Anda di halaman 1dari 13

II.

TINJAUAN PUSTAKA

HEMATEMESIS MELENA

A. Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yaitu perdarahan yang berasal
dari dalam lumen saluran cerna di atas (proksimal) ligamentum Treitz, mulai dari
jejunum proksimal, duodenum, gaster, dan esophagus (Astera, 1999). Hal tersebut
mengakibatkan muntah darah (hematemesis) dan berak darah berwarna hitam seperti
aspal (melena) (Richter, 1999).
Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam
bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah karena enzim
dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi. Melena yaitu
keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal (ter) dengan bau khas, yang
menunjukkan perdarahan saluran cerna atas serta dicernanya darah pada usus halus
(Davey, 2006).

B. Etiologi
Beberapa penyebab timbulnya perdarahan di saluran cerna atas yaitu (Hastings,
2005):
1. Kelainan di esophagus
a. Pecahnya varises esophagus
Perdarahan varises secara khas terjadi mendadak dan masif, kehilangan
darah gastrointestinal kronik jarang ditemukan. Perdarahan varises esofagus atau
lambung biasanya disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi sekunder akibat
sirosis hepatis. Meskipun sirosis alkoholik merupakan penyebab varises esofagus
yang paling prevalen di Amerika Serikat, setiap keadaan yang menimbulkan
hipertensi portal dapat mengakibatkan perdarahan varises. Lebih lanjut, kendati
adanya varises berarti adanya hipertensi portal yang sudah berlangsung lama,
penyakit hepatitis akut atau infiltrasi lemak yang hebat pada hepar kadang-kadang
menimbulkan varises yang akan menghilang begitu abnormalitas hepar
disembuhkan. Meskipun perdarahan SMBA pada pasien sirosis umumnya berasal
dari varises sebagai sumber perdarahan, kurang lebih separuh dari pasien ini dapat
mengalami perdarahan yang berasal dari ulkus peptikum atau gastropati hipertensi
portal. Keadaan yang disebut terakhir ini terjadi akibat penggembungan vena-vena
mukosa lambung. Sebagai konsekuensinya, sangat penting menentukan penyebab
perdarahan agar penanganan yang tepat dapat dikerjakan.
Angka kejadian pecahnya varises esophagus yang menyebabkan perdarahan
cukup tinggi yaitu 54,8%. Sifat perdarahan hematemesisnya mendadak dan masif,
tanpa didahului nyeri epigastrium. Darah berwarna kehitaman dan tidak akan
membeku karena sudah tercampur asam lambung. Setelah hematemesis selalu
disusul dengan melena.
b. Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus lebih sering menunjukkan keluhan melena daripada
hematemesis. Pasien juga mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis. Hanya
sesekali penderita muntah darah tidak masif. Pada panendoskopi jelas terlihat
gambaran karsinoma yang hampir menutup esophagus dan mudah berdarah terletak
di sepertiga bawah esophagus.
c. Sindrom Mallory-Weiss
Riwayat medis ditandai oleh gejala muntah tanpa isi (vomitus tanpa darah).
Muntah hebat mengakibatkan ruptur mukosa dan submukosa daerah kardia atau
esophagus bawah sehingga muncul perdarahan. Karena laserasi aktif disertai
ulserasi, maka timbul perdarahan. Laserasi muncul akibat terlalu sering muntah
sehingga tekanan intraabdominal naik menyebabkan pecahnya arteri di submukosa
esophagus/ kardia. Sifat perdarahan hematemesis tidak masif, timbul setelah pasien
berulangkali muntah hebat, lalu disusul rasa nyeri di epigastrium. Misalnya pada
hiperemesis gravidarum.
d. Esofagogastritis korosiva
Pernah ditemukan penderita wanita dan pria yang muntah darah setelah tidak
sengaja meminum air keras untuk patri. Air keras tersebut mengandung asam sitrat
dan asam HCl yang bersifat korosif untuk mukosa mulut, esophagus dan lambung.
Penderita juga mengeluh nyeri dan panas seperti terbakar di mulut, dada dan
epigastrium.
e. Esofagitis dan tukak esophagus
Esofagitis yang menimbulkan perdarahan lebih sering bersifat intermiten
atau kronis, biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada
hemetemesis. Tukak esophagus jarang menimbulkan perdarahan jika dibandingkan
dengan tukak lambung dan duodenum.
2. Kelainan di lambung
a. Gastritis erosiva hemoragika
Penyebab terbanyak adalah akibat obat-obatan yang mengiritasi mukosa
lambung atau obat yang merangsang timbulnya tukak (ulcerogenic drugs). Misalnya
obat-obat golongan salisilat seperti Aspirin, Ibuprofen, obat bintang tujuh dan
lainnya. Obat-obatan lain yang juga dapat menimbulkan hematemesis yaitu :
golongan kortikosteroid, butazolidin, reserpin, spironolakton dan lain-lain.
Golongan obat-obat tersebut menimbulkan hiperasiditas.
Gastritis erosiva hemoragika merupakan urutan kedua penyebab perdarahan
saluran cerna atas. Pada endokopi tampak erosi di angulus, antrum yang multipel,
sebagian tampak bekas perdarahan atau masih terlihat perdarahan aktif di tempat
erosi. Di sekitar erosi umumnya hiperemis, tidak terlihat varises di esophagus dan
fundus lambung. Sifat hematemesis tidak masif dan timbul setelah berulang kali
minum obat-obatan tersebut, disertai nyeri dan pedih di ulu hati.
b. Tukak lambung
Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan terutama di angulus
dan prepilorus bila dibandingkan dengan tukak duodeni. Tukak lambung akut
biasanya bersifat dangkal dan multipel yang dapat digolongkan sebagai erosi.
Biasanya sebelum hematemesis dan melena, pasien mengeluh nyeri dan
pedih di ulu hati selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sesaat sebelum
hematemesis rasa nyeri dan pedih dirasakan bertambah hebat, namun setelah muntah
darah rasa nyeri dan pedih tersebut berkurang. Sifat hematemesis tidak begitu masif,
lalu disusul melena.
c. Karsinoma lambung
Insidensinya jarang, pasien umumnya berobat dalam fase lanjut dengan
keluhan rasa pedih dan nyeri di ulu hati, rasa cepat kenyang, badan lemah. Jarang
mengalami hematemesis, tetapi sering melena.
3. Kelainan di duodenum
a. Tukak duodeni
Tukak duodeni yang menyebabkan perdarahan panendoskopi terletak di
bulbus. Sebagian pasien mengeluhkan hematemesis dan melena, sedangkan
sebagian kecil mengeluh melena saja. Sebelum perdarahan, pasien mengeluh nyeri
dan pedih di perut atas agak ke kanan. Keluhan ini juga dirasakan waktu tengah
malam saat sedang tidur pulas sehingga terbangun. Untuk mengurangi rasa nyeri dan
pedih, pasien biasanya mengkonsumsi roti atau susu.
b. Karsinoma papilla Vateri
Karsinoma papilla Vateri merupakan penyebaran karsinoma di ampula
menyebabkan penyumbatan saluran empedu dan saluran pancreas yang umumnya
sudah dalam fase lanjut. Gejala yang timbul selain kolestatik ekstrahepatal, juga
dapat menimbulkan perdarahan tersembunyi (occult bleeding), sangat jarang timbul
hematemesis. Selain itu pasien juga mengeluh badan lemah, mual dan muntah.

C. Epidemiologi
Di Eropa dan Amerika dalam buku Current Diagnosis & Treatment in
Gastroenterology, sebagian besar penyebab perdarahan saluran cerna atas adalah tukak
peptik. Hal itu sesuai data penelitian CURE yaitu sekitar 55% pasien perdarahan saluran
cerna atas yang disebabkan oleh tukak peptic (Ponijan, 2012).
Ari F. Syam (2005) dalam penelitiannya di RSCM Jakarta menyebutkan
kebanyakan penderita perdarahan saluran cerna atas disebabkan oleh varises esophagus
(33,5%). Tingginya angka penderita varises esophagus dikarenakan adanya hubungan
antara varises esophagus dengan penyakit hepatitis B dan C di Indonesia. Demikian
pula pada penelitian Nasrul Zubir dan Julius (1992) di RSU dr. M. Jamil Padang, jenis
kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan endoskopi yang terbanyak adalah varises
esophagus sebanyak 196 penderita (23,17%), gastritis refluks menempati urutan
tertinggi diantara gastritis lainnya (41,21%). Jumlah tukak lambung dan tukak
duodenum pada penelitian ini hampir sebanding.
Di Perancis, sebuah laporan menyimpulkan bahwa jumlah kematian dari
perdarahan saluran cerna atas telah turun dari sekitar 11 % menjadi 7%; sebaliknya,
dari sumber laporan yang sama dari Yunani mendapatkan tidak adanya penurunan
jumlah kematian tersebut. Di Spanyol sendiri mendapatkan bahwa perdarahan saluran
cerna atas 6 kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan perdarahan saluran cerna
bawah. Di Amerika Serikat, setiap tahun pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat
dengan sebab perdarahan saluran cerna atas. Sejak tahun 1945, angka kematian di
Amerika Serikat oleh sebab perdarahan saluran cerna atas mencapai 510 % dan tidak
berubah hingga saat ini.
Angka kematian di berbagai belahan dunia menunjukkan jumlah yang cukup
tinggi, terutama di Indonesia yang wajib menjadi perhatian khusus. Berdasarkan hasil
penelitian di Jakarta didapati bahwa jumlah kematian akibat perdarahan saluran cerna
atas berkisar 26 %.
Insiden perdarahan saluran cerna atas dua kali lebih sering pada pria daripada
wanita dalam seluruh tingkatan usia; tetapi jumlah angka kematian tetap sama pada
kedua jenis kelamin. Angka kematian meningkat pada usia yang lebih tua (>60 tahun)
pada pria dan wanita.

D. Patofisiologi
Mekanisme perdarahan pada hematemesis dan melena sebagai berikut (Astera, 1999) :
1. Perdarahan tersamar intermiten (hanya terdeteksi dalam feces atau adanya anemia
defisiensi Fe+)
2. Perdarahan masif dengan renjatan
Untuk mencari penyebab perdarahan saluran cerna dapat dikembalikan pada faktor-
faktor penyebab perdarahan, yaitu :
1. Faktor pembuluh darah (vasculopathy) seperti pada tukak peptik, pecahnya varises
esophagus
2. Faktor trombosit (trombopathy) seperti pada Idiopathic Thrombocytopenia Purpura
(ITP)
3. Faktor kekurangan zat pembekuan darah (coagulopathy) seperti pada hemophilia,
sirosis hati, dan lain-lain
Pada sirosis kemungkinan terjadi ketiga hal di atas : vasculopathy (pecahnya varises
esophagus); trombopathy (pengurangan trombosit di tekanan perifer akibat
hipersplenisme); coagulopathy (kegagalan sel-sel hati).
Khusus pada pecahnya varises esophagus ada 2 teori(1) :
1. Teori erosi : pecahnya pembuluh darah karena erosi dari makanan kasar
(berserat tinggi dan kasar) atau konsumsi NSAID
2. Teori erupsi: karena tekanan vena porta terlalu tinggi, atau peningkatan
tekanan intraabdomen yang tiba-tiba karena mengedan, mengangkat barang berat,
dan lain-lain

E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis (Adi, 2006)
a. Sejak kapan terjadi perdarahan, perkiraan jumlah, durasi dan frekuensi perdarahan
b. Riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat perdarahan dalam keluarga
c. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
d. Riwayat muntah berulang yang awalnya tidak berdarah (Sindrom Mallory-Weiss)
e. Konsumsi jamu dan obat (NSAID dan antikoagulan yang menyebabkan nyeri atau
pedih di epigastrium yang berhubungan dengan makanan)
f. Kebiasaan minum alkohol (gastritis, ulkus peptic, kadang varises)
g. Kemungkinan penyakit hati kronis, demam dengue, tifoid, gagal ginjal kronik,
diabetes mellitus, hipertensi, alergi obat
h. Riwayat tranfusi sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan fokus pada status
hemodinamik, pemeriksaannya meliput :
a. Tekanan darah dan nadi posisi baring
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
d. Kelayakan napas dan tingkat kesadaran
e. Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar (> 20% volume intravaskuler) mengakibatkan
kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda :
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan frekuensi nadi > 100
x/menit
b. Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg, sistole turun >20 mmHg.
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
d.
e. Akral dingin
f. Kesadaran turun
g. Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Selain itu pada perdarahan akut jumlah besar ditemukan hal-hal berikut(9):
a. Hematemesis
b. Hematokezia
c. Darah segar pada aspirasi nasogastrik, dengan lavase tidak segera jernih
d. Hipotensi persisten
e. Tranfusi darah > 800 1000 ml dalam 24 jam
Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu dilakukan evaluasi
jumlah perdarahan, dengan criteria(10) :
Perdarahan Keadaan hemodinamik
(%)
<8 Hemodinamik stabil
8 15 Hipotensi ortostatik
15 25 Renjatan (syok)
25 40 Renjatan + penurunan kesadaran
>40 Moribund (physiology futility)

Gambar 1. Evaluasi jumlah perdarahan (Adi, 2006)

Selanjutnya pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah :


a. Stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider naevi, ascites, splenomegali, eritema
palmaris, edema tungkai)
b. Colok dubur karena warna feses memiliki nilai prognostik
c. Aspirat dari nasogastric tube (NGT) memiliki nilai prognostik mortalitas dengan
interpretasi :
1) Aspirat putih keruh : perdarahan tidak aktif
2) Aspirat merah marun : perdarahan masif (mungkin perdarahan arteri)
d. Suhu badan dan perdarahan di tempat lain
e. Tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan saluran
cerna (pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jeghers)
3. Pemeriksaan Penunjang (Djumhana, 2011)
a. Tes darah : darah perifer lengkap, cross-match jika diperlukan tranfusi
b. Hemostasis lengkap untuk menyingkirkan kelainan faktor pembekuan primer atau
sekunder : CTBT, PT/PPT, APTT
c. Elektrolit : Na, K, Cl
d. Faal hati : cholinesterase, albumin/ globulin, SGOT/SGPT
e. EKG& foto thoraks: identifikasi penyakit jantung (iskemik), paru kronis
f. Endoskopi : gold standart untuk menegakkan diagnosis dan sebagai pengobatan
endoskopik awal. Selain itu juga memberikan informasi prognostik dengan
mengidentifikasi stigmata perdarahan (Djumhana, 2011)
F. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Umum
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-breathing-circulation (ABC).
Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan memadai, segera dirawat untuk
terapi lanjutan atau persiapan endoskopi (Adi 2006)
Untuk pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti (Djumhana, 1999) :
a. Pemasangan iv-line minimal 2 dengan jarum (kateter) besar minimal no 18. Ini
penting untuk transfuse, dianjurkan pemasangan CVP
b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing perlu ETT
c. Mencatat intake- output, harus dipasang kateter urine
d. Monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2, keadaan lain sesuai komorbid
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah tindakan endoskopi

Dalam melaksanakan tindakan umum ini, pasien dapat diberikan terapi (Djumhana,
1999) :
a. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
b. Pemberian vitamin K 3x1 amp
c. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
d. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid
2. Tatalaksana Khusus
a. Varises gastroesofageal
1) Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif
a) Glipressin (Vasopressin) : Menghentikan perdarahan lewat efek vasokonstriksi
pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta
menurun. Pemberian dengan mengencerkan vasopressin 50 unit dalam 100 ml
Dextrose 5%, diberikan 0,51 mg/menit/iv selama 2060 menit dan dapat diulang
tiap 36 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infuse 0,10,5 U/menit
b) Somatostatin : Menurunkan aliran darah splanknik, lebih selektif daripada
vasopressin. Untuk perdarahan varises atau nonvarises. Dosis pemberian awal
dengan bolus 250 mcg/iv, lanjut per infus 250 mcg/jam selama 1224 jam atau
sampai perdarahan berhenti.
2) Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota
3) Terapi endoskopi(9)
a) Ligasi : Mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 12 cm. Dilakukan pada
varises yang sedang berdarah atau ditemukan tanda baru saja mengalami perdarahan
(bekuan darah melekat, bilur merah, noda hematokistik). Efek samping sklerosan
dapat dihindari, mengurangi frekuensi ulserasi dan striktur.
b) Skleroterapi : alternatif bila ligasi sulit dilakukan karena perdarahan masif, terus
berlangsung atau teknik tidak memungkinkan. Yang digunakan campuran yang
sama banyak antara polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan alcohol absolute; dibuat sesaat
sebelum skleroterapi. Penyuntikan dari bagian paling distal mendekati cardia, lanjut
ke proksimal bergerak spiral sejauh 5cm.
4) Terapi radiologi (Adi, 2006) pemasangan transjugular intrahepatic portosystemic
shunting (TIPS)& perkutaneus obliterasi spleno-porta.
5) Terapi pembedahan
a) Shunting
b) Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
c) Devaskularisasi + splenektomi
b. Tukak peptic(10)
1) Terapi medikamentosa
a) PPI (proton pump inhibitor) : obat anti sekresi asam untuk mencegah perdarahan
ulang. Diawali dosis bolus Omeprazol 80 mg/iv lalu per infuse 8 mg/kgBB/jam
selama 72 jam
Antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk tujuan
penyembuhan lesi mukosa perdarahan.
b) Obat vasoaktif
2) Terapi endoskopi
a) Injeksi : penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan adrenalin (1:10000)
sebanyak 0,51 ml/suntik dengan batas 10 ml atau alcohol absolute (98%) tidak
melebihi 1 ml
b) Termal : koagulasi, heatprobe, laser
c) Mekanik : hemoklip, stapler
3) Terapi bedah
3. Memulangkan pasien(10)
Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 14 perawatan. Perdarahan ulang
(komorbid) sering memperpanjang masa perawatan. Bila tidak ada komplikasi,
perdarahan telah berhenti, hemodinamik stabil serta risiko perdarahan ulang rendah
pasien dapat dipulangkan . Pasien biasanya pulang dalam keadaan anemis, karena
itu selain obat pencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan preparat Fe.
`

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Penderita Perdarahan SCBA (Purwadianto,


2000)
G. Komplikasi
1. Syok hipovolemik
2. Aspirasi pneumonia
3. Gagal ginjal akut
4. Sindrom hepatorenal koma hepatikum
5. Anemia karena perdarahan (Adi, 2006)

H. Prognosis
Pada umumnya penderita dengan perdarahan saluran makan bagian atas yang
disebabkan pecahnya varises esofagus mempunyai faal hati yang buruk/.terganggu
sehingga setiap perdarahan baik besar maupun kecil mengakibatkan kegagalan hati
yang berat. Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur,
kadar Hb, tekanan darah selama perawatan, dan lain-lain. Hasil penelitian Hernomo
menunjukan bahwa angka kematian penderita dengan perdarahan saluran makan bagian
atas dipengaruhi oleh faktor kadar Hb waktu dirawat, terjadi/tidaknya perdarahan
ulang, keadaan hati, seperti ikterus, encefalopati dan golongan menurut kriteria Child.
Mengingat tingginya angka kematian dan sukarnya dalam menanggulangi perdarahan
sakuran makan bagian atas maka perlu dipertimbangkan tindakan yang bersifat
preventif terutama untuk mencegah terjadinya sirosis hati (Purwadianto, 2000)
DAFTAR PUSTAKA

Astera, I W.M. & I D.N. Wibawa. 1999. Tata Laksana Perdarahan Saluran Makan Bagian
Atas : dalam Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 1999 : 53
62.

Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. 1999 Perdarahan Saluran Makanan : dalam Harrison
(Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC.: 259 62.

Davey, P. 2006. Hematemesis & Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
2006 : 36 7.

Hastings, G.E. 2005. Hematemesis & Melena : wichita.kumc.edu/hastings/hematemesis.pdf

Hadi, S. 2002. Perdarahan Saluran Makan : dalam Gastroenterologi. Bandung : PT Alumni.


: 281 305.

Ponijan, A.P. 2012. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas :


repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31735/4/Chapter%20II.pdf .

Purwadianto, A. & Budi S. 2000. Hematemesis & Melena : dalam Kedaruratan Medik. Jakarta
: Binarupa Aksara: 105 10.

PB PAPDI. Standar Pelayanan Medik. 2005. Jakarta : PB PAPDI. 272 3.

Adi, P. 2006.Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. Jakarta : FKUI. 289 97

Djumhana, A. 2011. Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas : pustaka.unpad.ac.id/wp-


content/uploads/2011/03/pendarahan_akut_saluran_cerna_bagian_atas.pdf .

Anda mungkin juga menyukai