Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif
yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses
rematik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh
terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat. Demam rematik akut adalah sinonim
dari demam rematik dengan penekanan akut, sedangkan yang dimasuk demam rematik
inaktif adalah pasien-pasien dengan demam rematik tanpa tanda-tanda radang (Koshi,
1981).
B. Etiologi
Demam rematik akut disebabkan oleh respon imunologis yang terjadi sebagai
sekuel dari infeksi streptokokus grup A pada faring tetapi bukan pada kulit. Tingkat
serangan demam rematik akut setelah infeksi streptokokus bervariasi tergantung derajat
infeksinya, yaitu 0,3 sampai 3 persen. Faktor predisposisi yang penting meliputi riwayat
keluarga yang menderita demam rematik, status sosial ekonomi rendah (kemiskinan,
sanitasi yang buruk), dan usia antara 6 sampai 15 tahun (dengan puncak insidensi pada
usia 8 tahun (Park, 2008).
C. Epidemiologi
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun
beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit
jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan
demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi demam rematik di
Indonesia pasti lebih tinggi dari angka tersebut, mengingat penyakit jantung rematik
merupakan akibat dari demam rematik (Soeroso, 1986).
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober1 November 2001
yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di
Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang di daerah Asia
Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000
penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut (Stollerman, 2005).
D. Patofisiologi
Patofisiologi secara utuh dari terjadinya penyakit jantung reumatik belum
diketahui secara jelas tetapi ada penelitian yang mendapatkan bahwa demam rematik
yang mengakibatkan penyakit jantung rematik terjadi akibat sensitisasi dari tantigen
Streptokokus sesudah satu sampai empat minggu infeksi Streptokokus di faring. Lebih
kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptoksisn O (ASTO),
antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua macam tes yang biasa
dilakukan untuk infeksi kuman Streptokokus grup A. Beberapa faktor yang didiga
menjadi komplikasi pasca Streptokokus ini kemungkinan utama adalah pertama
Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus ddan kedua besarnya responsi umum dari host
dan persistensi organisme yang menginfeksi faring. Dan tidak diketemukannya faktor
predisposisi dari kelainan genetic
Infeksi dari Streptokokus ini pada awalnya akan mengaktifkan sistem imun.
Seberapa besar sistem imun yang aktif ini sangat dipengaruhi oleh faktor virulensi dari
kuman itu sendiri yaitu kejadian terjadinaya bakteriemia. Beberapa protein yang cukup
penting dalam faktor antigenisitas antara lain adalah protein M dan N asetil glukosamin
pada dinding sel bakteri terserbut. Kedua faktor antigen terserbut akan dipenetrasikan
oleh makrofak ke sel CD4+naif. Selanjutnya sel CD4 akan menyebabkan poliferasi dari
sel T helper 1 dan Thelper 2 melalui berbagai sitokin antara lain interleukin 2, 12, dll.
Thelper 1 akan menghasilkan interferon yang berfungsi untuk merekrut makrofak lain
datang ke tempat terjadinya infeksi terserbut. Dan juga keberadaan IL 4 dan IL 10 juga
menjadi salah satu faktor perekrutan makrofak ke tempat lesi terserbut. Selain itu T
helper juga akan mengaktifasi sel palasma menjadi sel B yang merupakan sel memori
dengan memprodukksi IL4. Keberadaan sel memori ini lah yang memungkinkan
terjadinya autoimun ulang apabila terjadi pajanan terhadap streptokokus lagi. Setelah
sel B aktif akan menghasilkan IgG dan IgE. Apabila terpajan kembali dengan bakteri
penyebab teserbut akan terjadi pengaktifan jalur komplemen yang menyebabkan
kerusakan jaringan dan pemanggilan makrofag melalui interferon.
Pada penderita jantung remmatik, sel B, IgG dan IgE akan memiliki raksi silang
dengan beberapa protein yang terdapat di dalam tubuh. Hal ini disebabkan M protein
dan N asetil glukosamin pada bakteri mirip dengan protein miosin dan tropomiosin
pada jantung, laminin pada katup jantung, vimentin pada sinovial, keratin pada kulit,
dan lysogangliosida pada subtalamikus dan caudate nuclei di otak. Reaksi imun yang
terjadi akan menyebabkan pajanan sel terus menerus dengan makrofag. Kejaidan ini
akan meningkatkan sitoplasma dan organell dari makrofagsehingga mirip seperti sel
epitel. Sel epitel teserbut disebut dengan sel epiteloid, pengabungan dari granuloma ini
disebut dengan aschoff body. Sedangkan jariangan yang lisis atau rusak karena reaksi
autoimun baik yang disebabkan oleh karena reaksi komplemen atau fagositosis oleh
makrofak akan digantikan dengan jaringan fibrosa atau scar. Terbentuknya scar ini lah
yang dapat menyebabkan stenosis ataupun insufisiensi dari katup-katup pada jantung.
Perubahan struktur yang paling sering terjadi pada demam jantung rematik adalah
insufisiensi katup mitral. Hal ini disebabkan karena kelihalngan dan pemendekan serta
penebalan kordae tendinea. Pada awal terjadinya demam jantung rematik akan terjadi
pembesaran ventrikel kiri karena adanya beban volume yang besar dan proses radang.
Setelah itu biasanya terjadi dilatasi atrium kiri karena terjadi regurgitasi ke dalam
ruangan ini. Kenaikan tekanan atrium kiri mengakibatkan kongesti pulmonal dan
gejala-gejala gagal jantung sisi kiri. Pada kebanyakan kasus insufisiensi mitral ada
dalam kisaran ringan sampai sedang. Bahkan, pada penderita-penderita yang pada
permulaannya insufiseiensi berat, biasanya kemudian ada perbaikan spontan. Hasilnya
lesi kronis paling sering ringan atau sedang, dan penderita akan tidak bergejala. Lebih
separuh penderita dengan insufisiensi mitral selama serangan akut akan tidak lagi
mempunyai bising akibat mitral setahun kemudian. Namun pada penderita dengan
insufisiensi mitral kronis, berat, tekanan arteria pulmonalis menjadi naik, pembesaran
ventrikel dan atrium kanan yang selanjutnya akan terjadi gagal jantung sisi kanan.
Komplikasi kedua tersering yang diktemui adalah stenosis katup mitral.
Stenosis ini adalah akibat fibrosis cincin mitral, perlekatan komisura, dan kontraktur
daun katup, korda, dan muskulus papilare selama periode waktu yang lama. Akibat
yang biasanaya diketemukan pada stenosis katup mitral adalah dilatasi atau hipertrophy
dari atrium kiri, hal ini terjadi karena hambatan aliran darah dari atrium kiki menuju
ventrikel kiri. Hambatan ini menyebabkan kurangnya aliran darah sistemik yang
menyebabkan anak terserbut mudah lelah. Hal lain yang disebabkan oleh stenosis katup
mitral adalah peningkatan tekanan pada paru-paru, sehingga mungkin didapatkan efusi
ringan air menuju paru-paru ataupun ke pleura. Apabila terjadi peningkatan tekanan
pulmonal dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan hipertrofi dengan disertai
gagal jantung sisi kanan. Manifestasi dari gagal jantung sisi kanan yaitu adanya edema
perifer, dilatasi dari vena jugularis, dan hepatomegali.
Komplikasi berikutnya adalah insufisiensi aorta reumatik kronis, sklerosis
katup aorta yang menyebabkan penympangan dan retraksi katup. Regurgitasi darah
menybabkan beban volume berlebih dalam dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri.
Kombinasi insufisiensi mitral dan aorta lebih sering daripada keterlibatan aorta saaja,
gagal ventrikel kiri akhirnya dapat terjadi. Untuk kelainan yang menyebabkan penyakit
katup trikuspidal dan katup pulmonal sangat jarang ditemui. Untuk katup trikuspidalis
yang paling sering adalah insufisiensi trikuspidal karena dilatasi ventrikel akan akibat
lesi sisi kiri yang beradat dapat terjadi pada penderita yang tidak dilakukan
pembedahan. Tanda-tanda yang ditimbulkan oleh insufisiensi trikuspidalis adalah
pulsasi vena jugularis dengan gelombang c-v yang mencolok. Biasanya kelainan ini
timbul bersamaan dengan kelainan katup mitral dan aorta. Insufisiensi pulmonal terjadi
atas dasar fungsional akibat hipertensi pulmonal atau dilatasi arteria pulmonalis.
Kelainan ini merupakan tanda akhir pada stenosis mitral berat. Bising serupa dengan
bising insufisiensi aorta tetapi tanda-tanda arteri perifer tidak ada (Price, 2005).

E. Penegakan Diagnosis
Demam rematik akut didiagnosis berdasarkan kriteria Jones dimana didapatkan
minimal dua gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua gejala minor, ditambah
adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan adanya infeksi streptokokus. Dua gejala
mayor selalu lebih kuat dibandingkan satu gejala mayor dengan dua gejala minor.
Arthralgia atau pemanjangan interval PR tidak dapat digunakan sebagai gejala minor
ketika menggunakan karditis dan arthritis sebagai gejala mayor. Tidak adanya bukti
yang mendukung adanya infeksi streptokokus grup A merupakan peringatan bahwa
demam rematik akut mungkin tidak terjadi pada pasien (kecuali bila ditemukan adanya
khorea). Murmur innocent (Stills) sering salah interpretasi sebagai murmur dari
regurgitasi katup mitral (MR) dan oleh karenanya merupakan penyebab yang sering
dari kesalahan diagnosis dari demam rematik akut. Murmur dari MR merupakan tipe
regurgitan sistolik (berawal dari bunyi jantung I) sedangkan murmur innocent
merupakan murmur dengan nada rendah dan tipe ejeksi (Park, 2008).
Pengecualian dari kriteria Jones meliputi tiga keadaan berikut ini:
1. Khorea mungkin timbul sebagai satu-satunya gejala klinis dari demam rematik.
2. Karditis indolen mungkin satu-satunya gejala klinis pada pasien yang datang ke tenaga
medis setelah berbulan-bulan dari onset serangan demam rematik.
3. Kadang-kadang, pasien dengan demam rematik rekuren mungkin tidak memenuhi
kriteria Jones.
Demam rematik akut didiagnosis dengan menggunakan kriteria Jones. Kriteria tersebut
dibagi menjadi tiga bagian : (1) lima gejala mayor, (2) empat gejala minor, dan (3) bukti
pemeriksaan yang mendukung adanya infeksi streptokokus grup A (Kliegman, 2007).
Karditis
Poliartritis
Gejala Mayor Khorea
Eritema marginatum
Nodul subkutan
Temuan klinis :
Riwayat demam rematik atau penyakit jantung
rematik
Arthralgia
Gejala Minor Demam
Temuan laboratorium:
Peningkatan reaktan fase akut ( laju pengendapan
eritrosit, protein C-reaktif)
Pemanjangan interval PR
Bukti yang Kultur tenggorok atau pemeriksaan antigen
mendukung streptokokus hasilnya (+)
adanya infeksi Peningkatan titer antibodi streptokokus
streptokokus grup
A

Tabel 1.1 Kriteria Jones (Kliegman, 2007)

Kriteria Mayor
1. Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena
merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita
pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit
jantung rematik. Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik
berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat
bising organik, (b) kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif. Bising
jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali,
sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru
timbul pada keadaan yang lebih berat (Stollerman, 2005).
2. Poliartritis, ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas,
dan keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik
paling sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya
berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian
berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada
beberapa sendi pada waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada
satu sendi, sendi yang lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya
mengenai satu sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu criteria mayor.
Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu kriteria mayor, poliartritis harus
disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju
endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi anti
Streptokokus lainnya yang tinggi (Stollerman, 2005).
3. Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan
yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya
mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan
otot dan ketidakstabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia
3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea
Sydenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga
dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan
kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara
lambat, sehingga tanda dan gejala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada
saat korea mulai timbul (Stollerman, 2005)..
4. Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam
rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah,
tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas
secara sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare
rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian
proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat
sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh
yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda
mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat (Stollerman,
2005).
Gambar 1.1 Eritema marginatum (Stollerman, 2005)

5. Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan
terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis.
Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit
di atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini
pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis (Stollerman, 2005).

Gambar 1.2 Nodul Subkutan (Stollerman, 2005)

Gambar 1.3 Manifestasi klinis demam rematik akut (Stollerman, 2005)


Kriteria Minor
1. Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria
minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada
kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit
jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat
secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis
(Stollerman, 2005).
2. Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau
keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot
atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim
terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor
apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor (Stollerman, 2005).
3. Demam pada demam rematik biasanya ringan, meskipun adakalanya mencapai 39C,
terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu
demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi
yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain,
kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna (Stollerman,
2005).
4. Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar
protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan
atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam
rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang
ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia
dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia,
akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan
kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila
protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi Streptokokus
akut dapat dipertanyakan (Stollerman, 2005).
5. Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan
abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai
pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam
rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda
yang memadai akan adanya karditis rematik (Stollerman, 2005).
Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standar untuk
demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi Streptokokus.
Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau
333 unit Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70%
sampai 80% kasus demam rematik akut (Stollerman, 2005).
Infeksi Streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan
tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut. Bagaimanapun,
biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi
Streptokokus akut (Stollerman, 2005).
F. Penatalaksanaan
Ketika demam rematik akut ditemukan secara anamnesis dan pemeriksaan fisik,
selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium antara lain : pemeriksaan darah
lengkap, reaktan fase akut (LED, protein C-reaktif), kultur tenggorok, titer anti
streptolisin O (dan titer antibodi kedua, terutama pada pasien dengan khorea), foto
Rontgen, dan elektrokardiografi. Konsultasi ke ahli jantung diindikasikan untuk
menjelaskan apakah terjadi kerusakan pada jantung : pemeriksaan ekhokardiografi dua
dimensi dan Doppler yang biasa dilakukan (Park, 2008).
Penisilin benzathine G 0,6 sampai 1,2 juta unit disuntikkan secara
intramuskular, diberikan untuk eradikasi streptokokus. Pada pasien yang mempunyai
alergi penisilin, dapat diberikan eritromisin dengan dosis 40 mg/kgBB perhari dalam
dua sampai empat dosis selama 10 hari. Terapi anti-inflamasi atau supresi dengan
salisilat atau steroid tidak boleh diberikan sampai ditegakkannya diagnosis pasti.
Ketika diagnosis demam rematik akut ditegakkan, diperlukan edukasi kepada
pasien dan orang tuanya tentang perlunya pemakaian antibiotik secara berkelanjutan
untuk mencegah infeksi streptokokus berikutnya. Adanya keterlibatan jantung,
diperlukan pemberian profilaksis untuk menangani endokarditis infektif (Markum,
2002).
Jangka waktu tirah baring bergantung pada tipe dan keparahan dari gejala dan berkisar
dari seminggu (untuk arthritis) hingga beberapa minggu untuk karditis berat. Tirah
baring diikuti periode untuk ambulasi di dalam rumah dengan durasi bervariasi sebelum
anak diperbolehkan untuk kembali ke sekolah. Aktivitas bebas diperbolehkan bila laju
endap darah sudah kembali ke normal, kecuali pada anak dengan kerusakan jantung
yang cukup berat. Untuk lebih jelasnya lihat pada tabel 2.2 (Markum, 2002).
Tabel 1.2 Durasi tirah baring dan ambulasi indoor (Markum, 2002).
Hanya Carditis Karditis Karditis
arthritis ringan* sedang** berat***
Tirah Selama
baring masih
1-2 3-4 4-6 adanya
minggu minggu minggu gagal
jantung
kongestif
Ambulasi 1-2 3-4 4-6
2-3 bulan
indoor minggu minggu minggu

* kardiomegali diragukan
** kardiomegali ringan
*** kardiomegali yang nyata atau gagal jantung

Terapi dengan agen anti inflamasi harus dimulai sedini mungkin saat demam
rematik akut sudah didiagnosis. Untuk karditis ringan hingga sedang, penggunaan
aspirin saja sebagai anti inflamasi direkomendasikan dengan dosis 90-100 mg/kgBB
perhari yang dibagi dalam 4 sampai 6 dosis. Kadar salisilat yang adekuat di dalam darah
adalah sekitar 20-25 mg/100 mL. Dosis ini dilanjutkan selama 4 sampai 8 minggu,
tergantung pada respon klinis. Setelah perbaikan, terapi dikurangi secara bertahap
selama 4-6 minggu selagi monitor reaktan fase akut (Park, 2008).
Untuk arthritis, terapi aspirin dilanjutkan selama 2 minggu dan dikurangi secara
bertahap selama lebih dari 2 sampai 3 minggu. Adanya perbaikan gejala sendi dengan
pemberian aspirin merupakan bukti yang mendukung arthritis pada demam rematik
akut. Pemberian prednisone ( 2 mg/kgBB perhari dalam 4 dosis untuk 2 sampai 6
minggu ) diindikasikan hanya pada kasus karditis berat (Park, 2008).
Penanganan gagal jantung kongestif meliputi istirahat total dengan posisi
setengah duduk (orthopneic) dan pemberian oksigen. Prednison untuk karditis berat
dengan onset akut. Digoksin digunakan dengan hati-hati, dimulai dengan setengah
dosis rekomendasi biasa, karena beberapa pasien dengan karditis rematik sangat sensitif
terhadap pemberian digitalis. Furosemid dengan dosis 1 mg/kgBB setiap 6 sampai 12
jam, jika terdapat indikasi (Park, 2008).
Penanganan khorea Sydenham dilakukan dengan mengurangi stres fisik dan
emosional. Terapi medikamentosa antara lain pemberian benzatin penisilin G 1,2 juta
unit, sebagai awalan eradikasi streptokokus dan juga setiap 28 hari untuk pencegahan
rekurensi, seperti pada pasien dengan gejala rematik lainnya. Tanpa profilaksis sekitar
25% pasien dengan khorea (tanpa adanya karditis) berkembang menjadi penyakit katup
jantung rematik pada follow-up 20 tahun berikutnya. Pada kasus yang berat, obat-
obatan berikut dapat diberikan : fenobarbital (15-30 mg setiap 6-8 jam), haloperidol
(dimulai dengan dosis 0,5 mg dan ditingkatkan setiap 8 jam sampai 2 mg setiap 8 jam),
asam valproat, klorpromazine, diazepam, atau steroid (Park, 2008).
G. Komplikasi
Demam rematik tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi. Prognosis sangat
baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan akut demam rematik. Selama 5
tahun pertama perjalanan penyakit demam rematik dan penyakit jantung rematik tidak
membaik bila bising organik katup tidak menghilang. Prognosis memburuk bila gejala
karditisnya lebih berat, dan ternyata demam rematik akut dengan payah jantung akan
sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan
ini akan bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik
(Stollerman, 2005).

H. Prognosis
Ada maupun tidak adanya kerusakan jantung permanen menentukan prognosis.
Perkembangan penyakit jantung sebagai akibat demam rematik akut diperngaruhi oleh tiga
faktor, yaitu:
1. Keadaan jantung pada saat memulai pengobatan. Lebih parahnya kerusakan jantung
pada saat pasien pertama datang, menunjukkan lebih besarnya kemungkinan insiden
penyakit jantung residual.
2. Kekambuhan dari demam rematik : Keparahan dari kerusakan katup meningkat pada
setiap kekambuhan.
3. Penyembuhan dari kerusakan jantung : terbukti bahwa kelainan jantung pada serangan
awal dapat menghilang pada 10-25% pasien. Penyakit katup sering membaik ketika
diikuti dengan terapi profilaksis (Park, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Affandi MB. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik: Diagnosis,
penatalaksanaan dan gambaran klinik pada pemeriksaan pertama di RSCM
Bagian 1K Anak, Jakarta 1978-1981. Maj Kes Mas 1986; XVI (4): 240-48.
Kliegman R, Behrman R, Jenson H. Rheumatic Heart Disease in Nelson Textbook of
Pediatric. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007. p.1961-63
Koshi G, Benjamin V, Chenan G. Rheumatic fever and rheumatic heart disease in rural
South Indian children. Bull WHO 1981; 59 (4): 599-603

Markum A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta : FKUI, 2002. 599-
613.

Park M. Pediatric Cardiology for Practicioners. 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier
. 2008
Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. p.
613-27
Soeroso S dkk. Tinjauan Prevalensi Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik
pada Anak di Indonesia. Dalam: Sastrosubroto H. dkk (ed). Naskah Lengkap
Simposium dan Seminar Kardiologi Anak. Semarang. 27 September 1986: 1-
11
Stollerman GH. Rheumatic Fever. In: Braunwald, E. etal (eds). Harrison's Principles
of Internal Medicine. 16th. ed. Hamburg. McGraw-Hill Book. 2005 : 1977-79
Wahab AS. Penanganan Demam Rematik pada Anak. Berita Kedokteran Masyarakat
1989; V (5): 196-203
World Health Organization. WHO program for the prevention of rheumatic
fever/rheumatic heart disease in 16 developing countries: report from Phase
1(1986-90). Bull WHO 1992; 70(2): 213-18

Anda mungkin juga menyukai