BAB I
PENDAHULUAN
II.1. Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan
beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring
berhubungan dengan rongga hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di
bagian inferior melalui bagian terbawah dari palatummolle.
Sedangkan di bagian superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan
korpus vertebra. Tuba eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan
bagian superior dan posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut
sebagai torus tubarius. Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak
di bagian superior dan posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari
karsinoma nasofaring. Banyak terdapat foramen kranial yang membawa struktur
syaraf dan pembuluh darah penting yang terletak di dekat nasofaring. Nasofaring
diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel
kolumner pseudokompleks.4
II.2. Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,5
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile
angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor,
nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal
tumor, atau angiofibroma nasofaring belia.6
II.3. Epidemiologi
Tumor ini biasanya paling banyak terjadi pada laki-laki prepubertas dan
remaja.Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s / d 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun2 . Tumor
ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor
kepala dan leher1,2. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 1 : 60.000 pada pasien
THT2.Di RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2001 Nopember 2002 dijumpai 11
kasus angiofibroma nasofaring.
II.4. Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah
satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik
angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor
ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari
tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue
yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini
dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah
masa remaja (puberty). 1,4,6,8
Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon,
seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron
(RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor
seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive
immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang memperlihatkan reseptor
tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari penyimpanan jaringan, dan
studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal
positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75%
dari 24 kasus, 8,3% positif antibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE.
Hasil membuktikan langsung adanya antibodi dari reseptor androgen pada
angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi
proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1
(TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan
dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak
diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal
sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal
dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma
nasofaring juvenile.
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil
mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor
gene p53 sama seperti Her-2/neu oncogene. Gen glutation-S-transferase M1
(GSTM1) yang biasa terdapat pada sel manusia dan mempunyai fungsi sebagai
sitoprotektor terhadap antioksidan biasanya gen ini menghilang pada para perokok.
Hilangnya GSTM1 memicu keganasan pada traktus respiratorius bagian atas.
Gautham dkk menyelidiki hubungan perubahan pada GSTM1 pada pasien non
perokok yang menderita JNA. Hasilnya menunjukkan tiga dari delapan pasien tidak
menunjukkan tidak terdapatnya GSTM1.
Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah protein perangsang
pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan janin. IGFFII ditemukan bersamaan
dengan pertumbuhan jaringan tumor pada 53 % dari pasien JNA. Ini juga
membuktikan bahwa gen IGFII mungkin terlibat pada pertumbuhan tumor JNA.
Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara JNA dengan familiar
adenomatous polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi
autosomal dominan yang ditandai dengan beberapa adenoma di traktus
gastrointestinal, kecenderungan terjadinya adenokarsinoma dan keganasan-
keganasan lain di ekstrakolon. JNA merupakan salah satu maifestasi FAP
ekstrakolon dengan JNA yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi pada
pasien dengan sindrom ini.
II.5. Patogenesis
Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat anyaman
pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan gumpalan sel serta
terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir. Tumor ini tidak
bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi orbita, sinus
paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial. Tumor pertama
kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap
nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap
nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk
tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior akan
mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan
konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah foramen sfenopalatina,
masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila.
Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal yang akan menimbulkan
benjolan di pipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor mendorong salah satu
atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan
disebut muka kodok.1,8
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1
Tanda :
Gambar 4. Foto seorang anak dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan
bagian tengah wajahnya karena penekanan dari tumor.
II.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering
ditemukan (>80%) ialah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang
berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang hidung
akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut.2 Gejala-gejala lain muncul
tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.1,2
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor
yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda.
Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir
berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna
putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih
tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya
mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.1
1. Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada
keadaan ini.
2. Biopsi
3. Pemeriksaan Radiologis
Foto Sinar-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam
nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor
ini pada foto lateral, yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang
sehingga fissura pterigopalatina membesar. Akan terlihat juga adanya
massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding
orbita, arjus zigoma dan daerah di sekitar nasofaring.
Gambar 6. CT scan coronal dari lesi yang mengisi rongga hidung kiri dan sinus
ethmoidalis. Lesi juga menutup sinus maksilaris dan mendorong septum nasi berdeviasi
ke kanan.
Gambar 7. CT scan axial yang menutup rongga hidung kanan dan sinus paranasal
Gambar 8. CT scan coronal yang menunjukkan ekspansi lesi ke sinus kavernosus.
5. Angiografi
Pada pemeriksaan angiografi arteri karotis interna, akan memperlihatkan
vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a. maksila interna
homolateral. Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi
trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah
pengangkatan tumor.1
II.10. Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan
jaringan fibrous yang matur yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah
dengan dinding yang tipis. Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium tetapi pada
dinding pembuluh darahnya sedikit mengandung elemen kontraktil otot yang
normal. Hal inilah yang menyebabkan angiofibroma nasofaring mudah berdarah.
1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal,
teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma,
rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous).
2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.
3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.
4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
5. Polip koanal (choanal polyp).
6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
8. Kordoma (chordoma).
9. Karsinoma nasofaring.
II.13. Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau
radioterapi, namun ada buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung
mengalami regresi ketika penderita tumor ini masuk ke masa pubertas, jadi operasi
diindikasikan jika ada komplikasi akibat tumor ini seperti jika angiofibroma
tumbuh membesar, menghalangi saluran udara atau menyebabkan epistaksis
menahun.1,4
Operasi tumor ini sendiri harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas
cukup, karena resiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat
dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui
transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi
bila sudah meluas ke intrakranial. Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan
sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi
prabedah yakni dengan penanaman radium dan sinar rontgen yang dilanjutkan
dengan elektrokoagulasi atau dapat pula diberikan terapi hormonal meskipun
hasilnya tidak sebaik radioterapi.3 Pada pemberian hormonal terapi menggunakan
testosterone receptor blocker flutamide didapatkan penurunan staging pada staging
I dan II sebesar 44%.3
Perlu dicatat bahwa pengangkatan tumor seringkali sulit dilakukan karena
tumor terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah pengangkatan tumor
seringkali terjadi kekambuhan. Cara lain yang dapat digunakan yaitu embolisasi
(penyumbatan arteri dengan suatu bahan) yang bisa menyebabkan terbentuknya
jaringan parut pada tumor dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan
dengan cara menyuntikkan suatu zat ke dalam pembuluh darah untuk menyumbat
aliran darah yang melaluinya. Embolisasi efektif untuk mengatasi perdarahan
hidung dan tindakan ini bisa diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.6
II.14. Komplikasi
II.14. Prognosis
Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga lebih
menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil yang
tidak memenuhi rongga nasofaring lebih muda diangkat daripada yang telah
memenuhi rongga tersebut sesudah umur 25 tahun pertumbuhan cenderung
berkurang.6
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan
dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi pada pasien
dengan usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien berusia lebih
muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang ganas dan
memiliki prognosis yang buruk.1
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA