Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
.1 LATAR BELAKANG
Torch adalah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat jenis penyakit
infeksi yaitu TOxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis
penyakit infeksi ini, sama-sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil.
Kini, diagnosis untuk penyakit infeksi telah berkembang antara lain ke arah pemeriksaan
secara imunologis. Prinsip dan pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi)
yang spesifik terhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap
adanya benda asing (kuman antibodi yang terburuk dapat berupa Imonoglobulin M
(IgM) dan Imonoglobulin G (IgG).

.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep teoritis infeksi torch ?
2. Bagamaina asuhan keperawatan pada infeksi torch ?
.3 TUJUAN
Mengetahui konsep teoritis dan asuhan keperawatan pada infeksi torch.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. KONSEP TEORITIS INFEKSI TORCH
A. TOXOPLASMOSIS
1. Defenisi dan Patofisiologi Toxoplasma Kongenital (Anik & Eka, 2017).
a. Transmisi toxoplasma kongenital hanya terjadi bila infeksi toxoplasma
akut terjadi selama kehamilan
b. Bila infeksi akut di alami ibu selama kehamilan yang telah dimiliki
antibody antitoxoplasma karena sebelumnya telah terpapar, risiko bayi
lahir memperoleh infeksi kongenital adalah sebesar 4-7/1000 ibu hamil.
c. Risiko meningkat menjadi 50/1000 ibu hamil bila ibu tidak mempunyai
antibody spesifik
d. Keadaan parasitemia yang ditimbulkan oleh infeksi maternal
menyebabkan parasite dapat mencapai plasenta
e. Selama invasi dan menetap di plasenta parasite berkembang biak serta
sebagian yang lain berhasil memperoleh akses ke sirkulasi janin.
f. Telah diketahui adanya korelasi antara isolasi tokoplama di jaringan
plasenta dan infeksi neonatus, artinva bahwa hasil isolasi positif
dijaringan plasenta menunjukkan terjadinya infeksi pada neonatus dan
sebaliknya hasil isolasi negative menegaskan infeksi neonatus tidak ada.
g. Berdasarkan hasil pemeriksaan otopsi neonatus yang meninggal dengan
toksoplamosis kongenital ini disusunsuatu konsep bahwa infeksi yang
diperoleh janin dalam uterus terjadi melalui aliran darah serta infeksi
plasenta akibat toksoplamosis merupakan tahapan penting setelah fase
infeksi maternal dan sebelum terinfeksinya janin.
h. Selanjutnya konsepsi ini berkembang lebih jauh dengan hasil-hasil
penelitian sebagai berikut :
i. Frekuensi infeksi toksoplamosis kongenital sama dengan frekuensi
infeksi plasenta
j. Tiap-tiap kasus bergantung pada usia kehamilan saat terjadinya infeksi
maternal serta apakah ibu memperoleh pengobatan selama kehamilan.
2. Etiologi (Anik & Eka, 2017) :
a. Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti kebiadaan makan daging kurang matang, adanya kucing
yang terutama dipelihara sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan
burung sebagai hosper perantara yang merupakan binatang buruan
kucing, adanya sejumlah vector seperti lipas atau lalat yang dapat
memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan.
b. Cacing tanah juga berperan untuk memindahkan ookista dari lapisan
dalam ke permukaan tanah
c. Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang
penting untuk T. gondii, transmisi melalui ookista tidak dapat di abaikan.
d. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta butir ookista sehari
selama 2 minggu.
e. Ookista menjadi matang dalam waktu 1 – 5 hari dan dapat hidup lebih
dari setahun di tanah yang panas dan lembab.
f. Ookista mati pada suhu 45-55ºC, juga mati bila di keringkan atau bila
bercampur formalin, ammonia, atau larutan iodium.
g. Transmisi melalui bentuk ookista menunjukkan infeksi T. gondii pada
orang yang tidak senang makan daging atau terjadi pada binatang
herbivora.
h. Untuk mencegah infeksi T. gondii (terutama pada ibu hamil) harus
dihindari makan daging kurang matang yang mungkin mengandung kista
jaringan dan menelan ookista matang yang terdapat dalam tinja kucing.
Kista jaringan dalam daging tidak infektif lagi bila sudah dipanaskan
sampai 66ºC atau di asap.
3. Diagnosis Pranatal (Anik & Eka, 2017) :
a. Pengantar : Menyadari besarnya dampak toksoplasmosis kongenital pada
janin, bayi serta anak-anak disertai kebutuhan akan konfirmasi infeksi
janin prenatal pada ibu hamil, maka para klinisi / obstetrikus
memperkenalkan metode baru yang merupakan koreksi atass konsep
dasar pengobatan toksoplasmosis kongenital yang lampau.
1) Konsep lama hanya bersifat empiris dan berpedoman pada hasil
uji serologik ibu hamil.
2) Saat ini pemanfaatan tindakan kordosentesis dan amniosentesis
dengan panduan ultra sonografi guna memperoleh darah janin
ataupun cairan ketuban sebagai pendekatan diagnostic
merupakan ciri para obstetrikus pada decade 90-an.
3) Selanjutnya segera dilakukan pemeriksaan spesifik dan rumit
yang sifatnya biomolekular atas komponen janin tersebut
(darah atau cairan ketuban) dalam waktu relatil singkat dengan
ketepatan yang tinggi.
4) Hasilnya sangat menentukan untuk pengobatan selanjutnya.
5) Upaya ini dikenal dengan diagnostik pra-natal. Diagnostik
prenatal dipandang lebih efektif untuk menghindari atau
menekan risiko toks karena itu, upaya diagnostik prenatal
disebut.
6) Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin melalui tali
pusar) atau amniosemesis (aspirasi cairan ketuban) dengan
tuntunan ultrasonografi.
7) Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel
fibroblast, ataupun di inokulasi ke dalam ruang peritoneum
tikus diikuti isolasi parasit, ditunjukkan untuk mendeteksi
adanya parasite.
8) Pemeriksaan dengan teknik P.C.R. Guna mendeteksi D.N.A. T.
gondii pada darah janin atau cairan ketuban.
9) Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin guna :
Mendeteksi antibody IgM janin spesifik (anti-toksopiasma).
10) Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet,
leukosit (monisit dan eosinofil) dan limfosit khususnya rasio
CD4 dan CDS. Daffos et al.(1988) mengembangkan tindakan
diagnosis prenatal untuk toksoplasmosis kongenital dengan
serial / berulang. Di katakana prosedur ini relative aman bila
mulai dilakukan pada umur kehamilan 19 minggu dan
seterusnya.
11) Diagnosis toksoplasma kongenital ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan yang menunjukkan adanya IgM janin spesifik
(antitoksoplasma) dari darah janin.
12) Di temukan parasit pada kultur ataupun inokulasi tikus dan
D.N.A. dari T. gondii dengan P.C.R. darah janin ataupun cairan
ketuban.
13) Beberapa faktor yang harus diperhatikan karena sangat
menentukan agar upaya diagnostic prenatal menjadi aman,
terpercaya, dan efisien adalah sebagai berikut.
b. Di dahului oleh skrining serologic maternal / ibu hamil, hasilnya harus
memenuhi kriteria tertentu sebelum di lanjutkan ke prosedur diagnostic
prenatal. Jika ada satu dari 4 syarat dibawah ini terpenuhi, akan
dilakukan kordosintesis atau amniosintesis.
1) Antibody IgM+.
2) Serokonvensi dengan interval waktu 2-3 minggu, perubahan
dari seronegatif menjadi seropositif IgM dan IgG.
3) Liter IgG yang tinggi ≥ 1 / 1024 (ELISA).
4) Avidasi IgG 5 ≤ 200.
c. Keterampilan klinis melakukan kordosintesis atau amniosintesis dengan
tuntunan ultrasonografi.
d. Kecermatan dan keterampilan yang terlatih dalam mengerjakan
pekerjaan rumit dan khusus di laboratorium di antaranya meliputi kultur,
inokulasi, teknik ELISA dan P.C.R.
4. Tanda dan Gejala
Menurut Icemi Sukarni dan Wahyu dalam buku Keperawatan Maternitas,
adapun tanda dan gejala yang terjadi yaitu :
a. Pada ibu
Terkadang toxoplasma dapat menimbulkan beberapa gejala seperti
gejala influenza, timbul rasa lelah, malaise, dan demam. Akan tetapi
pada umumnya tidak menimbulkan masalah yang bearti. Pada
umumnya, infeksi toxoplasma terjadi tanpa disertai gejala yang
spesifik. Ada beberapa gejala yang mungkin ditemukan pada orang
yang terinfeksi toksoplasma, gejala – gejala tersebut adalah :
1) Pyrexia of unknown origin (PUO).
2) Terlihat lemas dan kelelahan, sakit kepala, rash, myalgia
perasaan umum (tidak nyaman atau gelisah).
3) Pembesaran kelenjar limfe pada serviks posterior.
4) Infeksi menyebar ke saraf, otak, korteks dan sel retina mata.
Infeksi toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau
pada orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya
penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapatkan obat
penekan respon imun).

b. Pada janin
Jika wanita hamil terinfeksi toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi
pada janinnya adalah abortus spontan atau keguguran, lahir mati, atau
bayi menderita toxoplasma bawaan. Pada awal kehamilan infeksi
toxoplasma dapat menyebabkan aborsi dan biasanya terjadi secara
berulang. Namun jika kandungan dapat dipertahankan, maka dapat
mengakibatkan kondisi yang lebih buruk ketika lahir. Diantaranya :
1) Lahir mati (still birth)
2) Ikterus dengan pembesaran hati dan limpa
3) Anemia
4) Perdarahan
5) Radang paru
6) Penglihatan atau pendengaran kurang
7) Risiko terburuknya dari terjangkitnya infeksi ini pada janin
adalah saat infeksi maternal akut terjadi di trimester ketiga.
5. Terapi dan Pencegahan :

Terapi diberikan terhadap 3 kelompok penderita berikut.

a. Kehamilan dengan infeksi akut :


1) Spiramisin :
 Spiramisin, suatu antibiotika macrolide dengan spectrum
antibakteria.
 Konsentrasi tertentu yang dibutuhkan untuk menghambat
pertumbuhan ataupun membunuh organisme belum
diketahui.
 Di jaringan obat ini ditemukan kadar / konsentrasi yang
tinggi terutama pada plasenta tanpa melewatinya serta aktif
membunuh takizoit sehingga menekan transmisi
transplasental.
2) Piremitamin :
 Piremitamin, adalah penilpirimidin obat antirhalaria,
terbukti juga sebagai pengobatan radikal pada hewan
eksperimental yang dikenakan infeksi toksoplasmosis.
 Obat ini bertahan lama dalam darah dengan waktu paruh
plasma 100 jam (4-5 hari).
 Piremitamin dan sulfadiazine bekerja sinergik
menghasilkan khasiat 8 kali lebih besar terhadap
toksoplasma.
 Kedua obat ini bekerja memblokir jalur metabolisme asam
folat dan asam para aminobenzoat parasite karena
menghambat kerja enzim di hidrofolat reduktase dengan
akibat terganggunya pertumbuhan stadium takizoit parasite.
 Kombinasi kedua obat ini mengakibatkan efek toksisitas
yang tinggi. Sulfadiazine menimbulkan reaksi hematuria
dan hipersensitivitas.
 Piremitamin menyebabkan depresi sumsum tulang secara
gradual dan reversible dengan akibat penurunan platelet,
leukopenia, dan anemia yang menyebabkan tendensi
perdarahan.
 Untuk mengantisipasi hal ini perlu pemerikaan sel darah
tepid an platelet 2 kali seminggu serta penggunaan asam
folinik dalam bentuk kalsium leukovorin yang menghambat
efek depresi sumsum tulang dari piremitamin.
 Bersama asam folinik ditambahkan pula ragi yang tidak
akan merugikan pengobatan toksoplamosis. Di laporkan
pula piremitamin bersifat teratogenik.
 Thalhammer dan kraubig menganjurkan pemakaian obat ini
dimulai trimester II setelah umur kehamilan 14 minggu
guna menghindari efek teratogenik pada janin.
b. Toksoplasma kongenital :
1) Sulfadiazine dan piremitamin diberikan setiap 2-4 hari selama
20 hari.
2) Disertakan juga injeksi intramuscular asam folinik untuk
mengatasi efek toksik piremitamin terhadap multiplikasi sel.
3) Pengobatan dihentikan ketika anak berumur 1 tahun karena
diharapkan imunitas, selulernya telah memadaiuntuk melawan
penyakit pada masa tersebut.
c. Penderita imunidefisiensi :
1) Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila
tidak diobati.
2) Pengobatan disini sama hal nya dengan toksoplasmosis
kongenital yaitu menggunakan piremitamin, sulfadiazine dan
asam folinik dalam jangka panjang.
3) Piremitamin dan sulfadiazine dapat melalui barrier otak.
6. Penanganan/Penatalaksanaan :
Profilaksis adalah tindakan yang paling efektif berupa perlindungan atas
populasi yang beresiko seperti ibu hamil dengan seronegatif. Upaya tersebut
adalah sebagai berikut (Icemi & Wahyu, 2013) :
a. Dianjurkan memakan semua sayur-sayuran dan daging yang dimasak.
1) Ookista mati dengan pemanasan 90ºC selama 30 detik, 80ºC
untuk menu dan 70ºC untuk 2 menit.
2) Makanan yang dibekukan bukan merupakan sumber
kontaminasi
b. Bersihkan sayuran dan buah-buahan sebelum dimakan dengan benar.
c. Bila membersihkan tempat sampah, jangan lupa untuk menggunakan
sarung tangan.
d. Skrining serologic premarital di lanjurkan skrining bulanan selama
kehamilan bagi ibu hamil dengan seronegatif.
e. Setelah memegang daging mentah (jagal, tukang masak), sebaiknya
tangan dicuci bersih dengan sabun.
f. Makanan harus di tutup rapat supaya tidak di jamah lalat atau lipas.
g. Kucing peliharaan sebaiknya diberi makanan matang dan di cegah
berburu tikus dan burung.
B. RUBELLA
1. Defenisi :
Infeksi rubella atau dikenal sebagai German meales menyerupai campak,
hanya saja bercak sedikit lebih kasar.
Infeksi rubella ditandai demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran
kelenjar getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella, dapat
menyerang anak – anak dan dewasa muda. Infeksi rubella berbahaya bila
terjadi pada wanita hamil muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada
bayi. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan maka resiko terjadinya
kelainan adalah 50 %, sedangkan jika infeksi terjadi pada trimester pertama
maka risiko terjadinya 25 %. Tanda dan gejala infeksi rubella sangat
bervariasi untuk tiap individu, bahkan pada beberapa pasien tidak dikenali,
terutama apabila ruam merah tidak tampak (Icemi & Wahyu, 2013).
2. Etiologi (Anik & Eka, 2017) :
a. Penyakit ini di sebabkan oleh virus Rubella
b. Virus ini biasanya menginfeksi tubuh melalui pernafasan seperti
hidung dan tenggorokan
c. Virus ini dapat menular melalui udara
d. Selain itu, virus juga dapat ditularkan melalui urine, kontak pernafasan,
dan memiliki masa inkubasi 2 – 3 minggu.
e. Penderita dapat mennularkan virus selama seminggu sebelum dan
sesudah timbulnya rush (ruam) pada kulit.
3. Tanda, Gejala dan Komplikasi (Anik & Eka, 2017)
Rubella menyebabkan sakit yang ringan dan tidak spesifik pada orang
dewasa, ditandai dengan cacar seperti ruam, demam dan infeksi saluran
pernafasan atas. Sebagian besar negara saat ini memiliki program vaksin
rubella untuk bayi dan wanita subur dan hal ini merupakan bagian dari
screening prakonsepsi. Ibu hamil secara rutin diperiksa antibody rubella dan
jika tidak memiliki kekebalan akan segera vaksin rubella pada periode
postnatal. Fakta – fakta terkini menganjurkan bahwa kehamilan yang disertai
dengan pemberian
4. Manifestaasi klinis :
a. Infeksi rubella pada trimester pertama memberikan dampak buruk
untuk kemungkinan besar terjadinya kelainan bawaan (sindroma
rubella kongenital)
b. Kelainan yang banyak ialah efek pada jantung, katarak, retinitis, dan
ketulian.
c. Oleh karena itu, infeksi pada trimester pertama memberi pilihan untuk
aborsi.
d. Kepastian infeksi di nyatakan pada koversi dan IgM negatif menjadi
positif dan meningkatkan IgG secara bermakna
e. Kadar IgM ini dapat pula dibuktikan dalam darahtali pusat.
5. Penatalaksanaan (Anik & Eka, 2017) :
a. Lakukan penyuluhan pada masyarakat umum mengenai cara penularan
dan pentingnya imunisasi Rubella.
b. Penyuluhan oleh petugan kesehatan sebaiknya menganjurkan
pemberian imunisasi rubella untuk semua orang yang rentan
c. Selain melakukan penyuluhan imunisasi, dapat pula dengan melakukan
pemeriksaan rubella sejak sebelum hamil, hingga pengobatan dapat
dilakukan secara maksimal.
d. Pemberian vaksin dapat memberikan antibody yang signifikan yaitu
sekitar 98 – 99% dari orang yang rentan.
e. Jika diketahui adanya infeksi alamiah pada awal kehamilan, tindakan
aborsi sebaiknya dipertimbangkan karena terjadinya risiko cacat pada
janin sangat tinggi.
f. Pada beberapa penelitian yang dilakukan pada wanita hamil yang tidak
sengaja di imunisasi, kecacatan kongenital pada bayi yang lahir hidup
tidak ditemukan, dengan demikian imunisasi yang terlanjur diberikan
pada wanita yang kemudian ternyata hamil tidak perlu dilakukan
aborsi, tetapi risiko mungkin terjadi dan sebaiknya harus dijelakan.
g. Keputusan akhir apabila akan dilakukan aborsi diserahkan pada wanita
dan keluarganya serta dokter yang merawatnya.
C. CITOMEGALOVIRUS (CMV) :
1. Defenisi dan hal-hal yang berkaitan dengan cytomegalovirus (CMV) :
a. Citomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA, hal ini
berdasarkan srtuktur dan cara virus CMV pada saat melakukan
replikasi.
b. Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga
terlihat sel membesar (sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata
burung hantu.
c. Di Amerika CMV merupakan penyebab utama infeksi perinatal (di
perkirakan 0,5 – 2% dari seluruh bayi neonatal). Yow dan Dammler
(1992) dengan pengamatannya selama 20 tahun ke atas morbiditas
yang di sebabkan CMV perinatal menjelaskankan bahwa dari 800.000
janin yang terinfeksi oleh CMV di peroleh 50.000 bersifat simtomatis
dengan kelainan retardasi mental, kebutaan dan tuli sedangkan 120
ribu janin yang bersifat asimtomatis mempunyai keluhan neurologis.
2. Cara Penularan :
a. Penularan / transmisi CMV ini berlangsung secara horizontal, vertical
dan hubungan seksual
b. Transmisi horizontal terjadi melalui “droplet infection” dan kontak
dengan air ludah dam air seni.
c. Sedangkan transmisi vertical adalah penularan proses infeksi maternal
ke janin.
d. Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karena transmisi
transplasenta selama kehamilan diperkirakan 0,5%-2,5% dari popolasi
neonatal
e. Sedangkan dimasa peripartum infeksi CMV timbul, akibat pemaparan
terhadap sekresi servik yang telah terinfeksi, malalui air susu ibu dan
tindakan transfusi darah. Dengan cara ini prevalensi di perkirakan 3 –
5%.
3. Patogenesis :
a. Infeksi CMV yang terjadu karena pemaparan pertama kali atas
individu disebut infrksi primer
b. Infeksi primer berlangsung simtomatis ataupun asimtomatis serta virus
akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang tak terbatas.
c. Selanjutnya virus memasuki ke dalam sel-sel dari berbagai macam
jaringan.
d. Proses ini disebut infeksi laten.
e. Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai
multiplikasi virus.
f. Keadaan tersebut misalnya terjadi pad individu yang mengalami
supresi imun karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi
penderita transpan-resipien ataupun penderita dengan keganasan.
g. Infeksi rekuren (reaktifasi / reinfeksi) yang dimungkinkan karena
penyakit tertentu serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenic
dpat diterangkan sebagai berikut bahwa kedua keadaan tersebut
menekan respon sel limfosit T sehingga timbul stimulasi antigenic
yang kronis.
h. Dengan demikian terjadi reaktivasi virus dari periode laten di sertai
berbagai sindroma.
4. Epidemiologi :
a. Di Negara-negara maju cytomegalovirus (CMV) adalah penyebab
infeksi kongenital yang paling utama dengan angka kejadian 0,3 – 2%
dari kelahiran hidup.
b. Dilaporkan pula bahwa 10 – 15% bayi yang terlahir terinfeksi secara
kongenital adalah simtomatis yakni dengan manifestasi klnis akibat
terserangnya susunan syaraf pusat dan berbagai organ lainnya
(multiple organ).
c. Hal ini menyebabkan kematian perinatal 20 – 30 % serta timbulnya
cacat neurologic berat lebih dari 90% pada kelahiran.
5. Infeksi pada masa kehamilan :
a. Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan, dan
infeksi pada umur kehamilan kurang sampai 16 minggu menyebabkan
kerusakan yang serius.
b. Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus
ataupun endogenus. Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu
terjadi pada ibu hamil dengan pola imunologis seronegatif dan non
primer bila ibu hamil dalam keadaan seropositif.
c. Sedangkan infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus yang
sebelumnya dalam keadaan paten.
d. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinis yang jauh lebih
buruk pada janin yang di bandingkan infeksi rekuren (reinfeksi).
6. Diagnosis :
a. Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode
serologis maupun virologis.
b. Dengan metode serologis, diagnose infeksi maternal primer dapat
ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi
seropositif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil
pemeriksaan serial dengan interval kira-kira 3 minggu.
c. Dalam metode serologis infeksi primer dapat pula ditentukan dengan
“low IgG Adivity” , yaitu antibody kelas IgG menunjukkan fungsional
afinitasnya yang rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20
minggu serta infeksi primer.
d. Dalam hal ini lebih dari 90% kasus-kasus infeksi primer menunjukkan
IgG aviditas rendah (low Avidity IgG) terhadap CMV.
e. Sedangkan dengan metode virologis, viremia maternal dapat
ditegakkan dengan menggunakan uji immune fluoresen.
f. Uji ini menggunakan monoclonal antibody yang mengikat antigen Pp
65, suatu protein (polipeptida dengan berat molekul 65 kilo Dalton)
dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah ibu.
7. Diagnosis pada ibu hamil :
a. Diagnosis prenatal harus dikerjakan terhadap ibu dengan kehamilan
yang menunjukkan infeksi primer pada umur kehamilan sampai 20
minggu.
b. Hal ini karena diperkirakan 70% dari kasus menunjukkan janin tidak
terinfeksi.
c. Dengan demikian diagnosis prenatal dapat mencegah terminasi
kehamilan yang tidak perlu terhadap janin yang sebenarnya yang tidak
terinfeksi sehingga kehamilan tersebut dapat berlangsung.
d. Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi intervensi
karena pengobatan dengan amti virus (ganci clover) tidak memberi
hasil yang efektif serta memuaskan.
e. Diagnosis prenatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan
isolasi virus pada cairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis.
f. Penelitian menunjukkan bahwa untuk diagnosis prenatal hasil
amniosentesis lebih baim di bandingkan kordosentesis.
g. Demikian pula halnya biopsy vili korialis dikatakan tidak
meningkatkan kemampuan mendiagnosa infeksi CMV intra uterin.
h. Kedua prosedur ini kordosentesis dan biopsi membawa risiko bagi
janin bahkan prosedur tersebut tidak dianjurkan.
i. Pemeriksaan ultrasonografi yang merupakan bagian dari perawatan
antenatal amat membantu dalam mengidentifikasi janin yang beresiko
tinggi / diduga terinfeksi CMV.
7. Risiko yang ditimbulkan :
a. Risiko yang ditimbulkan baik pada masa kehamilan setelah bayi lahir
adalah sebagai berikut : oligohidramnion, polihidramnion, hidrops non
imun, asites janin, gangguan pertumbuhan janin, mikrosefali,
ventrikulomegali serebral (hidrosefalus), kalsifikasi intracranial,
hepatosplenomegali dan klasifikasi intrahepatic.
9. Terapi dan Konseling :
a. Tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan khususnya pada
pengobatan infeksi kongenital
b. Dengan demikian konseling, infeksi primer yang terjadi pada
kehamilan ±20 minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis prenatal
kemungkinan dapat dipertimbangkan adanya terminasi kehamilan.
c. Terapi diberikan guna mengobati inveksi CMV yang aerius seperti
retinitis, esophagitis pada penderita dengan AIDS (acquired
immunodefisiency) serta tindakan propilaksis untuk mencegah infeksi
CMV setelah transplantasi organ.
d. Pengembangan vaksin perlu di usulkan guna mencegah morbiditas dan
mortalitas akibat infeksi kongenital.
D. Herpes
1. Definisi dan hal – hal yang berkaitan dengan :
a. Herpes genitalis adalah infeksi yang menyerang vagina dan labia ( bibir
kemaluan ).
b. Herpes ini paling sering di tularkan selama aktifitas seksual seseorang
yang mempunyai luka herpes aktif.
c. Tidak ada pengobatan bagi herpes, karena itu penyakit ini menjadi
penyakit kambuhan, infeksi pertama kali muncul di sebut infeksi
primer
2. Etiologi
a. Virus dapat ditularkan melalui kontak badan dan seksual, infeksi dapat
tertular pada bayi saat proses persalinan karena adanya gesekan dengan
jalan lahir yang juga alat kelamin.
b. Tipe – tipe virus hepes simplex ada 2 :
1) Herpes simlex virus tipe I yang pada umumnya menyebabkan lesi
atau luka pada sekitar wajah, bibir, mukosa mulut, dan leher.
2) Herpes simlex tipe II umumnya menyebabkan lesi pada genital dan
sekitar ( bokong, daerah anal, dan paha).
3. Gejala Klinik
a. Suhu tubuh panas dan timbul gelembung atau bintil – bintil kecil berisi
cairan kemerahan dan sakit pada alat kelamin karena kondisi sedang
lemah.
b. Disamping itu, kuman lain dapat menumpang sehingga dapat
menyebabkan infeksi sekunder pada paru – paru, dermatitis, dan
lainnya.
4. Insidensi
a. Pada suatu survei di india kejadian IgM pada kelompok pasien dengan
riwayat obstetri buruk ( lahir mati, kematian neonatal ) di temukan
hanya 3,6%.
b. Infeksi yang terjadi pada bayi relatif jarang, berupa infeksi paru, mata,
dan kulit.
c. Kini terbukti bahwa jika ibu sudah mempunyai infeksi ( vesikel yang
nyeri pada vulva secara kronik ), kemungkinan infeksi pada bayi
hampir tidak terbukti, jadi diperbolehkan persalinan pervaginam.
d. Tetapi, sebaliknya infeksi yang baru terjadi pada kehamilan akan
mempunyai risiko, sehingga di anjurkan persalinan dengan seksio
sesarea.
5. Pencegahan
a. Apabila ibu hamil terinfeksi virus ini, agar bayi tidak terinfeksi baiknya
dilakukan operasi sesar, pencegahan lainnya dengan cara menjaga
kebersihan perorangan dan pendidikan kesehatan terutama kontak
dengan bahan infeksius, menggunakan kondom dalam aktifitas seksual,
dan penggunaan sarung tangan dalam menangani lesi infeksius.
b. Untuk mencegah transmisi dari ibu ke janin :
1) Pengobatan supresi pada serangan satu dalam kehamilan.
2) Rutin pemberian antivirus pada kehamilan dengan riwayat infeksi
HSV.
3) Lakukan pemeriksaan serologi darah pada kelompok yang rentan
terkena infeksi HSV.
c. Setelah persalinan, pakaian bekas pakai ibu yang terinfeksi virus ini
harus di cuci secara desinfeksi tingkat tinggi ( DTT ) dengan direndam
klorin kemudian di rendam dengan air mendidih agar viruss mati.
6. Penanganan Khusus
a. Pemberian paracetamol untuk mengatasi nyeri karena demam.
b. Bersihkan lesi dengan menggunakan larutan antiseptik dan kompres
dengan air hangat.
c. Setelah nyeri berkurang, keringkan dan berikan asyclovir 5% topical.
d. Berikan asyclovir oral.
e. Perawatan inap dilakukan jika terjadi demam tinggi, nyeri hebat,
retensi urin. Konvulsi, neorosis, reaksi neurologi lokal, gejala ketuban
pecah dini, dan partus prematurus.
f. Obat – obatan antiviral di berikan selama 3 bulan di bawah pengawasan
dokter.

E. CARA MENGHINDARI TORCH


Untuk menghindari sedini mungkin penyakit TORCH yang sangat
membahayakan ini, ada beberapa hal sebagai solusi awal yang bisa dilakukan
antara lain sebagai berikut :
1. Bila mengkonsumsi daging seperti daging ayam, sapi, kambing, kelinci,
babi dan lainnya terlebih dahulu di masak dengan matang hingga suhu
mencapai 60 derajat celcius, agar oosista – oosista yang mungkin terbawa
di dalam daging tersebut dapat mati.
2. Kucing peliharaan di rumah hendaknya diberi daging matang untuk
mencegah infeksi yang masuk kedalam tubuh kucing. Tempat makan,
minum, dan alas tidur harus selalu dicuci atau dibersihkan.
3. Hindari kontak dengan hewan – hewan mamalia liar.
4. Penanganan kotoran kucing sebaiknya dilakukan melalui sarung tangan.
F. WOC
Infeksi torch

Infeksi yang disebabkan


oleh virus

Virus masuk ke tubuh


melalui udara

Virus menginfeksi tubuh


melalui saluran
Terdapatnya
Terjadi infeksi dalam pernafasan seperti
kesulitan menelan
tubuh atau terjadinya hidung dan tenggorokan
saat makan karena
proses inflamasi pada
virus masuk melalu
tubuh karena masuknya
tenggorokan
virus kedalam tubuh

Timbulnya ruam pada


tubuh akibat suhu tubuh
yang tinggi Masukan makanan
Mk : nyeri akut dan cairan ke
tubuh berkurang

Mk : Hipertermia

Mk : risiko
ketidakseimbanga
n elektrolit
2.2. ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI TORCH
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
a. Keluhan utama
b. Riwayat kesehatan
1) Suhu tubuh
2) Malaise
3) Sakit tenggorokan
4) Mual dan muntah
5) Nyeri otot
c. Riwayat kesehatan dahulu
1) Klien sering berkontak langsung dengan binatang
2) Klien sering mengkonsumsi daging setengah matang
3) Klien pernah mendapatkan transfusi darah
d. Data psikologis
e. Data spiritual
f. Data sosial dan ekonomi
g. Pemeriksaan fisik
1) Mata : nyeri
2) Perut : diare, mual dan muntah
3) Integument : suka berkeringat malam, suhu tubuh meningkat, dan
timbulnya rash pada kulit.
4) Muskuloskletal : nyeri dan kelemahan
5) Hepar : hepatomegali dan icterus
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan adanya proses infeksi atau inflamasi.
2. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme penyakit
ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi.
3. Risiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan tidak adekuatnya
masukan makanan dan cairan ditandai dengan diare.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Keperawatan SLKI ( tujuan ) SIKI ( intervensi )


1. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri ( hal :
berhubungan dengan intervensi keperawatan 201 ) :
adanya proses infeksi 1 x 24 jam rasa nyeri Tindakan
atau inflamasi. pada pasien berkurang Observasi
dengan kriteria hasil - identifikasi lokasi,
Defenisi : pengalaman ( tingkat nyeri : 145 ) : karakteristik,
sensorik atau - keluhan nyeri durasi, frekuensi,
emosional yang menurun kualitas dan
berkaitan dengan - meringis tidak intensitas nyeri
kerusakan jaringan ada - identifikasi skala
aktual atau fungsional, - sikap protektif nyeri
dengan onset menurun - identifikasi faktor
mendadak atau lambat - gelisah yang memperberat
dan berintensitas ringan menurun dan memperingan
hingga berat yang - sulit tidur tidak nyeri
berlangsung selama ada - monitor efek
kurang dari 3 bulan. - frekuensi nadi samping
membaik penggunaan
Gejala dan tanda mayor analgetik
: Terapeutik
Subjektif - Beriksn teknik
- mengeluh nyeri nonfarmakologis
Objektif untuk mengurangi
- tampak rasa nyeri
meringis ( misalnya
- bersikap hipnosis,
protektif akupresur, terapi
- gelisah musik, terapi pijat,
- frekuensi nadi aromaterapi dan
meningkat teknik imajinasi )
- sulit tidur - Kontrol
lingkungan yang
Gejala dan tanda minor memperberat rasa
: nyeri ( misalnaya
Objektif suhu ruangan,
- tekanan darah pencahayaan, dan
meningkat kebisingan )
- pola napas - Fasilitasi istirahat
berubah dan tidur
- nafsu makan - Pertimbangkan
berubah jenis dan sumber
- proses berpikir nyeri dalam
terganggu pemilihan strategi
- menarik diri meredakan nyeri
- berfokus pada Edukasi
diri sendiri - Jelaskan
- diaforesis penyebab,
periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika
perlu
2. Hipertermia Setelah dilakukan Edukasi termoregulasi
berhubungan dengan intervensi keperawatan ( hal : 115)
peningkatan tingkat 1 x 24 jam suhu badan Observasi
metabolisme penyakit pasien menjadi normal - Identifikasi
ditandai dengan suhu dengan kriteria hasil kesiapan dan
tubuh yang tinggi. ( termoregulasi : kemampuan
129 ) : menerima
Definisi : suhu tubuh - Kulit merah informasi
meningkat di atas tidak ada Terapeutik :
rentang normal tubuh. - Kejang tidak - Sediakan materi
ada dan media
Gejala dan tanda mayor - Takikardia pendidikan
: tidak ada kesehatan
Objektif - Takipnea tidak - Jadwalkan
- Suhu tubuh ada pendidikan
diatas nilai - Suhu kulit kesehatan
normal membaik Edukasi
Gejala dan tanda minor - Suhu tubuh - Ajarkan kompres
: menjadi normal hangat
Objektif - Ajarkan cara
- Kulit merah pengukuran suhu
- Kejang - Anjurkan
- Takikardi memperbanyak
- Takipnea minum
- Kulit terasa
hangat
3. Risiko Setelah dilakukan Pemantauan elektrolit (hal
ketidakseimbangan intervensi keperawatan : 240) :
elektrolit berhubungan 1 x 24 jam Observasi
dengan tidak keseimbangan - Identifikasi
adekuatnya masukan elektrolit pada pasien kemungkinan
makanan dan cairan meningkat dengan penyebab
ditandai dengan diare. kriteria hasil ketidakseimbanga
( keseimbangan n elektrolit
Defenisi : berisiko elektrolit : 42 ) : - Monitor mual,
mengalami perubahan - Serum natrium muntah dan diare
kadar serum elektrolit meningkat - Monitor tanda dan
- Serum kalium gejala
meningkat hipokalemia
- Serum klorida - Monitor tanda dan
meningkat gejala
- Serum kalsium hiperkalemia
meningkat - Monitor tanda dan
- Serum gejala
magnesium hiponatremia
meningkat Terapeutik
- Serum fosfor - Atur interval
meningkat waktu pemantauan
sesuai dengan
kondisi pasien
Edukasi
- Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil
pemantauan

2.3. TELAAH JURNAL

PICO merupakan suatu akronim dari kata-kata berikut:

P = Patient,population,problem

kata-kata ini mewakili pasien, populasi, dan masalah yang diangkat dalam
karya ilmiah yang ditulis.

I = Intervention, prognostic factor, atau exposure

kata- kata ini mewakili intervensi, factor prosnostik atau paparan yang akan
diangkat dalam karya ilmiah.

C= Comparison atau intervention (jika ada atau dibutuhkan)


kata-kata ini mewakili perbandingan atau intervensi yang ingin dibandingkan
dengan intervensi atau paparan pada karya ilmiah yang akan ditulis.

O = Outcome yang ingindiukurataudicapai

Kata ini mewakili target apa yang ingin dicapai dari suatu penelitian misalnya
pengaruh atau perbaikan dari suatu kondisi atau penyakit tertentu

Pengarang :
1. Zida Maulina Aini
2. Juminten Saimin
Juduljurnal :
“ Hubungan Infeksi Torch Pada Kehamilan Dengan Kejadian Kelainan
Kongenital Pada Bayi Baru Lahir “

P 1. Problem
Infeksi TORCH ini dikenal karena
menyebabkan kelainan dan berbagai
keluhan yang bisa menyerang siapa saja,
mulai anak-anak sampai orang dewasa,
baik pria maupun wanita. Bagi ibu yang
terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan
kelainan pertumbuhan pada bayinya, yaitu
cacat fisik dan mental yang beraneka
ragam.
2. Population
Tiga puluh tiga sampel yang terdiri dari
wanita hamil dengan usia dari 24 tahun
sampai dengan 38 tahun. Pengambilan
sampel dengan menggunakan total
sampling.
3. Patient
Ibu hamil
I Pada wanita hamil terinfeksi
Toxoplasma maka akibat yang dapat
terjadi adalah abortus spontan (4%), Intra
Uterine Fetal Death (IUFD) (3%) atau
bayi menderita Toxoplasmosis bawaan.
Pada Toxoplasmosis bawaan, gejala dapat
muncul setelah dewasa, misalnya kelainan
mata dan telinga, retardasi mental, kejangkejang dan ensefalitis. Pada
penelitian ini
terdapat sampel yang hanya positif IgG
Toxoplasma atau kombinasi dengan IgG
yang lain seperti seperti IgG Rubella atau
IgG CMV. Pada sampel yang ketiga titer
IgG mempunyai nilai positif kemungkinan
cukup besar terjadi kelainan kongenital
pada bayinya walaupun titer tidak terlalu
tinggi. Selain itu, juga ditemukan sampel
dengan titer sangat tinggi (menandakan
infeksi belum terlalu lama terjadi) akan
tetapi bayi aterm. Walaupun kemungkinan,
gejala infeksi TORCH bisa muncul pada saat anak tumbuh dewasa.
Kelainan kongenital terbanyak didapatkan dari
ketiga titer yang positif akan tetapi ada 1
sampel dengan IgG Toxoplasma dan IgG
CMV terdapat kelainan kongenital, infeksi
CMV dipopulerkan sebagai penyakit yang
berdampak negatif terhadap janin atau
fetus yang dikandung oleh wanita hamil
yang terinfeksi. Pada infeksi CMV, infeksi
maternal atau ibu hamil kebanyakan
bersifat silent, asimtomatik tanpa disertai
keluhan klinik atau gejala, atau hanya
menimbulkan gejala yang minim bagi ibu,
namun dapat memberi akibat yang berat
bagi fetus yang dikandung, dapat pula
menyebabkan infeksi kongenital, perinatal
bagi bayi yang dilahirkan

C Pada penelitian titer yang tinggi


tidak selalu berkorelasi dengan luaran
berupa kelainan kongenital. Bahkan ada
beberapa dengan titer yang sama akan
tetapi luaran berbeda. Hal ini bisa saja
dihubungkan dengan umur kehamilan
seorang ibu hamil mulai terdeteksi IgG
dengan kadar yang tinggi (Kasper dan
Boothroyd, 1993; Surpam, dkk., 2006;
Roussis, dkk., 1994).
Data di Amerika Serikat pada tahun
2006 menyatakan 15%-30% wanita
mempunyai antibodi terhadap toxoplasma.
Infeksi TORCH di Indonesia pada
kehamilan menunjukkan prevalensi cukup
tinggi, berkisar antara 5,5% sampai 84%
(Beers & Berkow, 1999; Gershon, 1998;
Peter, 1992).
Seluruh
O Berdasarkan hasil analisis data dengan uji
statistik Chi-Square terhadap hubungan
infeksi TORCH dengan kejadian
kongenital pada bayi baru lahir didapatkan
nilai p=0,092 (p>0,05) Hasil ini
menunjukkan bahwa Infeksi TORCH tidak
berhubungan dengan kejadian kelainan
kongenital pada bayi baru lahir.
BAB III
PENUTUP

.1 KESIMPULAN
Untuk menghindari sedini mungkin penyakit TORCH yang sangat membahayakan
ini, ada beberapa hal sebagai solusi awal yang bisa dilakukan antara lain sebagai
berikut :
1. Bila mengkonsumsi daging seperti daging ayam, sapi, kambing, kelinci, babi
dan lainnya terlebih dahulu di masak dengan matang hingga suhu mencapai 60
derajat celcius, agar oosista – oosista yang mungkin terbawa di dalam daging
tersebut dapat mati.
2. Kucing peliharaan di rumah hendaknya diberi daging matang untuk mencegah
infeksi yang masuk kedalam tubuh kucing. Tempat makan, minum, dan alas
tidur harus selalu dicuci atau dibersihkan.
3. Hindari kontak dengan hewan – hewan mamalia liar.
4. Penanganan kotoran kucing sebaiknya dilakukan melalui sarung tangan.

.2 Saran
Dalam penulisan makalah tentu banyak kekurangan, penulis mohon maaf dan
penulis meminta saran dari pembaca.

Daftar Pustaka

Anik & Eka. (2017). Asuhan kegawatdaruratan maternal dan neonatal. Jakarta : Trans Info
Media
Persatuan perawat indonesia. Cetakan ii (2019). Standar diagnosa keperawatan indonesia.
Jakarta : DPP PPNI

Persatuan perawat indonesia. Cetakan ii (2019). Standar luaran keperawatan indonesia.


Jakarta : DPP PPNI

Persatuan perawat indonesia. Cetakan ii (2019). Standar intervensi keperawatan indonesia.


Jakarta : DPP PPNI

Wahyu & Icemi. (2013). Keperawatan maternitas. Yogyakarta : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai