Anda di halaman 1dari 17

CONGESTIVE HEART FAILURE

A. Definisi
Gagal jantung atau sering juga disebut Gagal Jantung Kongestif adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Smelter& Suzanne,
2002).
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan
struktural ataupun fungsional jantung yang menyebabkan gangguan
kemampuan pengisian ventrikel dan ejeksi darah ke seluruh tubuh (AHA,
2014).
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang
pasien harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek
yang tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak
kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki);
adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat
(PERKI, 2015).

B. Epidemiologi
Data WHO tercatat 1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat
menderita gagal jantung dan 700.000 diantaranya memerlukan perawatan di
rumah sakit per tahun. Faktor risiko terjadinya gagal jantung yang paling
sering adalah usia lanjut, 75% pasien yang dirawat dengan gagal jantung
berusia 65-75%. Terdapat 2 juta kunjungan pasien rawat jalan per tahun yang
menderita gagal jantung. Kemudian menurut penelitian angka kejadian gagal
jantung kronik di Amerika Serikat, jumlahnya sekitar tiga juta orang, lebih
dari empat ratus ribu kasus baru dilaporkan tiap tahun (Djausal, 2016).
Di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada
usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal
jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki.
Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak
diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50%
akan meninggal dalam tahun pertama. Di Inggris, sekitar 100.000 pasien
dirawat di rumah sakit setiap tahun untuk gagal jantung, merepresentasikan
5% dari semua perawatan medis dan menghabiskan lebih dari 1% dana
perawatan kesehatan nasional di negara tersebut (Gray et.al, 2005).
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit kardiovaskular
akan menjadi penyebab terbanyak kasus kematian di seluruh dunia. Di
Indonesia, penyakit gagal jantung kongestif telah menjadi pembunuh nomor
satu. Prevalensi penyakit jantung di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun (2013),
prevalensi gagal jantung berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Indonesia
sebesar 0,13 persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3
persen.
Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi DI
Yogyakarta (0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan Jawa Tengah (0,18%).
Prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Nusa
Tenggara Timur (0,8%), diikuti Sulawesi Tengah (0,7%), sementara Sulawesi
Selatan dan Papua sebesar 0,5 persen.

C. Etiologi dan Faktor Risiko


Beberapa etiologi dan faktor risiko dari penyakit gagal jantung kongestif
ialah :
a. Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita
penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan
hipertrofi ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung
koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit gagal jantung kongestif
(Hellerman, 2003).
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi
terjadinya gagal jantung (Riaz, 2012). Hipertrofi ventrikel kiri menjadi
predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang
nantinya akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip et al., 2000).
c. Cardiomiopathy
Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan
kongenital. Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah
dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering
terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi
dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini
disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan
penambahan jaringan fibrosis (Lip et al., 2000). Hipertrophic
cardiomiopathy merupakan salah satu jenis cardiomiopathy yang bersifat
herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah
abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium
tetapi juga menyebabkan hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi
aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians
ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia
atrium dan ventrikel (Scoote et al., 2005).
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy. Karakteristik
dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk,
tidak ditemukan adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini
berhubungan dengan gangguan relaksasi saat diastolik sehingga pengisian
ventrikel berkurang dari normal. Kondisi yang dapat menyebabkan
keadaan ini ialah Amiloidosis, Sarcoidosis, Hemokromasitomatosis dan
penyakit resktriktif lainnya (Scoote et al., 2005).
d. Kelainan Katup Jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral.
Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan
volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk
berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh
tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal jantung
kongestif (Lip et al., 2000)
e. Aritmia
Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa
perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31%
dari pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan
ditemukan 60% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah
dilakukan pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai
penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis dengan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Cowie et.al., 1998).
f. Alkohol dan Obat-obatan
Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial
fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka
panjang menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal
jantung kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang.
Sementara itu beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap
miokardium diantaranya ialah agen kemoterapi seperti doxorubicin dan
zidovudine yang merupakan antiviral (Cowie, 2008).
g. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk
menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan
pada wanita belum ada fakta yang konsisten. Sementara diabetes
merupakan faktor independen dalam mortalitas dan kejadian rawat inap
ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme perubahan
struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu, obesitas menyebabkan
peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung
koroner yang merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif.
Berdasarkan studi Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan
faktor resiko yang untuk kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang berujung
pada gagal jantung (Lip et al., 2000).

Klasifikasi gagal jantung kongestif


Klassifikasi fungsional yang biasanya dipakai menurut NYHA adalah (Yancy
et al., 2013):
Klas I : tidak ada keterbatasan dalam melakukan aktifitas apapun, tidak
muncul gejala dalam aktivitas apapun.
Klas II : mulai ada keterbatasan dalam aktivitas, pasien masih bisa
melakukan aktivitas ringan dan keluhan berkurang saat istirahat
Klas III : terdapat keterbatasan dalam melaksanakan berbagai aktivitas,
pasien merasa keluhan berkurang dengan istirahat.
Klas IV : keluhan muncul dalam berbagai aktivitas, dan tidak berkurang
meskipun dengan istirahat.
Sedangkan pada tahun 2001, the American College of Cardiology/American
Heart Association working group membagi kegagalan jantung ini menjadi
empat stage (Figueroa dan Peters, 2006):
Stage A : memiliki resiko tinggi untuk terkena CHF tapi belum ditemukan
adanya kelainan struktural pada jantung
Stage B : sudah terdapat kelainan struktural pada jantung, akan tetapi
belum menimbulkan gejala.
Stage C : adanya kelainan struktural pada jantung, dan sudah muncul
manifestasi gejala awal jantung, masih dapat diterapi dengan pengobatan
standard.
Stage D : pasien dengan gejala tahap akhir jantung, dan sulit diterapi
dengan pengobatan standard.

D. Patomekanisme
Mekanisme Frank Starling
Mekanisme Frank Starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi
peningkatan volume ventriculer end diastolic. Bila terjadi peningkatan
pengisian diastolic, berarti ada peningkatan peregangan dari serat otot jantung,
lebih optimal pada filament aktin dan myosin, dan hasilnya meningkatkan
tekanan pada kontraksi berikutnya. Pada keadaan normal, mekanisme Frank
Starling mencocokkan output dari dua ventrikel (Boron dan Boulpaep, 2005).
Pada gagal jantung, mekanisme Frank Starling membantu mendukung
kardiak output. Kardiak output mungkin akan normal pada penderita gagal
jantung yang sedang beristirahat, dikarenakan terjadinya peningkatan volume
ventricular end diastolic dan mekanisme Frank-Starling. Mekanisme ini
menjadi tidak efektif ketika jantung mengalami pengisian yang berlebihan dan
serat otot mengalami peregangan yang berlebihan (Boron dan Boulpaep, 2005).
Hal penting yang menentukan kosumsi energy otot jantung adalah ketegangan
dari dinding ventricular. Pengisian ventrikel yang berlebihan menurunkan
ketebalan dinding pembuluh darah dan meningkatkan ketegangan dinding
pembuluh darah. Peningkatan ketegangan dinding pembuluh darah.
Peningkatan ketegangan dinding pembuluh darah akan meningkatkan
kebutuhan oksigen otot jantung yang menyebabkan iskemia dan lebih lanjut
lagi adanya gangguan fungsi jantung (Loscalzo et al., 2008).

Aktivasi neurohormonal yang mempengaruihi sistem saraf simpatetik


Stimulasi system saraf simpatetik berperan penting dalam respon
kompensasi menurun cardiac output dan pathogenesis gagal jantung . Baik
cardiac sympathetic tone dan katekolamin (epinephrine dan norepinephrin)
meningkat selama tahap akhir dari hamper semua bentuk gagal jantung.
Stimulasi lansung irama jantung dan kontraktilitas otot jantung oleh pengaturan
vascular tone, sistem saraf simpatetik membantu memelihara perfusi berbagai
organ, terutama otak dan jantung (Loscalzo et al., 2008). Aspek negatif dari
peningkatan aktivitas system saraf simpatetik melibatkan peningkatan tahanan
sistem vaskular dan kelebihan kemampuan jantung dalam memompa. Stimulasi
simpatetik yang berlebihan juga menghasilkan penurunan aliran darah ke kulit,
otot, ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak hanya menurunkan perfusi
jaringan tetapi juga berkontribusi meningkatkan sistem tahanan vaskular dan
stres berlebihan dari jantung (Rang, 2003).
Mekanisme Renin-Angiotensin Aldosteron
Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan cardiac output
dalam gagal jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan
filtrasi glomerulus, yang menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran
darah ke ginjal, meningkatkan sekresi renin oleh ginjal yang secara paralel
akan meningkatkan pula angiotensin II. Peningkatan konsentrasi angiotensin II
berkontribusi pada keadaan vasokonstriksi dan menstimulasi produksi
aldosteron dari adrenal korteks. Aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi
natrium dengan meningkatkan retensi air (Tsutsui et al., 2007). Selain itu
angiotensin II dan aldosteron juga terlibat dalam inflamasi proses perbaikan
karena adanya kerusakan jaringan. Keduanya menstimulasi produksi sitokin,
adhesi sel inflamasi (contoh neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis;
mengaktivasi makrofag pada sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi
pertumbuhan fibroblas dan sintesis jaringan kolagen (Loscalzo et al., 2008).

Peptida natriuretik dan substansi vasoaktif yang diproduksi secara lokal


Ada tiga jenis natriuretic peptide yaitu atrial natriuretic peptide (ANP),
brain natriuretic peptide (BNP), dan C-type natriuretic peptide (CNP). ANP
dihasilkan dari sel atrial sebagai respon meningkatkan ketegangan tekanan
atrial, memproduksi natriuresis cepat dan sementara, diuretik dan kehilangan
kalium dalam jumlah sedang dalam urine. BNP dikeluarkan sebagai respon
tekanan pengisian ventrikel sedangkan fungsi CNP masih belum jelas.

Hipertrofi otot jantung dan remodeling


Perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodeling merupakan salah
satu mekanisme akibat meningkatnya kerja yang berlebih. Meskipun hipertrofi
ventrikel memperbaiki kerja jantung, ini juga merupakan faktor risiko yang
penting bagi morbiditas dan mortalitas. Keadaan hipertrofi dan remodeling
dapat menyebabkan perubahan dalam struktur (massa otot, dilatasi chamber)
dan fungsi (gangguan fungsi sistolik dan diastolik). Ada 2 tipe hipertrofi, yaitu
pertama Concentric hypertrophy, terjadi penebalan dinding pembuluh darah,
disebabkan oleh hipertensi.dan kedua Eccentric hypertrophy, terjadi
peningkatan panjang otot jantung disebabkan oleh dilated cardiomyopathy
(Shigeyama et al., 2005).

E. Manifestasi klinis
a. Dispnea
Gawat pernapasan yang terjadi sebagai akibat dari meningkatnya usaha
pernapasan adalah gejala gagal jantung yang paling umum. Dispnea
jantung diamati paling sering pada pasien dengan peningkatan vena
pulmonalis dan tekanan kapiler. Pasien biasanya engalami pembendungan
pembuluh darah paru dan edema paru interstitialis yang mungkin terbukti
pada pemeriksaan radiologik dan mengurangi kelenturan paru dan oleh
karena itu meningkatkan kerja otot-otot pernapasan yang dibutuhkan untuk
mengembangkan paru. aktivasi reseptor dalam paru menimbulkan
pernapasan yang cepat dan dalam. Kebutuhan oksigen pernapasan
ditingkatkan oleh kerja berlebihan dari otot-otot pernapasan. Hal ini
dilipatgandakan dengan berkurangnya pengantaran oksigen ke otot-otot
ini, yang trejadi sebagai konsekuensi berkurangnya curah jantung dan yang
mungkin menyebabkan kelelahan otot-otot pernapasan dan sensasi sesak
napas (Braunwald, 2000).
b. Ortopnea
Dispena dalam posisi berbaraning biasanya merupakan manifestasi akhir
dari gagal jantung dibanding dipsnea pengerahan tenaga. Ortopnea terjadi
akrena redistribusi caira dari abdomen dan ekstrimitas bawah ke dalam
dada menyebabkan peningkatan diafragma. Pasien dengan ortopnea harus
meninggikan kepalanya dengan beberaa bantal pada malam hari dan
seringkali terbangun karea sesak napas atau batuk, jika bantalnya hilang
atau terjatuh. Sensasi sesak napas dapat hilang dengan posisi duduk tegak;
karena posisi ini mengurangi aliran balik vena dan tekanan kapiler paru
(Braunwald, 2000).
c. Dipsnea paroksismal (nokturnal)
Istilah ini merujuk pada sedangan sesak napas berat dan batuk yang
umumnya terjadi pada malam hari, seringkali membangunkan pasien dari
tidur. Meskipun ortopnea sederhana dapat dikurangi dengan duduk tegak
pada tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung pada pasien dengan
dispnea nokturnal paroksismal, batuk dan mengi seringkali menetap
bahkan dalam posisi ini. depresi pusat pernapasan selama tidur mungkin
mengurangi ventalasi yang cukup untuk menurunkan tegangan oksigen
arteri, terutama pada pasien dengan edema paru interstitial dan
berkurangnya kelenturan paru (Braunwald, 2000).
d. Pernapasan Cheyne-Stokes
Pernapasan semacam ini juga dikenal sebagai pernapasan periodik atau
siklik. Pernapasan Ceyne-Stokes juga ditandai oleh berkurangnya
sensitivitas pusat pernapasan terhadap PCO2. Terdapat fase apneik, yang
selama fase tersebut PO2 arteri turun dan PCO2 arteri naik. Perubahan ini
dalam darah arteri merangsang pusat penekanan pernapasan, menimbulkan
hiperventilasi dan hipokapnia, diikutin kemudian oleh apnea (Braunwald,
2000).
e. Kelelahan, kelemahan, dan berkurangnya kapasitas exercise
Gejala yang tidak spesifik tetapi umum dari gagal jantung ini, berkaitan
dengan berkurangnya perfusi otot rangka. Kapasitas exercise berkurang
dengan terbatasnya kemampuan jantung yang gagal untuk meningkatkan
curahnya dan menghantarkan oksigen ke otot yang sedang exercise.
Anoreksia dan mual berkaitan dengan nyeri abdomen dan rasa penuh,
merupakan keluhan yang sering dikemukakan, yang mungkin berkaitan
dengan kongesti hepar dan sistem vena porta (Braunwald, 2000).
f. Gejala serebral
pada gagal jantung berat, terutama pada pasien usia lanjut disertai dengan
arteriosklerosis serebralis, berkurangnya perfusi serebral, dan hipoksemia
arterial, mungkin adaperubahan keadaan mental yang ditandai dengan
konfusi, kesulitan berkonsentrasi, gangguan mengingat, sakit kepala,
insomnia, dan kecemasan (Braunwald, 2000).

F. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
a) Gagal ventrikel kiri : seesak napas, ortopnea, dispena nocturnal
paroksismal (masalah pernapsan pada malam hari dan jumlah bantal yang
dipakai), batuk, wheezing, toleransi olahraga yang berkurang
b) Gagal ventrikel kanan : edema perifer khususnya pada pergelangan kaki,
tungkai, ascites yang menyebabkan distensi abdomen, efusi pleura yang
menyebabkan sesak napas, ikterik, nyeri perut kanan atas, mual dan nafsu
makan menurun
c) Mengenai riwayat penyakit dahulu dan obat-obatan apakah ada riwayat
penyakit dada, riwayat penyakit jantung sebelumnya, riwayat faktor risiko
aterosklerosis, riwayat penyakit pernapasan atau ginjal
d) Penyelidikan tentang toleransi terhadap olahraga serta masukan garam dan
air.
e) Konsumsi obat yang menyebabkan kardiomiopati, merokok dan alkohol
2. Pemeriksaan Fisik
Pada gagal jantung sedang, pasien tampaknya tidak menderita saat
istirahat kecuali merasa tidak nyaman jika berbaring terlentang selama lebih
dari beberapa menit. Pada gagal jantung yang lebih berat, tekanan nadi
mungki berkurang, menunjukkan penurunan volume sekuncup dan kadang-
kadang tekanan arteri diastolik meningkat akibat vasokonstriksi menyeluruh.
Pada gagal jantung akut, hipotensi mungkin menonjol. Mungkin terdapat
sianosis pada bibir dan bantalan kuku, sinus takikardi dan pasien memaksa
untuk duduk tegak. Tekanan vena sistemik seringkali meningkat abnormal
pada gagal jantung dan dapat dikenali dengan mengamati besarnya distensi
vena jugularis. Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena mungkin normal
saat istirahat tetapi dapat meningkat menjadi tidak normal selam dan segera
sesudah mengerahkan tenaga dan menahan tekanan pada perut (refluks
abdominojuguler positif). Bunyi jantung ketiga dan keempat merupakan
tanda gagal jantung berat dan disebabkan oleh pengurangan jumlah unit
kontraktil selama kontrkasi yang lemah dan/atau oleh perubahan dalam
volume diastolik akhir ventrikel (Braunwald, 2000).
a. Keadaan umum dan tanda vital
Gagal jantung ringan atau sedang, pasien tidak merasa sesak pada
istirahat kecuali merasa tidak nyaman ketika berbaring pada tempat yang
datar untuk beberapa menit. Pada gagal jantung yang berat, pasien harus
duduk tegak, sesak napas, dan tidak dapat menyelesaikan kalimat ketika
berbicara karena napas yang pendek. Tekanan darah sistolik dapat
normal atau tinggi pada gagal jantung awal, namun secara umum tekanan
darah menurun pada gagal jantung akhir karena disfungsi eventrikel kiri
berat. Tekanan nadi dapat berkurang yang menunjukkan reduksi dari
volume sekuncup. Sinus takikardi merupakan gejala nonspesifik karena
peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan
ekstrimitas terasa dingin dan sianosis pada bibir dan bantalan kuku yang
juga disebabkan karena aktivitas adrenergik yang meningkat (Mann dan
Murali, 2011).
b. Vena jugular
Pemeriksaan vena jugular dapat memperkirakan tekanan atrium kanan.
Pada gagal jantung dini, tekanan vena jugular dapat normal pada
istirahat, namun dapat meningkat abnormal ketika terdapat tekanan yang
tetap pada abdomen (Mann dan Murali, 2011).
c. Pemeriksaan paru
Bunyi rhonki pada auskultasi pari berasal dari transdasi cairan dari
ruangan intravaskuler menuju ke alveoli. Pada pasien dengan edema
pulmo, rhonki dapat terdengar luas pada kedua lapang paru dan dapat
disertai dengan wheezing ketika ekspirasi. Efusi pleura terjadi berasal
dari penuungkatan tekanan kapiler pleura dan menghasilkan transudasi
cairan ke kavitas pleura. Sejak vena pleura mengalir ke vena sistemik dan
pulmonar, efusi pleura terjadi umum pada kegagalan biventrikular.
Walaupun efusi pleura sering terjadi pada kanan dan kiri, ketika terjadi
unilateral, efusi pleura lebih sering terjadi pada sisi kanan (Mann dan
Murali, 2011).
d. Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan jantung acap kali tidak menyediakan informasi tentang
keparahan dari gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali, point maximal
impulse (PMI) terdapat berpindah ke bawah SIC 5 dan/atau lateral dari
garis midkalvikula, dan detak dapat terasa hingga 2 SIC. Pada bebera
pasien, suara jantung ke-3 (S3) dapat didengar dan teraba pada apeks.
Suara jantung ke-4 (S4) bukan merupakan indikator yang spesifik pada
gagal jantung namun biasanya terdapat pada disfungsi diastolik. Murmur
mitral dan regurgitasi trikuspid sering terdengar pada gagal jantung parah
(Mann dan Murali, 2011).
e. Abdomen dan ekstremitas
Gepatomegali merupakan tanda yang penting pada pasien dengan gagal
jantung. Ketika hepatomegali muncul, hepar membesar dengan
konsistensi halus dan dapat muncul pulsasi ketika sistol jika regurgitasi
trikuspid ada. Asites, tanda akhir, terjadi sebagai konsekuensi terhadap
peningkatan tekanan pada vena hepatikum dan vena yang memperdarahi
peritonium. Jaundis, juga tanda akhir pada gagal jantung, merupakan
hasil dari fungsi hepar yang enurun akibat dari kongesti pada hepar dan
hipoksemia hepatoseluler dan diasosiasikan dengan peningkatan bilirubin
direk dan indirek (Mann dan Murali, 2011).
f. Kakeksia jantung
Dengan keparahan gagal jantung, terdapat tanda penurunan berat badan
dan kakeksia. Walaupun mekanisme kakeksia tidak dipahami
sepenuhnya, mungkin hal ini merupakan multifaktorial dan termasuk
peningkatan dari kecepatan metabolik ketika istirahat; anoreksia, mual,
dan muntah karena kongestif hepatomegali dan rasa penuh pada
abdomen; peningkatan sirkulasi dari sitokin seperti TNF; dan absorsi
intestinal yang buruk karena kongesti vena intestinal. Ketika muncul,
kakeksia merupakan sebuah prognosis yang buruk (Mann dan Murali,
2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) harus dikerjakan pada semua
pasien diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada
gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil
dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal
jantung (Mann dan Murali, 2011).
b. Foto toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen
toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan
dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau
memperberat sesak napas. Kardiomegali dapat tidak diteukan pada gagal
jantung akut dan kronik (Mann dan Murali, 2011).
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit,
kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan
urinalisis. Pemeriksaan tambahan laindipertimbangkan sesuai tampilan
klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang
dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum
diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan
penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan
terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting
Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis
aldosterone (Siswanto et al., 2015).
d. Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan
ultrasound jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour
Doppler dan tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal
jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi
adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan
gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara
pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal
adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%) (Siswanto et al.,
2015).

G. Tatalaksana
a. Tatalaksana Non-Farmakologi (Siswanto et al., 2015).
1) Manajemen perawatan mandiri
Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari
perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala
awal perburukan gagal jantung
2) Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien
yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
3) Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat
kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan
dosis diuretik atas pertimbangan dokter.
4) Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan
gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal
jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup
b. Tatalaksana Farmakologi (Siswanto et al., 2015).
1) Angiotensi-Converting Enzyme Inhibitors (ACE-I) Semua pasien
gagal jantung memerlukan penghambat ACE atau ARB bila tidak
ada kontraindikasi. Penghambat AEC kadang-kadang menyebabkan
perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk
dan angioedema (jarang), oleh sebab itu penghambat ACE hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium
normal.
2) Penyekat
Kecuali kontraindikasi, penyekat harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40
%. Penyekat memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,
dan meningkatkan kelangsungan hidup.
3) Antagonis aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis
kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi
35 % dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV
NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.
Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
4) Angiotensin receptor blockers
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACEI dan penyekat dosis optimal, kecuali juga
mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan
sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB
mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
Gambar 3.1 Dosis obat yang umum dipakai pada gagal jantung

5) Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat,
walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada
pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala,
menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka
kelangsungan hidup.
Inisiasi pemberian digoksin
a) Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal
normal. Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis
diturunkan menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari
b) Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik.
Kadar terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
6) Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
tanda klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik
adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai
kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Gambar 1.2 Dosis diuretik yang digunakan pada pasien gagal
jantung

H. Prognosis
Prognosis pasien gagal jantung buruk walaupun dengan terapi yang
adequate. Data yang diperoleh sekitar 35% pasien pria bertahan hidup setelah
onset akut gagal jantung dan 50% pada wanita. Secara umum didapatkan data
mortalitas pada klas IV (adanya symptom saat istirahat) sekitar 30-70%, klas
III (adanya symptom dengan aktiviitas ringan) 10-20%, klas II (adanya
symptom saat aktivitas sedang 5-10%. Mortalitas lebih tinggi didapatkan
pada pasien lebih tua, laki-laki, penurunan fraksi ejeksi dan adanya penyakit
koroner. Biaya yang dikeluarkan untuk terapi gagal jantung di Amerika antara
15-40 trilyun US$ (Saunders,2000).

Anda mungkin juga menyukai