Nama Peneliti
Gati Sri Utami, S.T., M.T.
YUDO
_______________________________________________________________
1
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN 2
DAFTAR ISI 3
RINGKASAN 4
BAB I PENDAHULUAN 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 6
BAB III METODE PENELITIAN 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 33
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 68
DAFTAR PUSTAKA 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN 71
2
RINGKASAN
Indonesia merupakan salah satu pengguna kokas dalam jumlah yang besar,
baik untuk kebutuhan pelebuhan logam metalurgi maupun pengecoran logam non
ferro. Dengan demikian, peranan kokas dalam pembangunan nasional khususnya
dalam bidang industri, baik industri besar maupun industri kecil dan menengah
menjadi sangat penting. Berawal dari kebutuhan kokas yang sangat tinggi tersebut
maka diperlukan penelitian tentang potensi batubara pengokas (coking coal) di
Indinesia, agar pemanfaatan batubara bisa lebih maksimal.
Dalam penelitian ini digunakan sampel batubara dari Kalimantan Timur.
Metode penelitian menggunakan beberapa analisa, antara lain analisa proksimat,
nilai kalor, FSI, dan petrografi. Dari analisa tersebut didapat hasil analisa antara lain
: nilai 6.500 – 8.000 Kkal/Kg, reflektansi vitrinit 0,7 – 1,6 %, vitrinit 80 –
96%, liptinit 0 – 8%, inertinit 1 – 10 %, FSI 1 – 3. Walaupun dari hasil penelitian
diketahui bahwa batubara yang ada memiliki peringkat yang sesuai dengan batubara
pengokas yaitu dengan kandungan air berkisar antara 1,72 – 2,21%, kadar abu
5,15 – 9,8%, kadar zat terbang 26,35 – 43,39% dan nilai kalor di atas
7.000 Kkal/Kg (adb) yang menunjukkan bahwa batubara ini berada pada
peringkat high volatile sub bituminous, namun dengan kandungan vitrinit dan
inertinit yang masing-masing berkisar 80 – 96% dan 1 – 10% serta nilai FSI 1 – 3,
maka diketahui bahwa batubara Kalimantan Timur hanya merupakan batubara
pengokas bermutu rendah.
BAB I
3
PENDAHULUAN
BAB II
4
STUDI PUSTAKA
5
sentimeter sampai mencapai 30 meter, terutama ditemukan di wilayah Kalimantan
Timur dan Selatan. Pada umumnya lapisan batubara yang berumur Neogen lebih
tebal dan menerus dibandingkan dengan batubara Paleogen. Kemiringan lapisan
batubara pada umumnya landai, yaitu < 150.
Eksistensi batubara Paleogen terjadi sepanjang tepian Paparan Sunda, dari
sebelah barat Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Laut Jawa hingga Sumatera
bagian tengah. Namun batubara Paleogen yang umum dikenal, terdapat pada
Cekungan Pasir dan Asam-asam (Kalimantan Selatan dan Timur), Cekungan
Barito (Kalimantan Selatan), Cekungan Kutai Atas (Kalimantan Tengah dan
Timur), Cekungan Melawi dan Ketungau (Kalimantan Barat), Cekungan Tarakan
(Kalimantan Timur), Cekungan Ombilin (Sumatera Barat) dan Cekungan
Sumatera bagian tengah (Riau).
Lapisan batubara Neogen yang ekonomis terdapat pada Cekungan Kutai
bagian bawah (Kalimantan Timur), Cekungan Barito (Kalimantan Selatan) dan
Cekungan Sumatera bagian selatan (Sumatera Selatan, Jambi). Batubara Neogen
yang ekonomis juga ditambang di Cekungan Bengkulu. Batubara ini umumnya
terdeposisi pada lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai yang mirip dengan
daerah pembentukan gambut saat ini di Sumatera bagian timur.
Endapan batubara di Kalimantan Timur terdapat pada Cekungan Kutai dan Cekungan
Tarakan. Cekungan Kutai terdapat disekitar daerah Samarinda, sementar
Cekungan Tarakan terdapat di bagian timur laut pulau Kalimantan. 1. Cekungan
Kutai
6
pengisian Cekungan Kutai mengandung klastika halus yang terdiri dari batupasir
kuarsa, batulempung dan batulanau serta sisipan batugamping dan batubara yang
diendapkan pada lingkungan paralik hingga neretik atau litoral, delta sampai laut
terbuka.
2. Cekungan Tarakan
Cekungan Tarakan merupakan salah satu dari 3 (tiga) Cekungan Tersier utama
yang terdapat pada bagian timur continental margin Kalimantan (dari utara ke
selatan: Cekungan Tarakan, Cekungan Kutai, dan Cekungan Barito), yang
dicirikan oleh hadirnya batuan sedimen klastik sebagai penyusunannya yang
dominan, berukuran halus sampai kasar dengan beberapa endapan karbonat.
Secara fisiografi Cekungan Tarakan di bagian barat dibatasi oleh lapisan Pra-
tersier Tinggian Kuching dan dipisahkan dari Cekungan Kutai oleh kelurusan
timur- barat Tinggian Mangkalihat.
7
di Kalimantan. Tinggian Kuching dengan inti lapisan Pra-tersier terletak di
sebelah baratnya sedangkan batas selatannya adalah Punggungan Suikerbood dan
Tinggian Mangkalihat.
Batubara Meosen sebagian besar berupa lignit, sangat lunak, kadar air
tinggi, kadar abu tinggi, dan kadar kalori rendah. Batubara Meosen umumnya
menunjukkan bentuk lapisan yang kurang baik dalam singkapan. Hal ini terjadi
karena kadar air dalam betubara tinggi, tekanan kompresi rendah serta lapisan
lempung sering kali ada dalam lapisan batubara tersebut.
8
umumnya memiliki peringkat lebih tinggi dari pada batubara yang diendapkan
kemudian (misalnya berumur Miosen atau Pliosen). Namun kekecualian bisa
terjadi pada beberapa lokasi apabila lapisan batubara terkena pengaruh panas
intrusi batuan beku sehingga dapat menaikkan peringkat batubara tersebut
menjadi semi-antrasit atau antrasit. Akibatnya batubara yang lebih muda bisa
memiliki peringkat lebih tinggi dari batubara yang lebih tua.
Berdasarkan tingkat nilai kalori, batubara Indonesia dibagi menjadi empat
kelompok (PP Nomor 45 Tahun 2003), yaitu:
a. Rendah : <5.100 kkal/kg, air dried basis/adb;
9
Gambar 3.2. Penyebaran sumber daya batubara Indonesia berdasarkan tingkat
nilai kalori (Badan Geologi, 2011)
Batubara Miosen umumnya berkadar abu dan sulfur rendah dan lapisannya
menebal secara lokal. Sebaliknya, lapisan batubara Eosen lebih tipis, berbentuk
lensa-lensa, bekadar abu dan sulfur tinggi. Namun kebanyakan sumber daya
10
batubara Miosen tergolong sub-bituminus atau lignit sehingga kurang ekonomis
dikembangkan kecuali jika sangat tebal atau lokasi geografisnya menguntungkan.
Namun batubara Miosen di beberapa lokasi juga tergolong peringkat yang tinggi
seperti pada wilayah Pinang dan Prima yaitu endapan batubara yang terbentuk di
sekitar hilir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur dan beberapa lokasi di sekitar
Tanjung Enim, Cekungan Sumatera bagian selatan. Batubara yang terdapat di
lokasi-lokasi ini terkena pengaruh intrusi batuan beku, baik yang sampai muncul
dipermukaan dalam bentuk sill atau dyke maupun yang berada di
bawah permukaan dalam bentuk batolith, sehingga tingkat pengaruhnya
terhadap lapisan batubara sangat tergantung pada jarak dan panas dari magma
tersebut.
Tabel 3.2 dan 3.3 memperlihatkan masing-masing gambaran umum
rata - rata kualitas beberapa batubara Eosen dan Miosen di Indonesia.
11
Barito-Paringin 24,00 18,00 4,00 40,00 0,10 5.950 (ad)
Sumatera bagian
selatan - Air 24,00 - 5,30 34,60 0,49 5.300 (ad)
Laya
3.3.2. Kokas
Kokas adalah hasil proses karbonisasi batubara berupa material padatan yang
12
kaya akan karbon. Sedangkan karbonisasi batubara merupakan
prosesdekomposisi batubara dengan pemanasan bebas udara yang menghasilkan
produk padatan, cairan dan gas. Padatan yang dihasilkan disebut char atau
semikokas untuk produk karbonisasi temperatur rendah, dan kokas untuk produk
karbonisasi temperatur tinggi. Secara umum, terdapat dua jenis kokas yaitu kokas
pengecoran dan kokas metalurgi. Kokas pengecoran digunakan sebagai bahan
bakar atau sumber panas pada proses pencairan besi atau logam lain pada kegiatan
pengecoran. Sedangkan kokas metalurgi digunakan pada proses pembuatan logam
besi atau baja paduan. Dalam proses ini, kokas metalurgi berfungsi sebagai
reduktor dan sumber panas.
13
3. Penggunaan metalurgi
Petroleum coke dengan kandungan sulfur yang rendah (2.5% berat atau
kurang) dapat digunakan dalam metalurgi besi ketika dicampurkan dengan
batubara yang rendah kemampuan menguapnya. Petroleum coke yang digunakan
dalam penuangan besi atau untuk pembuatan baja meningkatkan bahan-bahan dari
batubara melalui penurunan jumlah zat yang mudah menguap dan meningkatkan
nilai rata-rata pemanasan. Kandungan logam dalam kokas tidak menjadi masalah
dalam industri metalurgi.
14
penjumlahan dari kedua jenis kandungan air ini.
15
dengan waktu pemanasan 7 menit tepat. Kadar zat terbang berpengaruh dalam
pembakaran batu bara. Batubara dengan zat terbang rendah relatif sulit terbakar
sehingga pembakaran berjalan lamban. Sebaliknya, batubara dengan zat terbang
relatif tinggi mudah terbakar sehingga pembakaran berjalan cepat. volatile matter
dijadikan sebagai indeks klasifikasi oleh ASTM batubara bituminus sebagai
berikut:
a. Bituminuus dengan kandungan zat terbang rendah : 14% - 22%
b. Bituminous dengan kandungan zat terbang sedang : 22% - 31%
c. Bituminous dengan kandungan zat terbang tinggi : >31%
16
Dalam klasifikasi batubara secara umum dapat dikategorikan dalam nilai
kalori berdasarkan hubungannya dengan kadar air dan karbon adalah seperti pada
Tabel 3.4.
17
3.4.4 Petrografi Batubara
I. Pengertian Petrografi Batubara
Petrografi batubara adalah suatu ilmu yang mempelajari komponen- komponen organik dan
anorganik pembentuk batubara, asal mula dan riwayat pembentukan batubara menurut ilmu
geologi serta karakteristiknya. Alat yang digunakan untuk mempelajari petrografi batubara
adalah mikroskop. 1. Maseral
Eksinit Berasal dari senyawa yang bersifat resin atau berlemak diantaranya kulit ari,
spora dan tepung sari, juga berasal dari badannya ganggang, phytoplanton, dilihat
di bawah mikroskop berwarna kuning sampai kuning muda dalam cahaya
tembus, abu-abu tua dalam cahaya pantul.
Autofluorescencenya sangat kuat dalam cahaya biru, violet dan ultraviolet\
Grup maseral yang tersebut di atas kemudian digolongkan lagi menjadi beberapa
maseral yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat kimia dan optik. Ada beberapa
penggolongan dari maseral-maseral tersebut yakni sistem Stope - Heerlen dan Smith.
Uraian dari kedua sistem tertera pada Tabel 3.6 dan 3.7.
18
Batubara Coklat- Lignit Bituminus dan Antrasit
Ulminit Colinit
Gelinit Detrovitrinit
Corpohuminit
Attrinit
Densinit
Cutinit Bituminit
Resinit Florinit
Alginit Eksudatinit
Suberinit
Semifusinit Mikrinit
Inertoderinit Skloratinit
Detrovitrinit
Gelovitrinit
19
Eksinit Alginit Suberinit
Cutinit Liptodetrinit
Sporinit Florinit
Resinit Eksudatinit
Semifusinit Mikrinit
Inertoderinit Skloratinit
Tabel 3.8. Asal mula dan karakteristik grup vitrinit secara mikroskopik (Cook,
1982)
Telovitrinit Berasal dari jaringan kayu. Mempunyai reflektan yang tinggi, dan tidak
nampak pada cahaya fluorescence. kandungan selulosanya tinggi.
Gelovitrinit Berasal dari bahan-bahan yang bersifat koloid, maseral ini relatif jarang
ditemukan.
Tabel 3.10 Asal mula dan karakteristik grup liptinit / eksinit secara mikroskopik
20
(Bustin, dkk., 1983 dan Cook, 1982)
21
Alginit Algae Terlihat berkelompok atau terpisah, mempunyai
relief yang tinggi
Cutinit Kulit ari, daun, batang Berujung tajam, mempunyai relief tinggi
dan akar
Bituminit Hasil pengrusakan algae, Tidak mempunyai bentuk yang tetap, ber-
plankton dan bakteri fluorescence lemah.
lipid.
Suberinit Jaringan kulit kayu Zat yang berdinding sel berasosiasi dengan
phlobaphinite.
3. Grup Inertinit
Tabel 3.10. Asal mula dan karakteristik grup intertinit secara mikroskopik
22
Fusinit Jaringan Kayu Mempunyai reflektan tinggi berwarna
putih sampai kekuning-kuningan,
berdinding sel tipis, sel lumina terbuka.
b. Mineral Pengotor
Mineral pengotor dalam batubara terdapat baik sebagai butiran halus yang
menyebar maupun sebagai butiran kasar yaang mempunyai ciri-ciri tersendiri dan
dapat dikelompokan menjadi 3 grup, yaitu :
1) Mineral pengotor yang terdapat dalam sel tanaman asal,
2) Mineral pengotor utama yang terbentuk selama atau segera setelah
pengenapan batubara; dan
3) Mineral pengotor yang terbentuk setelah pengendapan batubara.
Mineral pengotor grup pertama pada umumnya tidak dapat diketahui dengan
cara petrografi kecuali dengan S.E.M (Scanning Electron Microscope) karena
sangat halus. Mineral pengotor grup kedua dan ketiga dengan mudah dapat
diidentifikasi dengan mikroskop. Mineral pengotor utama terbentuk bersamaan
dengan pembentukan batubara, sedangkan mineral pengotor yang lainnya
cenderung kasar dan bergabung dalam lubang, celah dan rongga.
Mineral-mineral pengotor yang banyak terdapat dalam batubara adalah
lempung, karbonat, besi sulfida dan kuarsa. Mineral yang lain yang terdapat pada
batubara dalam jumlah kecil adalah oksida-oksida, hidroksida-hidroksida, sulfida-
sulfida yang lainnya, fosfat dan sulfat.
23
II. Pengamatan Maseral Secara Petrografi
Reflektan,
Morfologi, relief dan ukuran butir
Warna
Fluorescence
Di dalam batubara peringkat rendah sampai sedang (lignit sampai
bituminus volatil rendah), ke tiga grup maseral dapat dibedakan pada level abu-
abu atau dengan daya pantulnya. Beberapa perbedaan tersebut diantaranya adalah:
24
Tabel 3.11. Hubungan klasifikasi ASTM dngan nilai reflektansi vitrinit (Mc.
Carney dan Teichmuler, 1972 dalam Davis, 1978)
BAB III.
25
METODE PENELITIAN
3.1 Studi literatur
26
1) Persiapan administrasi
i. Pembuatan dan pengajuan proposal penelitian
ii. Manjalani sidang proposal proposal
iii. Revisi proposal sebagai masukan agar penelitian lebih terarah
2) Persiapan teknis
i. Melakukan survey awal ke lapangan untuk mengetahui masalah yang
terjadi
ii. Memasukan proposal penelitian ke puslitbang
iii. Melakukan studi literatur terkait masalah yang akan ditelitih
b) Penelitian
Pada tahap ini yang dilakukan adalah mengambil data-data yang diperlukan
sebagai bahan penelitian. Data-data tersebut dapat diperoleh dengan cara
pencacatan langsung, wawancara, serta pengambilan data hasil penelitian
terdahulu perusahaan. Data-data yang diambil dikelompokan menjadi dua
yaitu :
1) Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil pengamatan
dan pengukuran dilapangan serta hasil wawancara dengan pihak
perusahaan. Data primer meliputi :
i. Metode klasifikasi batubara pengokas
ii. Jenis dan jumlah alat yang digunakan
iii. Waktu yang dibuatkan dalam klasifikasi batubara pengokas
27
d) Kesimpulan
Hasil penelitian yang diperoleh dari pengolahan data kemudian dijadikan
sebagai sebuah kesimpulan. Kesimpulan tersebut yang nantinya dapat
dijadikan sebagai bahan masukan atau rekomendasi ke pihak puslitbang
sebagai jalan keluar atas masalah yang terjadi.
Adapun sistimatika penulisan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Pada bagian tinjauan umum dijelaskan tentang sejarah perusahaan, lokasi dan
kesampaian daerah, dan kegiatan penelitan untuk mengetahui klasifikasi dan
manfaat batubara pengokas
28
Penelitian yang dilakukan mengikuti alur atau diagram penelitian seperti
terlihat pada Gambar 4.6.1 dibawah ini.
29
Tabel 4.7.1 waktu penelitian
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Not scale
Puslitbang tekMIRA
31
Foto 4.1.1.1 Puslitbang tekMIRA
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah mencakup hal-hal berikut:
4.2.1 Analisa Proksimat
32
Cawan dengan tutupnya yang berdiameter 50 mm.
Loyang yang dapat dimasukkan kedalam oven.
4) Prosedur kerja
Panaskan oven samapai suhu 104-1100 C.
Timbang cawan kosong beserta tutupnya (w1).
Timbang sekitar 1 g sampel dengan ketelitian sampai 0,0001 g
kedalam cawan dengan tutupnya (w2).
Buka tutup cawan, simpan diatas loyang dan masukkan sampel ke
dalam oven yang telah dipanaskan.
Panaskan sampel di dalam oven selama 1 jam (suhu oven harus dalam
rentang 104-1100 C).
Keluarkan cawan + sampel dari oven, tutup kembali kemudian
dinginkan.
Setelah dingin, timbang kembali cawan + tutup + sampel (w3).
Hitung presentase kadar air bawaan dalam sampel.
5) Perhitungan menurut ASTM :
Dimana :
W1 = berat cawan kosong dan tutupnya
W2 = berat cawan kosong dan tutupnya berisi sampel sebelum dipanaskan
W3 = berat cawan kosong dan tutupnay berisi sampel setelah
pemanasan sampai konstan.
33
Gambar 4.2.1.2 Alur Pengerjaan Analisa Kadar Air Bawaan
6) Hasil pengamatan kadar air bawaan sampel yang dilakukan dapat dilihat padata Tabel
4.2.1.1
34
Cawan Cawan + Cawan + Perhitungan Rata-rata
Sampel Batubara kosong Sampel sampel 2− 3
100 % Moisture %
(W1) Awal (W2) Akhir (W3) 2− 1
PT. GBP Block I 38,9722 39,9722 39,9550 1,72
(CL-K7U) CC- 1,72
01A 27,5341 28,5346 28,5173 1,73
PT. GBP Block I 29,9093 30,9097 30,8935 1,62
(CL-K7U) CC- 1,64
01A 31,1773 30,9097 30,8935 1,66
35
sirkulasi / pertukaran udara yang cukup dan dapat mencapai suhu 700-
8000C, dilengkapi dengan indikator suhu.
Neraca kapasitas 2.000 g dengan ketelitian samapai 0,0001 g atau 0,1
mg
Cawan porselin, kedalaman 22 mm dan diameter 44 mm.
Plat logam pendingin.
4) Prosedur kerja
Timbang cawan silika kosong serta tutupnya (w1).
Timbang sekitar 1 g sampel dengan ketelitian sampai 0,0001 g ke
dalam cawan dengan tutupnya (w2).
Buka tutup cawan, masukkan cawan tanpa tutup yang berisi sampel
kedala furnance yang dingin (suhu kamar). Panaskan secara bertahap
selama satu jam sampai mencapai rentang suhu 450-5000C.
Teruskan pemanasan sampai suhu 700-8000C pada akhir jam kedua.
Panaskan suhu sampai 700-8000C selama maksimal 2 jam kedua.
Keluarkan cawan + sampel dari oven, tutup kembali kemudian
dinginkan.
Setelah dingin, timbang kembali cawan + tutup + sampel (w3).
Hitung presentase kadar abu dalam sampel.
5) Perhitungan menurut ASTM :
Dimana :
W1 = berat cawan kosong dan tutupnya
W2 = berat cawan kosong dan tutupnya berisi sampel sebelum
dipanaskan
W3 = berat cawan kosong dan tutupnay berisi sampel setelah
pemanasan sampai konstan.
36
Mulai
Pengambilan
sampel
Timbang cawan
kosong
Masukkan ± 1 gr
sampel untuk
analisa kadar abu
Panaskan pada
suhu 8000C selama
3 jam
Hasil pengujian:
Inherent Moisture
Selesai
37
PT. GBP Block II 16,9424 17,9427 16,9513 0,089
0,082
(GBP II) CC-02 16,0761 17,0761 16,0836 0,075
PT. MCM 9,2588 10,2589 9,5853 32,65
(SJT/C/01) CC- 5,15
03A 9,4355 10,4358 9,7677 33,22
PT. MCM 9,2567 10,2570 9,6211 36,43
(SJT/C/01) CC- 6,68
03A 9,2976 10,2978 9,6513 35,37
38
Plat logam pendingin.
4. Prosedur kerja
Panaskan furnance sampai suhu mencapai 9000C, suhu harus berkisar
antara 9000C ± 200C selama penentuan dikerjakan.
Timbang cawan silika kosong serta tutupnya (w1).
Timbang sekitar 1 g sampel dengan ketelitian sampai 0,0001 g ke dalam
cawan dengan tutupnya (w2).
Simpan pada support yang terbuat dari kawat atau nichrome.
Masukkan cawan berisi sampel ke dalam furnance bersuhu 9000C
selama 7 menit.
Keluarkan cawan + sampel + tutup dari oven, kemudian dinginkan.
Setelah dingin, timbang kembali cawan + tutup + sampel (w3).
Hitung presentase volatile metter dalam sampel
5. Perhitungan menurut ASTM :
Dimana :
W1 = berat cawan kosong dan tutupnya
W2 = berat cawan kosong dan tutupnya berisi sampel sebelum
dipanaskan
W3 = berat cawan kosong dan tutupnya berisi sampel setelah
pemanasan sampai konstan.
39
Mulai
Pengambilan
sampel
Timbang cawan
kosong
Masukkan ± 1 gr
sampel untuk
analisa VM
Panaskan pada
suhu 9000C selama
7 menit
Hasil pengujian:
Inherent Moisture
Selesai
40
PT. MCM 14,3055 15,3058 14,8446 1,72 42,21
(SJT/C/01) CC- 42,30
03A 14,4328 15,4330 14,9913 1,78 42,38
PT. MCM 14,2005 15,2006 14,7610 1,83 42,13
(SJT/C/01) CC- 42,09
03A 14,5320 15,5325 15,0937 1,80 42,05
Prosedur yang dilakukan oleh Puslitbang tekMIRA dalam penentuan kadar kalori
adalah sebagai berikut:
1. Standard acuan
ASTM D 5865 – 2004. standard test method for gross calorific value of
coal and coke.
2. Prinsip kerja
Sampel yang telah diketahui massanya, dibakar dalam bomb calorimeter
pada kondisi standar. Nilai kalori kasar dihitung dari naiknya suhu air di
dalam plain calorimeter dan kapasitas panas rata-rata dari sistem.
3. Peralatan dan bahan
Neraca kapasitas 200 g dengan ketelitian sampai 0,0001 g atau 0,1 mg
Plain calorimeter
Bomb calorimeter
Crusible bomb calorimeter
Kawat stainless steel
Thermometer
Gas oksigen
Pipet tank dan aquadest
41
4. Prosedur kerja
Timbang sampel seberat ± 1, 0000 gram ke dalam crusible bomb
calorimeter / cawan.
Tempatkan crusible bomb calorimeter pada penyangga electrode dan
atur kawat pemantik tersentuh/kontak dengan sample.
Isi gas pada bomb calorimeter dengan gas oksigen hingga tekanan
maksimum 30 atm.
Dimasukkan bomb calor meter ke dalam bomb bucket dan isi dengan 2
liter aquadest dari pipet tank.
Dimasukkan elekroda pada terminal nut dan pastikan kedua elektroda
tersebut terkoneksi dengan terminal nut.
Tutup bomb calorimeter dan pasang juga thermometer untuk mengetahui
suhu air.
Amati kenaikan suhu awal air sampai suhu awal konstan (t1).
Nilai Kalori =
Dimana :
NA = ketetapan nilai kalori ( 2436 kalori/derajat)
NK = panjang kawat 23 cm (1 cm = 2,3 kalori)
Δt = suhu akhir (t2) dikurangi suhu awal (t1)
42
Mulai
Pengambilan
sampel
Timbang ± 1 gr
sampel ke dalam
cawan
Selesai
43
Tabel 5.2.2.4 Analisa nilai kalor batubara
Perhitungan Rata-rata
Berat Suhu Awal Suhu Δt 2436 − 23
Sampel Batubara Nilai Kalori
Sampel (t1) Akhir (t2) (t2 – t1)
(Kkal/Kg)
PT. GBP Block I 1,0005 25,77 28,92 3,15 7647,58
(CL-K7U) CC- 7.636
01A 1,0002 26,68 29,82 3,14 7624,52
PT. GBP Block I 1,0003 26,29 28,58 2,29 5553,78
(CL-K7U) CC- 5.582
01A 1,0001 26,20 28,51 2,31 5604,16
PT. GBP Block II 1,0003 25,95 29,24 3,29 7991,45
(GBP II) CC-02 7.991
1,0002 26,64 28,51 3,29 7991,44
PT. MCM 1,0001 25,84 29,26 3,42 8308,12
(SJT/C/01) CC- 8.357
03A 1,0002 26,25 29,71 3,46 8405,56
PT. MCM 1,0002 26,05 29,18 3,13 7600,16
(SJT/C/01) CC- 7.576
03A 1,0002 26,52 29,63 3,11 7551,45
1,0003 25,35 28,46 3,11 7552,97
Batubara Borneo
(CC-04) 7.553
1,0004 26,29 29,41 3,12 7577,33
Kokas Borneo 1,0003 25,91 28,59 2,68 6503,53
6.528
(CC-05) 1,0004 26,81 29,51 2,70 6554,21
Batubara 1,0002 25,63 28,72 3,09 7504,24
Australia (CC- 7.504
06A) 1,0004 26,45 29,54 3,09 7504,25
Batubara 3,16
1,0005 25,89 29,05 7674,77
Australia (CC- 7.711
06B) 1,0002 26,19 29,36 3,19 7747,84
Kokas Australia 1,0002 26,75 29,51 2,76 6700,36
(CC-07) 6.688
1,0002 26,32 29,07 2,75 6676,01
Prosedur yang dilakukan oleh Puslitbang tekMIRA dalam penentuan nilai muai bebas
adalah sebagai berikut:
1. Standard acuan
ASTM D720-91 (2004), test method for free swelling index of coal
2. Prinsip kerja
Nilai muai bebas ditentukan dengan cara memanaskan sampel batubara
dalam furnance yang mempunyai suhu 8150C selama 2,5 menit tepat.
Cawan untuk memanaskan sampel dapat berupa cawan platina atau cawan
nikel chromium.
44
3. Peralatan
45
Mulai
Timbang cawan +
sampel ± 1gr
Pengambilan
sampel
Selesai
46
A. PT. GBP BLOCK I CODE: CL-K7U ( CC-01A )
Dari hasil pengovenan yang dilakukan selama 2,5 menit dengan suhu
8150C dan dicocokkan dengan gambar standar nilai muai bebas
maka hasil yang di dapat dari nilai muai bebasnya adalah 6, seperti
terlihat pada Foto 5.2.3.2
Dari hasil pengovenan yang dilakukan selama 2,5 menit dengan suhu
8150C dan dicocokkan dengan gambar standar nilai muai bebas
maka hasil yang di dapat dari nilai muai bebasnya adalah 1,5 seperti terlihat pada Foto
4.2.3.3
47
Foto 4.2.3.4 Foto hasil nilai muai bebas sampel CC-02
4.2.4 Analisa Petrografi Batubara
1. Prosedur Penentuan Analisa Pengukuran Reflektansi Vitrinit
Prosedur yang dilakukan oleh Puslitbang tekMIRA dalam penentuan
reflektansi vitrinit adalah sebagai berikut:
1. Standard acuan
ASTM D 2799 – 05a, test method for microscopical determination of the
maceral composition of coal.
2. Prinsip kerja
Reflektansi vitrinit ditentukan dengan cara melihat cahaya pantul yang
keluar dari batubara dengan menggunakan mikroskop dan dilihat
cahaya pantulnya melalui komputer dengan aplikasi “craic visible
imaging” dan “craic CoalPro”.
3. Peralatan
mikroscop “craic” spektrometer dengan pembesaran 50X
Pilished block (sampel batubara yang sudah berbentuk silinder)
Komputer
Minyak Imersi
4. Prosedur kerja
Nyalakan mickoskop “craic” spektromater
Buka sofware “craic visible imaging” dan craic coalPro
Masukkan standar sampel dan teteskan 1-2 tetes minyak imersi
Fokus pada sampel dengan menggunakan 50 x pembesaran (tip :
dekatkan mata lensa pada sampel sampai menemukan titik fokus
pada bentuk oktogonal, dengan standar halus tanpa sayatan)
48
Tingkatkan intensitas cahaya dan buka titik fokus sampai
Pilih ukuran dari ukuran spektrometer yang sesuai
Dibawah lensa mikroskop, sesuaikan sampel di tengah
Tekan “referance standard” dan pilih standar yang sesuai
Tekan “auto optimize”, kemudian tutup (RL) pada mikroskop,
kemudian tekan “collect dark scan”
Buka “RL” kembali dan tekan “collect referance”
Keluarkan standar sampel dari mikroscop
Masukkan sampel yang akan diuji dan tekan “collect sample” tanpa
merubah intensitas cahaya
Ulangi pencarian bentuk diagonal pada sampel sebanyak
30x
49
Mulai
Menyalakan Stabilizer
Menyalakan mikroscop
dan komputer
Standarisasi
Fokuskan pada
pengamatan reflentansi
vitrinit
Lakukan pengamatan
sebanyak 30 kali dengan
satandar devisiasi 0,03
Selesai
50
5. Hasil pengerjaan pengukuran reflektansi vitrinit dari sampel yang
diakukan dapat dilihat pada Tabel 5.2.4..
Reflektance Standard
Batubara Mean Median Min Max
standard Deviation
PT. GBP Block
I (CL-K7U) CC- 0,595 0,717 0,709 0,667 0,679 0,03
01A
PT. GBP Block
I (CL-K7U) CC- 0,595 0,798 0,8 0,739 0,842 0.03
01A
PT. GBP Block
II (GBP II) CC- 0,595 0,703 0,709 0,633 0,732 0,025
02
PT. MCM
(SJT/C/01) CC- 0,595 0,517 0,518 0,463 0,567 0,028
03A
PT. MCM
(SJT/C/02) CC- 0,595 0,580 0,579 0,544 0,648 0,03
03B
Batubara
Borneo (CC-04) 0,595 0,936 0,945 0,880 0,973 0,028
Kokas Borneo
(CC-05) 1,37 1,901 1,901 1,901 1,901 0
Batubara
Australia (CC- 0,595 0,993 0,993 0,943 1,041 0,029
06A)
Batubara
Australia (CC- 0,595 1,024 1,03 0,965 1,068 0,03
06A)
Kokas Australia
(CC-07) 1,37 1,901 1,901 1,901 1,901 0
51
1. Standard acuan
ASTM 2798 – 09, test method for microscopical determination of the
vitrinite reflectance of coal
2. Prinsip kerja
Komposisi maseral ditentukan dengan cara melihat jenis-jenis maseral
yang terdapat pada batubara dengan menggunakan cahaya pantul dan
cahaya tembus yang berada dalam mikroscop. Penentuan ini dibantu
dengan menggunakan point counter untuk menghitung komposisi
maseralnya.
3. Peralatan
Mikroscop polarisasi
Pilished block (sampel batubara yang sudah berbentuk silinder)
Point counter
Minyak imersi
4. Prosedur kerja
Nyalakan stabilizer
Nyalakan regulator
Mikroscop dihubungkan dengan alat point counter
Hidupkan point counter
Sampel/polish block diletakkan pada mikroskop
Fokuskan pada pengamatan seluruh maseral
Tandai masing-msing tombol pada point counter dengan jenis maseral
Lakukan pengamatan pada sampel
Hitung maseral dengan menekan tombol pada point counter sesuai
dengan jenis maseralnya
Lakukan pengamatan sebanyak 500 kali
52
Mulai
Menyalakan Stabilizer
Menyalakan Regulator
Selesai
53
Maseral
Sampel
Inertinit Mineral Total (%)
Batubara Vitrinit (%) Liptinit (%)
(%) Meter (%)
PT. GBP
Block I (CL- 80.8 - 1.8 17.4 100
K7U) CC-01A
PT. GBP
Block I (CL- 80.1 0.4 2.8 15.8 100
K7U) CC-01A
PT. GBP
Block II (GBP 83.0 8.2 7.4 1.4 100
II) CC-02
PT. MCM
(SJT/C/01) 75.0 4.8 10.2 10.0 100
CC-03A
PT. MCM
(SJT/C/02) 73.0 5.0 8.4 13.6 100
CC-03B
Batubara
Borneo (CC- - - 4.0
96.0 100
04)
Kokas Borneo
(CC-05) 96.6 - - 3.4 100
Batubara
64.8
Australia (CC- 0.6 31.6 3.0 100
06A)
Batubara
Australia (CC- 79.0 1.0 18.4 1.6 100
06A)
Kokas
Australia (CC- 100.0
- - - 100
07)
54
b) Cawan
c) Oven (Furnace)
Oven (Foto 4.3.1.14) digunakan untuk memanaskan sampel untuk
mengetahui penurunan kadar air bawaan yang ada di batubara. Alat ini
memiliki kapasitas suhu sampai 3000C.
55
Foto 4.3.1.14 Oven
Analisa Kadar Abu (ash content)
a) Cawan
Cawan (Foto 4.3.1.15) yang terbuat dari bahan porselin yang tahan dengan
suhu tinggi ini digunakan untuk pengujian kadar abu.
56
Foto 4.3.1.16 Oven untuk pengujian abu dan zat terbang
Analisa Zat Terbang (volatile meter)
a) Cawan
Cawan (Foto 4.3.1.17) yang terbuat dari bahan silika dan tahan dengan
suhu tinggi ini digunakan untuk pengujian kadar zat tebang.
57
Foto 4.3.2.18 bomb calorie meter
58
Foto 4.3.4.22 Polished block
59
maseral vitrinit (75 – 96%), sedangkan kandungan inertinitnya
sangat rendah (berkisar 1 – 8%). Sehingga dengan banyaknya
kandungan maseral vitrinit tersebut batubara yang digunakan
sebagai bahan baku kokas bersifat plastis.
Kalori (Kg/Kkal,
7.636 5.582 7.991 8.357 7.552
adb)
60
FSI 6 1,5 2 3 3
Tabel 6.1.2 Hasil analisa 5 sampel (CC-04, CC-05, CC-06A, CC-06B dan
CC-07)
Keterangan : CC-06A :
CC-01A : PT. GBP BLOCK I (CL-K7U) Batubara
Australia
CC-01B : PT. GBP BLOCK I (CL-K7L)
CC-06B :
CC-02 : PT. GBP BLOCK II Batubara
CC-03A : PT. MCM (SJT/C/01) Australia
CC-03B : PT. MCM (SJT/C/02) CC-07
: Kokas
CC-04 : Batubara Borneo Australia
CC-05 : Kokas Borneo
61
Batubara Kalimantan Timur
62
memiliki dinding rongga yang kuat.Karakteristik sampel keempat CC-03A juga
diketahui kadar airnya adalah1,75%, kadar abu 5,15%, kadar zat terbang
42,30% dan kadar kalorinya adalah8357 Kg/Kkal yang menunjukkan bahwa
batubara ini tergolong ke batubara high volatile bituminous. Namun sama dengan
batubara sebelumnya yng menunjukkan bahwa batubara ini tidak memiliki sifat
batubara pengokas yang baik. Hal ini dikarenakan batubara ini memiliki nilai FSI
3, nilai reflektansi vitrinitnya 0,517% serta komposisi maseral vitrinitnya tinggi
yaitu 75,0%. Sedangkan komposisi maseral liptinit dan inertinitnya masing-
masing 4,8% dan 10,2% sehingga batubara yang ada tidak memiliki dinding
ringga yang kuat sebagai bahan baku kokas. Selanjutnya sampel kelima CC-03B,
merupakan batubara yang memiliki kadar air 1,81%, kadar abu 6,58%, kadar zat
terbang 42,09% dan nilai kalori sebesar 7.552 Kg/Kkal (adb). Ini menunjukkan
bahwa batubara ini memiliki karakteristik yang relati sama dengan batubara
sampel keempat (CC-03A), yaitu berada pada peringkat high volatile bituminous.
Batubara ini juga tidak memiliki sifat batubara pengokas yang baik, karena
memiliki nilai FSI 3 dan nilai reflektansi vitrinit yang rendah, yaitu 0,580%.
Selain itu kandungan komposisi maseral vitrinitnya juga tinggi yaitu 73,0%
sedangkan komposisi maseral liptinit dan inertinitnya rendah yaitu masing-masing
5,0% dan 8,4%. Dengan demikian, apabila batubara dipanaskan/dibakar maka
batubara tersebut akan bersifat plastis dan memiliki dinding rongga yang rapuh.
63
kadar abu 15,73% dan zat terbang sebesar 3,27% serta nilai kalori sebesar 6.505
Kg/Kkal. Nilai FSI 0 ini karena batubara sudah diproses menjadi kokas sehingga
tidak lagi memiliki nilai muai bebas. Sedangkan nilai reflektansi vitrinit dari
kokas sangat tinggi, yaitu 1,901%, hal ini diakibatkan kandungan zat terbangnya
rendah dan karbonnya tinggi. Namun informasi yang diperoleh dari tekMIRA
bahwa kokas yang terbentuk sangat rapuh, tidak kuat menahan beban pada saat
proses peleburan di dalam tanur yang tinggi. Namun karakteristik kokas yang
terbentuk ini dapat digunakan untuk keperluan smelter yang saat ini semua
kebutuhannya dipenuhi dari ekspor, baik dari Australia, Afrika Selatan maupun
Cina dengan harga yang sangat tinggi.
64
tinggi dapat membantu kekerasan kokas yang terbentuk.
65
sehingga tidak bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan kokas.
66
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
67
5.2 Saran
68
DAFTAR PUSTAKA
(2) Daulay Bukin, Evaluation of Kalimantan Coal Qoality in Order to Select the
(3) Daulay Bukin, Makalah Teknik, Potensi Batubara Kokas (coking coal) di
69
VITRINITE REFLECTANCE
ANALYSIS
Sample numbar : CC –
01A Sample mark :
(1)
VITRINITE REFLECTANCE
ANALYSIS
Sample number : CC –
01B Sample mark :
(2)
VITRINITE REFLECTANCE
ANALYSIS
70
Sample number : CC - 02
Sample mark : (3)
Sample number : CC –
03A Sample mark :
(4)
Sample number
Point Counting : 500 : CC –Interval (x) :2
01A Sample mark
Magnification : 200x :Interval (y) :2
(1)
MACERAL ANALYSIS
71
% VOL % VOL
MCSERAL SUB MACERAL MACERAL
VOL (mfb) VOL (mfb)
Textinite -
Telovitrinite Texto-ulminite -
2.4 E-ulminite -
Telocollinite 2.4
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
80.8
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 0.6
78.4 Desmocollinite 77.8
Gelovitrinite Corpogelinite -
(Humocolinite) Porigelinite -
- Eugelinite -
Sporinite -
Cutinite -
Resinite -
Liptodetrinite -
LIPTINITE
- Alginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite 0.4
Sclerotinite 1.4
INERTINITE 1.8
Inertodetrinite -
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
17.4 Pyrite 11.0
MATTER
Clay 6.4
TOTAL 100
72
MACERAL ANALYSIS
Textinite -
Telovitrinite
Texto-ulminite -
(Humotelinite)
11.4 E-ulminite -
Telocollinite 11.4
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
81.0
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 4.4
69.6 Desmocollinite 65.2
Gelovitrinite Corpogelinite -
(Humocolinite) Porigelinite -
- Eugelinite -
Sporinite -
Cutinite -
Resinite 0.4
Liptodetrinite -
LIPTINITE
0.4 Alginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite 0.4
Sclerotinite 2.4
INERTINITE 2.8
Inertodetrinite -
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
15.8 Pyrite 1.4
MATTER
Clay 14.4
TOTAL 100
MACERAL
ANALYSIS
Sample number : CC - 02
Sample mark : (3)
Point Counting : 500 Interval (x) :2
Magnification : 200x Interval (y) :2
73
MACERAL ANALYSIS
Textinite -
Telovitrinite
Texto-ulminite -
(Humotelinite)
5.6 E-ulminite -
Telocollinite 5.6
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
83.0
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 2.6
70.0 Desmocollinite 67.4
Gelovitrinite Corpogelinite 7.4
(Humocolinite) Porigelinite -
7.4 Eugelinite -
Sporinite 0.4
Cutinite 1.0
Resinite 6.4
Liptodetrinite -
LIPTINITE
8.2 Alginite 0.4
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite 0.4
Sclerotinite 6.4
INERTINITE 7.4
Inertodetrinite 0.6
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
1.4 Pyrite 1.0
MATTER
Clay 0.4
TOTAL 100
MACERAL
ANALYSIS
Sample number : CC –
03A Sample mark :
(4)
Point Counting : 500 Interval (x) :2
Magnification : 200x Interval (y) :2
74
MACERAL ANALYSIS
Textinite -
Telovitrinite
Texto-ulminite -
(Humotelinite)
10.0 E-ulminite -
Telocollinite 10.0
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
75.0
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 3.4
62.4 Desmocollinite 59.0
Gelovitrinite Corpogelinite 2.6
(Humocolinite) Porigelinite -
2.6 Eugelinite -
Sporinite 0.4
Cutinite -
Resinite 4.4
Liptodetrinite -
LIPTINITE 4.8
Alginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite 0.4
Sclerotinite 4.4
INERTINITE 10.2
Inertodetrinite 5.4
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
10.0 Pyrite 3.4
MATTER
Clay 6.6
TOTAL 100
MACERAL
ANALYSIS
Sample number : CC –
03B Sample mark :
(5)
Point Counting : 500 Interval (x) :2
Magnification :MACERAL
200x Interval (y)
ANALYSIS :2
% VOL % VOL
MCSERAL SUB MACERAL MACERAL
VOL (mfb) VOL (mfb)
75
Textinite -
Telovitrinite Texto-ulminite -
10.4 E-ulminite -
Telocollinite 10.4
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
73.0
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 10.0
61.6 Desmocollinite 51.6
Gelovitrinite Corpogelinite 1.0
(Humocolinite) Porigelinite -
1.0 Eugelinite -
Sporinite 0.4
Cutinite -
Resinite 4.6
Liptodetrinite -
LIPTINITE
5.0 Lamalginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite 0.4
Sclerotinite 4.4
INERTINITE 8.4
Inertodetrinite 3.6
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida 1.2
MINERALS
13.6 Pyrite 3.6
MATTER
Clay 8.8
TOTAL 100
MACERAL
ANALYSIS
Sample number : CC - 04
Sample mark : (6)
MACERAL ANALYSIS
% VOL % VOL
MCSERAL SUB MACERAL MACERAL
VOL (mfb) VOL (mfb)
Point Counting : 500 Interval (x) :2
Magnification : 200x Textinite
Interval (y) :2 -
Telovitrinite Texto-ulminite -
10.6 E-ulminite -
Telocollinite 10.6
76
Detrovitrinite Attrinite -
VITRINITE 96.0 (Humodetrinite) Densinite 15.4
(HUMINITE)
85.4 Desmocollinite 70.0
Gelovitrinite Corpogelinite -
(Humocolinite) Porigelinite -
- Eugelinite -
Sporinite -
Cutinite -
Resinite -
Liptodetrinite -
LIPTINITE
- Lamalginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite -
Sclerotinite -
INERTINITE -
Inertodetrinite -
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
4.0 Pyrite 0.6
MATTER
Clay 3.4
TOTAL 100
MACERAL
ANALYSIS
Sample number : CC - 05
Sample mark : (7)
MACERAL ANALYSIS
% VOL % VOL
MCSERAL SUB MACERAL MACERAL
VOL (mfb) VOL (mfb)
Textinite -
Telovitrinite Texto-ulminite -
0.4 E-ulminite -
Telocollinite 0.4
Point Counting
VITRINITE : 500Detrovitrinite Interval (x)
Attrinite :2 -
Magnification 96.6 : 200x Interval (y) :2
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 32.0
96.2 Desmocollinite 64.2
Gelovitrinite Corpogelinite
(Humocolinite) Porigelinite -
77
Eugelinite -
Sporinite -
Cutinite -
Resinite -
Liptodetrinite -
LIPTINITE
- Lamalginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite -
Sclerotinite -
INERTINITE -
Inertodetrinite -
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
3.4 Pyrite 1.4
MATTER
Clay 2.0
TOTAL 100
78