Anda di halaman 1dari 19

Daftar isi

Daftar isi............................................................................................................................. 1

MENYINGKAP RAHASIA HAWA NAFSU...............................................................................2

Apakah hawa nafsu?........................................................................................................... 2

Mengenali Tabiat Nafsu...................................................................................................... 3

Perbedaan Antara Akal, Qalbu dan Nafsu........................................................................... 3

Jangan “Menuhankan” Nafsu.............................................................................................. 4

TINGKATAN-TINGKATAN NAFSU......................................................................................... 5

Nafsu Muthmainnah............................................................................................................ 5

Nafsu lawwamah.................................................................................................................. 5

Nafsu Ammarah.................................................................................................................... 5
PENYEBAB TIDAK TERKENDALINYA HAWA NAFSU............................................................. 7

Diperbudak kehidupan dunia............................................................................................... 7

Terperangkap rayuan syetan................................................................................................ 7

Lingkungan yang tidak kondusif............................................................................................8

Jiwa gersang dari pembinaan ruhiyah.................................................................................. 8

CARA MENUNDUKKAN HAWA NAFSU................................................................................ 10

Zuhud terhadap kehidupan dunia....................................................................................... 10

Bersihkan diri dengan taubat............................................................................................... 10

Menjauhkan diri dari perbuatan dosa................................................................................. 12

Merasa cukup terhadap pemberian Allah........................................................................... 12

Sabar terhadap berbagai musibah....................................................................................... 13

Tawakkal kepada Allah SWT................................................................................................. 14

Ridha terhadap segala keputusan Allah SWT....................................................................... 14

Fahami strategi syetan.......................................................................................................... 14

1
MENYIKAP RAHASIA HAWA NAFSU

Apakah Hawa Nafsu?

Ibnu Al-Jauzi mengemukakan bahwa terdapat tiga unsur dalam jiwa manusia, yakni
pertama , unsur akal. Akal merupakan perpaduan antara hati dan rasio. Akal memiliki dua
potensi, yaitu potensi baik dan buruk. Potensi baiknya sebagai tempat hikmah dan
pengetahuan (akal sehat). Akal inilah yang merupakan potensi yang dapat menjadikan
manusia mampu “berkomunikasi” dengan Allah. Manusia yang menggunakan akalnya
secara sehat akan dengan mudah mengenal Allah melalui hatinya. Sedangkan potensi
buruknya adalah tempat kebodohan dan kegelapan dalam melihat cahaya kebenaran.
kedua , unsur marah (emosional). Dengan potensi terbaiknya adalah keberanian dan
potensi buruknya adalah pengecut.
Ketiga , unsur syahwat (keinginan) yang identik dengan penjagaan kesucian diri
(‘iffah), sedang keburukannya adalah mengikuti atau menuruti hawa nafsu.
ketiga unsur di ataslah yang menjadikan manusia sebagai makhluk paling sempurna,
mengingat tidak terdapat makhluk lain yang memiliki kelengkapan unsur seperti manusia.
Kata syahwat berasal dari bahasa Arab, Syaha-Yasyha-Syahwatan, secara bahasa
berarti menyukai dan menyenangi. Sedangkan pengertian syahwat adalah kecenderungan
jiwa terhadap apa yang dikehendakinya. Dalam Al-Qur’an, kata syahwat terkadang
dimaksudkan untuk obyek yang diinginkan, tapi di ayat lain digunakan untuk menyebut
potensi keinginan manusia.
Syahwat digunakan dalam Al-Qur’an untuk menyebut hal-hal yang berhubungan
dengan syahwat seksual, (Q.S. 7: 81 dan Q.S. 27 : 55), yang berhubungan dengan mengikuti
pendapat orang secara membabibuta (Q.S. 4 : 27) dan berhubungan dengan keinginan
manusia terhadap kelezatan serta kesenangan (Q.S. 3 : 14 dan Q.S. 19 : 27) dan
berhubungan dengan keinginan manusia tehadap kelezatan serta kesenangan (Q.S. 3 : 14
dan Q.S. 19 : 15).
Dengan demikian, orang tertarik kepada lawan jenis adalah wajar dan tidak tercela.
Jika ia meng-follow up-i dengan pendekatan, melamar dan menikah. Tetapi jika meng-follow
up-inya dengan merayu, menipu, berzina dan apalagi sampai memperkosanya, maka
syahwat itu sudah berubah menjadi apa yang dalam Al-Qur’an disebut al-hawa, yang
kemudian dalam istilah bahasa indonesia menjadi hawa nafsu.
Contoh lainnya, orang boleh ingin kaya, ingin jadi bupati, anggota DPR atau bahkan
ingin jadi presiden, itu semua adalah syahwat politik yang wajar, manusiawi dan tidak
tercela. Demikian juga orang yang ingin menjadi milyarder atau konglomerat, adalah wajar-
wajar saja. Dorongan syahwat jika diikuti dengan tetap memperhatikan nilai-nilai moral,
maka ia bernilai positif. Nah, jika dorongan syahwat dituruti tanpa kendali moral, maka ia
berubah menjadi dorongan hawa nafsu yang bersifat destruktip. Ingin kaya dengan cara
korupsi atau menipu, ingin menjadi pejabat dengan cara menyuap, dan sebagainya.
Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hawa nafsu yang dimaksud
adalah keinginan manusia untuk mewujudkan syahwatnya dengan cara-cara yang
melanggar aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah beserta Rasul-Nya. Manusia

2
mengikuti atau diperbudak hawa nafsunya berarti ia secara sadar terjerumus dalam
kubangan dosa demi meraih apa yang diinginkannya.
Pembahasan kita kali ini adalah menyikap cara-cara bijak dan ‘arif agar hawa nafsu
bisa dikendalikan sehingga mampu mengarahkan potensi syahwatnya menuju ketaqwaan
kepada Allah SWT.
Allah berfirman “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran tuhannya
dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal(nya).” (Q.S. An-Nazi’at 79 : 40 – 41)
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya.” (Q.S. As-Syams 91 : 8 – 10).
Berdasarkan ayat diatas, Allah SWT “mengilhamkan” kepada jiwa manusia dengan
dua jalan, yakni kefasikan dan ketaqwaan. Orang yang lebih tertarik dengan ilham kefasikan,
jelas akan selalu menuruti hawa nafsunya. Sebaliknya, orang yang lebih tertarik pada ilham
ketaqwaan, akan mengikuti perintah dan petunjuk Allah. Dengan ketaqwaannya, berarti
juga telah menggunakan akal sehatnya dengan benar.

Mengenali Tabiat Hawa Nafsu

Syahwat yang terkendali oleh akal sehat dan hati yang bersih, apalagi jika didasarkan
pada nurani yang tajam, maka syahwat berfungsi sebgai penggerak tingkah laku dan
menyuburkan motivasi ke arah keutamaan hidup. Dalam kondisi demikian, syahwat seperti
energi yang selalu menggerakkan mesin untuk tetap hidup dan hangat. Keseimbangan itu
menjadikan orang mampu menekan dorongan syahwat pada saatnya harus ditekan (seperti
rem mobil), dan memberinya hak sesuai dengan kadar yang dibutuhkan.
Sedangkan hawa nafsu memiliki tabiat menuntut pemuasan seketika tanpa
mempedulikan dampak bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. Begitu kuatnya dorongan
hawa nafsu, maka Al-Qur’an mengibaratkan kedudukan hawa nafsu bagi orang yang tidak
mampu mengendalikannya seperti tuhan yang harus disembah (ittakhodza ilahahu
hawahu). Pengabdi hawa nafsu akan menuruti apapun perilaku yang harus dikerjakan,
betapapun itu menjijikkan. Jika orang memanjakan syahwat, dapat terjerumus pada
glamourism dan hedonis, maka orang yang selalu mengikuti dorongan hawa nafsunya pasti
akan terjerumus pada kriminalitas dan kenistaan.

Perbedaan Antara akal, qalbu dan nafsu

Terdapat banyak kajian mengenai terminology dari ketiga istilah di atas. Diantaranya:
Nafsu (jiwa), merupakan sisi dalam diri manusia. Ia bagaikan ruangan yang sangat luas dan
didalamanya terdapat bagian-bagian sebagai subistemnya, terdiri dari akal (mind), qalbu
(hati), bashirah (hati nurani), syahwat (motiv), dan hawa (hawa nafsu). Tingkat keluasan jiwa
manusia berbeda-beda, dipengaruhi oleh faktor hereditas dan proses interaksi psikologis
sepanjang hidupnya.
1. Akal adalah problem solving capacity (memiliki kapasitas untuk memecahkan
masalah). Akal memiliki tugas untuk berfikir. Akal tidak bisa memutuskan kebenaran,

3
tetapi hanya bisa menemukan kebenaran, dan kebenaran intelektual hanyalah
besifat relatif (mungkin benar mungkin juga salah).
2. Qalbu (hati), merupakan alat untuk memahami realita. Sesuatu yang tidak rasional
masih bisa difahami oleh qalbu (hati). Dalam system nafsani, qalbu merupakan pusat
pengendali system yang memimpin kerja jiwa manusia. Didalam qalbu, ada berbagai
kekuatan dan penyakit seperti; iman, cinta, dengki, keberanian, kemarahan,
kesombongan, kedamaian, kekufuran dan sebagainya. Qalbu memiliki otoritas
memutuskan sesuatu tindakan , oleh karena itu segala sesuatu yang disadari oleh
qalbu berimplikasi kepada pahala dan dosa. Apa yang sudah dilupakan oleh qalbu
masuk kedalam memori nafs (alam bawah sadar), dan apa yang sudah dilupakan
terkadang muncul dalam mimpi. Sesuai dengan namanya qalbu, ia sering tidak
konsisten.
3. Bashirah, adalah pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala.
Berbeda dengan qalbu yang tidak konsisten, bashirah selalu konsisten kepada
kebenaran dan kejujuran. Ia tidak bisa diajak kompromi untuk menyimpang dari
kebenaran. Bashirah disebut juga nurani yang berasal dari kata nur (cahaya).
Bashirah adalah cahaya ketuhanan yang ada dalam hati. Introspeksi, tangis,
kesadaran, religiusitas, god spot, semuanya bersumber dari bashirah.
4. Syahwat adalah motif kepada tingkah laku. Semua manusia memiliki syahwat
terhadap lawan jenis, bangga terhadap anak-anak, menyukai benda berharga,
kendaraan bagus, ternak dan kebun. Syahwat adalah sesuatu yang manusiawi dan
netral.
5. Hawa adalah dorongan kepada obyek yang rendah dan tercela. Perilaku kejahatan,
marah, frustasi, sombong, perbuatan tidak bertanggung jawab, korupsi, sewenang-
wenang dan sebagainya bersumber dari hawa. Karakteristik hawa adalah ingin
segera menikmati apa yang diinginkan tanpa mempedulikan nilai-nilai moralitas.

Jangan “Menuhankan” Hawa Nafsu

Umat Islam seyogyanya mewaspadai, bahwa terdapat sebagian umat manusia saat ini
yang menjadikan orientasi hidupnya semata-mata untuk kehidupan dunia, yang kemudian
berkembang menjadi sebuah ideology yang mengakar kuat di tengah-tengah manusia.
Ideology tersebut adalah “materialisme”. Ideology ini meyakini bahwa kehidupan dunia
adalah sesuatu yang nyata sehingga kebenaran hanyalah sesuatu yang mampu dibuktikan
dengan panca indra. Mereka mengingkari adanya sesuatu yang bersifat ghaib (abstrak) yang
pada akhirnya mengingkari adanya Tuhan, hari akhirat dan lain sebagainya.
Dalam konteks ini, ideology materialisme itulah yang menjadi tonggak dasar lahirnya
sikap “menuhankan hawa nafsu”. Realitasnya, kehidupan mereka terus menerus disibukkan
dengan mencari kepuasan dunia. Memperkaya diri dengan materi, menghiasi diri dengan
kemewahan. Dan bila keinginan tidak tercapai, mereka frustasi, dan mencari cara pintas
untuk mengakhiri hidupnya.
Sikap “menuhankan” hawa nafsu, tentu tidak selalu sepenuhnya seperti itu. Bila
kesibukkan duniawinya telah melalaikan dari keimanannya, maka ia termasuk pada kategori
“menuhankan hawa nafsu”. Allah SWT sangat mencela hamba-Nya yang “menuhankan
hawa nafsu”, sebagaimana firman-Nya: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan
ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan

4
atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. Al-
Jaatsiyah 45 : 23).
Marilah kita selalu berlindung kepada Allah SWT dari golongan manusia yang
semacam ini. Karena, apalah artinya hidup di dunia jika Allah telah mengunci mata hati,
pendengaran dan penglihatan kita. Terlebih ingatlah ancaman Allah SWT dalam firman-Nya,
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.
Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 7).

TINGKATAN-TINGKATAN NAFSU

Nafsu Muthma’innah

Nafsu Muthma’innah adalah dorongan untuk berbuat baik. Sejahat-jahat manusia


pasti masih ada dorongan-dorongan untuk berbuat baik. Untuk itu, jangan putus asa dalam
berdakwah, karena dibalik kenistaannya itu ada mutiara-mutiara kebaikan, gali terus
menerus dan sedikit demi sedikit, walaupun dalam keadaan keras hati, mudah-mudahan
satu saat akan muncul/tampak mutiara-mutiara yang carinya. “Kemudian setelah itu hatimu
menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh
ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan diantaranya sungguh ada yang
meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang
kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 74).
Secara eksplisit, nafsu mutma’innah tersurat dalam firmannya: “Hai jiwa yang
tenang (An-Nafsul Mutmaiinnah), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jema’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam
surga-Ku.” (Q.S. Al-Fajr 89 : 27 - 30)
Nafsu Mutma’innah merupakan tingkat nafs yang tertinggi, mengisyaratkan tentang
adanya hubungan langsung antara pencapaian martabat mutma’innah dengan tingkat
keimanan kepada Allah SWT.

Nafsu lawwamah

Yaitu nafsu yang suka mengoreksi (menegur/mengingatkan). Apabila nafsu


lawwamah tidak direspon, maka dengan proses waktu, teguran-teguran tersebut menjadi
imun (kebal terhadap teguran) dan ketika melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya tidak
merasa bersalah. Namun apabila melakukan kesalahan kemudian ada perasaan berdosa,
maka sebagai isyarat bahwa nafsu sensornya (lawwamah) masih berfungsi.

Nafsu Ammarah
Yaitu dorongan untuk berbuat buruk (negatif). Nafsu amarah adalah nafsu terendah
yang selalu menyuruh untuk berbuat kejahatan. Untuk itu, nafsu harus di manage dengan
baik agar terkendali; kapan nafsu baik itu dimunculkan dan kapan nafsu buruk itu diredam
(menempatkan nafsu secara proporsional). Rasulullah SAW bersabda: “Tiada satu qalbupun
kecuali memiliki awan seperti awan menutupi bulan. Walaupun bulan bercahaya, tetapi

5
karena qalbu ditutup oleh awan, ia menjadi gelap. Ketika awannya menyingkir, ia pun
kembali bersinar.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan (Ammarah bissui’), kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya tuhanku maha pengampun lagi maha penyayang.” (Q.S. Yusuf
12 : 53).
Apabila sudah diperbudak nafsu amarah, sebagai pertanda hatinya sudah mati, akal
sehatnya hilang, nuraninya tertutup, hidupnya dalam keadaan gelap gulita, tidak mampu
melihat kebenaran dalam kebatilan. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi,
lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata
itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang didalam dada.” (Q.S. Al-Hajj 22 : 46).
Hidupnya dalam keadaan melanggar aturan-aturan Allah, namun tidak merasa
bersalah yang akhirnya akan mengalami penyesalan yang sangat, yang mana penyesalan
ketika itu tidak berguna lagi, yaitu ketika menerima kitab yang berisi perbuatan-perbuatan
buruk yang memperturutkan hawa nafsu yang menjerumuskannya kepada ahli neraka. “Dan
diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap
apa yang (tertulis) didalamnya dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini
yang tidak meniggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat
semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu
tidak menganiaya seorang juapun.” (Q.S. Al-Kahfi 18 : 49).

6
PENYEBAB TIDAK TERKENDALINYA HAWA NAFSU

Diperbudak kehidupan dunia

Kata “budak” biasanya ditujukan pada mereka yang berada dalam genggaman orang
lain sepenuhnya. Seseorang yang diperbudak, berarti segala gerak langkahnya diatur dan
diarahkan oleh majikannya. Bila ia diperbudak oleh dunia, maka segala gerak langkahnya
dikendalikan dan diarahkan untuk meraih segala sesuatu yang bersifat duniawi semata.
Sikap seperti inilah yang kemudian menyebabkan seseorang tidak mampu mengendalikan
hawa nafsunya.
Salah satu pintu pembuka masuknya orang dalam bingkai hawa nafsu, adalah
kecintaan yang berlebihan pada dunia. Karena dengan kecintaannya yang tidak wajar, maka
akan datang berbagai penyakit hati. Ada yang menjadi sombong, dengki, serakah atau capek
memikirkan yang tak ada. Makin cinta pada dunia, akan semakin serakah, bahkan bisa
berbuat keji untuk mendapatkan dunia yang diinginkannya.
Ciri lainnya adalah takut kehilangan. Seperti orang yang bersandar ke kursi, maka
akan takut sandarannya diambil. Orang yang bersandar ke pangkat atau kedudukan, maka ia
akan takut pangkat atau kedudukannya diambil. Karenanya, pecinta dunia itu tak pernah
bahagia.
Kita harus meyakini bahwa siapapun yang tak pernah berusaha melepaskan dirinya
dari kecintaan terhadap dunia, maka akan sengsara hidupnya karena sumber dari segala
fitnah dan kesalahan adalah ketika seseorang begitu mencintai dunia. Allah SWT telah
mengingatkan dalam banyak ayat Al-Qur’an mengenai kehidupan dunia. Salah satunya
seperti terdapat dalam firman-Nya; “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda
gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau
mereka mengetahui.” (Q.S. Al-‘Ankabuut 29 : 64).
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan
di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum
yang kafir.” (Q.S. An-Nahl 16 : 107).
Semoga Allah mengaruniakan pada kita nikmat hidup yang tak terbelenggu oleh
kesenangan dunia.

Terperangkap Rayuan Syetan

Syetan hanya satu, yaitu menggoda dan menggelincirkan manusa sebanyak-banyaknya.


Syetan tak akan membiarkan manusia untuk mengingat Allah SWT, walaupun hanya sedetik.
Pikiran kita akan selalu dibelokkan kepada urusan-urusan yang akan melalaikan diri kita dari
mengingat Allah SWT, karena syetan pernah berjanji akan menggoda dan menggelincirkan
manusia dari jalan kebenaran, hal ini dijelaskan dalam firman Allah, “Kemudian saya akan
mendatangi mereka (manusia) dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri
mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)” (Q.S. Al-
A’raaf 7 : 17)

7
Melihat berbagai keterbatasan manusia, Allah SWT telah memberikan aneka
perlindungan kepada kita. Salah satunya dengan dzikirullah.
Rasulullah telah mencontohkan beberapa dzikirullah yang dapat membentengi kita dari tipu
daya syetan. Di antaranya, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW; “perbanyaklah
mengucapkan ‘Laa Ilaaha illallaahu’ dan beristighfar. Karena syetan berkata, ‘Aku telah
membinasakan mereka (manusia) dengan dosa sedangkan mereka membinasakanku
dengan ucapan ‘Laa Ilaaha illallaahu’ serta dengan beristighfar. Ketika aku melihat hal itu,
aku binasakan mereka dengan hawa nafsu. Sehingga mereka akhirnya menyangka bahwa
mereka terus berada dalam naungan hidayah dan merekapun tidak lagi beristighfar.” (H.R.
Abu Ya’la dan Ad-Dailami).
Kalau kita simak hadits diatas, maka begitu besar manfaat dan pengaruh kalimah ‘Laa
Ilaaha illallaah’ ini dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya untuk membentengi diri kita
dari rayuan syetan.
Kalau kita amati secara seksama, memang kalimah ‘Laa Ilaaha illallaah’ kelihatannya
sangat mudah diucapkan oleh kita, anak kitapun sekalipun yang notabene dia baru belajar
ngaji, juga sudah sangat pandai mengucapkan kalimat tersebut. Demikian juga orang-orang
kafir tidak susah dalam melafazkan kalimat ini dengan baik. Tetapi untuk
mengimplementasikan kalimat ‘Laa Ilaaha illallaah’ sangatlah susah.

Lingkungan yang Tidak Kondusif

Manusia itu makhluk sosial, artinya dia tidak bisa hidup sendirian tanpa teman.
Persahabatan atau pertemanan akan banyak mempengaruhi cara berfikir, bersikap, dan
berbuat, sehingga ada keterangan yang menyebutkan Al-mushahaabatu tasriqu Thabii’ah,
artinya persahabatan itu suka mencuri tabiat. Maksudnya, dalam berinteraksi dengan teman
sangat mungkin ada perilaku atau cara berfikir mereka yang diadopsi oleh kita, dan bisa pula
sebaliknya, cara berfikir dan berbuat kita diadopsi oleh orang lain.
Syukur-syukur kalau kita selalu mengadopsi cara berfikir dan berbuat yang positif.
Yang dikhawatirkan kalau yang kita adopsi dari mereka justru hal-hal negatif. Begitu
pentingnya peranan sahabat atau lingkungan, sampai-sampai Nabi Ibrahim a.s pernah
berdoa, Rabbi hablii hukman wa alhiqnii bishalihin, artinya “Ya Tuhanku, beri aku ilmu dan
masukkan aku ke dalam lingkungan orang-orang saleh.” (Q.S. Asy-Syu’ara 26 : 83). Tentu
saja doa ini bisa kita baca untuk meminta kepada Allah agar diberi teman atau lingkungan
pergaulan yang baik. Beruntunglah kalau kita memiliki lingkungan pergaulan yang baik
karena itu merupakan indikator kebaikan dunia.

Jiwa Gersang dari Pembinaan Ruhiyah

Agama Islam bukan saja mementingkan aspek lahiriyyah, tetapi juga mementingkan
aspet ruhaniyyah, tanpa ada kesinambungan diantara kedua aspek tersebut, maka orang
tersebut akan hidup dalam ketimpangan. Terlebih musuh-musuh kita senantiasa berusaha
untuk menyelewengkan diri kita dari ajaran yang sebenarnya. Untuk membentenginya,
diperlukan upaya khusus secara berkesinambungan demi tercapainya kehidupan kita secara
berimbang berupa tarbiyyah ruhiyyah (pembinaan mental melalui ilmu-ilmu agama) sebagai
penyucian diri serta membangun benteng iman yang kokoh untuk menghadang segala
serangan yang dapat menjerumuskan diri kita pada kenistaan.

8
Dengan demikian, tidak selayaknya bagi manusia jauh dari ilmu Allah SWT, ilmu
agama adalah hal yang terpenting didalam kehidupan manusia, para nabi tidak mewariskan
harta, akan tetapi mereka mewariskan ilmu.
Hadir di majelis ilmu bisa menghidupkan hati yang telah mati, sebagaimana Allah
SWT menghidupkan tanah yang telah tandus dengan air hujan.
Sejak Islam tumbuh di jazirah Arab, majelis ta’lim sebenarnya memiliki akar sejarah
yang sangat kuat. Majelis sebenarnya memiliki akar sejarah yang sangat kuat. Majelis ta’lim
merupakan salah satu cara yang efektif yang dilakukan Rasulullah untuk menyampaikan
wahyu dalam rangka pembinaan terhadap para sahabatnya. Dalam majelis ta’lim itulah
pemecahan segala masalah menyangkut keagamaan umat diselesaikan. Dalam
perkembangannya, majelis ta’lim tidak hanya menjadi lembaga pentransfer ilmu saja, akan
tetapi telah melakukan perubahan-perubahan sampai pada peningkatan kemampuan kaum
muslimin yang meliputi dimensi kognitif (pengetahuan) afektif (sikap) maupun psikomotorik
(terampil), sehingga nilai-nilai Islam bisa diaplikasikan dalam kehidupan, baik individu
maupun sosial.
Kita mesti menyadari pentingnya mengikuti majelis ta’lim seiring kesadaran kita akan
pentingnya ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama.
Perintah dalam Al-Qur’an dan hadist mengenai kewajiban menuntut ilmu sangat
banyak. Hanya saja sampai saat ini, majelis ta’lim masihmenjadi cara efektif dan efisien
dalam pelayanan akan kebutuhan ilmu, dengan demikian hendaknya kita memiliki perhatian
yang besar terhadap majelis ta’lim sebagai tempat tarbiyyah ruhiyyah (pembinaan ruhani)
kita. Ditunjang dengan beberapa dalil sebagai berikut: “Maka bertanyalah kepada ahludz
dzikir (ahli ilmu/ulama) jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl 16 : 43)
Imam Ibnul Qayyim mengomentari “ahludz-dzikir” dalam ayat diatas sebagai
berikut, “Ahludz dzikir yaitu orang yang paham tentang apa-apa yang diturunkan Allah
kepada para Nabi.”
Perintah bertanya dalam ayat diatas menunjukkan adanya kemestian pertemuan
dalam rangka pembelajaran antara orang yang belajar ilmu dalam sebuah kelembagaan,
baik formal maupun nonformal, berkala atau tidak, yang biasa kita sebut majelis dzikir.
Namum sebagian besar ulama memaknai kata majelus dzikir.
Namun sebagian besar ulama memaknai kata majelis dzikir bukan sebagai majelis
untuk berdzikir secara lisan, tetapidalam pandangan mereka majelis dzikir adalah majelis
tempat diajarkannya ilmu agama.
Imam asy-syathibi menjelaskan, “Majelis dzikir yang sebenarnya adalah majelis yang
mengajarkan Al-Quran, ilmu-ilmu syar’i (agama), mengingatkan umat tentang sunnah-
sunnah Nabi agar mereka mengamalkannya, menjelaskan tentang bid’ah-bid’ah agar umat
berhati-hati terhadapnya dan menjauhinya. Ini adalah majelis dzikir yang sebenarnya.”
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling,
mereka mengikuti majelis-majelis dzikir. Apabila mereka menemui majelis yang didalamnya
ada dzikir, maka mereka duduk bersama-sama orang yang berdzikir, mereka mengelilingi
para jamaah itu dengan sayap-sayap mereka, sehingga memenuhi ruangan antara mereka
dengan langit dunia, jika para jamaah itu selesai maka mereka naik ke langit” (H.R. Muslim)

9
CARA MENUNDUKKAN HAWA NAFSU

Zuhud Terhadap Kehidupan Dunia


Secara harfiah, zuhud berarti tidak berminat kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian, alias meninggalkan gemerlap kehidupan yang bersifat material.
Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka
mengendalikan diri dari pengaruh negatif kehidupan dunia. Orang zuhud lebih
mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang abadi daripada mengejar
kehidupan dunia yang fana. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat berikut,
“...Katakanlah, ‘kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.’” (Q.S. An-Nisa 4 :
77)
“Dan tiadalah kehidupan ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah
kamu memahaminya?” (Q.S. Al An’am 6 : 32).
“...Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat
hanyalah sedikit.” (Q.S. At-Taubah 9 : 38)
Ayat-ayat diatas memberi petunjuk bahwa kehidupan dunia yang sekejap ini
sungguh tidak sebanding bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal dan abadi.
Kehidupan akhirat lebih baik dari kehidupan dunia. Lebih lanjut Allah berfirman, “Sedangkan
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S. Al-A’laa 87 : 17)
Orang zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total, mereka menjadikan
dunia hanya sebatas genggaman tangannya dan tidak sampai memperbudak hatinya. Inilah
hakikat zuhud. Perhatikan ayat berikut, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu
dari kenikmatan duniawi, dan berbuat baiklah kepada orang lain, sebagaiman Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-
Qashash 28 : 77)
Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan agar kita menggunakan segala kenikmatan
yang diberikan-Nya untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat. Namun, Allah SWT
menegaskan bahwa kehidupan dunia juga tidak boleh kita lupakan. Merujuk pada ayat ini,
kita bisa menyimpulkan bahwa orang zuhud sangat mengutamakan kehidupan akhirat,
namun mereka tidak meninggalkan kehidupan dunia, sehingga terjadi keseimbangan antara
kebahagiaam dunia dan akhirat.

10
Bersihkan Diri dengan Taubat

Didunia ini tidak ada manusia yang steril dari dosa, artinya semua orang pernah
berbuat dosa, yang berbeda adalah kadar dosanya, ada yang berbuat dosa kecil dan ada
juga yang berbuat dosa besar.
Allah SWT maha pengampun, maha penyayang dan maha penerima taubat. Sebesar
apapun dosa dan kesalahan hamba-Nya, Allah pasti akan menerima taubatnya selama
taubat itu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Perhatikan firman Allah berikut ini, “Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat semurni-murninya,
mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan
memasukkan kalian kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai..” (Q.S. At-
Tahrim 66 : 8)
Yang dimaksud dengan kalimat , bertaubatlah kepada Allah dengan taubat semurni-
murninya dalam ayat diatas adalah taubat yang sungguh-sungguh. Bagaimana cara taubat
yang sungguh-sungguh itu? Ada tiga hal yang harus kita lakukan kalau ingin masuk kategori
taubat nashuha (sungguh-sungguh), yaitu:
1. Berhenti dari perbuatan dosa tersebut
2. Tidak mengulanginya
3. Melakukan recovery (pemulihan) dengan meningkatkan amalan-amalan
yang saleh. Misalnya berusaha melakukan ibadah-ibadah sunah seperti
shalat Rawatib, Tahajud, Witir, Dhuha, Shaum senin kamis, shaum Daud,
membaca Al-Qur’an, pokoknya tingkatan amalan-amalan saleh.
Poin-poin diatas diambil dari firman Allah SWT berikut, “...kecuali orang-orang yang
bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah
dengan kebajikan. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang
yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada
Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (Q.S. Al-Furqan 25 : 70 – 71)
Taubat merupakan tenaga yang harus dilewati oleh orang yang ingin sampai pada
puncak kesucian spiritual. Artinya, walaupun kita tidak melakukan dosa besar, taubat itu
tetap harus kita lakukan setiap saat sehingga kita bisa meraih kesucian spiritual. Inilah yang
dilakukan oleh kekasih kita, Rasulullah SAW.
Al-Ashghar bin Yasar Al-Muzanny r.a. berkata, Raulullah SAW bersabda, “Wahai
manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya,
sesungguhnya saya bertaubat seratus kali setiap hari.” (H.R. Muslim)
Taubat bisa kita lakukan kapanpun. Tidak ada kata terlambat untuk bertaubat,
karena pintu taubat Allah selalu terbuka siang ataupun malam.
Abu Musa Abdullah Bin Qais al-Asy’ariy r.a. berkata, telah bersabda Nabi SAW,
“Sesungguhnya Allah ta’ala itu membentangkan tangan-Nya (memberikan kesempatan)
pada waktu malam, untuk taubatnya orang yang berbuat dosa pada siang hari. Dan Allah
membentangkan tangan-Nya (memberi kesempatan) pada waktu siang, untuk taubatnya
orang yang berbuat dosa di malam hari, hingga matahari terbit dari barat.” (H.R. Muslim).
Maksud kalimat hingga matahari terbit dari barat adalah hingga hari kiamat.
Kapan pintu maaf-Nya tertutup? Pintu maaf Allah SWT tertutup apabila kita
memohon maaf (taubat) pada saat menghadapi syakaratul maut.

11
Abu Abdurrahman bin Umar bin khathab r.a. berkata, Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah yang Maha Agung akan menerima taubat seseorang sebelum nyawa
sampai di tenggorokan (sebelum sekarat).” (H.R. Tirmidzi)
Banyak manusia lalai dari taubat karena terlena oleh kenikmatan duniawi yang
sifatnya hanya sesaat. Karena itu Allah SWT mengingatkan kita dalam firman-Nya; “...Barang
siapa dujauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, maka sungguh ia telah
beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
(Q.S. Ali-Imran 3 : 185)
Oleh sebab itu, Allah SWT memerintahkan agar kita segera bertaubat dari berbagai
dosa dan maksiat agar mendapat keberuntungan, “...Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur 24 :
31)
Kesimpulannya, janganlah putus asa dari ampunan Allah SWT. Sesungguhnya Allah
itu maha penerima Taubat. Allah akan senantiasa mengampuni dosa-dosa yang kita lakukan
sebanyak dan sebesar apapun dosa tersebut, asalkan kita bertaubat dengan sungguh-
sungguh sebelum ajal menjemput. Ciri taubat dengan sungguh-sungguh adalah
menghentikan perbuatan dosa tersebut, lalu tidak mengulanginya lagi, dan memulihkan
iman dengan meningkatkan amalan-amalan saleh.

Menjauhkan Diri dari Perbuatan Dosa

Dosa adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya yang tercantum didalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits; sungguh Allah telah menjanjikan didalam Al-Quran kepada orang
yang dapat memelihara diri darj perbuatan dosa yang dilarang oleh Allah SWT. sebagaiman
firman-Nya, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-
hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa
yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Ibnu Abbas berkata,
“Dosa besar (al-kabaair) adalah setiap dosa yang distempel oleh Allah dengan neraka,
murka, laknat atau siksa.” (Q.S. Al-Maaidah 5 : 49)
Dalam dunia tasawuf, orang yang selalu menjauhi dosa dinamakan al-wara’. Secara
harfiah, al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya
mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi, al-wara’
adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan
haram (syubhat). Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadist Nabi,
“barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas
dari yang haram.” (H.R. Bukhari).
Hadits tersebut menunjukan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram. Kaum sufi
menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian yang haram dapat memberi
pengaruh bagi orang yang memakan, meminum, atau memakainya. Orang yang demikian
akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Hal ini dipahami dari hadist
Nabi yang menyatakan bahwa setiap makanan haram, yang dimakan oleh manusia akan
mentebabkan noda hitam pada hati yang lama-kelamaan hati tersebut menjadi keras.

12
Merasa Cukup Terhadap Pemberian Allah

Nikmat Allah yang diberikan kepada manusia sangatlah luas, sehingga kita tidak bisa
menghitungnya, bahkan tidak akan pernah terhitung. Sebagaimana firman-Nya, “Dan Dia
telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari
(nikmat Allah).” (Q.S. Ibrahim 14 : 34).
Syukur adalah pengakuan seseorang bahwa sesungguhnya ucapa al-hamdulillah
sorang mukmin sebagai pernyataan bahwa hanya Allah-lah yang berhak menerima segala
puji dan syukur. Hal ini bisa menghilangkan sifat egois dan sikap sombong yang melekat
pada diri sesorang. Bagaimana mau somong jika ia sendiri sadar bahwa nikmat dan
keberhasilan yang diraihnya selama ini adalah anugrah Allah semata. Allah SWT
memberikan karunia-Nya tanpa batas dan melimpahkannya tanpa batas.
Syukur adalah menggunakan nimat Allah secara proporsional. Atau dengan kata lain,
bahwa nikmat yang kita terima harus dimanfaatkan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki
oleh-Nya. Misalnya, nikmat harta harus diinfakkan, ilmu harus diamalkan, umur untuk
ibadah, dan sebagainya. Jadi, syukur itu punya makna yang sangat luas, tidak sekedar
getaran terima kasih yang terungkap dalam hati, mengucapkan dalam lidah atau
mengadakan upacara syukuran, tetapi yang terpenting adalah memanfaatkan semua
karunia Allah pada jalan yang diridhainya. Misalnya, Allah mengaruniakan akal kepada
manusia, maka gunakanlah akal itu untuk berpikir, mempelajari hingga mampu
membuahkan pemikiran-pemikiran yang baik dan benar. Allah mengaruniakan manusia
anggota tubuh yang sempurna, maka harus dimanfaatkan untuk ibadah dan melakukan hal-
hal yang berguna bagi kesejahteraan hidup. Allah SWT berfirman, “...Bersyukurlah kepada-
Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu...”. (Q.S. Lukman 31 : 14). Dan dalam hadist Nabi
SAW disebutkan: “Orang yang tidak mau berterimakasih kepada manusia, tentu tidak akan
bersyukur kepada Allah.”
Pendek kata, rasa syukur terhadap nikmat Allah harus dilahirkan dalam wujud amal
nyata. Baik dilakukan dengan hati, diucapkan dengan lisan maupun dilakukan dengan
anggota badan. Imam ghazali pernah berkata, bahwa ada tiga cara bersyukur kepada Allah
SWT, yaitu; Pertama, besyukur dengan hati, yaitu mengakui dan menyadari segala nikmat
itu dari Allah. Kedua, bersyukur dengan lidah, yaitu mengungkapkan rasa syukur dengan
banyak membaca “Al-Hamdulillah”. Ketiga, bersyukur dengan amal perbuatan, yaitu
mempergunakan dan memanfaatkan seluruh anggota badan untuk beribadah kepada-Nya.
Bersyukur dengan hati, misalnya niat dan bercita-cita untuk beramal saleh, dan
selalu mengarahkan hati untuk berdzikir kepada Allah SWT. Bersyukur dengan lisan, yaitu
melahirkan rasa syukur atas nikmat Allah dengan anggota badan ialah menggunakan seluruh
anggota yang tujuh, yaitu mata, telinga, lidah, tangan, perut, dan kaki untuk taat kepada
perintah-perintah Allah SWT.

Sabar Terhadap Berbagai Musibah

Sabar, membuat seseorang selalu merasa tenang dan tentram, hatinya selalu
bersyukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. sehinggia orang-orang yang
sabar hidupnya selalu merasa berkecukupan. Dia tidak pernah meminta sesuatu yang bukan
haknya, karena Allah SWT akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersabar

13
berupa kenikmatan surga, sebagaiman firmannya, “Apa yang disisimu akan lenyap, dan apa
yang ada disisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik (surga) dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (Q.S. An-Nahl 16 : 96).
Sabar bukan berarti menyerah pada keadaan. Sabar adalah ketabahan hati didalam
menjalani ujian kehidupan yang dihadapkan oleh Allah kepada manusia. Hidup adalah
perjuangan yang harus dihadapi, bukan untuk dihindari.
Sabar merupakan pondasi utama dalam menghadapi berbagai macam ujian. Ujian
yang menimpa diri kita harus dibarengi dengan positif thinking (berbaik sangka) kepada
Allah. Sebab dibalik ujian yang menimpa diri kita, tentu ada hikmah yang akan kita
dapatkan. Oleh karena itu, Allah SWT menyatakan didalam firman-Nya, “Dan sungguh akan
kami berikan cobaan (ujian) kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar. Orang-orang yang apabila dirimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa
innaa ilaihi raaji’uun’ (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada
keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan merekaa itulah orang-
orang yang mendapat petunjutk.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 155 – 157).
Hidup di dunia ini akan diwarnai oleh berbagai macam ujian disetiap saat dan waktu.
Setelah ujian yang satu dilaluinya, maka akan dihadapkan pada ujian berikutnya, sampai
berakhirnya kehidupan ini.

Tawakkal Kepada Allah SWT

Dikisahkan, ketika Rasulullah SAW berada di masjid, ada seorang sahabat yang
datang untuk bertemu Rasul SAW, dengan tidak mengikat untanya terlebih dahulu.
Kemudian Nabi SAW, bertanya tentang untanya, sahabat menjawab, “aku telah
bertawakkal kepada Allah.” Nabi SAW meluruskan kekeliruan dengan bersabda: “Ikat dulu
(untamu) kemudian bertawakkallah.” (H.R. Tirmidzi).
Orang-orang yang beriman dan orang yang takut kepada Allah automatically akan
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya didalam meraih keinginannya.
Janji Allah kepada orang yang bertakwa, akan memberikan jala keluar dan keberuntungan,
sebagaiman firman-Nya, “...Baeangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki yang tidak disangka-sangka. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Q.S. Ath-Thalaaq
65 : 2 – 3).
Bertawakkal kepada Allah, berarti tunduk patuh pada aturan Allah (sunnatullah),
yaitu mengikuti aturan Allah didalam mencapai tujuannya dengan melalui prisedur yang
terstruktur, sitemik, dan terencana, dengan berlandaskan niat yang baik dan tujuan yang
benar.

Ridha Terhadap Segala Keputusan Allah SWT

Secara harfiah, ridha artinya rela menerima kenyataan, sepahit apapun kenyataan
itu. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa sengang menerima nikmat.

14
Mausia biasanya merasa sukar menerima keadaan pahit yang menimpa dirinya,
seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, kedudukan, kematian dan lain-lain yang
dapat mengurangi kesenangannya. Yang dapat bertahan dari berbagai cobaan itu hanyalah
orang-orang yang telah memiliki sifat ridha. Selain itu ia juga rela berjuang atas jalan Allah,
rela menghadapi segala kesukaran, rela mebela kebenaran, rela berkorban harta, jiwa dan
lainnya.
Dalam hadits Qudsi, ditegaskan: “Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain
Aku. Baransiapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku
serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari kolong langit dan
cari Tuhan selain Aku.”

Fahami Strategi Syetan

“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-
benar akan menghalang-halangi mereka (manusia) dari jalan yang lurus. Kemudian saya
akan mendatangi mereka dari depan, belakang, kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau
tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.’” (Q.S. Al-A’raf 7 : 16 – 17).
Inilah proklamasi setan. Mereka berjanji akan menyesatkan manusia dari segala
penjuru. Tidak ada satu celah pun dalam kehidupan manusia kecuali pasti akan dijadikan
sarana untuk menjerumuskan manusia. Untuk mewujudkan janjinya ini, setan menyusun
visi, misi, dan strategi.
Visi setan adalah memperbudak manusia, sedangkan misinya adalah mengondisikan
manusia lupa kepada Allah. “Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa
mengingat Allah; mereka itulah golongan setan. Ketahuilah sesungguhnya golongan setan
itulah golongan yang merugi.” (Q.S. Al-Mujadilah 58 : 19).
Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa setan berusaha menguasai manusia alias
memperbudaknya. Untuk memperbudak manusia, setan melakukan pengondisian, yaitu
dengan menciptakan atmosfer agar manusia lupa pada ajaran-ajaran Allah. Kalau manusia
sudah lupa pada Allah, setan dengan mudah akan memperbudaknya.
Ada beberapa strategi setan untuk mewujudkan visi dan misinya, yaitu:

a. Waswasah
Waswasah artinya membisikkan keraguan pada manusia ketika melakukan
kebaikan atau amal saleh. Saat terdengar kumandang subuh dan tubuh kita masih
dililit selimut, terbesit dalam pikiran, “Nanti lima menit lagi.” Ini adalah waswasah.
Kenyataannya bukan lima menit tapi satu jam, akhirnya shalat subuh terlambat.
Silakan cermati dalam kehidupan keseharian, sering terbesit pikiran-pikiran yang
membuat kita megurungkan bahkan meninggalkan suatu kebajikan. Ini namanya
strategi waswasah.
b. Tazyin
Tazyin artinya membungkus kemaksiatan dengan kenikmatan. Segala yang
berbau maksiat biasanya terlihat indah. Misalnya, mengapa orang yang berpacaran
lebih mesra daripada suami-istri? Jalan-jalan saat pacaran lebih mengesankan
daripada setelah menikah. Ini karena ada unsur tazyin. Pacaran itu maksiat,
sementara nikah itu ibadah. Nah, yang maksiat disulap oleh setan sehingga terasa
lebih indah, nikmat, dan mengesankan. Inilah yang disebut strategi tazyin. “Setan
berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti

15
aku akan menjadikan mereka memandang baik perbuatan maksiat di muka bumi
dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hama Engkau
yang mukhlis diantara mereka.’” (Q.S. Al-Hijr 15 : 39 - 40).
c. Tamanni
Tamanni artinya memperdaya manusia dengan khayalan dan angan-angan.
Pernahkah terbesit niat akan Shalat tahjud saat merebahkan badan di tempat tidur?
Namun, pada jam tiga pagi saat weker berbunyi, kita cepat-cepat mematikannya lalu
meneruskan tidur.
Pernahkah kita ingin bertobat? Namun, pada saat maksiat ada didepan mata,
kita kita tetap saja melakukannya. Ironisnya, ini berlangsung berkali-kali. Inilah yang
disebut strategi tamanni. Tahjud, tobat, dan segala amalan saleh hanya sampai
angan-angan. Tidak menjadi kenyataan. “Dan sesungguhnya aku (setan), akan
menyesatkan mereka (manusia), dan sesungguhnya aku akan bangkitkan angan-
angan kosong pada mereka...” (Q.S. An-Nisa 4 : 119).
“Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-
angan kosong pada mereka, padahal setan tidak menjanjikan kepada mereka selain
dari tipuan belaka.” (Q.S. An-Nisa 4 : 120).

d. A’dawah
A’dawah artinya berusaha menanamkan permusuhan. Setan berikhtiar
menumbuhkan permusuhan diantara manusia. Biasanya, permusuhan berawal dari
prasangka buruk. Supaya manusia bermusuhan, setan biasanya menumbuhkan
prasangka buruk. Karena itu, waspadai kalau kita berprasangka buruk pada orang
lain, sesungguhnya kita telah terperangkap pada strategi setan.
Kalau ada suami atau istri tanpa alasan yang jelas selalu berprasangka buruk
pada pasangannya, harus diwaspadai ini adalah strategi setan sehingga rumah
tangga tersebut akan diwarnai permusuhan.
Tentu kita harus bedakan antara prasangka buruk dan waspada. Kita harus
waspada namun tidak boleh berprasangka buruk. “Sesungguhnya setan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu...” (Q.S.
Al maidah 5 : 91).
e. Takhawif
Takhawif artinya menakut-nakuti. Pernahkah anda merasa takut miskin
karena menginfakkan sebagian harta, takut tidak mendapat jodoh atau pekerjaan
karena mengenakan jilbab, takut disebut so alim karena datang ke majelis taklim?
Kalau kita pernah merasakannya, inilah strategi takhwif.
Namun, tidak semua perasaan takut itu dari setan. Ada juga rasa takut yang
bersifat manusiawi, misalnya takut cicak, takut tidak lulus ujian, takut anak tidak
saleh, dll. Ini adalah takut yang fitriah alias alamiah dan tentu saja takut seperti ini
diperbolehkan alias bukan strategi setan.
Yang disebut takhwif (rasa takut) yang datang dari setan adalah takut yang
menyebabkan kita tidak melaksanakan perintah Allah. Misalnya, takut miskin hingga
kita tidak berzakat. Takut mati hingga kita tidak berhaji padahal sudah mampu. Takut
hantu sehingga kita meninggalkan tahajud. Takut seperti inilah yang disebut strategi
takhwif, yakni perasaan takut yang membuat kita tidak mengamalkan ajaran-
ajaranNya. “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-

16
nakuti kamu dengan kawan-kawannya karena itu janganlah kamu takut kepada
mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”
(Q.S. Ali-Imran 3 : 175).
f. Shaddun
Shaddun artinya berusaha menghalang-halangi manusia menjalankan
perintah Allah dengan menggunakan berbagai hambatan. Pernahkah anda merasa
malas saat mau melakukan shalat, atau mengantuk saat membaca Al-Quran
meskipun sudah cukup tidur? Ini adalah gejala shaddun dari setan. “Barangsiapa
yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran). Kami adakan
baginya setan yang menyesatkan maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka
dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.”
(Q.S. Az-Zukhruf 43 : 36-37).
g. Wa’dun
Wa’dun artinya janji palsu. Setan berusaha membujuk manusia agar mau
mengikutinya dengan memberikan janji-janji yang menggiurkan. Akhirnya manusia
mempercayainya. Misalnya, banyak kasus seorang wanita menyerahkan dirinya pada
sang pacar karena dijanjikan akan dinikahi. Namun setelah hamil, sang pacar raib
entah kemana. Dia tidak mau bertanggung jawab . inilah contoh wa’dun alias janji
palsu dari setan.
Setan mengakui bahwa janji-janji yang diberikan kepada manusia adalah
janji-janji palsu. “Dan berkatalah setan tatkala perkara telah diselesaikan,
‘Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar dan akupun telah
menjanjikan kepadamu, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan
bagiku terhadapmu, melainkan sekedar aku menyerumu, lalu kamu mematuhi
seruanku. Oleh sebab itu, janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu
sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu, dan kamu pun sekali-kali tidak
dapat menolongku. Sesungguhnya, aku tidak membenarkan perbuatanmu
mempersekutukanku dengan Alah sejak dahulu.’ Sesungguhnya orang-orang yang
zalim itu mendapat siksaan yang pedih.” (Q.S. Ibrahim 14 : 22).
Ayat ini menjelaskan bahwa di akhirat setan buka karu. Mereka mengatakan
kepada ahli neraka bahwa janjinya itu palsu, sementara janji Allah benar. Karena itu,
mereka berkata, “janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri.
Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu, dan kamu pun sekali-kali tidak dapat
menolongku.”
h. Kaidun
Kaidun artinya tipu daya. Setan berusaha sekuat tenaga memasang sejumlah
perangkap agar manusia terjebak. Sebenarnya, tipu daya setan itu tidak akan ada
pengaruhnya bagi orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT. Allah
menegaskan dalam firmannya bahwa tipu daya setan itu lemah. “orang-orang
beriman berperang dijalan Allah dan orang-orang kafir berperah dijalan thaghut,
sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu karena sesungguhnya tipu data setan
itu adalah lemah.” (Q.S. An-Nisa 4 : 76).
Seorang mahasiswa ketika mendapat tugas dari dosennya sering terbesit,
“Nanti saja dikerjakannya, toh masih lama dikumpulkannya!” padahal dia punya
waktu luang untuk mengerjakannya, inilah salah satu contoh kaidun (tipu daya).
Buktinya, sampai hari yang sudah ditentukanpun tugas itu belum selesai.

17
i. Nisyan
Nisyan artinya lupa. Sesungguhnya lupa itu adalah hal manusiawi. Lupa
memang sesuatu yang manusiawi, tetapi setan berusaha agar manusia menjadikan
lupa sebagai alasan untuk menutupi kesalahan atau menghindari tanggung jawab.
Pernahkah kita lupa menunaikan janji? Lupa tidak shalat? Kalau sesekali, itu bisa
disebut manusiawi, tetapi kalau sering dilakukan berarti kita terjebak strategi nisyan,
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat-ayat kami, maka
tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan
jika setan menjadikan kamu lupa akan larangan ini, maka janganlah kamu duduk
bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (Q.S. Al-
An’am 6 : 68).
Kalimat Dan jika setan menjadikan kamu lupa akan larangan ini
menunjukkan bahwa bisa jadi kita mengetahui perbuatan itu salah, namun kita
berani melakukannya karena khilaf atau lupa. Kalau hal seperti ini terjadi, tinggalkan
perbuatan salah tersebut dan segera bertobat. Karena ini merupakan jebakan setan
dalam bentuk nisyan.

Sebenarnya tidak semua lupa datangnya dari setan. Ada lupa yang bersifat
tabiat alias fitriah. Misalnya, kita lupa rumus atau teori ilmiah tertentu yang sudah
sangat lama tidak pernah kita pelajari. Kita lupa nama teman yang sudah lama tidak
bertemu, dll. Lupa seperti ini bukan dari setan, tetapi lupa fitriah alias tabiat.
Bahkan ada juga lupa yang datangnya dari Allah. Lupa seperti ini malah
merupakan pertolongan-Nya. Misalnya, seorang ibu lupa bagaimana sakitnya
melahirkan. Anda bisa bayangkan kalau seorang ibu tidak lupa bagaimana sakitnya
melahirkan, tentu dia akan trauma kalau melakukan hubungan intim dengan
suaminya. Seorang istri ditinggal wafat oleh suaminya dan dia sangat sedih, namun
setelah lima bulan, wanita tersebut sudah menikah lagi karena sudah lupa pada
suaminya yang meninggal. Lupa seperti ini bukan dari setan, tetapi merupakan
pertolongan Allah SWT.
Bisa disimpulkan bahwa lupa itu ada tiga macam. Pertama, lupa fitriah atau
manusiawi. Kedua, lupa yang merupakan pertolongan Allah. Ketiga, yang datang dari
setan. Kita harus mewaspadai jangan sampai terjebak dengan lupa yang datang dari
setan, yaitu strategi nisyan.

18

Anda mungkin juga menyukai