Anda di halaman 1dari 9

6.1.

Prevalensi Hipertensi
Dari penelitian ini ditemukan responden yang memiliki hipertensi pada wilayah
Kerja Puskesmas Selemadeg I adalah 39 orang (39%). Angka ini lebih tinggi dari angka
prevalensi hipertensi berdasarkan data Risketdas Tabanan tahun 2007 yaitu sebesar
32% dan hasil penelitian dari Rahajeng (2009) berdasarkan analisis data Riskesdas
seluruh Indonesia tahun 2007 (32,2%).

6.2. Gambaran Hipertensi Berdasarkan Usia


Pada penelitian sebelumnya (Rahajeng, 2009 dan Aris Sugiharto, 2007)
ditemukan bahwa risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
usia. Pada penelitian ini ditemukan hasil yang sedikit berbeda dimana prevalensi
tertinggi diduduki oleh kelompok usia 55-64 tahun (56,5%). Meskipun begitu, hasil ini
tidak berbeda jauh dari kelompok usia ≥ 65 tahun (52%).

6.3 Gambaran Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin


Pada penelitian ini didapatkan kejadian hipertensi lebih banyak pada perempuan
(49%) dibandingkan laki-laki (30,6%). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dialakukan oleh Rahajeng (2009). Pada penelitian itu juga disebutkan
bahwa tingginya kasus hipertensi pada laki-laki kemungkinan diakibatkan oleh
perilaku tidak sehat (merokok, kebiasaan mengkonsumsi alkohol), depresi dan
rendahnya status pekerjaan, perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan, dan
pengangguran (Rahajeng, 2009). Beberapa ahli masih mempunyai kesimpulan berbeda
tentang hal ini. Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat
angka yang cukup bervariasi. Prevalensi hipertensi yang tinggi pada perempuan berusia
diatas 45-55 tahun ditemukan dari penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al (2005)
dan MN. Bustan (2005). Pada penelitian itu, disebutkan rendahnya hormon estrogen
akan menyebabkan perempuan rentan terhadap penyakit kardiovaskular termasuk
2

hipertensi. Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk, pria dan wanita menapouse
mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya hipertensi.

6.4. Gambaran Hipertensi Berdasarkan Riwayat Keluarga


Pada penelitian ini didapatkan kasus hipertensi lebih banyak pada responden
yang memiliki riwayat hipertensi di keluarganya (41,4%). Hal ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Aris Sugiharto (2007) dan teori dari Kaplan
(2002) yang menyatakan bahwa individu dengan keluarga hipertensi memiliki
risikodua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada yang tidak. Meskipun
begitu banyak responden (40,8) yang tidak tahu tentang riwayat hipertensi di
keluarganya sehingga dapat mengaburkan hasil penelitian.

6.5 Gambaran Hipertensi Berdasarkan Kebiasaan Merokok


Pada penelitian ini,kasus hipertensi paling banyak didapatkan pada perokok
sedang (47,6%) yang diikuti oleh perokok berat (43,4%). Selain itu kasus tertinggi
tidak hipertensi didapatkan pada responden yang tidak merokok (66,1%). Hasil
tersebut sejalan dengan penelitian oleh Aris Sugiharto (2007) yang menyatakan bahwa
risiko tertinggi terkena hipertensi adalah perokok berat, meskipun perokok ringan dan
sedang juga merupakan faktor risiko.

6.6 Gambaran Hipertensi Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Alkohol


Pada penelitian ini didapatkan kasus hipertensi paling banyak pada kelompok
peminum berat (40%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Aris Sugiharto (2007) yang
menyatakan bahwa peminum berat merupakan risiko tertinggi hipertensi. Hasil ini juga
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Puddey (2006) dimana pada penelitian
ini disebutkan risiko jangka panjang terjangkit hipertensi meningkat dengan konsumsi
alkohol.
3

6.7. Gambaran Hipertensi Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Makanan Asin


Dari hasil penelitian ini, jumlah kasus hipertensi paling banyak didapatkan pada
kelompok responden yang sering mengkonsumsi makanan asin (39,2%). Hasil ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Basuki (2001) di pedesaan Sukabumi
dimana didapatkan bahwa sering mengkonsumsi makanan asin seperti ikan asin
berkontribusi dalam tingginya prevalensi hipertensi. Begitu pula penelitan dari Aris
Sugiarto (2007) menyatakan bahwa konsumsi makanan asin, khususnya garam
sebanding dengan risiko terkena hipertensi.

6.8. Gambaran Hipertensi Berdasarkan Kebiasaan Olahraga


Pada penelitian yang dilakukan oleh Aris Sugiharto ditemukan bahwa orang yang
tidak biasa berolah raga memiliki risiko terkena hipertensi sebesar 4,73 kali
dibandingkan dengan orang yang sering berolahraga. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Sihombing (2010) ditemukan bahwa kurang aktivitas fisik berisiko
hipertensi 1,05 kali dibanding dengan cukup aktivitas fisik. Pada penelitian di wilayah
kerja Puskesmas Selemadeg I ini didapatkan kasus hipertensi paling banyak pada yang
kurang berolahraga (52,4%). Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan
hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang
akan menurunkan tekanan darah. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai
frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa,
makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.

6.9 Gambaran Hipertensi Berdasarkan Kegemukan


Pada penelitian yang dilakukan oleh Clarice (2000) ditemukan bahwa prevalensi
hipertensi meningkat seiring dengan peningkatan IMT. Hasil dari penelitian Wong-Ho
Chow, dkk. dan Liebert Mary Ann menyatakan bahwa obesitas berisiko menyebabkan
hipertensi sebesar 2 – 6 kali dibanding yang bukan obesitas. Makin besar massa tubuh,
4

makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke
jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi
meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat
badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah.
Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air. Pada penelitian ini
didapatkan kasus hipertensi paling banyak ditemukan pada kelompok yang mengalami
kegemukan (56,7%). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian dari Aris Sugiharto (2007)
yang menyatakan kegemukan/obesitas merupakan faktor risiko timbulnya hipertensi.

6.10 Kelemahan Penelitian


Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan yang penulis sadari, baik yang
terjadi saat penghitungan sampel sampai akhir analisis yang membuat penelitian ini
dalam beberapa hasilnya tidak sesuai dengan teori dan penelitian sebelumnya. Adapun
kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pada penelitian ini tidak diteliti jumlah responden yang berdasarkan
pengukuran mengalami hipertensi dan terdiagnosa oleh petugas kesehatan
sehingga persentase responden yang tidak pernah kontrol maupun yang rajin
kontrol ke petugas kesehatan tidak diketahui. Penyebab rendahnya cakupan
pelayanan juga tidak diteliti pada penelitian ini.
2. Makanan asin pada penelitian ini adalah makanan dengan rasa yang dominan
adalah asin. Rasa asin itu sendiri bersifat subjektif dan data pola konsumsi
makanan asin pada penelitian ini hanya diukur melalui frekuensi konsumsi
(Rahajeng, 2009) sehingga mengesampingkan jumlah makanan asin yang
dimakan per hari. Pada penelitian ini, jumlah asupan garam per hari tidak
diteliti.
3. Akurasi hasil wawancara tidak tepat sepenuhnya karena adanya faktor recall
bias dan adanya kehadiran pihak ketiga. Recall bias terjadi saat responden
menjawab lama aktivitas fisik, frekuensi mengkonsumsi makanan asin, dan
riwayat keluarga hipertensi.
5

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Prevalensi Hipertensi pada usia dewasa di wilayah kerja Puskesmas Selemadeg
I pada bulan Juni 2012 sebesar 39%.
2. Kejadian hipertensi cenderung dialami oleh perempuan (39,7%), kelompok
usia 55-64 (56,5%), bekerja sebagai petani (44,7%), dan pendidikan rendah
(51,1%).
3. Kejadian hipertensi cenderung dialami oleh responden yang memiliki riwayat
keluarga hipertensi (41,4%), merokok sedang (47,6%), peminum berat (40%),
sering mengkonsumsi makanan asin (39,2%), kurang berolahraga (52,4%), dan
kegemukan (56,7%).

7.2 Saran
Berdasarkan simpulan diatas, dapat dirumuskan saran penelitian sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai hubungan masing-masing
faktor risiko terhadap kejadian hipertensi, dan jumlah asupan garam per hari
pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Selemadeg I.
2. Mengingat tingginya prevalensi hipertensi pada kelompok dengan tidak
berolahraga dan kegemukan, perlu dilakukan intervensi misalnya senam dan
promosi kesehatan pada kelompok sasaran berusia di atas 35 tahun.
6

3. Mengingat tingginya prevalensi hipertensi pada perokok dan peminum, perlu


kerjasama dari puskesmas dan instansi terkait untuk mencari penyebab
tingginya angka merokok dan konsumsi alkohol pada masyarakat sehingga
dapat dicarikan solusi untuk mengurangi angka merokok dan konsumsi alkohol.

Jika dilihat dari distribusi pekerjaan penderita hipertensi pada instalasi rawat jalan di

Puskesmas Batua didapatkan hasil terbanyak pasien berprofesi sebagai ibu rumah

tangga (IRT) sejumlah 93 orang (39,91%) dikaitkan dengan terjadinya distribusi jenis

kelamin pada penderita hipertensi di Puskesmas Batua lebih banyak adalah perempuan.

Hal ini berkaitan dengan pola hidup dan status gizi dari penderita hipertensi IRT,

namun data sekunder puskesmas tidak mencantumkan status gizi pasien maupun pola

hidup/ kebiasaan rutin dari pasien. Jika dihubungkan hubungan pekerjaan ibu rumah

tangga dengan stress yang dialami penderita ataupun pola hidup IRT berupa status gizi

akan mendukung pernyataan Fauziah R. Yang menyatakan adanya hubungan terkait

pekerjaan dengan status gizi dan pola makan.28,29

Karyawan swasta dan PNS memiliki persentase cukup tinggi yaitu 18,45 % dan

16,31%, dikaitkan dengan pola hidup dan berupa stress yang dialami penderita

hipertensi dalam karir/pekerjaannya dapat memicu peningkatan tekanan darah.

Hubungan antara stress dan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis.

Penigkatan aktivitas saraf simpatis akan meningkatkan tekanan darah secara tidak
7

menentu. Jika stress terjadi secara terus-menerus, maka akan mengakibatkan tekanan

darah yang menetap tinggi.7

Wiraswasta, buruh (bangunan, serabut, kuli pasar), dagang, tukang ojek dan sopir

secara berturu-turut memiliki persentase yang cukup rendah yaitu 25%, 11%, 8%, 6%,

dan 5%, dalam studi deskriptif tentang karakteristik hipertensi di Puskesmas Batua

pekerjaan- pekerjaan diatas merupakan pekerjaan dari penderita hipertensi, sesuai

dengan pernyataan Fauzia R. dan Suparto menyatakan bahwa pekerjaan bukan

merupakan faktor risiko untuk terjadinya hipertensi. Namun dari studi literatur tidak

dapat ditolak begitu saja pernyataan bahwa pekerjaan tidak berhubungan dengan

terjadinya hipertensi, sangat kompleks penyebab hipertensi mulai dari faktor risiko

yang dapat dimanipulasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimanipulasi, yang lebih

terkait disini adalah faktor risiko yang dapat dimanipulasi yaitu berupa status gizi,

konsumsi minuman beralkohol, pola hidup/kurangnya aktivitas (olahraga), konsumsi

garam berlebih dan stress atau beban mental yang dialami setiap individu.18, 27, 28

6.1.6 Distribusi penderita hipertensi berdasarkan pendidikan

Jika dilihat dari distribusi pendidikan pada penderita hipertensi di instalasi rawat jalan

di Puskesmas Batua. Didapatkan hasil penelitian bahwa pendidikan yang tertinggi dari

pasien adalah sarjana dengan jumlah 25 orang (11%), diploma 54 orang (25%) dan

yang terbanyak adalah pendidikan tingkat SMA sejumlah 74 orang (32%). Didapatkan

juga pendidikan tingkat SMP 23 orang (10%), SD sebanyak 32 orang (14%), dan yang

tidak sekolah berjumlah 20 orang (9%). Dari hasil data studi deskriptif ini

memperlihatkan bahwa tingginya tingkat pendidikan tidak menunjukkan bahwa orang


8

tersebut akan memiliki risiko lebih rendah untuk terkena hipertensi, namun pendidikan

dapat menyadarkan akan kesadaran pasien untuk melakukan pemantauan tekanan

darah. Sesuai dengan pendapat Notoatmojo bahwa salah satu faktor yang

mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah pengalaman dan tingkat pendidikan.

Secara umum, orang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan

yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih

rendah. Hasil ini juga sesuai dengan pendapat Siti Kaidah yang mengatakan adanya

hubungan tingkat pendidikan (sarjana/SMA) dengan luasnya pengetahuan

responden/pasien terhadap hipertensi.28, 29


9

Anda mungkin juga menyukai