Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pendahualuan

Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi mengakibatkan adanya perubahan pola


hidup manusia, sehingga perubahan tersebut mengakibatkan adanya pergeseran pola
penyakit. Pergeseran pola penyakit tersebut juga yang menyebabkan pergeseran
urutan penyakit, salah satunya yaitu penyakit kanker.

Menurut Hartanti (2010), berdasarkan World Cancer Report, kejadian kanker


dalam dua dekade mendatang akan mengalami kenaikan sebesar 50%. Diketahui pada
tahun 2000 jumlah penderita kanker mencapai 10 juta kasus, namun kasus kanker
tersebut diperkirakan akan meningkat mencapai 15 juta pada tahun 2020. Sedangkan
menurut data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi tumor/kanker sebesar
4,3/1000 penduduk, artinya dari setiap 1000 orang Indonesia ada sekitar 4–5 orang
menderita kanker. Prevalensi tumor/kanker umumnya lebih tinggi pada perempuan.
Pada laki-laki sebesar 2,9 setiap 1.000 penduduk, sedangkan pada perempuan
mencapai 5,7 setiap 1.000 penduduk (Sedyaningsih, 2012).

Semakin banyak jumlah penderita kanker di Indonesia maka hal ini juga akan
memiliki dampak tersendiri dalam memengaruhi angka morbiditas dan mortalitas.
Terdapat dua jenis kanker sebagai penyebab kematian utama pada wanita yaitu kanker
serviks dan kanker payudara. Dalam data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun
2007, kanker serviks atau leher rahim menempati urutan kedua (11,78%) setelah
kanker payudara yang menempati urutan pertama pada pasien rawat inap (16,85%)
(Kementerian Kesehatan RI, 2010).

Kanker serviks atau kanker mulut rahim adalah tumor ganas yang tumbuh dalam
leher rahim atau serviks bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak
vagina (Pudiastuti, 2010). Kanker serviks memang menjadi salah satu kanker terbesar
yang ada di Indonesia selain kanker payudara. Menurut Romauli (2009), menyatakan
bahwa kanker serviks mempunyai sifat ganas sehingga dapat menyebabkan masalah
yang berupa kesakitan, kecacatan, sehingga menimbulkan penderitaan bahkan sampai
pada kematian.

Dampak lain yang dapat ditimbulkan oleh kanker serviks adalah masalah
ekonomi dan finansial. Laporan yang disampaikan oleh ibu menteri kesehatan pada hari
kanker sedunia menyampaikan bahwa penyakit kanker menjadi beban ekonomi bagi
individu, keluarga, dan negara. Tahun 2011 terjadi peningkatan yang signifikan dalam
pembiayaan kanker di Program Jamkesmas sebanyak 8%. Kanker payudara dan
kanker serviks merupakan jenis kanker yang mendominasi untuk dibiayai
(Sedyaningsih, 2012).

Kanker serviks disebabkan oleh Human Papilloma Virus atau yang disingkat
HPV Onkogenik. HPV tipe 16 dan 18 merupakan penyebab utama 70% kasus kanker
serviks di dunia (Hartanti, 2010). Kanker serviks ini juga lebih banyak ditemui pada
wanita yang mempunyai faktor risiko untuk terjadinya penyakit kanker tersebut.

Beberapa faktor risiko yang mendukung timbulnya kanker serviks yaitu usia
menikah, semakin muda melakukan hubungan seksual semakin berisiko terkena kanker
serviks. Perempuan aktif melakukan hubungan seksual juga merupakan faktor risiko
dari kanker serviks. Sering bergantiganti pasangan seksual dapat meningkatkan risiko
untuk terjadinya kanker serviks. Paritas, yaitu pada ibu yang sering melahirkan anak,
semakin banyak anak yang dilahirkan semakin tinggi risiko terjadi kanker serviks.
Kebiasaan merokok juga diketahui meningkatkan risiko kanker serviks akibat dari
paparan asap rokok yang diterima. Pernah menderita penyakit menular seksual dapat
memudahkan penularan HPV (Rasjidi, 2009).

Kejadian kanker serviks dari tahun ke tahun cenderung semakin menunjukkan


peningkatan. Berdasarkan Globocan International Agency for Research on Cancer
(IARC) tahun 2012, kanker serviks menjadi empat tertinggi kasus kematian akibat
kanker yang menyerang wanita di dunia sebesar 266.000 kematian. Insiden kanker
serviks 17/100.000 perempuan, jadi diperkirakan setiap hari muncul 40–45 kasus baru,
20–25 orang meninggal, berarti setiap 1 jam diperkirakan 1 orang perempuan meniggal
dunia karena kanker serviks. Artinya, Indonesia akan kehilangan 600–750 orang
perempuan yang masih produktif setiap bulannya (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Data Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa kanker yang menyerang perempuan yaitu
kanker serviks sebesar 522.354.

Dinas kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Timur juga menyebutkan bahwa


kejadian kanker serviks di Jatim juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2009
mencapai 671 orang, kemudian tahun 2010 sebesar 868 orang, tahun 2011 sebesar
1.028 orang, tahun 2012 sebesar 1.478 orang, tahun 2013 meningkat sebesar 1.987
orang dan di tahun 2014 penderitanya terus meningkat mencapai 1.536 orang (Abdillah,
2015).

Pada pemeriksaan Pap Smear di Poliklinik Onkologi RSUP Dr. M. Djamil Padang
terdapat 5 distribusi lesi yaitu HSIL (High Grade Squamous Intraephitelial Lesion), LSIL
( Low Grade Squamous Intraephitelial Lesion), NILM ( Negative for Intraephitelial
Lesion or Malignancy), ASCUS (Atypical Squamous Cells of Undetermined
Significance) dan ASC-H ( Atypical squamous cells, cannot exclude HSIL) dengan lesi
terbanyak H-SIL dan L-SIL.
Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terhadap
kejadian kanker serviks, maka dari itu perlu untuk ditekankan upaya pencegahan dari
penyakit itu sendiri. Kanker serviks jika ditemukan lebih dini, maka tingkat
kesembuhannya bisa maksimal. Namun seringnya penderita tidak mengalami gejala
atau tanda yang khas dari kanker serviks sehingga penderita sering kali terlambat
sampai pada stadium akhir dan hal itu bisa menyebabkan kematian. Seiring dengan
meningkatnya populasi, maka insiden kanker serviks juga meningkat.

Pencegahan yang sudah dilakukan di Indonesia yaitu melalui deteksi dini


pemeriksaan Pap Smear dan IVA test. Menurut Chandranita (2006) menyebutkan
bahwa Pap Smear digunakan untuk mendeteksi kanker rahim yang disebabkan oleh
HPV. Pap Smear mencegah sekitar 700 kematian pertahun di Inggris, sehingga wanita
yang aktif secara seksual disarankan menjalani Pap Smear sekali setahun.

Tindakan dalam melakukan pemeriksaan Pap Smear merupakan suatu tindakan


preventif untuk melakukan deteksi dini dan untuk mengetahui masalah kesehatan
terutama kanker serviks. Meskipun telah banyak kajian dan penelitian yang dilakukan
terhadap kanker serviks, namun hanya sebagian kecil yang dapat ditanggulangi.
Keadaan tersebut mencerminkan bahwa masalah kesehatan yang muncul ke
permukaan jangkauan manusia hanya sebagian kecil dan akan ada banyak pula yang
belum terjangkau atau tertangani.

Tindakan pemeriksaan Pap Smear juga merupakan wujud dari peningkatan


perilaku hidup sehat dengan cara deteksi dini penyakit kanker serviks. Penderita kanker
yang ditemukan di stadium awal serta perkembangan penyakit dari tingkat rendah ke
tingkat yang lebih berat bisa dicegah dan dikendalikan melalui berbagai upaya yakni
melalui pendekatan pengendalian faktor risiko dan deteksi dini. Namun dukungan
semua upaya tersebut tidak akan berjalan maksimal dan bisa jadi tidak akan berhasil
tanpa dukungan dari semua pihak yang terkait beserta seluruh lapisan masyarakat
(Sedyaningsih, 2012). Dukungan dari masyarakat tersebut bisa dilihat dari keikut-
sertaannya dalam pemeriksaan Pap Smear.

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menggambarkan karakteristik pasien


dengan LSIL yang menjalani pemeriksaan pap smear di Poliklinik Onkologi RSUP
dr.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2016 – 31 Desember 2017 menurut usia
menikah, paritas dan tingkat pendidikan

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimanakah gambaran karakteristik pasien dengan LSIL yang menjalani
pemeriksaan pap smear di Poliklinik Onkologi RSUP Dr. M. Djamil Padang pada
periode 1 Januari 2016- 31 Desember 2017.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran karakteristik pasien dengan LSIL yang menjalani
pemeriksaan pap smear di Poliklinik Onkologi RSUP Dr. M. Djamil Padang pada
periode 1 Januari 2016- 31 Desember 2017.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui gambaran pasien LSIL berdasarkan usia
2. Mengetahui gambaran pasien LSIL berdasarkan usia awal menikah
3. Mengetahui gambaran pasien LSIL berdasarkan paritas
4. Mengetahui gambaran pasien LSIL berdasarkan status ekonomi

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi tentang karakteristik pasien dengan LSIL
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat dijadikan bahan masukan untuk proses penelitian selanjutnya.
1.4.3. Bagi Penulis
Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan menambah pengalaman
dalam melaksanakan penelitian.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lesi Prakanker

Lesi prakanker leher rahim yang sangat dini dikenal dengan Neoplasi Intraepitelial
Serviks atau NIS, yang ditandai dengan adanya perubahan displastik epitel serviks.
Keadaan ini merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma leher rahim. Diawali
dengan NIS I (CIN I) karsinoma yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang
menjadi NIS II, dan kemudian menjadi NIS III dan selanjutnya berkembang menjadi
karsinoma leher rahim. Konsep regresi yang spontan serta lesi yang persistent
menyatakan bahwa tidak semua lesi prakanker akan berkembang menjadi lesi invasif,
sehingga diakui bahwa masih cukup banyak faktor yang berpengaruh (Andrijono, 2010).

Hal ini mengisyaratkan bahwa perempuan yang memiliki displasia yang rendah
dan ringan, tidak selalu berkembang menjadi kanker leher rahim, karena dapat hilang
dan lenyap dengan sendirinya tergantung pada sistem kekebalan tubuh. Kondisi lesi
prakanker di klasifikasikan menjadi : NIS I adalah displasia ringan, NIS II adalah
displasia moderat dan NIS III adalah displasia parah (Suhemi, 2010).

Perjalanan lesi prakanker leher rahim sebagai berikut : NIS I, 57 % regresi, 32 %


persistent, 11 % progres ke NIS II, dan 1 % progres ke karsinoma. NIS II, 43 % regresi,
35 % persistent, 22 % progres ke NIS III dan 5 % progres ke karsinoma.
NIS III, 32 % regresi, 56 % persistent, dan lebih dari 12 % progres ke karsinoma.

Pelaporan pemeriksaan Pap smear menurut Sistem WHO dan sistem Bethesda.
Pelaporan hasil Pap smear (sitologi) yang banyak dianut saat ini adalah sistem
pelaporan Bethesda, walaupun demikian beberapa negara di Eropa masih
menggunakan sistem pelaporan dengan sistem Pap. Beberapa kelebihan sistem
pelaporan Bethesda :

1. Adekuasi preparat atau sediaan sehingga dinilai kelayakan sediaan untuk


dievaluasi.
2. Infeksi HPV dilaporkan sebagai infeksi khusus
3. Sel atipik dilaporkan dengan pembagian kategori ASC kategori atipik untuk
sel skuamosa dan AGC untuk kategori atipik sel kelenjar endoservik, sel
endometrium dan sel-sel kelenjar dari organ intraperitoneum.

Tabel 1. Pembagian Pap smear / pemeriksaan sitologi (Andrijono, 2012)

Sistem WHO Sistem Bethesda

Normal Dalam btas normal


Atipik ASC (US,H), AGCUS/AGUS/AGCNOS/AGC
Displasia ringan Lesi Intraepitel derajat rendah (LGSIL)
Displasia sedang Lesi Intraepitel derajat berat (HGSIL)
Displasia berat Lesi intraepitel derajat berat (HGSIL)
Karsinoma insitu Lesi Intraepitel derajat berat (HGSIL)

LSIL (LowselGrade
Karsinoma SIL)
skuamosa Karsinoma sel skuamosa
Adenokarsinoma Adenokarsinoma

LSIL disebut juga lesi derajat rendah. Sebagian besar lesi LSIL akan regresi
spontan dan sebagian kecil lesi LSIL berkembang menjadi lesi dengan derajat kelainan
yang lebih tinggi. Terjadinya regresi ataupun progresi LSIL, pada penelitian dipengaruhi
oleh adanya infeksi HPV onkogenik. Pada LSIL yang disertai infeksi non-onkogenik
pada umumnya akan regresi sedangkan yang disertai infeksi HPV onkogenik
mempunyai potensi berkembang menjadi lesi dengan derajat yang lebih berat.

Roza Sriyanti, mendapatkan hasil biopsi serviks pada wanita dengan tes Pap
abnormal yaitu 66,7%, terdiri dari LSIL (46,7%) dan HSIL (20%), serta test HPV positif
3,3 % dengan metode Hybrid Capture (Roza Sriyanti, 2009).

Analisa hasil Pap smear LSIL yang dilakukan di Thailand, ternyata pada sitologi
LSIL yang dilakukan kolposkopi dan pemeriksaan histologi didapatkan HSIL sejumlah
36,4% dan mikroinvasi dan kanker serviks invasif sejumlah 5%. Dari hasil ini
menunjukkan bahwa hasil pada Pap smear LSIL mengandung risiko menderita HSIL
dan karsinoma serviks. Untuk menghindari kesalahan maka pada LSIL sebaiknya
dilakukan pemeriksaan kolposkopi dan biopsi (Phongnarisorn C, 2006).
Data menunjukkan bahwa perkembangan dari ASCUS, CIN I ataupun CIN II
memerlukan lamanya waktu yang bervariasi. Dari data penelitian sebesar 7,1% ASCUS
dalam 2 tahun berkembang menjadi HSIL. Sedangkan 20,8% LSIL berkembang
menjadi HSIL dalam waktu 2 tahun, sejumlah 23,4% CIN III persisten selama 2 tahun.
CIN III merupakan derajat lesi prakanker terberat, seringkali sulit dibedakan antara
displasia berat dengan karsinoma insitu (Holowaty P, 1999).

Walaupun demikian secara umum manajemen ASCUS-LSIL dengan HPV positif


tidak mempengaruhi triase penatalaksanaan, dan kolposkopi merupakan langkah
diagnostik yang tepat. LSIL dapat dilakukan pengamatan karena lebih dari 80% kasus
akan regresi, dan LSIL dengan HPV onkogenik yang negatif akan regresi dalam 4 tahun
(Cox JT, 2003)

Penatalaksanaan LSIL sangat bervariasi dan mengundang kontroversi. Terlebih


lagi bila sarana penunjang diagnostik tidak mendukung. Sehingga seringkali
overtreatment juga undertreatment.

2.2 Kanker Serviks

Kanker adalah suatu proses perubahan pada sel normal yang berproliferasi tanpa
kendali akibat mutasi gen. Kanker leher rahim adalah tumor ganas primer yang berasal
dari sel epitel skuamosa. Kanker leher rahim merupakan kanker yang terjadi pada
serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan
pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau
vagina (Notodiharjo, 2002).

Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak
90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10%
sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke
rahim (Notodiharjo, 2002).

Dari berbagai jenis keganasan pada genetalia wanita hanya kanker leher rahim
yang dapat di cegah dengan suatu teknik skrining yang cukup efektif, murah dan dapat
mendeteksi terhadap keadaan prakanker yang di kenal dengan nama IVA (Inspeksi
Visual dengan Asam Asetat). Tetapi belum semua wanita usia 30 tahun keatas dan
sudah menikah bisa memeriksakan dirinya secara rutin. Keterlambatan diagnosa
menyebabkan keterlambatan pasien mendapat
pengobatan (Saefudin, 1999).

Pengobatan kanker leher rahim menurut beberapa penulis belum memberikan hasil
yang memuaskan. Terutama di Negara berkembang, pasien pada umumnya datang
dalam keadaan stadium klinis yang telah lanjut. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya
lesi prakanker cukup panjang. Periode laten dari fase pra invasif menjadi invasif
memerlukan waktu sekitar 10 tahun. Kanker leher rahim sering terjadi pada wanita
berusia antara 45-50 tahun dengan puncaknya pada usia 35-39 tahun dan 60-64 tahun,
dengan usia rata-rata 52 tahun ( Saefudin, 1999).

2.3 Epidemiologi Kanker Serviks

Di antara tumor ganas ginekologik, kanker leher rahim masih menduduki peringkat
pertama di Indonesia. Di seluruh dunia, di perkirakan terjadi sekitar
500.000 kanker leher rahim baru dan 250.000 kematian setiap tahunnya yang 80 %
terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia insiden kanker leher rahim di
perkirakan 40.000 kasus pertahun dan masih merupakan kanker wanita yang paling
sering. Dari jumlah itu, 50 % kematian terjadi di negara-negara berkembang. Hal itu
terjadi karena pasien datang ketempat pelayanan dalam keadaan stadium lanjut
(Suwiyoga, 2006).
Insidens kanker leher rahim meningkat sejak usia 25-34 tahun dan menunjukkan
puncaknya pada usia 35-44 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr.
Ciptomangunkusumo, dan 45-54 tahun di Indonesia. Laporan FIGO pada tahun 1998
menunjukkan kelompok usia 30-39 tahun dan 60-69 tahun terbagi sama banyaknya.
Secara keseluruhan, stadium IA lebih sering ditemukan pada kelompok usia 30-39
tahun sedang untuk stadium IB dan II lebih sering ditemukan pada kelompok usia 40-49
tahun. Kelompok usia 60-69 tahun merupakan proporsi tertinggi pada stadium III dan IV.

2.4 Penyebab Kanker Serviks

Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV).
Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40 di antaranya
dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah jarang
menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe
risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal
pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker
(Rasjidi, 2007).
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim
disebabkan oleh tipe 16 dan 18. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih
dari 50% kanker leher rahim. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki
kemungkinan terkena kanker leher rahim sebesar 5% (Rasjidi, 2007).
HPV merupakan faktor inisiator kanker leher rahim. Onkoprotein E6 dan E7 yang
berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein
E6 akan mengikat p53 sehingga TSG (Tumor Supressor Gene) p53 akan kehilangan
fungsinya. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan
terlepasnya E2F yang merupakan transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol
(Garcia, 2007).

2.5 Faktor Risiko Lesi Prakanker Serviks

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya lesi prakanker leher
rahim yaitu :

2.5.1 Usia

Saat ini telah di ketahui di beberapa negara bahwa puncak insidensi lesi prakanker
terjadi pada kelompok usia 30-39 tahun, dan kejadian kanker leher rahim terjadi pada
usia di atas 60 tahun (Azis, 2009). Di Indonesia, telah di lakukan penelitian pada tahun
2002 mengenai puncak insidensi kanker leher rahim yaitu pada kelompok usia 45-54
tahun. Penelitian di RSCM tahun 1997 menunjukkan insiden kanker leher rahim
meningkat sejak usia 25-34 tahun dan puncaknya pada usia 35-44 tahun, sementara di
Indonesia (1988-1994) pada usia 45-54 tahun. Laporan FIGO pada tahun 1998
menyebutkan kelompok usia 30-39 tahun dan 60-69 tahun terbagi sama banyaknya
(Azis, 2001).

2.5.2 Hubungan seks pada usia muda atau menikah pada usia muda

Wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko
terkena kanker servik. Menikah pada usia di bawah 20 tahun di anggap terlalu muda
untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali
lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Umur yang dianggap
optimal untuk reproduksi antara 20-35 tahun (Rasdjidi, 2008).

Jadi, seorang wanita yang melakukan hubungan seks pada usia remaja, paling
rawan bila dilakukan di bawah usia 20 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-
sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada servik belum matang.
Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan
dari luar. Termasuk zat-zat kimia yang di bawa sperma. Periode rentan ini berhubungan
dengan kiatnya proses metaplasia pada usia pubertas, sehingga bila ada yang
mengganggu proses metaplasia tersebut seperti infeksi akan memudahkan beralihnya
proses menjadi displasia yang lebih berpotensi untuk terjadinya keganasan (Cullati,
2009).

Laporan dari berbagai pusat di Indonesia juga memperlihatkan hasil yang serupa
dengan hasil penelitian di luar negeri. Penelitian Marwi di Yogyakarta menemukan 63,1
% penderita karsinoma servik menikah pada usia 15-19 tahun, hasil yang serupa juga
di peroleh dari penelitian Sutomo di Semarang (Rasdjidi, 2008).

2.5.3 Paritas
Kehamilan yang optimal adalah kehamilan sampai anak ke tiga. Kehamilan setelah
anak ketiga mempunyai risiko yang meningkat terhadap lesi prakanker. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Mubasir dkk, pada tahun 1993 menemukan lebih tinggi frekuensi
kejadian kanker leher rahim pada pasien yang pernah melahirkan dari pada yang belum
pernah melahirkan. Multiparitas terutama di hubungkan dengan kemungkinan menikah
pada usia muda, di samping itu di hubungkan pula dengan sosial ekonomi yang rendah
dan higiene yang buruk (Tambunan, 1995).

Penelitian Bukhari L dan Hadi A menyebutkan bahwa golongan wanita yang


bersalin 6 kali atau lebih mempunyai risiko menderita kanker leher rahim 1,9 kali lebih
besar dari pada golongan wanita yang bersalin antara 1-5 kali, meskipun hal ini
merupakan faktor risiko namun hal tersebut harus di jadikan perhatian kita untuk
mendeteksi terhadap golongan ini. Kehamilan dan persalinan yang lebih dari 3 orang
dan jarak kehamilan terlalu dekat akan meningkatkan kejadian kanker leher rahim
(Mardjikoen, 2007).

Sumber lain mengemukakan paritas merupakan salah satu faktor risiko kanker
leher rahim adalah penelitian Susanto dan Suardi (1987) di Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung dalam penelitiannya mendapatkan paritas terbanyak pasien kanker
leher rahim yaitu paritas lebih dari lima, Sahil MF (1993) mendapatkan pada paritas 6
atau lebih cendrung terkena kanker leher rahim. Multiparitas di duga menyebabkan
penurunan daya tahan tubuh. Pada penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa tingkat
rekurensi meningkat pada paritas lebih dari tiga (Mardjikoen, 2007).

2.5.4 Tingkat pendidikan rendah

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan
pelatihan. Pendidikan formal adalah segenap bentuk pendidikan atau pelatihan yang di
berikan secara terorganisasi dan berjenjang, baik yang bersifat umum, maupun yang
bersifat khusus. Pendidikan in formal adalah pendidikan dan pelatihan yang terdapat di
luar lingkungan sekolah, dalam bentuk yang tidak terorganisasi (Cullati, 2009).
Tingkat pendidikan seseorang dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang dan taraf pendidikan yang rendah selalu berhubungan dengan
informasi dan pengetahuan yang terbatas, semakin tinggi pendidikan seseorang
semakin tinggi pula pemahaman seseorang terhadap informasi yang di dapat dan
pengetahuannya pun semakin tinggi (Cullati, 2009).

2.5.5 Penggunaan kontrasepsi oral

Pemakaian kontrasepsi oral dalam waktu lama lebih dari 4 sampai 5 tahun dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker leher rahim sebesar 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral
menyebabkan wanita sensitif terhadap HPV yang menyebabkan adanya peradangan
pada genetalia, sehingga berisiko terkena kanker leher rahim (Hidayat, 2001).

Pil kontrasepsi oral di duga akan menyebabkan defisiensi asam folat, yang
mengurangi metabolisme mutagen sedangkan estrogen kemungkinan menjadi salah
satu ko-faktor yang dapat membuat replikasi DNA HPV. Menurut Andrijono (2007)
penggunaan kontrasepsi hormonal meningkatkan risiko menderita kanker leher rahim.
Penggunaan kontasepsi hormonal 10 tahun meningkatkan risiko sampai dua kali.

2.5.6 Riwayat kanker servik pada keluarga

Adanya hubungan darah atau keluarga (ibu atau saudara perempuan) yang
menderita kanker leher rahim. Magnusson, Sparen dan Gyllensten (1999)
membandingkan munculnya displasia dan CIS pada keluarga perempuan yang
menderita penyakit kanker dan dalam kontrol usia. Mereka menemukan adanya kluster
yang signifikan dalam keluarga biologis, bukan adopsi. Pada ibu biologis di bandingkan
dengan kasus kontrol, risiko relatifnya adalah 1,8. Pada saudara perempuan biologis,
risiko relatifnya lebih tinggi 1,9. Data tersebut memberikan bukti epidemiologi yang kuat
mengenai kaitan antara timbulnya kanker leher rahim dan penyebab awalnya (Depkes,
2009).

2.5.7 Berganti-ganti pasangan seksual

Perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan seks akan meningkatkan penularan


penyakit kelamin. Salah satu penyakit yang di tularkan seperti infeksi human papilloma
virus (HPV) telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya kanker leher rahim, penis dan
vulva. Risiko terkena kanker leher rahim menjadi 10 kali lipat pada wanita yang
mempunyai partner seksual 6 orang atau lebih. Di samping itu, virus herpes simpleks
tipe 2 dapat menjadi faktor pendamping (Azis, 1985).

2.5.8 Merokok

Nikotin mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi
terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru, maupun serviks. Tembakau
mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret atau
dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic
nitrosamines. Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai dalam lender
dari mulut rahim pada wanita perokok (Imam Rasdjidi,2009).

Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi
dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks
adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi
virus. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang
dikonsumsinya bisa menyebabkan kanker leher rahim. Risiko wanita perokok terkena 2
kali lebih besar dibandingkan wanita bukan perokok (Garcia, 2009).

2.5.9 Defisiensi zat gizi

Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan anti-oksidan dan berkhasiat


mencegah kanker misalnya advokat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam,
tomat. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic acid), vitamin C,
vitamin E, beta karoten/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks.
Vitamin E, vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat.
Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang
terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Vitamin E banyak terdapat dalam
minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan kacang-kacangan). Vitamin C banyak
terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan.
2.6 Patogenesis dan Patofisiologi kanker serviks

Kanker serviks timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan
endoserviks kanalis serviks yang di sebut sebagai squamo-columnar junction (SCJ),
dimana secara histologik terjadi perubahan dari epitel ekstoserviks yaitu epitel
skuamosa berlapis dengan epitel endoserviks yaitu epitel kuboid/kolumnar pendek
selapis bersilia. Letak SCJ di pengaruhi oleh faktor usia, aktivitas seksual dan paritas.
Pada wanita muda SCJ berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita
berusia di atas 35 tahun SCJ berada di dalam kanalis servikalis (Sarwono, 1999).

Oleh karena itu pada wanita muda , SCJ yang berada di luar ostium uteri
eksternum ini rentan terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan memicu displasia
dari SCJ tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SCJ terletak di ostium
eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin (Mardjikoen, 2007).

Perubahan fisiologi pada epitel serviks, epitel kolumnar akan di gantikan oleh epitel
skuamosa yang di duga berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian
epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa di sebut proses mataplasia dan terjadi akibat
pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering di jumpai
pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2
SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel
skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SCJ ini di sebut
daerah transformasi (Mardjikoen, 2007).

Gambar 1. Perjalanan infeksi HPV menjadi kanker serviks (Wright TC,2003).


2.7 Pencegahan Kanker Leher Rahim

Kanker leher rahim dapat di cegah dengan cara :

2.7.1 Pencegahan primer

Untuk mengurangi risiko penyebab infeksi virus HPV. Dengan cara menghindari
faktor-faktor yang menyebabkan infeksi HPV dan melakukan vaksinasi HPV
(Suwiyoga, 2010). Cara mencegah infeksi HPV yaitu : menghindari kontak
dengan yang menderita infeksi HPV, memakai kondom, setia dengan pasangan,
membatasi jumlah pasangan seks, memilih pasangan yang tidak memiliki atau
sedikit pasangan seks sebelumnya (Depkes, 2009).

2.7.2 Pencegahan sekunder

Perempuan yang telah terinfeksi HPV sebaiknya di lakukan penapisan untuk


menentukan apakah mereka mengalami lesi prakanker awal yang mudah kena
kanker. Penapisan awal yang bisa di lakukan adalah dengan melakukan skrining
dengan Tes Pap atau dengan cara visual (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat)
(Depkes, 2009).

2.8. Pemeriksaan Pap Smear


Metode skring sampai saat ini umumnya masih menggunakan pap smear.
Gabungan pap smear, kolposkopi dan biopsi merupakan paket diagnosis yang baik
digunakan untuk pelayanan. Pap smear merupakan metode skrining yang sudah
dikenal luas. Sensitivitas pap smear bila dikerjakan setiap tahun mencapai 90%, setiap
2 tahun 87%, setiap 3 tahun 78% dan setiap 5 tahun mencapai 68% (Dunton CJ, 2000).
Sistem pelaporan pap smear yang berkembang adalah sistem Bethesda,
Bethesda 1988 direvisi menjadi Bethesda 2001.
Adekuasi dilaporkan untuk menilai kualitas dari Pap smear. Spesimen yang
adekuat meliputi label sediaan yang jelas, informasi klinik yang inovatif, adanya sel
skuamosa dan sel kelenjar endoserviks yang keduanya mewakili spesimen pada
sambungan skuamokolumnar serta kriteria jumlah sel pada preparat. Jumlah sel pada
thinprep dianggap cukup (memuaskan) bila terdapat 5000 sel pada sediaan, sedangkan
pada preparat Pap smear konvensional dianggap baik bila terdapat sejumlah 8.000-
12.000 sel. Perbedaan ini karena kualitas Pap smear konvensional lebih rendah
dibandingkan thinprep serta adanya kesulitan pemilihan random pada preparat Pap
smear konvensional.
Pap smear dianggap tidak adekuat (tidak memuaskan) bila preparat tidak disertai
label, preparat yang pecah sehingga sulit diproses ataupun dibaca. Selain itu, pap
smear dianggap tidak adekuat bila selulariti dari preparat yang terganggu karena
adanya darah, reaksi atau faktor inflamasi atau faktor lainnya. Kejadian preparat yang
tidak memuaskan dilaporkan berkisar 0,5-1,5%. Pap smear yang tidak memuaskan
sebaiknya dilakukan pap smear ulang pada 2-4 bulan, sedangkan pap smear yang tidak
adekuat pada kehamilan sebaiknya diulang setelah persalinan (Davey DD, 2009).
Rekomendasi ACS menganjurkan pemeriksaan pap smear 3 tahun setelah
hubungan seksual yang pertama kali, pemeriksaan berkala dengan thinprep dilakukan
setiap tahun sampai usia 30 tahun. Bila pada 2-3 kali pemeriksaan pap smear hasilnya
normal, maka pemeriksaan pap smear selanjutnya dianjurkan setiap 2-3 tahun bila
setelah usia > 30 tahun, dan selanjutnya setiap 2-3 tahun bila tidak ada riwayat
menderita CIN II- III, tidak ada kelainan imun dan 3 tahun tidak ada kelainan pap smear.
Skrining pada usia > 30 tahun dilakukan setiap 3 tahun bila hasil normal pada pap
smear dan negatif pada pemeriksaan tes HPV.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif retrospektif untuk mengetahui
gambaran karakteristik pasien dengan LSIL yang menjalani pemeriksaan pap smear.
Penelitian ini dilakukan dengan melihat status rekam medis pasien dengan lesi
prakanker yang menjalani pemeriksaan papsmear di Poliklinik Ginekologi RSUP Dr. M.
Djamil Padang.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan 15 Januari 2017 – 31 Desember
2017 di Sub bagian Rekam Medik (Medical Record) di RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Data sekunder tersebut merupakan data pasien dengan lesi prakanker yang dilakukan
pap smear bulan 1 Januari 2016 – 31 Desember 2017.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1. Populasi
Populasi sampel penelitian adalah semua pasien lesi prakanker yang menjalani
pemeriksaan pap smear di Poliklinik Ginekologi RSUP. Dr. M. Djamil Padang dari bulan
1 Januari 2016 – 31 Desember 2017.

3.3.2. Besar Sampel


Besar sampel diambil dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan
ekslusi

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.4.1. Kriteria Inklusi
1. Setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian;
2. Perempuan berusia 20-60 tahun yang sexual active;
3. Semua pasien dengan hasil pap smear berupa Low grade Squamoaus
Intraephitelial Lession (L-SIL)

3.4.2. Kriteria Eksklusi


1. Memiliki pasangan seksual multiple;
2. Perempuan hamil;
3. Riwayat menggunakan jarum suntik bersama, promiskuitas, dan atau pasangan
seksualnya;
4. Sedang memakai Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)

3.5. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel ini menggunakan teknik total sampling dengan
mengambil seluruh sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi mulai pada
bulan 1 Januari 2016 – 31 Desember 2017.

3.6. Definisi Operasional


Seluruh data diambil melalui observasi data rekam medis dan menggunakan
lembar pencatatan data sebagai alat ukurnya. Definisi operasional dari penelitian ini
adalah:

a. Usia
Defenisi : lamanya waktu perjalanan hidup yang dihitung sejak lahir sampai
batas waktu penelitian.
Cara ukur : data rekam medis
Hasil ukur : dikelompokkan dalam kategori tidak berisiko (20-40 tahun), dan
berisiko (≤ 20 tahun dan atau >50 tahun) (ACS, 2014)
Skala ukur : Skala ordinal
b. Paritas
Defenisi : banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang perempuan
Cara Ukur : data rekam medis
Hasil Ukur : dikelompokkan dalam kategori ≤ 2 orang anak dan > 2 orang anak
Skala ukur : skala numerik

c. Usia Perkawinan
Defenisi : usia responden saat kawin
Cara Ukur : data rekam medis
Hasil Ukur : dikelompokkan dalam kategori ≤ 20 tahun dan > 20 tahun
Skala Ukur : Skala numerik

d. Pendidikan
Defenisi : pendidikan formal yang ditamatkan responden
Cara Ukur : data rekam medik
Hasil Ukur : dikelompokkan dalam kategori tinggi (Tamat perguruan tinggi, tamat
SMP/SMA) dan rendah (Tidak tamat / tamat SD)
Skala ukur : skala ordinal

3.7. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data


Data dikumpulkan dari data sekunder, yakni data yang diambil dari data yang
sudah ada sebelumnya dan tidak dilakukan secara langsung oleh peneliti berupa data
pasien yang melakukan pemeriksaan pap smear di Poliklinik Ginekologi RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Data yang diambil meliputi:
1. Usia
2. Usia menikah
3. Paritas
4. Tingkat Pendidikan
5. Hasil pemeriksaan pap smear

3.8. Instrumen Penelitian


Pada penelitian ini digunakan buku, pena, dan dokumen atau data rekam medik
(data sekunder).
3.9. Cara Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis univariat untuk
mengetahui gambaran karakteristik pasien dengan LSIL yang menjalani pemeriksaan
pap smear yang akan ditampilkan dalam bentuk tabel.

BAB IV

HASIL PENELITIAN
4.1. Data Hasil Penelitian
Telah dilakukan penelitian di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. M. Djamil
Padang terhadap pasien yang melakukan pemeriksaan pap smear di Poliklinik Onkologi
Ginekologi RSUP Dr M Djamil Padang pada periode 1 Januari 2016 – 31 Desember
2017, didapatkan sebanyak 30 orang dengan LSIL ( Low grade Squamous
Intraephitelial Lession ) yang mempunyai beberapa karakteristik.

Tabel 2. Gambaran karakteristik pasien dengan LSIL yang menjalani pemeriksaan


pap smear di Poli Onkologi RSUP dr.M.Djamil Padang.

VARIABEL L-SIL

Frekuensi Persentase
20-40 10 33,3
Usia
41-60 20 66,7

≤20 Tahun 19 63,3


Usia Menikah
> 20 Tahun 11 36,7

Rendah 14 46,7
Tingkat Pendidikan Tinggi 16 53,3
≤2 Anak 8 26,7
Paritas
> 2 Anak 22 73,3

Dari tabel diatas didapatkan 30 pasien dengan lesi prakanker L-SIL, ternyata
sebanyak 66,7 % diantara berada pada usia 41-60 tahun. Sedangkan jumlah yang lebih
kecil yaitu sebanyak 33,3 % atau 10 orang penderita berada pada distribusi usia 20-40
tahun.
Usia awal menikah juga memiliki gambaran yang berbeda, yaitu sebanyak 19
orang pasien dengan L-SIL ternyata menikah sebelum atau sama dengan usia 20
tahun sedangkan 11 orang lainnya menikah setelah umur 20 tahun.

Pasien dengan L-SIL ternyata rata-rata berpendidikan tinggi yaitu sekitar 53,3 %
atau sebanyak 16 orang. Sedangkan 14 orang diantaranya memiliki pendidikan rendah.

Jumlah Anak juga berbanding lurus dengan jumlah pasien L-SIL. Pasien dengan
jumlah anak >2 memiliki persentase lebih tinggi untuk mengalami lesi prakanker sekitar
73,7 % dibandingkan dengan jumlah anak yang <2 yaitu sekitar 8 orang atau 26,7%

BAB V

PEMBAHASAN
5.1. Distribusi Pasien LSIL berdasarkan usia

Salah satu tujuan dari penelitian ini yaitu melakukan identifikasi karakteristik
pasien dengan LSIL yang melakukan pemeriksaan Pap Smear. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya maka karakteristik pasien pertama yang
akan dibahas yaitu Usia pasien. Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi
pasien dengan LSIL yang melakukan pemeriksaan Pap Smear yaitu pada kelompok
usia 41–60 tahun dengan persentase sebesar 66,7% dibandingkan dengan kelompok
usia yang lain. Hal ini disebabkan mereka yang melakukan pemeriksaan Pap Smear
dengan alasan timbulnya keluhan dari salah satu tanda dan gejala kanker serviks,
sedangkan tanda dan gejala kanker serviks biasanya dialami oleh wanita yang berusia
41–60 tahun sebagai hasil manifestasi infeksi dari beberapa tahun yang lalu. Sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di Jakarta disampaikan bahwa risiko tinggi terkena
kanker serviks bagi seseorang perempuan adalah pada rentang usia 40–45 tahun atau
lebih (Darnindro, 2007).

5.2. Distribusi Pasien LSIL berdasarkan usia awal menikah

Variabel yang dilakukan analisis hubungan yaitu faktor risiko kanker serviks yang
meliputi usia menikah dan paritas. Faktor risiko yang dibahas terlebih dahulu yaitu usia
menikah. Usia menikah merupakan usia di mana responden melangsungkan
pernikahan. Jika seseorang melakukan pernikahan maka aka nada aktivitas seksual
yang dilakukannya. Menurut Rasjidi (2009), menyebutkan bahwa wanita yang memulai
hubungan seksual pada usia muda yaitu sebelum usia 20 tahun akan mengakibatkan
meningkatnya risiko terkena kanker serviks sebesar lima kali lipat. Hal tersebut
dikarenakan dalam usia muda, epitel serviks belum seluruhnya tertutup oleh sel
skuamosa dan belum siap untuk menerima benda asing yang menyebabkan sel dan
jaringan tersebut mudah mengalami perlukaan sebagai sasaran untuk masuknya
HPV/Human Papilloma Virus (Ulfi ana, 2013).

Berdasarkan awal umur menikah pasien dengan LSIL banyak pada pasien yang
menikah usia ≤ 20 Tahun yaitu 19 orang, dan pasien yang menikah di usia >20 tahun
sebanyak 11 orang.
5.3. Distribusi pasien LSIL berdasarkan paritas
Berdasarkan paritas, pasien yang memiliki anak >2 merupakan jumlah terbanyak
yang mengalami lesi LSIL sebanyak 22 orang sedangkan yang memiliki anak ≤ 2
berjumlah 8 orang.

5.4. Distribusi pasien LSIL berdasarkan tingkat pendidikan


Berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan bahwa pasien yang memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi memiliki jumlah kasus lesi LSIL sebanyak 16 orang dan 14 orang
yang memiliki tingkat pendidikan rendah.

BAB VI

SARAN DAN KESIMPULAN

6.1. KESIMPULAN
1. Lesi LSIL banyak di temukan pada usia 41-60 tahun yaitu sejumlah 20 pasien ,
disebabkan mereka yang melakukan pemeriksaan Pap Smear dengan alasan
timbulnya keluhan dari salah satu tanda dan gejala kanker serviks, sedangkan usia
20-40 sejumlah 10 pasien.
2. Berdasarkan awal umur menikah pasien dengan LSIL banyak pada pasien yang
menikah usia ≤ 20 Tahun yaitu 19 orang, dan pasien yang menikah di usia >20
tahun sebanyak 11 orang. Jika seseorang melakukan pernikahan maka akan ada
aktivitas seksual yang dilakukannya. menyebutkan bahwa wanita yang memulai
hubungan seksual pada usia muda yaitu sebelum usia 20 tahun akan
mengakibatkan meningkatnya risiko terkena kanker serviks.
3. Berdasarkan paritas, pasien yang memiliki anak >2 merupakan jumlah terbanyak
yang mengalami lesi LSIL sebanyak 22 orang sedangkan yang memiliki anak ≤ 2
berjumlah 8 orang.
4. Berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan bahwa pasien yang memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi memiliki jumlah kasus lesi LSIL lebih banyak, yaitu
sebanyak 16 orang dan 14 orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah.

6.2. SARAN
1. Penyebaran informasi mengenai manfaat dari pap smear dalam deteksi dini
kanker servik kepada masyarakat harus terus dilaksanakan agar angka kejadian
kanker servik dapat berkurang.
2. Diperlukan penelitian lanjutan terhadap karakteristik lain pada pasien LSIL yang
ditemukan pada pemeriksaan pap smear.

Anda mungkin juga menyukai