelsh pembukaan lengkap mungkin cukup

untuk mengeluarkan janin. Sebaliknya, pada seorang ibu dengan panggul

sempit atau janin besar, atau dengan kelainan gaya ekspulsif akibat anestesia

regional atau sedasi yang berat, maka kala dapat sangat memanjang.seperti

telah disebutkan tahap panggul atau penurunan janin pada persalinan

umumnya berlangsung setelah pembukaan lengkap. Selain itu kala II

melibatkan banyak gerakan pokok yang penting agar janin dapat melewati

jalan lahir. Selama ini terdapat aturan-aturan yang membatasi durasi kala II.

25
Kala II persalinan pada nulipara dibatasi 2 jam dan diperpanjang sampai 3

jam apabila digunakan analgesia regional. Untuk multipara 1 jam adalah

batasnya, diperpanjang menjadi 2 jam pada penggunaan analgesia regional

(Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

b. Penyebab kurang adekuatnya gaya ekspulsif

Kekuatan gaya yang dihasilkan oleh kontraksi otot abdomen dapat

terganggu secara bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara spontan

melalui vagina. Sedasi berat atau anestesia regional, epidural lumbal, kaudal,

atau intratrakeal kemungkinan besar mengurangi dorongan refleks untuk

mengejan, dan pada saat yang sama mungkin mengurangi kemampuan pasien

mengontraksikan otot-otot abdomen. Pada beberapa kasus, keinginan alami

untuk mengejan diakalahkan oleh hebatnya nyeri yang timbul akibat

mengejan. Bagi ibu yang kurang dapat mengejan dengan benar setiap

kontraksi karena nyeri hebat, analgesia mungkin akan memberikan banyak

manfaat. Mungkin pilihan paling aman untuk janin dan ibunya adalah nitrose

oksida, yang dicampur dengan volume yang sama dengan oksigen dan

diberikan saat setiap kali kontraksi. Pada saat yang sama, dorongan dan

instruksi yang sesuai kemungkinan besar memberikan manfaat.

26
2.4.8. Penatalaksanaan

Dalam menghadapi persalinan lama oleh sebab apapun, keadaan ibu yang

bersangkutan harus diawasi dengan saksama. Tekanan darah diukur tiap empat

jam, bahkan pemeriksaan ini perlu dilakukan lebih sering apabila ada gejala

preeklampsia. Denyut jantung janin dicatat setiap setengah jam dalam kala I dan

lebih sering dalam kala II. Kemungkinan dehidrasi dan asidosis harus mendapat

perhatian sepenuhnya. Karena pada persalinan lama selalu ada kemungkinan untuk

melakukan tindakan pembedahan dengan narkosis, hendaknya ibu jangan diberi

makan biasa melainkan dalam bentuk cairan.sebaiknya diberi infus larutan glukosa

5 % dan larutan NaCL isotonik secara intravena berganti-ganti. Untuk mengurangi

rasa nyeri dapat diberikan petidin 50 mg yang dapat diulangi; pada permulaan kala

I dapat diberikan 10 mg morfin. Pemeriksaan dalam perlu dilakukan, tetapi harus

disadari bahwa setiap pemeriksaan dalam mengandung bahaya infeksi.apabila

persalinan berlangsung 24 jam tanpa kemajuan yang berarti, perlu diadakan

keadaan yang saksama tentang keadaan. Selain penilaian keadaan umum, perlu

ditetapkan apakah persalinan benar-benar sudah mulai atau masih dalam tingkat

false labour, apakah ada inersia uteri atau incoordinate uterine action; dan apakah

tidak ada disproporsi sefalopelvik biarpun ringan.untuk menetapkan hal yang

terakhir ini, jika perlu dilakukan pelvimetri roentgenologik atau MRI. Apabila

serviks sudah terbuka untuk sedikit-dikitnya 3 cm, dapat diambil keputusan apakah

perlu dilakukan seksio sesarea dalam waktu singkat atau persalinan dapat dibiarkan

berlangsung terus (Ilmu Kebidanan Sarwono, 2014).

27
2.5. MOW (Metode Operatif Wanita) / Tubektomi

2.5.1. Definisi

Sterilisasi pada wanita disebut tubektomi atau Tubal Ligation. Caranya

ialah dengan memotong kedua saluran sel telur (tuba falopi) dan menutup

kedua-duanya sehingga sel telur tidak dapat keluar dan sel sperma tidak dapat

pula masuk bertemu dengan sel telur, sehingga tidak terjadi kehamilan

(BKKBN, 2010)

Adapun syarat-syarat menjadi akseptor (pengguna) tubektomi adalah

sebagai berikut:

a. Sukarela.

b. Mendapatkan keterangan dari dokter atau petugas pelayanan kontrasepsi

c. Pasangannya harus memberikan persetujuan secara tertulis.

Cara kerja :

a. Sebelum operasi, dokter akan memeriksa kesehatan lebih dahulu, untuk

memastikan cocok atau tidak.

b. Operasi dilakukan oleh dokter.

c. Saluran telur yang membawa sel telur dalam rahim akan dipotong atau

diikat. Setelah operasi syang dihasilkan akan diserap kemabali oleh tubuh

tanpa menimbulkan penyakit.

d. Perawat tubektomi hanya 6 jam setelah operasi untuk menunggu reaksi

anti bius saja. Luka yang diakibatkan sebaiknya tidak kena air selama 3-4

hari.

e. Pemeriksaan ulang dilakukan oleh dokter, setelah 1 minggu, 1 bulan, 3

bulan, 6 bulan dan 1 tahun setelah operasi dilakukan.

28
Kelebihan :

a. Tidak mengganggu ASI.

b. Jarang ada keluhan sampingan.

c. Angka kegagalan hampir tidak ada.

d. Tidak mengganggu gairah seksual.

Kekurangan :

a. Tindakan operatif, seringkali menakutkan.

b. Definitif, kesuburan tidak dapat kembali lagi

2.5.2. Bentuk-bentuk Tubektomi

Sterilisasi pada perempuan disebut tubektomi/sterilisasi pada

perempuan ini memiliki beberapa bentuk, antara lain:

a. Laparotomi Mini Suprarubik

Yaitu membuat sayatan pada dinding perut tepat di atas rambut kemaluan

sepanjang 2,5 cm, kemudian tuba di cari tindakan pada tuba ialah lidasi dan

eksisi serta reseksi sebagian.

c. Kolkotomi Posterior

Yaitu membuat sayatan pada puncak vagina belakang sepanjang 2,5 cm.

tindakan pada tuba ialah lugasi dan eksisi reseksi sebagian. Cara ini sudah

jarang digunakan.

29
c. Kuldoskopi

Yaitu membuat sayatan pada puncak vagian belakang dan trokar. Alat khusus

yang dipakai ialah puldoskop. Tindakan pada tuba ialah ligasi dan eksisi

sebagian cara inipun sudah jarang digunakan.

d. Laparoskop

Yaitu membuat sayatan pada dinding perut tepat dibawah pusat dengan trokar.

Alat khusus yang dipakai ialah laparoskop yang dimasukkan dalam rongga

perut melalui trokar. Tindakan pada tuba ialah oklusi dengan cincin falope

atau kauterisasi.

e. Histerokopi

Yaitu alat khusus yang dipakai ielah histeroskop yang dimasukkan ke dalam

rongga rahim (uterus) melalui mulut leher rahim. Tindakan pada tuba ialah

kauterisasi muara tuba pada rongga.

f. Laporotomi Mini Paska Persalinan

Yaitu dibuat sayatan pada dinding perut tepat dibawah pusar sepanjang 2,5 cm

tindakan pada tuba ialah lidasi dan eksisi serta reseksi sebagian

30
BAB III
LAPORAN KASUS

2.6. Identitas Pasien


Nama : Ny. Cholila (No RM 180182)
Usia : 42 Tahun
Alamat : DSN subur RT 01/RW 03 KADEM
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Kawin
Pendidikan : SMP
MRS : 23 Mei 2017

2.7. Subjektif
Keluhan Utama
Perut terasa kenceng-kenceng

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merasa perut terasa kenceng-kenceng sejak tanggal 22 mei 2017 jam
07.00 wib, tapi kenceng-kenceng tidak sering, kenceng hilang dan timbul. Tidak
keluar darah, tidak keluar air ketuban.
Pusing (-), nyeri ulu hati (-), batuk (-), sesak (-), berdebar-debar (-), BAB (+)
normal, BAK (+), BAK normal, tidak ada nyeri selama BAK, tidak anyang-
anyangan, tidak ada perubahan warna urin.
Riwayat Obstetri
Pernah keguguran pada kehamilan yang ke 4 pada usia 4 bulan dan dilakukan kuret
di Rsud Moh Saleh probolinggo
Riwayat Ginekologi
Pasien tidak pernah mengalami penyakit pada organ reproduksi sebelumnya, tidak
pernah mengkonsumsi obat obatan. Tidak pernah menjalani operasi
Riwayat Haid
Menarche : Usia 13 tahun
Haid :

31
Pada pertama kali mengalami menstruasi usia 13 tahun, pasien merasa haid
teratur, 28 hari 1 kali, selama 13 hari. siklus menstruasi teratur.
Riwayat Penggunaan Kontrasepsi
mengkonsumsi Pil KB selam 4 bulan
Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes Mellitus disangkal, Hipertensi disangkal, Asma disangkal, Alergi
disangkal, Penyakit Keturunan disangkal, Penyakit Kelainan Darah disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Diabetes Mellitus disangkal, Hipertensi disangkal, Ibu pasien menderita Asma,
Alergi disangkal, Penyakit Keturunan disangkal, Penyakit Kelainan Darah
disangkal, Riwayat memiliki tumor disangkal
Riwayat Sosial
Menikah 1 kali pada usia 14. Lama pernikahan 28 tahun.
Jumlah anak
Umur
Jenis Penyulit hamil,
No Kehamil Penolong Tempat Umur BBL Jenis
Persalinan persalinan, nifas
an
spontan
2500
1 7 bulan Normal Dukun (-) 25 th belakang (-)
gram
kepala
spontan
3500
2 9 bulan Normal Bidan (-) 20 th belakang (-)
gram
kepala
spontan
3 9 bulan Normal Bidan (-) (-) (-) belakang Meninggal
kepala
Rsud
4 4 bulan Kuretase Dokter moch (-) (-) (-) Abortus
saleh

spontan
3500
5 9 bulan Normal Bidan (-) 9 th belakang (-)
gram
kepala

32
spontan
3500
6 9 bulan Normal Bidan (-) 6 th belakang (-)
gram
kepala

spontan
4000
7 9 bulan Normal Dukun 3 th belakang (-)
gram
kepala

2.8 Objektif
a. Status Generalis ( 23-05-2017 pukul 21.00 WIB)
- Keadaan umum : Cukup
- Kesadaran : Compos mentis
- Tensi : 130/80 mmHg
- Nadi : 84 kali/menit, nadi kuat isi cukup
- Suhu : 36,8C
- RR : 20 kali/menit
- Kepala/leher : a/i/c/d -/-/-/- pembesaran KGB (-), PCH (-),
Pembesaran kelenjar tiroid (-), trakea berada ditengah,
- Thorax : bentuk simetris (+), retraksi (-)
o Pulmo : Vesikuler/vesikuler Rh -/- Wh -/-
o Cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-)
- Abdomen : Supel (+) BU (+) normal, hepar (TTB), lien (TTB)
- Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT < 2 detik, oedem (-)

33
b. Status Obstetri ( 23-05-2017 pukul 21.00 WIB)
- Abdomen :
1. Inspeksi : Terdapat pembesaran pada abdomen, striae gravidarum (+)
Pergerakan abdomen mengikuti gerak nafas
2. Palpasi :
Leopold I : TFU 32 cm 4 jari dibawah processus xyphoideus, teraba lunak
kesan bokong
Leopold II : teraba bagian memanjang di kiri ibu
Leopold III : teraba keras bulat tidak melenting
Leopold IV : masuk PAP
3. Auskultasi :
Bising Usus (+) normal
4. HIS :
2 kali dalam 10 menit selama 20 detik
5. DJJ :
149x/menit
- Pemeriksaan Genital Eksterna: benjolan (-), bersih (+), infeksi kulit (-), tanda
peradangan (-) bekas luka/sikatrix (-), Rambut Pubis (dbn), Ostium uretra eks (dbn),
bengkak (-), Peradangan (-) Klitoris (dbn)

- Pemeriksaan dalam (Vaginal Toucher) ( 23-05-2017 pukul 21.00 WIB) :


1. Pembukaan serviks 4 cm
2. Efficement 50 %
3. Ketuban (+)
4. Pervag : blood slym
5. Kepala : hodge I

34
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan 23 Mei 2017 24 Mei 2017 25 Mei 2017
Gula Darah Acak - - 111 mg/dl
HbsAg Negatif - -
Diff Count 2/0/61/27/10 - -
Hemoglobin (Hb) 10,2 g/dl 10.9 g/dl -
Lekosit 7.630 /cmm 14.500 /cmm -
PCV (Hematokrit) 32% 32% -
Trombosit 84.000/cmm 295.000/cmm -

35
d. Partograf

36
2.9 Assesment
G VIII P5105 Ab1x UK 40-41 minggu, J/T/H, preskep, inpartu kala I fase aktif
memanjang, Usia > 35 tahun, secondary arest (Distosia ec power) Grande
multigravida,

2.10 Planning
a. Pro sectio ceasarea + MOW (24 maret 2017)
b. Cefazolin 1 gram pre op
c. Injeksi dexamethason 2 ampul IV
d. Infus RL 20 tetes per menit
e. Sedia darah WB 2 kolf
f. Pro sc sedia cytotec 4 tab
2.11 Prognosis
Dubia ad bonam

37
Rabu , 24 Mei 2017 Kamis, 25 Mei 2017
Perawatan post SC 10.30 wib Perawatan Hari 1 post SC
S: Nyeri perut bekas operasi.. Pusing (-), S: Nyeri perut bekas operasi masih terasa . Pusing (-
mual/muntah (-), mobilisasi baik. ), mual/muntah (-) mobilisasi baik, BAK/BAB
(+)/(-),
O: KU : cukup Kesadaran : Compos Mentis
O: KU : cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/80 mmHg Suhu : 36,50C .
TD : 120/70 mmHg Suhu : 36 0C .
RR : 20x/menit Nadi : 100x/menit
RR : 20x/menit Nadi : 80x/menit
K/L : a/i/c/d : -/-/-/-
K/L : a/i/c/d : -/-/-/-
Pemb. KGB
Pemb. KGB
Thorax : Simetris +/+ retraksi -
Thorax : Simetris +/+ retraksi -
Jantung : S1 S2 tunggal reg, murmur
Jantung : S1 S2 tunggal reg, murmur
Paru : Vesikuler +/+ Rh -/- Wz -/-
Paru : Vesikuler +/+ Rh -/- Wz -/-
Abdomen : Supel, BU (+) normal, Nyeri
tekan (+) Abdomen : Supel, BU (+) normal, Nyeri tekan
(+) perut bawah. Luka post op baik tidak
Ekstremitas: Akral hangat +/+, CRT < 2 merembes terpasang opsite
detik. Edema (-)
Ekstremitas: Akral hangat +/+, CRT < 2 detik.
Genitalia : dbn, Perdarahan (-) Edema (-)
Status obstetri : Genitalia : dbn, Perdarahan (-)
TFU : setinggi pusat Status obstetri :
Uterus contraction : baik TFU : 3 jari di bawah pusat
Urine production : 100 cc Uterus contraction : baik
Perdarahan : (-) Urine production : (-)
Perdarahan : (-)
a/
A: P7106 Ab100 post Sc secondary arest
i
(Distosia ec power) Grandemultigravida +
MOW
A: P7106 Ab100 post Sc a/i secondary arest
(Distosia ec power) Grandemultigravida +
P : Infus RL 500cc drip synto 2 ampul 20 tpm MOW
Cek DL pasca operasi
Injeksi cefazolin 3x1 gram P : Cefadroxil tab 3x500 mg
Injeksi ketorolac 3x1 ampul Methyl ergometrin tab 3x1
Misoprostol 3 tab/rectal/tiap 6 jam Asam mefenamat tab 3x500 mg
Observasi Nonemi tab 1x1
Waspada HPP

38
Rabu , 26 Mei 2017
Perawatan hari ke 2 post SC
S: Nyeri perut bekas operasi, Pusing (-), mual/muntah (-), mobilisasi baik.
O: KU : cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 120/80 mmHg Suhu : 36,50C .
RR : 20x/menit Nadi : 80x/menit
K/L : a/i/c/d : -/-/-/-
Pemb. KGB
Thorax : Simetris +/+ retraksi -
Jantung : S1 S2 tunggal reg, murmur
Paru : Vesikuler +/+ Rh -/- Wz -/-
Abdomen : Supel, BU (+) normal, Nyeri tekan (+)
Ekstremitas: Akral hangat +/+, CRT < 2 detik. Edema (-)
Genitalia : dbn, Perdarahan (-)
Status obstetri :
TFU : 3 jari di bawah pusat
Uterus contraction : baik
Perdarahan : (-)

a/
A: P7106 Ab100 post Sc i secondary arest (Distosia ec power) Grandemultigravida + MOW

P : Infus RL 500cc
Asam mefenamat tab 3x500 mg
Nonemi tab 1x1

39
BAB IV

ANALISA KASUS

Grande multipara merupakan salah satu risiko tinggi kehamilan Bayi yang

dilahirkan dari ibu dengan grande multipara juga digolongkan dengan risiko tinggi.

Komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilan juga pada persalinan pada ibu grande

multipara dengan sendirinya juga berpengaruh pada bayi yang akan dilahirkan.

Komplikasi yang dapat timbul seperti kelainan letak, karena dinding rahim atau perut

ibu yang telah longgar, kelainan letak plasenta (plasenta previa) karena dinding rahim

tempat perlekatan plasenta yang normal (di daerah fundus dan corpus rahim) sudah

pernah dilekati plasenta pada kehamilan sebelumnya sehingga pada kehamilan yang

lebih dari lima kali, plasenta melekat di bagian bawah rahim.

Pasien datang ke IGD RSUD dr. Moch Saleh dengan keluhan utama berupa

kenceng-kenceng. Kenceng-kenceng mulai terjadi pada 22 mei 2017 jam 07.00 pagi

tetapi kenceng-kenceng terasa hilang timbul dan tidak sering terjadi. Kenceng-

kenceng merupakan tanda dari adanya kontraksi uterus yaitu HIS. Kontraksi uterus

biasanya dimulai pada bagian fundus uterus.

Pada tanggal 23 mei 2017 pukul 21.00 pasien datang ke ke IGD RSUD dr.

Moch Saleh dengan keluhan kenceng-kenceng setelah itu dilakukan pemeriksaan.

Keadaan umum pasien cukup, kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/80

mmHg, nadi 84x/menit, pernapasan 20x/menit, suhu 368 c. Pada pemeriksaan palpasi

leopold 1 : tinggi fundus uteri 32 cm 4 jari dibawah processus xyphoideus, teraba

lunak kesan bokong, leopold II : teraba bagian memanjang dibagian kanan ibu,

leopold III : teraba keras menonjol kesan kepala, sudah masuk PAP, leopold IV :

sudah masuk PAP. Pada auskultasi menggunakan doppler didapatkan denyut jantung

40
janin 149x/menit, ini merupakan denyut jantung janin normal bayi, HIS teraba (+)

dengan 2 kali kontraksi dalam 10 menit selama 20 detik, hal ini merupakan tanda HIS

yang tidak adekuat, HIS yang adekuat adalah 3-4 kali dalam 10 menit selama 40-60

detik. Pada pemeriksaaan dalam: pembukaan 4cm, ketuban (+) menonjol, efficement

50 %, pervag blood slym, kepala Hodge 1. Pada pembukaan 4 cm berarti telah masuk

pada kala I fase aktif. Dimana jika sudah masuk pada kala 1 fase aktif pada primipara

biasanya berlangsung kira-kira 13 jam sampai pembukaan lengkap seluruhnya dan

pada multipara berlangsung kira-kira 7 jam sampai pembukaan lengkap seluruhnya.

Observasi menggunakan partograf dimulai dari jam 21.00 wib dengan

pembukaan 4 cm, HIS : 2 kali dalam 10 menit selama 20 detik. Pada jam 02.30 wib

(24 mei 2017) dilakukan lagi pemeriksaan dalam dengan hasil, pembukaan 4 cm, HIS

2 kali dalam 10 menit selama 20 detik dengan hasil yang tetap sama. pada jam 06.00

wib dilakukan lagi pemeriksaan dalam dengan hasil, pembukaan 4 cm, HIS 2 kali

dalam 10 menit selama 20 detik dengan hasil yang tetap sama dan tidak ada

kemajuan.dilihat dari hasil tersebut pada pembukaan tidak didapatkan adanya

kemajuan dari pada pembukaan serviks serta pada HIS didapatkan HIS yang tidak

adekuat untuk membantu dalam melakukan persalinan normal dan pada partograf

sudah memotong garis bertindak ini merupakan indikasi untuk harus segera dilakukan

tindakan untuk menghindari terjadinya komplikasi pada ibu dan pada bayi.

Pada jam 06.00 dilaporkan pada dokter penanggung jawab, dan diarahkan

untuk melakukan operasi sectio cesarea sekaligus MOW. MOW yaitu Sterilisasi pada

wanita disebut juga tubektomi atau Tubal Ligation. Caranya ialah dengan memotong

kedua saluran sel telur (tuba falopi) dan menutup kedua-duanya sehingga sel telur

tidak dapat keluar dan sel sperma tidak dapat pula masuk bertemu dengan sel telur,

41
sehingga tidak terjadi kehamilan. Pasien menyetujui untuk operasi sectio cesarea dan

MOW. Operasi dilakukan jam 09.00 pagi (24 mei 2017), sebelum operasi diberikan

injeksi cefotaxim 1 gram dalam Pz 100cc. Operasi selesai pukul 09.40, lahir bayi

berjenis kelamin perempuan, berat badan 4000 gram, panjang badan 51 cm, lingkar

kepala 37 cm, lingkar dada 37 cm, lingkar abdomen 36 cm.

Pasien lalu dipindahkan dari OK keruang melati pada pukul 10.30 wib, lalu

diperiksa, keadaan umum cukup, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 84 x/menit,suhu

37C, tinggi fundus uteri setinggi pusat, kontraksi uterus baik, tidak ada perdarahan

yang terjadi. Pasien diberikan terapi infus RL 500cc serta drip oxytosin didalamnya

sebanyak 20 IU, injeksi cefotaxim 3x1 gram, injeksi ketorolak 3x1 ampul,

misoprostol 3 tablet dimasukkan melalui rektal setiap 6 jam. Lalu dilakukan observasi

2 jam post partum untuk menilai keadaan umum dari ibu serta menghindari adanya

Rahim tidak dapat berkontraksi sehingga menyebakan perdarahan yang terjadi

berlebihan.

Tujuan utama dilakukannya operasi sectio caesarea pada pasien ini adalah

untuk menghindari terjadinya komplikasi teburuk pada ibu dan janin seperti akibat

dari persalinan kala I yang memanjang disebabkan karena pembukaan dari serviks

yang tidak maju dan HIS yang tidak adekuat. Begitu juga dengan dilakukannya

MOW yaitu Sterilisasi pada wanita disebut juga tubektomi atau Tubal Ligation.

Caranya ialah dengan memotong kedua saluran sel telur (tuba falopi) dan menutup

kedua-duanya sehingga sel telur tidak dapat keluar dan sel sperma tidak dapat pula

masuk bertemu dengan sel telur.

Sehingga tidak terjadi kehamilan dan untuk menurunkan resiko juga yang

terjadi akibat kehamilan yang lebih dari 8 kali seperti Kelainan letak janin,

42
disebabkan oleh karena dinding rahim dan atau dinding perut yang telah longgar

akibat dari persalinan yang terdahulu, Anemia dalam kehamilan, Kelainan endokrin,

misalnya kencing manis (diabetes mellitus), Gangguan kardiovaskuler, misalnya

kelainan jantung, tekanan darah tinggi (hipertensi), Kelainan letak plasenta (plasenta

previa) karena dinding rahim tempat perlekatan plasenta yang normal (di daerah

fundus dan corpus rahim) sudah pernah dilekati plasenta pada kehamilan sebelumnya

sehingga pada kehamilan yang lebih dari lima kali, plasenta melekat di bagian bawah

Rahim, Solutio plasenta adalah suatu keadaan dalam kehamilan dimana plasenta yang

tempat perlekatannya yang normal (pada fundus dan corpus uteri) terlepas sebelum

waktunya (pada kala III), Robekan pada rahim (ruptura uteri), penyebabnya adalah

dinding rahim pada ibu yang telah melahirkan beberapa kali bayi yang dapat hidup

(viable) sudah lemah.

Rintangan yang sangat kecil pada kehamilan maupun pada proses persalinan

dapat menimbulkan robekan pada rahim, Terhambatnya kemajuan persalinan oleh

karena kontraksi rahim kurang, Rahim tidak berkontraksi setelah proses persalinan

dimana dapat menimbulkan perdarahan setelah persalinan, Perut gantung diakibatkan

oleh karena berkurangnya kemampuan otot-otot dinding perut (otot-otot dinding perut

menjadi lemas) sehingga dapat terjadi kesalahan letak janin, kepala janin tidak masuk

ke ruang rongga panggul.

43
DAFTAR PUSTAKA

Andrew H Mgaya, Siriel N Massawe, Hussein L Kidanto, and Hans N Mgaya. 2013.

Grand multiparity: is it still a risk in pregnancy ?. Mgaya et al. BMC

Pregnancy and Childbirth 2013.

BKKBN. 2010. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Rendahnya Partisipasi Pria dalam

KB.

Errol R. Norwitz, George R. Saade, Hugh Miller, Christina M. Davidson. 2016.

Obstetric Clinical Algorithms, 2nd Edition.

Ika Noverina Manik. 2016. Hubungan Status Preeklampsia Dengan Kejadian

Perdarahan Postpartum Pada Ibu Bersalin Di Rsud Dr H Abdul Moeloek

Provinsi Lampung Periode 1 Juli 2014 30 Juni 2015. Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung.

Mega Redha Putri, Joserizal Serudji, Efrida. 2015. Gambaran Kejadian Persalinan

Disfungsional pada Pasien Anemia dalam Kehamilan di RSUP Dr. M. Djamil

Periode 20102012. Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi FK

UNAND/RSUP Dr. M. Djamil.

Manubala I. B. G. 2001. Kapita selekta penatalaksanaan rutin obstetri ginekologi dan

keluarga berencana. Jakarta: EGC.

Morgan G, Hamilton C. 2009. Obstetri dan ginekologi, panduan praktik, edisi 2.

Jakarta: EGC.

44
Nola Eriza, Defrin, Yuniar Lestari. 2015. Hubungan Perdarahan Postpartum dengan

Paritas di RSUP Dr. M. Djamil Periode 1 Januari 2010 - 31 Desember 2012.

Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UNAND.

Rita Lal, Sweta Lal, Ruchi Birendra. 2015. Grand Multipara: Still A Major Risk

Factor? Department of Obs Gyn, Rajendra Institute of Medical Sciences,

Ranchi, Jharkhand, India.

Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, Hal.

115-128, 562-575.

Tri Indah Idi Retnani. 2013. Hubungan Antara Umur Dan Paritas Ibu Bersalin Dengan

Kejadian Pre Eklampsia. Studi di Rumah Sakit Assakinah Medika Sidoarjo

Tahun 2013. Akademi Kebidanan Griya Husada Surabaya.

45
,

46

Anda mungkin juga menyukai