Anda di halaman 1dari 78

Kode/Nama Rumpun Ilmu:433/Teknik Kimia

LAPORAN AKHIR PENELITIAN MANDIRI

PENELITIAN BATUBARA PENGOKAS DI


KALIMANTAN TIMUR

Nama Peneliti
Gati Sri Utami, S.T., M.T.

YUDO

_______________________________________________________________

INSTITUT TEKNOLOGI ADHI TAMA SURABAYA


FEBRUARI 2014

1
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN 2
DAFTAR ISI 3
RINGKASAN 4
BAB I PENDAHULUAN 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 6
BAB III METODE PENELITIAN 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 33
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 68
DAFTAR PUSTAKA 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN 71

2
RINGKASAN

Indonesia merupakan salah satu pengguna kokas dalam jumlah yang besar,
baik untuk kebutuhan pelebuhan logam metalurgi maupun pengecoran logam non
ferro. Dengan demikian, peranan kokas dalam pembangunan nasional khususnya
dalam bidang industri, baik industri besar maupun industri kecil dan menengah
menjadi sangat penting. Berawal dari kebutuhan kokas yang sangat tinggi tersebut
maka diperlukan penelitian tentang potensi batubara pengokas (coking coal) di
Indinesia, agar pemanfaatan batubara bisa lebih maksimal.
Dalam penelitian ini digunakan sampel batubara dari Kalimantan Timur.
Metode penelitian menggunakan beberapa analisa, antara lain analisa proksimat,
nilai kalor, FSI, dan petrografi. Dari analisa tersebut didapat hasil analisa antara lain
: nilai 6.500 – 8.000 Kkal/Kg, reflektansi vitrinit 0,7 – 1,6 %, vitrinit 80 –
96%, liptinit 0 – 8%, inertinit 1 – 10 %, FSI 1 – 3. Walaupun dari hasil penelitian
diketahui bahwa batubara yang ada memiliki peringkat yang sesuai dengan batubara
pengokas yaitu dengan kandungan air berkisar antara 1,72 – 2,21%, kadar abu
5,15 – 9,8%, kadar zat terbang 26,35 – 43,39% dan nilai kalor di atas
7.000 Kkal/Kg (adb) yang menunjukkan bahwa batubara ini berada pada
peringkat high volatile sub bituminous, namun dengan kandungan vitrinit dan
inertinit yang masing-masing berkisar 80 – 96% dan 1 – 10% serta nilai FSI 1 – 3,
maka diketahui bahwa batubara Kalimantan Timur hanya merupakan batubara
pengokas bermutu rendah.

Batubara Kalimantan Timur tetap bisa digunakan sebagai bahan baku


pembuatan kokas dengan mutu yang baik menggunakan metode mencampur
(blending). Dengan syarat batubara yang akan dicampur dg batubara Kalimantan
Timur memiliki kandungan inertinit 25 – 45% dan FSI kurang lebih 6.

Kata kunci : Batubara, batubara pengokas, petrografi, proksimat

BAB I

3
PENDAHULUAN

Batubara merupakan sumber energi utama di Indonesia saat ini setelah


minyak dan gas bumi yang cadangannya mulai menipis dan harganya cenderung
tinggi. Dengan jumlah cadangan batubara yanga ada sekarang, peranan batubara
pada bauran energi masih dapat bertahan lebih dari 75 tahun, dibandingkan
dengan peranan minyak dan gas bumi yang masing-masing lebih rendah dari 30
tahun dan 50 tahun. Pada saat ini pemanfaatan batubara Indonesia masih terfokus
sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik, seperti diketahui bahwa lebih dari
75% listrik di negara ini berbahan bakar batubara dan untuk industri semen.
Padahal batubara dapat dikonversikan menjadi bahan bakar gas (BBG) dan bahan
bakar minyak (BBM), masing-masing melalui proses gasifikasi (gasification) dan
liquefaksi (liquefaction). Disamping itu, batubara dapat juga dibuat menjadi kokas
(coke) melalui proses karbonisasi (carbonization) yang dapat digunakan untuk
pengecoran atau peleburan logam.
Indonesia merupakan salah satu pengguna kokas dalam jumlah yang besar, baik
untuk kebutuhan peleburan logam metalurgi maupun pengecoran logam non ferro.
Dengan demikian, peranan kokas dalam pembangunan nasional khususnya dalam
bidang industri, baik industri besar maupun industri kecil dan menengah menjadi
sangat penting. Keberadaan kokas sebagai sumber energi sangat diperlukan untuk
menopang keberlanjutan industri tersebut di atas.
Sampai saat ini hampir semua kebutuhan kokas untuk kegiatan metalurgi dan
pengecoran logam di Indonesia masih diperoleh dari impor, terutama dari
Australia, China dan Afrika Selatan yang diketahui harganya sangat tinggi
sehingga berakibat tingginya harga logam di negara ini. Akibat tingginya harga
kokas impor sejak beberapa tahun, beberapa industri pengecoran di Indonesia

BAB II

4
STUDI PUSTAKA

Sumber daya batubara Indonesia yang potensial untuk dikembangkan


terbentuk di cekungan Tersier yang terletak di bagian barat Paparan Sunda,
termasuk Pulau Sumatera sebanyak 53% dan Pulau Kalimantan sebanyak 47%.
Sedangkan cadangan batubara yang ditemukan di Pulau Sumatera terdiri atas
cadangan terbukti sebanyak 3,4 miliar ton dan cadangan terkira sebanyak 11,3
miliar ton. Sementara itu cadangan batubara yang ditemukan di Pulau Kalimantan
terdiri atas cadangan terbukti sebanyak 6,8 miliar ton dan cadangan terkira
sebanyak 6,5 juta ton. Selain di Pulau Sumatera dan Kalimantan, endapan
batubara ditemukan juga di daerah lain seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua
dan Sulawesi, namun potensinya kecil dan belum dapat ditentukan
keekonomiannya.

Cadangan batubara Indonesia hanya ± 3% dari total cadangan batubara


dunia yang sebesar 826 miliar ton dan menduduki peringkat 14 dalam
kepemilikan cadangan batubara di dunia. Cadangan batubara terbesar berada di
benua Amerika bagian utara, yaitu 246 miliar ton atau ± 30% dari total cadangan
batubara dunia. Tabel 3.1 memperlihatkan 6 (enam) wilayah/negara yang
memiliki cadangan batubara paling besar di dunia.
Tabel 3.1. Cadangan batubara dunia

No Wilayah/Negara Cadangan (miliar ton)


1 Amerika bagian utara 246
2 Rusia 147
3 China 115
4 Australia 76
5 India 59
6 Eropa 50
7 Lain-lain 133
Total 826

Pada umumnya endapan batubara ekonomis Indonesia dapat


dikelompokkan sebagai batubara berumur Paleogen (Oligosen - Eosen) dan
Neogen (Miosen - Pliosen). Ketebalan lapisan batubara bervariasi dari beberapa

5
sentimeter sampai mencapai 30 meter, terutama ditemukan di wilayah Kalimantan
Timur dan Selatan. Pada umumnya lapisan batubara yang berumur Neogen lebih
tebal dan menerus dibandingkan dengan batubara Paleogen. Kemiringan lapisan
batubara pada umumnya landai, yaitu < 150.
Eksistensi batubara Paleogen terjadi sepanjang tepian Paparan Sunda, dari
sebelah barat Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Laut Jawa hingga Sumatera
bagian tengah. Namun batubara Paleogen yang umum dikenal, terdapat pada
Cekungan Pasir dan Asam-asam (Kalimantan Selatan dan Timur), Cekungan
Barito (Kalimantan Selatan), Cekungan Kutai Atas (Kalimantan Tengah dan
Timur), Cekungan Melawi dan Ketungau (Kalimantan Barat), Cekungan Tarakan
(Kalimantan Timur), Cekungan Ombilin (Sumatera Barat) dan Cekungan
Sumatera bagian tengah (Riau).
Lapisan batubara Neogen yang ekonomis terdapat pada Cekungan Kutai
bagian bawah (Kalimantan Timur), Cekungan Barito (Kalimantan Selatan) dan
Cekungan Sumatera bagian selatan (Sumatera Selatan, Jambi). Batubara Neogen
yang ekonomis juga ditambang di Cekungan Bengkulu. Batubara ini umumnya
terdeposisi pada lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai yang mirip dengan
daerah pembentukan gambut saat ini di Sumatera bagian timur.

3.1.2 Geologi Umum Kalimantan Timur

Endapan batubara di Kalimantan Timur terdapat pada Cekungan Kutai dan Cekungan
Tarakan. Cekungan Kutai terdapat disekitar daerah Samarinda, sementar
Cekungan Tarakan terdapat di bagian timur laut pulau Kalimantan. 1. Cekungan
Kutai

Cekungan Kutai secara historis merupakan suatu Cekungan Sedimentasi


yang besar di Pulau Kalimantan. Pengisiannya berlangsung sejak Eosen hingga
Miosen Tengah. Pengangkatan pegunungan Meratus mengakibatkan Cekungan
Kutai terpisah menjadi tiga bagian yang dinamakan Cekungan Barito di sebelah
barat dan Cekungan Pasir di sebelah timur pengunungan Meratus, serta Cekungan
Kutai disebelah utaranya.

Proses Sedimentasi dalam Cekungan Kutai berlangsung secara kontinue


selama Tersier hingga sekarang. Fase pertama merupakan siklus transgresi dan
fase kedua atau akhir pengisian adalah fase regresi. Secara litologi hampir semua

6
pengisian Cekungan Kutai mengandung klastika halus yang terdiri dari batupasir
kuarsa, batulempung dan batulanau serta sisipan batugamping dan batubara yang
diendapkan pada lingkungan paralik hingga neretik atau litoral, delta sampai laut
terbuka.

Seri sedimentasi pengisi Cekungan Kutai dibagi menjadi beberapa formasi


mulai dari tua ke muda, sebagai berikut: Formasi Tanjung, Formasi Pamaluan,
Formasi Pulubalang, Formasi Balikpapan, dan Formasi Kampung Baru. Kelima
formasi ini bertindak sebagai pengandung batubara, terutama Formasi Tanjung
dan Formasi Balikpapan.

2. Cekungan Tarakan

Cekungan Tarakan merupakan salah satu dari 3 (tiga) Cekungan Tersier utama
yang terdapat pada bagian timur continental margin Kalimantan (dari utara ke
selatan: Cekungan Tarakan, Cekungan Kutai, dan Cekungan Barito), yang
dicirikan oleh hadirnya batuan sedimen klastik sebagai penyusunannya yang
dominan, berukuran halus sampai kasar dengan beberapa endapan karbonat.
Secara fisiografi Cekungan Tarakan di bagian barat dibatasi oleh lapisan Pra-
tersier Tinggian Kuching dan dipisahkan dari Cekungan Kutai oleh kelurusan
timur- barat Tinggian Mangkalihat.

Proses pengendapan Cekungan Tarakan dimulai dari proses pengangkatan


(transgresi) yang diperkirakan terjadi pada kala Eosen - Miosen Awal bersamaan
dengan terjadinya proses pengangkatan gradual pada Tinggian Kuching dari barat
ke timur. Pada kala Miosen Tengah terjadi penurunan (regresi) pada Cekungan
Tarakan, yang dilanjutkan dengan terjadinya pengendapan progradasi ke arah
timur dan membentuk endapan delta, yang menutupi endapan prodelta dan batial.
Cekungan Tarakan mengalami proses penurunan secara lebih aktif lagi pada kala
Miosen - Pliosen. Proses sedimentasi delta yang tebal relatif bergerak ke arah
timur terus berlanjut selaras dengan waktu.

Cekungan Tarakan berupa depresi berbentuk busur yang terbuka ke timur


ke arah selat makasar/laut Sulawesi yang meluas ke utara ke Sabah dan berhenti
pada zona subduksi di Tinggian Semporna dan merupakan Cekungan paling utara

7
di Kalimantan. Tinggian Kuching dengan inti lapisan Pra-tersier terletak di
sebelah baratnya sedangkan batas selatannya adalah Punggungan Suikerbood dan
Tinggian Mangkalihat.

Ditinjau dari fasies dan lingkungan pengendapannya, Cekungan Tarakan


terbagi menjadi empat sub Cekungan Tidung, Sub Cekungan Tarakan, Sub
Cekungan Muras dan Sub Cekungan Berau.

3.1.3 Karakter Batubara Kalimatan Timur

Endapan batubara ekonomis yang tersebar luas di kepulauan Indonesia


terdapat pada batuan sedimen berumur Tersier. Pulau Kalimantan merupakan
salah satu yang mengandung banyak endapan batubara disamping daerah
Sumatera, Jawa, Sulawasi dan Papua. Cekungan Kutai, Cekungan Barito, Anak
Cekungan Asam-Asam dan Anak Cekungan Pasir telah diketahui sebagai lokasi
batubara. Batubara pada cekungan - cekungan tersebut ada dua jenis yaitu batubara
Eosen dan batubara Miosen. Karakteristik batubara Eosen umumnya sangat masif
berwarna hitam, kilap gelas, jenis batubara bitumen – sub bitumen, dan kadar
kalor tinggi. Batubara Eosen sering tersingkap baik berupa lapisan maupun lensa-
lensa.

Batubara Meosen sebagian besar berupa lignit, sangat lunak, kadar air
tinggi, kadar abu tinggi, dan kadar kalori rendah. Batubara Meosen umumnya
menunjukkan bentuk lapisan yang kurang baik dalam singkapan. Hal ini terjadi
karena kadar air dalam betubara tinggi, tekanan kompresi rendah serta lapisan
lempung sering kali ada dalam lapisan batubara tersebut.

3.2 Kualitas Sumberdaya Batubara Indonesia

Kualitas (mutu) batubara Indonesia sangat bervariasi, baik dilihat dari


jenis (komposisi kimia, maseral dan sifat fisik) maupun peringkatnya. Perbedaan
mutu batubara ini sangat erat hubungannya dengan lingkungan pengendapan, jenis
tumbuhan pembentuk, tekanan, temperatur dan waktu pembentukan batubara
tersebut. Jenis batubara yang terbentuk dari pohon-pohon besar misalnya berbeda
dengan batubara yang terbentuk dari ranting atau alang-alang. Sementara itu,
batubara yang terbentuk lebih awal (misalnya batubara yang berumur Eosen) pada

8
umumnya memiliki peringkat lebih tinggi dari pada batubara yang diendapkan
kemudian (misalnya berumur Miosen atau Pliosen). Namun kekecualian bisa
terjadi pada beberapa lokasi apabila lapisan batubara terkena pengaruh panas
intrusi batuan beku sehingga dapat menaikkan peringkat batubara tersebut
menjadi semi-antrasit atau antrasit. Akibatnya batubara yang lebih muda bisa
memiliki peringkat lebih tinggi dari batubara yang lebih tua.
Berdasarkan tingkat nilai kalori, batubara Indonesia dibagi menjadi empat
kelompok (PP Nomor 45 Tahun 2003), yaitu:
a. Rendah : <5.100 kkal/kg, air dried basis/adb;

b. Sedang (Medium) : 5.100 - 6.100 kkal/kg, adb;

c. Tinggi : 6.100 - 7.100 kkal/kg, adb;

d. Sangat tinggi : >7.100 kkal/kg, adb.

Penyebaran sumber daya batubara Indonesia berdasarkan tingkat nilai


kalori sesuai dengan empat kelompok di atas dapat dilihat pada Gambar 3.2.

9
Gambar 3.2. Penyebaran sumber daya batubara Indonesia berdasarkan tingkat
nilai kalori (Badan Geologi, 2011)

Batubara dengan nilai kalori sedang - tinggi, banyak ditemukan di Pulau


Kalimantan (Kutai, Pasir - Kalimantan Timur, Asam-asam - Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah). Sedangkan di Pulau Sumatera, batubara dengan kategori ini
ditemukan di sekitar Tanjung Enim - Sumatera Selatan, Ombilin - Sumatera Barat
dan Bengkulu.Batubara dengan nilai kalor sedang - tinggi yang ditemukan di
sekitar Tanjung Enim - Sumatera Selatan dan Bengkulu terjadi karena pengaruh
panas intrusi batuan beku yang berumur Plio-Plistosen menerobos lapisan
batubara yang berumur Miosen Batubara dengan nilai kalori rendah ditemukan di
Tarakan, Lati - Kalimantan Timur bagian utara dan Barito - Kalimantan Selatan.
Sedangkan di Pulau Sumatera, batubara ini menyebar luas di Sumatera Selatan
(antara lain di daerah Muara Enim, Lahat, Pendopo, Musi Banyuasin dan Musi
Rawas), Jambi dan Nanggroe Aceh Darussalam. Sumber daya batubara Indonesia
yang dikategorikan sebagai batubara peringkat rendah dengan kandungan nilai
kalori <
5.100 kkal/kg (adb) sebesar ± 58% dari total sumber daya batubara yang ada.
Batubara ini memiliki umur Miosen - Pliosen dan pada umumnya terbentuk dekat
dengan permukaan sehingga nisbah kupas (stripping ratio) menjadi rendah.

Ciri-ciri umum batubara peringkat rendah Indonesia, antara lain adalah:

1) Ketebalan : bervariasi, mencapai 30 meter dan bersifat homogen;


2) Kemiringan : <10°, dekat permukaan,
3) Air total : 25 – 45%,
4) Kadar abu : <10%, rata-rata 5%,
5) Kadar sulfur : <1%, rata-rata 0,3%,
6) Titik leleh abu : umumnya rendah,
7) Sifat ketergerusan (hardgrove grindability index/HGI) : tinggi, mencapai 80,
8) Sifat swabakar (self combustion) : tinggi.

Batubara Miosen umumnya berkadar abu dan sulfur rendah dan lapisannya
menebal secara lokal. Sebaliknya, lapisan batubara Eosen lebih tipis, berbentuk
lensa-lensa, bekadar abu dan sulfur tinggi. Namun kebanyakan sumber daya

10
batubara Miosen tergolong sub-bituminus atau lignit sehingga kurang ekonomis
dikembangkan kecuali jika sangat tebal atau lokasi geografisnya menguntungkan.
Namun batubara Miosen di beberapa lokasi juga tergolong peringkat yang tinggi
seperti pada wilayah Pinang dan Prima yaitu endapan batubara yang terbentuk di
sekitar hilir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur dan beberapa lokasi di sekitar
Tanjung Enim, Cekungan Sumatera bagian selatan. Batubara yang terdapat di
lokasi-lokasi ini terkena pengaruh intrusi batuan beku, baik yang sampai muncul
dipermukaan dalam bentuk sill atau dyke maupun yang berada di
bawah permukaan dalam bentuk batolith, sehingga tingkat pengaruhnya
terhadap lapisan batubara sangat tergantung pada jarak dan panas dari magma
tersebut.
Tabel 3.2 dan 3.3 memperlihatkan masing-masing gambaran umum
rata - rata kualitas beberapa batubara Eosen dan Miosen di Indonesia.

Tabel 3.2. Gambaran umum rata-rata kualitas batubara Eosen di Indonesia

Cekungan/ TM IM Abu VM Belerang Nilai kalor


wilayah (%,ar) (%,adb) (%,adb) (%,adb) (%,adb) (kkal/kg,adb)

Asam-Asam 10,00 7,00 8,00 41,50 0,80 6.800


Pasir-
9,00 4,00 15,00 39,50 0,70 6.400
Senakin
Pasir-
11,00 4,40 12,00 40,50 0,80 6.700
Petangis
Ombilin 12,00 6,50 <8,00 36,50 0,55 6.900
(ar) - as received; (adb) - air dried basis

Tabel 3.3. Gambaran umum rata-rata kualitas batubara Miosen di Indonesia

Cekungan/ TM IM Abu VM S Nilai kalor


wilayah (%,ar) (%,adb) (%,adb) (%,adb) (%,adb) (kkal/kg,adb)

Kutai-Prima 9,00 - 4,00 39,00 0,50 6.800 (ar)


Kutai-Pinang 13,00 - 7,00 37,50 0,40 6.200 (ar)
Pasir-Roto
24,00 - 3,00 40,00 0,20 5.200 (ar)
South
Tarakan-
18,00 14,00 4,20 40,10 0,50 6.100 (ad)
Binungan
Tarakan-Lati 24,60 16,00 4,30 37,80 0,90 5.800 (ad)

11
Barito-Paringin 24,00 18,00 4,00 40,00 0,10 5.950 (ad)
Sumatera bagian
selatan - Air 24,00 - 5,30 34,60 0,49 5.300 (ad)
Laya

(ar) - as received, (adb) - air dried basis.

3.3 Batubara Mengokas (Coking Coal)


3.3.1. Potensi Batubara Mengokas di Indonesia

Kalau dilihat dari peringkat batubara, ada kemungkinan untuk


mendapatkan batubara kokas di Cekungan tersier di Indonesia, terutama batubara
yang berumur lebih tua (Paleogen) antara lain batubara daerah Ombilin –
Sawahlunto (Sumatra Barat), Rokan dan Tanko (Riau), Bengkulu, Senakin
(Kalimantn Selatan) dan Silantek Kalimantan Barat yang memiliki nilai
reflektansi vitrinit lebih tinggi dari batubara neogen yang mencapai 0,8%. Nilai
reflektansi vitrinit 0,8% ini merupakan batas paling rendah dari persyaratan untuk
batubara kokas, sehingga mutu kokas yang dihasilkan akan sangat rendah.
Potensi batubara mengokas juga ditemukan pada beberapa lapangan
batubara dimana terdapat anomali – anomali peringkat batubara seperti daerah
Sangatta (Cekungan Kutai, berupa Miosen), Barito Utara dan Barito Selatan
(Cekungan Barito berumur Eosen). Peringkat batubara di daerah – daerah ini
berkisar antara high volatile bitumunous dan low vilatile bituminous. Anomali
peringkat yang terjadi pada batubara di daerah Sangatta diperkirakan karena
Intrusi batuan beku, namun tubuh intrusi tersebut masih jauh di bawah
permukaan, sehingga panas yang dihasilkan tidak terlalu tinggi untuk merubah
peringkat batubara tersebut. Nilai reflektansi vitrinit di daerah ini adalah sekitar
0,6 sampai 0,8 % (Daulay, 1994). Sedangkan peringkat batubara di daerah Barito
Utara dan Barito Selatan dengan nilai reflektansi vitrinit berkisar dari 0,9 sampai
1,1 %, juga dipengaruhi oleh intrusi batuan beku yang menerobos lapisan
batubara, sehingga panas yang dihasilkan cukup tinggi untuk merubah peringkat
batubara di daerah ini menjadi medium volatile bituminous – low volatile
bituminous.

3.3.2. Kokas

Kokas adalah hasil proses karbonisasi batubara berupa material padatan yang

12
kaya akan karbon. Sedangkan karbonisasi batubara merupakan
prosesdekomposisi batubara dengan pemanasan bebas udara yang menghasilkan
produk padatan, cairan dan gas. Padatan yang dihasilkan disebut char atau
semikokas untuk produk karbonisasi temperatur rendah, dan kokas untuk produk
karbonisasi temperatur tinggi. Secara umum, terdapat dua jenis kokas yaitu kokas
pengecoran dan kokas metalurgi. Kokas pengecoran digunakan sebagai bahan
bakar atau sumber panas pada proses pencairan besi atau logam lain pada kegiatan
pengecoran. Sedangkan kokas metalurgi digunakan pada proses pembuatan logam
besi atau baja paduan. Dalam proses ini, kokas metalurgi berfungsi sebagai
reduktor dan sumber panas.

Batubara yang sesuai digunakan sebagai bahan baku kokas adalah


batubara yang memiliki peringkat bituminus dengan kandungan zat terbang
dibawah 20%, kandungan karbon diatas 80%, reflektansi vitrinit berkisar 0,8
sampai 1,6, komposisi vitrinit 40 – 60%, inertinit 25 – 45%, liptinit <10%, kadar
abu <10% dan sulfur <1%. Disamping itu nilai CSN (crucible swelling index) atau
FSI (free swelling index) berkisar dari 4 – 7.

3.3.3. Kegunaan Kokas


Berdasarkan pada jenis yang akan diproduksi dan kadar pengotor yang
spesifik yang ada dalam hasil akhir, petroleum coke pada dasarnya digunakan
untuk tiga jenis pekerjaan, antara lain :

1. Penggunaan sebagai bahan bakar


Penggunaan petroleum coke sebagai bahan bakar umumnya masuk kepada
dua kategori, bahan bakar untuk pembangkit tenaga uap dan bahan bakar untuk
pabrik semen. Untuk penggunaan ini, kokas biasanya dicampur dengan batubara
bitumen atau digunakan dalam kombinasi dengan minyak atau gas

2. Penggunaan Untuk Elektroda


Kadar sulfur yang rendah, sponge coke dengan kadar logam yang rendah, setelah proses
kalsinasi, dapat digunakan untuk membuat anoda pada industri

aluminium. Industri aluminium merupakan industri satu-satunya yang


mengkonsumsi kokas paling banyak.

13
3. Penggunaan metalurgi
Petroleum coke dengan kandungan sulfur yang rendah (2.5% berat atau
kurang) dapat digunakan dalam metalurgi besi ketika dicampurkan dengan
batubara yang rendah kemampuan menguapnya. Petroleum coke yang digunakan
dalam penuangan besi atau untuk pembuatan baja meningkatkan bahan-bahan dari
batubara melalui penurunan jumlah zat yang mudah menguap dan meningkatkan
nilai rata-rata pemanasan. Kandungan logam dalam kokas tidak menjadi masalah
dalam industri metalurgi.

3.4. Analisis Batubara


Untuk mengetahui apakah batubara yang diteliti memiliki klasifikasi
batubara pengokas atau tidak maka diperlukan penelitian awal seperti kadar air,
kadar abu, zat terbang, kadar kalori serta petografi batubara tersebut. Sehingga
diharapkan dari pengujian-pengujian yang ada dapat diketahui apakah sampel
yang ada memenuhi klasifikasi batubara pengkokas atau tidak. Selain itu perlu
diketahui juga
Analisa batubara merupakan suatu kegiatan untuk dapat menentukan
kualitas batubara yang diperiksa berdasarkan sifat-sifat fisika dan kimia yang
dimilikinya. Dalam kaitannya dengan pendayagunaan dan pemanfaatan batubara
oleh end user, maka perlu diketahui beberapa parameter analisis, antara lain:

3.4.1. Analisa Proksimat

1. Total Moisture ( Kandungan Air Total)

Kandungan Air Total menunjukkan suatu pengukuran semua air yang


tidak terikat secara kimia, yaitu air yang teradsorpsi pada permukaan, air yang
ada dalam kapiler (pori-pori) batubara. Penentuan kandungan air total
dilakukan dengan dua cara, yaitu cara satu tahap dimana semua kandungan air
dalam batubara langsung ditentukan. Sedangkan cara tahap dua, ditentukan
kandungan air yang hilang bila batubara dikeringkan di udara terbuka
(kandungan air bebas), kemudian sampel tersebut diperkecil ukuran butirnya
dan diambil sebagian untuk penentuan kandungan air yang tersisa dalam
sampel kering udara (kandungan air bawaan). Kandungan air total adalah

14
penjumlahan dari kedua jenis kandungan air ini.

Pengaruh dalam penggunaannya dalam pembakaran adalah akan


berkurangnya kalori akibat adanya panas yang terbuang dari penguapan air.
Selain itu dalam pengangkutan, kadar air lembab memiliki pengaruh yaitu air
akan menambah berat batubara sehingga akan menambah biaya didalam
transportasinya.

2. Kadar Abu (Ash Content)


Sisa pembakaran yang tertinggal jika batubara dipijarkan disebut kadar
abu. Sisa ini merupakan hasil perubahan kimia ketika proses pengabuan
terjadi. Sisa pembakaran yang tertinggal adalah senyawa dari material
anorganik, seperti SiO3, Al2O3, Fe2O3, MgO, Na2O, K2O, P2O5 dan material
organik lainnya dalam jumlah kecil seperti: Cd, As, Pb, Zn, Hg dan Ni.
Semakin besar kadar abu dalam batubara, maka semakin kecil nilai
kalorinya. Nilai kadar abu batubara selalu lebih kecil dari pada nilai
kandungan mineralnya. Hal ini terjadi karena selama pembakaran telah terjadi
perubahan kimiawi pada batubara tersebut, seperti menguapnya air kristal dari
lempung, karbon dioksida dari karbonat, teroksidasinya pirit menjadi besi
oksida dan terjadinya fiksasi belerang oksida.
Sejumlah perubahan kimia terjadi apabila suatu sampel batubara dipanaskan.
Zat yang pertama menguap pada suhu 1000C adalah moisture. Karbon dioksida
lepas dari karbonat dan besi sulfida teroksidasi menjadi besi oksida pada
suhu sekitar 5000C. Oksida-oksida sulfur tertambat pada suhu yang lebih
tinggi dari 8000C. Supaya perubahan ini dapat terkendali, penentuan ash
dilakukan dengan cara pemanasan dua tahap, yaitu tahap pertama sampel
dipanaskan sampai suhu 5000C selama 30 menit kemudian suhu dinaikkan
sampai mencapai 8150C dalam waktu 60 menit.

3. Zat Terbang (Volatile Matter)

Zat terbang menyatakan jumlah kandungan zat terbang/zat yang mudah


menguap dalam batubara yang sebagian besar berupa gas-gas yang mudah
terbakar, yaitu hidrogen, karbon dioksida serta metan dan sebagian kecil uap yang
dapat mengembun, seperti tar, hasil pemecahan termis, seperti karbon dioksida
dari karbonat, sulfur dari pirit dan air dari lempung. Suhunya adalah 9000C

15
dengan waktu pemanasan 7 menit tepat. Kadar zat terbang berpengaruh dalam
pembakaran batu bara. Batubara dengan zat terbang rendah relatif sulit terbakar
sehingga pembakaran berjalan lamban. Sebaliknya, batubara dengan zat terbang
relatif tinggi mudah terbakar sehingga pembakaran berjalan cepat. volatile matter
dijadikan sebagai indeks klasifikasi oleh ASTM batubara bituminus sebagai
berikut:
a. Bituminuus dengan kandungan zat terbang rendah : 14% - 22%
b. Bituminous dengan kandungan zat terbang sedang : 22% - 31%
c. Bituminous dengan kandungan zat terbang tinggi : >31%

Pengaruh kadar zat terbang batubara dalam pembakaran adalah makin


tinggi kadar zat terbang dalam batubara, maka semakin cepat terjadi
pembakaran dan semakin banyak kehilangan berat, semakin sedikit kadar zat
terbang semakin sulit terbakar

4. Karbon Padat/Tertambat (Fixed Carbon)


Karbon padat merupakan kandungan karbon padat yang terdapat dalam batu
bara. Pada dasarnya, karbon padat inilah yang dibakar dan menghasilkan panas.
Semakin tinggi kandungan karbon padat, maka semakin besar energi yang
dihasilkan dan sebaliknya. Karbon padat tidak dianalisa di laboratorium
melainkan diperoleh dari perhitungan yang dapat dinyatakan dengan rumus
sebagai berikut:

Karbon padat = 100% - (% kandungan air - % abu - % zat terbang)

3.4.2 Nilai Kalori (Calorific Value)

Nilai Kalori suatu batubara dapat dianggap sebagai jumlah panas


pembakaran dari bahan yang dapat terbakar yaitu C, H dan S dikurangi panas
penguraian bahan karbonan dan plus minus reaksi endothermic atau exothermic
yang terjadi di dalam pengotor. Karena itu, nilai kalori diukur dengan membakar
suatu contoh batubara yang telah kering udara (air dried) dalam bomb calorimeter
standar dalam O2 berlebih dan perhitungan panas total yang dibebaskan setelah
sistem tersebut kembali lagi dekat ke suhu sekitarnya (ambient temperatures). Jadi
nilai yang diukur adalah nilai kalori kotor gross pada volume konstan.

16
Dalam klasifikasi batubara secara umum dapat dikategorikan dalam nilai
kalori berdasarkan hubungannya dengan kadar air dan karbon adalah seperti pada
Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Kategori batubara dan nilai kalor (considine, 1974)

Karbon Nilai kalori


No Kategori Air % % kkal/kg
1 Lignit 43,4 37,8 4.113
2 Sub bituminus 23,4 42,4 5.403
3 Low volatile sub bituminus 11,6 47 7.159
Medium volatile sub
4 bituminus 5 54,2 7.715
5 High volatile sub bituminus 3,2 64,6 8.427

6 Sub antrasit 6 83,8 8.271


7 Antrasit 3,2 95,6 8.027

3.4.3 Nilai Muai Bebas (Free Swelling Index/FSI)


Nilai Muai Bebas merupakan suatu parameter seberapa jauh batubara akan memuai
apabila dipanaskan. FSI ditentukan dengan memanaskan batubara yang telah digerus dan
dicetak berbentuk “ kancing kemeja” sampai 800ºC di dalam cawan selama waktu
tertentu. Setelah zat terbang habis “kancing” kokas yang lebih kecil dari ukuran semula
tetap berada dalam cawan. Penampang sisa kokas dibandingkan dengan penampang baku
bernomor 1-10.

Pengaruh nilai FSI pada batubara :


a. Bila pemuaian kokas mengakibatkan ia sama dengan ukuran panjang nomor 0-2 ( jadi
FSI -nya 0-2) batubara tersebut bukan batubara kokas yang baik (pori- porinya terlalu
rendah).
b. Bila FSI -nya 8-10 berarti tingkat pemuaiannya terlalu tinggi berarti bila dijadikan kokas
terlalu berpori-pori besar sangat rapuh.
c. Batubara dengan nomor FSI 4-6 adalah ideal untuk diproses menjadi kokas (batubara ini
akan menjadi kokas yang cukup berpori dan kuat menahan beban).

17
3.4.4 Petrografi Batubara
I. Pengertian Petrografi Batubara

Petrografi batubara adalah suatu ilmu yang mempelajari komponen- komponen organik dan
anorganik pembentuk batubara, asal mula dan riwayat pembentukan batubara menurut ilmu
geologi serta karakteristiknya. Alat yang digunakan untuk mempelajari petrografi batubara
adalah mikroskop. 1. Maseral

Batubara adalah bukan merupakan suatu senyawa yang homogen


melainkan terdiri dari beberapa komponen dasar yang sama dengan mineral- mineral yang
terdapat dalam batuan anorganik. Didalam batubara komponen- komponen tersebut
dinamakan maseral. Maseral tersebut diklasifikasikan menjadi
3 grup yakni vitrinit, liptinit/eksinit dan inertinit. Sifat-sifat dan asal mula dari ketiga
grup maseral tersebut terlihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Penamaan Grup Maseral Batubara Berdasarkan Sistem

Stopes-Heerlen (Cook, 1982)


Vitrinit Berasal dari jaringan kayu dan kulit kayu, dilihat di bawah mikroskop vitrinit
berwarna merah orange dalam cahaya tembus (transmitted), abu- abu dalam
cahaya pantul (reflected), dan dalam cahaya fluorencence
terlihat sangat lemah

Eksinit Berasal dari senyawa yang bersifat resin atau berlemak diantaranya kulit ari,
spora dan tepung sari, juga berasal dari badannya ganggang, phytoplanton, dilihat
di bawah mikroskop berwarna kuning sampai kuning muda dalam cahaya
tembus, abu-abu tua dalam cahaya pantul.
Autofluorescencenya sangat kuat dalam cahaya biru, violet dan ultraviolet\

Inertinit Berasal dari perubahan kayu dan jaringan-jaringan lainnya secara


biokimia, dan berasal dari senyawa-senyawa yang teroksidasi, terlihat di bawah
mikroskop berwarna coklat sampai opak dalam cahaya tembus,
abu-abu muda, putih sampai putih ke kuning-kuningan dalam cahaya pantul, tidak terlihat
dalam cahaya fluorescence.

Grup maseral yang tersebut di atas kemudian digolongkan lagi menjadi beberapa
maseral yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat kimia dan optik. Ada beberapa
penggolongan dari maseral-maseral tersebut yakni sistem Stope - Heerlen dan Smith.
Uraian dari kedua sistem tertera pada Tabel 3.6 dan 3.7.

Tabel 3.6. Daftar maseral menurut Stopes - Herleen (Cook, 1982)

18
Batubara Coklat- Lignit Bituminus dan Antrasit

Grup maseral: Huminit Vitrinit


Maseral Tektinit Telinit

Ulminit Colinit

Gelinit Detrovitrinit

Corpohuminit

Attrinit

Densinit

Grup Maseral Liptinit/Eksinit


Maseral Sporinit Liptodetrinit

Cutinit Bituminit

Resinit Florinit

Alginit Eksudatinit

Suberinit

Grup Maseral Inertinit


Maseral Fusinit Makrinit

Semifusinit Mikrinit

Inertoderinit Skloratinit

Tabel 3.7. Maseral penggabungan dari batubara peringkat rendah - tinggi,


menurut Smith (Cook, 1982)

Grup Maseral Maseral


Vitrinit Telovitrinit

Detrovitrinit

Gelovitrinit

19
Eksinit Alginit Suberinit

Cutinit Liptodetrinit

Sporinit Florinit

Resinit Eksudatinit

Inertinit Fusinit Makrinit

Semifusinit Mikrinit

Inertoderinit Skloratinit

a. Asal Mula Maseral dan Karakteristiknya


1. Grup Vitrinit

Vitrinit merupakan maseral-maseral yang paling banyak dalam batubara


terdiri dari telovitrinit, detrovitrinit dan gelovitrinit. Karakteristik yang utama dari
ke tiga masalah ini tertera pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8. Asal mula dan karakteristik grup vitrinit secara mikroskopik (Cook,
1982)

Telovitrinit Berasal dari jaringan kayu. Mempunyai reflektan yang tinggi, dan tidak
nampak pada cahaya fluorescence. kandungan selulosanya tinggi.

Detrovitrinit Berasal patahan/pecahan humus, ukuran partikelnya <.10 micron.


Mempunyai reflektan yang rendah.

Gelovitrinit Berasal dari bahan-bahan yang bersifat koloid, maseral ini relatif jarang
ditemukan.

2. Grup Liptinit / Eksinit

Grup maseral ini hanya dapat diamati dengan cahaya fluorescence,


mengandung spora, kulit ari, resin, lilin, lemak dan minyak dari pohon-pohon
yang tinggi serta beberapa grup plankton dan ganggang. Tabel 3.9
memperlihatkan karakteristik maseral yang tergolong dalam grup Liptinit /
Eksinit.

Tabel 3.10 Asal mula dan karakteristik grup liptinit / eksinit secara mikroskopik

20
(Bustin, dkk., 1983 dan Cook, 1982)

Maseral Asal Karakteristik

21
Alginit Algae Terlihat berkelompok atau terpisah, mempunyai
relief yang tinggi

Sporinit Spora,tepung sari Masing badan mempunyai dinding sel yang


berbeda, ber-relief tinggi.

Cutinit Kulit ari, daun, batang Berujung tajam, mempunyai relief tinggi
dan akar

Resinit Resin, lemak, lilin dan Sel nya terisi.


minyak

Fluorinit Lipid, minyak Ber-fluorescence kuat, berwarna hitam dalam


cahaya refleksi normal.

Eksuditinit Minyak atau bitumen Ber-fluorescence kuat, intensitasnya berwarna


yang keluar pada proses warni, hitam dalam cahaya refleksi.
perbatubaraan

Bituminit Hasil pengrusakan algae, Tidak mempunyai bentuk yang tetap, ber-
plankton dan bakteri fluorescence lemah.
lipid.

Liptodetrinit Hasil degradasi eksinit -


secara mekanik atau
biokimia

Suberinit Jaringan kulit kayu Zat yang berdinding sel berasosiasi dengan

phlobaphinite.

3. Grup Inertinit

Inertinit terdiri atas maseral-maseral yang pada umumnya dicirikan oleh


reflektan yang tinggi, terbentuk saat terjadi perubahan zat humat selama tahap
penggambutan. Karakter dari masing-masing maseral yang termasuk dalam grup
intertinit tertera pada Tabel 3.10.

Tabel 3.10. Asal mula dan karakteristik grup intertinit secara mikroskopik

(Bustin, dkk., 1983 dan Cook, 1982)

Maseral Asal Karakteristik

22
Fusinit Jaringan Kayu Mempunyai reflektan tinggi berwarna
putih sampai kekuning-kuningan,
berdinding sel tipis, sel lumina terbuka.

Semi Fusinit Jaringan Kayu Mempunyai reflektan diantara Vitrinit dan


Fusinit, sel lumina sering tertutup, sering
terlihat berawan, anisotrop.

Inertodetrinit Potongan fusinit dan semi Biasanya berukuran < 30 mikrometer


fusinit

Makrinit Senyawaan humat yang Bentuknya tidak beraturan, tinggi


beroksidasi menjadi jeli reflektannya

Mikrinit Turunan maseral, terbentuk Berupa butiran halus, ber-reflektan tinggi


pada saat permulaan proses
pembusukan

Sklerotinit fungi/jamur Berstruktur kayu, reflektan sedang

b. Mineral Pengotor
Mineral pengotor dalam batubara terdapat baik sebagai butiran halus yang
menyebar maupun sebagai butiran kasar yaang mempunyai ciri-ciri tersendiri dan
dapat dikelompokan menjadi 3 grup, yaitu :
1) Mineral pengotor yang terdapat dalam sel tanaman asal,
2) Mineral pengotor utama yang terbentuk selama atau segera setelah
pengenapan batubara; dan
3) Mineral pengotor yang terbentuk setelah pengendapan batubara.
Mineral pengotor grup pertama pada umumnya tidak dapat diketahui dengan
cara petrografi kecuali dengan S.E.M (Scanning Electron Microscope) karena
sangat halus. Mineral pengotor grup kedua dan ketiga dengan mudah dapat
diidentifikasi dengan mikroskop. Mineral pengotor utama terbentuk bersamaan
dengan pembentukan batubara, sedangkan mineral pengotor yang lainnya
cenderung kasar dan bergabung dalam lubang, celah dan rongga.
Mineral-mineral pengotor yang banyak terdapat dalam batubara adalah
lempung, karbonat, besi sulfida dan kuarsa. Mineral yang lain yang terdapat pada
batubara dalam jumlah kecil adalah oksida-oksida, hidroksida-hidroksida, sulfida-
sulfida yang lainnya, fosfat dan sulfat.

23
II. Pengamatan Maseral Secara Petrografi

Petrografi batubara diamati dengan menggunakan mikroskop baik dengan


cahaya tembus/transmitted maupun dengan cahaya pantul/reflektan. Cahaya
tembus hanya dapat digunakan untuk batubara sampai peringkat bituminus volatil
rendah, karena dalam batubara peringkat yang lebih tinggi senyawa-senyawa
organik tidak dapat dilihat dengan cahaya tembus. Cahaya pantul dapat digunakan
untuk mengamati senyawa-senyawa organik dalam semua peringkat batubara dari
mulai gambut, antrasit dan grafit baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Parameter-parameter utama yang digunakan untuk membedakan maseral-maseral


dalam cahaya pantul adalah :

 Reflektan,
 Morfologi, relief dan ukuran butir
 Warna
 Fluorescence
Di dalam batubara peringkat rendah sampai sedang (lignit sampai
bituminus volatil rendah), ke tiga grup maseral dapat dibedakan pada level abu-
abu atau dengan daya pantulnya. Beberapa perbedaan tersebut diantaranya adalah:

 liptinit = abu-abu tua, pantulannya rendah,


 vitrinit = abu-abu sedang, pantulannya sedang,
 inertinit = antara abu-abu tipis dan putih, pantulannya tinggi.

III. Reflektansi Vitrinit

Reflektansi pada suatu maseral batubara, merupakan suatu ukuran untuk


memantulkan kembali cahaya yang datang pada bidang maseral, yang dinyatakan
dalam persen. Nilai reflektansi ini semakin besar dengan meningkatnya peringkat
batubara. Oleh kerana itu pengukuran nilai reflektansi pada masing-masing
maseral, terutama vitrinit dapat digunakan sebagai salah satu parameter dalam
penentuan peringkat batubara.
Berdasarkan klasifikasi batubara menurut ASTM yang dihubungkan dengan nilai
reflektansi vitrinit seperti pada Tabel 3.11.

24
Tabel 3.11. Hubungan klasifikasi ASTM dngan nilai reflektansi vitrinit (Mc.
Carney dan Teichmuler, 1972 dalam Davis, 1978)

No Peringkat Batubara Reflektansi Vitrinit %

1 Meta antrasit >5,00


2 Antrasit 2,5 – 5,0
3 Semi antrasit 2,0 – 2,5
4 Bituminus volatil rendah 1,5 – 2,0
5 Bituminus volatil sedang 1,2 – 1,5
6 Bituminus volatil tinggi 0,7 – 1,0
7 Sub bituminus 0,20 – 0,47
8 lignit < 0,20

BAB III.

25
METODE PENELITIAN
3.1 Studi literatur

Dalam memperoleh informasi yang berhubungan dengan penelitian


mengenai potensi batubara mengokas di Indonesia, Kalimantan Timur khususnya,
telah dilakukan studi pustaka pada waktu sebelum dan selama proses penelitian
dilakukan. Studi pustaka yang dilakukan meliputi antara lain berupa karakteristik
dan kualitas batubara Indonesia, potensi batubara mengokas yang ada di Indonesia
dan karakteristik batubara yang memenuhi standar pembuatan kokas itu sendiri
serta parameter-parameter lain yang digunakan dalam analisa untuk mengetahui
kualitas batubara mengokas.

Maksud dilakukannya studi literatur ini adalah untuk mendapatkan data


skunder yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan pendukung dalam
menyusun laporan penelitian ini. Data skunder tersebut berupa hasil penelitian
yang sebelumnya dilakukan oleh instansi pemerintah dan swasta seperti kondisi
batubara Indonesia dan potensinya untuk dimanfaatkan dalam membuat kokas.
Data skunder lainnya berupa referensi-referensi buku, tulisan atau makalah yang
berhubungan dengan penelitian.

3.2 Pengamatan Langsung


Sebelum melakukan penelitian secara langsung, diperlukan informasi tentang jenis
pengamatan apa saja yang akan dilakukan selama penelitian. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui langkah-langkah dan urutan apa saja yang harus dilakukan selama
penelitian serta analisa apa saja yang akan digunakan dalam penelitian, sehingga hasil
penelitian yang diharapkan dapat diperoleh secara maksimal.
3.3 Urutan Kerja Penelitian
Urutan kerja penelitian adalah tahapan-tahapan yang dilakukan dalam
melakukan sebuah penelitian. Adapun urutan kerja penelitian yang dilakukan
adalah sebagai berikut :
a) Persiapan
Tahap persiapan adalah tahap awal yang dilakukan dalam sebuah penelitian
agar proses penelitian dapat berjalan dengan lancar. Dalam tahap ini ada dua
hal yang dipersiapkan, yaitu :

26
1) Persiapan administrasi
i. Pembuatan dan pengajuan proposal penelitian
ii. Manjalani sidang proposal proposal
iii. Revisi proposal sebagai masukan agar penelitian lebih terarah
2) Persiapan teknis
i. Melakukan survey awal ke lapangan untuk mengetahui masalah yang
terjadi
ii. Memasukan proposal penelitian ke puslitbang
iii. Melakukan studi literatur terkait masalah yang akan ditelitih
b) Penelitian
Pada tahap ini yang dilakukan adalah mengambil data-data yang diperlukan
sebagai bahan penelitian. Data-data tersebut dapat diperoleh dengan cara
pencacatan langsung, wawancara, serta pengambilan data hasil penelitian
terdahulu perusahaan. Data-data yang diambil dikelompokan menjadi dua
yaitu :
1) Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil pengamatan
dan pengukuran dilapangan serta hasil wawancara dengan pihak
perusahaan. Data primer meliputi :
i. Metode klasifikasi batubara pengokas
ii. Jenis dan jumlah alat yang digunakan
iii. Waktu yang dibuatkan dalam klasifikasi batubara pengokas

iv. Ketersediaan batubara dalam klasifiksi batubara pengokas


2) Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literature-literatur dan hasil
penelitian sebelumnya. Data sekunder meliputi :
i. Profil perusahaan
ii. Peta lokasi perusahaan
iii. Informasi jenis batubara
iv. Data-data penelitian terdahulu yang dikakukan oleh perusahaan
c) Pengolahan data
Pada tahap ini, data-data yang diperoleh dari lapangan kemudian diolah
sehingga didapatkan sebuah hasil penelitian.

27
d) Kesimpulan
Hasil penelitian yang diperoleh dari pengolahan data kemudian dijadikan
sebagai sebuah kesimpulan. Kesimpulan tersebut yang nantinya dapat
dijadikan sebagai bahan masukan atau rekomendasi ke pihak puslitbang
sebagai jalan keluar atas masalah yang terjadi.

3.4 Sistimatika Penulisan

Adapun sistimatika penulisan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan

Pada bagian pendahuluan dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah,


batasan masalah, tujuan penelitian, sistimatika penulisan, dan metodologi
penelitian.
Bab II : Tinjauan Umum

Pada bagian tinjauan umum dijelaskan tentang sejarah perusahaan, lokasi dan
kesampaian daerah, dan kegiatan penelitan untuk mengetahui klasifikasi dan
manfaat batubara pengokas

4.5 Diagram Penelitian

Peralatan yang digunakan sebagai sarana pendukung dalam penyelesaian


penelitian ini adalah :
a) Stopwatch
b) Kamera
c) Kalkulator
d) Alat tulis-menulis
e) Hp
f) Peralatan pendukung lainnya untuk kelancaran penelitian

4.6 Diagram Penelitian

28
Penelitian yang dilakukan mengikuti alur atau diagram penelitian seperti
terlihat pada Gambar 4.6.1 dibawah ini.

Gambar 4.6.1 Diagram penelitian batubara pengokas di Kalimantan Timur

4.7 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan selama kurang lebih 2 bulan yang


dilaksanakan di Puslitbang tekMIRA

29
Tabel 4.7.1 waktu penelitian

30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penetilian merupakan semua yang di hasilkan dalam penelitian ini.Hasil


penelitian tersebut meliputi pengolahan data yang akan diuraikan berturut-turut di bawah
ini.
4.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di gedung batubara Puslitbang tekMIRA yang


terletak di Jalan Jendral Sudirman No. 623 Bandung Barat Bandung Jawa Barat.
Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.1.1.1 dan Foto 5.1.1.1

Not scale
Puslitbang tekMIRA

Gambar 4.1.1.1 Peta lokasi Puslitbang tekMIRA

31
Foto 4.1.1.1 Puslitbang tekMIRA

4.2 Penyajian Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah mencakup hal-hal berikut:
4.2.1 Analisa Proksimat

Dalam analisa proksimat terdapat 3 macam pengujian


yaitu pengujian kadar air bawaan (inherent moisture), kadar abu (ash contant), dan
kadar zat terbang (volatile metter).

1. Prosedur penentuan kadar air bawaan dilakukan dengan standar acuan


ASTM
Prosedur yang dilakukan oleh Puslitbang tekMIRA dalam penentuan kadar air
bawaan adalah sebagai berikut:
1) Standard acuan
ASTM D 3173-03 (2008). test method for moisture in the analysis sample
of coal and coke.
2) Prinsip kerja

Batubara dengan berat tertentu dipanaskan pada suhu 104-1100 C dalam


aliran gas udara kering.
3) Peralatan
 Minimum free space atau MSF Furnance pada suhu 104-1100 C dapat
dialiri gas kering.
 Neraca kapasitas 2000 g dengan ketelitian sampai 0,0001 g atau 0,1
mg.

32
 Cawan dengan tutupnya yang berdiameter 50 mm.
 Loyang yang dapat dimasukkan kedalam oven.
4) Prosedur kerja
 Panaskan oven samapai suhu 104-1100 C.
 Timbang cawan kosong beserta tutupnya (w1).
 Timbang sekitar 1 g sampel dengan ketelitian sampai 0,0001 g
kedalam cawan dengan tutupnya (w2).
 Buka tutup cawan, simpan diatas loyang dan masukkan sampel ke
dalam oven yang telah dipanaskan.
 Panaskan sampel di dalam oven selama 1 jam (suhu oven harus dalam
rentang 104-1100 C).
 Keluarkan cawan + sampel dari oven, tutup kembali kemudian
dinginkan.
 Setelah dingin, timbang kembali cawan + tutup + sampel (w3).
 Hitung presentase kadar air bawaan dalam sampel.
5) Perhitungan menurut ASTM :

% kadar air bawaan = x 100

Dimana :
W1 = berat cawan kosong dan tutupnya
W2 = berat cawan kosong dan tutupnya berisi sampel sebelum dipanaskan
W3 = berat cawan kosong dan tutupnay berisi sampel setelah
pemanasan sampai konstan.

33
Gambar 4.2.1.2 Alur Pengerjaan Analisa Kadar Air Bawaan

6) Hasil pengamatan kadar air bawaan sampel yang dilakukan dapat dilihat padata Tabel
4.2.1.1

34
Cawan Cawan + Cawan + Perhitungan Rata-rata
Sampel Batubara kosong Sampel sampel 2− 3
100 % Moisture %
(W1) Awal (W2) Akhir (W3) 2− 1
PT. GBP Block I 38,9722 39,9722 39,9550 1,72
(CL-K7U) CC- 1,72
01A 27,5341 28,5346 28,5173 1,73
PT. GBP Block I 29,9093 30,9097 30,8935 1,62
(CL-K7U) CC- 1,64
01A 31,1773 30,9097 30,8935 1,66

PT. GBP Block II 29,7149 30,7153 30,6930 2,23


2,21
(GBP II) CC-02 29,4754 30,4756 30,4537 2,19
PT. MCM 27,6052 28,6053 28,5881 1,72
(SJT/C/01) CC- 1,75
03A 27,4806 28,4807 28,4629 1,78
PT. MCM 28,0151 29,0151 28,9968 1,83
(SJT/C/01) CC- 1,81
03A 28,7022 29,7022 29,6842 1,80

Batubara Borneo 29,7136 30,7139 30,6963 1,76


1,72
(CC-04) 38,9702 39,9702 39,9529 1,73

Kokas Borneo 27,6032 28,6034 28,5525 5,09


5,10
(CC-05) 28,7007 29,7007 29,6496 5,11
Batubara 31,1762 32,1765 32,1640 1,25
Australia (CC- 1,25
06A) 27,4786 28,4791 28,4666 1,25
Batubara 28,0140 29,0140 29,0022 1,18
Australia (CC- 1,20
06B) 29,9088 30,9089 30,8966 1,23

Kokas Australia 27,5332 28,5337 28,5093 2,44


2,36
(CC-07) 29,4736 30,4736 30,4507 2,29

2. Prosedur penentuan kadar abu dengan standar acuan ASTM

Prosedur yang dilakukan oleh Puslitbang tekMIRA dalam penentuan kadar


abu adalah sebagai berikut:
1) Standard acuan
ASTM D 3174-04, test method for ash in the analysis sample of coal and coke
from coal. 2) Prinsip kerja
Kadar abu ditentukan dengan menimbang berat tertentu sampel batubara.
Sampel dipanaskan sampai suhu 700-8000C pada kondisi atmosfer dan
residu yang tertinggal ditimbang.
3) Peralatan
 MSF furnance untuk penentuan kadar abu harus memiliki kemampuan

35
sirkulasi / pertukaran udara yang cukup dan dapat mencapai suhu 700-
8000C, dilengkapi dengan indikator suhu.
 Neraca kapasitas 2.000 g dengan ketelitian samapai 0,0001 g atau 0,1
mg
 Cawan porselin, kedalaman 22 mm dan diameter 44 mm.
 Plat logam pendingin.
4) Prosedur kerja
 Timbang cawan silika kosong serta tutupnya (w1).
 Timbang sekitar 1 g sampel dengan ketelitian sampai 0,0001 g ke
dalam cawan dengan tutupnya (w2).
 Buka tutup cawan, masukkan cawan tanpa tutup yang berisi sampel
kedala furnance yang dingin (suhu kamar). Panaskan secara bertahap
selama satu jam sampai mencapai rentang suhu 450-5000C.
 Teruskan pemanasan sampai suhu 700-8000C pada akhir jam kedua.
 Panaskan suhu sampai 700-8000C selama maksimal 2 jam kedua.
 Keluarkan cawan + sampel dari oven, tutup kembali kemudian
dinginkan.
 Setelah dingin, timbang kembali cawan + tutup + sampel (w3).
 Hitung presentase kadar abu dalam sampel.
5) Perhitungan menurut ASTM :

% kadar abu = x 100

Dimana :
W1 = berat cawan kosong dan tutupnya
W2 = berat cawan kosong dan tutupnya berisi sampel sebelum
dipanaskan
W3 = berat cawan kosong dan tutupnay berisi sampel setelah
pemanasan sampai konstan.

36
Mulai

Pengambilan
sampel

Timbang cawan
kosong

Masukkan ± 1 gr
sampel untuk
analisa kadar abu

Panaskan pada
suhu 8000C selama
3 jam

Hitung pada rumus


masing - masing

Hasil pengujian:
Inherent Moisture

Selesai

Gambar 5.2.1.3 Alur Pengerjaan Analisa Kadar Abu

6) Hasil pengamatan pengerjaan analisis kadar abu yang dilakukan dapat


dilihat pada Tabel 5.2.1.2
Tabel 5.2.1.2 Analisa kadar abu batubara

Cawan Cawan + Cawan + Perhitungan Rata-rata


Sampel Batubara kosong Sampel sampel 3− 1 Kadar abu
100 %
(W1) Awal (W2) Akhir (W3) 2− 1 %
PT. GBP Block I 9,2595 10,2595 9,3569 9,74
(CL-K7U) CC- 9,8
01A 9,4354 10,4356 9,5339 9,85
PT. GBP Block I 15,5237 16,5237 15,8051 28,14
(CL-K7U) CC- 28,12
01A 14,3893 15,3893 14,6704 28,11

37
PT. GBP Block II 16,9424 17,9427 16,9513 0,089
0,082
(GBP II) CC-02 16,0761 17,0761 16,0836 0,075
PT. MCM 9,2588 10,2589 9,5853 32,65
(SJT/C/01) CC- 5,15
03A 9,4355 10,4358 9,7677 33,22
PT. MCM 9,2567 10,2570 9,6211 36,43
(SJT/C/01) CC- 6,68
03A 9,2976 10,2978 9,6513 35,37

Batubara Borneo 10,3463 11,3468 10,7447 39,82


8,82
(CC-04) 9,8832 10,8834 10,2837 40,04

Kokas Borneo 9,2971 10,2974 9,4533 15,62


15,73
(CC-05) 9,2567 10,2567 9,4151 15,84
Batubara 11,1695 12,1699 11,6186 44,89
Australia (CC- 10,12
06A) 9,7235 10,7235 10,1720 44,85
Batubara 16,0752 17,0754 16,1670 9,18
Australia (CC- 9,20
06B) 15,4482 16,4485 15,5404 9,22

Kokas Australia 10,9101 11,9102 11,1988 28,87


28,55
(CC-07) 11,0109 12,0113 11,2935 28,22

3. Prosedur penentuan zat terbang dengan standar acuan ASTM

Prosedur yang dilakukan oleh Puslitbang tekMIRA dalam penentuan zat


terbang adalah sebagai berikut: 1. Standard acuan
ASTM D 3175-07, test method for volatile matter in the analysis sample of
coal and coke
2. Prinsip kerja
Zat terbang ditentukan dengan cara memanaskan sampel batubara dalam
furnance yang mempunyai suhu 9000C selama 7 menit tepat. Cawan untuk
memanaskan sampel dapat berupa cawan platina atau cawan nikel
chromium.
3. Peralatan
 MSF furnance untuk penentuan zat terbang harus memiliki kemampuan
sirkulasi / pertukaran udara yang cukup dan dapat mencapai suhu 9000C,
dilengkapi dengan indikator suhu.
 Neraca kapasitas 2.000 g dengan ketelitian samapai 0,0001 g atau 0,1
mg.
 Cawan nikel dengan tutupnya, kedalaman 22 mm dan diameter 44 mm.

38
 Plat logam pendingin.
4. Prosedur kerja
 Panaskan furnance sampai suhu mencapai 9000C, suhu harus berkisar
antara 9000C ± 200C selama penentuan dikerjakan.
 Timbang cawan silika kosong serta tutupnya (w1).
 Timbang sekitar 1 g sampel dengan ketelitian sampai 0,0001 g ke dalam
cawan dengan tutupnya (w2).
 Simpan pada support yang terbuat dari kawat atau nichrome.
 Masukkan cawan berisi sampel ke dalam furnance bersuhu 9000C
selama 7 menit.
 Keluarkan cawan + sampel + tutup dari oven, kemudian dinginkan.
 Setelah dingin, timbang kembali cawan + tutup + sampel (w3).
 Hitung presentase volatile metter dalam sampel
5. Perhitungan menurut ASTM :

% Zat terbang = x 100 – air bawaan

Dimana :
W1 = berat cawan kosong dan tutupnya
W2 = berat cawan kosong dan tutupnya berisi sampel sebelum
dipanaskan
W3 = berat cawan kosong dan tutupnya berisi sampel setelah
pemanasan sampai konstan.

39
Mulai

Pengambilan
sampel

Timbang cawan
kosong

Masukkan ± 1 gr
sampel untuk
analisa VM

Panaskan pada
suhu 9000C selama
7 menit

Hitung pada rumus


masing - masing

Hasil pengujian:
Inherent Moisture

Selesai

Gambar 5.2.1.4 Alur Pengerjaan Analisa Kadar Zat Terbang

6. Hasil pengamatan pengerjaan zat terbang terhadap sampel yang


dilakukan disajikan pada Tabel 5.2.1.3
Tabel 5.2.1.3 Analisa zat terbang batubara
Analisa Zat Terbang Batubara
Cawan Cawan + Cawan + Perhitungan Rata-rata
Sampel
kosong Sampel sampel IM Zat terbang
Batubara 100 % - IM
(W1) Awal (W2) Akhir (W3) %
PT. GBP Block 15,4297 16,4297 16,0620 1,72 35,05
I (CL-K7U) 35,04
CC-01A 16,1250 17,1254 16,7575 1,73 35,04
PT. GBP Block 14,2025 15,2028 14,9237 1,62 26,28
I (CL-K7U) 26,35
CC-01A 14,5335 15,5336 15,2528 1,66 26,41
PT. GBP Block 16,2572 17,2573 16,7880 2,23 44.70
II (GBP II) CC- 44.70
02 15,2994 16,2994 15,8567 2,19 42,08

40
PT. MCM 14,3055 15,3058 14,8446 1,72 42,21
(SJT/C/01) CC- 42,30
03A 14,4328 15,4330 14,9913 1,78 42,38
PT. MCM 14,2005 15,2006 14,7610 1,83 42,13
(SJT/C/01) CC- 42,09
03A 14,5320 15,5325 15,0937 1,80 42,05

Batubara 14,3036 15,3036 15,0103 1,76 27,55


27,43
Borneo (CC-04) 14,4314 15,4316 15,1412 1,73 27,30

Kokas Borneo 15,3000 16,3000 16,2173 5,09 3,18


3,27
(CC-05) 16,1247 17,1249 16,0400 5,11 3,35
Batubara 14,3027 15,3027 15,0672 1,25 22,30
Australia (CC- 22,36
14,4307 15,4307 15,1940 1,25 22,42
06A)
Batubara 15,2999 16,3000 16,0412 1,18 24,69
Australia (CC- 24,67
06B) 15,2989 16,2992 16,0403 1,23 24,65
14,2015 15,2020 15,1579 2,44 1,97
Kokas Australia
2,09
(CC-07) 14,5326 15,5326 15,4876 2,29 2,21

4.2.2 Analisa Kadar Kalori

Prosedur penentuan kadar kalori dengan standar acuan ASTM:

Prosedur yang dilakukan oleh Puslitbang tekMIRA dalam penentuan kadar kalori
adalah sebagai berikut:
1. Standard acuan
ASTM D 5865 – 2004. standard test method for gross calorific value of
coal and coke.
2. Prinsip kerja
Sampel yang telah diketahui massanya, dibakar dalam bomb calorimeter
pada kondisi standar. Nilai kalori kasar dihitung dari naiknya suhu air di
dalam plain calorimeter dan kapasitas panas rata-rata dari sistem.
3. Peralatan dan bahan
 Neraca kapasitas 200 g dengan ketelitian sampai 0,0001 g atau 0,1 mg
 Plain calorimeter
 Bomb calorimeter
 Crusible bomb calorimeter
 Kawat stainless steel
 Thermometer
 Gas oksigen
 Pipet tank dan aquadest

41
4. Prosedur kerja
 Timbang sampel seberat ± 1, 0000 gram ke dalam crusible bomb

calorimeter / cawan.
 Tempatkan crusible bomb calorimeter pada penyangga electrode dan
atur kawat pemantik tersentuh/kontak dengan sample.
 Isi gas pada bomb calorimeter dengan gas oksigen hingga tekanan
maksimum 30 atm.
 Dimasukkan bomb calor meter ke dalam bomb bucket dan isi dengan 2
liter aquadest dari pipet tank.
 Dimasukkan elekroda pada terminal nut dan pastikan kedua elektroda
tersebut terkoneksi dengan terminal nut.
 Tutup bomb calorimeter dan pasang juga thermometer untuk mengetahui
suhu air.
 Amati kenaikan suhu awal air sampai suhu awal konstan (t1).

 Setelah itu tekan tombol pembakaran untuk melakukan pembakaran pada


batubara melalui kawat stainless.
 Amati kenaikan suhu dari proses pembakaran sampai suhu konstan (t2).
 Ditunggu sampai proses analisa selesai dan dicatat hasil analisa.
5. Perhitungan menurut ASTM :

Nilai Kalori =

Dimana :
NA = ketetapan nilai kalori ( 2436 kalori/derajat)
NK = panjang kawat 23 cm (1 cm = 2,3 kalori)
Δt = suhu akhir (t2) dikurangi suhu awal (t1)

42
Mulai

Pengambilan
sampel

Timbang ± 1 gr
sampel ke dalam
cawan

Masukkan sampel kedalam


bomb kalori meter lalu
tambahkan oksigen 25 atm

Masukkan ke alat plain calori


meter yang sudah berisi air
dan amati kenaikan
suhu awal (t1)

Selelah t1 konstan lakukan


pembakaran dan amati
kenaikan suhu (t2) sampai
konstan

Amati range antara t1 dan t2


lalu masukkan kedalam
perhitungan

Selesai

Gambar 4.2.2.5 Alur Pengerjaan Analisa Nilai Kalor


6. Hasil pengamatan pengerjaan nilai kalori yang dilakukan terhadap
sampel batubara dapat dilihat pada Tabel 4.2.2.4

43
Tabel 5.2.2.4 Analisa nilai kalor batubara

Perhitungan Rata-rata
Berat Suhu Awal Suhu Δt 2436 − 23
Sampel Batubara Nilai Kalori
Sampel (t1) Akhir (t2) (t2 – t1)
(Kkal/Kg)
PT. GBP Block I 1,0005 25,77 28,92 3,15 7647,58
(CL-K7U) CC- 7.636
01A 1,0002 26,68 29,82 3,14 7624,52
PT. GBP Block I 1,0003 26,29 28,58 2,29 5553,78
(CL-K7U) CC- 5.582
01A 1,0001 26,20 28,51 2,31 5604,16
PT. GBP Block II 1,0003 25,95 29,24 3,29 7991,45
(GBP II) CC-02 7.991
1,0002 26,64 28,51 3,29 7991,44
PT. MCM 1,0001 25,84 29,26 3,42 8308,12
(SJT/C/01) CC- 8.357
03A 1,0002 26,25 29,71 3,46 8405,56
PT. MCM 1,0002 26,05 29,18 3,13 7600,16
(SJT/C/01) CC- 7.576
03A 1,0002 26,52 29,63 3,11 7551,45
1,0003 25,35 28,46 3,11 7552,97
Batubara Borneo
(CC-04) 7.553
1,0004 26,29 29,41 3,12 7577,33
Kokas Borneo 1,0003 25,91 28,59 2,68 6503,53
6.528
(CC-05) 1,0004 26,81 29,51 2,70 6554,21
Batubara 1,0002 25,63 28,72 3,09 7504,24
Australia (CC- 7.504
06A) 1,0004 26,45 29,54 3,09 7504,25
Batubara 3,16
1,0005 25,89 29,05 7674,77
Australia (CC- 7.711
06B) 1,0002 26,19 29,36 3,19 7747,84
Kokas Australia 1,0002 26,75 29,51 2,76 6700,36
(CC-07) 6.688
1,0002 26,32 29,07 2,75 6676,01

5.2.3 Analisa Nilai Muai Bebas (Free Swelling Index)


Prosedur penentuan nilai muai bebas dengan standar acuan ASTM:

Prosedur yang dilakukan oleh Puslitbang tekMIRA dalam penentuan nilai muai bebas
adalah sebagai berikut:
1. Standard acuan
ASTM D720-91 (2004), test method for free swelling index of coal
2. Prinsip kerja
Nilai muai bebas ditentukan dengan cara memanaskan sampel batubara
dalam furnance yang mempunyai suhu 8150C selama 2,5 menit tepat.
Cawan untuk memanaskan sampel dapat berupa cawan platina atau cawan
nikel chromium.

44
3. Peralatan

 MSF furnance untuk penentuan nilai muai bebas harus memiliki


kemampuan sirkulasi / pertukaran udara yang cukup dan dapat mencapai
suhu 8150C, dilengkapi dengan indikator suhu.
 Neraca kapasitas 2.000 g dengan ketelitian samapai 0,0001 g atau 0,1 mg.
 Cawan nikel dengan tutupnya, kedalaman 22 mm dan diameter 44 mm.
 Gambar standar penentuan nilai muai bebas.
4. Prosedur kerja
 Panaskan furnance sampai suhu mencapai 8150C, suhu harus berkisar
antara 8150C ± 200C selama penentuan dikerjakan.
 Timbang cawan silika kosong.
 Timbang sekitar 1 g sampel dengan ketelitian sampai 0,0001 g ke dalam
cawan.
 Simpan pada support yang terbuat dari kawat atau nichrome.
 Masukkan cawan berisi sampel ke dalam furnance bersuhu 8150C selama
2,5 menit.
 Keluarkan cawan + sampel dari oven, kemudian dinginkan.
 Setelah dingin keluarkan sampel dan cocokkan dengan standar nilai muai
bebas.

45
Mulai

Timbang cawan +
sampel ± 1gr

Pengambilan
sampel

Masukkan kedalam oven


dengan suhu 8150C selama
2,5 menit

Keluarkan dan dinginkan


beberapa saat

Keluarkan sampel dan amati


bentuk sampel setelah
pemanasan

Cocokkan bentuk sampel


dengan standard gambar FSI

Selesai

Gambar 4.2.3.6 Alur Pengerjaan Analisa Free Swelling Index


5. Hasil pengamatan pengerjaan nilai muai bebas
Diketahui berat sampel yang diuji sebanyak ± 1 gram dimasukkan kedalam
cawan uji. Kemudian sampel lalu diuji dengan dimasukkan kedalam alat
MSF funance yang bersuhu 8150C untuk dikethui nilai muai bebasnya
selama 2,5 menit. Setelah itu keluarkan sampel dan cocokkan bentuk dari
sampel dengan standar nilai muai bebas yang ada untuk diketahui nilai muai
bebas. Hasilnya diuraikan di bawah ini.

46
A. PT. GBP BLOCK I CODE: CL-K7U ( CC-01A )
Dari hasil pengovenan yang dilakukan selama 2,5 menit dengan suhu
8150C dan dicocokkan dengan gambar standar nilai muai bebas
maka hasil yang di dapat dari nilai muai bebasnya adalah 6, seperti
terlihat pada Foto 5.2.3.2

Foto 4.2.3.2 Foto hasil nilai muai bebas sampel CC-01A


B. PT. GBP BLOCK I CODE : CL-K7L ( CC-01B )

Dari hasil pengovenan yang dilakukan selama 2,5 menit dengan suhu
8150C dan dicocokkan dengan gambar standar nilai muai bebas
maka hasil yang di dapat dari nilai muai bebasnya adalah 1,5 seperti terlihat pada Foto
4.2.3.3

Foto 5.2.3.3 Foto hasil nilai muai bebas sampel CC-01B

C. PT GBP BLOCK II ( CC-02 )


Dari hasil pengovenan yang dilakukan selama 2,5 menit dengan suhu
8150C dan dicocokkan dengan gambar standar nilai muai bebas
maka hasil yang di dapat dari nilai muai bebasnya adalah 2, seperti
terlihat pada Foto 4.2.3.4.

47
Foto 4.2.3.4 Foto hasil nilai muai bebas sampel CC-02
4.2.4 Analisa Petrografi Batubara
1. Prosedur Penentuan Analisa Pengukuran Reflektansi Vitrinit
Prosedur yang dilakukan oleh Puslitbang tekMIRA dalam penentuan
reflektansi vitrinit adalah sebagai berikut:

1. Standard acuan
ASTM D 2799 – 05a, test method for microscopical determination of the
maceral composition of coal.
2. Prinsip kerja
Reflektansi vitrinit ditentukan dengan cara melihat cahaya pantul yang
keluar dari batubara dengan menggunakan mikroskop dan dilihat
cahaya pantulnya melalui komputer dengan aplikasi “craic visible
imaging” dan “craic CoalPro”.
3. Peralatan
 mikroscop “craic” spektrometer dengan pembesaran 50X
 Pilished block (sampel batubara yang sudah berbentuk silinder)
 Komputer
 Minyak Imersi
4. Prosedur kerja
 Nyalakan mickoskop “craic” spektromater
 Buka sofware “craic visible imaging” dan craic coalPro
 Masukkan standar sampel dan teteskan 1-2 tetes minyak imersi
 Fokus pada sampel dengan menggunakan 50 x pembesaran (tip :
dekatkan mata lensa pada sampel sampai menemukan titik fokus
pada bentuk oktogonal, dengan standar halus tanpa sayatan)

48
 Tingkatkan intensitas cahaya dan buka titik fokus sampai
 Pilih ukuran dari ukuran spektrometer yang sesuai
 Dibawah lensa mikroskop, sesuaikan sampel di tengah
 Tekan “referance standard” dan pilih standar yang sesuai
 Tekan “auto optimize”, kemudian tutup (RL) pada mikroskop,
kemudian tekan “collect dark scan”
 Buka “RL” kembali dan tekan “collect referance”
 Keluarkan standar sampel dari mikroscop
 Masukkan sampel yang akan diuji dan tekan “collect sample” tanpa
merubah intensitas cahaya
 Ulangi pencarian bentuk diagonal pada sampel sebanyak
30x

49
Mulai

Menyalakan Stabilizer

Menyalakan mikroscop
dan komputer

Standarisasi

Letakkan polished block


di bawah lensa
mikroscop

Fokuskan pada
pengamatan reflentansi
vitrinit

Baca hasil pengukuran


dengan menekan colect
sampel pada komputer

Lakukan pengamatan
sebanyak 30 kali dengan
satandar devisiasi 0,03

Simpan hasil pengamatan


ke dalam komputer

Selesai

Gambar 5.2.4.7 Alur Pengerjaan Analisa Reflektansi Vitrinit

50
5. Hasil pengerjaan pengukuran reflektansi vitrinit dari sampel yang
diakukan dapat dilihat pada Tabel 5.2.4..

Tabel 5.2.4.5 Analisa pengukuran reflektansi vitrinit

Reflektance Standard
Batubara Mean Median Min Max
standard Deviation
PT. GBP Block
I (CL-K7U) CC- 0,595 0,717 0,709 0,667 0,679 0,03
01A
PT. GBP Block
I (CL-K7U) CC- 0,595 0,798 0,8 0,739 0,842 0.03
01A
PT. GBP Block
II (GBP II) CC- 0,595 0,703 0,709 0,633 0,732 0,025
02
PT. MCM
(SJT/C/01) CC- 0,595 0,517 0,518 0,463 0,567 0,028
03A
PT. MCM
(SJT/C/02) CC- 0,595 0,580 0,579 0,544 0,648 0,03
03B
Batubara
Borneo (CC-04) 0,595 0,936 0,945 0,880 0,973 0,028

Kokas Borneo
(CC-05) 1,37 1,901 1,901 1,901 1,901 0

Batubara
Australia (CC- 0,595 0,993 0,993 0,943 1,041 0,029
06A)
Batubara
Australia (CC- 0,595 1,024 1,03 0,965 1,068 0,03
06A)
Kokas Australia
(CC-07) 1,37 1,901 1,901 1,901 1,901 0

2. Prosedur Penentuan Analisa Komposisi Maseral


Prosedur yang dilakukan oleh Puslitbang tekMIRA dalam penentuan
komposisi maseral adalah sebagai berikut:

51
1. Standard acuan
ASTM 2798 – 09, test method for microscopical determination of the
vitrinite reflectance of coal
2. Prinsip kerja
Komposisi maseral ditentukan dengan cara melihat jenis-jenis maseral
yang terdapat pada batubara dengan menggunakan cahaya pantul dan
cahaya tembus yang berada dalam mikroscop. Penentuan ini dibantu
dengan menggunakan point counter untuk menghitung komposisi
maseralnya.
3. Peralatan
 Mikroscop polarisasi
 Pilished block (sampel batubara yang sudah berbentuk silinder)
 Point counter
 Minyak imersi
4. Prosedur kerja
 Nyalakan stabilizer
 Nyalakan regulator
 Mikroscop dihubungkan dengan alat point counter
 Hidupkan point counter
 Sampel/polish block diletakkan pada mikroskop
 Fokuskan pada pengamatan seluruh maseral
 Tandai masing-msing tombol pada point counter dengan jenis maseral
 Lakukan pengamatan pada sampel
 Hitung maseral dengan menekan tombol pada point counter sesuai
dengan jenis maseralnya
 Lakukan pengamatan sebanyak 500 kali

 Ubah hasil pengamatan ke dalam bentuk persen (%) dengan menekan


tombol yang tersedia pada point counter
 Catat hasil pengamatan tersebut

52
Mulai

Menyalakan Stabilizer

Menyalakan Regulator

Microckop dihubungkan dengan


Alat Point Counter

Hidupkan Point Counter dan


letakkan Blok pada Microskop

Fokuskan pada pengamatan


seluruh Maseral

Tandai Masing-masing Tombol


dengan Jenis Maseralnya

Lakukan Pengamatan pada Sampel dan Hitung


Maseral dengan Menekan Tombol pada Point
Counter sesuai dengan Jenis Maseralnya

Lakukan Pengamatan Sebanyak 500 kali

Ubah Hasil Pengamatan kedalam Bentuk % dangan


menekan tombol yang tersedian pada point counter

Catat Hasil Pengamatan Tersebut

Selesai

Gambar 4.2.4.8 Alur Pengerjaan Analisa Komposisi Maseral

5. Hasil pengerjaan pengukuran reflektansi vitrinit yang dilakukan terhadap


sampel dapat dilihat pada Tabel 4.2.4.6

Tabel 4.2.4.6 Analisa komposisi maseral

53
Maseral
Sampel
Inertinit Mineral Total (%)
Batubara Vitrinit (%) Liptinit (%)
(%) Meter (%)
PT. GBP
Block I (CL- 80.8 - 1.8 17.4 100
K7U) CC-01A
PT. GBP
Block I (CL- 80.1 0.4 2.8 15.8 100
K7U) CC-01A
PT. GBP
Block II (GBP 83.0 8.2 7.4 1.4 100
II) CC-02
PT. MCM
(SJT/C/01) 75.0 4.8 10.2 10.0 100
CC-03A
PT. MCM
(SJT/C/02) 73.0 5.0 8.4 13.6 100
CC-03B
Batubara
Borneo (CC- - - 4.0
96.0 100
04)

Kokas Borneo
(CC-05) 96.6 - - 3.4 100

Batubara
64.8
Australia (CC- 0.6 31.6 3.0 100
06A)
Batubara
Australia (CC- 79.0 1.0 18.4 1.6 100
06A)
Kokas
Australia (CC- 100.0
- - - 100
07)

5.3 Peralatan yang digunakan


5.3.1 Peralatan Analisa Proksimat
 Analisa Kadar Air Bawaan (inherent moisture)
a) Timbangan (Analitical Balance)
Alat yang memiliki ketelitian 4 (empat) angka dibelakang koma dengan
berat maksimal mencapai 1 kg atau 1.000gr ini (Foto 5.3.1.12) digunakan
untuk menimbang sampel yang akan dikerjakan. Dalam penelitian ini,
timbangan digunakan untuk menimbang sampel untuk pengujian kadar air
bawaan, kadar abu, kadar zat terbang, nilai kalor dan FSI.

54
b) Cawan

Foto 4.3.1.12 Analitical Balance


Cawan (Foto 4.3.1.13) yang terbuat dari bahan gelas tahan panas digunakan untuk
pengujian kadar air bawaan

Foto 4.3.1.13 Cawan untuk inherent moisture

c) Oven (Furnace)
Oven (Foto 4.3.1.14) digunakan untuk memanaskan sampel untuk
mengetahui penurunan kadar air bawaan yang ada di batubara. Alat ini
memiliki kapasitas suhu sampai 3000C.

55
Foto 4.3.1.14 Oven
 Analisa Kadar Abu (ash content)
a) Cawan
Cawan (Foto 4.3.1.15) yang terbuat dari bahan porselin yang tahan dengan
suhu tinggi ini digunakan untuk pengujian kadar abu.

Foto 4.3.1.15 Cawan abu


b) Oven
Oven (Foto 4.3.1.16) digunakan untuk memanaskan sampel batubara dengan
suhu 8000C sampai sampel batubara tertinggal abunya saja. Selain
digunakan untuk uji kadar abu, alat ini juga digunakan untuk uji kadar zat
terbang. Alat ini memiliki kapasitas suhu sampai 3.0000C

56
Foto 4.3.1.16 Oven untuk pengujian abu dan zat terbang
 Analisa Zat Terbang (volatile meter)
a) Cawan
Cawan (Foto 4.3.1.17) yang terbuat dari bahan silika dan tahan dengan
suhu tinggi ini digunakan untuk pengujian kadar zat tebang.

Foto 4.3.1.17 Cawan untuk zat terbang

5.3.2 Peralatan Analisa Nilai Kalor


Peralatan yang digunakan dalam analisa nilai kalor ini antara lain adalah :
1. Bomb Calorie Meter
Bomb calorie meter (Foto 4.3.2.18) yang berbentuk silinder ini
digunakan sebagai tempat batubara di proses atau dibakar.

57
Foto 4.3.2.18 bomb calorie meter

4.3.3 Peralatan Analisa FSI


Peralatan yang digunakan dalam analisa FSI ini antara lain adalah :
1. Carbolat Furnace
Oven atau furnace ini (Foto 5.3.3.21) digunakan khusus sebagai tempat
analisa FSI. Sampel yang sudah ditimbang dimasukkan kedalam alat ini
dengan menggunakan cawan yang sama dengan cawan yang digunakan
dalam analisa kadar abu. Oven ini di panasakan dengan suhu 8150C
selama 2,5 menit.

Foto 5.3.3.21 Carbolat furnace


4.3.4 Peralatan Analisa Petrografi
1. Polished Block
Dalam analisa petrografi, sampel dibentuk menjadi berbentuk silinder
(Foto 5.3.4.22), hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengujian.

58
Foto 4.3.4.22 Polished block

Batubara yang ditemukan di Kalimantan Timur dapat dikelompokkan


berdasarkan umur pembentukannya, yaitu yang berumur Neogen (muda) dan
Paleogen (tua). Batubara yang terbentuk pada formasi batuan berumur Neogen
umumnya dicirikan dengan batubara berperingkat rendah terkecuali pada lokasi-
lokasi tertentu yang terkena pengaruh panas intrusi batuan beku yang
mengakibatkan peringkatnya naik, lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
batubara yang terbentuk pada formasi yang normal.
Sedangkan batubara yang terbentuk pada formasi batuan berumur Paleogen
umumnya dicirikan dengan batubara berperingkat lebih tinggi dari batubara
berumur Neogen. Pada lokasi- lokasi tertentu batubara berumur Paleogen juga
terkena pengaruh intrusi batuan beku yang mengakibatkan peringkat batubaranya
naik menjadi semi antrasit atau antrasit. Dalam penelitian ini batubara yang diteliti
adalah batubara berumur Paleogen.
Secara umum, ciri-ciri batubara Paleogen adalah memiliki kandungan nilai
kalori 6.100 – 7.900 kkal/kg (air dried basis/adb), air total tidak lebih dari15%,
reflektansi vitrinit 0,82 – 2,62%. Sedangkan untuk kandungan komposisi maseral,
batubara Kalimantan Timur di dominasi oleh maseral vitrinit kemudian diikuti
oleh kandungan liptinit dan inertinit. Tipe kandungan vitrinit, liptinit dan inertinit
untuk batubara Kalimantan Timur ini masing-masing adalah 75 – 96%, 2– 15%,
dan 1 – 8%. Sedangkan kandungan material pengotornya berupa mineral lempung
dan pirit adalah 1 sampai 16%. Melihat kandungan maseral dan peringkat batubara
yang terdapat dalam batubara yang terbentuk pada masa Paleogen di wilayah
Kalimantan Timur, maka bisa diketahui bahwa batubara jenis ini adalah batubara
pengokas dengan mutu yang sangat rendah.

59
maseral vitrinit (75 – 96%), sedangkan kandungan inertinitnya
sangat rendah (berkisar 1 – 8%). Sehingga dengan banyaknya
kandungan maseral vitrinit tersebut batubara yang digunakan
sebagai bahan baku kokas bersifat plastis.

Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa batubara yang


sesuai digunakan untuk bahan baku kokas memiliki kriteria tertentu,
antara memiliki peringakat bituminus dengan kandungan zat terbang
dibawah 20%, kandungan karbon di atas 80%, reflektansi vitrinit
berkisar dari 0,8 sampai 1,6%, komposisi maseral vitrinit 40 – 60%,
inertinit 25 – 45%, liptinit <10%, kadar abu <10% dan sulfur ,1%.
Disamping itu nilai CSN atau FSI yang digunakan sebagai
bahan baku kokas berkisar dari 4 sampai 7. Batubara dengan nilai
FSI lebih kecil 3 atau lebih besar 7, akan menjadi rapuh kalau
diproses menjadi kokas sehingga tidak kuat menahan beban pada
tanur metalurgi.

Untuk lebih rinci, Tebel 6.1.1 dan Tabel 6.1.2


memperlihatkan secara keseluruhan paramater-parmeter yang telah
dikerjakan dalam penelitian ini. Dari tabel-tabel tersebut dapat
diketahui apakah batubara Kalimantan Timur memiliki sifat
batubara pengokas yang baik atau tidak atau yang dapat dibuat
sebagai bahan baku tunggal untuk kokas metalurgi.

Tabel 6.1.1 Hasil analisa 5 sampel (CC-01A, CC-01B, CC-02,


CC-3A dan CC-

Sampel CC-01A CC-01B CC-02 CC-3A CC-03B

TM (%) 1,72 1,64 2,21 1,75 1,81

Ash (%) 9,8 28,12 0,082 5,15 6,68

VM (%) 35 26,35 43,39 42,30 42,09

FC (%) 53,48 43,89 54,32 50,8 49,43

Kalori (Kg/Kkal,
7.636 5.582 7.991 8.357 7.552
adb)

60
FSI 6 1,5 2 3 3

RV (%) 0,717 0,798 0,703 0,517 0,580

Vitrinit (%) 80,0 80,1 83,0 75,0 73,0

Liptinit (%) - 0,4 8,2 4,8 5,0

Inertinit (%) 1,8 2,8 7,4 10,2 8,4

Mineral meter (%) 17,4 15,8 1,4 10,0 13,6

Tabel 6.1.2 Hasil analisa 5 sampel (CC-04, CC-05, CC-06A, CC-06B dan
CC-07)

Sampel CC-04 CC-05 CC-06A CC-06B CC-07

TM (%) 1,72 5,10 1,25 1,20 2,36

Ash (%) 8,82 15,73 10,12 9,20 28,55

VM (%) 27,43 3,27 22,36 24,65 2,09

FC (%) 87,03 75,9 66,27 64,95 67,00

Kalori (Kg/Kkal, 7.553 6.505 7.504 7.711 6.688


adb)
FSI 4 0 6 1,5 0

RV (%) 0,936 1,901 0,993 1,024 1,901

Vitrinit (%) 96,0 96,6 64,8 79,0 100,0

Liptinit (%) - - 0.6 1.0 -

Inertinit (%) - - 31,6 18,4 -

Mineral meter (%) 4,0 3,4 3,0 1,6 -

Keterangan : CC-06A :
CC-01A : PT. GBP BLOCK I (CL-K7U) Batubara
Australia
CC-01B : PT. GBP BLOCK I (CL-K7L)
CC-06B :
CC-02 : PT. GBP BLOCK II Batubara
CC-03A : PT. MCM (SJT/C/01) Australia
CC-03B : PT. MCM (SJT/C/02) CC-07
: Kokas
CC-04 : Batubara Borneo Australia
CC-05 : Kokas Borneo

61
Batubara Kalimantan Timur

Sampel pertama CC-01A merupakan batubara dengan rank/peringkat yang


tinggi, hal ini dibuktikan dari kadar air yang sangat rendah (1,72%) dan nilai
reflektansi menengah (0,717%) serta memiliki nilai kalori yang cukup tinggi yaitu
7.636 Kg/Kkal (adb). Batubara tersebut memiliki kadar abu cukup rendah, yaitu
9,8%, namun kandungan zat tebangnya cukup tinggi, yaitu 35%. Dengan
karakteristik yang telah diuraikan, maka batubara sampel pertama ini masuk
dalam peringkat batubara high volatile bituminus. Namun sayangnya batubara ini
tidak memiliki sifat pengokas yang baik, walaupun memiliki nilai FSI yang tepat
yaitu 6. Hal ini dikarenakan batubara tersebut memiliki maseral vitrinit yang
sangat tinggi dan maseral inertinit yang sangat rendah, masing-masing 80% dan
1,8%. Kandungan vitrinit yang terlalu tinggi pada batubara akan membuat kokas
bersifat plastis saat pembakaran, sedangkan kandungan maseral inertinit yang
rendah akan menghasilkan kokas yang tidak memiliki dinding rongga dan struktur
yang kuat.
Sampel kedua CC-01B dengan kadar air 1,64%, abu 28,12%, dan zat
terbang 26,25% menunjukkan bahwa batubara ini berada di dalam peringkat high
vilatile bituminous. Selain itu juga diketahui bahwa batubara ini memiliki nilai
kalori 5.582 Kg/Kkal (adb) dan reflektansi vitrinit sebesar 0,798%. Namun
batubara ini tidak memiliki sifat pengokas, karena batubara ini memiliki nilai FSI
1,5 maseral vitrinit yang tinggi, yaitu 80,1% dan maseral liptinit dan inertinit yang
rendah masing-masing 0,4% dan 2,8%. Kandungan mineral meter/zat pengotornya
mencapai 15,8%. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara sampel
CC-01B tidak bisa digunakan sebagai bahan baku tunggal untuk pembuatan kokas
metalurgi.Selanjutnya pada sampel ketiga CC-02 yang memiliki kadar air rendah,
yaitu 2,21%, nilai reflekransi vitrinit 0,703%, kadar abu sangat rendah (0,082%)
dan kadar zat terbangnya 43,39% serta nilai kalori 7.991 Kg/Kkal (adb) dapat
diklasifikasikan menjadi batubara dengan peringkat high volatile bitiminous.
Namun batubara ini memiliki sifat pengokas yang rendah, hal ini dikarenakan
memiliki nilai FSI yang rendah yaitu 2, selain itu nilai vitrinitnya tinggi yaitu
83,0% dan nilai liptinit dan inertinitnya rendah yaitu 8,2% dan 7,4%.
Sehingga batubara yang ada akan bersifat palstis saat pemanasan dan tidak

62
memiliki dinding rongga yang kuat.Karakteristik sampel keempat CC-03A juga
diketahui kadar airnya adalah1,75%, kadar abu 5,15%, kadar zat terbang
42,30% dan kadar kalorinya adalah8357 Kg/Kkal yang menunjukkan bahwa
batubara ini tergolong ke batubara high volatile bituminous. Namun sama dengan
batubara sebelumnya yng menunjukkan bahwa batubara ini tidak memiliki sifat
batubara pengokas yang baik. Hal ini dikarenakan batubara ini memiliki nilai FSI
3, nilai reflektansi vitrinitnya 0,517% serta komposisi maseral vitrinitnya tinggi
yaitu 75,0%. Sedangkan komposisi maseral liptinit dan inertinitnya masing-
masing 4,8% dan 10,2% sehingga batubara yang ada tidak memiliki dinding
ringga yang kuat sebagai bahan baku kokas. Selanjutnya sampel kelima CC-03B,
merupakan batubara yang memiliki kadar air 1,81%, kadar abu 6,58%, kadar zat
terbang 42,09% dan nilai kalori sebesar 7.552 Kg/Kkal (adb). Ini menunjukkan
bahwa batubara ini memiliki karakteristik yang relati sama dengan batubara
sampel keempat (CC-03A), yaitu berada pada peringkat high volatile bituminous.
Batubara ini juga tidak memiliki sifat batubara pengokas yang baik, karena
memiliki nilai FSI 3 dan nilai reflektansi vitrinit yang rendah, yaitu 0,580%.
Selain itu kandungan komposisi maseral vitrinitnya juga tinggi yaitu 73,0%
sedangkan komposisi maseral liptinit dan inertinitnya rendah yaitu masing-masing
5,0% dan 8,4%. Dengan demikian, apabila batubara dipanaskan/dibakar maka
batubara tersebut akan bersifat plastis dan memiliki dinding rongga yang rapuh.

Sampel keenam CC-04, merupakan batubara dengan peringkat high


vilatile bituminous, yang dicirikan dengan kadar air sebesar 1,72%, kadar zat
terbang 27,43%, nilai kalori mencapai 7.553 Kg/Kkal dan nilai reflektansi vitrinit
0,936%. Sedangkan kadar abu batubara adalah 8,82%, Namun batubara ini juga
tidak memiliki sifat batubara pengokas yang baik walaupun memiliki nilai FSI 4,
karena batubara ini memiliki nilai komposisi maseral vitrinit yang sangat tinggi
yaitu mencapai 96,0%. Sedangkan untuk komposisi maseral liptinit dan inertinit
tidak bisa lagi diamati dalam sampel ini. Dengan demikian, batubara ini tidak
dapat dikategorikan sebagai batubara pengokas yang dapat dijadikan sebagai
bahan baku tunggal pembuatan kokas premium untuk keperluan peleburan logam
di dalam tanur.
Kemudian untuk sampel ketujuh CC-05, merupakan kokas yang terbuat
dari sampel batubara CC-04. Kokas ini memiliki kadar air tetap sebesar 5,10%,

63
kadar abu 15,73% dan zat terbang sebesar 3,27% serta nilai kalori sebesar 6.505
Kg/Kkal. Nilai FSI 0 ini karena batubara sudah diproses menjadi kokas sehingga
tidak lagi memiliki nilai muai bebas. Sedangkan nilai reflektansi vitrinit dari
kokas sangat tinggi, yaitu 1,901%, hal ini diakibatkan kandungan zat terbangnya
rendah dan karbonnya tinggi. Namun informasi yang diperoleh dari tekMIRA
bahwa kokas yang terbentuk sangat rapuh, tidak kuat menahan beban pada saat
proses peleburan di dalam tanur yang tinggi. Namun karakteristik kokas yang
terbentuk ini dapat digunakan untuk keperluan smelter yang saat ini semua
kebutuhannya dipenuhi dari ekspor, baik dari Australia, Afrika Selatan maupun
Cina dengan harga yang sangat tinggi.

Selanjutnya sampel kedelapan CC-06A, merupakan sampel batubara yang


berasal dari Australia, dipergunakan untuk pembanding terhadap sampel batubara
yang dianalisis dari Kalimantan Timur. Batubara ini memiliki kadar air sebesar
1,25%, kadar abu 10,12%, kadar zat terbang 24,65% dan nilai kalori 7.504
Kg/Kkal (adb). Dengan karakteristik seperti ini, batubara ini diklasifikasikan
menjadi peringkat high volatile bituminous. Dengan parameter lain yang dimiliki,
yaitu nilai FSI 6 dan reflektansi vitrinit 0,993%, maka batubara ini dapat
dikategorikan sebagai batubara pengokas yan dapat dijadikan sebagai bahan baku
tunggal pembuatan kokas yang akan dipergunakan dalam peleburan/metalurgi.
Selain itu kandungan proporsi komposisi maseral vitrinit, liptinit dan inertinit
sangat berimbang, yaitu masing-masing adalah 64,8%, 0,6%, 31,6%. Dengan
kandungan inertinit yang tinggi, bahan yang inert (tertinggal) banyak yang
terbentuk sehingga kokas yang terbentuk menjadi kuat.

Selanjutnya untuk batubara ke sembilan CC-06B, merupakan batubara


yang juga berasal dari Australia. Batubara ini memiliki kadar air 1,20%, kadar abu
9,20% dan kadar zat terbang 24,65% serta memiliki nilai kalori sebesar 7.711
Kg/Kkal (adb). Dengan karakteristik seperti diatas, maka batubara ini masuk
kedalam peringkat high volatile bituminous. Batubara ini dapat dikategorikan
sebagai batubara pengokas yang baik dengan nilai FSI 6 dan nilai reflektansi
vitrinit sebesar 1,024%, walaupun batubara sebenarnya memiliki komposisi
maseral vitrinit yang relatif tinggi, yaitu 79,0% dan komposisi maseral
inertinittidak terlalu tinggi, yaitu 18,4%. Namun kandungan abu yang relatif

64
tinggi dapat membantu kekerasan kokas yang terbentuk.

Terakhir untuk sampel kesepuluh CC-07, merupakan kokas hasil proses


karbonisasi dari sampel batubara pengokos CC-06B. Kokas ini memiliki kadar air
sebesar 2,36%, kadar abu 28,55%, zat terbang sebesar 2,09% dan nilai kalori
sebesar 6.688 Kg/Kkal (adb). Sedangkan nilai FSI adalah 0 karena batubara
pengekos sudah diproses menjadi kokas sehingga tidak lagi memiliki nilai muai
bebas. Selanjutnya dari seluruh pengukuran nilai reflektansi vitrinit, nilainya sama
yaitu 1,901%.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batubara Kalimantan Timur
berumur Paleogen yang telah dianalisa di Puslitbang tekMIRA Bandung Jawa
Barat diketahui semua batubara tersebut tidak memiliki sifat atau kriteria sebagai
batubara pengokas yang dapat dikarbonisasi pada temperatur tinggi untuk
menghasilkan kokas yang bermutu baik. Walaupun dari hasil penelitian diketahui
bahwa batubara yang ada memiliki peringkat yang sesuai dengan batubara
pengokas yaitu dengan kandungan air berkisar antara 1,72 – 2,21%, kadar abu
5,15 – 9,8%, kadar zat terbang 26,35 – 43,39% dan nilai kalor di atas 7.000
Kkal/Kg (adb) yang menunjukkan bahwa batubara ini berada pada peringkat high
volatile sub bituminous.
Beberapa parameter yang tidak dimiliki batubara Kalimantan Timur untuk
mendukung pembuatan kokas yang prima, antara lain adalah:
 kandungan inertinit yang terlalu rendah, yaitu berkisar 1-10%,
mengakibatkan kokas yang terbentuk menjadi rapuh karena dinding-
dinding kokasnya tipis;
 kandungan vitrinit yang terlalu tinggi, yaitu berkisar dari 80% sampai
96%, menyebabkan batubara ini saat dipanaskan/dikarbonisasi akan
bersifat plastis. FSI yang terlalu rendah, rata-rata berkisar
antara 1 dan 3. Ini menunjukkan bahwa batubara yang ada tidak
memiliki sifat batubara pengokas, walaupun ada batubara yang memiliki
nilai FSI yang sesuai yaitu 6, namun sayangnya kandungan vitrinitnya
terlalu tinggi dan inernititnya terlalu rendah sehingga tidak akan memiliki
pengaruh untuk menjadi batubara pengokas yang baik. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa jika nilai FSI berkisar antara 1 – 3 maka hal
tersebut menunjukkan bahwa batubara tersebut berpori-pori rendah,

65
sehingga tidak bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan kokas.

Dengan karakteristik batubara Kalimantan Timur yang telah diuraikan di


atas atau batubara Indonesia yang terbentuk pada kala Paleogen secara umum,
dapat dikategorikan sebagai batubara bersifat kokas yang sangat rendah, sehingga
karbonisasi batubara tidak dapat menghasilkan kokas peleburan yang memenuhi
persyaratan sifat fisik kokas peleburan, antara lain karena rapuh, mudah hancur
dan berbutir kecil. Namun kokas yang terbentuk dapat dipergunakan untuk
pengecoran logam non-ferro atau scrap seperti yang telah diujicoba oleh
Puslitbang tekMIRA di sentra industri pengecoran logam scrap di Ceper dan
Tegal, Jawa Tengah (Suganal, 2007).
Batubara Kalimantan Timur yang berumur Paleogen masih tetap bisa
digunakan atau dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kokas dengan mutu
yang baik, namun tidak tunggal, harus dengan cara mencampur (blending)
batubara tersebut dengan batubara lain yang memiliki kandungan komposisi
inertinit tinggi berkisar 25 – 45% ditambah lagi memiliki nilai FSI lebih kurang 6
yang merupakan ciri dari batubara pengokas prima. Karena dengan kandungan
inertinit seperti yang disebutkan di atas akan membuat dinding rongga kokas saat
proses pembakaran menjadi kuat.
Dengan demikian, pemanfaatan batubara Indonesia khususnya Kalimantan
Timur bisa dioptimalkan sebagai bahan baku pembuatan kokas. Batubara dengan
kandungan inertinit yang tinggi seperti diatas banyak ditemukan di beberapa
negara, salah satunya adalah batubara yang berasal dari Australia seperti
diperlihatkan dalam sampel yang telah di analisa nomor CC-06A dan nomor CC-
06B. Sedangkan proporsi atau jumlah batubara Kalimantan Timur yang akan
digunakan sebagai pencampur sangat tergantung dengan karakteristik batubara
pengokas yang akan dicampur dan kualitas kokas yang akan dihasilkan. Namun
Daulay (1994) memperkirakan jumlah batubara Indonesia yang dapat
dipergunakan sebagai pencampur dalam pembuatan kokas berkualitas tinggi untuk
keperluan metalurgi tidak lebih dari 25%. Dengan demikian, perlu perhitungan
keekonomian yang rinci apabila akan membangun pabrik karbonisasi (pembuatan
kokas), apakah akan dilakukan di Indonesia atau di tempat batubara calon
pencampur.

66
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan

Setelah melakukan pengamatan dan pengambilan data di lapangan serta


pengolahan data di laboratorium, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting
sebagai berikut :
1. Dilihat dari nilai kalori, kadar air serta kadar abu batubaranya, peringkat
batubara Kalimantan Timur memiliki peringkat bituminus.
2. Batubara Kalimantan Timur memiliki nilai kalori berkisar antara 6.500
dan 8.000 Kkal/Kg, kadar abu 1 – 10%, reflektansi vitrinit 0,7 – 1,9 %,
kandungan vitrinit 73 – 96%, liptinit 0 – 8%, inertinit 0 – 10 % dan FSI
1 – 6.
3. Batubara Kalimantan Timur tidak memiliki sifat batubara pengokas
(coking coal) yang prima yang dapat dijadikan sebagai bahan baku
tunggal pembuatan kokas metalurgi, antara lain karena:
a) kandungan inertinit yang sangat rendah, yaitu berkisar dari 0%
sampai 10%. Padahal kokas metalurgi mutu tinggi dapat dibentuk
dari batubara dengan kandungan inertinit 25-45%.
b) kandungan vitrinit yang tinggi, sehingga jika dibuat menjadi
bahan baku kokas maka kokas yang terbentuk akan bersifat
plastis. Seperti diketahui bahwa kokas metalurgi mutu tinggi
dapat dibentuk dari batubara dengan kandungan vitinit 40 – 60%.
c) sebagian besar batubara Kalimantan Timur memiliki FSI yang
rendah, walaupun ada batubara yang memiliki FSI sedang-tinggi,
namun kandungan maseral vitrinit dan inertinit-nya tidak
berimbang.
4. Dengan karakteristik batubara yang dimiliki, kokas yang dibuat dari
batubara kalimantan timur dan dapat dibuat untuk pengeboran logam
non-ferro atau scrap atau dijadikan sebagai bahan pencampur (blending)
dengan batubara pengokas yang prima untuk menghasilkan kokas
metalurgi.

67
5.2 Saran

1. Mengingat batubara Kalimantan Timur memiliki sifat pengokas, namun


bukan prima, maka disarankan agar batubara tersebut jangan dijadikan
sebagai komoditi yang disamakan dengan batubara uap (steam) yang
harganya jauh lebih murah. Hal ini mengingat harga batubara pengokas
jauh lebih tinggi dari batubara uap.

2. Perlu penelitian lebih lanjut pembuatan kokas, baik dengan hanya


menggunakan batubara Kalimantan Timur saja atau dicampur dengan
batubara pengokas kualitas tinggi.

68
DAFTAR PUSTAKA

(1) ASTM, Manual Book of ASTM Standard Section 5 volume 05.06.

American: ASTM International, 2009

(2) Daulay Bukin, Evaluation of Kalimantan Coal Qoality in Order to Select the

Appropriate and Effective Utilization Technologies, Bandung: Puslitbang

Teknologi Mineral dan Batubara, 2009

(3) Daulay Bukin, Makalah Teknik, Potensi Batubara Kokas (coking coal) di

dalam Cekungan Tersier Indonesia, Bandung: Puslitbang Teknologi Mineral

dan Batubara, 1998

(4) Daulay Bukin, dkk, Pengkajian Karakteristik Batubara Sumatera Selatan,

Bandung: Pulsitbang Teknologi Mineral dan Batubara, 1998

(5) Nunung Nuroniah, dkk, Pengkajian Karakteristik Batubara Indonesia,

Bandung: Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, 1995

(6) Tirtosoekotjo Soedjoko dkk, Batubara Indonesia, Bandung: Puslitbang

69
VITRINITE REFLECTANCE
ANALYSIS

Sample numbar : CC –
01A Sample mark :
(1)

Standard Deviation of Sample : 3.03


Maximum Value (%) : 0.679
Minimum Value (%) : 0.667
Mean Maximun Reflectance : 0.717

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986)


and
ASTM (2009)

VITRINITE REFLECTANCE
ANALYSIS

Sample number : CC –
01B Sample mark :
(2)

Standard Deviation of Sample : 0.03


Maximum Value (%) : 0.842
Minimum Value (%) : 0.739
Mean Maximun Reflectance : 0.798

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986)


and
ASTM (2009)

VITRINITE REFLECTANCE
ANALYSIS

70
Sample number : CC - 02
Sample mark : (3)

Standard Deviation of Sample : 0.025


Maximum Value (%) : 0.732
Minimum Value (%) : 0.633
Mean Maximun Reflectance : 0.703

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986)


and
ASTM (2009)
VITRINITE REFLECTANCE
ANALYSIS

Sample number : CC –
03A Sample mark :
(4)

Standard Deviation of Sample : 0.028


Maximum Value (%) : 0.567
Minimum Value (%) : 0.463
Mean Maximun Reflectance : 0.517

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986)


and
ASTM (2009)
MACERAL
ANALYSIS

Sample number
Point Counting : 500 : CC –Interval (x) :2
01A Sample mark
Magnification : 200x :Interval (y) :2
(1)

MACERAL ANALYSIS

71
% VOL % VOL
MCSERAL SUB MACERAL MACERAL
VOL (mfb) VOL (mfb)

Textinite -
Telovitrinite Texto-ulminite -
2.4 E-ulminite -
Telocollinite 2.4
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
80.8
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 0.6
78.4 Desmocollinite 77.8
Gelovitrinite Corpogelinite -
(Humocolinite) Porigelinite -
- Eugelinite -
Sporinite -
Cutinite -
Resinite -
Liptodetrinite -
LIPTINITE
- Alginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite 0.4
Sclerotinite 1.4
INERTINITE 1.8
Inertodetrinite -
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
17.4 Pyrite 11.0
MATTER
Clay 6.4
TOTAL 100

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986)


and
ASTM (2009)
MACERAL
Point Counting : 500 ANALYSIS Interval (x) :2
Magnification : 200x Interval (y) :2
Sample number : CC –
01B Sample mark :
(2)

72
MACERAL ANALYSIS

MACERAL % VOL % VOL


SUB MACERAL MACERAL
GROUP VOL (mfb) VOL (mfb)

Textinite -
Telovitrinite
Texto-ulminite -
(Humotelinite)
11.4 E-ulminite -
Telocollinite 11.4
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
81.0
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 4.4
69.6 Desmocollinite 65.2
Gelovitrinite Corpogelinite -
(Humocolinite) Porigelinite -
- Eugelinite -
Sporinite -
Cutinite -
Resinite 0.4
Liptodetrinite -
LIPTINITE
0.4 Alginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite 0.4
Sclerotinite 2.4
INERTINITE 2.8
Inertodetrinite -
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
15.8 Pyrite 1.4
MATTER
Clay 14.4
TOTAL 100

MACERAL
ANALYSIS

Sample number : CC - 02
Sample mark : (3)
Point Counting : 500 Interval (x) :2
Magnification : 200x Interval (y) :2

73
MACERAL ANALYSIS

MACERAL % VOL % VOL


SUB MACERAL MACERAL
GROUP VOL (mfb) VOL (mfb)

Textinite -
Telovitrinite
Texto-ulminite -
(Humotelinite)
5.6 E-ulminite -
Telocollinite 5.6
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
83.0
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 2.6
70.0 Desmocollinite 67.4
Gelovitrinite Corpogelinite 7.4
(Humocolinite) Porigelinite -
7.4 Eugelinite -
Sporinite 0.4
Cutinite 1.0
Resinite 6.4
Liptodetrinite -
LIPTINITE
8.2 Alginite 0.4
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite 0.4
Sclerotinite 6.4
INERTINITE 7.4
Inertodetrinite 0.6
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
1.4 Pyrite 1.0
MATTER
Clay 0.4
TOTAL 100
MACERAL
ANALYSIS

Sample number : CC –
03A Sample mark :
(4)
Point Counting : 500 Interval (x) :2
Magnification : 200x Interval (y) :2

74
MACERAL ANALYSIS

MACERAL % VOL % VOL


SUB MACERAL MACERAL
GROUP VOL (mfb) VOL (mfb)

Textinite -
Telovitrinite
Texto-ulminite -
(Humotelinite)
10.0 E-ulminite -
Telocollinite 10.0
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
75.0
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 3.4
62.4 Desmocollinite 59.0
Gelovitrinite Corpogelinite 2.6
(Humocolinite) Porigelinite -
2.6 Eugelinite -
Sporinite 0.4
Cutinite -
Resinite 4.4
Liptodetrinite -
LIPTINITE 4.8
Alginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite 0.4
Sclerotinite 4.4
INERTINITE 10.2
Inertodetrinite 5.4
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
10.0 Pyrite 3.4
MATTER
Clay 6.6
TOTAL 100

MACERAL
ANALYSIS

Sample number : CC –
03B Sample mark :
(5)
Point Counting : 500 Interval (x) :2
Magnification :MACERAL
200x Interval (y)
ANALYSIS :2

% VOL % VOL
MCSERAL SUB MACERAL MACERAL
VOL (mfb) VOL (mfb)

75
Textinite -
Telovitrinite Texto-ulminite -
10.4 E-ulminite -
Telocollinite 10.4
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
73.0
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 10.0
61.6 Desmocollinite 51.6
Gelovitrinite Corpogelinite 1.0
(Humocolinite) Porigelinite -
1.0 Eugelinite -
Sporinite 0.4
Cutinite -
Resinite 4.6
Liptodetrinite -
LIPTINITE
5.0 Lamalginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite 0.4
Sclerotinite 4.4
INERTINITE 8.4
Inertodetrinite 3.6
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida 1.2
MINERALS
13.6 Pyrite 3.6
MATTER
Clay 8.8
TOTAL 100

MACERAL
ANALYSIS

Sample number : CC - 04
Sample mark : (6)

MACERAL ANALYSIS

% VOL % VOL
MCSERAL SUB MACERAL MACERAL
VOL (mfb) VOL (mfb)
Point Counting : 500 Interval (x) :2
Magnification : 200x Textinite
Interval (y) :2 -
Telovitrinite Texto-ulminite -
10.6 E-ulminite -
Telocollinite 10.6

76
Detrovitrinite Attrinite -
VITRINITE 96.0 (Humodetrinite) Densinite 15.4
(HUMINITE)
85.4 Desmocollinite 70.0
Gelovitrinite Corpogelinite -
(Humocolinite) Porigelinite -
- Eugelinite -
Sporinite -
Cutinite -
Resinite -
Liptodetrinite -
LIPTINITE
- Lamalginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite -
Sclerotinite -
INERTINITE -
Inertodetrinite -
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
4.0 Pyrite 0.6
MATTER
Clay 3.4
TOTAL 100

MACERAL
ANALYSIS

Sample number : CC - 05
Sample mark : (7)

MACERAL ANALYSIS

% VOL % VOL
MCSERAL SUB MACERAL MACERAL
VOL (mfb) VOL (mfb)

Textinite -
Telovitrinite Texto-ulminite -
0.4 E-ulminite -
Telocollinite 0.4
Point Counting
VITRINITE : 500Detrovitrinite Interval (x)
Attrinite :2 -
Magnification 96.6 : 200x Interval (y) :2
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 32.0
96.2 Desmocollinite 64.2
Gelovitrinite Corpogelinite
(Humocolinite) Porigelinite -

77
Eugelinite -
Sporinite -
Cutinite -
Resinite -
Liptodetrinite -
LIPTINITE
- Lamalginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite -
Sclerotinite -
INERTINITE -
Inertodetrinite -
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
3.4 Pyrite 1.4
MATTER
Clay 2.0
TOTAL 100

78

Anda mungkin juga menyukai