PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di
Indonesia. Kekurangan gizi pada umumnya terjadi pada balita karena pada umur tersebut
anak mengalami pertumbuhan yang pesat. Balita termasuk kelompok yang rentan gizi di
suatu kelompok masyarakat di mana masa itu merupakan masa peralihan antara saat
disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa.
Diperkirakan masih terdapat sekitar 1,7 juta balita terancam gizi buruk yang
keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok Indonesia. Jumlah balita di Indonesia menurut
data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tahun 2007 mencapai 17,2%
dengan laju pertumbuhan penduduk 2,7% per tahun. United Nations Children’s Fund
(UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan
jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak
7,7 juta balita (Depkes RI, 2007). Di beberapa provinsi seperti di Nusa Tenggara Barat
(NTB) selama Bulan Januari hingga Oktober 2009 tercatat lebih dari 600 kasus gizi buruk
yang pada umumnya menimpa balita dan 31 kasus di antaranya mengakibatkan kematian
(Rio, 2009).
Pemerintah terus berupaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
khususnya menangani masalah gizi balita karena hal itu berpengaruh terhadap
pencapaian salah satu tujuan Millennium Development Goals (MDGs) pada Tahun 2015
yaitu mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah lima tahun.
Prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menurun dari 25,8 % pada Tahun 2004
menjadi 18,4 % pada Tahun 2007, sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 menargetkan penurunan prevalensi kekurangan gizi
(gizi kurang dan gizi buruk) pada anak balita adalah <15,0% pada Tahun 2014 (Sarjunani,
2009).
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menjelaskan
bahwa permasalahan gizi dapat ditunjukkan dengan besarnya angka kejadian gizi buruk di
1
negara tersebut (Wahyu, 2015). Di Indonesia, angka kejadian gizi buruk menduduki
peringkat ke 142 dari 170 negara dan terendah di ASEAN. Data WHO menyebutkan angka
kejadian gizi buruk pada balita di Indonesia tahun 2002 meningkat 8,3% dan gizi kurang
27%. Tahun 2007 tercatat sebanyak empat juta balita Indonesia mengalami gizi kurang
dan 700 ribu anak dalam kategori gizi buruk. Berdasarkan data dari Global Hunger Index
tahun 2010, tingkat kelaparan dan gizi buruk di Indonesia berada pada level serius, satu
tingkat di bawah level mengkhawatirkan.
Masalah gizi yang sering terjadi pada Balita antara lain adalah masalah gizi kurang
(BB/U), kependekan (TB/U), gizi lebih atau obesitas (BB/TB). Dapat dilihat bahwasecara
nasional prevalensi berat kurang pada tahun 2010 adalah 17,9% yang terdiri dari4,9% gizi
buruk dan 13,0% gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensinasional tahun
2007 (18,4%) sudah terlihat ada penurunan. Penurunan terutama terjadipada prevalensi
gizi buruk yaitu dari 5,4% tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun2010 atau turun sebesar
0,5%, sedangkan prevalensi gizi kurang masih tetap sebesar13,0 %. Bila dibandingkan
dengan pencapaian sasaran MDGS tahun 2015 yaitu 15,5 % maka prevalensi berat kurang
secara nasional harus diturunkan minimal sebesar 2,4 % dalam periode 2011 sampai
2015.Dari 33 provinsi di Indonesia, khususnya Sulawesi Tenggara menempati urutan ke-13
berdasarkan indikator BB/U. Prevalensi kependekan (TB/U) secara nasional2010 sebesar
35,6 % yang berarti terjadi penurunan dari keadaan tahun 2007dimana prevalensi
kependekan sebesar 36,8%. Prevalensi kependekan sebesar 35,6% terdiri dari 18,5%
sangat pendek dan 17,1% pendek. Bila dibandingkan denganprevalensi sangat pendek dan
pendek tahun 2007 terlihat ada sedikit penurunan padaprevalensi sangat pendek dari
18,8%tahun 2007 menjadi 18,5 % tahun 2010 danprevalensi pendek menurun dari 18,0 %
tahun 2007 menjadi 17,1% tahun 2010, dari 15 provinsi memiliki prevalensi kependekan di
atas angka prevalensi nasional. Urutan dari ke 15 provinsi tersebut dari yang memiliki
prevalensi tertinggi sampai terendah adalah Sulawesi tenggara berada pada urutan ke-12
dari 15 Provinsi tersebut. Biladibandingkan dengan batas “non public health problem”
menurut WHO untuk masalahkependekan sebesar 20%.
2
Berdasarkan indikator BB/TB Prevalensi sangat kurus secara nasionaltahun 2010
masih cukup tinggi yaitu 6,0%dan tidak banyak berbeda dengan keadaantahun 2007
sebesar 6,2%. Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 7,3% pada tahun
2010 yang tidak berbeda banyak dengan keadaan tahun 2007 sebesar 7,4%. Secara
keseluruhan prevalensi balita dengan BB/TB Kurus sedikit menurun dari 13,6 % pada
tahun 2007 menjadi 13,3% pada tahun 2010. Dari 33 Provinsi Terdapat 19 provinsi
yangmemiliki prevalensi kekurusan diatas angka prevalensi nasional.Untuk Sulawesi
Tenggara masuk dalam urutan ke-7.Menurut UNHCR masalah kesehatan masyarakat
sudahdianggap serius bila prevalensi BB/TB Kurus antara 10,1-15,0 %, dandianggapkritis
bila di atas 15,0%. Berdasarkan indikator BB/TB juga dapat dilihat prevalensi kegemukan
di kalangan balita.Pada tahun 2010 prevalensi kegemukansecara nasional di Indonesia
adalah 14,0%. Terjadi peningkatan prevalensi kegemukanyaitu dari 12,2% tahun 2007
menjadi 14,0% tahun 2010 dan Sulawesi Tenggara sendiri menduduki urutan ke-3 dari 12
Provinsi yang memiliki masalah kegemukan.
Tingginya kasus gizi buruk di Provinsi Sulawesi Tenggara secara langsung
disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu intake konsumsi yang masih rendah, dan penyakit infeksi
yang masih tinggi sedangkan secara tidak langsung disebabkan karena kemiskinan,
pendidikan, kondisi higiene sanitasi dan pola asuh, termasuk di dalamnya pola pemberian
makanan, di sisi lain akses pelayanan kesehatan yang belum optimal juga turut berperan.
Beberapa penelitian mengenai faktor-faktor determinan yang berkontribusi
terhadap status gizi pada balita antara lain: penelitian yang dilakukan olehRatna (2008)
mengenaifaktor penyebab gizi buruk pada anak balita di wilayah kerja puskesmas mata
Kota Kendari menunjukkan bahwa dari 25 sampel kasus sebagian besar 21 responden
(84%) memiliki pendapatan keluarga yang kurang. Sedangkan dari 25 sampel kontrol
sebagian besar 19 responden (76%) memiliki pendapatan keluarga yang cukup. Hal ini
berarti bahwa balita dengan pendapatan keluarga yang kurang berisiko mengalami
kejadian gizi buruk 16,62 kali dibanding dengan balita yang memiliki pendapatan keluarga
yang cukup. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa balita yang pendapatan keluarganya
yang kurang, berpeluang 16,62 kali berisiko untuk menderita gizi buruk dibanding dengan
3
balita yang pendapatan keluarganya cukup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pendapatan keluarga merupakan faktor penyebab gizi buruk pada anak balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari.
Penelitian Yulianty (2008) yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi
merupakan faktor penyebab gizi buruk pada anak balita di Kecamatan Mandonga Kota
Kendari.Pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah pada responden, berisiko mangalami
gizi buruk pada balita 6,2 kali jika dibandingkan dengan pengetahuan ibu tentang gizi yang
cukup pada responden.Menurut Soekirman (2000) bahwa pengetahuan ibu tentang gizi
berpengaruh terhadap konsumsi pangan keluarga yang pada akhirnya akan
mempengaruhi status gizi keluarga tersebut. Namun demikian pengetahuan ibu tentang
gizi adalah faktor yang berpengaruh.Penyebab rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi
yaitu karena latar belakang pendidikan yang masih sangat kurang, sehingga dapat
mempengaruhi pengetahuan seorang ibu. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan
oleh Yuliana Hidayat dan AsrinSumarni (2010) tentang analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian gizi buruk pada balita di kabupaten kebumen tahun 2010.
Diketahui bahwa38,3% balitamenderita infeksi. Penyakit infeksi yang sering terjadi pada
anak-anak adalah diare dan ISPA. Diare dapat menyebabkan anak tidak mempunyai nafsu
makan sehingga terjadi kekurangan jumlah makanan dan minuman yang masuk ke dalam
tubuhnya yang dapat menyebabkan gizi kurang (Tarigan, 2003).
Menurut penelitian Hafrida (2004), terdapat kecendrungan pola asuh
denganstatus gizi. Semakin baik pola asuh anak maka proporsi gizi baik pada anak juga
akan semakin besar. Dengan kata lain, jika pola asuh anak di dalam keluarga semakin baik
tentunya tingkat konsumsi pangan anak juga akan semakin baik dan akhirnya akan
mempengaruhi keadaan gizi anak. Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa dari 40
responden terdapat 30 orang (75%) dengan pola asuh baik mempunyai status gizi yang
baik pula. Dan 10 orang (25%) dengan pola asuh buruk mempunyai status gizi yang
kurang.
4
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti menjadi tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Gambaran Status Gizipada Balita dan Faktor-faktor determinan di
Desa Hukaea Kecamatan Rarowatu UtaraKabupaten Bombana”.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: BagaimanaGambaran
Status Gizipada Balita dan Faktor-faktor determinan di Desa Hukaea Kecamatan Rarowatu
UtaraKabupaten Bombana?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Gambaran Status Gizi pada Balita dan Faktor-faktor
determinan di Desa Hukaea Kecamatan Rarowatu UtaraKabupaten Bombana.
2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui Status Gizi Balita Di Desa Hukaea Kecamatan Rarowatu Utara
Kabupaten Bombana
2. Mengetahui faktor asupan makan terhadap status gizi balita di Desa Hukaea
Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana.
3. Mengetahui faktor penyakit infeksi terhadap status gizi balita di Desa Hukaea
Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana.
4. Mengetahui faktor pelayanan kesehatanterhadap status gizi balita di Desa Hukaea
Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana
5. Mengetahui faktor ketahanan pangan terhadap status gizi balita diDesa Hukaea
Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana.
6. Mengetahui faktor pola makan terhadap status gizi balita di Desa Hukaea
Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana.
7. Mengetahui faktor pola asuh terhadap status gizi balita di Desa Hukaea Kecamatan
Rarowatu Utara Kabupaten Bombana.
5
8. Mengetahui faktor sanitasi dan higiene terhadap status gizi balita di Desa Hukaea
Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana.
9. Mengetahui faktor pengetahuan terhadap status gizi balita diDesa Hukaea
Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana.
10. Mengetahui faktor pendapatan terhadap status gizi balita diDesa Hukaea
Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu dan pengetahuan bagi peneliti
sehingga mampu mengetahui dan memahami faktor-faktor determinan terhadap
Status Gizi Balita.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat di jadikan sebagai sumber data atau informasi
bagi peneliti selanjutnya terutama penelitian yang berhubungan dengan Faktor-
Faktor Determinan terhadap Status Gizi Balita.
3. Diharapkan bagi masyarakat agar lebih mengetahui dan memahami tentang
pentingnya status gizi, terutama para ibu guna menambah wawasan tentang
kesehatan gizi balita.
4. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan bagi
program penanganan gizi guna meningkatkan status gizi yang lebih baik.
6
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
A. BALITA
Berdasarkan siklus daur kehidupan, balita atau anak bawah lima tahun
dikarakteristikkan menjadi 2 kelompok yaitu anak usia antara 1 sampai 3 tahun yang
disebut batita atau toddler dan anak usia lebih dari 3 tahun sampai 5 tahun yang disebut
usia pra sekolah atau preschool children (Wooldridge N, 2005).
Pada usia 1-3 tahun pertumbuhan anak menjadi lebih lambat atau tidak sepesat
pada masa bayi. Secara rata-rata, pertambahan berat badannya adalah sebesar 0,23 Kg
perbulan dan penambahan tinggi sebesar 1 cm perbulan. Perlambatan tinggi
pertumbuhan pada balita usia ini sejalan dengan penurunan dalam nafsu makan dan
asupan makanannya. Ini merupakan hal yang normal, namun di sisi lain asupan energy
dan zat lain yang adekuat sangatlah penting untuk memenuhi kebutuhan gizinya
(Wooldridge N,2005).
Pada usia 1-3 tahun, perkembangan balita ditandai peningkatan yang cepat dalam
gerakan motorik kasar dan halus, gerakannya menjadi lebih bebas, melakukan eksplorasi
lingkungan dan terjadi peningkatan kemampuan bahasa (Wooldridge N,2005). Khusus
untuk anak usia 12-24 bulan, milestone perkembangan yang penting antara lain adalah
berjalan, mengeksplorasi rumah dan sekeliling rumah, menyusun 2 atau 3 kotak,
mengatakan 5 sampai 10 kata, naik turun tangga, menyusun kotak, menunjuk mata dan
hidungnya dan menyusun 2 kata (Soetjiningsih, 1995).
B. STATUS GIZI BALITA
Status gizi adalah Status gizi status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan
antara kebutuhan dan masukan nutrient (Beck 2002 dalam Jafar 2010). Menutut
Almatsier (2005) status gizi didefinisikan sebagai suatu keadaan tubuh akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi.
1. Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi, dibedakan antara gizi kurang, baik, dan lebih (Almatsier, 2002).
7
Sedangkan menurut Supariasa, 2004, status gizi adalah ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variable tertentu, atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk
variable tertentu.
2. Penilaian Status Gizi
Menurut (Supariasa,2004), pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi dua
yaitu secara langsung dan tidak langsung.
a. Penilaian Gizi Secara Langsung
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat yaitu
antropometri,klinis,biokoimia dan biofisik.
1. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari
sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai
macam penukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur dan tingkat gizi. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan
dengan mengukur beberapa parameter,antara lain: umur, berat badan,tinggi
badan,lingkar kepala,lingkar lengan,lingkar pinggul dan tebal lemak dibawah kulit.
Beberapa indeks antropometri yang sering digunakkan yaitu berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi
badan(BB/TB).Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan
gambaran masa tubuh berat badan(BB) juga merupakan parameter antropometri
yang sangat labil dalam keadaan normal dimaan keadaan kesehatan baik dan
keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin,maka BB
berkembang mengikuti pertambahn umur (Supariasa, 2004).
Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi
badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore)
menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005.
2. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
masyrakat.metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi
8
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Penggunaan metode ini umunnya
untuk survey klinis secara cepat(rapid clinical surveys). Survei dirancang untuk
mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu
atau lebih zat gizi.
3. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah spesimen yang di uji secara
laboratories yang dilakukan berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang
diladigunakan antara lain darah, urine, tinja, dan berupa jaringan tubuh seperti
hati dan otot. Penggunaan metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa
kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi.
4. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur
dari jaringan. Umumbya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian
buta senja epidemik (epidemic of night blindnes). Cara yang digunakan adalah tes
adaptasi gelap.
b. Penilain Status Gizi Secara Tidak Langsung
Penilain status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Survey Konsumsi Makanan
Survey konsumsi makanan adalah metode status gizi secara tidak langsung
dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data
konsusmsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat
gizi pada masyarakat, keluarga, dan individu. Survey ini dapat mengidentifikasikan
kelebihan dan kekurangan zat gizi.
2. Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data
beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka
kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainya yang
9
berhubungan dengan gizi. Penggunaan pertimbangan sebagai bagian dari
indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
3. Factor Ekologi
Menurut (Bengoa, 1966) bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai
hasil interaksi beberapa factor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Pengukuran
faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi
disuatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi
(Schrimshaw, 1964).
C. POLA ASUH
Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang
diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak (child rearing) adalah
bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik.
Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan
pengasuh terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua (pengasuh)
dengan anak (yang diasuh). lnteraksi tersebut mencakup perawatan seperti dan
mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun
sosialiasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.
Pola asuh gizi/makan adalah cara pemberian makanan yang sesuai dengan
kebutuhan anak yang diberikan dengan penuh kasih sayang.
A. Prinsip Pola Asuh Gizi pada Balita
Setelah anak berumur satu tahun menunya harus bervariasi untuk
mencegah kebosanan dan diberi susu, serealia (seperti bubur beras, roti), daging,
sup, sayuran dan buah-buahan. Makanan padat yang diberikan tidak perlu diblender
lagi melainkan yang kasar supaya anak yang sudah mempunyai gigi dapat belajar
mengunyah. Adakalanya anak tidak mau makan dan sebagai gantinya ibu
memberikan susu. Kebiasaan demikian akan mengarah ke diet yang hanya terdiri
dan susu saja. Berikan nasihat kepada ibu atau pengasuhnya bahwa kebiasaan
demikian tidak baik bagi anaknya. Ibu harus dapat bertindak keras, jika anak sehat
10
tidak mau makan makanan padatnya, jangan diberikan susu sebagai pengganti akan
tetapi bawa pergi makanan itu dan coba lagi jika anak sudah lapar.
11
baik/cara mempraktekkan pola asuh dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana cara
menjaga kesehatan anak, pendidikannya dan sebagainya.
3. Tingkat Pengetahuan Ibu
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan
pada tiga kenyataan :
1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal,
pemeliharaan dan energi.
3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi. Kurangnya
pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan
adalah umum disetiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan
pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Lain
sebab yang penting dan gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang
gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi, dengan pengetahuan yang
kurang dapat menentukan pola asuh gizi yang dilaksanakan sehari-hari.
D. PENGETAHUAN IBU
Tingkat Pengetahuan :
a. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah merupakan hasil “Tahu”, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).
Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang
12
mengadopsi perilaku baru ( berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi
proses yang berurutan, yakni:
1. Awereness (Kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (Objek).
2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sisni sikap
objek sudah mulai timbul.
3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya. Hal ini bearti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti
ini, di mana didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka
perilaku tersebut akan bersifat langgeng (Long Lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu
tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain Kognitif mempunyai 6 tingkat,
yakni:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang
tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami dapat diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpresikan materi tersebut
13
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat
diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. kemampuan analisis
ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisahkaan, mengelopokkan, dan sebagainya.
5. Sintestis (Synthesisi)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada.
14
Menurut Soekidjo (1997:130) pengukuran pengetahuan dapat dilakukan
dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur
dari subjek penelitian atau responden.
Tingkat pengetahuan gizi ibu adalah kemampuan seorang ibu dalam
memahami konsep dan prinsip serta informasi yang berhubungan dengan gizi. Tingkat
pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman, faktor pendidikan, lingkungan,
sosial, sarana dan prasarana maupun derajat penyuluhan yang diperoleh (Kismoyo,
2005).
Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan tentang pemilihan bahan makanan dan
konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan
untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan makanan berpengaruh
terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau optimal terjadi apabila tubuh
memperoleh cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status gizi kurang tejadi apabila
tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi essential. Sedangkan status gizi
lebih terjadi apabila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah yang berlebihan
sehingga menimbulkan efek yang membahayakan (Almatsier, 2001).
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi menurut
Suhardjo (2003) didasarkan pada 3 kenyataan, yaitu :
a. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan
b. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal,
pemeliharaan, dan energi.
c. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Tingkat pengetahuan gizi ibu adalah kemampuan seorang ibu dalam
memahami konsep dan prinsip serta informasi yang berhubungan dengan gizi.
Penentuan tingkat pengetahuan diperoleh dengan cara skoring terhadap total
pertanyaan yang ada pada kosioner, dan kriteria obyektifnya adalah :
a. Cukup : jika memiliki jumlah skor jawaban > 60 % terhadap total skor.
15
b. Kurang : jika memiliki jumlah skor jawaban < 60% terhadap total skor.
17
karena kurangnya informasi yang diterima ibu khususnya mengenai makanan
pendamping ASI.
Ficha Elly Kusumasari (2012) tentang hubungan pengetahuan ibu tentang
makanan pendamping ASI terhadap status gizi menunjukkan bahwa ibu dengan
pengetahuan kurang sebagian besar memiliki anak dengan status gizi buruk
(10,8%) dan kurang (11,8%), selanjutnya ibu dengan pengetahuan cukup sebagian
memiliki anak dengan status gizi baik (20,4%), dan ibu dengan pengetahuan baik
memiliki anak dengan status gizi baik (31,2,2%). Berdasarkan tabulasi tersebut
menunjukkan semakin baik pengetahuan ibu maka terdapat kecenderungan
semakin baik status gizi anak.
3. Pemilihan dan Pengolahan Bahan Makanan
Menurut Suhardjo (2003) seorang ibu banyak tidak memanfaatkan bahan
makanan yang bergizi, hal ini disebabkan salah satunya karena kurangnya
pengetahuan akan bahan makanan yang bergizi. Semakin banyak pengetahuan
gizinya, semakin diperhitungkan jenis dan kualitas makanan yang dipilih untuk
dikonsumsi. Ibu yang tidak mempunyai cukup pengetahuan gizi, akan memilih
makanan yang paling menarik pancaindera, dan tidak mengadakan pilihan
berdasarkan nilai gizi makanan. Sebaliknya mereka yang semakin banyak
pengetahuan gizinya, lebih mempergunakan pertimbangan rasional dan
pengetahuan tentang gizi makanan tersebut. Pengetahuan gizi yang baik dapat
membantu seseorang belajar bagaimana menyimpan, mengolah serta
menggunakan bahan makanan yang berkualitas untuk dikonsumsi (Wahyuni,2008).
E. PENYAKIT INFEKSI
1. Diare
a. Pengertian Diare
Diare adalah penyakit yang terjadi ketika terjadi perubahan konsistensi feses
selain dari frekuensi buang air besar. Seseorang dikatakan menderita diare bila feses
lebih berair dari biasanya, atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air
besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam. Pada bayi volume tinja
18
lebih dari 15g/kg/24 jam disebut diare. Pada umur 3 tahun, yang volume tinjanya
sudah sama dengan volume orang dewasa, volume lebih dari 200 g/24 jam disebut
diare (Depkes RI, 2010, Nelson 2000).
Laporan Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit Diare merupakan
penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%). Pada
tahun 2010 kejadian luar biasa (KLB) diare terjadi di 11 provinsi dengan jumlah
penderita sebanyak 4,204 orang, jumlah kematian sebanyak 73 orang dengan CFR
sebesar 1,74% (Depkes RI, 2010).
Klasifikasi diare kedalam jenis akut atau kronis bersifat mutlak, tetapi biasanya
diare harus berlangsung paling sedikit 2 minggu untuk dapat disebut sebagai kronis.
Hal ini didasarkan pada anamnesis umum tentang gejalah diare, baik pada jenis
gastroenteritis virus maupun bakteri akut pada anak yang bergizi baik dengan system
kekebalan baik (Nelson, 2000).
Menurut Alania dkk dalam Santoso dan Ranti(1995), anak balita lebih rentan
menderita penyakit infeksi karena sudah mulai bergerak aktif untuk bermain, sehingga
sangat mudah terkontaminasi oleh kotoran. Pudjiadi (2000) juga menjelaskan bahwa
anak usia 2-5 tahun sudah mulai memiliki kebiasaan membeli makanan jajanan yang
belum tentu terjaga kebersihannya, baik dalam pengolahan maupun penyajiannya,
sehingga sangat mudah terkontaminasi oleh kuman yang bisa menyebabkan diare.
Sebagian besar anak yang menderita diare mengalami demam (70,3%) dan penurunan
nafsu makan (81,1%). Demam timbul sebagai respon tubuh saat terjadinya proses
inflamasi akibat infeksi dan penurunan nafsu makan atau asupan makanan terjadi
sejalan dengan tingkat keparahan infeksi. Semakin parah infeksi yang terjadi maka
penurunan asupan makanan akan semakin besar.
b. Tanda Dan Gejalah Diare
Adapun tanda-tanda dan gejala-gejala yang ditimbulkan akibat diare:
1. Diare dengan dehidrasi ringan, dengan gejala sebagai berikut:
1) Frekuensi buang air besar 3 kali atau lebih dalam sehari
2) Keadaan umum baik dan sadar
19
3) Mata normal dan air mata ada
4) Mulut dan lidah basah
5) Tidak merasa haus dan bisa minum
2. Diare dengan dehidrasi sedang, kehilangan cairan sampai 5-10% dari berat
badan, dengan gejala sebagai berikut :
1) Frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dan sering
2) Kadang-kadang muntah, terasa haus
3) Kencing sedikit, nafsu makan kurang
4) Aktivitas menurun
5) Mata cekung, mulut dan lidah kering
6) Gelisah dan mengantuk
7) Nadi lebih cepat dari normal, ubun-ubun cekung
3. Diare dengan dehidrasi berat, kehilangan cairan lebih dari 10% berat badan,
dengan gejala:
1) Frekuensi buang air besar terus-menerus
2) Muntah lebih sering, terasa haus sekali
3) Tidak kencing, tidak ada nafsu makan
4) Sangat lemah sampai tidak sadar
2. ISPA
a. Pengertian ISPA
ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular
dandapat menimbulkan gejala penyakit infeksi mulai ringan sampai penyakit yang
parah. Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan okeh virus atau bakteri. Penyakit ini
diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala : tenggorakan sakit atau
nyeri telan,pilek,batuk kering,atau berdahak. Period prevalensu ISPA dihitung dalam 1
bulan terahir (Riskesdas 2013).
ISPA adalah infeksi yang terutama mengenai struktur saluran pernapasan di
atas laring,tetapi kebanyakan,penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah
secara simultan atau berurutan. Gambran patofisiologisnya meliputi infiltrat
20
peradangan dan edema mukosa, kongesti vaskuler,bertambahnya sekresi mukus, dan
perubahan struktur dan fungsi siliare.
Berbagai mikroorganisme (terutama virus) terutama mampu menyebabkan
infeksi yang tidak tampak atau gejala-gejala klinis dengan berbagai keparahan dan
meluas sesuai dengan faktor hospes seperti umur,jenis kelamin,sebelumnya telah ada
kontak dengan agen,alergi, dan status nutrisi. Misalnya,pada berbagai anggota dari
keluarga yang sama,satu virus secara simultan dapat menyebabkan cold khas pada
orang tua,bronkiolitis pada bayi,croup pada anak yang sedikit lebih tua,faringitis pada
anak terpajan patigen dengan kisaran yang lebar pada umur yang lebih dini (Nelson,
2000)
b. Etiologi
Kebanyakaninfeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus dan
mikoplasma,kecuali epiglotitis akut. Organisme streptokokus dan difteria merupakan
agen bakteri utama yang mampu menyebabkan penyakit faring primer,bahkan pada
kasus tonsilofaringitis akut,sebagian besar penyakit berasal nonbakteri. Walaupun ada
banyak hal yang tumpang tindih,beberapa mikrooganisme lebih mungkin
menimbulkan sindrom pernapasan tertentu pada yang lain dan agen tertentu
mempunyai kecenderungan lebih besar dari pada yang lain untuk menimbulkan
penyakit yang berat. Beberapa virus (misalnya campak) dapat dihubungkan dengan
banyak sekali variasi gejala saluran pernapasan dan bawah sebagai bagian dari
gambaran klinis umum yang melibatkan sistem organ lainnya.
F. PELAYANAN KESEHATAN
1. Status Imunisasi
Kementerian Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI)
pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit pada anak. Program imunisasi
untuk penyakit- penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) pada anak yang
tercakup dalam PPI adalah satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali
imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak (Riskesdas, 2010).
21
Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio
pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat
minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua, tiga, empat bulan dengan interval minimal
empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan. Dalam Riskesdas,
informasi tentang cakupan imunisasi ditanyakan pada ibu yang mempunyai balita umur 0-
59 bulan (Riskesdas, 2010).
Untuk setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila
sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali
polio, dan satu kali imunisasi campak. Oleh karena jadwal imunisasi untuk BCG, polio, DPT-
HB, dan campak yang berbeda, bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis cakupan imunisasi.
Hal ini disebabkan bila bayi umur 0-11 bulan dimasukkan dalam analisis, dapat
memberikan interpretasi yang berbeda karena sebagian bayi belum mencapai umur untuk
imunisasi tertentu, atau belum mencapai frekuensi imunisasi tiga kali (Riskesdas, 2010).
Oleh karena itu hanya anak umur 12-23 bulan yang dimasukkan dalam analisis
imunisasi. Ada beberapa alasan untuk analisis imunisasi hanya 12-23 bulan, yaitu karena
imunisasi kelompok umur anak 12-23 bulan dapat mendekati perkiraan “valid
immunization”, survei-survei lain juga menggunakan umur 12-23 bulan untuk menilai
cakupan imunisasi sehingga dapat dibandingkan, dan bias karena ingatan ibu yang
diwawancara pada pengumpulan data lebih rendah dibanding kelompok umur di atasnya.
Walaupun referens umur untuk imunisasi adalah umur 12-23 bulan, tetapi hal tersebut
hanya untuk metode pengumpulan data, sedangkan dalam penyajian data tetap disebut
sebagai imunisasi bayi (Riskesdas, 2010).
2. Pemantauan Pertumbuhan Balita
Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui
adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui
pertumbuhan tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan
balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau
sarana pelayanan kesehatan yang lain (Riskesdas, 2010).
22
Pada Riskesdas 2010, ditanyakan frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan
selama enam bulan terakhir yang dikelompokkan menjadi “tidak pernah ditimbang selama
enam bulan terakhir”, ditimbang 1-3 kali yang berarti “penimbangan tidak teratur”, dan 4-
6 kali yang diartikan sebagai “penimbangan teratur”. Data pemantauan pertumbuhan
balita ditanyakan kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui.
Ada kecenderungan semakin tinggi kelompok umur anak, semakin rendah cakupan
penimbangan rutin (≥ 4 kali selama enam bulan terakhir). Sebaliknya semakin tinggi umur
anak semakin tinggi pula persentase anak yang tidak pernah ditimbang. Persentase
penimbangan anak baduta menurut jenis kelamin tidak berbeda, tetapi menurut tempat
tinggal ada kecenderungan di daerah perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan
(Riskesdas, 2010).
Persentase penimbangan rutin (≥ 4 kali selama enam bulan terakhir) menurut
pendidikan dan status ekonomi tidak terlihat jelas kecenderungannya. Kecenderungan
terdapat pada kategori yang tidak pernah ditimbang dimana terdapat kecenderungan
semakin tinggi tingkat pendidikan dan status ekonomi, semakin rendah persentase anak
umur 6-23 bulan yang tidak pernah ditimbang (Riskesdas, 2010).
Menurut tempat tinggal persentase pemanfaatan rumah sakit dan Puskesmas
sebagai tempat penimbangan balita lebih tinggi di perkotaan daripada di perdesaan.
Sebaliknya, persentase penimbangan di Posyandu dan Polindes lebih tinggi di perdesaan
daripada di perkotaan. Ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan dan status
ekonomi semakin tinggi penimbangan di rumah sakit dan Puskesmas, namun
penimbangan di Posyandu dan Polindes semakin rendah (Riskesdas, 2010).
3. Kepemilikan KMS
Data kepemilikan KMS menurut karakteristik anak balita, orangtua, dan tempat
tinggal. Persentase kepemilikan KMS menurut umur, semakin tinggi umur anak semakin
rendah persentase kepemilikan KMS yang dapat menunjukkan. Persentase KMS yang
sudah hilang semakin tinggi dengan meningkatnya umur anak. Persentase kepemilikan
KMS menurut jenis kelamin anak balita tidak menunjukkan adanya perbedaan. Ada
kecenderungan semakin tinggi kelompok umur semakin rendah kepemilikan KMS yang
23
dapat menunjukkan. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan status ekonomi
cenderung semakin rendah persentase anak balita yang tidak pernah memiliki KMS
(Riskesdas, 2010).
4. Pemberian Kapsul Vitamin A
Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak
anak berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11
bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan (Riskesdas, 2010).
24
bayi berumur 2 tahun, tetapi tidak semua b\ayi dapat disusui selama periode tersebut
(Riskesdas, 2010).
Dalam laporan Riskesdas, pola menyusui dikelompokkan menjadi tiga kategori,
yaitu menyusui eksklusif, menyusui predominan, dan menyusui parsial sesuai definisi
World Health Organization (WHO)
Menyusui eksklusif adalah tidak memberi bayi makanan atau minuman lain, termasuk
air putih, selain menyusui (kecuali obat-obatan dan vitamin atau mineral tetes; ASI
perah juga diperbolehkan). Pada Riskesdas 2010, menyusui eksklusif adalah komposit
dari pertanyaan: bayi masih disusui, sejak lahir tidak pernah mendapatkan makanan
atau minuman selain ASI, selama 24 jam terakhir bayi hanya disusui (tidak diberi
makanan selain ASI).
Menyusui predominan adalah menyusui bayi tetapi pernah , memberikan sedikit air
atau minuman berbasis air, misalnya teh, sebagai makanan/ minuman prelakteal
sebelum ASI keluar. Pada Riekesdas 2010, menyusui predominan komposit dari
pertanyaan: bayi masih disusui, selama 24 jam terakhir bayi hanya disusui, sejak lahir
tidak pernah mendapatkan makanan atau minuman kecuali minuman berbasis air,
yaitu air putih atau air teh.
Menyusui parsial adalah menyusui bayi serta diberikan makanan buatan selain ASI,
baik susu formula, bubur atau makanan lainnya sebelum bayi berumur enam bulan,
baik diberikan secara kontinyu maupun diberikan sebagai makanan prelakteal. Pada
Rieksedas 2010, menyusui parsial adalah komposit dari pertanyaan: bayi masih
disusui, pernah diberi makanan prelakteal selain makanan atau minuman berbasis air
seperti susu formula, biskuit, bubur, nasi lembek, pisang atau makanan yang lain.
G. SANITASI DAN HIGIENE
Higiene atau biasa juga disebut dengan kebersihan adalah upaya untuk
memelihara hidup sehat yang meliputi kebersihan pribadi, kehidupan bermasyarakat, dan
kebersihan kerja. Kebersihan merupakan suatu perilaku yang diajarkan dalam kehidupan
manusia untuk mencegah timbulnya penyakit karena, pengaruh lingkungan serta
membuat kondisi lingkungan agar terjaga kesehatannya
25
Sanitasi dalam arti luas merupakan tindakan higienis untuk meningkatkan
kesehatan dan mencegah penyakit, sedangkan sanitasi lingkungan merupakan usaha
pengendalian diri dari semua faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin dapat
menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tubuh
manusia. Di negara berkembang pada umumnya sanitasi kesehatan berupa fasilitas yaitu
penyediaan air bersih, metode pembuangan kotoran manusia yang baik dan pendidikan
higiene.
1. Ketersediaan Air Bersih
Dalam dunia kesehatan khususnya kesehatan lingkungan, perhatian air dikaitkan
sebagai faktor perpindahan atau penularan penyebab penyakit. Air membawa penyebab
penyakit dari kotoran (feces) penderita, kemudian sampai ke tubuh orang lain melalui
makanan, susu dan minuman. Air juga berperan untuk membawa penyebab penyakit
infeksi yang biasanya ditularkan melalui air yaitu typus abdominalis. Manusia
menggunakan air untuk berbagai keperluan seperti mandi, cuci, kakus, produksi pangan,
papan, dan sandang. Mengingat bahwa berbagai penyakit dapat dibawa oleh air kepada
manusia pada saat manusia memanfaatkannya, maka tujuan utama penyediaan air bersih
bagi masyarakat adalah mencegah penyakit bawaan air (Juli Soemirat, 2006: 108).
Setiap rumah tangga harus memiliki persediaan air bersih dalam jumlah cukup,
meskipun kebutuhan air bersih setiap rumah tangga berbeda-beda. Sarana air bersih
adalah semua sarana yang dipakai sebagai sumber air bersih bagi penghuni rumah yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan seharihari sehingga perlu diperhatikan dalam
pendirian sarana air bersih. Apabila sarana air bersih dibuat memenuhi syarat teknis
kesehatan diharapkan tidak ada lagi pencemaran terhadap air bersih, maka kualitas air
yang diperoleh menjadi baik.
Sumber air bersih yang digunakan harus memenuhi syarat kwantitas dan kwalitas.
Syarat kwantitas yaitu jumlah air untuk keperluan rumah tangga per hari. Sedangkan
syarat kwalitas dilihat dari syarat fisik, khemis dan bakteriologis. Syarat fisik air yaitu
jernih, tidak berasa, tidak berwarna dan tidak berbau.
26
Sumber air dibagi menjadi dua yaitu air dalam tanah (ground water) dan air
permukaan (surface water).
1) Air dalam tanah
Adalah air yang diperoleh dari pengumpulan air pada lapisan tanah yang dalam. Air ini
sangat bersih karena bebas dari pengotoran, tapi seringkali mengandung mineral-
mineral dalam kadar yang terlalu tinggi. Misalnya : air sumur, air dari mata air.
2) Air permukaan
Adalah air yang terdapat pada permukaan tanah. Air permukaan harus diolah terlebih
dahulu sebelum dipergunakan karena umumnya telah mengalami pengotoran.
Misalnya : air kali, rawa, sungai, danau, kolam dan air hujan.
2. Ketersediaan Jamban
Sarana pembuangan tinja yaitu tempat yang biasa digunakan untuk buang air
besar, berupa jamban. Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas
pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk
dengan leher angsa yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk
membersihkannya. Jenis-jenis jamban yang digunakan :
1) Jamban cemplung
Adalah jamban yang penampungannya berupa lubang yang berfungsi menyimpan
kotoran/tinja ke dalam tanah dan mengendapkan kotoran kedasar lubang.
2) Jamban tangki septic/leher angsa
Jamban ini klosetnya berbentuk leher angsa sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air
ini gunanya sebagai sumbat sehingga bau busuk dari cubluk tidak tercium di ruangan.
Bila dipakai fesesnya terapung sebentar dan apabila disiram air, baru masuk ke bagian
yang menurun untuk masuk ke tempat penampungannya.
3) Jamban plengsengan
Bila kloset yang digunakan tanpa sistem water seal, cirinya tidak ada genangan air
pada lubang kloset, tinjanya dialirkan ke tempat lain.
27
3. Ketersediaan SPAL
Yang dimaksud dengan air limbah (sewage) adalah excreta manusia, air kotor dari
dapur, kamar mandi dan WC. Air limbah yang berasal dari rumah tangga disebut domestic
sewage. Maksud pengaturan pembuangan air limbah adalah :
1) Untuk mencegah pengotoran sumber air rumah tangga
2) Menghindari pengotoran tanah permukaan
3) Perlindungan air untuk ternak
4) Menghilangkan tempat berkembang biaknya bibit-bibit penyakit (cacing dan
sebagainya) dan vector penyebar penyakit (nyamuk, lalat dan sebagainya).
5) Menghilangkan adanya baud an pemandangan yang tidak sedap.
Berikut ini adalah beberapa cara pembuangan air limbah:
1) SPAL atau sarana pembuangan air limbah, adalah sarana untuk menampung air limbah
yang konstruksinya berupa kolam/sumur dengan dinding beton/plesteran semen yang
dilengkapi dengan saringan berupa batu kerikil dan atau sabut/bahan saringan sejenis
yang berfungsi menyaring air limbah agar tidak mencemari air tanah.
2) Penampungan tertutup di pekarangan adalah sarana untuk menampung air limbah
yang konstruksinya berupa kolam/sumur tanpa dinding beton/plesteran semen dan
saringan.
3) Penampungan terbuka di pekarangan berupa kolam galian tanah yang tidak
dilengkapi dengan saringan dan dibiarkan terbuka.
4) Penampungan di luar pekarangan
5) Tanpa penampungan (di tanah)
6) Langsung ke got/sungai
28
2) Rubbish adalah bahan-bahan sisa pengolahan yang tidak membusuk. Rubbish ini ada
yang mudah terbakar misalnya : kayu dan kertas. Serta ada juga yang tidak mudah
terbakar seperti kaleng, kawat dan sebagainya.
Berikut ini beberapa cara pembuangan sampah yang biasa dilakukan masyarakat:
1) Diangkut petugas, yaitu bila sampah dari rumahtangga tersebut secara rutin diangkut
oleh petugas kebersihan setempat untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir
sampah.
2) Ditimbun dalam tanah, bila sampah dari rumahtangga dibuang ke lubang sampah dan
dilakukan penimbunan dengan tanah.
3) Dibuat kompos, bila sampah yang dihasilkan tidak dibuang, tetapi langsung ditampung
dan diolah untuk dijadikan kompos untuk pupuk.
4) Dibakar, bila sampah yang dihasilkan langsung dibakar pada tempat tertentu.
5) Dibuang ke kali/parit/laut, bila sampah yang dihasilkan langsung dibuang ke
kali/parit/sungai, perilaku ini dapat mencemari lingkungan.
6) Dibuang sembarangan, bila sampah yang dihasilkan dibuang disembarang tempat
yang artinya rumah tangga tidak memiliki sarana pembuangan sampah.
5. Mencuci Tangan
Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan hygiene sanitasi dengan
membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk
menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun
dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan karena
tangan seringkali menjadi agen yang membawa kuman dan menyebabkan pathogen
berpindah dari satu orang ke orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak
tidak langsung (menggunakan permukaan-permukaan lain seperti handuk, gelas).
Mencuci tangan dengan sabun merupakan salah satu cara paling efektif untuk
mencegah penyakit diare dan ISPA, yang keduanya menjadi penyebab utama kematian
anak-anak. Setiap tahun sebanyak 3,5 juta anak-anak diseluruh dunia mennggal sebelum
mencapai umur 5 tahun karena penyakit diare dan ISPA. Mencuci tangan dengan sabun
29
juga dapat mencegah infeksi kulit, mata, cacing yang tinggal didalam usus, SARS, dan flu
burung (kementerian RI, 2014).
Perilaku hygiene cuci tangan pakai sabun meliputi mencuci tangan dengan sabun
sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar, setelah
menceboki anak, dan setelah memegang unggas/binatang.
H. KERAWANAN PANGAN
Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami
daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar
kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Kerawanan pangan
dapat terjadi secara berulang, pada waktu tertentu(kronis) dapat pula terjadi akibat
keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana social (transien) (Dewan
kesehatan pangan, 2006).Semnetara menutu selien et al. (2002) kerawanan pangan
ditingkat wilayah maupun ditingkat rumah tangga/individu merupakan kondisi tidak
tercapainya ketahanan pangan ditingkat wilayah maupu rumah tangga atau individu.Oleh
karena itu, membahas kerawanan pangan tidak terlepas dari konsep ketahanan
pangan.Ketahanan pangan merupakan terjemahan dari food security, secara luas diartikan
sebagai terjaminnya akses pangan bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhan
pangannya agar dapat hidup sehat dan beraktifitas. Membahas ketahanan pangan(dan
juga kerawanan pangan) pada dasarnya juga membahas hal-hal yang menyebabkan orang
tidak mencukupi kebutuhan pangannnya. Tidak tercukupinya kebutuhan pangan
dipengaruhi oleh ketersediaan pangan.Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaannya pangan yang cukup, baik,
jumlah maupun mutunya, aman dan terjangkau (PP RI, 2002 dalam Aritonang, 2011).
Household Food Insecurity Access Scale (HFIAS)
Metode ini dikembangkan dalam Food and Nutrition Technical Assistance Project
(FANTA) USAID pada tahun 2007, namun telah digunakan dibeberapa negara dengan
beberapa penyesuaian. Dalam metode ini, responden diberikan pertanyaan yang
mencakup domain umum tentang kondisi kerawanan pangan keluarga. Jawaban atas
30
kuesioner ini dapat memberikan gambaran tentang kondisi ketahanan pangan keluarga,
yang dikelompokkan dalam 4 katergori berikut :
- Food Secure (tahan pangan) : apabila responden menjawab tidak pernah merasa
khawatir akan kekurangan makanan, dan atau pernah merasa khawatir tidak memiliki
cukup makanan tetapi frekuensinya jarang terjadi.
- Food insecurity not evident (rawan ketahanan pangan tanpa kelaparan) : apabila
responden menjawab telah melakukan pengaturan manajemen pangan keluarga
karena telah terjadi gangguan kebiasaan makan secara normal (seperti tidak dapat
menyediakan makanan seimbang untuk keluarga, hanya mampu membelikan
makanan yang harganya murah untuk anak-anak)
- Food insecurity with moderat hunger (rawan ketahanan pangan dengan kelaparan
sedang) : Jika responden menjawab intake makanan dalam keluarga berkurang karena
makanan yang dikonsumsi sangat sedikit atau keluarga sudah mengalami kelaparan
(yang ditandai dengan anak tidak memperoleh makanan yang cukup, pernah
mengurangi porsi makan, pernah terjadi kurang makan karena tidak cukup uang untuk
membelinya, pernah merasa sangat lapar tetapi tidak ada makanan dalam rumah.
- Foodinsecurity with severe hunger (rawan ketahanan pangan dengan kelaparan akut) :
Jika responden menjawab intake makanan dalam keluarga berkurang dalam jumlah
yang sangat besar, dialami oleh seluruh anggota keluarga baik yang dewasa maupun
anak-anak (seperti pernah ada anggota keluarga tidak makan, pernah mengurangi
porsi makan untuk anak-anak, pernah mengurangi frekuensi makan dari biasanya,
pernah tidak makan sehari-hari pada anak-anak) (Sumber : Coates. J, dkk, 2007).
I. POLA MAKAN
Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai
jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan
merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan juga
dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau sekelompok orang atau keluarga memilih
makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, kebudayaan dan
sosial (Suhardjo, 1989).
31
Kebiasaan makan merupakan suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dalam
perilaku yang berhubungan dengan makanan seperti tata krama makan, frekuensi makan
seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan, distribusi
makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan (suka atau tidak
suka) dan pemilihan bahan yang hendak dimakan. Jadi pola makan merupakan suatu
kebiasaan makan yang ada dalam suatu kelompok masyarakat tertentu atau suatu
keluarga dalam hal macam dan jumlah bahan makanan yang di makan setiap hari.
A. Frekuensi Pangan
Frekuensi pemberian makanan sumber protein pada balita adalah berapa kali
perhari pemberian pangan sumber protein pada balita, berapa kali dalam seminggu,
hingga berapa kali per tahun, setelah itu dibuat rata-rata harian. Seberapa sering makanan
sumber protein dikonsumsi dapat menjadi indikator kemungkinan kekurangan maupun
kelebihan protein. Cara menyajikan frekuensi pangan sumber protein berdasarkan
frekuensi yang paling sering dikonsumsi, baik protein hewani maupun nabati.
B. Jenis makanan
Jenis makanan dapat dikelompokan menjadi dua yaitu makanan utama dan
makanan selingan. Makanan utama adalah makanan yang dikonsumsi seseorang berupa
makan pagi, makan siang, dan makan malam yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk,
sayur, buah dan minuman.
J. PENDAPATAN KELUARGA
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dian Handini, dkk dengan judul hubungan
tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi balita di wilayah kerja puskesmas
kalijambe tahun 2013. Pendapatan Keluarga adalah jumlah pendapatan tetap dan
sampingandari kepala keluarga, ibu, dan anggota keluarga lain dalam 1 bulan dibagijumlah
seluruh anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita perbulan (Ernawati,
2006).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh zulhijah arifin, dkk dengan judul hubungan
pengetahuan dan sosial ekonomi dengan status gizibalita di puskesmas lohia kecamatan
lohia kabupatenmuna sulawesi tenggara pada tahun 2013 menjelaskan bahwa status
32
ekonomi keluarga akan sangat mempengaruhi status gizi pada anak, dimana apabila
pendapatan keluarga cukup maka mutu makanan dalam keluarga akan cenderung
membaik, yakni pada umumnya jika tingkat pendapatan baik, jumlah dan jenis makanan
cenderung untuk membaik juga. Akan tetapi, mutu makanan tidak selalu membaik kalau
pendapatan keluarga itu tidak digunakan untuk membeli bahan makanan yang berkualitas
tinggi yang diperlukan dalam penyajian makanan seimbang bagi anggota keluarga (Deddy
Mulyadi, 2010) .
Menurut penelitian yang dilakukan oleh zulhijah arifin, dkk dengan judul hubungan
pengetahuan dan sosial ekonomi dengan status gizibalita di puskesmas lohia kecamatan
lohia kabupaten muna sulawesi tenggara pada tahun 2013 menjelaskan bahwa tingkat
pendapatan yang rendahmempunyai pengaruh yang sangat besarterhadap status gizi
keluarga. Keutuhanakan pangan sering kali tidak mencukupikebutan anggota (Sari Prianto,
2005).
K. ASUPAN MAKAN
Asupan makanan adalah semua jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi
tubuh setiap hari. Umumnya asupan makanan di pelajari untuk di hubungkan dengan
keadaan gizi masyarakat suatu wilayah atau individu. Informasi ini dapat digunakan untuk
perencanaan pendidikan gizi khususnya untuk menyusun menu atau intervensi untuk
meningkatkan sumber daya manusia (SDM), mulai dari keadaan kesehatan dan gizi serta
produktivitasnya. Mengetahui asupan makanan suatu kelompok masyarakat atau individu
merupakan salah satu cara untuk menduga keadaan gizi kelompok masyarakat atau
individu bersangkutan (Sumarno, dkk dalam Gizi Indonesia, 1997).
Dalam recall 24 jam metode, subyek dan orang tua atau pengasuh mereka diminta
oleh ahli gizi, yang telah terlatih dalam teknik wawancara, mengingat asupan makanan
yang tepat subyek selama periode 24 jam sebelumnya atau sebelumnya hari. sehingga
metode menilai asupan aktual individu. Namun, satu 24 jam recall tidak cukup untuk
menggambarkan asupan biasa individu makanan dan nutrisi; beberapa 24 jam ingat pada
individu yang sama selama beberapa hari diperlukan untuk mencapai tujuan ini. Namun
33
demikian, beberapa satu hari ingat pada individu yang berbeda dapat memberikan ukuran
valid asupan kelompok atau populasi.
Secara umum, mengingat wawancara dapat dilakukan pada anak usia ≥8 tahun
(Young, 1981; Livingstone dan Robson, 2000) dan pada kebanyakan orang dewasa, kecuali
bagi orang-orang dengan kenangan yang buruk (misalnya, beberapa orang tua). Anak –
anak berusia 4 – 8 tahun harus diwawancarai bersama dengan pengasuh utama mereka,
biasanya ibu. Mungkin perlu untuk mewawancarai beberapa orang jika anak – anak di
sekolah atau bermain di rumah teman – teman, untuk memastikan bahwa makanan yang
dimakan jauh dari rumah dilaporkan. Untuk kelompok usia muda ini, pertanyaan harus
selalu diarahkan anak (Sobo et al., 2000). Sangat sering ketika melakukan penarikan,
terutama pada anak – anak, hasil wawancara sebagai recall konsensus, dengan anggota
keluarga membantu responden mengingat jumlah yang dikonsumsi. Pendekatan
konsensus ini terbukti meningkatkan akurasi penarikan diet anak-anak AS (Eck et al.,
1989).
Ketika 24 jam penarikan digunakan untuk mengkarakterisasi asupan biasa rata–
rata dari kelompok populasi, subyek harus mewakili populasi yang diteliti. Selain itu, survei
harus dilakukan sedemikian rupa sehingga semua hari dalam seminggu sama – sama
terwakili. Dengan cara ini, setiap hari dan minggu efek pada makanan atau nutrisi intake
akan diperhitungkan. Beban responden kecil untuk satu ingatan 24 jam, sehingga
kepatuhan yang umumnya tinggi. Metode cepat dan relatif murah, dan dapat digunakan
sama baiknya dengan kedua mata pelajaran melek dan buta huruf.
Sebuah ingatan 24 jam telah digunakan dalam beberapa survei gizi nasional,
termasuk Survei Nasional Selandia Baru Gizi (Depkes, 1997), US National Health dan
Nutrition Examination Survey (NHANES) (NCHS, 1994), dan Survei Melanjutkan Pangan
Intake oleh Individu (CSFII) (USDA, 1998). Sejak tahun 2002, CSFII telah termasuk beberapa
– pass ingat komputerisasi dengan sejumlah isyarat builtin untuk secara khusus
meningkatkan recall makanan dengan mudah diabaikan seperti alkohol dan minuman
beralkohol, permen, makanan ringan, dan roti. CSFI ini sekarang terintegrasi dengan
NHANES.
34
Sebuah modifikasi dari ingatan 24 jam - disebut sebuah 24h interaktif ingat telah
dikembangkan untuk mengumpulkan informasi tentang penduduk pedesaan di negara–
negara berkembang (Ferguson dkk, 1995). Modifikasi tercantum dalam Kotak 3.1 dan
dibahas secara lebih rinci dalam panduan yang berisi pedoman dan prosedur (Gibson dan
Ferguson, 1999) praktis. Semua wawancara recall harus dilakukan di rumah responden
bila memungkinkan, karena lingkungan yang akrab mendorong partisipasi, meningkatkan
recall dari makanan yang dikonsumsi, dan memfasilitasi kalibrasi peralatan rumah tangga
lokal oleh pewawancara. pada akhirnya, keberhasilan tergantung pada memori subjek,
kemampuan subjek untuk menyampaikan perkiraan yang akurat dari ukuran porsi yang
dikonsumsi, dan kegigihan pewawancara (Acheson et al., 1980).
Untuk meningkatkan recall dari makanan di negara – negara berkembang, peneliti
dapat: Memberikan pelatihan kelompok estimasi ukuran porsi sebelum ingat nyata.
Pasokan gambar grafik pada hari sebelum penarikan untuk digunakan sebagai checklist
pada hari makanan sebenarnya dikonsumsi, dan untuk perbandingan dengan recall untuk
mengurangi penyimpangan memori. Menyediakan mangkuk dan piring untuk digunakan
pada hari–hari ingat untuk membantu responden memvisualisasikan jumlah makanan
yang dikonsumsi. Timbang ukuran porsi replika asin dari makanan yang sebenarnya
dikonsumsi oleh responden. Kotak 3.1: Interaktif ingatan 24 jam modifikasi disarankan
untuk penduduk pedesaan di negara–negara berkembang.
Kelebihan metode recall 24 jam, yaitu : (Supariasa, 2002)
- Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden.
- Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas
untuk wawancara.
- Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden.
- Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf.
- Dapat memberikan gambaran nyata yang benar – benar dikonsumsi individu sehingga
dapat dihitung intake zat gizi sehari.
Kekurangan metode recall 24 jam, yaitu : (Supariasa, 2002)
35
- Tidak dapat menggambarkan asupan makan sehari – hari, bila hanya dilakukan recall
satu hari.
- Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden. Oleh karena itu,
responden harus mempunyai daya ingat yang baik, sehingga metode ini tidak cocok
dilakukan pada anak usia dibawah 7 tahun, orang tua berusia diatas 70 tahun dan
orang yang hilang ingatan atau orang yang pelupa.
- The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk
melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang
gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate).
- Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil dalam menggunakan
alat – alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan
masyarakat.
- Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan penelitian.
- Untuk mendapat gambaran konsumsi makanan sehari – hari recall jangan dilakukan
pada saat panen, hari pasar, hari akhir pecan, pada saat melakukan upacara – upacara
keagamaan, selamatandan lain – lain.
Cara mengukur recall 24 jam yaitu dengan menanyakan kembali dan mencatat
semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga
(URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu. Kemudian menganalisis bahan makanan
kedalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).Dan
membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA) atau Angka
Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia (Supariasa, 2002).
36
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teori
37
Kerangka Konsep
STATUS GIZI
Asupan Infeksi
Pendapatan
Pengetahuan
38
VIM Matriks
39
3x
Perlakuan saat diare
Batuk berdahak di sertai
pilek, tenggorokkan
sakit atau nyeri
5 Pelayanan Kesehatan 1. Status imunisasi Wawancara + Riskesdas 2010
Catatan KMS, Riskesdas 2013
catatan buku
2. Pemantauan KIA
pertumbuhan balita Kuesioner +
3. Kepemilikan KMS dan Catatan KMS
buku KIA Kuesioner
4. Pemberian Kapsul
Vitamin A Kuesioner
5. Berat Badan Lahir
6. Pola Pemberian ASI Catatan KMS
Wawancara
6 Sanitasi dan Higiene Ketersediaan air bersih Lembar Riskesdas 2007
Rumah Tangga Ketersediaan jamban Observasi Riskesdas 2010
Ketersediaan SPAL Riskesdas 2013
Sampah 2000
41
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan yaitu Survey (cross sectional). Survey (cross
sectional) ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika kolerasi antara faktor-faktor
resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus
pada suatu saat (point time approach). Penelitian cross sectional ini sering disebut juga
penelitian transversal, dan sering digunakan dalam penelitian-penelitian epidemiologi.
B. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Desa Hukaea Kecamatan Rarowatu UtaraKabupaten
Bombana pada tanggal 2 – 7 November 2015.
C. Populasi Dan Sampel
1. Polulasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai anak Balita di
Desa Hukaea Kecamatan Rarowatu Utara kabupatenBombana.
2. Sampel
Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 40 balita dengan
menggunakan teknik Systematic Random Sampling (SyRS) dengan syarat :
Jika jumlah populasi balita > 90 maka sampel yang digunakan adalah 40 balita
Jika jumlah populasi balita < 90 maka sampel yang digunakan adalah 30 balita
D. Jenis Dan Cara Pengumpulan Data
1. Jenis Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan menggunakan
kuesioner yang diberikan kepada responden yang bersi pertanyaan serta jawaban
yang telah disiapkan serta untuk data kesehatan balita diperoleh dengan melihat
catatan KMS, catatan buku KIA.
42
2. Data sekunder
Data sekunder meliputi populasi dan keadaan umum lokasi penelitian yang
diperoleh dari camat atau kepala desa setempat.
43
E. Pengolahan Data
Pengolahan data mengunakan software SPSS dengan mengelompokkan kedalam
beberapa kategori :
1. Status gizi
Data mengenai status gizi diolah berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing
indikator tersebut dengan membandingkan dengan nilai standar untuk :
a. Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U :
Gizi buruk : Zscore < -3,0
Gizi kurang : Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0
Gizi baik : Zscore ≥ -2,0
44
3. Penyakit Infeksi
Data tentang variabel penyakit infeksi diolah dengan cara data dikumpulkan
berdasarkan indikator di atas yang kemudian di kelompokkan menjadi dua ketegori,
yaitu:
1. Ya : jika seseorang sering BAB lebih dari 3 kali dan memiliki konsistensi cair
Tidak : sealain indikator diatas.
2. Ya : jika dalam 1 bulan terakhir pernah menderita panas di sertai batuk kering atau
berdahak dan pilek
Tidak : jika selain indicator diatas
4. Pelayanan Kesehatan
Tabel 2. Indikator Pelayanan Kesehatan Pada Balita
Status imunisasi Lengkap : apabila mendapatkan semua jenis
imunisasi (1x BCG, 3x DPT HB, 4x POLIO, 1x
CAMPAK)
Tidak Lengkap : apabila tidak mendapatkan semua
jenis imunisasi (1x BCG, 3x DPT HB, 4x POLIO, 1x
CAMPAK)
Cakupan penimbangan Rutin : > 4 kali penimbangan selama 6 bulan
terakhir
Tidak Rutin : > 4 kali penimbangan selama 6 bulan
terakhir
Tempat penimbangan Polindes
Posyandu
Puskesmas
Rumah Sakit
Kepemilikan KMS dan buku KIA Ya, dapat menunjukkan
Ya, tidak dapat menunjukkan (disimpan
kader/bidan/posyandu)
45
Pernah memiliki tapi sudah hilang
Tidak pernah memiliki
Pemberian Kapsul Vitamin A Menerima : apabila mendapatkan kapsul Vit A
pada bulan Februari dan Agustus
Tidak menerima : apabila tidak mendapatkan
kapsul Vit A pada bulan Februari dan Agustus
Berat Badan Lahir BBLR : berat badan lahir <2500 gr
Normal : berat badan lahir antara 2500 – 3999 gr
Overweight : berat badan lahir ≥4000 gr
5. Kerawanan Pangan
Data tentang variabel kerawanan pangan diolah dengan cara data dikumpulkan
2) HFIA kategori = 2 (Rawan Pangan Tingkat Ringan) jika [(H1a = 2 atau H1a = 3 atau
H2a = 1 atau H2a = 2 atau H2a = 3 atau H3a = 1 atau H4a = 1) dan H5 = 0 dan
3) HFIA kategori = 3 (Rawan Pangan Tingkat Sedang) jika [(H3a = 2 atau H3a = 3 atau
H4a = 2 atau H4a = 3 atau H5a = 1 atau H5a = 2 atau H6a = 1 atau H6a = 2) dan
H7 = 0 dan H8 = 0 dan H9 = 0]
4) HFIA kategori = 4 (Rawan Pangan Tingkat Berat) jika [H5a = 3 atau H6a = 3 atau H7a
= 1 atau H7a = 2 atau H7a = 3 atau H8a = 1 atau H8a = 2 atau H8a = 3 atau
46
6. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga, diolah berdasarkan jawaban responden, seluruh bentuk
pengeluaran baik itu pengeluaran pangan maupun non pangan di konversi kebentuk
rupiah, selanjutnya pengeluaran pangan dibagi dengan total pengeluaran pangan dan
non pangan dikali 100%. Bila hasil yang didapatkan kurang dari 60% maka pendapatan
keluarga tersebut tergolong kurang. Sedangkan apabila hasil yang didapatkan lebih
dari sama dengan 60% maka keluarga tersebut dikelompokkan dalam pendapatan
cukup.
7. Asupan Makan
Data mengenai asupan makan di olah dengan membandingkan kriteria objektif
dalam kategori cukup atau kurang dengan kriteria sebagai berikut :
Cukup : > 80 %
Kurang : < 80% (Supariasa dkk,2002).
8. Pola Makan, Pola Asuh, Sanitasi dan Higiene
Diolah menggunakan program SPSS.
G. Etika
Dalam pengambilan data dasar ini, pertama-tama mahasiswa (i) melakukan
perkenalan dan penyampaian tujuan dari pengambilan data tersebut. Kemudian meminta
persetujuan pada pihak responden untuk dijadikan sampel dengan tanda tangan
47
responden sebagai sebuah bukti bahwa responden tersebut bersedia untuk dijadikan
48
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
1) Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a) Letak Geografis
Desa Hukaea merupakan salah satu dari delapan (8) desa yang ada di
Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana, yang memiliki luas wilayah
sekitar 9 km2 atau 900 Ha yang terdisi dari Dusun I, Dusun II, dan Dusun III.Secara
geografis, Desa Hukaea memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut ; 1) sebelah
barat berbatasan dengan Desa Tembe, dan 2) sebelah timur berbatasan dengan
Desa Watu Mentade.
b) Kependudukan
Desa Hukaea dipimpin oleh seorang Kepala Desa dan dibantu oleh Badan
Pemusyawaratan Desa (BPD) serta setiap lingkungan dipimpin oleh Kepala Dusun.
Dalam keorganisasian Desa Hukaea terdapat Sekretaris Desa, Bendahara Desa,
Kepala Kepengurusan Pemerintahan, Kepala Kepengurusan Umum, Kepala
Kepengurusan Pembangunan, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan Tim
penggerak PKK.
Kependudukan di Desa Hukaea yang terdiri dari 3 lingkungan dengan total
penduduk sebanyak 1.124 jiwa yang diuraikan sebagai berikut:
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Hukaea
Kependudukan Jumlah
Jumlah Jiwa 1124
Jumlah Laki- laki 541
Jumlah Perempuan 486
Jumlah Balita terdaftar 97
Sumber: Data Sekunder Desa Hukaea 2015
49
c) Mata pencaharian
Mata pencaharian pokok penduduk Desa Hukaea pada umumnyaa sebagai
petani dan nelayan. Mata pencaharian lainnya yaitu sebagai Pegawai Negeri Sipil
(PNS), Guru Honorer, Pegawai Swasta, Pengusaha Kecil Dan Menengah.
Penyebaran penduduk pada mata pencahariannya disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4. Mata Pencaharian Penduduk Desa Hukaea
Mata Pencaharian Jumlah
Petani 150
PNS 2
Nelayan 7
Bidan 1
Pengusaha Kecil dan Menengah 5
Dukun Kampung Terlatih 2
Sumber: Data Sekunder Desa Hukaea 2015
50
Lapangan bola 1 unit
Jalan Aspal 1 unit
Pelabuhan 1 unit
Sumber: Data Sekunder Desa Hukaea 2015
51
Tabel 7. Kategori Pendidikan dan Pekerjaan Responden
KATEGORI PENDIDIKAN Ayah Ibu
n % n %
Tidak Tamat SD 2 6.7 3 10.0
Tamat SD 8 26.7 7 23.3
Tamat SMP 5 16.7 6 20.0
Tamat SMA 13 43.3 13 43.3
Tamat D4/S1 - S3 2 6.7 1 3.3
Total 30 100.0 30 100.0
KATEGORI PEKERJAN
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 0 0.0 1 3.3
Peg swasta 5 16.7 1 3.3
Wiraswasta 10 33.3 0 0
Petani 6 20.0 0 0
IRT 0 0 27 90.0
Nelayan 9 30.0 0 0
guru honorer 0 0 1 3.3
Total 30 100 30 100
b) Karakteristik Sampel
Karakteristik anak dapat dilihat dengan menggunakan kuesioner melalui
wawancara kepada ibunya yang meliputi umur anak, status gizi, pola asuh,
pengetahuan ibu, penyakit infeksi, pelayanan kesehatan, sanitasi dan higiene,
kerawanan pangan, pola makan pendapatan keluarga dan asupan makan. Hal ini
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 8 Anak Balita Menurut Umur di Desa Hukaea
Kategori Umur Balita n %
1-3 tahun 24 80.0
4-5 tahun 6 20.0
Total 30 100.0
52
1) Status Gizi Balita Desa Hukaea
Tabel 8 Distribusi Frekuensi Status Gizi Sampel Berdasarkan Indeks BB/U,
TB/U, dan BB/TB
INDIKATOR n (30) %
Berdasarkan BB/U
Gizi Buruk 1 3.3
Gizi Kurang 14 46.7
Gizi Baik 15 50.0
Berdasarkan TB/U
Pendek 14 46.7
Normal 16 53.3
Berdasarkan BB/TB
Kurus 4 13.4
Normal 25 83.3
Gemuk 1 3.3
Dari tabel 8 dapat diketahui bahwa di Desa Hukaea terdapat satu anak
balita yang berstatus gizi buruk dengan persentase 3.3% sedangkan yang
berstatus gizi kurang sebanyak 14 balita (46.7%) berdasarkan indeks BB/U.
Untuk status gizi pendek (stunting) sebanyak 14 anak balita dengan persentase
46.7% berdasarkan indeks TB/U. Berdasarkan indeks BB/TB, status gizi kurus
(wasting) sebanyak 4 anak balita dari total polulasi 30 anak balita.
2) Pola Asuh
Tabel 9 Distribusi Frekuensi Pola Asuh Berdasarkan Pemberian Air Susu
Ibu (ASI) Dan Pemberian Makanan pendamping(MP-ASI)
INDIKATOR n (30) %
Pemberian makanan atau minuman lain
Tidak 23 76.7
Ya 7 23.3
Pemberian Kolos
Tidak 7 23.3
Ya 23 76.7
Perlakuan Kolos
dibuang sedikit 10 43.5
diberikan semua 13 56.5
Usia ASI dan MPASI
< 6 bulan 19 63.3
≥ 6 bulan 11 36.7
53
Dari tabel 9 dapat diketahui bahwa dari 30 orang di Desa Hukaea
terdapat 7 orang (23.3%) yang menerima makanan atau minuman lain pasca
lahir sedangkan yang tidak menerima makanan atau minuman lain sebanyak 23
orang (76.7%).Untuk indikator pemberian dan perlakuan kolostrum, baik yang
memberikan semua kolostrumnya kepada balita ataupun dibuang sedikit
kolostrumnya lalu diberikan balitanya dapat dilihat pada tabel 9. Indikator
umur pemberian ASI yang pada balita umur < 6 bulan sebanyak 19 orang
(63.3%) sedangkan umur ≥ 6 bulan 11 orang (36.7%) yang menerima ASI dan
MPASI.
Tabel 10 Distribusi Frekuensi Pola Asuh Berdasarkan Perilaku Ibu Dalam
Memberikan Makan Pada Balita
INDIKATOR n (30) %
Penyiapan makanan anak
Tidak 1 3.3
Ya 29 96.7
Pendamping makan
Ya 30 100
Tindakan ibu saat anak tidak mau makan
Memarahinya 1 3.3
Membujuknya 18 60.0
Dibiarkan 4 13.4
Dibelikan dengan yang mau 1 3.3
Diberi uang 2 6.7
Disusui 3 10.0
Kasih vitamin 1 3.3
54
3) Pengetahuan Ibu
Tabel 11 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Berdasarkan Indikator PGS,
MPASI, Dan PPBM
INDIKATOR n (30) %
PGS
Baik 1 3.3
Kurang 29 96.7
MPASI
Baik 12 40.0
Kurang 18 60.0
PPBM
Baik 16 53.3
Kurang 14 46.7
4) Penyakit Infeksi
Diare
Tabel 12 Distribusi Frekuensi Diare
INDIKATOR DIARE n (30) %
DIARE DIAGNOSIS TENAGA KESEHATAN
Tidak Diare 20 66.7
Diare 10 33.3
DIARE DIAGNOSIS RUMAH TANGGA (IBU)
Tidak Diare 4 13.3
Diare 16 53.4
TOTAL 20 66.7
PERLAKUAN SAAT DIARE
Pemberian oralit 10 33.3
Tidak ada 20 66.7
Dari tabel 12 dapat diketahui bahwa hasil analisis di Desa Hukaea pada
indikator diare untuk diagnosa tenaga kesehatan menunjukan bahwa anak
balita yang menderita diare sebanyak 10 balita (33.3%)sedangkan yang
menderita diare dengan diagnosa ibu balita sebanyak 16 orang (53.4%) yang
menderita BAB ≥ 3x sehari.Untuk yang menderita BAB yang diberikan
55
perlakuan dengan pemberian oralit sebanyak 33.3% (10 orang) dari hasil
diagnosa tenaga kesehatan.
ISPA
Tabel 13 Distribusi Frekuensi ISPA
INDIKATOR ISPA n (30) %
ISPA DIAGNOSIS TENAGA KESEHATAN
Tidak ISPA 23 76.7
ISPA 7 23.3
ISPA DIAGNOSIS RUMAH TANGGA (IBU)
Tidak ISPA 10 33.3
ISPA 13 43.3
TOTAL 23 76.7
Dari tabel 13 dapat diketahui bahwa hasil analisis di Desa Hukaea pada
indikator ISPA untuk diagnosa tenaga kesehatan menunjukan bahwa anak
balita yang menderita ISPA sebanyak 7orang (23.3%) sedangkan yang pernah
menderita panas/batuk berdahak/kering sebanyak 13 orang (43.3%).
5) Pelayanan Kesehatan
Indikator pada pelayanan kesehatan balita meliputi pola pemberian ASI,
kepemilikan KMS, penerimaan kpsul vitamin A, Imunisasi, dan pemantauan
pertumbuhan balita.
Tabel 14 Distribusi Frekuensi Pelayanan Kesehatan Berdasarkan Pola
Pemberian ASI
Pola pemberian ASI n (30) %
Usia ASI
< 6 bulan 19 63.3
≥ 6 bulan 11 36.7
Menerima MPASI < 6 bulan
Tidak 11 36.7
Ya 19 63.3
Makanan balita < 6 bulan
Madu, air putih 4 21.1
MPASI 3 15.7
Bubur nasi 4 21.1
Nasi 1 5.3
SUN 2 10.5
56
SUN beras merah 1 5.3
Susu formula 3 15.7
Susu formula, bubur 1 5.3
Total 19 100
Dari tabel 14 dapat diketahui bahwa anak balitadi Desa Hukaea yang
menerima ASI ≥ 6 bulan sebanyak 36.7% dari 30 anak balita yang dijadikan
sampel. Sedangkan 63.3% anak balita lainnya menerima MPASI saat umur < 6
bulan.
Tabel 15 Distribusi Frekuensi Pelayanan Kesehatan Berdasarkan
Kepemilikan KMS
Kepemilikan KMS n (30) %
Tidak pernah memiliki 16 53.3
Pernah memiliki tapi sudah hilang 1 3.3
Ya, tidak dapat memiliki 5 16.7
Ya, dapat menunjukkan 8 26.7
Dari tabel 15 dapat diketahui bahwa anak balita di Desa Hukaea yang
memiliki KMS hanya 26.7% yang dapat menunjukkan buku KMSnya sedangkan
53.3% dari totl sampel anak balita tidak memiliki buku KMS.
Tabel 16 Distribusi Frekuensi Pelayanan Kesehatan Berdasarkan
Penerimaan Kapsul Vitamin A
Penerimaan kapsul vitamin A n (30) %
Agustus
Tidak 18 60.0
Ya 12 40.0
Februari
Tidak 18 60.0
Ya 12 40.0
Agustus – Februari
Tidak 22 73.3
Ya 8 26.7
Dari tabel 16 dapat diketahui bahwa anak balitadi Desa Hukaea yang
menerima kapsul Vitamin A baik bulan Agustus maupun Februari hanya 26.7%
dari total sampel.
57
Tabel 17 Distribusi Frekuensi Pelayanan Kesehatan Berdasarkan Imunisasi
Status Imunisasi n (30) %
Tidak lengkap 28 93.3
Lengkap 2 6.7
Dari tabel 17 dapat diketahui bahwa anak balita di Desa Hukaea yang
mendapatkan imunisasi lengkap hanya 6.7% hingga pemberian imunisasi
selesai dari total sampel.
Dari tabel 18 dapat diketahui bahwa anak balita di Desa Hukaea yang
melakukan pemantauan pertumbuhan sebanyak 73.3% namun yang rutin
memantau pertumbuhan balitanya hanya 23.3% dan tempat penimbangannya
di posyandu sebanyak 46.7% dan 50% lainnya tidak rutin melakukan
pemantauan. Adapun alasan ibu responden tidak melakukan pemantauan
58
pertumbuhan ini dikarenakan jarak rumah responden dengan tempat
penimbangan yakni sebanyak 10%.
Ketersediaan air bersihdi Desa Hukaea dapat dilihat dari sumber air
bersih, jarak sumber air, kualitas fisik air, dan air yang dikonsumsi. Dari tabel 19
dapat diketahui bahwa sumber air bersih lebih banyak bersumber dari sumur
bor sebanyak 93.4% dengan jarak > 10 meter dari tempat pembuangan limbah
59
yakni sebanyak 60%. Untuk kualitas air dapat dilihat dari kejernihan,
kekeruhan/berwarna, berbau dan berasa. Kualitas air dengan tingkat
kejernihan hasil observasi sebanyak 90%, berwarna 10%, berbau 13.3% dan
berasa 10%. Air yang dikonsumsi kebanyakan dimasak (66.7%).
Tabel 20 Distribusi Frekuensi Sanitasi Dan Higiene Rumah Tangga
BerdasarkanKetersediaan Jamban
Ketersediaan Jamban n (30) %
Ketersediaan Jamban dirumah 18 60.0
Jenis jamban
Cemplung/Cupluk 18 60.0
Hutan 5 16.7
Laut 2 6.7
Liar 1 3.3
WC Terbang 1 3.3
WC Mertua 1 3.3
WC umum 2 6.7
60
Tabel 22 Distribusi Frekuensi Sanitasi Dan Higiene Rumah Tangga
BerdasarkanSarana Pembuangan Sampah
Sarana Pembuangan Sampah n (30) %
Diangkut Petugas 2 6.7
Ditimbun dalam tanah 1 3.3
Dibakar 23 76.7
Dibuangg ke Kali/Parit 2 6.7
Dibuang sembarangan 2 6.7
61
8) Pola Makan
Tabel 25 Distribusi Frekuensi Pola Makan Dari Jenis Dan Frekuensi Makan
Makanan Pokok
Jenis Tidak >1x 1x 4-6x 1-3x
1x /Bln 1x /Thn Jumlah
No. Bahan Pernah /Hari /Hari /Mgg /Mgg
Makanan n % N % n % n % n % n % n % n %
1 Beras 0 0 23 76.7 6 20 1 3.3 0 0 0 0 0 0 30 100
2 Sagu 9 30 0 0 1 3.3 3 10 4 13.3 12 40 1 3.3 30 100
3 Jagung 9 30 0 0 0 0 0 0 4 13.3 11 36.7 6 20 30 100
4 Ubi Jalar 9 30 0 0 0 0 0 0 6 20 13 43.3 2 6.7 30 100
5 Singkong 11 36.7 0 0 0 0 1 3.3 1 3.3 16 53.3 1 3.3 30 100
6 Kentang 18 60 0 0 0 0 0 0 3 10 5 16.7 4 13.3 30 100
7 Talas 27 90 0 0 0 0 0 0 1 3.3 2 6.7 0 0 30 100
8 Mie 22 73.3 0 0 4 13.3 0 0 4 13.3 0 0 0 0 30 100
62
Tabel 27 Distribusi Frekuensi Pola Makan Dari Jenis Dan Frekuensi Makan
Lauk Nabati
Tidak >1x 1x 4-6x 1-3x 1x
Jenis Bahan 1x /Bln Jumlah
No. Pernah /Hari /Hari /Mgg /Mgg /Thn
Makanan
N % n % n % n % n % n % n % n %
1. Tahu 4 13 3 10 3 10 2 6.7 14 47 3 10 1 3.3 30 100
2. Tempe 2 6.7 2 6.7 3 10 3 10 15 50 4 13 1 3.3 30 100
3. Kacang Hijau 8 27 0 0 0 0 0 0 2 6.7 14 47 5 17 30 100
4. Kacang Tanah 9 30 0 0 0 0 1 3.3 6 20 12 40 2 6.7 30 100
5. Kacang kedelai 24 80 0 0 0 0 0 0 0 0 3 10 3 10 30 100
6. Kacang Merah 26 87 0 0 1 3.3 0 0 0 0 2 6.7 1 3.3 30 100
63
Tabel 29 Distribusi Frekuensi Pola Makan Dari Jenis Dan Frekuensi Makan
Buah-Buahan
Tidak >1x 1x 4-6x 1-3x 1x
Jenis Bahan 1x /Bln Jumlah
No. Pernah /Hari /Hari /Mgg /Mgg /Thn
Makanan
N % n % n % n % n % n % n % n %
1. Pisang 6 20 0 0 7 23 1 3.3 13 43 2 6.7 1 3.3 30 100
2. Jeruk manis 5 17 0 0 0 0 2 6.7 10 33 11 37 2 6.7 30 100
3. semangka 6 20 0 0 3 10 1 3.3 11 37 7 23 2 6.7 30 100
4. Pepaya 12 40 0 0 1 3.3 1 3.3 8 27 6 20 2 6.7 30 100
5. Apel 15 50 0 0 0 0 0 0 1 3.3 8 27 6 20 30 100
6. Nanas 18 60 0 0 0 0 3 10 4 13 6 20 8 27 30 100
7. Mangga 9 30 0 0 0 0 3 10 4 13 6 20 8 27 30 100
8. Jambu air 22 73 0 0 0 0 0 0 0 0 3 10 5 17 30 100
64
9) Pendapatan keluarga
Tabel 31 Distribusi Frekuensi Pendapatan Keluarga
Pendapatan n %
Kurang 7 23.3
Cukup 23 76.7
Total 30 100.0
65
Tingkat Kecukupan Protein (TKP) balitadi Desa Hukaea dapat dilihat
bahwa kekurangan protein pada balita sekitar 81.8% terdapat pada balita usia
1-3 tahun (9 balita) sedangkan pada usia 4-5 tahun sekitar 18.2% (2 balita).
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
pada Balita di Desa Hukaea 2015, dari ke sepuluh faktor tersebut ternyata faktor yang
paling dominan yang mempengaruhi status gizi pada balita di Desa Hukaea adalah faktor
pola asuh, pengetahuan, pekerjaan orang tua (petani dan nelayan), pelayanan kesehatan,
penyakit infeksi, dan asupan makanan.
1) Status Gizi Balita
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, secara nasional
prevalensi balita Gizi baik(76,2%), gizi lebih (gemuk) (5,8%), kekurangan gizi (17,9%)
dan gizi buruk sebesar (4,9%). Hal ini dapat menggambarkan bahwa status gizi kurang
sangat berbeda jauh dengan status gizi kurang secara nasional, gizi kurang pada balita
di Desa Hukaea tergolong tinggi dibandingkan dengan gizi kurang secara nasional.
Gizi kurang merupakan keadaan kekurangan asupan makanan bergizi secara
relatif atau absolut untuk periode tertentu. Salah satu masalah gizi kurang yang
mendominasi di Indonesia adalah Kurang Energi Protein (KEP). Kurang Energi Protein
(KEP) disebabkan oleh kekurangan makan sumber energi secara umum dan
kekurangan sumber protein. Pada anak-anak, KEP dapat menghambat pertumbuhan,
rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya
tingkat kecerdasan.
2) Pola Asuh
Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan
waktu, perhatian dan dukungan dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial
dari anak yang sedang tumbuh dan anggota keluarga lainnya. Pola asuh anak sangat
mempengaruhi asupan makanan yang di konsumsi, karena sebaik – baiknya pola
pengasuhan anak maka semakinbaik pula pola makan anak sehingga pemenuhan akan
66
nutrisi untuk tubuhnya terpenuhi dan status gizi anak pun baik.Pola asuh responden
meliputipengetahuan ibu dalam pemberian ASI ekslusif dan pemberian makan
pendamping serta perilaku ibu dalam memberikan makan pada balita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh berdasarkanpengetahuan ibu
dalam pemberian ASI ekslusif dan pemberian makan pendamping sebagian besar
berada pada kategori baik dengan indikator pemberian dan perlakuan kolostrum
(76.7%) sedangkan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI pada balita umur < 6
bulan kurang baik sebanyak 63.3% sedangkan umur ≥ 6 bulan sebanyak 36.7% yang
menerima ASI dan MPASI.Pola asuh berdasarkan perilaku ibu dalam memberikan
makan pada balita menunjukkan sebagian besar berada pada kategori baik 98.4%
sedangkan kategori tidak baiknya 1.6%.
Hal ini dikarenakan Ibu sadar akan manfaat dari pemberian kolostrum dan ASI
pada balitanya dan ibu selalu ada waktu atau selalu mendampingi ketika anak makan
karena sebagian besar ibu adalah Ibu Rumah Tangga (IRT) yaitu sebesar 90%. Ibu tidak
mengetahui tentang menu makanan yang sesuai dengan Pedoman Gizi Seimbang
(PGS) dan namun ibu dapat menciptakan suasana yang menyenangkan pada saat anak
makan. Bila anak tidak mau makan, ibu dapat membujuk agar anak mau
menghabiskan makanannya. Pengetahuan ibu tentang kebersihan dalam menyiapkan
makanan baik hal ini dapat dilihat dari ibu yang selalu mencuci tangan sebelum
mengolah atau memasak bahan makanan dan selalu mencuci tangan setelah
memegang ungags/binatang.
3) Pengetahuan
Dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ibutentang PGS,
MPASI, serta pemilihan dan pengolahan bahan makanan sebagian besar kurang baik.
Pengetahuan ibuyang kurang ditunjang dari tingkat pendidikan ibu juga yang sebagian
besar tamatan SMA/Sederajat 43.3% dan 53.3% lainnya hanya tamatan SD, SMP dan
tidak sekolah. Pendidikan orang tua merupakan modal utama dalam menunjang
ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta
pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi
67
akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya dibidang gizi, sehingga
dapat menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-
hari.
Dengan melihat bahwa tingkat pendidikan orang tua yang mempunyai
pendidikan rendah dan pengetahuan ibu yang kurang maka informasi-informasi
kesehatan khususnya dibidang gizi kurang didapat. Sehingga tidak heran orang tua
tersebut mempunyai balita yang gizi kurang. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh info pangan dan gizi, yaitu pendidikan dan pengetahuan orang tua mengenai
kesehatan balitanya merupakan hubungan yang nyata dengan semua upaya
pencegahan penyakit juga pendidikan orang tua ternyata sangat kuat dalam
menentukan status gizi balita.
4) Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian dapat diketahui bahwa pelayanan kesehatan anak balita
berdasarkan indikator status imunisasi adalah tidak lengkap sebesar 93.3%,
pemantauan pertumbuhan balita yang tidak rutin sebesar 76.7%, kepemilikan KMS
sebanyak 26.7%, penerimaan kapsul vitamin A sebagian besar tidak lengkap menerima
kapsul vitamin A (73.3%), BBLR sebanyak 16.7% dan yang menerima ASI eksklusif
hanya sebanyak 36.7%. hal ini disebabkan karena sebagian besar ibu kurang
memperhatikan jenis pelayanan kesehatan yang perlu didapatkan balita sejak dini. Hal
ini dapat dilihat dari perilaku ibu yang jarang membawa anaknya ke pelayanan
kesehatan untuk memantau kesehatan anaknya.Kesehatan anak harus mendapat
perhatian dari para orang tua yaitu dengan sering memantau kesehatang anaknya dan
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang terdekat.
5) Asupan Makanan
Asupan makanan adalah semua jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi
tubuh setiap hari. Umumnya asupan makanan di pelajari untuk di hubungkan dengan
keadaan gizi masyarakat suatu wilayah atau individu. Mengetahui asupan makanan
suatu kelompok masyarakat atau individu merupakan salah satu cara untuk menduga
68
keadaan gizi kelompok masyarakat atau individu bersangkutan. Metode yang
digunakan dalam proses pengumpulan data adalah recall 24 jam x 2 hari.
Kenyataan yang terjadi dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar
balita yang memiliki asupan makanan energi yang kurang terdapat pada responden 1 –
3 tahun sedangkan balita dengan asupan makanan (protein) yang kurang lebih banyak
dijumpai pada responden dengan umur 1 – 3 tahun dibandingkan pada umur 4 – 5
tahun yang berdampak pada status gizi balita. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan ibu mengenai asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan balitanya.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa asupan makanan (energi dan
protein) pada balita dipengaruhi oleh pendidikan responden. Hal ini menandakan
bahwa pendidikan ibu sangat penting untuk menentukan pola asuh, terutama dalam
pemilihan makanan untuk balitanya. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden,
maka asupan makanan (energi) yang diberikan kepada balita adalah semakin
baik.
Hasil recall makanan pada penelitian ini diketahui bahwa seluruh responden
penelitian mengatakan bahwa makanan yang paling sering dikonsumsi olehh balitanya
adalah ASI dan makanan jajanan yang kemudian diikuti dengan konsumsi makanan
pokok adalah beras (nasi). Sumber energi yang dihasilkan dari makanan jajanan cukup
tinggi namun rendah akan zat-zat gizi lainnya sedangkan energi yang didapatkan dari
Air Susu Ibu dihitung berdasarkan frekuensi dan lama menyusui.Untuk sumber
proteinnya diperoleh dari konsumsi ikan segar dan hasil laut lainnya serta dari lauk
nabati (tempe).
Keadaan di lapangan juga menunjukkan bahwa sebagian responden di
Desa Hukaea memiliki kebiasaan untuk memberikan jajanan yang sama sebagai
pengganti untuk konsumsi balitanya dan keadaan tersebut berlangsung hampir setiap
hari. Jenis makanan yang sama, yang dibeli pada waktu yang bersamaan akan
memberikan asupan yang sama pada nilai energi dan protein dari makanan tersebut,
untuk beberapa balita yang mengkonsumsi makanan tersebut dalam jumlah dan
69
takaran yang juga sama, dengan demikian peneliti mengasumsikan adanya pola
konsumsi yang sama pada masyarakat di Desa Hukaea.
Susunan makanan sangat dianjurkan untuk menjamin keseimbangan zat gizi,
hal itu dapat tercapai dengan mengkonsumsi beraneka ragam makanan.Setiap orang
dalam siklus hidupnya selalu membutuhkan dan mengkonsumsi berbagai
jenismakanan. Nilai yang sangat penting dari bahan makanan atau zat makanan adalah
bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik serta perolehan energi untuk melakukan
kegiatan sehari-hari.
6) Penyakit Infeksi Pada Balita
Hal ini menunjjukkan bahwa anak balita yang mengalami masalah gizi berisiko
menderita penyakit infeksi. Keberadaan penyakit infeksi pada balita mengakibatkan
balita kehilangan nafsu makan, sehingga balita sering menolak makan yang berarti
asupan zat gizi juga tidak ada.
Penyakit infeksi dapat berpengaruh negative terhadap daya tahan tubuh anak
balita, karena dapat menurunkan nafsu makan sehingga konsumsi makanan menurun.
Padahal kebutuhan gizi anak pada waktu sakit justru meningkat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa di Desa Hukaea persentase balita yang menderita penyakit
infeksi Diare sebanyak 46.6% sedangka persentase penyakit infeksi ISPA sebanyak
66.7%.
70
BAB V
ANALISIS MASALAH
A. IDENTIFIKASI MASALAH
Identifikasi masalah dapat dilihat dari segi Variabel Independent dan Variabel
Dependent. Variabel independent asupan makanan, penyakit infeksi, pengetahuan, pola
asuh, dan pelayanan kesehatan. Asupan makanan seseorang dapat menentukan status
gizi anak baik atau tidak sedangkan faktor lain yang meliputi pengetahuan orang tua, pola
asuh dan penyakit infeksi saling berhubungan dengan status gizi balita, karena jika segi
faktor lain seperti pendidikan orang tua yang tinggi, pengetahuan tentang gizi yang cukup,
pola asuh yang baik, pekerjaan baik dan penyakit infeksinya kecil kemungkinannya maka
akan mempengaruhi status pertumbuhan berat badan balita menjadi naik setiap
bulannya, hal ini dapat diketahui jika orang tua membawa ke posyandu setiap bulannya.
Variabel dependent adalah status gizi dengan melihat hasil perhitungan Z-score
BB/U, TB/U, BB/TB dengan menggunakan standar WHO-NCHS didalam penelitian ini
menggunakan BB/U sehingga balita dapat diketahui status gizinya lebih, baik, kurang, dan
buruk. Karena semakin bertambahnya umur balita semakin naik pula berat badannya.
B. PRIORITAS MASALAH
Tabel 34 Masalah Gizi Dan Yang Terkait Masalah Gizi
GIZI TERKAIT GIZI
STATUS GIZI KURANG (50.0%) (N = 30) Pola Asuh berdasarkan pemberian MPASI
dini 63.3% (N = 30)
Pengetahuan kurang 96.7% (N = 30)
Penyakit infeksi diare 46.6% dan ISPA
66.7% (N = 30)
Pelayanan kesehatan :
Imunisasi tidak lengkap 93.3% (N = 30)
Penerimaan Kapsul Vitamin A tidak
71
lengkap 73.3% (N = 30)
Pemantauan pertumbuhan balita tidak
rutin 76.7% (N = 30)
ASI Eksklusif 36.7% (N = 30)
Asupan energi kurang 76.7% (N = 30)
Berdasarkan tabel 34dapat dilihat bahwa yang menjadi prioritas masalah pada
penelitian ini adalah pengetahuan ibu. Hal ini dikarenakan pengetahuan dapat
mempengaruhi pola asuh ibu. Pola asuh dapat mempengaruhi asupan makan dan
penyakit infeksi. Sedangkan penyakit infeksi dipengaruhi oleh kurangnya memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada.
C. RUMUSAN MASALAH
Masih kurangnya pengetahuan ibu yaitu sebesar 96.7% dan status gizi kurang
sebesar 46.7% di Desa Hukaea Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana Provinsi
Sulawesi Tenggara pada tahun 2015.
D. PENYEBAB MASALAH
ASUPAN
MAKAN STATUS GIZI
PENGETAHUAN POLA ASUH
KURANG
PENYAKIT
INFEKSI
PELAYANAN
KESEHATAN
BAB VI
72
RENCANA PROGRAM INTERVENSI GIZI
masalah
(96.7%)
c. Pelayanankesehatan (70%)
Ibu Balita
II. PGS
a. Pengertian PGS
73
seimbang bagi balita dan ibu balita
optimal.
5. Metode Penyuluhan
Demonstrasi
Diskusi
Balita
di Desa Hukaea
9. Tempat Poskesdes
74
Sekolah Dasar
b. Poster
c. Leaflet
d. Banner
75
BAB VII
1. Intervensi Penyuluhan
76
Melakukan Daftar
Muh.
penyebaran Nuraida Observasi Nuraida penerimaan
Rofidno
undangan undangan
Melakukan Foto
Julmoni Suryanti Observasi Suryanti
musyawarah musyawarah
Dokumen
SAP tentang PGS Nuraida Yeni Observasi Yeni
SAP
Muh. LCD Gambar
Media LCD, Poster Tiaz Observasi Tiaz
Rofidno Poster
2 Pelaksanaan Pengkondisian Maret Nuraida Suryanti Observasi 1 kali Suryanti
(Kegiatan) Pembukaan 2016 Ceramah
Penyuluhan Ceramah Foto
Tanya jawab Diskusi kegiatan dan
Penutupan Ceramah video
Muh.
Fasilitator Julmoni Observasi Julmoni
Rofidno
77
Tema : Penyuluhan tentang PGS
78
2 Pelaksanaan Pengkondisian Maret Yeni Nuraida Observasi 1 kali Nuraida
(Kegiatan) Pembukaan 2016 Ceramah
Foto
Penyuluhan Ceramah
kegiatan dan
Tanya jawab Diskusi
video
Penutupan Ceramah
Fasilitator Suryanti Norviati Observasi Norviati
Area Manajemen : Lomba Cerdas Cermat pada anak balita dan anak sekolah dasar
Tujuan:
a. Tujuan Umum: Untuk meningkatkan pengetahuan anak balita
b. Tujuan Khusus:
Untuk memberikan informasi dini tentang gizi kepada balita dan anak sekolah
Untuk mengetahui pengetahuan yang dimiliki balita dan anak sekolah tentang gizi.
79
Melakukan Foto
Julmoni Suryanti Observasi Suryanti
musyawarah musyawarah
Dokumen
Menyiapkan materi
Nuraida Yeni Observasi Yeni materi dan
dan soal
soal
Menyiapkan hadiah Yeni Norviati Diskusi Norviati Foto hadiah
2 Pelaksanaan Pengkondisian Maret Muh Suryanti Observasi 1 kali Suryanti
(Kegiatan) Pembukaan 2016 rofidno Ceramah
Foto kegiatan
Penjelasan prosedur
Ceramah dan video
pelaksanaan lomba
Fasilitator Nuraida Tiaz Observasi Tiaz
3. Intervensi PHBS
Area Manajemen : Praktek Mencuci Tangan dengan benar pada anak balita dan ibu balita
Tujuan:
a. Tujuan Umum: Untuk meningkatkankesadaran akan kebersihan individual maupun kelompok pada balita dan ibu balita
b. Tujuan Khusus:
Untuk meningkatkan kesadaran pentingnya mencuci tangan etelah beraktifitas
80
Penanggung Monitoring dan evaluasi
No Rincian Kegiatan Waktu Pelaksana Indicator Catatan
Jawab Metode Frekuensi Pelaksana
1 Persiapan Menyiapkan Maret Muh. Dokumen
Tiaz Observasi 1 kali Suryanti
lokasi kegiatan 2016 Rofidno surat
Menyiapkan Daftar
surat izin tempat Suryanti Julmoni Observasi Nuraida penerimaan
kegiatan undangan
Melakukan Foto
Nuraida Suryanti Observasi Suryanti
musyawarah musyawarah
Dokumen
Menyiapkan
Suryanti Yeni Diskusi Yeni video dan
video dan materi
materi
Foto
Menyiapkan Muh. Muh.
Norviati Observasi persiapan
LCD, Speaker Rofidno Rofidno
kegiatan
2 Pelaksanaan Pengkondisian Maret Suryanti Nuraida Observasi 1 kali Suryanti
(Kegiatan) Pembukaan 2016 Ceramah
Pemutaran
Observasi
video Foto kegiatan
Praktek langsung Demonstrasi dan video
Muh.
Fasilitator Observasi
Rofidno Tiaz Tiaz
Penutupan Suryanti Nuraida Ceramah Suryanti
81
Form 2. HIPPOPOC TABLE
PROGRAM INTERVENSI /KEGIATAN : PENYULUHAN DENGAN TEMA MAKANAN SEIMBANG DAN PGS
82
penerangan dan sound system) Kader layout kegiatan. kegiatan
Kades
1. Pelaksanaan :
Pembukaan Mahasiswa (Suryanti Wardani) Moderator membuka Terlaksananya kegiatan
Kades acara pembukaan
Ketua kader
Sambutan Kades & kader Kkdes Sepata kata dari kades Kegiatan sambutan
Ketua kader dan ketua kader dari kades dan ketua
Mahasiswa (Muh. Rofidno) menyangkut kegiatan kader
Warga desa yang akan dilaksanakan
Menjelaskan mengenai pentingnya Mahasiswa (Nuraida) Mahasiswa memberikan Terlaksananya
makanan seimbang bagi balita gizi Materi materi/informasi pemberian materi /
kurang dan PGS bagi ibu balita mengenai pentingnya informasi selama
Makanan seimbang dan kegiatan
PGS
Diskusi (Tanya Jawab) Mahasiswa (Nuraida) Menjelaskan Berlangsungnya
Warga desa (ibu balita) kegiatan Tanya jawab
kepada warga desa
khusunya balita.
Penutupan (menyimpulkan dan Mahasiswa (Suryanti Wardani) Penutupan kegiatan oleh Berakhirnya kegiatan
menekankan kepada ibu balita untuk Kades kades dan ketua kader penyuluhan
menerapkannya di rumah demi
mencegah terjadinya gizi kurang
2. Evaluasi : Mahasiswa (Nuraida) Proses kegiatan Terlaksananya kegiatan
80 % sasaran hadir mengikuti Mahasiswa, ibu balita penyuluhan
penyuluhan Buku absen
83
BAB VIII
PENUTUP
84
DAFTAR PUSTAKA
85
LAMPIRAN
1. MASTER TABEL
2. FOTO KEGIATAN
3. DOKUMEN PENUNJANG
86