Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

TORCH PADA ANAK

Disusun Oleh
Raihan Alhazmi
1102013242

Pembimbing
Dr. Dani Kurnia, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSTAS YARSI
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD ARJAWINANGUN
PERIODE 20 NOVEMBER 2017 - 27 JANUARI 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad
SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas rahmat dan ridho-
Nya, penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul “TORCH Pada Anak” sebagai salah
satu tugas di kepanitraan Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Arjawinangun.
Berbagai kendala yang telah dihadapi penulis hingga referat ini selesai tidak terlepas
dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang telah diberikan, baik moril
maupun materil, maka selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pembimbing saya dr. Dani Kurnia, Sp.A atas bimbingan, arahan dan saran dalam penyusunan
referat ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah
membantu.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga penyusunan ini
dapat lebih baik sesuai dengan hasil yang diharapkan. Akhir kata, dengan mengucapkan
Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu meridhai kita semua.

Arjawinangun, Desember 2017

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Toksoplasmosis

Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, merupakan


penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini termasuk golongan
protozoa yang bersifat parasit obligat intraseluler. Infeksi toksoplasmosis saat hamil dapat
menyebabkan abortus spontan atau anak yang dilahirkan mengalami kelainan kongenital
seperti hidrosefalus, iridosiklisis, dan retardasi mental.

Epidemiologi
Toksoplasmosis tersebar hampir di seluruh dunia karena toksoplasma pada hakekatnya mampu
menginfeksi setiap sel pejamu yang berinti. Sekitar 85 persen wanita usia produktif di Amerika
Serikat mengalami infeksi akut parasit Toxoplasma gondii. Insidens toksoplasmosis kongenital
tergantung proporsi wanita hamil yang terinfeksi toksoplasma selama kehamilan. Estimasi
infeksi kongenital di Amerika Serikat berkisar antara 1 per 3000 sampai 1 per 10.000 kelahiran.
Berdasarkan data studi regional, 400 sampai 4.000 kasus toksoplasmosis kongenital terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya.

Etiologi dan Patogenesis


T. gondii memiliki 3 fase hidup, yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit, dan
ookista (berisi sporozoit). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan satu ujung runcing
dan ujung lain agak membulat. Takizoit ditemukan pada infeksi akut berbagai organ tubuh,
seperti otot termasuk otot jantung, hati, limpa, limfonodi, dan sistem saraf pusat. Selanjutnya,
kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Kista
dapat ditemukan dalam tubuh hospes seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot
bergaris. Fase hidup ketiga T. gondii adalah sporozoit; pada fase ini ditemukan ookista. Ookista
berbentuk lonjong, mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua;
selanjutnya kedua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing
sporokista berisi 4 sporozoit berukuran 8x2 mikron dan sebuah benda residu.

2
Kucing merupakan hospes definitif T. gondii. Selama infeksi akut, ookista yang keluar bersama
tinja kucing belum bersifat infektif. Setelah beberapa minggu, tergantung kondisi lingkungan,
ookista akan mengalami sporulasi dan menjadi bentuk infektif. Manusia dan hospes perantara
lain, seperti kambing dan domba, akan terinfeksi jika menelan ookista tersebut. Kondisi cuaca
panas dan tanah lembap dapat mempertahankan ookista selama sekitar 1 tahun. Ookista tidak
dapat bertahan hidup di tanah gersang dan cuaca dingin.

Setelah terjadi infeksi T. gondii akan terjadi proses parasitemia, di mana parasit menyerang
organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel- sel inang. Pada
toksoplasmosis kongenital, infeksi primer pada janin diawali dengan masuknya darah ibu yang
mengandung parasit ke dalam plasenta, sehingga terjadi plasentitis. Hal ini ditandai dengan
gambaran plasenta dengan reaksi inflamasi menahun pada desidua kapsularis dan fokal reaksi
pada vili. Inflamasi tali pusat jarang dijumpai. Parasit akan menimbulkan keadaan patologik
yang manifestasinya tergantung usia kehamilan.

3
Risiko toksoplasmosis kongenital sekitar 10 – 25% apabila infeksi akut maternal terjadi pada
trimester pertama kehamilan dan meningkat hingga 60 – 90% apabila terjadi pada trimester
ketiga. Namun, manifestasi toksoplasmosis kongenital lebih parah jika infeksi terjadi pada
trimester pertama.

Manifestasi Klinis
Trias klasik toksoplasmosis kongenital meliputi korioretinitis, kalsifikasi intrakranial, dan
hidrosefalus. Tanda dan gejala toksoplasmosis kongenital lainnya meliputi abnormalitas cairan
spinal, anemia, kejang, demam, tuli, gangguan pertumbuhan, hepatomegali, jaundice,
gangguan pembelajaran, limfadenopati, ruam makulopapular, retardasi mental, mikrosefali,
spastisitas, splenomegali, trombositopenia, dan gangguan penglihatan. Sebagian besar bayi
yang terinfeksi intrauterin lahir dengan gejala tidak khas, lebih dari 80% berkembang menjadi
gangguan penglihatan, pendengaran, perkembangan, dan IQ yang lebih rendah pada masa
anak-anak.

Klasifikasi toksoplasmosis kongenital (Desmonts dan Couvreur):


1. Anak dengan kelainan neurologis, seperti: Hidrosefalus, mikrosefalus, makroftalmus
dengan atau tanpa retinokoroiditis. Gejala mungkin timbul saat dilahirkan atau di
kemudian hari.
2. Anak dengan kelainan berat, penyakit generalisata, seperti: Eksantematus
makulopapular, purpura, pneumonia, jaundice berat, hepatosplenomegali; mungkin
juga uveitis dan pembesaran ventrikuler.
3. Anak dengan kelainan sedang dan tanda infeksi pre-natal, seperti: Hepatosplenomegali
dan jaundice dengan atau tanpa trombositopenia atau gejala non-spesifik
4. Anak dengan infeksi subklinis

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa metode diagnosis toksoplasmosis kongenital antara lain deteksi respons imunitas
humoral spesifik Toxoplasma, amplifikasi DNA Toxoplasma, identifikasi antigen spesifik
Toxoplasma pada jaringan, dan isolasi parasit. Selama kehamilan, adanya parasit dalam cairan
amnion (amplifikasi DNA, mikroskopi, atau isolasi organisme) atau jaringan fetus (amplifikasi
DNA, pewarnaan antigen, mikroskopi, atau isolasi organisme) dapat mendiagnosis
toksoplasmosis kongenital. Metode diagnosis yang paling sering untuk toksoplasmosis

4
kongenital selama kehamilan adalah PCR dalam cairan amnion; hasil tes positif mendiagnosis
toksoplasmosis kongenital.
Pada periode post-natal, baku emas penegakan diagnosis toksoplasmosis kongenital adalah IgG
Toxoplasma persisten hingga usia 12 bulan. Sedangkan, kriteria eksklusi diagnosis
toksoplasmosis kongenital yaitu dengan adanya penurunan titer IgG Toxoplasma yang
menghilang dalam usia 12 bulan. Pada keadaan terbatasnya riwayat klinis dan hasil tes
laboratorium Toxoplasma, diagnosis toksoplasma kongenital pada satu tahun awal kehidupan
dapat rancu dengan kemungkinan bayi mendapat infeksi selama periode post-natal. Oleh
karena itu, perlu mendiagnosis atau mengeksklusi toksoplasmosis kongenital selama periode
gestasi atau satu tahun awal kehidupan.
Metode laboratorium yang umum digunakan untuk diagnosis toksoplasmosis kongenital pada
bayi baru lahir adalah deteksi serologi berbagai antibodi Toxoplasma dalam serum darah
perifer. IgG, IgM, IgA Toxoplasma harus selalu diperiksa. Kombinasi hasil pemeriksaan IgM
dan IgA, ditambah dengan pemeriksaan IgG memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan
dengan hanya satu jenis pemeriksaan. Pemeriksaan Toxoplasma PCR pada cairan serebrospinal
(CSF), darah perifer, dan urin dapat menjadi cara lain untuk diagnosis awal toksoplasmosis
kongenital

5
Selama periode post-natal, deteksi IgG Toxoplasma neonatus bergantung pada IgG maternal
yang dapat menembus plasenta secara pasif. Pada periode awal kehidupan, IgG neonatus masih
diperoleh dari IgG ibu, setelah 2 bulan akan mulai menurun. Pada usia 6 bulan IgG akan hilang
50% dan 100% saat usia 1 tahun. Deteksi IgM dan IgA Toxoplasma pada neonatus juga dapat
terkontaminasi oleh IgM maternal pada 5 hari pertama kehidupan dan IgA pada 10 hari awal.
Oleh karena itu, pemeriksaan IgA ataupun IgM dilakukan saat usia >10 hari. Apabila diagnosis
belum dapat ditegakkan, pemeriksaan IgG, IgM, dan IgA selanjutnya dilakukan pada usia 1
bulan dan setiap 2 bulan sesuai indikasi. Diagnosis toksoplasmosis kongenital dapat dieksklusi
jika tidak terdapat titer IgG tanpa terapi hingga usia <12 bulan.

6
Penatalaksanaan
Terapi toksoplasmosis kongenital dapat dilakukan pada periode pre-natal dan post-natal.
Terapi pre-natal bertujuan untuk mencegah transmisi infeksi maternal ke fetus, sedangkan
tujuan terapi post-natal adalah untuk mengobati infeksi pada bayi yang positif terdiagnosis
toksoplasmosis kongenital. Terapi post-natal berfungsi untuk mengurangi risiko
retinokoroiditis. Penelitian-penelitian terkait terapi toksoplasmosis kongenital masih jarang
dilakukan. Pada sebuah studi kohort oleh Phan, dkk. tahun 2008, tidak mendapatkan perbedaan
signifikan risiko retinokoroiditis hingga usia 3 tahun pada anak yang diterapi post-natal dengan
anak yang diterapi post- natal dan pre-natal. Pirimetamin dan sulfadiazin oral untuk
toksoplasmosis kongenital digunakan selama 1 tahun; dosis pirimetamin oral yang dianjurkan
adalah 0,5 – 1 mg/kgBB, sedangkan dosis sulfadiazin adalah 100 mg/kgBB.

■ Pirimetamin + Sulfadiazin
Pirimetamin 1 mg/kgBB/hari, oral, maksimal 25 mg/hari. Walaupun waktu paruh obat ini 4 –
5 hari, obat harus diberikan setiap hari. Bila perlu (oleh karena dosis obat terlalu kecil sehingga
sulit meraciknya), pada neonatus dapat diberikan setiap 2 hari. Efek samping pirimetamin
terutama depresi pada sumsum tulang sehingga terjadi trombositopenia, leukopenia, dan
anemia. Gejala lain ialah muntah, sakit kepala, tremor, kejang dan rasa tidak enak di mulut.
Efek samping ini berhubungan dengan dosis, tetapi juga bersifat individu. Sulfadiazin atau
trisulfapirimidin 85 mg/kgBB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis.
■ Spiramisin
Dosis 100 mg/kgBB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis.
■ Kortikosteroid
Dosis 1,5 mg/kgBB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, diberikan sampai proses inflamasi reda
(kadar protein cairan lumbal <= 100 mg/dl, korioretinitis tidak aktif).
■ Asam Folat
Dosis 5 mg tiap 3 hari (untuk bayi kecil diberikan secara intramuskular), diberikan selama
pengobatan dengan pirimetamin. Bila efek samping pada sumsum tulang tetap terjadi, dosis
dinaikkan menjadi 10 mg tiap 3 hari. Tetapi bila efek samping yang timbul sangat berat,
pirimetamin diberhentikan terlebih dahulu, setelah sumsum tulang normal pirimetamin dapat
dilanjutkan kembali dengan penambahan asam folat 10 mg/kgBB tiap 3 hari. Kadang-kadang
pada beberapa kasus pemberian asam folat dapat lebih sering.

7
2. Rubella

Rubella (German measles) menjadi terkenal karena sifat teratogeniknya. Rubella merupakan
suatu penyakit virus yang umum pada anak dan dewasa muda, yang ditandai oleh suatu masa
prodromal yang pendek, pembesaran kelenjar getah bening servikal, suboksipital dan
postaurikular, disertai erupsi yang berlangsung 2 – 3 hari. Pada anak yang lebih besar dan orang
dewasa dapat terjadi infeksi berat disertai kelainan sendi dan purpura. Kelainan prenatal akibat
rubella pada kehamilan muda dilaporkan pertama kali oleh Gregg di Australia pada tahun 1941.
Rubella pada kehamilan muda dapat mengakibatkan abortus, bayi lahir mati, dan menimbulkan
kelainan kongenital yang berat pada janin. Sindrom rubella kongenital merupakan penyakit
yang sangat menular, mengenai banyak organ dalam tubuh dengan gejala klinis yang luas.
Hingga saat ini penyakit rubella masih merupakan masalah dan terus diusahakan eliminasinya.
Rubella disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus, damili Togaviridae. Virus dapat
diisolasi dari biakan jaringan penderita. Secara fisiokimiawi virus ini sama dengan anggota
virus lain dari family tersebut, tetapi virus rubella secara serologic berbeda. Pada waktu
terdapat gejala klinis virus ditemukan pada secret nasofaring, darah, feses, dan urin. Virus
rubella hanya menjangkiti manusia saja.

Patogenesis
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute pernafasan. Selanjutnya virus
rubella memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi di kulit belum diketahui
patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul erupsi di kulit. Di
nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih
lama. Selain dari darah dan secret nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjar getah
bening, urin, cairan serebrospinal, ASI, cairan synovial dan paru.
Penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi.
Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa inkubasi, kemudian menurun dengan cepat, dan
berlangsung hingga menghilangnya erupsi.

Epidemiologi
Penyakit ini terdistribusi secara luas di dunia. Epidemic terjadi dengan interval 5-7 tahun (6-9
tahun), paling sering timbul pada musim semi dan terutama mengenai anak serta dewasa muda.
Pada manusia virus ditularkan secara oral droplet dan melalui plasenta pada infeksi kongenital.

8
Sebelum ada vaksinasi, angka kejadian tertinggi terdapat pada anak usia 5-14 tahun. Dewasa
ini kebanyakan kasus terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Kelainan pada fetus mencapai 30% akibat infeksi rubella pada ibu hamil selama minggu
pertama kehamilan. Risiko kelainan pada fetus tertinggi (50-60%) terjadi pada bulan pertama
dan menurun menjadi 4-5% pada bulan keempat kehamilan ibu. Survey di Inggris (1970-1974)
menunjukkan insidens infeksi fetus sebesar 53% dengan rubella klinis dan hanya 19% yang
subklinis. Sekitar 85% bayi yang terinfeksi rubella kongenital mengalami defek.

Manifestasi Klinis

Masa Inkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 14 – 21 hari. Dalam beberapa laporan lain waktu inkubasi
minimum 12 hari dan maksimum 17 sampai 21 hari.

Masa Prodromal
Pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya; jarang disertai gejala dan tanda
pada masa prodromal. Namun pada remaja dan dewasa muda masa prodromal berlangsung 1-
5 hari dan terdiri dari demam ringan, sakit kepala, nyeri tenggorok, kemerahan pada
konjungtiva, rhinitis, batuk dan limfadenopati. Gejala ini segera menghilang pada waktu erupsi
timbul. Gejala dan tanda prodromal biasanya mendahului erupsi di kulit 1-5 hari sebelumnya.
Pada beberapa penderita dewasa gejala dan tanda tersebut dapat menetap lebih lama dan
bersifat lebih berat. Pada 20% penderita selama masa prodromal atau hari pertama erupsi,
timbul suatu enantema, Forscheimer spot, yaitu macula atau ptekia pada pallatum molle, bisa
saling merengkuh sampai seluruh permukaan faucia. Pembesaran kelenjar limfe bisa timbul 5-
7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar suboksipital, postaurikular dan
servikal, dan disertai nyeri tekan.

Masa Eksantema
Seperti pada rubeola, eksantema mulai retroaurikular atau pada muka dan dengan cepat meluas
secara kraniokaudal ke bagan lain dari tubuh. Mula-mula berupa macula yang berbatas tegas
dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan menyatu, memberikan bentuk morbiliform. Pada
hari kedua eksantema di muka menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh dan di hari ke-4 di
anggota gerak. Pada 40% kasus infeksi rubella terjadi tanpa eksantema. Meskipun sangat
jarang, dapat terjadi deskuamasi posteksantematik.

9
Limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada rubella. Biasanya
pembengkakan kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8 hari. Pada penyakit rubella
yang tidak mengalami penyulit sebagian besar penderita sudah dapat bekerja seperti biasa pada
hari ke-3. Sebagian kecil penderita masih terganggu dengan nyeri kepala, sakit mata, rasa gatal
selama 7-10 hari.

Penyulit
Jarang terjadi pada anak. Pada remaja dan dewasa dapat terjadi artritis dan arthralgia dari sendi
kecil tangan, kaki, lutut, dan bahu yang berupa pembengkakan dan nyeri. Khususnya arthralgia
pada tangan timbul setelah erupsi pada penderita dewasa, merupakan gejala klinis yang sangat
meyakinkan untuk rubella. Artritis dapat mengenai 30% serta 5% wanita. Artritis biasanya
hilang dalam 1 bulan. Ensefalitis dapat terjadi tetapi sangat jarang (1:5000 kasus). Satu minggu
setelah erupsi timbul dapat terjadi purpura (purpura trombositopenik). Dapat pual terjadi
epistaksis, perdarahan gusi dan saluran cerna, hematuria serta ekimosis pada palatum dan
periorbita. Penyulit tersebut jarang berakibat fatal dan umumnya penderia sembuh dalam 2
minggu.

Rubella Kongenital
Infeksi rubella pada ibu hamil dapat menimbulkan infeksi pada janin dengan kelainan
teratogenesis yang bergantung dari umur kehamilan. Pada waktu mengalami infeksi rubella
sebagian ibu (50%) tidak menunjukkan gejala atau tanda klinis. Meskipun demikian virus dapat
menimbulkan infeksi pada plasenta dan diteruskan ke janin, yang mana virus itu menyerang
banyak organ dan jaringan. Rubella pada ibu dapat menimbulkan berbagai kemungkinan di
janinnya, yaitu: (1) non-infeksi, (2) infeksi tanpa kelainan apapun, (3) infeksi dengan kelainan
kongenital, (4) resorpsi embrio, (5) abortus, (6) kelahiran mati.
Bayi yang lahir dari ibu hamil yang menderita rubella pada trimester pertama bisa terkena
sindrom rubella kongenital, yaitu trias anomali kongenital pada mata (katarak, mikroftalmia,
galukoma, retinopati), telinga (ketulian) dan defek jantung (stenosis arteri pulmonalis, patent
ductus arteriosus, ventricle septal defect). Kerusakan jantung dan mata terjadi Karena infeksi
embrio yang berumur kurang dari 6 minggu, sedangkan ketulian dan defek mental terjadi pada
semua embrio yang berumur sampai kira-kira 16 minggu. Selain itu dapat terjadi kelainan
susunan saraf pusat dan gigi. Manifestasi lainnya adalah glaucoma, mikrosefali dan berbagai
kelainan visceral.

10
Manifestasi umum rubella kongenital pada waktu lahir adalah retardasi pertumbuhan dan
psikomotorik. Antara 50-85% dari semua bayi beratnya kurang dari 2.500 gram, setelah lahir
pertumbuhannya pun akan terhambat (growth retardation). Angka kematian bayi dengan
rubella kongenital pada tahun pertama tinggi. Kematian dapat disebabkan karena gagal
pertumbuhan, kelainan jantung atau miokarditis, pneumonia, hepatitis, trombositopenia,
blueberry muffin rash, limfopenia, classic ensefalitis atau defisiensi system imun.
Kira-kira sepertiga bayi rubella kongenital akan mengalami katarak. Katarak ini dapat bilateral
atau unilateral dan seringkali sudah ada pada waktu lahir. Biasanya juga terdapat retinopati dan
mikroftalmia yang biasanya unilateral. Pada 5% bayi rubella kognenital terdapat glaucoma.
Diagnosis dini sangat penting untuk mencegah kebutaan.
Tanda yang paling umum rubella kongenital adalah tuli sensorineural, paling sering bilateral
tetapi kadang-kadang unilateral. Kadang-kadang satu-satunya manifestasi infeksi kongenital
adalah ketulian.
Kelainan neurologic pada bayi dengan rubella kongenital berupa meningoensefalitis yang aktif
pada waktu lahir. Manifestasinya antara lain berupa fontanel anterior yang cembung, gelisah,
hipotonia, kejang-kejang, letargi, retraksi kepala dan opistpotonus.
Pada rubella kongenital yang berat terjadi miokarditis yang sering menyebabkan kematian
janin. Kelainan strutur jantuung yang paling sering ialah paten duktus arteriosus, yang disusul
stenosis arteria pulmonalis dan stenosis katup pulmonal.
Kelainan lain yang mungkin terjadi diantaranya adalah osteomyelitis, malabsorbsi dan
diabetes. Anomaly kongenital lain dapat pula terjadi tetapi jarang dilaporkan, sehingga tidak
dapat dipastikan apakah memang terjadi karena rubella atau karena sebab lain.

Diagnosis
Diagnosis klinis sering kali sukar dibuat untuk seorang penderita oleh karena tidak ada tanda
atau gejala yang patognomik untuk rubella. Seperti dengan penyakit eksantema lainnya,
diagnosis dapat dibuat dengan anamnesis yang cermat, dapat ditemukan kasus kontak atau
kasus lain didalam lingkungan penderita. Sifat demam dapat membantu dalam mengakkan
diagnosis, oleh karena demam pada rubella jarang sekali di atas 38,5 ‘C.
Pada infeksi yang tipikal, macula merah muda yang menyatu menjadi eritema difus pada muka
dan badan serta arthralgia pada tangan penderita dewasa merupakan petunjuk diagnosis rubella.
Perubahan hematologic hanya sedikit membantu penegakan diagnosis. Peningkatan sel plasma
5-20% merupakan tanda yang khas. Kadang-kadang terdapat leukopenia pada awal penyakit

11
yang dengan segera diikuti limfositosis relative. Sering terjadi penurunan ringan jumlah
trombosit.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan serologi yaitu adanya peningkatan titer
antibody 4 kali pada hemaglutination inhibition test (HAIR) atau ditemukannya antibody IgM
yang spesifik untuk rubella. Titer antibody mulai meningkat 24-48 jam setelah permulaan
erupsi dan mencapai puncaknya pada hari ke 6-12. Selain pada infeksi primer, antibody IgM
spesifik rubella dapat ditemukan pada reinfeksi. Dalam hal ini adanya antibody IgM spesifik
rubella harus diinterpretasi dengan hati-hati. Suatu penelitian tela menunjukkan bahwa telah
terjadi reaktivitas spesifik terhadap rubella dari sera yang dikoleksi, setelah terinfeksi virus
lain.
Pada kehamilan, 1-2 minggu setelah timbulnya rash dapat dilakukan pemeriksaan serologi
IgM-immunoassay (dengan sampel berasal dari tenggorok atau urin) sebanyak dua kali dengan
selang 1-2 minggu. Bila didapatkan kenaikan titer sebanyak 4 kali, dapat dipertimbangkan
terminasi kehamilan.

Diagnosis Rubella Kongenital


Pada neonatus diagnosis rubella intrauterine ditegakkan bila ditemukan 2 dari 3 tanda klinis
utama (ketulian, katarak dan / atau rertinopati rubella, lesi jantung kongenital), serta ada bukti
virologik dan/ atau serologic segera setelah lahir, atau mempunyai bukti infeksi rubella
maternal selama kehamilan. Adanya antibody IgM dan priduksi antibody terus-menerus
merupakan petunjuk infeksi kongenital. Pada bayi yang terinfeksi kongenital, IgM serum
spesifik rubella dapat dideteksi sejak lahir selama beberapa bulan. Virus dapat diisolasi dari
secret nasofaring, konjungtiva, urin, feses, dan cairan serebrospinal. Ekskresi virus paling aktif
1-3 bulan sejak lahir dan 2-20% bayi yang terinfeksi masih mengekskresi virus pada umur 1
tahun. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan RNA hybridization dari biopsy vilus
korionik dan kultur cairan amnion.

Imunitas
Setelah serangan rubella, biasanya timbul imunitas jangka panjang. Reinfeksi dapat terjadi,
namun biasanya tidak disertai dengan gejala dan tanda klinis. Pada reinfeksi subklinis dapat
terjadi peningkatan kadar antibody IgM. Bila seorang ibu yang mengalami reinfeksi rubella
pada waktu hamil, sangat kecil kemunbkinan bahwa bayinya menderita rubella kongenital.
Belum ada standar pengukuran antibody rubella dan kepastian mengenai kadar minimal
antibody yang dapat memberikan proteksi klinis. Uji HAI merupakan teknik standar yang

12
pertama kali digunakan secara luas untuk pemeriksaan antibody rubella. Bila dengan
pemeriksaan HAI titernya >1/16 sampai 1/512 maka ada imunitas terhadap infeksi rubella.
Suatu penelitian jangka panjang dengan pemeriksaan ELISA di Hawaii dengan menggunakan
3 jenis vaksin rubella menunjukkan bahwa imunitas pasca vaksinasi rubella menetap setelah
16 tahun dengan angka seropositive 98% untuk vaksin HPV-77 DK 12 dan 88,8% untuk vaksin
Cendehill. Sedangkan hasil penelitian di Eropa memperlihatkan menetapnya antibody pada 87-
89% individu selama 8-18 tahun pasca vaksinasi.

3. Sitomegalovirus

Infeksi sitomegalovirus pada ibu hamil merupakan penyebab risiko tinggi bayi baru lahir untuk
mengalami gangguan perkembangan dikemudian hari. Oleh karena itu diperlukan
kewaspadaan khusus terhadap adanya infeksi virus tersebut. Kecurigaan terhadap adanya
infeksi CMV kongenital dapat diawali dengan ditemukannya manifestasi klinis pada bayi baru
lahir. Kecurigaan ini harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan laboratorium guna menunjang
diagnosis tersebut. Setelah dipastikan adanya infeksi kongenital, tahap selanjutnya adalah
memberikan pengobatan yang adekuat, sehingga gejala dikemudian hari dapat menjadi
minimal.
Risiko infeksi CMV pada kehamilan adalah sebagai berikut; 1. Penularan dari ibu ke janin bila
terinfeksi selama kehamilan adalah 40%, 2. Janin yang terinfeksi dan lahir disertai dengan
gejala 10-15%, 3. Sekitar 90% bayi lahir disertai gejala (ringan-berat) menimbulkan sekuele,
sedangkan yang tanpa gejala 5-15%.

Etiologi
CMV merupakan virus DNA yang termasuk dalam genus virus herpes, menyerang manusia
dan mamalia lainnya secara spesifik, karena human CMV hanya menyebabkan infeksi pada
manusia. Dengan menggunakan mikroskop electron, morfologi CMV nampak seperti virus
Herpes. Bentuknys sferis dan mempunyai ukuran antara 64-110 nm. Dalam sitoplasma sel yang
diserang, ukurannya akan bertambah besar menjadi sekitar 100-180 nm. Setelah CMV
menempel pada reseptor yang spesifik di permukaan sel, virus akan menembus membrane sel
dan kemudian berada dalam sitoplasma sel dengan dikelilingi oleh vakuola. Dibutuhkan waktu
sekitar 2-4 jam setelah virus masuk ke dalam sel untuk kemudian mengadakan replikasi yang
kontinyu dengan pola sintesis DNA. Replikasi dapat juga terjadi 36-48 jam setelah CMV
masuk ke dalam sel.

13
Secara invitro, CMV bereplikasi dalam sel fibrolas, meskipun invivo fibroblast bukan suatu
target virus. Setelah virus berpenetrasi pada sel, protein CMV dengan cepat terekspresi dalam
nucleus. Replikasi CMV dan nukleokapsid dibentuk dalam nukleus, selubung virus terdapat
dalam sitoplasma. Setelah lepas dari sel, virus dapat ditemukan dalam urin, dan terkadang
dalam cairan tubuh, menyerap mikroglobulin, suatu rantai sederhana dari kelas I molekul
antigen leukosit manusia (HLA). Substansi ini melindungi antigen virus dan mencegah
netralisasi oleh antibody, sehingga meningkatkan infektifitasnya.

Epidemiologi
Infeksi CMV dijumpai secara endemik dan dapat timbul kapan saja tanpa dipengaruhi oleh
perubahan musim. Tidak diketahui vektor yang menyebabkan terjadinya penularan dari satu
manusia ke manusia yang lain. Prevalens infeksi CMV tinggi di Negara sedang berkembang
dan kasusnya banyak dijumpai pada masyarakat sosial ekonomi rendah serta banayak
menyerang kelompok usia muda. Sumber infeksi adalah urin, sekret orofaring, secret servikal
dan vaginal, semen, air susu ibu, air mata, dan darah pasien.
Insidens infeksi CMV pada bayi sampai usia 6 bulan di Amerika Serikat berkisar antara 39-
56%, hal ini mungkin disebabkan karena pemberian air susu ibu di Amerika Serikat menjadi
populer kembali. Hasil titer sero-positif pada anak sampai usia 2 tahun yang berasal dari
kalangan social ekonomi rendah di Kibbutz, Israel sebanyak 76%, sedangkan di dua daerah
perkotaan angka seropositive hanya sebesar 44% dan 54%. Dari 16.218 ibu hamil yang diteliti
oleh stagno ditemukan angka seropositif 36,5% pada ibu hamil yang berasal dari golongan
social ekonomi rendah, angka sero-positif meningkat menjadi 766,6%.

Penyebaran Infeksi CMV


Media transmisi CMV antara lain saliva, ASI, sekresi vaginal dan servikal, urin, semen, darah
dan tinja. Penyebaran CMV membutuhkan kontak yang amat dekat/intim, karena virus ini amat
labil. Penyakit yang berhubungan dengan CMV umumnya terjadi pada keadaan
imunokompromais, misalnya pada pasien HIV ataupun mereka yang menerima transplantasi
organ. Transmisi terjadi melalui kontak langsung, tetapi transmisi tidak langsung dapat terjadi
melalui peralatan yang terkontaminasi.
Penyebaran infeksi CMV dapat terjadi secara vertical dan horizontal. Penyebaran secara
vertical adalah penyebaran infeksi CMV dari ibu yang sedang hamil kepada janin dalam
kandungannya. Terdapat 3 jenis infeksi CMV pada ibu hamil yaitu: infeksi primer, reaktivasi
dan infeksi laten, dan reinfeksi. Yang dimaksud dengan infeksi primer yaitu infeksi CMV

14
pertama kali, mungkin terjadi pada waktu bayi, anak, remaja atau pada ibu hamil. Reaktivasi
atau infeksi rekurens adalah infeksi laten yang menjadi aktif kembali, sedangkan reinfeksi
adalah infeksi berulang oleh virus galur yang sama/berbeda. Virus dapat menjadi aktif kembali
(reaktif) pada ibu hamil atau pada seseorang yang sedang mendapat kemoterapi. Pada ibu
hamil, Insidens infeksi lebih sering terjadi dibandingkan dengan infeksi primer, tetapi infeksei
primer lebih sering menyebabkan infeksi kongenital. Penelitian terbaru menunjukkan infeksi
kongenital CMV dihubungkan dengan disfungsi plasenta akibat infeksi CMV pada plasenta.
Beberapa kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya penyebaran horizontal, yaitu kontak
intim dengan pasien, penyebaran melalui transfusi darah atau transplantasi jaringan, dan
penyebaran melalui hubungan seksual. Sitomegalovirus mempunyai daya virulensi rendah,
tetapi kontak yang intim dengan kasus infeksi CMV dapat menyebabkan terjadinya penularan
infeksi CMV. Kontak intim, melalui air liur dan urin, memungkinkan terjadinya infeksi. Stagno
mendapatkan bahwa tingginya prevalensi penyebaran infeksi CMV pada anak di daerah
perkotaan sangat dipengaruhi oleh factor kepadatan jumlah penduduk, bukun oleh karena
factor tempat tinggal, tingkat pengetahuan orang tua dan dari daearah mana kedua orang tua
anak tersebut.
Kejadian infeksi CMV tinggi pada anak usia 1-2 tahun, anak pada usia ini sudah mulai berjalan,
sering memasukkan segala benda yang dipegang kedalam mulut. Oleh karena itu, walaupun
mungkin terjadi penyebaran CMV lewat urin pada anak usia 1-2 tahun, tetapi infeksi CMV
lebih sering terjadi karena kontak tidak langsung, misalnya melalui mainan anak yang terbuat
dari bahan plastic yang dimiliki oleh anak yang diketahui mengeksresi CMV dari air liurnya.
Anak yang menderita CMV dapat menularkan penyakitnya pada ibunya atau pada bibinya yang
sedang hamil. Dilaporkan serokonversi positif sebesar 4,7% pada perawat yang bekerja di
ruang perawatan anak. Di duga 1% dari bayi baru lahir, 13-30% bayi premature dan 5-10%
anak yang urinnya ditemukan CMV positif yang merupakan sumber infeksi untuk mereka yang
bekerja di rumah sakit. Di tempat penitipan anak penyebaran CMV dapat juga terjadi karena
anak usia dibawah 2 tahun belum menjalankan toilet training sehingga para personel ditempat
penitipan anak dapat kontak dengan CMV yang di eksresikan lewat urin. Personal rumah sakit
mempunyai risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang bekerja di tempat
penitipan anak oleh karena dengan adanya prosedur baku seperti cuci tangan dan control
infeksi menyebabkan mereka mempunyai risiko yang lebih rendah untuk mendapat infeksi
non-parenteral.

15
Penyebaran lewat transfusi darah atau transplantasi jaringan (infeksi nosocomial) ditemukan
1-2 minggu setelah pemberian transfusi darah. Pada pasien yang dilakukan operasi jantung
terbuka, timbul gejala khas berupa demam, pembesaran KGB, pembesaran limpa, ruam, dan
ditemukannya limfositosis atipik pada 3% kasus. Dari suatu penelitian, di dapat insidens infeksi
CMV primer sebesar 7% pada resepien yang menerima tranfusi darah. Gejala infeksi CMV
akan timbul 3-12 minggu setelah pemberian transfusi darah dan 4 minggu sampai 4 bulan
setelah dilakukannya transplantasi jaringan dari donor yang positif menderita infeksi CMV.
Penyebaran lewat hubungan seksual banyak terjadi di Negara yang sedang berkembang, dan
menjadi penyebab infeksi CMV primer. Pernah seorang peneliti berhasil mengdentifikasi virus
DNA dari seorang pasien yang ternyata identic dengan virus DNA pada pasangan seksualnya.
Tipe infeksi CMV dapat dibagi menjadi infeksi pada ibu, bentuknya bisa primer atau rekurens
dan infeksi yang terjadi pada bayi. Bentuk infeksi dapat berupa kongenital atau perinatal.
Infeksi kongenital yaitu infeksi yang terjadi karena penularan virus dari ibu yang menderita
infeksi CMV ke janin yang dikandungnya melalui plasenta (transplasenta). Sedangkan infeksi
perinatal yaitu infeksi yang terjadi pada saat bayi baru lahir dan tekontaminasi virus yang
berada dalam jalan lahir, melalui air susu ibu, atau melalui transfusi.

Patogenesis
Tidak seperti halnya penyakit infeksi lain, misalnya rubella dan toksoplasma transmisi in-utero
terjadi pada ibu hamil yang pertama kali terinfeksi; pada CMV, transmisi utero dapat terjadi
baik pada infeksi primer atau pada infeksi rekurens. Sebagian besar infeksi CMV pada ibu
hamil tidak memberikan gejala. Infeksi CMV kongenital, 30-40% lebih sering ditemukan pada
infeksi primer. Selain itu, infeksi rekurens, bayi yang terkena infeksi kongenital mempunyai
gejala klinis yang lebih ringan daripada infeksi primer oleh karena imunitas ibu dalam beberapa
hal akan melemahkan infeksi terhadap janin. Umur kehamilan tidak mempengaruhi terjadinya
transmisi in-utero, tetapi infeksi primer yang terjadi pada umur kehamilan muda mempunyai
prognosis lebih buruk dibanding kehamilan tua. Pada kebanyakan ibu hamil, CMV dapat
ditemukan didalam sekret serviks dan urin selama kehamilannya, akan tetapi hasil isolasi
CMV dari ibu hamil tersebut dapat negatif walaupun bayinya menderita infeksi CMV
kongenital. Dengan demikian, hasil isolasi CMV dari urin ibu hamil tidak dapat dijadikan
indicator tidak adanya infeksi CMV kongenital.

16
Pada infeksi CMV kongenital, janin dalam kandungan akan terinfeksi CMV yang sebelumnya
telah menimbulkan infeksi pada plasenta. Dari plasenta, virus kemudian menyebar secara
hematogen ke janin. Terdapat teori yang menjelaskan kemungkinan terjadinya infeksi CMV
pada janin yang disebabkan reaktivasi infeksi CMV yang berasal dari endometrium,
myometrium dan kanalis servikalis. Teori yang lain mengatakan, infeksi CMV pada ovarium
atau semen yang mengandung CMV dapat menyebabkan terjadi infeksi CMV kongenital.

Patologi
Sitomegalovirus dapat menyerang susunan saraf pusat, mata, system hematopoetik, ginjal,
kelenjar endokrin, saluran cerna, paru dan plasenta. Ukuran sel organ yang diserang akan
menjadi bertambah besar dengan inti yang juga membesar, bulat ,oval atau berbentuk ginjal.
Pada sitoplasma dijumpai inclusion yang letaknya terpisah dari membrane inti sel. Inclusion
terdiri dari struktur DNA disebut juga owl’s eye appereance yang dengan pewarnaan PAS
(periodic acid-schiff) memberikan hasil positif.
Infeksi pada susunan saraf pusat adalah meningitis atau periependimitis. Infeksi pada SSP
dapat menimbulkan kalsifikasi pada otak. Virus kadang-kadang dapat diisolasi dari cairan
serebrospinal. Sedangkan kelainan pada mata menyebabkan korioretinitis, neuritis optic,
katarak, koloboma dan mikroftalmia. Secara klinis dapat ditemukan pembesaran hati, dengan
kadar bilirubin direk dan transaminase serum yang meninggi. Secara patologis dijumpai adanya
kolangitis intralobular, kolestatis obstruktif yang akan menetap selama masa anak. Inclusion
dijumpai pada sel kuppfer dan epitel saluran empedu, mungkin hal ini menyebabkan terjadinya
atresia biliaris. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa lesi patologis hati akan berkembang
menjadi kronik dan tidak ada satu kasus pun yang berkembang menjadi sirosis hati. Pada ginjal,
tidak terjadi perubahan makroskopik tetapi secara mikroskpik. Inclusion dapat terlihat pada
tubulus distal, collecting duct dan kadang-kadang pada kapsul bowman dan tubulus proksimal.
Infeksi CMV danpat mengenai kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, pancreas, dan hipofisis bagian
depan. Kelainan paru oleh infeksi CMV dapat menyebabkan reaksi peradangan ringan,
pneumonitis, tetapi tidak pernah dilaporkan kasus fatal kecuali pada bayi prematur yang
mendapat transfusi darah dari donor yang ternyata menderita infeksi CMV. Kelainan pada
system hematopoietik yang dijumpai adalah trombositopenia dan anemia.

17
Manifestasi Klinis
Manifestrasi klinis infeksi CMV sangat bervariasi, dapat dibagi atas:
 Infeksi CMV kongenital, dapat terjadi akut atau sebagai penyulit lanjut
 Infeksi CMV perinatal
 Infeksi CMV akibat transfusi darah dan transplantasi jaringan dan individu dengan
imunokompromais

Infeksi CMV Kongenital


a. Infeksi Akut
Gejala klinis pada infeksi CMV kongenital akut dapat berupa hepatomegali dengan
ukuran dapat mencapai 4-7 cm dibawah arcus costa kanan, permukaan rata dan tidak
ada nyeri tekan. Hepatomegali dapat berlangsung sampai bayi berusia 2 bulan tetapi
dapat juga ditemukan sampai usia 12 bulan. Seperti hepatomegali, pembesaran limpa
merupakan gejala yang sering ditemukan pada bayi dengan infeksi CMV kongenital.
Ukuran limpa dapat membesar sampai 10-15 cm dibawah arkus kosta kiri.
Splenomegali biasanya lebih lama menetap dibandingkan dengan hepatomegali. Pada
infeksi CMV kongenital, seringkali hanya dijumpai splenomegaly dan ptekia. Ikterus
merupakan manifestasi klinis yang sering ditemukan. Pola hiperbilirubinemia
bervariasi, bisa ditemukan segera setelah lahir atau bertahap. Ikterus kadang-kadang
dapat terjadi pada masa bayi dini dengan kadar puncak bilirubin pada bulan ke-3
kehidupan. Bilirubin direk dan indirek meninggi, bilirubin direk meninggi setelah
beberapa hari dan dapat mencapai 50% dari bilirubin total. Komponen bilirubin indirek
jarang meninggi sampai memerlukan trasnfusi ganti.
Pada infeksi CMV kongenital akut, petekia dapat merupakan satu-satunya gejala klinis
yang ditemukan, tetapi lebih sering ditemukan bersama-sama hepatomegali dan
splenomegaly. Petekia dapat menetap sampai beberapa minggu setelah lahir, bahkan
ptekia dapat timbul karena menangis, batuk atau tindakan seperti tourniquet setelah
anak berusia beberaapa bulan. Ditemukan adanya pengaruh langsung dari CMV
terhadap megakariosit dengan akibat menurunnya jumlah trmobosit. Pada kebanyakan
kasus, jumlah trombosit pada minggu pertama berkisar antara 20.000-60.000. Pada
beberapa kasus, petekia tidak mempunyai hubungan dengan trmobositopenia.

18
Mikrosefali bukan merupakan manifestasi klinis yang mencolok, oleh karena dengan
kemajuan teknik diagnostic dan kewaspadaan yang lebih meningkat terhadap penyakit
ini mengakibatkan banyaknya kasus infeksi CMV yang lebih dini/ringan ditemukan.
Stagno menemukan mikrosefali pada 14 diantara 17 kasus infeksi CMV tetapi pada
laporan selanjutnya dia menemukan mikrosefali 50% diantara 212 kasus yang diteliti.
TIdak semua bayi mempunyai mikrosefali yang menetap, terutama bila ukuran
lingkaran kepala pada waktu lahir mendekati persentil 5. Bila terjadi kalsifikasi,
pertumbuhan otak secara bervariasi dapat terganggu. Pada toksoplasmosis, adanya
kalsifkasi merupakan suatu indicator bahwa bayi di kemudian hari akan mengalami
retardasi mental sedang sampai berat,
Kelainan utama pada mata yang sering ditemukan adalah korioretinitis. Kelainan lain
yang lebih jarang adalah mikroftalmos, katarak, nekrosis retina, kebutaan, malformasi
COA, dan malformasi diskus optikus. Maka, apabila ditemukan mikroftalmos dan
katarak, dapat diduga bahwa kelainan tersebut bukan disebabkan oleh CMV.
Korioretintis terjadi hampir 14% kasus, lebih sedikit dibandingkan dengan
toksoplasmosis kongenital. Korioretinitis yang disebabkan oleh kedua penyakit ini sulit
dibedakan, tetapi korioretinitis karena toksoplasmosis jarang aktif pada pascanatal
biasanya lebih inaktif pada awal masa bayi.
Intrauterine growth retardation (IUGR) telah dilaporkan terjadi pada 40% diantara 34
kasus, sedangkan prematuritas terjadi pada 34% bayi dengan infeksi CMV kongenital.
Berat badan bayi yang menderita infeksi CMV kongenital secara bermakna lebih
rendah dari bayi sehat. Pada CMV kongenital juga dapat disertai kelainan gigi, lapisan
email gigi menjadi tipis dan gigi berwarna gelap. Pneumonitis jarnag dijumpai pada
infeksi CMV kongenital, tetapi lebih sering ditemukan pada infeksi perinatal dan pasca
transplantasi.

b. Penyulit Lanjut pada Infeksi CMV Kongenital


Tuli sensoris merupakan kecacatan yang paling sering disebabkan oleh infeksi CMV.
Medearis, dikutip dari Stagno, merupakan penulis pertama yang menemukan tuli
sensoris pada kasus infeksi CMV kongenital. Laporan berikutnya menyatakan bahwa
kelainan ini dapat dijumpai pada kasus infeksi kongenital yang asimptomatik pada
waktu lahir. Sitomegalovirus dapat mengadakan replikasi pada berbagai struktur
telinga dalam, seperti pada membrane Reissner, stria vaskularis, kanalis semilunaris
pada organ corti, dan nervus VIII. Pada umumnya tuli sensoris lebih banyak ditemukan

19
pada infeksi kongenital yang simtomatik, tetapi karena sukar melakukan pemeriksaan
fungsi pendengaran pada bayi maka sulit mengatakan berapa banyak kasus infeksi
kongenital simtomatik yang menderita kelainan pada waktu lahir/masa bayi. Hampir
50% kasus gangguan pendengaran terjadi atu makin memberat setelah umur 1 tahun.
Kebanyakan kasus terjadi pada umur 2-3- tahun, walaupun beberapa kasus mengalami
onset gangguan pendengaran pada umur yang lebih tua.
CMV merupakan virus tersering yang menyebabkan gangguan perkembangan/retardasi
mental. Stagno, menemukan bahwa gangguan psikomotor yang ditemukan bersamaan
dengan gangguan neurologic dan mikrosefal; ditemukan pada 70% kasus infeksi
kongenital simtomatik yang hidup. Pada suatu penelitian untuk menentukan prognosis
dan predictor klinis dari gangguan perkembangan, ditemukan 41% kasus infeksi
kongenital mengalami retardasi mental apabila nilai IQ < 70, dari korelasi sederhana
ditemukan bahwa mikrosefal waktu lahir, gangguan neurologic pada 1 tahun pertama,
korioretinitis dan mikrosefal yang makin jelas setelah lahir mempunyai hubungan
dengan IQ yang rendah dan devolemental quotient.

Infeksi CMV Perinatal


Untuk menegakkan diagnosis infeksi perinatal, harus disingkarkan terlebih dahulu
kemungkinan infeksi kongenital, dibuktikan tidak ditemukannya ekskresi virus dalam 2-3
minggu pertama kehidupan. Masa inkubasi infeksi CMV perinatal biasanya antara 4-12
minggu. Infeksi CMV kongenital perlu dibedakan dengan perinatal oleh karena infeksi CMV
kongenital mempunyai morbiditas dan gejala sisa yang lebih berarti. Kebanyakan infeksi CMV
perinatal asimptomatik dan berasal dari reaktivasi/infeksi rekurens oleh karena mempunyai
kadar antibody yang beragam. Manifestasi klinis kebanyakan berupa pneumonitis yang terjadi
pada umur <4 bulan. Bayi premature dan bayi cukup bulan yang menderita penyakit lain
mempunyai risiko lebih tinggi.
Pada infeksi CMV perinatal sering dijumpai prematuritas, hepatosplenomegaly, neutropenia,
limfositosis dan trombositopenia. Infeksi CMV perinatal dapat pula terjadi sebagai akibat
transfusi darah dan transplantasi jaringan dari donor yang mengalami infeksi CMV.
Manifestasi klinis berupa hepatomegaly, limfositosis, trombositopenia, dan anemia hemolitik.

20
Infeksi CMV akibat transfusi darah dan tranfusi jaringan dan individu dengan
imunokompromais
Pada individu imunokompramais, risiko infeksi CMV meningkat untuk mendapatkan infeksi
primer dan infeksi ulang. Infeksi primer dengan manifestasi berupa pneumonitis (paling
sering), hepatitis, chorioretinitis, penyakit gastrointestinal, atau demam dengan leukopenia,
seringkali berakibat fatal. Pada pasien penerima transplantasi tulang belakang, dan pasien
dengan AIDS, mempunyai risiko terbesar.
Pneumonia, retinitis, dan kelainan system saraf pusat dan traktus gastrointestinal biasanya
progresif dan berat. Ulserasi submukosal dapat terjadi dimanapun dalam traktus
gastrointestinal. Komplikasi yang sering terjadi yaitu perdarahan dan perforasi, demikian juga
pankreatitis dan kolesistitis dapat terjadi.

Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis infeksi CMV pada bayi baru lahir diperlukan berbagai
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologic, sidik DNA (DNA probe), dan pemeriksaan
lain yang tidak spesifik. Standar emas penegakan diagnosis CMV kongenital adalah dengan
mendeteksi virus dalam urin (atau saliva) dengan efek sitopatik dalam kultur jaringan. Proses
ini dapat memakan waktu 3 minggu namun deteksi antigen dapat dilakukan dalam 24 jam
pertama setelah infeksi dengan hasil yang cukup sensitive dan spesifik.

Isolasi virus
Infeksi CMV aktif dapat dideteksi dengan baik melalui isolasi virus dari cairan serebrospinal,
urin, saliva, bilas bronkoalveolar, ASI, sekresi servikal, buffy coat dan jaringan yang dihasilkan
dari biopsy. Identifikasi cepat (24jam) sain menjadi hal yang rutin, kultur dengan menggunakan
metode sentrifugasi yang dipercepat didasarkan pada deteksi awal antigen CMV menggunakan
antibody monoclonal.
Infeksi juga dapat didiagnosa in utero dengan isolasi virus dari cairan amnion. Kultur yang
negative tidak menyingkarkan infeksi fetal karena interval antara infeksi maternal dengan
infeksi fetal belum diketahui. Infeksi CMV kongenital dapat didiagnosis dengan isolasi virus
3 minggu pertama kehidupannya.
Urin lebih disukai sebagai bahan untuk isolasi virus karena mengandung jumlah virus yang
lebih banyak dibandingkan air liur.

21
Pemeriksaan Serologik
Apabila bayi mengalami infeksi CMV kongenital, IgG anti CMV akan memberikan hasil
positif dengan titer yang semakin meninggi sampai bayi berusia 4-9 bulan. Pemeriksaan untuk
mengetahui adanya IgG anti CMV adalah cara complement fixation test, ELISA, anti
complement imunofluoresence, radio immunoassay (RIA) dan hemaglutination indirect. Selain
IgG anti CMV, maka dapat juga dilakukan pemeriksaan IgM anti CMV pada bayi yang lebih
besar. Imunoglobulin M anti CMV dapat diperiksa dengan cara ELISA dan RIA.

Pemeriksaan rheumatoid factor


Janin yang mengalami infeksi CMV kongenital dan bayi baru lahir yang terkena infeksi CMV
perinatal akan memproduksi rheumatoid factor. Selain infeksi CMV, rheumatoid factor
ditemukan positif pada infeksi rubella, toksoplasmosis dan sifilis. Dengan demikian, apabila
pemeriksaan rheumatoid factor positif, mungkin terdapat infeksi CMV, sehingga beberapa
peneliti menyatakan bahwa rheumatoid factor dapat dipakai sebagai skrining pada neonatus.

Pemeriksaan IgM

Peninggian kadar IgM pada bayi baru lahir dapat dijadikan uji monitoring yang bersifat tidak
spesifik. Pemeriksaan IgM pada tali pusat ataupun darah dari bayi dapat menduga adanya
infeksi CMV kongenital tetapi mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah, oleh karena
hanya sekitar 70% kasus infeksi CMV kongenital pad bayi yang di dapat dideteksi.

Pemeriksaan IgG
IgG CMV yang negative pada darah tali pusat bayi menunjukkan tidak adanya infeksi CMV
kongenital, tetapi jika positif ada dua kemungkinan yaitu disebabkan transfer pasif dari ibu
atau adanya indikasi infeksi kongenital.
Meningkatnya antibody IgG dapat disebabkan oleh infeksi primer maupun ulang dan harus
diinterpretasikan dengan hati-hati. Untuk mengukut IgG predominan, diperlukan serum
specimen serial sejak lahir yang berguna untuk membedakan kelainan kongenital dari infeksi
natal atau pascanatal

22
Polimerase Chain Reaction (PCR)
Diagnosis infeksi CMV secara cepat dapat dilakukan dengan pemeriksaan DNA CMV.
Pemeriksaan berkala DNA-CMV darai darah perifer dengan pemeriksaan kuantitatif PCR
dapat berguna untuk mengidentifikasi penderita berisiko tinggi dan memantau efek terapi
antiviral. PCR dan hibridisasi merupakan teknik pemeriksaan yang cepat, yang dewasa ini
sering dilakukan secara rutin untuk mendeteksi CMV. Pemeriksaan cairan serebrospinal
dilakukan untuk menegakkan diagnosis ensefalitis CMV.

Radiografi
Pada neonatus dengan infeksi CMV kongenital simtomatis, CT scan dan MRI kepala
merupakan predictor yang baik untuk melihat keluaran perkembangan neuro developmental.
Abnormal CT scan kepala dengan kalsifikasi intraserebral paling sering ditemukan, berupa
klasifikasi periventikular dan ventrikulomegali. Sebagai tambahan, gejala klinis dan
pemeriksaan laboratorium tidak dapat memprediksi kelainan neuroradiografi pada neonatus
dengan infeksi CMV kongenital simptomatis.

Pengobatan
Sampai sekarang pengobatan infeksi CMV belum memuaskan, masih dilakukan penelitian uji
klinis untuk mendapatkan anti virus yang efektif dan tidak toksik. Anti virus yang ada saat ini
dan telah dicoba untuk pengobatan infeksi CMV kongenital dan perinatal adalah idoksiviridae,
5-fluro-2’deoksiriviridae, sitosin arabinosid, adenin arabinosid, asiklovir, interferon, interferon
stimulator, dan gansiklovir. Di Amerika Serikat, gansiklovir direkomendasikan untuk
pengobatan retinitis dan koroiditis pada infeksi CMV.
Dua agen antivirus yang dipakai yaitu gansiklovir dan foscarnet. Gansiklovir merupakan
nuklosid trifosfat dan berfungsi suatu terminator DNA. Sedangkan Foscarnet analog pirofosfat
sebagai suatu inhibitor selektif terhadap DNA polimerase.
Gansiklovir dikombinasikan dengan imunoglobulin, yaitu imunoglobulin intravena standar
(IVIG) atau hiperimun CMV IVIG, telah digunakan untuk infeksi CMV pada penderita dengan
imunokompromais (penerima transplantasi sumsum tulang, ginjal, jantung, dan penderita
dengan AIDS). Dua regimen yang dipublikasikan adalah:
 Gansiklovir (7,5 mg/kg/24 jam IV dibagi setiap 8 jam selama 14 hari), dengan CMV IVIG
(400 mg/kg pada hari ke-1,2 dan 7 serta 200 mg/kg pada hari ke-14.

23
 Gansiklovir (7,5 mg/ kg/ 24 jam IV dibagi setiap 8 jam selama 20 hari) dengan IVIG 500
mg/kg untuk hari sesudahnya selama 10 hari.

Pemberian gansiklovir intravena dikhawatirkan dapat menyebabkan supresi sumsum tulang


yang dihubungkan dengan dosis obat, yang umumnya berupa neutropenia, anemia dan
trombositopenia, yang dapat kembali normal setelah penghentian obat.
Gansiklovir juga tersedia dalam sediaan oral untuk pasien AIDS yang terinfeksi CMV, namun
sediaan ini kurang diabsorbsi dalam saluran cerna. Obat ini terutama digunakan sebagai terapi
untuk CMV retinitis, dengan dosis 1 gram, 3 kali sehari. Bentuk oral lain yang lebih baik
penyerapannya adalah derivat gansiklovir yaitu valgansiklovir, dengan dosis 900 mg/ hari dan
sudah terbukti efektif pada orang dewasa. Efek sampingnya meliputi leukopenia ringan dan
neutropenia. Pemberian gansiklovir ini umumnya disertai dengan hyperimmuneglobulin,
terutama bagi pasien dengan transplantasi organ.
Obat lain yang dapat digunakan adalah foscarnet, dengan dosis 90-180 mg/kgbb/hari, dan
umumnya digunakan untuk mengobati CMV retinitis pada pasien AIDS.
CMV retinitis dan penyakit gastrointestinal muncul dan secara klinis responsif terhadap terapi,
tetapi sering berulang. Toksisitas terhadap terapi, tetapi sering berulang. Toksisitas dengan
gansiklovir sering terjadi dan sering menjadi berat, termasuk neutropenia, trombositopenia,
disfungsi hati, reduksi pada spermatogenesis, dan gangguan gastrointestinal dan renal.
Foscarnet adalah alternatif agen antiviral, meskipun informasi penggunaannya pada anak-anak
masih terbatas. Obat ini bersifat nefrotoksik, efek samping yang lain yaitu kejang,
hipokalsemia, nause, ataksia, dan perubahan status mental tetapi tidak myelotoksik. Foscarnet
digunakan pada penderita yang secara klinik resisten dan intoleransi terhadap gansiklovir, telah
dicatat kurang lebih pada 10% penderita AIDS yang sudah mendapat gansiklovir selama > 3
bulan. Dosis pemberiannya telah diteliti yaitu 60 mg/kg/ hari dengan didapatkan efek samping
tercatat lebih sedikit dibanding dengan dosis 90-120 mg/kg/hari.

Infeksi Kongenital
Penelitian tahap II dengan gansiklovir (12 mg/kg/24 jam untuk total 6 minggu) memperlihatkan
peningkatan pendengaran atau stabilisasi pada 5 dari 30 bayi. Penelitian acak dari infeksi CMV
kongenital simptomatik menampakkan kemajuan.

24
Evaluasi
Bayi baru lahir dengan infeksi CMV kongenital harus dievaluasi seberapa jauh sistem organ
yang terkena, terutama sistem saraf pusat. Pemeriksaan CT scan otak penting untuk mengetahui
seberapa jauh keterlibatan otak, adanya atropi otak, ventrikulomegali, hidreosefalus, atau
kalsifikasi intrakranial. Pemeriksaan mata dan retina sebaiknya dilakukan oleh oftalmologis
yang berpengalaman. Pemeriksaan mata secara periodik dapat mendeteksi adanya retinitis
onset lambat. Pemeriksaan brainsteam auditory evoked response setiap tahun diindikasikan
untuk menilai adanya gangguan pendengaran. Pengamatan perkembangan anak perlu
dilakukan lebih teliti sehingga deteksi dini dapat dilakukan seoptimal mungkin.

Aspek kesehatan masyarakat


Sitomegalovirus mempunyai daya virulensi rendah, tetapi virus ini merupakan penyebab paling
sering infeksi kongenital pada manusia dengan gejala sisa berupa tuli sensoris dan retardasi
mental. Telah disebutkan terdahulu bahwa infeksi CMV dapat terjadi pada bayi baru lahir, pada
masa anak, remaja, ibu hamil, pada mereka yang mendapatkan transfusi darah dan transplantasi
jaringan / organ. Oleh karena itu, perlu difikirkan cara-cara yang dapat dipergunakan untuk
mencegah terjadinya penyebaran vertikal dan horizontal infeksi CMV ini.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi CMV melibatkan
tidak hanya mereka yang bertugas sebagai tenaga medis / paramedis, tetapi juga melibatkan
tenaga non-medis. Penjelasan yang dapat diberikan oleh tenaga medis/paramedis untuk
mencegah terjadinya infeksi CMV, antar lain:
(1) Penjelasan epidemiologi penyakit CMV dan prosedur kesehatan baku kepada mereka yang
tergolong risiko tinggi untuk mendapatkan infeksi CMV.
(2) Penjelasan kepada ibu atau individu imunokompromais agar menghindari kontak dengan
kasus infeksi CMV.
(3) Penjelasan kepada para petugas yang bekerja di tempat penitipan bayi agar memperhatikan
kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah mengganti popok bayi.

Tenaga medis dan paramedis diharapkan pula agar tetap memperhatikan protokol yang baku
dalam mengelola kasus infeksi CMV di rumah sakit. Donor yang akan memberikan darahnnya
atau organ pada orang lain ahendaknya diseleksi terhadap kemungkinan menderita infeksi
CMV. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya infeksi CMV nosokomial.

25
Prognosis
Bayi dengan infeksi CMV kongenital simtomatik mempunyai angka mortalitas 10-15%. Dan
sekitar 50-90% yang masih hidup akan mengalami kelaianan dengan gejala sisa berupa tuli
sensoris, retardasi mental, gangguan tumbuh kembang, palsi serebral, epilepsi, kelainan
penglihatan dan mikrosefali.
Prognosis pada infeksi CMV yang di dapat, secara umum baik untuk penderita yang
sebelumnya kondisinya baik. Pasien yang berkembang menjadi sindrom Guillain-Barre,
sembuh dengan sempurna. Infeksi CMV yang dikarenakan tranfusi darah prognosis baik pada
penderita yang tidak imunokompromais, kecuali pada bayi kecil preterm yang menerima darah
dari donor dengan antibodi CMV positif. Pasien dengan CMV mononucleosis biasanya
sembuh total, sekalipun beberapa memiliki gejala yang berkepanjangan. Sebagain besar pasien
imunokompromais juga sembuh, tetapi dari pengalaman, pasien dengan pneumonitis berat,
mempunyai tingkat kefatalan tinggi bila tarjadi hipoksemia. Infeksi CMV mungkin merupakan
peristiwa akhir pada individu dengan kerentanan terhadap infeksi yang meningkat, seperti
pasien dengan AIDS.

Infeksi Kongenital
Prognosis pada infeksi kongenital CMV sulit diprediksi. Penderita dengan lingkar kepala
kurang pada saat lahir atau dengan kalsifikasi serebral pada saat 2 bulan pertama kehidupan
biasanya mempunyai retardasi psikomotor sedang sampai berat.
Neonatus dengan infeksi kongenital CMV simtomatik memiliki angka mortalitas antara 10-
20%. Prognosis untuk pertumbuhan normal pada penyakit sitomegalovirus simtomatik sangat
kecil. Lebih dari 90% dari anak-anak ini menunjukkan adanya kerusakan fungsi syaraf sentral
dan pendengaran pada tahun-tahun sesudahnya. Pada bayi dengan infeksi subklinis,
penampakan lebih baik. Yang perlu diperhatikan adalah perkembangan berikutnya dari
kehilangan pendengaran sensorineural (5-10%), korioretinitis (3-5%), dan manifestasi lain
seperti abnormalitas perkembangan, mikrosefali, dan defisit neurologis.

Pencegahan
Pencegahan infeksi yang paling penting selama kehamilan adalah menghindari daerah yang
risiko penularannya tinggi seperti tempat perawatan bayi, tempat penitipan anak, dan tempat
anak-anak berkumpul, cuci tangan yang baik, dan cara menangani bahan yang infeksisus harus
diperhatikan. Pencegahan infeksi primer yang lain melalui hubungan seksual, transfusi darah
dan transplantasi jaringan juga perlu dipikirkan. Penggunaan komponen darah bebas CMV,

26
terutama untuk bayi prematur, dan bila mungkin, pemanfaatan organ dari donor bebas CMV
untuk transplantasi yang merupakan hal penting untuk mencegah infeksi CMV dan pada
pasiaen berisiko tinggi.
Wanita hamil dengan seropositif mempunyai risiko rendah melahirkan bayi simptomatik. Jika
mungkin, wanita hamil harus melakukan tes serologi CMV. Mereka yang CMV seronegatif,
harus diberitahu untuk mencuci tangan dengan baik dan menjaga kebersihan lainnya dan
mencegah kontak dengan sekresi oral dengan orang lain.

Langkah-langkah pencegahan penularan infeksi CMV pada ibu hamil seronegatif:


1. Asumsikan bahwa semua anak yang berusia 3 tahun di lingkungan sekitar ibu hamil
terinfeksi CMV dalam urin dan saliva mereka
2. Cucilah tangan hingg bersih dengan menggunakan sabun dan air hangat setiap selesai:º
 Mengganti popok dan mencuci pakain kotor anak
 Menyuapi makan atau memandikan anak
 Membuang ingus anak
 Memgang mainan, alat-alat milik mereka
3. Jangan :
 Berbagi cangkir minum, sikat gigi atau makanan
 Mencium anak pada/sekitar mulutnya
 Berbagi handuk atau saputangan dengan anak
 Tidak di tempat tidur yang sama dengan anak

Membekukan atau mengemas ASI pada suhu -20ºC selama 3-7 hari secara signifikan
menghilangkan titer CMV tetapi tidak menghilangkan infektivitas secara lengkap. Pasteurisasi
(62,5ºC) diperlukan menetralkan virus, tetapi ini tidak rutin dilakukan karena tidak tersedia
alatnya.
Vaksinasi tidak dapat diharapkan dapat memberikan pencegahan yang lebih baik dibanding
infeksi alamiah sebelumnya, dimana dapat mencegah infeksi kongenital.
a. Imunoprofilaksis Pasif
Pemanfaatan IVIG dan CMV IVIG untuk profilaksis terhadap infeksi, pada penderita
dengan transplantasi tulang belakang dan organ padat mengurangi resiko gejala
penyakit tetapi tidak melindungi dari infeksi. MAnfaat dari profilaksis lebih nyata pada
saat resiko mendapat infeksi CMV primer besar, seperti pada transplantasi tulang
belakang.

27
Regimen yang direkomendasikan IVIG (1000mg/kg) atau CMV IVIG (500mg/kg)
diberikan intravena sebagai dosis tunggal simulai dari 72 jam setelah transplantasi dan
sekali seminggu sampai hari ke 90-120 setelah operasi.

b. Imunisasi Aktif
Keuntungan imunisasi sifatnya substansial, seperti terlihat bahwa hampir semua
penyakit berat mengikuti infeksi primer, terutama pada infeksi kongenital infeksi yang
di dapat dari transfuse, dan infeksi pada penerima transplantasi organ. Kelompok yang
perlu mendapat vaksin CMV termasuk wanita seronegatif pada usia subur dan penerima
transplantasi seronegative.
Vaksin hidup seperti prototype rantai Towne sifatnya imunogenik, tetapi imunitas
berkurang cepat. Virus vaksin tidak tampak transmissible. Vaksin tidak melindungi
penerima transplantasi ginjal dari infeksi CMV, tetapi terlihat bisa mengurangi
virulensi dari infeksi primer. Dalam penelitian tentang efikasi vaksin pada wanita
dewasa normal, vaksin rantai Towne tidak memberi proteksi terhadap infeksi alami.
Tipe vaksin lainnya, seperti vaksin subunit dan rekombinan, sedang diteliti pada
percobaan klinik.

4. Herpes Simpleks Virus

Virus herpes pada manusia meliputi virus herpes hominis (herpes hominis), virus sitomegalo,
virus varisela-zoster dan virus Epstein-Barr. Virus ini selain menyebabkan infeksi yang aktif,
dapat juga menetap hidup dalam sel pejamu, menghasilkan infeksi laten yang pada suatu saat
dapat mengalami reaktivasi. Telah diketahui bahwa sebagian besar manusia pernah mengalami
infeksi virus herpes selama hidupnya. Virus herpes yang menyebabkan infeksi umum pada
mulut dan genital disebut virus herpes simpleks. Virus herpes simpleks merupakan virus yang
paling banyak dipelajari dibandingkan virus herpes lainnya.
Dua tipe virus herpes simpleks yang diketahui menyebabkan infeksi pada kult dan lapisan
mukosa adalah virus herpes simpleks tipe-1 yang masuk melalui oral dan virus herpes simpleks
tipe-2 yang masuk melalui genital. Virus varicella-zoster menyebabkan chicken pox (varisela)
dan herpes zoster. Virus sitomegalo menyebabkan hepatitis, pneumonia dan infeksi kongenital
yang serius. Virus Epstein-Barr dikenal merupakan penyebab mononucleosis infeksiosa, tetapi
virus ini juga dikatakan terlibat pada kanker tertentu pada manusia.

28
Etiologi
Virus herpes yang relative besar, kompleks dengan molekul DNA double-stranded yang
sanggup mengikat 50-80 protein. Virus ini bereplikasi dan berkumpul didalam inti sel,
kemudian virus ini tumbuh dan terbungkus di dalam bagian inti dan membrane sitoplasma.
Kita tidak dapat membedakan dengan cepat masing-masing anggota virus herpes dengan
mikroskop electron, karena virus tersebut terlihat sangat mirip. Walaupun demikian, mereka
dapat dibedakan dengan pemeriksaan serologic dan hibridisasi DNA. Sebagian besar virus
herpes secara relative tidak berhubungan dalam hal antigennya atau homolog DNA, kecuali
kedua virus herpes simpleks, tipe-1 dan 2, yang mirip satu sama lainnya. Antibody terhadap
protein tipe-1 bereaksi dengan protein tipe-2, tetapi protein ini secara keseluruhan bersifat unik
terhadap masing-masing tipe sejauh telah diidentifikasi akhir-akhir ini. DNA dari satu tipe
herpes simpleks dapat berhibridisasi terhadap DNA tipe lainnya dengan kira-kira setengah
kemampuannya berhubdirisasi terhadap diri sendiri.
Genome dari kelma virus herpes yang menyebabkan infeksi pada manusia adalah unik. Virus
tersebut panjang, berupa molekul yang linier double-stranded dengan beberapa susunan yang
berulang dan terbalik. Pada virus herpes simpleks berbagai susunan dari segmen utama akan
menghasilkan empat bentuk isometric dari genome.

Transmisi
Infeksi oleh satu atau lebih virus herpes mungkin terjadi dengan segera atau dikemudian hari
pada kehidupan manusia. Virus herpes tipe-1 sering menyebar melalui ciuman atau
pemindahan saliva. Sebagian besar anak tertular virus tersebut, tetapi bila mereka terhindar
mereka akan terinfeksi setelah terdapat aktivitas seksual baik melalui kontak oral-oral atau
oral-genital. Dua per tiga sampai tiga per empat orang dewasa memiliki antibody terhadap
virus herpes simpleks tipe-1, hal ini menunjukkan adanya infeksi sebelumnya.
Virus herpes simpleks tipe-2 juga terebar melalui kontak oral-oral dan oral-genital, tetapi
terutama menyebar melalui kontak genital-genital. Infeksi virus ini jarang terjadi sebelum
adolesens, tetapi prevalensi infeksi muncul dengan cepat dengan adanya aktivitas seksual.
Kira-kira seperenam sampai seperempat dari semua orang dewasa telah mengalami infeksi
dengan virus ini, tergantung dari frekuensi aktivitas seksual mereka. Sebagian besar infeksi
virus herpes simpleks bersifat asimptomatik. Mungkin hanya sepertiga dari individu yang
terinfeksi virus tersebut dikenali gejalanya. Secara klinis bukti infeksi dengan virus herpes tipe-
2 meningkat, perkiraan besar kasar menunjukkan peningkatan kira-kira 10 kali lipat dari 1965
sampai 1985.

29
Virus herpes sangat rapuh dan peka terhadap kekeringan dan dapat inaktif akibat panas,
detergen dan pelarut ringan. Virus herpes dapat menimbulkan infeksi pada manusia melalui
berbagai jalur yang berbeda. Membrane mukosa mulut, mata, genital, saluran nafas dan anus
adalah tempat yang paling siap untuk diinfeksi virus herpes simpleks. Pertahanan pertama yang
kita miliki terhadap infeksi virus ini adalah kulit. Tampaknya ketebalan kulit, lapisan tanduk
kulit mencegah masuknya virus. Membrane mukosa tidak memiliki barrier yang seperti itu
sehingga mudah terinfeksi.

Patogenesis dan Patologi


Herpes simpleks mempunyai tendensi menimbulkan infeksi pada sel yang berasal dari
ektoderm dan pada sebagian besar kasus replikasi virus awalnya terjadi pada tempat masuk,
biasanya pada kulit atau membrane mukosa. Sel yang terinfeksi akan membengkak dengan
edema intraseluler dan berdegenerasi. Nucleus sel yang terkena menunjukkan eosinophilic
intranuclear inclusion dan marginated nuclear chromatin, yang seringkali pada preparat yang
difiksasi tampak terpisah dengan inclusion oleh sebuah halo. Apabila sel mengalami trauma
dan peradangan local, edema intraseluler akan berkembang dan membentuk vesikel pada
daerah yang terkena. Secara makroskopik vesikel ini dikelilingi oleh eritema. Kemudian
vesikel akan mengalami infeksi sekunder oleh bakteri pada flora normal kulit, membentuk
pustule yang kemudian mongering dan berkrusta. Lesi ini hanya superfisial dan tidak terbentuk
jaringan parut. Vesikel pada membrane mukosa sangat cepat menghilang dan biasanya yang
terlihat pertama kali adalah gambaran ulserasi.
Bila infeksi virus herpes mengenai mata, maka akan menimbulkan konjungtivitis atau lebih
lagi menimbulkan keratitis. Keratitis dapat minimal berupa opasitas kecil pada kornea, dapat
juga melebar membentuk gambaran dendrit yang berkembang menjadi ulserasi, jaringan parut
dan kebutaan yang nyata. Virus herpes memiliki predileksi untuk sel yang berasal dari
ectoderm. Tidak mengherankan bahwa virus tersebut akan menyerang susunan saraf puast.
Ensefalitis dapat menyertai atau mengikuti infeksi HSV, tetapi dapat juga timbul saat
terjadinya reaktivasi.
Mengikuti infeksi primer herpes simpleks, diduga bahwa virus tersebut tetap laten dan dapat
mengalami reaktivasi dalam keadaan tertentu. Walaupun demikian, tampaknya virus ini tetap
laten pada sel epidermis seperti pada infeksi primer. Teori terbaru, berdasarkan pengalaman
dan observasi klnis, menunjukkan bahwa infeksi HSV tetap laten pada ganglion saraf yang
mempersarafi bagin kulit (membrane mukosa) yang pertama kali terkena. Jadi seseorang yang
mengalami infeksi HSV berulang hampir selalu mengalami reaktivasi lesi HSV pada daerah

30
yang identic. Dengan stimulasi yang adekuat, HSV laten akan mengalami reaktivasi dan
bergerak kebawah melalui elemen saraf dari ganglion ke daerah kulit yang dipersarafi oleh
nervus sensori tersebut.
Setelah infeksi primer virus herpes simpleks, sebagian besar individu membentuk suatu
respons imun yang sesuai. Setelah kontak pertam adengan HSV titer antibody ini tetap stabil
dan tidak berubah secara signifikan, bahkan dengan reaktivasi virus yang laten. Munculnya
imunitas serum yang spesifik mungkin menghambat keseluruhan infeksi virus. Cell-mediated
immunity (CMI) mungkin penting untuk mengontrol infesi HSV. Apapun yang menghambat
atau mengurangi CMI dapat menimbulkan penyebaran luas virus ini.
Bila infeksi virus herpes simpleks terjadi pada individu dengan imunokompromais, virus
tersebut dapat menyebar secara luas melibatkan visera dan bukan hanya sel yang berasal dari
ectoderm. Kerusakan hati yang luas telah ditemukan pada infeksi HSV dari pemeriksaan post
mortem. Hal ini menjadi bukti bahwa penyebaran luas pada visceral dapat ditemukan.

Manifestasi Klinis

Herpes Neonatus
Herpes neonatus didapat melalui infeksi intrauterine, perinatal atau postnatal. Infeksi HSV
intrauterine, berbeda dengan infeksi HSV perinatal dan postnatal, biasanya jarang terjadi hanya
sekitar 5% dari infeksi HSV pada neonatus. Bayi yang terinfeksi intrauterine mempunyai ciri-
ciri lesi kulit atau jaringan parut, korioretinitis, mikrosefalus atau hidrosefalus, yang dapat
dilihat saat lahir. Bayi yang tetap hidup sering memperlihatkan kerusakan neurologi berat,
termasuk retardasi mental, growth retardation, dan defek penglihatan serta pendengaran.
Sebagian besar infeksi HSV didapta secara perinatal, yaitu saat neonatus kontak dengan virus
yang berada di dalam jalan lahir pada bayi yang lahir per vaginam. Infeksi HSV postnatal, yang
diperkirakan terdapat pada 10% kasus herpes neonatus, berasal dari kontak antara bayi dengan
virus herpes orolabial penolong persalinan atau melalui penyebaran nosocomial virus diantara
bayi saat perawatan.
Manifestasi klinis infeksi HSV perinatal dan postnatal sering mirip dengan sepsis bakteri.
Gambaran non-spesifik meliputi: iritabel, temperature yang tidak stabil, icterus, apnea, syok,
hepatosplenomegali, dan kejang. Infeksi HSV telah dikategorikan dalam 3 gambaran umum:
a. Penyakit terlokalisir pada kulit mata atau mulut. Manifestasi klinis berupa vesikel pada
kulit, konjungtivitis, atau ekskresi virus dari orofaring, dan tidak terdapat keterlibatan
organ lain.

31
b. Penyakit terbatas pada susunan saraf pusat, dengan atau tanpa keterlibatan kulit, mata
atau mulut. Manifestasi klinis berupa ensefalitism kejang dan kelainan pada EEG atau
CT Scan dengan/tanpa keterlibatan kulit, mata dan mulut.
c. Infeksi menyebar melibatkan berbagai organ. Manifestasi klinis beruba keterlibatan
organ (misalnya hepatitis, pneumonia, KID) dengan/tanpa ketrlibatan susunan saraf
pusat atau kulit, mata dan mulut.

Herpes Labialis, Herpes Fasialis


Herpes labialis merupakan infeksi primer yang menyebabkan terjadinya lesi vesikuler
menyeluruh yang berkuran kecil dan berlangsung selama 2-3 minggu. Jika manifestasi
sistemiknya bersifat ringan maka infeksi tersebut harus dibedakan dengan varisela dan bila
berat dengan variola. Manifestasi klinis infeksi herpes rekurens terjadi pada kulit atau mukosa.
Pada kulit, lesi terdiri atas kumpulan sejumlah vesikel yang berdinding tipis dengan dasar
eritema. Vesikel akan pecah, berkrusta dan menyembuh dalam 7-10 hari tanpa meninggalkan
jaringan parut, kecuali jika mengalami serangan berulang dan mengalami infeksi sekunder.
Lesi local tersebut dapat didahului iritasi ringan atau rasa terbakar di tempat lesi atau nyeri
neuralgik hebat di daerah tersebut. Pada anak vesikel tersebut sering mengalami infeksi
sekunder sehingga harus dibedakan dengan impetigo kontangiosa. Lesi sering muncul pada
pertemuan mukosa-kulit tetapi pada dasarnya dapat terjadi dimanapun juga, selain itu
cenderung untuk muncul kembali di tempat yang sama.
Lesi traumatic pada kulit dapat dengan mudah mengalami infeksi virus herpes. Jika kulit
anggota badan terkena infeksi, maka vesikel akan muncul dalam waktu 2-3 hari pada tempat
trauma tersebut. Seringkali terdapat penyebaran sentripetal di sepanjang saluran limfe yang
akan menyebabkan pembesaran kelenjar limfe dan penyebaran vesikel pada kulit yang utuh.
Gambaran klinis dapat disalahtafsirkan dengan gambaran pda herpes zoster, terutama jika
disertai nyeri neuralgik. Lesi akan sembuh lambat, kerap kali berlangsung selama 3 minggu,
kekambuhan sering ditemukan pada tempat trauma local dan berbentuk lesi bulosa.

Eksema Herpetikum
Eksema herpetikum merupakan manifestasi paling berat dari herpes traumatis, biasanya terjadi
akibat infeksi primer oleh virus herpes pada kulit eksematosa yang tersebar luas. Serangan
dapat berat atau ringan. Pada serangan berat yang khas, maka vesikel berkembang secara
mendadak dalam jumlah besar diatas kulit yang eksematosa dan terus berlanjut dan
berkelompok hingaa 7-9 hari. Apabila ukuran lesi luas, epidermis akan terbuka disusul

32
terbentuknya krusta dan epitelisasi. Reaksi sistemik yang terjadi berbeda-beda, tetapi tidak
jarang terjadi peningkatan suhu badan sebesar 39,4-40,6 C yang berlagsung selama 7-10 hari.
Serangan berulang terjadi pada lesi atopis kronik. Kematian mungkin terjadi sebagai akibat
gangguan fisiologis berat seperti kehilangan cairan, elektrolit dan protein melalui kulit yang
mengalami lesi, akibat penyebaran virus ke jaringan otak dan jaringan lain atau akibat invasi
infeksi bakteri sekunder.

Gingivostomatitis Herpes Akut


Gingivostomatitis herpes akut adalah infeksi primer penyebab tersering stomatitis pada anak
usia 1-3 tahun. Penyakit ini dapat juga terjadi pada orang dewasa. Gejala dapat muncul
mendadak disertai rasa nyeri di dalam mulut, sekresi liur berlebihan, fetor oris, tidak mau
makan dan demam yang mencapai 40 - 40,6 C. serangan penyakit dapat berlangsung
tersembunyi disertai demam dan iritabel sebelum terjadinya lesi mulut selama 1-2 hari. Lesi
awal berbentuk vesikel jarang ditemukan karena pecah secara dini. Lesi sisa yang terlihat
berdiameter 2-10 mm dan ditutupi suatu membrane berwarna kuning kelabu. Jika membrane
tersebut diangkat akan terlihat ulkus yang sebenarnya. Walaupun lidah dan pipi paling sering
terlibat namun tidak ada bagian mulut yang bebas dari kemungkinan infeksi. Kecuali pada bayi
yang belum memunyai gigi, maka gingivitis akut merupakan ciri khas penyakit dan dapat
mendahului munculnya vesikel pada mukosa disertai sering timbulnya limfadenitis
submaksilaris. Fase akut berlangsung selama 4-9 hari dan sembuh spontan. Rasa nyeri
cenderung menghilang 2-4 hari sebelum ulkus sembuh sempurna.

Lesi Mata
Konjungtivitis atau keratokonjungtivitis merupakan manifestasi infeksi primer maupun
kekambuhan dari infeksi virus herpes. Konjungtiva mengalami kongesti, membengkak disertai
sedikit secret purulent. Pada infeksi primer, maka kelenjar limfe preaurkuler membesar dan
terasa nyeri. Katarak, uveitis dan korioretinitis telah ditemukan pada neonatus. Lesi pada
kornea bersifat superfisial dalam bentuk ulkus dendritic atau sebagai keratitis disiforme.
Diagnosis ditegakkan dengan adanya vesikel herpes pada kelopak mata dan dipastikan dengan
isolasi virus.

33
Infeksi HSV Pada SSP
Virus herpes simpleks merupakan penyebab paling umum yang dapat diidentifikasi dari
ensefalitis pada manusia dan seringkali sangat serius. Case fatality rate ensefalitis HSV sangat
signifikan, dan yang bertahan hidup dapat menunjukkan kelainan neurologic yang permanen.
Baik HSV-1 maupun HSV-2 dapat menjadi etiologic ensefalitis, walaupun mempunyai
pathogenesis berbeda antara terjadinya ensefalitis dari subtype virus oral maupun genital.
Penyebaran dari HSV-1 menuju susunan saraf pusat adalah melalui neurogenic pathway
sedangkan pada HSV-2 meningitis dan ensefalitis terjadi melalui penyebaran hematogen.
Walaupun ensefalitis virus herpes simpleks dapat mengenai setiap daerah di otak, terdapat
kecenderungan mengenai daerah orbita dari lobus frontalis, dan kadang-kadang mengenai
lobus temporalis. Gambaran klinis ensefalitis virus herpes simpleks dimulai dengan demam,
nyeri kepala dan malaise diikuti perubahan kesadaran.

Diagnosis
Diagnosis infeksi HSV ditegakkan berdasarkan pola klinis yang khas ditunjang pemeriksaan
laboratorium. Metode untuk pemeriksaan laboratorium infeksi HSV, disimpilkan pada tabel.
Isolasi virus merupakan metode diagnosis yang paling sensitive dan menghasilkan isolasi yang
cepat dari tipe virus HSV-1 atau HSV-2.

Prognosis, Penyulit, dan Gejala Sisa


Infeksi primer herpes virus merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan, biasanya
berlangsung selama 1-2 minggu. Kematian dapat terjadi pada masa neonatus, anak dengan
malnutrisi berat, kasus meningo-ensefalitis, dan eksema herpetikum yang berat; di luar keadaan
ini biasanya prognosisnya baik. Mungkin sering ditemukan serangan berulang tetapi serangan
ulang tersebut jarang berat, kecuali serangan ulang pada mata yang dapat menyebabkan
timbulnya jaringan parut pada kornea dan menimbulkan kebutaan.
Infeksi HSV yang terjadi pada masa fetal dan neonatal biasanya mengganggu tetapi tidak
dengan cepat membahayakan kehidupan. Eksema herpetikum biasanya ringan dan bila sembuh
tidak terdapat gejala sisa. Ensefalitis infeksi HSV dapat sangat serius, dapat menyebabkan
kematian dan kerusakan neurologic yang permanen. Case fatality rate ensefalitis yang tidak
diobati adalah 75%. Penelitian pada awal 1970 menunjukkan bahwa infeksi serviks uteri
dengan HSV-2 berhubungan dengan munculnya karsinoma serviks.

34
Pengobatan dan Pencegahan
Karena dugaan bahwa sebagian besar herpes neonatorum didapat saat bayi melintasi jalan lahir
yang terinfeksi, maka pada wanita hamil dengan herpes genital dianjurkan melahirkan dengan
cara tindakan bedah Caesar. Jika ketuban telah pecah lebih dari 4 jam, maka terjadi peningkatan
resiko infeksi asendens dan dalam keadaan demikian tindakan bedah Caesar tidak dapat
melindungi bayi tersebut.
Beberapa jenis obat topical baik untuk herpes labial maupun herpes genital telah dianjurkan.
Obat topical asiklovir (asikloguanosin; 9-2-hidroksietoksimetil guanine) dapat menurunkan
periode pelepasan virus, tetapi hanya berpengaruh kecil pada gejala penyakit. Obat topical 5-
iodo-2’-deoksiuridin (IDU), adenine arabinosid (vidarabin, ara-A), eter dan 2-deoksi-D
glukosa tidak efektif. Pengobatan oral dengan levamisol atau lisin juga tidak memperlihatkan
hasil yang efektif.
Untuk keratitis herpes, obat topical IDU atau adenine arabinosid (vidarabin, ara-A) biasanya
efektif, tetapi tidak berhasil menurunkan jumlah dan kecepatan terjadinya kekambuhan,
kortikosteroid topical dapat menyebabkan peningkatan keterlibatan mata dan sebaiknya tidak
dipergunakan.
Adenine arabinosid yang diberikan intravena dengan dosis sebesar 15 mg/kgBB/24 jam selama
10 hari memberikan hasil efektif pada ensefalitis herpes dan herpes local pada neonatus.
Asiklovir merupakan obat antivirus yang sama efektifnya dengan vidarabin. Asiklovir adalah
obat yang paling banyak tersedia karena keamanan yang tinggi dan mudah pemberiannya.
Asiklovir diberikan intravena pada herpes neonatus, dosis 10 mg/kgBB/dosis, selama 1-2 jam
setiap 9 jam selama 10-14 hari.
Harus diketahui bahwa asiklovir akan diekskresikan melalui ginjal, sehingga pemberiannya
pada pasien yang mengalami kerusakan ginjal harus hati-hati. Pemberian asiklovir harus
melihat kadar klirens kreatinin, sehingga dosis harus disesuaikan. Untuk pemberian asiklovir
intravena bila klirens kreatinin >50 maka dosis tetap diberikan seperti biasa, bila klirens
kreatinin 25-50 maka pemberian diberikan tiap 12 jam, bila klirens kreatinin 10-25 maka
pemberian yang dianjurkan adalah tiap 24 jam, bila klirens kreatini 0-10 maka pemberian yang
dianjurkan setengah dosis tiap 24 jam. Pada pemberian asiklovir oral pada pasien terinfeksi
herpes simpleks dengan klirens kreatinin 10, dianjurkan asiklovir dengan dosis 2x200 mg/hari.
Pengobatan simptomatik dan penunjang mempunyai arti penting dalam pengobatan penyakit.
Terutama pada bayi, eksema herpetikum dan stomatitis dapat mengakibatkan terjadinya
dehidrasi, syok, dan hipoproteinemia serta membutuhkan penggantian cairan termasuk
elektrolit dan protein. Beberapa jenis imunisasi telah dicoba namun tanpa hasil memuaskan.

35
Beberapa vaksin herpes simpleks yang diinaktivasi telah dikembangkan dan sejumlah
pengkajian memperlihatkan bahwa vaksin tersebut bermanfaat dalam mencegah kekambuhan,
terutama yang disebabkan oleh tipe-1. Gamaglobulin hiperimun terhadap herpes simpleks tipe-
1 atau tipe-2 belum tersedia. Pengobatan neonatus dengan infeksi melalui pemberian
gamaglobulin dosis tinggi dianjurkan, tetapi tidak terbukti bermanfaat.

36
BAB III
KESIMPULAN

37
DAFTAR PUSTAKA

38

Anda mungkin juga menyukai