Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN TERNAK

RUMINANSIA
Guna Memenuhi Tugas Praktikum

Disusun Oleh :
Mega Dharu Muharramah
155050101111148
F/2

Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya
Malang
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Usaha penggemukan sapi potong saat ini mempunyai kecenderangan
semakin berkembang. Hal ini di tandai dengan banyaknya masyarakat di daerah
yang mengusahakan penggemukan sapi potong. Prospek usaha sapi potong
sangatlah menjajikan terbukti dari beberapa hasil kajian menunjukkan keuntungan
yang didapatkan usaha yang cukup memadai bagi peternak. Usaha penggemukan
sapi potong dapat dilakukan secara perseorangan maupun secara kelompok dalam
skala yang besar. Seiring berkembanganya perusahaan peternakan sapi dan juga
kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi demi kesehatan dan diimbangi
meningkatnya daya beli masyarakat, permintaan akan daging sapi untuk
dikonsumsi semakin meningkat. Ditandai dengan banyak perusahaan yang
mendirikan perusahaan dalam bidang feedlot (penggemukan). Feedlot adalah
pemeliharaan sapi yang di dalam kandang tertentu, tetapi diberi pakan dengan
nutrient yang optimal untuk menaikkan berat badan dan kesehatan sapi.

Tujuan dari penggemukan ternak sapi adalah untuk meningkatkan produksi


daging persatuan ekor, meningkatkan penawarandaging secara efisien tanpa
memotong sapi lebih banyak, menanggulangi populasi ternak sapi yang menurun
akibat pemotongan dan dapat menghindari pemotongan betina produktif. Dalam
usaha penggemukan sapi potong, selain dapat memperbaiki kulaitas daging dan
menaikkan harga jual ternak, juga dapat meningkatkan nilai tambah dari pupuk
kandang yang dihasilakn ternak sapi.
Hal yang perlu dilakukan dalam mendirikan perusahaan penggemukan sapi
potong agar dapat berjalan dengan baik antara lain pemilihan bibit/ bakalan, sistem
penggemukan, pakan dan cara pemberiannya, penyedian kandang, pengendalian
dan pencegahan penyakit. Dengan adanya manajemen pengolahan yang baik dalam
sebuah peternakan dapat berjalan dengan baik dan mendapatkan keuntungan yang
banyak. Usaha ternak sapi potong diperlukan bibit yang baik dalam yang nantinya
dapat menghasilkan produktivitas yang baik.

1.2 Tujuan
1. Bagaimana sistem manajemen pemilihan bibit dan pemeliharaan sapi
potong ?
2. Bagaiamana sistem manajemen pakan sapi potong ?
3. Bagaimana sistem manajemen kandang sapi potong ?
4. Bagaimana sistem manajemen sanitasi dan biosecurity?
5. Bagaimana judging pada sapi potong ?
6. Bagaimana body condition score pada sapi potong?
1.3 Manfaat
1. Mengetahui sistem manajemen pemilihan bibit dan pemeliharaan sapi
potong
2. Mengetahui sistem manajemen pakan sapi potong
3. Bagaimana sistem manajemen kandang sapi potong
4. Bagaimana sistem manajemen sanitasi dan biosecurity
5. Mengetahui judging pada sapi potong,
6. Mengetahui body condition score pada sapi potong.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Manajemen Pemilihan Bibit Dan Pemeliharaan


2.1.1 Pemilihan Bibit
Sifat genetik sangat berpengaruh terhadap keturunan ternak. Hal ini
sesuai dengan penjelasan Gunawan dan Putera (2016) sifat pertumbuhan
dipengaruhi beberpa faktor diantaranya faktor genetik, manajemen
pemeliharaan, lingkungan sekitar dan ketersediaan pakan. Kaitan dengan
faktor genetik, seleksi terhadap bibit sapi PO yang baik merupakan salah satu
strategi dalam upaya mengembangkan sapi PO yang unggul dan berkualitas.
Cara terbaik untuk pemilihan bibit adalah dengan melakukan seleksi.
Hal ini sesuai dengan penjelasan bahwa Kutsiyah (2012) meningkatkan mutu
genetik sapi Madura adalah dengan mengadakan seleksi dalam populasi atau
kelompok sapi Madura sendiri. Perbaikan performans sapi melalui seleksi
memang hasilnya tidaksecepat dengan cara kawin silang. Namun seleksi dapat
menjaga kemurnian sapi Madura.
Seleksi Bibit adalah suatu tindakan memilih ternak yang dianggap
mempunyai mutu genetik baik untuk dikembangbiakkan lebih lanjut serta
memilih ternak yang dianggap kurang baik untuk disingkirkan. Seleksi dapat
diartikan juga untuk memperkenankan sekelompok ternak menjadi penurun
dari generasi berikutnya dan menghilangkan kesempatan dari kelompok lain
untuk memperoleh penurun dari generasi berikutnya pula (Rasyid dkk, 2012).
Pada Peternakan Bapak Suwadji memilih peranakan limousin sebagai
bibit. Dimana Bapak Suwadji memelihara mulai dari lahir sampai umur 6
bulan dan di ikutkan kontes ternak dengan kategori calon induk. Pedet tersebut
hasil dari perkawinan silang sapi lokal dengan limousin. Hal ini sesuai dengan
Cole, et al (2016) bahwa Pemilihan genomik dengan cepat diadopsi secara bibit
murni populasi ternak, namun ada banyak populasi yang termasuk ternak
dengan kawin silang yang dapat berkontribusi terhadap kemajuan genetik,
termasuk pejantan silang yang digunakan di Selandia Baru.
Upaya peningkatan produksi susu di Indonesia negara ini hampir
seluruhnya didasarkan pada pengembangan selektif di dalam ternak asli dengan
ketakutan bahwa keturunan eksotis itu kemungkinan akan terpengaruh oleh
iklim yang berlaku (diternakkan pada daerah dataran tinggi). Menyadari itu
selektif Pembibitan dengan populasi ternak lokal akan terlalu lambat untuk
mencocokkan laju perkembangan pertanian Uganda, pengenalan sapi tipe
Eropa dan AI asli Ternak dengan semen eksotis dimulai pada tahun dan sejak
saat itu Lalu terus ada impor semen (Mugishaet al, 2014).
2.1.2 Sistem Pemeliharaan
Sistem pemeliharaan berupa pakan hijuan dan konsentrat yang
digunakan untuk meningkatkan dan menggemukakan ternak ruminansia untuk
produksi.. Untuk sistem pemeliharaan kandang para peternak sapi potong
dilakukan secara pengembalaan ekstenfif dan penggemukan intensif. Hal ini
sesuai dengan Webb dan Eramus (2013) Sistem pemeliharaan berupa pakan
hijuan dan konsentrat yang digunakan untuk meningkatkan dan
menggemukakan ternak ruminansia untuk produksi. Dan untuk sistem
perkandangan menggunakan sistem pengembalaan dan intensif dengan
pemberian pakan berupa konsentrat.
Peternak mendapatkan bakalan sapi potong dari hasil pembelian dari
pasar hewan, beli dari tetangga, dari pedagang perantara. Untuk peranakan
Simental, Brangus, Limousin dan Brahman Para responden memiliki kriteria
khusus pemilihan bibit sapi potong yang hampir sama. Mulai dari postur tubuh
(jagrak) normal meliputi bentuk kepala, lingkar dada, kaki yang besar dan kuat
menapak, teracak rata, pinggang dan ruas tulang belakang yang lurus, umur
(sering di lihat dari jumlah gigi dan gurat tanduk), dan yang tak kalah penting
yaitu ras dari bakalan sapi potong. Hal ini sesuai dengan Hernowo, dkk (2012)
bentuk atau ciri luar sapi berkorelasi positif terhadap faktor genetis seperti laju
pertumbuhan, mutu dan hasil akhir (daging). Penggemukan sapi potong
memerlukan pakan yang banyak sehingga perlu rekayasa pemberian pakan
menggunakan bahan pakan berkualitas dengan manfaat optimal.
Manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan. Dari hasil wawancara
yang diperoleh menyebutkan bahwa manajemen pemeliharaan dan pemberian
pakan masyarakat pada umumnya seragam, sebagian besar pakan yang
diberikan berupa hijuan yaitu,padi, rumput gajah atau rumput lapangan yang
tersedia di daerah tersebut. hal ini sesua dengan Trifena, dkk (2011)
manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan. Dari hasil wawancara yang
diperoleh menyebutkan bahwa manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan
masyarakat pada umumnya seragam, sebagian besar pakan yang diberikan
berupa jerami padi, rumput gajah atau rumput lapangan yang tersedia di daerah
tersebut.
Sistem pemeliharaan berupa pakan hijuan dan konsentrat yang
digunakan untuk meningkatkan dan menggemukakan ternak ruminansia untuk
produksi.. Untuk sistem pemeliharaan kandang para peternak sapi potong
dilakukan secara pengembalaan ekstenfif dan penggemukan intensif. Hal ini
sesuai dengan Morris (2013) sistem pemeliharaan berupa pemberian pakan dan
perkandnagan sapi potong para peternak memberikan pakan berupa hijuan.
Dan untuk sistem perkandangannya di lakukan secara pengembalaan dan
intensif.
Pemberian pakan dengan pemeliharaan sistem intensif/ semi intensif,
yaitu sapi dikandangkan setiap hari dengan diberikan pakan rata-rata 10% dari
berat badan dan pakan tambahan 1-2% dari berat badan. Pakan tambahan yang
diberikan mayoritas sama dapat berupa dedak halus, bekatul, bungkil kelapa,
gaplek, ampas tahu yang diberikan dengan cara mencampurkan dengan air
bershi (combor). Berdasarkan wawancara yang kami lakukan untuk
pemiliharaan kandang sapi potong dilakukan secara intesif atau di kandangkan.
Hal ini sesuai dengan Abu Bakar (2014) sistem pemeliharaan pembibitan sapi
potong dapat dilakukan melalui pemeliharaan ekstensif atau pastura
(digembalakan) intensif dan/atau semi intensif.

2.2 Manajemen Pakan


2.2.1 Jenis Pakan
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa ternak potong simmental tersebut diberikan pakan berupa rumput gajah
dan pollard dicampur dengan gaplek. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Haryanto (2009) bahwa pakan ternak ruminansia dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu hijauan dan konsentrat.
Jenis pakan yang diberikan oleh peternak yang kami wawancara
mayoritas menggunakan jenis pakan hijuan berupa rumput gajah, padi dan
untuk pakan tambahan berupa ampas tahu, bungkil kelapa dan pollard dan
untuk biaya pakan tambahan para peternak harus mengeluarkan biaya yang
tidak sedikit. Hal ini sesuai dengan Quang, et al (2015) pakan utama dan pakan
tambahan untuk ternak di Indonesia sistem petani kecil harus didasarkan pada
ketersediaan lokal hijauan, residu tanaman, dan bahan pakan dari pertanian
oleh-produk, karena komersial dicampur lengkap jatah dan suplemen pakan
tersedia terbatas biasanya mahal.
Pakan yang diberikan oleh peternak mayoritas sama yaitu berupa
rumput gajah, padi dan untuk pakan tambahan dengan dedak,bekatul, ampas
tahu, ampas singkong dan pollard. Pakan tamabahan diberikan dengan cara
mencampurkan dengan air atau biasa disebut dengan istilah combor. Hal ini
sesua dengan Rashid et al (2015) pakan yang diberikan oleh peternak sapi
potong mayoritas sama yaitu berupa rumput gajah, padi, untuk pakan tambahan
berupa dedak,bekatul, ampas tahu, ampas singkong dan pollard. Dan untuk
pemberian pakan harus disesuaikan dengan kondisi ternak dan memperhatikan
bobot badan.
Pakan hijuan merupakan semua bahan pakan yang berasal dari tanaman
ataupun tumbuhan berupa daun daunan. Jenis pakan hijauan yang diberikan
untuk sapi potong berupa rumput gajah dan padi.. Hal ini sesuai dengan.
Sudarmono dan Bambang (2008) pakan hijuan merupakan semua bahan pakan
yang berasal dari tanaman ataupun tumbuhan berupa daun daunan, terkadang
termasuk batang, ranting, dan bunga. Yang termasuk kelompok pakan hijauan
ialah bangsa rumput termasuk kelompok pakan hijuan adalah bangsa rumput
(Graminae) dan legume.
Kebanyakan sapi diberikan pakan hijauan yang unggul berupa rumput
gajah bukan hasil limbah pertanian. Hal ini sesuai dengan penjelasan Taufiq,
dkk (2017) bahwa Jenis pakan hasil limbah cenderung memiliki kualitas yang
rendah sehingga terkadang membutuhkan pakan jenis konsentrat untuk tetap
mempertahankan kualitas ransum.
2.2.2 Kebutuhan Nutrisi
Pemberian pakan harus diperhatikan dan sesuai dengan kebutuhan
nutrisi sapi potong dengan melihat status fisiologis ternak sapi. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Febrina dan Mairika (2008) bahwa untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi bagi ternak, peternak melakukan upaya dengan memberikan
pakan tambahan seperti mineral dan garam. Pemberian garam sebagai pakan
tambaha paling banyak digunakan oleh responden (80%) dan mineral (15%).
Pemberian garam dan mineral bertujuan untuk menambah nafsu makan temak.
Pada penggemukan sapi potong pemberian konsentrat harus lebih
banyak. Hal ini sesuai dengan penjelasan Ngadiyono, dkk (2008) yang
menyatakan bahwa penggunaan konsentrat tingi lebih dari 70% pada usaha
penggemukan sapi, meningkatkan konsumsi pakan, laju pertumbuhan, efisiensi
pakan, persentase karkas dan lemak, serta dapat menurunkan alokasi biaya
pakan untuk setiap unit pertambahan berat badan.
Hijauan makanan ternak merupakan salah satu bahan pakan ternak
rumansia. Berdasarkan produksi untuk menghadapi tantangan semakin
meningkatnya konsumsi daging dan susu para peternak berusaha untuk
meningkatkan produksinya dengan cara memberikan pakan berupa hijuan
leguminosa. Tanaman leguminosa memiliki potensial yaitu sebagai penambah
produksi susu dan daging (Luscher et al, 2014)
Hewan ternak ruminansia dalam pemeberian bahan pakan berupa
fermentasi. Bahan pakan yang sudah terfementasi yaitu hay, jua,silase dan
pasture. Apabila proses pakan yang belum terfermentasi dengan baik akan
mempengaruhi kinerja dari lambung dan usus (Fox, 2011).
Bahan pakan dapat berasal dari zat hewani maupun nabati. Pakan dibuat
dengan komposisi sederhana, tetapi tidak mengurangi kandungan gizi yang
berarti sehingga dapat menekan biaya produksi selama pemeliharaan. Pada
umumnya, kebutuhan akan nutrisi sapi adalah energy berkisar 60 70% total
digestible nutrients (TDN), protein kasar 12%, dan lemak 3-5% (Saparinto,
2011).
2.2.3 Frekuensi Pemberian Pakan
Hijauan dberikan sekali yaitu pada pagi hari. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Indriyani, dkk (2017) bahwa pemberian hijauan sebaiknya dihindari
pemberian yang sekaligus dan dalam jumlah yang banyak, dimana dianjurkan
pemberian dilakukan secara bertahap.
Pemberian pakan pada ternak dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi
dan sore hari. Hal ini sesuai dengan penjelasan Wiyatna, dkk (2012) yang
menyatakan bahwa sistem pemberian pakan dilakukan di kandang 2x dalam
sehari yaitu pagi dan sore hari. Pemeliharaan.
Pada saat pemberian pakan dilakukan pada pukul 08.00 dan 16.00 WIB
berupa hijuan. Hijuan yang digunakan adalah jenis rumput gajah sedangkan
untuk pakan penguat berupa dedak, tebon, pollard dan lain lain. Selain itu
para peternak meracik sendiri pakan penguat yang terdiri dari dedak,bekatul,
pollard dan lain lain. Hal ini sesuai dengan Weaber, et al (2010) pemberian
pakan yang efektif dengan. Mencampur bahan pakan sendiri tanpa mengurangi
kandungan nutrisi yang sudah ada dalam bahan pakan.
Pakan sapi yang dipelihara secara intensif pada umumnya diberikan
pakan yang terdiri dari pakan hijuan dan pakan penguat seperti dedak halus,
bungkil kelapa, jagung dan lain lain. Dan biasanya para peternak memberikan
pakan hijuan pada pagi hari dan sore hari. Hal ini sesuai dengan Hansen (2007)
pakan sapi yang dipelihara secara intensif pada umumnya diberikan pakan
yang terdiri dari pakan hijuan dan pakan penguat seperti dedak halus, bungkil
kelapa, jagung dan lain lain. Dan biasanya para peternak memberikan pakan
hijauan pada pagi hari dan sore hari.
Pakan sapi yang dipelihara secara intensif pada umumnya terdiri dari
pakan hijuan dan pakan penguat seperti dedak halus, bungkil kelapa, jagung
dan lain lain. Hal ini sesuai dengan Sudarmono dan Bambang (2008) pakan
sapi yang dipelihara secara intensif pada umumnya terdiri dari pakan hijuan
dan pakan penguat seperti dedak halus, bungkil kelapa, jagung dan lain lain.

2.3 Manajemen Kandang


2.3.1 Sistem Perkandangan
Sistem perkandangan yang ada di peternakan lokal pada umumnya
masih dalam model kandang tradisional. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Supartini dan Hariadi (2014) kandang yang digunakan adalah kandang postal,
beratap rumba, bertipe gable dengan kontruksi terbuat dari kayu dan bambu.
Terdapat kandang individu dan kandang kelompok. Peternak bakalan
sapi kereman dari Banjarejo menggunakan kandang individu disekitar
rumahnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Syarifuddin (2009) pengandangan
ternak yang dilakukan oleh petani sangat beragam. Sistem pengandangan yang
ada adalah sistem kandang ternak perorangan yang ditempatkan di sekitar atau
bahkan menyatu dengan rumahnya.
Desain untuk kandang sapi potong harus disesuaikan dengan ukuran
tubuh ternak agar ternak nyaman dalam kandang. Hal ini sesuai dengan Uzal
and Nuh (2010) esain untuk kandang sapi potong harus disesuaikan dengan
ukuran tubuh ternak agar ternak nyaman dalam kandang.
Kandang harus kuat sehingga dapat dipakai dalam waktu yang lama,
ukuran sesuai dengan jumlah ternak, bersih agar ternak tidak mudah terkena
penyakit, memperoleh sinar matahari pagi, ventilasi kandang harus cukup. Hal
ini sesuai dengan Lorenz et al (2011) kandang harus kuat sehingga dapat
dipakai dalam waktu yang lama, ukuran sesuai dengan jumlah ternak, bersih,
memperoleh sinar matahari pagi, ventilasi kandang harus cukup.
Peternak memelihara ternak sapi potong dengan cara di kandangkan
yang letaknya tidak jauh dari rumah. Ukuran kandang ada yang sesuai dengan
standar kebutuhan ruang ternak. Hal ini sesuai dengan Herawati (2012)
peternak memelihara ternak sapi potong dengan cara dikandangkan yang
letaknya tidak jauh dari rumah. Ukuran kandang ada yang sesuai dengan
standar kebutuhan ruang ternak.
2.3.2 Konstruksi Kandang
Lantai kandang lebih baik terbuat dari bahan yang berupa semen. Hal
ini sesuai dengan penjelasan Rusdia, dkk (2016) pembuatan lantai kandang
harus benar-benar memenuhi syarat, yaitu tidak licin, tidak mudah menjadi
lembab, tahan injakan, dan awet serta memberikan kenyamanan apabila ternak
berdiri ataupun pada saat berbaring.
Bahan bahan yang digunakan untuk kandang harus kuat dan kokoh,
umumnya peternakan lokal yang masih secara tradisional menggunakan kayu
dan bambu. Hal ini sesuai dengan penjelasan Jhoni, dkk (2015) bahwa sistem
perkandangan dan pemeliharaan pada umumnya masih dikelola secara
sederhana atau tradisional yaitu dengan konstruksi kandang yang terbuat dari
bambu.
Tataletak untuk membangun kandang harus strategis, mempunyai
sirkulasi udara yang baik, tidak lembab dan dan aman dari gangguan binatang
buas. Bahan yang digunakan untuk kandang harus kuat, tidak mudah roboh (
Shen et al,2015).
Kontruksi kandang dapat terbuat dari bahan besi, besi beton, kayu dan
bamboo disesuaikan dengan tujuan dan kondisi yang ada (Vucimelo et al,2012)
Konstruksi kandang harus kuat, mudah dibersihkan, mempunyai
sirkulasi udara yang baik, tidak lembab dan mempunyai mpat penampungan
kotoran beserta saluran drainasenya. Mampu menahan beban benturan dan
dorongan yang kuat dari ternak. serta menjaga keamanan ternak dari pencurian.
Dalam mendesain konstruksi kandang sapi potong harus didasarkan
agroekosistem wilayah setempat, tujuan peme haraan, dan status fisiologis
ternak. Model kandang sapi potong didataran tinggi, diupayakan lebih tertutup
untuk melindungi ternak dari cuaca yang dingin, sedangkan untuk dataran
rendah kebalikannya yaitu bentuk kandang yang lebih terbuka. Tipe dan bentuk
kandang dibedakan berdasar status fisiologis dan pola pemeliharaan dibedakan
yaitu kandang pembibitan, penggemukan, pembesaran, kandang beranak atau
menyusui, kandang pejantan, kandang paksa (Mulyadi dan Marsandi, 2007)

2.4 Manajemen sanitasi dan bio security


2.4.1 Sanitasi
Kandang yang tidak dibersihkan secara rutin akan membahayakan
ternak, bisa menimbulkan penyakit bahkan kematian. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Alam, dkk (2014) sanitasi kandang dapat mencegah timbulnya
penyakit pada ternak.
Untuk melakukannya, kami telah mengembangkan kode praktik
manajerial yang baik yang dapat diterapkan di peternakan ternak sapi, yaitu
rencana pertanian dan pemilihan lokasi; mengumpulkan, menyimpan, dan
menggunakan limbah cair; menghapus bangkai dan sampah dari peternakan;
mengelola area dekat;Menggunakan limbah hewan sebagai pupuk alami;
melindungi tanah (Petroman et al,2012).
Pengendalian dan sanitasi penyakit, isolasi dan karantina, gizi seimbang.
Program vaksinasi. Pelepasan bahan sampah atau pupuk kandang, penggunaan
antibiotik -pengendalian arthropoda, hama dan parasit eksternal, sanitasi dan
desinfeksi yang tepat (Gupta,2014)
Sanitasi dilakukan dengan pembersihan kandang dan perlengkapan
lainnya sebelum pemberian makan. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Qomarudin dan Ahmad (2011) bahwa kandang dilakukan beberapa tahap
setelah pembersihan kandang meliputi membersihkan tempat makan dan
tempat minum dan membersihkan kotoran sapi potong yang berada di dalam
kandang.Sanitasi kandang adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh peternak
untuk kebersihan kandang dan lingkungannya.
Perawatan harian kandang. Kebersihan dan sanitasi kandang serta
berbagia perlengkapannya sangat penting yang nantinya berpengaruh pada
kebersihan tubuh dan kesehatan ternak ( Syarif dan Bagus,2011)
2.4.2 Bio Security
Mencegah adanya penyebaran penyakit salah satunya dengan
melakukan vaksinasi secara berkala. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasambe
dan Nurayu (2016) bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimal maka
dilakukan pencegahan tentang penyakit berupa vaksinasi terutama antraks, SE,
pemberian obat cacing hati maupun penyunrikan multivitamin.
Sanitasi dilakukan dengan menyemprotkan desinfektan pada kandang
ternak. Hal ini didukung penjelasan Suyasa, dkk (2016) bahwa sanitasi
dilakukan terhadap ternak, kandang, lingkugan peternakan, perlengkapan dan
peralatan kandang serta peternaksebagian besar sumber-sumber penyakit yang
berasal dari bakteri atau virus mampu ditanggulangi dengan melakukan
penyemprotan dengan disenfektan.
Biosecurity berupa pembersihan kandang dilakukan setiap hari
sebanyak dua kali untuk menjaga kandang agar tetap bersih dan tidak lembab.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Kobayashi and Tigran (2011) model tindakan
peternak tentang biosecurity diatur setiap hari untuk mencegah penyakit.
Biosekuriti merupakan usaha untuk menjaga suatu daerah dari
masuknya agen penyakit, menjaga tersebarnya agen penyakit dari daerah
tertentu, dan menjaga agar suatu penyakit tidak menyebar di dalam daerah
tersebut ( Alemayehu and Samson, 2014)
2.4.3 Kesehatan
Kebersihan ternak dan lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan
ternak dan terhindar dari penyakit. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Budiraharjo (2011) bahwa kegiatan pencegahan penyakit yang dilakukan oleh
peternak anggota KTT, meliputi memandikan sapi tiga hari sekali untuk
menghindari lalat atau caplak, membersihkan tempat pakan ternak satu kali
sehari, serta membersihkan kotoran dan sanitasi lingkungan sekitar kandang
dua kali sehari.
Pembersihan kandang dan dilanjutkan dengan pemandian sapi ini
bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang dan menjaga kesehatan sapi agar
sapi tidak mudah terjangkit penyakit (Raines et al,2008)
Penyakit yang sering menyerang ternak adalah cacingan. Salah satu.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Tethool dan Daniel (2009) bahwa jenis
penyakit yang paling umum tersebar di seluruh dunia adalah penyakit
kecacingan yang di sebabkan oleh infeksi cacing.
Untuk mencegah sapi terkena penyakit menular, perlu dilakukan
vaksinasi secara teratur dan pemberian obat sesuai jenis penyakitnya. Setiap
selesai melakukan vaksinasi dicatat kegiatan tersebut di dalam kartu identitas
sapi. Tujuannya agar peternak mengetahui riwayat kesehatan sapi yang
dipelihara (Leo et al,2012)
Untuk mencegah sapi terkena penyakit menular, perlu dilakukan
vaksinasi. Setiap selesai melakukan vaksinasi catat kegiatan tersebut di dalam
kartu identitas sapi. Tujuannya agar peternak mengetahui riwayat kesehatan
sapi yang dipelihara ( Fikar dan Dadi,2009)

2.5 Judging
Pemilihan ternak berdasarkan visual dilakukan dengan memilih ternak
berdasarkan sifat-sifat yang tampak.Hal ini sesuai dengan penjelasan Suranjaya
dan Wiyana (2011) bahwa penaksiran bobot badan ternak itu dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu penaksiran dengan menggunakan atau berdasarkan panca
indera, namun penaksiran dengan panca indera ini bisa sangat subyektif
sifatnya, karena hasilnya sangat tergantung dari kemahiran dan subyektivitas
penaksir. Cara yang lain adalah penaksiran dengan menggunakan rumus
korelasional antara bobot badan dengan beberapa ukuran dimensi tubuh ternak
sapi.
Penafsiran berat badan dapat pula dilakukan dengan pengamatan
visual yaitu memperkirakan berat badan ternak yang diamati. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Patmawati, dkk (2013) bahwa beberapa hal yang dinilai
dalam uji Performans ini adalah: (1) penilaian kuantitatif yang meliputi
panjang badan, lingkar dada, tinggi gumba, dan berat badan.
Judging terdiri atas tiga langkah yaitu, penilaian melalui kecermatan
pandangan (visual), penilaian melalui kecermatan perabaan (palpasi), dan
penilaian melalui pengukuran tubuh. Hal ini sesuai dengan penjelasan Oltenacu
and Broom (2010) bahwa meskipun seleksi untuk sifat hasil telah menerima
penekanan utama pada tujuan seleksi yaitu penekanan substansial telah
diberikan pada ciri-ciri lain, terutama di Amerika Utara. Banyak sifat non-
imbal hasil ini terkait dengan penampilan luar sapi, seperti konformasi
keseluruhan atau ukuran tubuh (termasuk tinggi, lebar dada dan kedalaman
tubuh), dan sudut pandang.
Penilaian ini untuk menentukan tingkat dan kualitas akhir melalui
perabaan yang dirasakan melalui ketipisan, kerapatan, serta perlemakannya.
Bagian-bagian daerah perabaan pada penilaian (judging) ternak sapi bagian
rusuk, bagian Transversusprocessus pada tulang belakang, bagian pangkal ekor
dan bagian bidang bahu ( Cole et al,2011)
Penilaian ternak (sapi/kerbau) beberapa bagian yang perlu dilakukan
antara lain perapabaan melalui ketipisan kerapatan dan kelunakan kulit dan
perlemakannya, bagian bagian daerah perabaan pada penilaian , bagian rusuk,
bagian bidang bahu ( Nugroho,2008)

2.6 Body Condition Score


Body Condition Score (BCS) untuk mengetahui perlemakan pada
tubuh ternak. Hal ini sesuai dengan penjelasan Anisa, dkk (2017) Body
Condition Score (BCS) induk erat hubungannya dengan status cadangan energi
tubuh ternak, sedangkan cadangan energi tersebut erat hubungannya dengan
gizi yang dikonsumsi.
BCS atau body condition score merupakan penilaian terhadap ternak
sapi potong tersebut dalam kategori kurus sampai gemuk. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Budiawan, dkk (2015) bahwa Body Condition Score adalah metode
untuk memberi nilai kondisi tubuh ternak baik secara visual maupun dengan
perabaan pada timbunan lemak tubuh dibawah kulit sekitar pangkal ekor,
tulang punggung dan pinggul.
Salah satu pengukuran BCS secara perabaan adalah dengan melihat
ketebalan lemak bagian ekor. Hal ini sesuai dengan penjelasan Petrovska and
Daina (2014) bahwa BCS adalah parameter visual, yang mengkarakterisasi
ketebalan lapisan belakang.
Skor kondisi tubuh merupakan indikator yang sangat baik untuk status
gizi sapi potong. Daya hidup ideal bervariasi dari sapi ke sapi sedangkan
kondisi tubuh ideal (BCS 5-6) sama untuk semua sapi. Selain itu, kondisi tubuh
bisa diukur di lapangan tanpa mengumpulkan atau bekerja ternak. Hal ini
sesuai dengan penejelasan Browne, et al (2009) bahwa skor kondisi tubuh
adalah angka yang digunakan untuk memperkirakan cadangan energi berupa
lemak dan otot sapi potong. BCS berkisar antara 1 sampai 9, dengan skor 1
sangat kurus dan 9 mengalami obesitas. Daerah seperti punggung, kepala ekor,
pin, kait, tulang rusuk, dan Sandung lamur sapi potong dapat digunakan untuk
menentukan BCS (Gambar 1). Sapi dalam kondisi 'kurus' (BCS 1-4) bersudut
dan bertulang dengan sedikit lemak di atas tulang punggung, tulang rusuk, kait,
dan pin.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahsan diatas dapat disimpulkan bahwa manejemen


pemeliharaan mulai dari pemilihan bibit, pakan, kandang sanitasi dan biosecurity
sangatlah penting sehingga perlu adanya pengawasan tiap pelaksanaan manajemen.
Pemilihan bibit dapat dinilai dari judging atau nilai BCSnya. Pemberian pakan
bergantung pada jenis pakan, frekuensi pemberian pakan, dan disesuaikan dengan
kebutuhan nutrisi ternak. Pada manajemen kandang peternak karena keterbatasan
dana peternak lebih memilih kandang tradisional dan koloni karena mudah, praktis,
dan murah. Pada manajemen sanitasi dan biosecurity peternak hanya dapat
melaksnakan sanitasi secara sederhana namun selalu kontinyu seperti pembersihan
kandang, tempat pakan dan tempat minum.

3.2 Saran

Diharapkan pemerintah dapat mengawasi dan memberi bantuan pakan


ternak dan alat disinfektan agar pertumbuhan populasi sapi potong di Indonesia
meningkat. Diharapkan pemberian bantuan bukan berupa dana namun berupa
barang sehingga dapat di manfaatkan dengan baik dan benar.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar. 2014. Pedoman Pembibitan Sapi Potong. Jakarta Selatan : Direktorat
Perbibitan Ternak

Alam, Asmirani., S. Dwijatmiko., dan W. Sumekar.2014. Faktor-Faktor Yang


Mempengaruhi Aktivitas Budidaya Ternak Sapi Potong Di Kabupaten
Buru. Agrinimal. Vol. 4(1) : 28 37

Alemayehu,G and Samson,l.2014.Biosecurity Practices in Central Ethiopian cattle


feedlots: Its implcatioans for live cattle export.International Journal of
Livestock.5(11):181-187
Anisa, E., Y. S. Ondho., dan D. Samsudewa. 2017. Pengaruh Body Condition Score
(BCS) Berbeda terhadap Intensitas Birahi Sapi Induk Simmental
Peranakan Ongole (SIMPO). Jurnal Sain Peternakan Indonesia. Vol.
12(2) : 133 141

Browne, Milyssa F., John B. Hall, Richard E. Dietz. 2009. Body Condition Scoring
Beef Cows. Journal Of Agriculture and Life Science :
Budiawan, Aditya., M. Nur Ihsan., dan Sri Wahjuningsih. 2015. Hubungan Body
Condition Score Terhadap Service Per Conception Dan Calving
Interval Sapi Potong Peranakan Ongole Di Kecamatan Babat
Kabupaten Lamongan. J. Ternak Tropika Vol. 16(1) : 34-40

Budiraharjo, K., M. Handayani dan G. Sanyoto K. 2011. Analisis Profitabilitas


Usaha Penggemukan Sapi Potong Di Kecamatan Gunungpati Kota
Semarang. Mediagro. Vol. 7(1) : 1 9
Cole, J. B.,Vinicius, G. B. 2016. Genomic Selection In Multi-Breed Dairy Cattle
Populations. Revista Brasileira De Zootecnia.Vol. 45(4) : 195 202
Cole,J.B., George, R. W., Li, M., Tad, S. S. 2011. Genome-Wide Association
Analysis Of Thirty One
Febrina, Dewi., Dan Mairika L. 2008. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai
Pakan Ruminansia Paoa Peternak Rakyat 01 Kecamatan Rengat Barat
Kabupaten Inoragiri Hulu. Jurnal Peternakan. Vol. 5(1) : 28 37
Fikar, S dan Dadi, R. 2009. Penggemukan Sapi. Jakarta : Agromedia

Fox, D. G. 2011. A Net Carbohydrate And Protein System For Evaluating Cattle
Diets: I. Ruminal Fermentation.J ANIM SCI. Vol. 70(1) : 3551 3561
Gunawan dan B. W. Putera. 2016. Aplikasi Linier Ukuran Tubuh untuk Seleksi
Fenotipik Bibit Induk Sapi PO di Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ilmu
Produksi dan Teknologi Hasil. Vol. 04 (3) : 375 378

Gupta,S.K.2014.Disease control measures and sanitation in livestock farm. The


Asian Journal Of Animal Science.Vol.9(2):198-201
Hanse,A.V.2007. Influence Of Feeding Frequency On Passage Of Fluid And
Particulate Markers In Steers Fed A Concentrate Diet. Can. J. Anim.
Sci.Vol.63(1) :727-730
Haryanto, Budi,. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak Dalam Sistem Integrasi
Tanaman-Ternak Bebas Limbah Mendukung Upaya Peningkatan
Produksi Daging. Pengembangan Inovasi Pertanian. Vol. 2(3) : 163
176

Herawati,T.2012. Refleksi Sosial Dari Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca.


Hernowo,N.,Ekowati,T dan Mardiningsih, D. 2012. Analisis Swot Usaha
Penggemukan Sapi Potong Di Kabupaten Wonogiri. Animal
Agriculture Journal.Vol.1(2) : 302 310
Holstein cows. BMC Genomics.12(1) : 1 17
Indrayani, I., R. Nurmalina., dan A. Fariyanti. 2012. Analisis Efisiensi Teknis
Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Provinsi
Sumatera Barat. Jurnal Peternakan Indonesia. Vol. 14 (1) : 286 296

Jhoni, V. A. R., Suherni, S., dan Setiawan, K. 2015. Pengaruh Tatalaksana


Kandang Terhadap Infeksi Helminthiasis Saluran Pencernaan Pada
Pedet Peranakan Simental Dan Limousin Di Kecamatan Yosowilangun
Lumajang. Agroveteriner. Vol.3(2) : 114 120

Kobayashi, Mimako., andTigranMelkonyan. 2011. Strategic Incentives in


Biosecurity Actions: The oretical and Empirical Analyses.Journal of
Agricultural and Resource Economics. Vol. 36(2) : 242262.

Kutsiyah, Farahdilla. 2012. Analisis Pembibitan Sapi Potong Di Pulau Madura.


Wartazoa.Vol. 22.(3) : 113 126

Leo,T.K.,Leslie,D.E.,Loo,S.S.,Ebrahimi,M.2012.An Evaluation on Growth


Performance and Carcass Characteristics of Integration (Oli Palm
Plantattion) and Feedlot Finished Bali Cattle.Journal of Animal and
Veterinary Advances.11(18):3427-3430
Lorenz,I.,Bernadette,E.,John,G.,Ian,H.,Erner,K and Simon,J.M.2011. Calf health
from birth to weaning. III. Housing and management of calf
pneumonia.Veterinary Journal.Vol64(14): 1 10
Luscher,A.,Mueller,I.H.,Susssanat,J.F.,Rees,R.M.,Peyraud,J.L.2014. Potential Of
Legume-Based GrasslandLivestock Systems In Europe: A Review.
The Journal of the British Grassland Society.Vol.50(6): 206 228
M. Fatah Wiyatna., E. Gurnadi., dan K. Mudikdjo. 2012. Produktivitas Sapi
Peranakan Ongole pada Peternakan Rakyat di Kabupaten Sumedang.
Jurnal Ilmu Ternak. Vol. 12(2) :

Morris,S.T. 2013.Sheep And Beef Cattle Production System. Sheep And Beef Cattle
Production. 35(2):79-84

Morris,S.T.2013.Sheep And Beef Cattle Production Systems. South African


Journal of Animal Science.Vol.45(5):79 -84
Mulyadi,A dan Marsandi.2007. Perkandangan Sapi Potong.Pasuruan: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan

Ngadiyono, N., G. Murdjito., A. Agus., dan U. Supriyana. 2008. Kinerja Produksi


Sapi Peranakan Ongole Jantan Dengan Pemberian Dua Jenis
Konsentrat Yang Berbeda. J. Indon Trop Anim Agric. Vol. 33(4) : 212
289
Nugroho,C.P.2008.Agribisnis Ternak Ruminansia.Jakarta: Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan
Oltenacu., and D. M. Broom. 2010. The impact of genetic selection for increased
milk yield on the welfare of dairy cows PA. Animal Welfare. Vol. 19(S)
: 39 49

Pasambe, Daniel., dan A. Nurhayu. 2016. Perbaikan Reproduksi Pada Induk Sapi
Potong Melalui Penyertakan Berahi Dengan Hormon Estro-Plan Di
Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin.

Patmawati, N. Wayan., N. N. Trinayani., M. Siswanto., I. N. Wandia., I Ketut Puja.


2013. Seleksi Awal Pejantan Sapi Bali Berbasis Uji Performans. Jurnal
Ilmu dan Kesehatan Hewan. Vol. 1(1) : 29-33

Petroman,C.,Diana,M.,Coman,S.,Dumitrescus,A.2012. Quality Management In


Ecological Beef Production.International Journal for Qualty
Research.Vol6(3):209-212
Petrovska, Solvita., dan Daina J. L. 2014. Relationship Between Body Condition
Score, Milk Productivity And Live Weight Of Dairy Cows. Research
For Rural Development. Vol. 1 : 100 106
production, health, reproduction and body conformation traits in contemporary
U.S.
Qomarudin, Muridi., dan Ahmad N. P. 2011. Studi Manajemen Pemberian Pakan
Pada Ternak Sapi Potong Di Kelompok Tani Ternak Mekar Sari Desa
Tambak Rigadung Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. Jurnal
Ternak, Vol.02(1) : 21 23
Quang,D.V., Nguyen,X.B.,, Peter,T.D.,, Dau,V.H., Peter,A.L., Aduli,EO.M.A,
Nguyen,H.M and David,P.2015.Effect Of Concentrate
Supplementation On Nutrient Digestibility And Growth Of Brahman
Crossbred Cattle Fed A Basal Diet Of Grass And Rice Straw. Journal
of Animal Science and Technology.Vol. 57(35):1 -8
Rainess,C.R.,Dikeman,M.E.,Unruh,J.A.2008. Predicting cattle age from eye lens
weight and nitrogen content, dentition, and United States Department
of Agriculture maturity score. J Anim Sci. 86(1) :35573567
Rusdia, Bastian., Madi H., dan Sri S.. 2016. Calving Interval Pada Sapi Bali Di
Kabupaten Pringsewu. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol. 4(4):
277 283

Saparinto,C.2011.Penggemukan Sapi Potong Hari Per Hari.Jakarta:Penebar


Swadaya
Sektor Peternakan Di Indonesia.Wartoza.Vol.22(1): 35 -47
Shen,W.,Congcong,C.,Shuang,Z.,Shanjun,H and Mingda,L.2015. The Design Of
System About Cow Activity Based On SVM.International Journal of
Smart Home.Vol.9(3):91 100
Sudarmono,.S dan Bambang, S. 2008. Sapi Potong. Jakarta : Niaga Swadaya
Supartini, Nonok., Dan Hariadi Darmawan. 2014. Profil Genetik Dan Peternak
Sapi Peranakan Ongole Sebagai Strategi Dasar Pengembangan Desa
Pusat Bibit Ternak. Buana Sains. Vol. 7(1) : 71 84

Suranjaya, I. G. D. dan K. D. A Wiyana. 2011. Aplikasi Rumus Penaksiran Bobot


Badan Ternak Berdasarkan Ukuran Dimensi Tubuh Pada Kelompok
Peternak Sapi Potong Di Desa Dauh Yeh Cani Abiansemal Badung.
Udayana Mengabdi. Vol. 10 (1): 46 50

Suyasa, I. K. G., N. P. Sarini, dan S. A. Lindawati. 2016. Penerapan Manajemen


Pencegahan Penyakit Di Peternakan P4s Mupu Amerta, Banjar Sale,
Desa Abuan, Bangli. Journal Tropical Of Animal Science. Vol. 4(1): 1
6
Syarif,E.K dan Bagu,H.2012.Beternak & Bisnis Sapi Perah.Jakarta:Agromedia
Syarifuddin, Hutwan. 2009. Indeks Keberlanjutan Integrasi Tanaman dengan
Ternak (Crop Livestock System) di Kuamang Kuning.Jurnal Ilmiah
Ilmu-Ilmu Peternakan.Vol. 12(1) : 41 49

Taufiq, M. N.., Candra D., Wayan F. M. 2017. Optimasi Komposisi Pakan Untuk
Penggemukkan Sapi Potong Menggunakan Algoritma Genetika. Jurnal
Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. Vol. 1(7) :
2017. 571 582
Tethool, A. N., dan Daniel Y. Seseray. 2009. Identifikasi Jenis Cacing Sapi Bali
yang Dipelihara di Taman Ternak FPPK. Jurnal Ilmu Peternakan. Vol.
4(1) : 30 34

Trifena,Budisatria,I.G.S dan Tety,H.2011. Perubahan Fenotip Sapi Peranakan


Ongole, Simpo, Dan Limpo Pada Keturunan Pertama Dan Keturunan
Kedua (Backcross).Buletin Peternakan.Vol.35(1):11-16
Uzal,S and Nuh,U.2010.The Effect of Seasons on the Time Budget and Area Usage
of Animals in Open Loose Dairy Cattle Housing.Journal of Animal and
Veterinary Advances.Vol.9(1): 88 - 95
Vucimelo,M.,Kristina,M.,Igor,S.,Sasa,K.,Marijan,B.2012. Welfare assessment of
dairy cows housed in a tie-stall system.Welfare assessment of dairy
cows.Vol.62(1): 62 27
Weaber,R.I.,Beever,J.E.,Freetly,H.C.,Garrick,D.J.2010. Analysis of US Cow-Calf
Producer Survey Data to Assess Knowledge, Awareness and Attitudes
Related to Genetic Improvement of Feed Efficiency.Livestock
Production Journal.Vol.10(5): 1 -3
Webb, E.C and L.J.Erasmus. 2013. The Effect Of Production System And
Management Practices On The Quality Of Meat Products From
Ruminant Livestock. South African Journal Of Animal Science. 43(3):
413-423

Weglarz,A. 2011. Effect Of Pre-Slaughter Housing Of Different Cattle Categories


On Beef Quality. Animal Science Papers And Reports. Vol. 29(2):43
52.

Wiyatna, M. Fatah.,` E. Gurnadi,. dan K. Mudikdjo. 2012. Produktivitas Sapi


Peranakan Ongole pada Peternakan Rakyat di Kabupaten Sumedang
(Productivity of Peranakan Ongole Cattle on traditional farm system in
Sumedang Region). Jurnal Ilmu Ternak, Vol. 12, NO. 2 : 22 25

Anda mungkin juga menyukai