Anda di halaman 1dari 8

I.

Pendahuluan
II. Hasil dan Pembahasan
2.1 Manajemen pemilihan bibit dan pemeliharaan
2.1.1 Pemilihan bibit
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa sifat genetik sangat berpengaruh terhadap keturunan ternak. Hal ini
sesuai dengan penjelasan Gunawan dan Putera (2016) yang menyatakan
bahwa sifat pertumbuhan dipengaruhi beberpa faktor diantaranya faktor
genetik, manajemen pemeliharaan, lingkungan sekitar dan ketersediaan pakan.
Kaitan dengan faktor genetik, seleksi terhadap bibit sapi PO yang baik
merupakan salah satu strategi dalam upaya mengembangkan sapi PO yang
unggul dan berkualitas.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa bahwa
cara terbaik untuk pemilihan bibit adalah dengan melakukan seleksi. Hal ini
sesuai dengan penjelasan bahwa Kutsiyah (2012) yang menyatakan bahwa
meningkatkan mutu genetik sapi Madura adalah dengan mengadakan seleksi
dalam populasi atau kelompok sapi Madura sendiri. Perbaikan performans sapi
melalui seleksi memang hasilnya tidaksecepat dengan cara kawin silang.
Namun seleksi dapat menjaga kemurnian sapi Madura.
Seleksi Bibit adalah suatu tindakan memilih ternak yang dianggap mempunyai mutu genetik
baik untuk dikembangbiakkan lebih lanjut serta memilih ternak yang dianggap kurang baik untuk
disingkirkan . seleksi dapat diartikan juga untuk memperkenankan sekelompok ternak menjadi
penurun dari generasi berikutnya dan menghilangkan kesempatan dari kelompok lain untuk
memperoleh penurun dari generasi berikutnya pula. (Rasyid dkk, 2012)

Pada Peternakan Bapak Suwadji memilih peranakan limousin sebagai bibit. Dimana Bapak
Suwadji memelihara mulai dari lahir sampai umur 6 bulan dan di ikutkan kontes ternak dengan
kategori calon induk. Pedet tersebut hasil dari perkawinan silang sapi lokal dengan limousin. Hal ini
sesuai dengan Cole et al (2016) bahwa Pemilihan genomik dengan cepat diadopsi secara bibit murni
populasi ternak , namun ada banyak populasi yang termasuk ternak dengan kawin silang yang dapat
berkontribusi terhadap kemajuan genetik, termasuk pejantan silang yang digunakan di Selandia Baru

Upaya peningkatan produksi susu di Indonesia negara ini hampir seluruhnya didasarkan
pada pengembangan selektif di dalam ternak asli dengan ketakutan bahwa keturunan eksotis itu
kemungkinan akan terpengaruh oleh iklim yang berlaku (diternakkan pada daerah dataran tinggi).
Menyadari itu selektif Pembibitan dengan populasi ternak lokal akan terlalu lambat untuk
mencocokkan laju perkembangan pertanian Uganda, pengenalan sapi tipe Eropa dan AI asli Ternak
dengan semen eksotis dimulai pada tahun dan sejak saat itu Lalu terus ada impor semen.
(Mugishaet al, 2014)

2.1.2 Sistem pemeliharaan


Di bidang peternakan, kemajuan yang signifikan telah dicapai dalam hal pemuliaan, pemberian
pakan dan pengelolaan ternak dalam sistem produksi yang berbeda untuk meningkatkan tingkat dan
efisiensi produksi hewan. Perbaikan dalam produksi dan efisiensi produksi muncul dari pemahaman
dan eksploitasi ilmu pengetahuan tentang produksi hewan yang lebih baik dan dengan menerapkan
teknologi tepat guna. (Webb and Erasmus, 2013)

Webb, E.C and L.J.Erasmus. 2013. The Effect Of Production System And Management Practices On
The Quality Of Meat Products From Ruminant Livestock. South African Journal Of Animal Science.
43(3): 413-423

Ada beberapa peternakan domba atau sapi potong khusus di Selandia Baru. Seorang petani
memiliki domba dan sapi potong di Pertanian yang sama meningkatkan kelenturan manajemen
melalui kemampuan untuk secara istimewa memberi makan beberapa ternak sambil
mempertahankan tinggi tingkat tekanan penggembalaan dengan kelas ternak lainnya. Itu Peran
peternakan sapi telah, dan terus menjadi, penting dalam keberlanjutan peternakan pegunungan di
mana konturnya mensyaratkan bahwa kontrol padang rumput - pemeliharaan spesies di dalam
sward, dan pencegahan kerusakan dan gulma padang rumput masuknya - terutama merupakan
fungsi dari tekanan ternak dan penggembalaan pengelolaan. Hal ini mengharuskan sapi potong
merumput dengan domba dan ini jarang untuk manfaat jangka pendek dari ternak, tapi sering
meningkatkan kinerja domba dan padang rumput. (Morris,2013)

Morris,S.T. 2013.Sheep And Beef Cattle Production System. Sheep And Beef Cattle Production.
35(2):79-84

2.2 Manajemen Pakan


2.2.1 Jenis pakan
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa ternak potong simmental tersebut diberikan pakan berupa rumput gajah
dan pollard dicampur dengan gaplek. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Haryanto (2009) bahwa pakan ternak ruminansia dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu hijauan dan konsentrat.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
kebanyakan sapi diberikan pakan hijauan yang unggul berupa rumput gajah
bukan hasil limbah pertanian. Hal ini sesuai dengan penjelasan Taufiq, dkk
(2017) bahwa Jenis pakan hasil limbah cenderung memiliki kualitas yang
rendah sehingga terkadang membutuhkan pakan jenis konsentrat untuk tetap
mempertahankan kualitas ransum.

2.2.2 Kebutuhan nutrisi


Berdasarkan hasil pengamatan yang teah dilakukan menunjukkan
bahwa pemberian pakan harus diperhatikan dan sesuai dengan kebutuhan
nutrisi sapi potong dengan melihat status fisiologis ternak sapi. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Febrina dan Mairika (2008) bahwa untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi bagi ternak, peternak melakukan upaya dengan memberikan
pakan tambahan seperti mineral dan garam. Pemberian garam sebagai pakan
tambaha paling banyak digunakan oleh responden (80%) dan mineral (15%).
Pemberian garam dan mineral bertujuan untuk menambah nafsu makan temak.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkn bahwa pada
penggemukan sapi potong pemberian konsentrat harus lebih banyak. Hal ini
sesuai dengan penjelasan Ngadiyono, dkk (2008) yang menyatakan bahwa
penggunaan konsentrat tingi lebih dari 70% pada usaha penggemukan sapi,
meningkatkan konsumsi pakan, laju pertumbuhan, efisiensi pakan, persentase
karkas dan lemak, serta dapat menurunkan alokasi biaya pakan untuk setiap
unit pertambahan berat badan.

2.2.3 Frekuensi pemberian pakan


Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa hijauan dberikan sekali yaitu pada pagi hari. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Indriyani, dkk (2017) yang menyatakan bahwa pemberian hijauan
sebaiknya dihindari pemberian yang sekaligus dan dalam jumlah yang banyak,
dimana dianjurkan pemberian dilakukan secara bertahap.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
pemberian pakan pada ternak dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan
sore hari. Hal ini sesuai dengan penjelasan Wiyatna, dkk(2012) yang
menyatakan bahwa sistem pemberian pakan dilakukan di kandang 2x dalam
sehari yaitu pagi dan sore hari. Pemeliharaan
2.3 Manajemen Kandang
2.3.1 Sistem perkandangan
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dlakukan menunjukkan bahwa
sistem perkandangan yang ada di peternakan lokal pada umumnya masih
dalam model kandang tradisional. Hal ini sesuai dengan penjelasan Supartini
dan Hariadi (2014) yang menyatakan bahwa kandang yang digunakan adalah
kandang postal, beratap rumba, bertipe gable dengan kontruksi terbuat dari
kayu dan bambu.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat
kandang individu dan kandang kelompok. Peternak bakalan sapi kereman dari
Banjarejo menggunakan kandang individu disekitar rumahnya. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Syarifuddin (2009) yang menyatakan bahwa pengandangan
ternak yang dilakukan oleh petani sangat beragam. Sistem pengandangan yang
ada adalah sistem kandang ternak perorangan yang ditempatkan di sekitar atau
bahkan menyatu dengan rumahnya.
2.3.2 Konstruksi kandang
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan menyatakan
bahwa lantai kandang lebih baik terbuat dari bahan yang berupa semen. Hal
ini sesuai dengan penjelasan Rusdia, dkk (2016) yang menyatakan bahwa
pembuatan lantai kandang harus benar-benar memenuhi syarat, yaitu tidak
licin, tidak mudah menjadi lembab, tahan injakan, dan awet serta memberikan
kenyamanan apabila ternak berdiri ataupun pada saat berbaring.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa bahan
bahan yang digunakan untuk kandang harus kuat dan kokoh, umumnya
peternakan lokal yang masih secara tradisional menggunakan kayu dan
bambu. Hal ini sesuai dengan penjelasan Jhoni, dkk (2015) bahwa sistem
perkandangan dan pemeliharaan pada umumnya masih dikelola secara
sederhana atau tradisional yaitu dengan konstruksi kandang yang terbuat dari
bambu.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ternak
jantan, betina dan pedet post sapih diletakkan dalam satu kandang koloni. Hal
ini kurang sesuai dengan Weglarz (2011) bahwa kandang induk dan penjantan
tidak diletakkan dalam 1 kandang karena dapat terjadi pesaingan pakan
dimana jantan lebih unggul daripada betina sehingga menyebabkan
menurunnya bobot badan sapi betina.(JURNAL BELUM DIDOWNLOAD
DARI KUFFA)
2.4 Manajemen sanitasi dan bio security
2.4.1 Sanitasi
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa kandang yang tidak dibersihkan secara rutin akan membahayakan
ternak, bisa menimbulkan penyakit bahkan kematian. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Alam, dkk (2014) yang menyatakan bahwa sanitasi kandang dapat
mencegah timbulnya penyakit pada ternak.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa Sanitasi
dilakukan dengan pembersihan kandang dan perlengkapan lainnya sebelum
pemberian makan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Qomarudin dan Ahmad
(2011) bahwa kandang dilakukan beberapa tahap setelah pembersihan
kandang meliputi membersihkan tempat makan dan tempat minum dan
membersihkan kotoran sapi potong yang berada di dalam kandang.Sanitasi
kandang adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh peternak untuk kebersihan
kandang dan lingkungannya.
2.4.2 Bio security
Berdasarkan hasil pengmatan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa untuk mencegah adanya penyebaran penyakit salah satunya dengan
melakukan vaksinasi secara berkala. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Pasambe dan Nurayu (2016) bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimal
maka dilakukan pencegahan tentang penyakit berupa vaksinasi terutama
antraks, SE, pemberian obat cacing hati maupun penyunrikan multivitamin.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menyatakan bahwa sanitasi
dilakukan dengan menyemprotkan desinfektan pada kandang ternak. Hal ini
didukung penjelasan Suyasa, dkk (2016) bahwa sanitasi dilakukan terhadap
ternak, kandang, lingkugan peternakan, perlengkapan dan peralatan kandang
serta peternaksebagian besar sumber-sumber penyakit yang berasal dari
bakteri atau virus mampu ditanggulangi dengan melakukan penyemprotan
dengan disenfektan.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
biosecurity berupa pembersihan kandang dilakukan setiap hari sebanyak dua
kali untuk menjaga kandang agar tetap bersih dan tidak lembab. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Kobayashi and Tigran (2011) model tindakan peternak
tentang biosecurity diatur setiap hari untuk mencegah penyakit.
2.4.3 Kesehatan
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa kebersihan ternak dan lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan
ternak dan terhindar dari penyakit. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Budiraharjo (2011) bahwa kegiatan pencegahan penyakit yang dilakukan oleh
peternak anggota KTT, meliputi memandikan sapi tiga hari sekali untuk
menghindari lalat atau caplak, membersihkan tempat pakan ternak satu kali
sehari, serta membersihkan kotoran dan sanitasi lingkungan sekitar kandang
dua kali sehari.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penyakit
yang sering menyerang ternak adalah cacingan. Salah satu. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Tethool dan Daniel (2009) yang menyatakan bahwa jenis
penyakit yang paling umum tersebar di seluruh dunia adalah penyakit
kecacingan yang di sebabkan oleh infeksi cacing. .
2.5 Judging
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa pemilihan ternak berdasarkan visual dilakukan dengan
memilih ternak berdasarkan sifat-sifat yang tampak.Hal ini sesuai dengan
penjelasan Suranjaya dan Wiyana (2011) bahwa penaksiran bobot badan
ternak itu dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu penaksiran dengan
menggunakan atau berdasarkan panca indera, namun penaksiran dengan
panca indera ini bisa sangat subyektif sifatnya, karena hasilnya sangat
tergantung dari kemahiran dan subyektivitas penaksir. Cara yang lain adalah
penaksiran dengan menggunakan rumus korelasional antara bobot badan
dengan beberapa ukuran dimensi tubuh ternak sapi.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menyatakan bahwa penafsiran
berat badan dapat pula dilakukan dengan pengamatan visual yaitu
memperkirakan berat badan ternak yang diamati. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Patmawati, dkk (2013) bahwabeberapa hal yang dinilai dalam uji
Performans ini adalah: (1) penilaian kuantitatif yang meliputi panjang badan,
lingkar dada, tinggi gumba, dan berat badan.
Judging terdiri atas tiga langkah yaitu, penilaian melalui kecermatan
pandangan (visual), penilaian melalui kecermatan perabaan (palpasi), dan
penilaian melalui pengukuran tubuh. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Oltenacu and Broom (2010) bahwa meskipun seleksi untuk sifat hasil telah
menerima penekanan utama pada tujuan seleksi yaitu penekanan substansial
telah diberikan pada ciri-ciri lain, terutama di Amerika Utara. Banyak sifat
non-imbal hasil ini terkait dengan penampilan luar sapi, seperti konformasi
keseluruhan atau ukuran tubuh (termasuk tinggi, lebar dada dan kedalaman
tubuh), dan sudut pandang.

2.6 Body Condition Score


Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa Body Condition Score (BCS) untuk mengetahui perlemakan pada
tubuh ternak. Hal ini sesuai dengan penjelasan Anisa, dkk (2017) yang
menyatakan bahwa Body Condition Score (BCS)induk erat hubungannya
dengan status cadangan energi tubuh ternak, sedangkan cadangan energi
tersebut erat hubungannya dengan gizi yang dikonsumsi.
Hasil pengamatan yang telaah dilakukan menunjukkan bahwa BCS
atau body condition score merupakan penilaian terhadap ternak sapi potong
tersebut dalam kategori kurus sampai gemuk. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Budiawan, dkk (2015) bahwa Body Condition Score adalah metode untuk
memberi nilai kondisi tubuh ternak baik secara visual maupun dengan
perabaan pada timbunan lemak tubuh dibawah kulit sekitar pangkal ekor,
tulang punggung dan pinggul.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa salah satu
pengukuran BCS secara perabaan adalah dengan melihat ketebalan lemak
bagian ekor. Hal ini sesuai dengan penjelasan Petrovska and Daina (2014)
bahwa BCS adalah parameter visual, yang mengkarakterisasi ketebalan
lapisan belakang.
Skor kondisi tubuh merupakan indikator yang sangat baik untuk status
gizi sapi potong. Daya hidup ideal bervariasi dari sapi ke sapi sedangkan
kondisi tubuh ideal (BCS 5-6) sama untuk semua sapi. Selain itu, kondisi
tubuh bisa diukur di lapangan tanpa mengumpulkan atau bekerja ternak. Hal
ini sesuai dengan penejelasan Browne, et al (2009) bahwa skor kondisi tubuh
adalah angka yang digunakan untuk memperkirakan cadangan energi berupa
lemak dan otot sapi potong. BCS berkisar antara 1 sampai 9, dengan skor 1
sangat kurus dan 9 mengalami obesitas. Daerah seperti punggung, kepala ekor,
pin, kait, tulang rusuk, dan Sandung lamur sapi potong dapat digunakan untuk
menentukan BCS (Gambar 1). Sapi dalam kondisi 'kurus' (BCS 1-4) bersudut
dan bertulang dengan sedikit lemak di atas tulang punggung, tulang rusuk,
kait, dan pin.
III. Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan 3.2 Saran
IV. Daftar Pustaka
Alam, Asmirani., S. Dwijatmiko., dan W. Sumekar.2014. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Aktivitas Budidaya Ternak Sapi Potong Di Kabupaten Buru.
Agrinimal. Vol. 4(1) : 28 37
Anisa, E., Y. S. Ondho., dan D. Samsudewa. 2017. Pengaruh Body Condition Score (BCS)
Berbeda terhadap Intensitas Birahi Sapi Induk Simmental Peranakan Ongole
(SIMPO). Jurnal Sain Peternakan Indonesia. Vol. 12(2) : 133 141
Browne, Milyssa F., John B. Hall, Richard E. Dietz. 2009. Body Condition Scoring Beef
Cows. Journal Of Agriculture and Life Science :
Budiawan, Aditya., M. Nur Ihsan., dan Sri Wahjuningsih. 2015. Hubungan Body Condition
Score Terhadap Service Per Conception Dan Calving Interval Sapi Potong
Peranakan Ongole Di Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. J. Ternak Tropika
Vol. 16(1) : 34-40
Budiraharjo, K., M. Handayani dan G. Sanyoto K. 2011. Analisis Profitabilitas Usaha
Penggemukan Sapi Potong Di Kecamatan Gunungpati Kota Semarang. Mediagro.
Vol. 7(1) : 1 9
Febrina, Dewi., Dan Mairika L. 2008. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan
Ruminansia Paoa Peternak Rakyat 01 Kecamatan Rengat Barat Kabupaten
Inoragiri Hulu. Jurnal Peternakan. Vol. 5(1) : 28 37
Gunawan dan B. W. Putera. 2016. Aplikasi Linier Ukuran Tubuh untuk Seleksi Fenotipik
Bibit Induk Sapi PO di Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ilmu Produksi dan
Teknologi Hasil. Vol. 04 (3) : 375 378
Haryanto, Budi,. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak Dalam Sistem Integrasi Tanaman-
Ternak Bebas Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging.
Pengembangan Inovasi Pertanian. Vol. 2(3) : 163 176
Indrayani, I., R. Nurmalina., dan A. Fariyanti. 2012. Analisis Efisiensi Teknis Usaha
Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. Jurnal
Peternakan Indonesia. Vol. 14 (1) : 286 296
Jhoni, V. A. R., Suherni, S., dan Setiawan, K. 2015. Pengaruh Tatalaksana Kandang
Terhadap Infeksi Helminthiasis Saluran Pencernaan Pada Pedet Peranakan
Simental Dan Limousin Di Kecamatan Yosowilangun Lumajang. Agroveteriner.
Vol.3(2) : 114 120
Kobayashi, Mimako., andTigranMelkonyan. 2011. Strategic Incentives in Biosecurity
Actions: The oretical and Empirical Analyses.Journal of Agricultural and Resource
Economics. Vol. 36(2) : 242262.
Kutsiyah, Farahdilla. 2012. Analisis Pembibitan Sapi Potong Di Pulau Madura.
Wartazoa.Vol. 22.(3) : 113 126
M. Fatah Wiyatna., E. Gurnadi., dan K. Mudikdjo. 2012. Produktivitas Sapi Peranakan
Ongole pada Peternakan Rakyat di Kabupaten Sumedang. Jurnal Ilmu Ternak.
Vol. 12(2) :
Ngadiyono, N., G. Murdjito., A. Agus., dan U. Supriyana. 2008. Kinerja Produksi Sapi
Peranakan Ongole Jantan Dengan Pemberian Dua Jenis Konsentrat Yang
Berbeda. J. Indon Trop Anim Agric. Vol. 33(4) : 212 289
Oltenacu., and D. M. Broom. 2010. The impact of genetic selection for increased milk yield
on the welfare of dairy cows PA. Animal Welfare. Vol. 19(S) : 39 49
Pasambe, Daniel., dan A. Nurhayu. 2016. Perbaikan Reproduksi Pada Induk Sapi Potong
Melalui Penyertakan Berahi Dengan Hormon Estro-Plan Di Sulawesi Selatan.
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Patmawati, N. Wayan., N. N. Trinayani., M. Siswanto., I. N. Wandia., I Ketut Puja. 2013.
Seleksi Awal Pejantan Sapi Bali Berbasis Uji Performans. Jurnal Ilmu dan
Kesehatan Hewan. Vol. 1(1) : 29-33
Petrovska, Solvita., dan Daina J. L. 2014. Relationship Between Body Condition Score, Milk
Productivity And Live Weight Of Dairy Cows. Research For Rural Development.
Vol. 1 : 100 106
Qomarudin, Muridi., dan Ahmad N. P. 2011. Studi Manajemen Pemberian Pakan Pada
Ternak Sapi Potong Di Kelompok Tani Ternak Mekar Sari Desa Tambak Rigadung
Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. Jurnal Ternak, Vol.02(1) : 21 23
Rusdia, Bastian., Madi H., dan Sri S.. 2016. Calving Interval Pada Sapi Bali Di Kabupaten
Pringsewu. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol. 4(4): 277 283
Supartini, Nonok., Dan Hariadi Darmawan. 2014. Profil Genetik Dan Peternak Sapi
Peranakan Ongole Sebagai Strategi Dasar Pengembangan Desa Pusat Bibit
Ternak. Buana Sains. Vol. 7(1) : 71 84
Suranjaya, I. G. D. dan K. D. A Wiyana. 2011. Aplikasi Rumus Penaksiran Bobot Badan
Ternak Berdasarkan Ukuran Dimensi Tubuh Pada Kelompok Peternak Sapi
Potong Di Desa Dauh Yeh Cani Abiansemal Badung. Udayana Mengabdi. Vol. 10
(1): 46 50
Suyasa, I. K. G., N. P. Sarini, dan S. A. Lindawati. 2016. Penerapan Manajemen Pencegahan
Penyakit Di Peternakan P4s Mupu Amerta, Banjar Sale, Desa Abuan, Bangli.
Journal Tropical Of Animal Science. Vol. 4(1): 1 6
Syarifuddin, Hutwan. 2009. Indeks Keberlanjutan Integrasi Tanaman dengan Ternak (Crop
Livestock System) di Kuamang Kuning.Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan.Vol.
12(1) : 41 49
Taufiq, M. N.., Candra D., Wayan F. M. 2017. Optimasi Komposisi Pakan Untuk
Penggemukkan Sapi Potong Menggunakan Algoritma Genetika. Jurnal
Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. Vol. 1(7) : 2017. 571
582
Tethool, A. N., dan Daniel Y. Seseray. 2009. Identifikasi Jenis Cacing Sapi Bali yang
Dipelihara di Taman Ternak FPPK. Jurnal Ilmu Peternakan. Vol. 4(1) : 30 34
Weglarz,A. 2011. Effect Of Pre-Slaughter Housing Of Different Cattle Categories On Beef
Quality. Animal Science Papers And Reports. Vol. 29(2):43 52.

Anda mungkin juga menyukai