Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN AKHIR PENELITIAN MANDIRI

APLIKASI STRUKTUR GEOLOGI UNTUK OPTIMALISASI BLASTED


MATERIALS DI KUARI BATUGAMPING PT. UTSG
DI KABUPATEN TUBAN,
JAWA TIMUR

Nama Peneliti
Ir. Dwi Putranto Waloeyo, M.T.
Fachrur Reza Assegaff

__________________________________________________________________

INSTITUT TEKNOLOGI ADHI TAMA SURABAYA


September 2015
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
RINGKASAN
BAB I PENDAHULUAN
BAB II. STUDI PUSTAKA
BAB III METODE PENELITIAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

RINGKASAN
Penelitian telah dilakukan di PT. United Tractors Semen Gresik di Desa
Sumberarum, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban Jawa Timur. Obyek yang
diteliti adalah aplikasi struktur geologi untuk optimalisasi kegiatan peledakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan arah peledakan berdasarkan
data struktur geologi di lokasi penambangan, serta mengoptimalisasi kegiatan
peledakan dengan menggunkan teori R.L.Ash sebagai upaya perbaikan geometri
peledakan dilapangan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa saat ini arah peledakan yang diterapkan
hanya memanfaatkan bidang bebas dan penerapan geometri peledakan dilapangan
hanya berdasarkan kondisi batuan yang dijumpai di masing-masing blok.
Berdasarkan teori R.L.Ash, arah peledakan yang optimal adalah pada sudut tumpul
perpotongan kedua arah umum dilapangan, maka dari data hasil struktur geologi
dilapangan diambil sudut tumpul dari perpotongan kedua arah kekar dan didapatkan
arah peledakan yaitu N37°E.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada pembuatan semen dibutuhkan bahan baku atau terak yang terdiri dari
batugamping sebesar 75,95%, tanah liat sebesar 20,94%, pasir besi sebesar 1,90%,
dan pasir kwarsa sebesar 1,21%. Kemudian terak ini dicampur dengan gypsum
dengan perbandingan antara terak dengan gypsum adalah 95% : 5%.
Kegiatan penambangan batugamping yang dilakukan oleh PT. United Tractor
Semen Gresik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku semen yang
diproduksi oleh PT. Semen Gresik yaitu sebesar 14.868.000 ton/tahun. Untuk itu
PT. United Tractor Semen Gresik pada tahun 2015 ini menargetkan produksi
batugamping sebesar 20.138.946ton/tahun (Lampiran C).
Melihat sifat fisik dan mekanik dari overburden serta disadari bahwa lapisan
tersebut bukan sasaran bisnis tambang, maka diperlukan suatu teknik peledakan
yang ekonomis, efisien dan ramah lingkungan. Perolehan material dapat menutupi
semua biaya operasi termasuk pemindahan overburden.
Keberhasilan suatu operasi peledakan yang optimal secara teknis biasanya
tidak diraih seketika, melainkan harus melewati beberapa percobaan dengan
mengubah-ubah parameter peledakan sampai akhirnya diperoleh hasil yang
memuaskan.
Lokasi penambangan batugamping terletak di Kecamatan Kerek, Tuban, Jawa
Timur. Pembongkaran batu gamping dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara
penggaruan dan penggusuran untuk batugamping yang relatif lunak, dan pemboran
dan peledakan untuk batugamping yang relatif keras. Dengan perincian, penggaruan
dan penggusuran 20% dan pemboran dan peledakan 80%.
Kegiatan pemboran dan peledakan bertujuan untuk membongkar
batugamping dari batuan induk dengan fragmentasi batuan yang relatif seragam dan
diharapkan akan memudahkan kegiatan penambangan selanjutnya seperti
pemuatan, pengangkutan, dan peremukan. Ukuran fragmentasi batuan yang
dibutuhkan oleh perusahaan yaitu ≤ 80 cm. Hal ini disesuaikan dengan ukuran
maksimum dari mulut alat peremuk batuan dalam menerima umpan.

1.2. Rumusan Masalah


1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian akhir ini adalah untuk menentukan arah
peledakan yang sesuai berdasarkan kondisi struktur geologi yang berkaitan dengan
kegiatan blasted materials.

1.4. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat penelitian terhadap aplikasi struktur geologi untuk
optimalisasi blasted materials adalah memberi saran dan masukan dalam penentuan
arah peledakan berdasarkan struktur geologi di lokasi penambangan. Selain itu hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam tahapan peledakan selanjutnya
berdasarkan kondisi struktur geologi tersebut.

1.5. Luaran Penelitian

BAB II
STUDI PUSTAKA
II.1. Proses Pembentukan Batugamping
Batugamping (limestone) CaCO3 adalah batuan sedimen terdiri dari mineral
calcite (kalsium karbonat). Sumber utama dari calcite ini adalah organisme laut.
Organisme ini mengeluarkan shell yang keluar dan terdeposit di lantai samudera
sebagai pelagic ooze. Calcite sekunder juga dapat terdeposit oleh air meteorit
tersupersaturasi (air tanah yang presopirasi material di gua). Ini menciptakan
speleothem seperti stalagmite dan stalagtit. Bentuk yang lebih jauh terbentuk dari
Oolite (batukapur Oolite) dan dapat dikenali dengan penampilanya yang granular.
Batukapur membentuk 10% dari seluruh volume batuan sedimen.
Berdasarkan cara terbentuknya, batugamping dibagi menjadi tiga:
1. Organik : Pengendapan binatang kerang/cangkang siput, foraminifera
dank oral
2. Mekanik : Bahanya sama dengan organik, yang berbeda hanya terjadi
perombakan dari batu gamping tersebut yang kemudian
terbawa arus dan diendapkan tidak terlalu jauh dari tempat
semula
3. Kimia : Terjadi pada kondisi iklim dan suasana lingkungan tertentu
dalam air laut atau air tawar
Untuk batugamping yang terjadi secara mekanik, bahannya tidak jauh
berbeda dengan jenis batugamping yang terjadi secara organik. Selain itu, mata air
mineral dapat pula mengendapkan batugamping. Jenis batugamping ini terjadi
karena peredaran air panas alam yang melarutkan lapisan batugamping dibawah
permukaan yang kemudian diendapkan kembali dipermukaan bumi. Lempung dan
pasir merupakan unsur pengotor yang mengendap bersama-sama pada saat proses
pengendapan. Keberadaan pengotor batugamping memberikan klasifikasi jenis
batugamping. Apabila pengotornya magnesium, maka batugamping tersebut
diklasifikasikan sebagai batugamping dolomitan, Begitu juga apabila pengotornya
lempung, maka batukapur tersebut diklasifikasikan sebagai batugamping
lempungan, dan batugamping pasiran apabila pengotornya pasir. Prosentase unsur-
unsur pengotor sangat berpengaruh terhadap warna batukapur tersebut, yaitu mulai
dari warna putih susu, abu-abu muda, abu-abu tua, coklat bahkan hitam.
Batugamping dapat bersifat keras dan padat, tetapi dapat pula kebalikanya.
Batugamping yang mengalami metamorfosa akan berubah penampakanya maupun
sifat-sifatnya. Hal ini terjadi karena pengaruh tekanan maupun panas, sehingga
batugamping tersebut menjadi berhablur.
Dibeberapa daerah endapan batugamping seringkali ditemukan di gua dan
sungai bawah tanah. Hal ini terjadi sebagai akibat reaksi tanah. Air hujan yang
mengandung CO3 dari udara maupun dari hasil pembusukan zat-zat organik
dipermukaan, setelah meresap kedalam tanah dapat melarutkan batugamping yang
dilaluinya. Reaksi kimia dari proses tersebut adalah sebagai berikut
𝐶𝑎𝐶𝑂3 + 2 𝐶𝑂2 + 𝐻2 𝑂 ⇆ 𝐶𝑎(𝐻𝐶𝑂3 )2 + 𝐶𝑂2 𝐶𝑎 (𝐻𝐶𝑂3 )2
Secara geologi, batugamping erat sekali hubunganya dengan dolomit.
Karena pengaruh pelindian atau peresapan unsur magnesium dari air-air laut
kedalam batugamping, maka batugamping tersebut dapat berubah menjadi
dolomitan atau jadi dolomit. Kadar dolomit atau MgO dalam batugamping yang
berbeda akan memberikan klasifikasi yang berlainan pula pada jenis batugamping
tersebut.
Adapun deskripsi dari batugamping adalah sebagai berikut :
1. Warna : Putih,putih kecoklatan, dan putih keabuan
2. Kilap : Kaca, dan tanah
3. Goresan : Putih sampai putih keabuan
4. Bidang belahan : Tidak teratur
5. Pecahan : Uneven
6. Kekerasan : 2,7 – 3,4 skala mohs
7. Berat Jenis : 2,387 Ton/m3
8. Tenacity : Keras, Kompak, sebagian berongga

II.1.1. Jenis- jenis Batugamping


1. Gamping Kristalin
Batugamping kristalin merupakan salah satu jenis batuan sedimen
yang terbentuk dari batuan sediment seperti yang kita kira, batuan sedimen
terbentuk dari batuan sedimen, tidak juga terbentuk dari clay dan sand,
melainkan batuan ini terbentuk dari batu-batuan bahkan juga terbentuk dari
kerangka calcite yang berasal dari organisme microscopic di laut yang
dangkal. Sehingga sebagian perlapisan batu gamping hampir murni terdiri
dari kalsit, dan pada perlapisan yang lain terdapat sejumlah kandungan silt
atau clay yang membantu ketahanan dari batugamping tersebut terhadap
cuaca. Sehingga lapisan yang gelap pada bagian atas batuan ini
mengandung sejumlah besar fraksi dari silika yang terbentuk dari kerangka
mikrofosil, sehingga dimana lapisan pada bagian ini lebih tahan terhadap
cuaca.
2. Gamping Oolitik
Batuan sedimen kimiawi yang terbentuk dari butiran kalsit. Batuan
ini baik untuk bahan bangunan memiliki lapisan (LIAS) yaitu lapisan
gamping dan serpih laut dalam yang tersusun berselang-seling. Lapisan ini
mengendap sebagai lumpur laut dalam dan gampingnya terpisah keika
batuan mengeras. Batuan sedimen klastik yang terbentuk karena adanya
akumulasi zat-zat organik dimana memiliki partikel butiran kapur dan
butirannya bundar serta agak halus. Terbentuknya sebagsi hasil
sedimentasi mekanik.
3. Gamping Numulitis
Bongkah batu atau gamping numuliites merupakan "olistolit" hasil
suatu pelongsoran besar didasar laut dari tepian menuju tengah cekungan
yang dalam. Fosil yang ada menunjukkan bahwa pada kala Eosen kawasan
sekitar Karangsambung merupakan laut dangkal di mana pada tepi-tepi
cekungan diendapkan batugamping numulites.Batuan sedimen bioklastik
yang dipenuhi oleh fosil Foramnifera Nummulities yang memberikan
petunjuk bahwa batuan ini diendapkan dilaut dangkal dan berumur
hingga 55 juta tahun lalu.
4. Gamping Terumbu
Proses pembentukan batuangamping terumbu berasal dari
pengumpulan plankton, moluska, algae yang keudian membentuk
terumbu. Jadi gamping terumbu berasal dari organisme. Batuan sedimen
yang memiliki komposisi mineral utama dari kalsit (CaCO3) terbentuk
karena aktivitas dari koral atau terumbu pada perairan yang hangat dan
dangkal dan terbentuk sebagai hasil sedimentasi organik.

II.2. Struktur Geologi


Dalam geologi dikenal 3 jenis struktur yang dijumpai pada batuan sebagai
produk dari gaya gaya yang bekerja pada batuan, yaitu:
1. Kekar (fractures) dan Rekahan (cracks).
2. Perlipatan (folding) dan
3. Patahan/sesar (faulting) ketiga jenis struktur tersebut dapat dikelompokan
menjadi beberapa jenis unsur struktur, yaitu:
II.2.1. Kekar (Fractures)
Kekar adalah struktur retakan/rekahan terbentuk pada batuan akibat suatu
gaya yang bekerja pada batuan tersebut dan belum mengalami pergeseran. Secara
umum dicirikan oleh:
1. Pemotongan bidang perlapisan batuan.
2. Biasanya terisi mineral lain (mineralisasi) seperti kalsit, kuarsa dsb.
3. Kenampakan breksiasi. Struktur kekar dapat dikelompokkan berdasarkan
sifat dan karakter retakan atau rekahan serta arah gaya yang bekerja pada
batuan tersebut.
Kekar yang umumnya dijumpai pada batuan adalah sebagai berikut:
1. Shear Joint (Kekar Gerus) adalah retakan atau rekahan yang membentuk
pola saling berpotongan membentuk sudut lancip dengan arah gaya utama.
Kekar jenis shear joint umumnya bersifat tertutup.
2. Tension Joint adalah retakan/rekahan yang berpola sejajar dengan arah
gaya utama, umumnya bentuk rekahan bersifat terbuka.
3. Extension Joint (Release Joint) adalah retakan/rekahan yang berpola tegak
lurus dengan arah gaya utama dan bentuk rekahan umumnya terbuka.
Gambar II.1.
Kekar tarik, kekar gerus dan kekar hybrid

II.2.2. Lipatan (Folds)


Lipatan adalah deformasi lapisan batuan yang terjadi akibat dari gaya
tegasan sehingga batuan bergerak dari kedudukan semula membentuk lengkungan.
Berdasarkan bentuk lengkungannya lipatan dapat dibagi dua, yaitu Lipatan Synklin
adalah bentuk lipatan yang cekung ke arah atas, sedangkan lipatan antiklin adalah
lipatan yang cembung ke arah atas.

Gambar II.2.
Lipatan Anticline dan Lipatan Syncline

Berdasarkan kedudukan garis sumbu dan bentuknya, lipatan dapat


dikelompokkan menjadi :
1. Lipatan Paralel adalah lipatan dengan ketebalan lapisan yang tetap.
2. Lipatan Similar adalah lipatan dengan jarak lapisan sejajar dengan sumbu
utama.
3. Lipatan Harmonikatau Disharmonik adalah lipatan berdasarkan menerus
atau tidaknya sumbu utama.
4. Lipatan Ptigmatik adalah lipatan terbalik terhadap sumbunya.
5. Lipatan Chevron adalah lipatan bersudut dengan bidang planar.
6. Lipatan Isoklin adalah lipatan dengan sayap sejajar.
7. Lipatan Klin Bands adalah lipatan bersudut tajam yang dibatasi oleh
permukaan planar.
II.2.3. Patahan/Sesar (Faults)
Sesar adalah suatu rekahan pada batuan yang telah mengalami pergeseran
sehingga terjadi perpindahan antara bagian-bagian yang berhadapan dengan arah
yang sejajar dengan bidang patahan. Hal ini terjadi apabila blok batuan yang
dipisahkan oleh rekahan telah bergeser sedemikian rupa hingga lapisan batuan
sedimen pada blok yang satu terputus atau terpisah dan tidak bersambungan lagi
dengan lapisan sedimen pada blok yang lainnya. Ukuran panjang maupun
kedalaman sesar dapat berkisar antara beberapa centimeter saja sampai mencapai
ratusan kilometer.

Gambar II.3.
Sesar
Istilah-istilah penting yang berhubungan dengan gejala sesar antara lain:
1. Bidang Sesar
Merupakan bidang rekahan pada batuan yang telah mengalami pergeseran
2. Bagian-bagian yang tersesarkan (tergeser)
Bagian ini terdiri dari Hanging Wall dan Foot Wall
a. Hanging Wall (Atap Sesar), adalah bongkahan patahan yang berada
dibagian atas bidang sesar.
b. Foot Wall (Alas Sesar), adalah bongkahan patahan yang berada
dibagian bawah sesar.
3. Throw dan Heave
a. Throw, adalah yang memisahkan lapisan yang terpatahkan dan diukur
pada sesar dalam bidang tegak lurus padanya.
b. Heave, adalah jarak horizontal yang diukur normal pada sesar yang
memisahkan bagian-bagian dari lapisan yang terpatahkan.
Berdasarkan pada sifat geraknya, sesar dapat dibedakan menjadikan 3 jenis
yaitu:
1. Sesar Normal, yaitu gerak relatif Hanging Wall turun terhadap Foot Wall
dan disebut juga sebagai sesar turun.
2. Sesar Naik, yaitu gerak relatif Hanging Wall naik terhadap Foot Wall.
3. Sesar Mendatar, yaitu gerak relatif mendatar pada bagian-bagian yang
tersesarkan.

II.3. Arah Pemboran Terhadap Struktur Batuan


Struktur geologi yang banyak dijumpai baik pada batuan beku, batuan
sedimen, maupun batuan metamorf adalah kekar. Kekar adalah suatu rekahan pada
batuan yang tidak mengalami pergeseran pada bidang rekahan dan merupakan
bidang lemah. Rangkaian bidang kekar biasanya sejajar dengan jurus dan
kemiringan formasi batuan. Dalam suatu operasi peledakan, maka fragmentasi
batuan yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh arah peledakannya. Sedangkan arah
peledakan dipengaruhi oleh struktur batuan yang ada. Menurut Stig O. Olofson, arah
penempatan lubang tembak ada dua macam, yaitu :
1. Bila peledakan dilakukan searah dengan kemiringan bidang perlapisan
(dip) maka kemungkinan yang akan terjadi adalah :
 Timbulnya backbreak yang lebih banyak
 Pemakaian energi bahan peledak lebih baik, karena kemiringan
perlapisan searah dengan bidang runtuhan.
 Pergeseran batuan dari face lebih mudah dan banyak, sehingga
dihasilkan tumpukan material yang lebih rendah.
 Lantai jenjang lebih rata.
 Fragmentasi dapat sesuai dengan yang diharapkan.
2. Bila peledakan dilakukan berlawanan dengan kemiringan bidang
perlapisan (dip) maka kemungkinan yang akan terjadi adalah :
 Kemungkinan timbulnya backbreak lebih kecil.
 Kemungkinan timbulnya toe lebih besar.
 Pergeseran batuan dari face lebih sulit dan sedikit sehingga dihasilkan
tumpukan material yang lebih tinggi.
 Lantai jenjang lebih kasar.
Fragmentasi dapat berubah-ubah dan sangat tergantung pada susunan dari
perlapisan.

Gambar II.4.
Arah Lubang Tembak Searah dengan Dip
Gambar II.5.
Arah Lubang Tembak Berlawanan dengan Dip

II.4. Geometri Pemboran


Geometri pemboran meliputi diameter lubang bor, kedalaman lubang
tembak, kemiringan lubang tembak, tinggi jenjang, dan juga pola pemboran.
II.4.1 Diameter Lubang Tembak
Didalam menentukan diameter lubang tembak tergantung dari volume
massa batuan yang akan dibongkar, tinggi jenjang, tingkat fragmentasi yang
diinginkan, mesin bor yang dipergunakan, dan kapasitas alat muat yang akan
dipergunakan untuk kegiatan pemuatan material hasil pembongkaran.
Untuk diameter lubang tembak yang terlalu kecil, maka faktor energi yang
dihasilkan akan berkurang sehingga tidak cukup besar untuk membongkar batuan
yang akan diledakkan, sedang jika lubang tembak terlalu besar maka lubang tembak
tidak cukup untuk menghasilkan fragmentasi yang baik, terutama pada batuan yang
banyak terdapat kekar dengan jarak kerapatan yang tinggi. Ketika kekar membagi
burden dalam blok-blok yang besar, maka fragmentasi yang akan terjadi bila
masing-masing terjangkau oleh suatu lubang tembak. Hal seperti ini menghendaki
diameter lubang tembak yang kecil.
Diameter lubang tembak yang kecil juga memberikan patahan atau hancuran
yang lebih baik pada bagian atap jenjang. Hal ini berhubungan dengan stemming,
di mana lubang tembak yang besar maka panjang stemming juga akan semakin besar
dikarenakan untuk menghindari getaran dan batuan terbang, sedangkan jika
menggunakan lubang tembak yang kecil maka panjang stemming dapat dikurangi.
II.4.2. Kedalaman Lubang Tembak
Kedalaman lubang tembak biasanya disesuaikan dengan tinggi jenjang yang
diterapkan. Dan untuk mendapatkan lantai jenjang yang rata maka hendaknya
kedalaman lubang tembak harus lebih besar dari tinggi jenjang, yang mana
kelebihan daripada kedalaman ini disebut dengan sub drilling.
II.4.3. Kemiringan Lubang Tembak (Arah pemboran)
Arah pemboran yang kita pelajari ada dua, yaitu arah pemboran tegak dan
arah pemboran miring. Arah penjajaran lubang bor pada jenjang harus sejajar untuk
menjamin keseragaman burden yang ingin didapatkan dan spasi dalam geometri
peledakan. Lubang tembak yang dibuat tegak, maka pada bagian lantai jenjang akan
menerima gelombang tekan yang besar, sehingga menimbulkan tonjolan pada lantai
jenjang, hal ini dikarenakan gelombang tekan sebagian akan dipantulkan pada
bidang bebas dan sebagian lagi akan diteruskan pada bagian bawah lantai jenjang.
Sedangkan dalam pemakaian lubang tembak miring akan membentuk
bidang bebas yang lebih luas, sehingga akan mempermudah proses pecahnya batuan
karena gelombang tekan yang dipantulkan lebih besar dan gelombang tekan yang
diteruskan pada lantai jenjang lebih kecil.
Adapun keuntungan dan kerugian dari masing-masing lubang adalah :
1. Untuk lubang tembak tegak (vertikal) adalah :
Keuntungannya:
a. Untuk tinggi jenjang yang sama panjang lubang ledak lebih pendek
jika dibandingkan dengan lubang ledak miring.
b. Kemungkinan terjadinya lontaran batuan lebih sedikit.
c. Lebih mudah dalam pengerjaannya.
Kerugiannya:
a. Penghancuran sepanjang lubang tidak merata
b. Fragmentasi yang dihasilkan kurang bagus terutama di daerah
stemming.
c. Menimbulkan tonjolan-tonjolan pada lantai jenjang (toe).
d. Dapat menyebabkan retakan ke belakang jenjang (backbreak) dan
getaran tanah.
2. Untuk lubang tembak miring adalah :
Keuntungannya :
a. Bidang bebas yang terbentuk semakin besar
b. Fragmentasi yang dihasilkan lebih bagus
c. Dapat mengurangi terjadinya backbreak dan permukaan jenjang yang
dihasilkan lebih rata.
d. Dapat mengurangi bahaya kelongsoran pada jenjang.
Kerugiannya :
a. Kesulitan untuk menempatkan sudut kemiringan yang sama antar
lubang.
b. Biaya operasi semakin meningkat.
II.4.4. Pola pemboran
Pola pemboran yang biasa diterapkan pada tambang terbuka biasanya
menggunakan dua macam pola pemboran yaitu :
 Pola pemboran segi empat (square pattern)
 Pola pemboran selang-seling (staggered)
Pola pemboran segi empat adalah pola pemboran dengan penempatan
lubang-lubang tembak antara baris satu dengan baris berikutnya sejajar dan
membentuk segi empat. Pola pemboran segi empat yang mana panjang burden
dengan panjang spasi tidak sama besar disebut square rectangular pattern.
Sedangkan pola pemboran selang-seling adalah pola pemboran yang penempatan
lubang ledak pada baris yang berurutan tidak saling sejajar, dan untuk pola
pemboran selang-seling yang mana panjang burden tidak sama dengan panjang
spasi disebut staggered rectangular pattern.

Gambar II.6.
Pengaruh Arah Lubang Tembak

Dalam penerapannya, pola pemboran sejajar adalah pola yang umum,


karena lebih mudah dalam pengerjaannya tetapi kurang bagus untuk meningkatkan
mutu fragmentasi yang diinginkan, maka penggunaan pola pemboran selang-seling
lebih efektif.

Gambar II.7.
Pola Pemboran Segiempat (Square Pattern)

Gambar II.8.
Pola Pemboran Segi Empat (Square Rectanguler Pattern)
Gambar II.9.
Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Square Pattern)

Gambar II.10.
Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Rectanguler Pattern)

II.5. Geometri Peledakan


Geometri peledakan yang akan mempengaruhi tingkat fragmentasi batuan
dapat dinyatakan seperti pada (gambar II,10.). Sedangkan geometri peledakan
terdiri dari :
II.5.1. Burden (B)
Burden adalah jarak dari lubang tembak dengan bidang bebas yang terdekat,
dan arah di mana perpindahan akan terjadi. Pada daerah ini energi ledakan adalah
yang terkuat dan yang pertama kali bereaksi pada bidang bebas. Jarak burden yang
baik adalah jarak yang memungkinkan energi secara maksimal dapat bergerak
keluar dari kolom isian menuju bidang bebas dan dipantulkan kembali dengan
kekuatan yang cukup untuk melampaui kuat tarik batuan sehingga akan terjadi
penghancuran.
II.5.2. Spasi (S)
Spasi dapat diartikan sebagai jarak terdekat antara antara dua lubang tembak
yang berdekatan dalam satu baris. Yang perlu diperhatikan dalam memperkirakan
spasi adalah apakah ada interaksi di antara isian yang saling berdekatan.
II.5.3. Stemming (T)
Stemming adalah tempat material penutup di dalam lubang bor di atas kolom
isian bahan peledak. Fungsi stemming adalah agar terjadi stress balance dan untuk
mengurung gas-gas hasil ledakan agar dapat menekan batuan dengan kekuatan yang
besar. Sedangkan di dalam penggunaan stemming yang perlu diperhatikan adalah
panjang stemming dan ukuran material stemming.
II.5.4 Sub drilling (J)
Subdrilling adalah tambahan kedalaman dari lubang bor di bawah lantai
jenjang yang dibuat agar jenjang yang dihasilkan sebatas dengan lantainya dan
lantai yang dihasilkan rata. Bila jarak subdrilling terlalu besar maka akan
menghasilkan efek getaran tanah, sebaliknya bila subdrilling terlalu kecil maka
akan mengakibatkan problem tonjolan pada lantai jenjang (toe) karena batuan tidak
akan terpotong sebatas lantai jenjangnya.
II.5.5. Tinggi Jenjang (L)
Tinggi jenjang sudah direncanakan oleh perusahaan yaitu 6 meter.
Gambar II.11.
Geometri Peledakan Menurut R.L.Ash

II.5.6. Pola Peledakan


Pola peledakan merupakan urut-urutan waktu peledakan antara lubang
tembak dalam satu baris dan antara satu dengan yang lainnya. Pola peledakan
ditentukan tergantung arah mana pergerakan material yang diharapkan.
Setiap baris lubang tembak yang akan diledakkan harus memiliki ruang
yang cukup di muka bidang bebas yang sejajar dengan lubang tembak untuk
terdesak, pecah, mengembang dan tidak terlontar keatas. Adapun macam-macam
pola peledakan adalah sebagai berikut :
a. Pola peledakan di mana lubang-lubang tembak diledakkan dengan waktu
penundaan atau beruntun dalam satu baris.
b. Pola peledakan serentak dalam satu baris dan beruntun antara baris satu
dengan baris yang lain.
Menurut R.L. Ash dengan adanya tiga bidang bebas, kuat tarik batuan dapat
dikurangi sehingga akan dapat meningkatkan jumlah retakan dengan syarat lokasi
dua bidang bebasnya mempunyai jarak yang sama terhadap lubang tembak.
II.5.7. Waktu tunda
Pemakaian delay detonator sebagai waktu tunda untuk peledakan secara
beruntun. Keuntungan dari peledakan dengan memakai delay detonator adalah :
1. Dapat menghasilkan fragmentasi yang lebih baik
2. Dapat mengurangi timbulnya getaran tanah
3. Dapat menyediakan bidang bebas untuk baris berikutnya.
Bila waktu tunda antar baris terlalu pendek maka beban muatan pada baris
depan menghalangi pergeseran baris berikutnya, material pada baris kedua akan
tersembur kearah vertikal dan membentuk tumpukan. Tetapi bila waktu tundanya
terlalu lama, maka produk hasil bongkaran akan terlempar jauh kedepan serta
kemungkinan besar akan mengakibatkan flyrock. Hal ini disebabkan karena tidak
ada dinding batuan yang berfungsi sebagai penahan lemparan batuan di
belakangnya.
Gambar II.12.
Pola Peledakan
II.5.8. Arah Peledakan
Dalam suatu operasi peledakan, maka fragmentasi batuan yang dihasilkan
akan dipengaruhi oleh arah peledakannya. Sedangkan arah peledakan dipengaruhi
oleh struktur batuan yang ada. Struktur batuan yang banyak dijumpai di lapangan
biasanya adalah kekar. Perambatan gelombang energi pada struktur batuan yang
mengandung kekar sebagian dipantulkan dan sebagian diteruskan. Dengan
demikian energi yang digunakan untuk memecah batuan akan berkurang sehingga
fragmentasi batuan akan menjadi tidak seragam. Menurut R.L. Ash, arah peledakan
yang baik untuk menghasilkan fragmentasi yang seragam yaitu arah peledakan
menuju sudut tumpul yang merupakan perpotongan antara arah umum, dengan
demikian penggunaan energi bahan peledak akan lebih baik karena tidak terjadi
penerobosan energi.
Apabila arah penerobosan menuju kearah sudut runcing maka akan terjadi
penerobosan energi peledakan dari bahan peledak yang melalui rekahan-rekahan
yang ada. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pengurangan energi peledakan
untuk menghancurkan batuan, sebagai akibatnya akan terbentuk fragmentasi yang
berbentuk blok-blok.

Gambar II.13.
Arah peledakan menuju sudut tumpul
II.6. Fragmentasi Batuan
Fragmentasi hasil peledakan merupakan salah satu petunjuk untuk dapat
mengetahui keberhasilan dari suatu peledakan selain powder factor. Karena apabila
dalam suatu peledakan, powder factor tercapai tetapi tidak menghasilkan ukuran
fragmentasi yang diinginkan, maka peledakan tersebut belum bisa dikatakan
berhasil.
Untuk pengukuran fragmentasi hasil peledakan, dilakukan dengan analisa
produktivitas alat muat dan alat angkut, Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai
berikut :
1. Mengukur volume batuan hasil peledakan yang berukuran kurang dari 80
cm. Hal ini dilakukan dengan cara batuan yang lebih kecil dari 80 cm
kemudian diangkut ke dump truck menuju ke unit peremuk batuan.
Sedangkan untuk batuan yang lebih dari 80 cm atau bongkah batuan
dipisahkan untuk dilakukan pemecahan ulang dengan menggunakan rock
breaker. Berat batuan yang masuk yang masuk ke unit peremuk batuan,
dihitung dengan mengalikan jumlah rit pengangkutan, dan berat rata-rata
muatan truk.
2. Tingkat fragmentasi batuan. Dari pengukuran tersebut di atas maka
volume batuan yang tidak dapat diangkut oleh alat muat dan alat angkut,
maka dianggap sebagai bongkah batuan (boulder). Boulder tersebut
kemudian dikumpulkan pada suatu tempat kemudian dilakukan
pemecahan ulang dengan menggunakan rock breaker. Kemudian batuan
tersebut setelah di breaker dan mempunyai ukuran kurang dari 80 cm,
maka bisa diangkut oleh dump truck menuju ke unit peremuk, kemudian
dilakukan pencatatan berapa kali dump truck tersebut melakukan
pengangkutan terhadap batuan hasil pemecahan ulang.
BAB III
METODE PENELITIAN

Didalam melaksanakan permasalahan ini, penulis menggabungkan antara


teori dengan data-data lapangan. Sehingga dari keduanya didapat pendekatan
penyelesaian masalah. Adapun urutan pekerjaan penelitian yaitu:
III.1. Studi Literatur
Dilakukan dengan mencari bahan-bahan pustaka yang menunjang, yang
diperoleh dari:
 Instansi yang terkait
 Perpustakaan
III.2. Penelitian di lapangan
Dalam pelaksanaan penelitian dilapangan akan dilakukan beberapa tahapan,
yaitu:
 Survei geologi permukaan, dengan melakukan pengamatan secara
langsung terhadap keadaan geologi permukaan (perlapisan, rekahan,
patahan, strike dan dip) dan mencari informasi pendukung yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan dibahas.
 Mencocokkan dengan perumusan masalah, yang bertujuan agar penelitian
yang dilakukan tidak meluas. Data yang diambil dapat digunakan secara
efektif.
III.3. Pengambilan data
Dilakukan dengan cara :
 Melakukan pengukuran struktur geologi (kekar)
 Meneliti proses produksi yang sedang berlangsung
 Mencatat kejadian yang terjadi seperti adanya ukuran batuan yang besar,
penentuan titik pemboran, arah lemparan batuan, dsb.
 Wawancara seperlunya.
III.4. Keakuratan Akuisisi Data
Akuisisi data ini bertujuan untuk :
 Mengumpulkan dan mengelompokkan data untuk memudahkan analisa
nantinya.
 Mengolah nilai karakteristik data-data yang mewakili obyek pengamatan
mengetahui data, sehingga kerja menjadi efesien.
III.5. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan dengan beberapakegiatan dilapangan dan
penggambaran. Selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dalam penyelesaian
masalah yang ada.
III.6. Analisa hasil pengelompokkan data
Dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif guna memperoleh
kesimpulan sementara. Selanjutnya kesimpulan sementara ini akan diolah lebih
lanjut dalam bagian pembahasan.
III.7. Kesimpulan
Diperoleh setelah dilakukan korelasi antara hasil pengolahan data yang telah
dilakukan dengan permasalahan yang diteliti.
III.8. Peralatan Yang Digunakan
1. Kompas Geologi (Menentukan Strike dan Dip).
III.9. Sistematika Penulisan
Tahap penyusunan hasil penelitian dilakukan dengan mengevaluasi dan
pemeriksaan ulang hasil analisis data baik data sekunder maupun data primer. Hasil
yang diharapkan adalah pembahasan, kesimpulan dan rekomendasi.
III.10. Bagan alir penelitian

MULAI

PERUMUSAN MASALAH

TUJUAN PENELITIAN

STUDI LITERATUR STUDI LAPANGAN

PENGUMPULAN DATA

DATA PRIMER DATA SEKUNDER


Metode penambangan, pemetaan di Data geologi ,kesampaian daerah ,curah
lapangan, menganalisa Strike dan Dip, hujan dan data perusahaan.
dan menentukan arah peledakan.

PENGOLAHAN DATA

ANALISA DATA

KESIMPULAN DAN SARAN

SELESAI

Gambar III.1
Diagram alir Penilitian
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada sistem tambang terbuka pembongkaran tanah penutup (overburden)


dilakukan dengan menggunakan metode pemboran (drilling) dan peledakan
(blasting). Peledakan pada kegiatan penambangan merupakan salah satu cara yang
efektif untuk pembongkaran batuan yang secara fisik bersifat keras dan peledakan
dilakukan agar proses pembongkaran batuan penutup terjadi secara singkat dan
waktu yang digunakan pun cukup cepat (Lampiran B).
Dalam suatu kegiatan peledakan (blasting), keberhasilan suatu operasi
peledakan yang optimal secara teknis biasanya tidak diraih seketika, melainkan
harus melewati beberapa percobaan dengan mengubah-ubah parameter peledakan
sampai akhirnya diperoleh hasil yang memuaskan.
Oleh karena itu optimalisasi produksi dari suatu kegiatan pemboran dan
peledakan perlu ditinjau lebih dalam lagi, salah satunya adalah dari aspek teknis,
adapun sasaran akhir dari kegiatan penelitian aplikasi struktur geologi adalah untuk
memperoleh fragmentasi batuan yang relatif seragam dan diharapkan akan
memudahkan kegiatan penambangan selanjutnya seperti pemuatan, pengangkutan,
dan peremukan.
Berdasarkan pengamatan dan tinjauan terhadap kegiatan kerja dijumpai hal-
hal sebagaimana dibawah ini :

IV.1. Struktur Geologi


Struktur geologi yang terdapat di daerah ini termasuk ke dalam cekungan
Rembang bagian Timur. Cekungan ini telah mengalami perlipatan sehingga
menyebabkan terbentuknya sesar dan kekar. Endapan batu gamping di daerah ini
miring kearah utara dengan jurus sebesar N 245°E - N 260°E, dan kemiringan 10°-
15°. Struktur geologi yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi kekar (Joint)
adalah struktur rekahan batuan dimana tidak ada atau relatif tanpa mengalami
pergeseran pada bidang rekahanya.Kekar dapat terjadi akibat proses tektonik
maupun pelapukan juga perubahan temperatur yang signifikan. Kekar merupakan
struktur batuan dalam bentuk bidang pecah, karena sifat bidang ini memisahkan
batuan menjadi bagian-bagian terpisah. Maka struktur kekar merupakan jalan atau
rongga kesarangan batuan untuk dilalui cairan dari luar beserta materi lain seperti
air, gas dan unsur-unsur lain yang menyertainya.
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, dijumpai dua jenis kekar yaitu:
a. Kekar mayor adalah kekar dengan ukuran hingga ratusan kilometer. Dari
hasil data pemetaan dilapangan, dijumpai kekar mayor dengan arah N189E
/ 39.
b. Kekar minor adalah kekar dengan ukuran hanya beberapa meter. Dari hasil
data pemetaan dilapangan, dijumpai kekar minor dengan arah N228E/33.
Dari data kedua kekar tersebut, dapat dijadikan sebagai acuan arah peledakan
dengan memanfaatkan sudut tumpul dari kedua kekar yang ada. untuk penyusuaian
bidang bebas yang diambil adalah sejajar dengan perpotongan dari kedua kekar yang
ada.
Dari hasil penjelasan kedua data kekar diatas, serta dengan melakukan
pengamatan pada setiap blok dan great dilapangan, maka dapat disimpulkan untuk
arah sudut tumpul pertemuan dari kedua bidang kekar adalah pada titikN37º,
sehingga didapatkan arah peledakan pada titik N37º (Lampiran D).

IV.2. Sifat fisik batuan


Sifat fisik batuan yang berpengaruh besar terhadap pengoperasian kegiatan
pengeboran dan peledakan adalah (Lampiran F):
a. Faktor pengembangan material
Dari hasil pengamatan di lapangan diperoleh data density bank dan
density loose maka dapat dicari besarnya nilai faktor pengembangan
material (Swell Factor). Lapisan tanah penutup di area kuari batugamping
di PT. United Tractors Semen Gresik terdiri dari material mudstone dan
sandstone (Lampiran H). Density untuk material dalam keadaan
terbongkar (loose) adalah 1,45 ton/m3 dan density untuk material dalam
keadaan aslinya (bank) adalah 1,8 ton/m3. Sehingga faktor pengembangan
(Swell Factor) material yang ada sebesar 0,75.
b. Bentuk material
Bentuk material lapisan tanah penuntup di kuari batugamping berupa
butiran halus dan seragam.
c. Kekerasan material
Mudstone dan sandstone tergolong batuan lunak dengan kekerasan 2
– 3,5 skala mohs.
d. Kelengketan material
Lapisan tanah penutup terdiri dari material yang agak lengket
(mudstone) dan material yang tidak lengket (sandstone).

IV.3. Kegiatan Pemboran Batu Gamping


IV.3.1. Alat bor
Pembuatan lubang tembak pada kuari batu gamping dilakukan dengan
menggunakan alat bor jenis Crawler Rock Drill (CRD) merk Atlas Copco ROC F7
sebanyak 3 buah dan CRD merk Atlas Copco ROC 642 sebanyak 2 buah. Sedangkan
mata bor yang digunakan adalah Bottom Bit dengan diameter 3,5 inchi. Batang bor
yang digunakan untuk setiap alat sebanyak 2 buah dengan panjang masing-masing
batang 3 meter.
IV.3.2. Arah Pemboran dan Pola Pemboran
Arah pemboran yang diterapkan di kuari Tuban adalah pemboran dengan
arah vertikal dengan kedalaman 6 meter, sedangkan pola pemboran yang digunakan
adalah pola pemboran selang-seling (stagered pattern).

IV.4. Kegiatan Peledakan Batu Gamping


Geometri Peledakan yang saat ini diterapkan oleh PT. United Tractor Semen
Gresik pada operasi peledakan di kuari Tuban adalah sebagai berikut (Lampiran E):

a. Burden (B)
Burden yang diterapkan saat ini adalah 2,75 meter
b. Spasi (S)
Spasi yang diterapkan saat ini adalah bervariasi antara 3,5 meter,
dengan harga Ks adalah 1,2.
c. Stemming (T)
Stemming yang digunakan pada operasi peledakan saat ini adalah
1,875 meter dengan Kt sebesar 0,75.
d. Subdrilling (J)
Pada operasi peledakan di kuari Tuban, saat ini jarang sekali
menggunakan subdrilling, kalaupun ada itu hanya pada blok tertentu saja
dan besarnya adalah 0,3 meter.
e. Kedalaman lubang bor (H)
Kedalaman lubang tembak tidak boleh lebih kecil dari burden untuk
mencegah terjadinya overbreak. Kedalaman lubang merupakan
penjumlahan tinggi jenjang dan subdrilling dan besarnya rata-rata adalah
6 – 6,3 meter.
f. Tinggi jenjang (L)
Besarnya tinggi jenjang sudah ditentukan oleh peralatan bor dan alat
muat yang tersedia, dan besarnya tinggi jenjang saat ini rata-rata adalah 6
meter.
g. Panjang kolom isian (Pc)
Merupakan panjang dari lubang bor yang diisi bahan peledak dan
besarnya saat ini adalah 4,34 meter.
h. Pola Pemboran dan Pengaturan Peledakan
Pola pemboran yang diterapkan saat ini di kuari Tuban adalah zig-
zag atau selang-seling, sedangkan arah pengembangan volume selama
peledakan yaitu corner cut dengan pola peledakan serentak tiap baris dan
beruntun untuk baris berikutnya dengan delay detonator untuk waktu
tunda.

i. Waktu Tunda
Satuan waktu tunda yang digunakan adalah millisecond (ms),
besarnya waktu tunda yang dimiliki pada tiap-tiap nomor detonator
mempunyai perbedaan selang waktu penyalaan selama 25 millisecond.
Nomor detonator yang tersedia mulai dari nomor 1 sampai dengan nomor
10. Dalam satu baris setiap lubang tembak dipasang delay detonator
dengan nomor yang sama. Sedangkan pada tiap baris yang berbeda
digunakan nomor yang berbeda.
j. Pemakaian Bahan Peledak
Dari hasil pengamatan di lapangan bahan peledak yang diisikan ke
dalam satu lubang tembak adalah sekitar 23,8 kg. Sedangkan bahan
peledak yang dipakai adalah ANFO dengan perbandingan Amonium Nitrat
dengan Fuel Oil adalah 94,5% dengan 5,5%. Dan untuk percampurannya
dilakukan pada kendaraan ANFO Mixer Aresco.
k. Arah Peledakan
Pemilihan arah dari peledakan pada saat ini masih didasarkan pada
posisi alat-alat mekanis yang berada di sekitar operasi peledakan, posisi
jalan tambang, serta tempat peremuk batuan tanpa memperhatikan faktor
struktur kekar dan kondisi lapangan yang ada.

IV.5. Fragmentasi Peledakan


Tingkat fragmentasi menunjukkan distribusi ukuran batuan hasil dari suatu
peledakan. Dimana tingkat fragmentasi yang diharapkan disesuaikan dengan
ukuran umpan alat peremuk batuan, yang mana ukuran umpan kurang atau sama
dengan 80 cm. Berdasarkan hasil pengamatan selama di lapangan dan hasil dari
perhitungan didapatkan prosentase batuan hasil peledakan dengan ukuran yang
diharapkan saat ini rata-rata sebesar 79,5%. Hal ini berarti sebanyak 20,5%
batugamping masih membutuhkan pemecahan ulang.
Adapun pengukuran fragmentasi batuan yang berukuran kurang atau sama
dengan 80 cm diukur sebagai berikut :
a. Sebelumnya diketahui volume batuan yang akan diledakkan (Wi).
b. Setelah dilakukan peledakan, kemudian mengukur volume batuan hasil
peledakan yang berukuran kurang dari 80 cm (Wp). Dengan cara batuan
yang lebih kecil dari 80 cm diangkut ke dump truck menuju ke unit
peremuk batuan. Berat batuan yang masuk ke unit peremuk batuan,
dihitung dengan mengalikan jumlah rit pengangkutan, dan berat rata-rata
muatan truck dalam beberapa pengamatan adalah 16 ton.
Sedangkan untuk mengukur bongkah batuan hasil peledakan (boulder), maka
Batuan yang tidak terangkut oleh dump truck maka dianggap sebagai boulder dan
dikumpulkan pada suatu tempat untuk dilakukan pemecahan ulang dengan rock
breaker. Kemudian batuan tersebut setelah dipecah ulang dan setelah ukurannya
sudah di bawah 80 cm, maka dapat diangkut oleh dump truck menuju ke tempat
peremuk batuan. Berat batuan yang masuk ke unit peremuk batuan.

IV.6. Produksi Batu Gamping Hasil Peledakan


Batu gamping hasil peledakan saat ini, maka diperoleh dalam sehari adalah
4×15.095 ton = 60.381 ton, dan sebanyak 252×60.381 ton = 15.216.000 ton dalam
setahun (Lampiran C).

Kegiatan pembongkaran batugamping dikatakan berhasil apabila pada


kegiatan peledakan tersebut menghasilkan fragmentasi batuan sesuai dengan yang
diharapkan. Tingkat fragmentasi batuan hasil peledakan berpengaruh pada
penentuan arah peledakan yang sesuai dan penempatan geometri peledakan yang
dinilai optimal.

IV.7. Penentuan Arah Peledakan


Berdasarkan hasil pengukuran terhadap kekar di lapangan, pada kuari Tuban
dijumpai adanya dua arah kekar yaitu arah N228E/33 dan N189E/39.
Sedangkan arah penambangan yang saat ini diterapkan belum memperhatikan
faktor-faktor kekar yang ada, dan hanya menyesuaikan bidang bebas yang sudah
ada.
Dalam upaya untuk memperbaiki fragmentasi batuan hasil peledakan maka
dianjurkan untuk menyesuaikan arah peledakan sesuai dengan keadaan kekar yang
ada, dan bidang bebas yang diambil adalah sejajar dengan perpotongan kedua kekar
yang ada, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh R.L. Ash. Adapun cara untuk
menentukan arah peledakan ke arah sudut tumpul dari kedua bidang kekar yang ada,
sehingga didapatkan arah peledakan yaitu N37ºE. (Lihat Gambar IV.1).
IV.7.1. Perkiraan Fragmentasi Batuan
Berdasarkan rancangan peledakan setelah diadakannya perbaikan dan
dengan melakukan perhitungan secara teoritis dengan menggunakan persamaan
KUZNETZOV, maka fragmentasi batuan hasil peledakan untuk ukuran lebih besar
dari 80 cm diperkirakan akan menjadi 0,56%.
U
N 228°E/33°
N 189°E/39°

N 37° E

Gambar IV.1.
Arah Peledakan Yang Disarankan.
IV.8. Upaya Perbaikan Fragmentasi
Dalam usaha untuk memperbaiki fragmentasi batuan dengan metode
peledakan, yaitu untuk mendapatkan ukuran batuan hasil peledakan dengan ukuran
kurang dari 80 cm, maka akan dibahas beberapa hal yang berhubungan dengan
perbaikan fragmentasi, yang antara lain tentang geometri peledakan dan arah
peledakannya.
IV.8.1. Geometri Peledakan
Untuk menentukan geometri peledakan digunakan lima dasar besaran
geometri peledakan yang semua besaran tersebut dibandingkan dengan ukuran
burden yang sudah dikoreksi. Sebagai pendekatan digunakan metode dari R.L.Ash.
a. Burden
Penggunaan burden sebesar 2,75 meter saat ini sudah sesuai akan
tetapi masih perlu diterapkan secara pasti bahwa burden yang dipakai
adalah 2,5 meter karena apabila menggunakan burden yang lebih besar
maka akan mengakibatkan boulder yang lebih banyak lagi. Hal ini
disebabkan karena jarak ke arah free face terlalu jauh, sehingga gelombang
kejut yang berasal dari lubang ledak ketika menuju free face akan
menghasilkan gelombang pantul yang tidak cukup menyebabkan
terjadinya rekahan-rekahan pada free face dan gelombang kejut yang
berasal dari lubang tembak lebih banyak diteruskan ke dalam batuan, dan
hanya menghasilkan getaran yang cukup besar.
b. Spasi
Panjang spasi ditentukan oleh besarnya nilai burden dan pola
peledakan, di mana perbandingan antara panjang spasi dengan burden
tergantung dari distribusi energi peledakan yang optimal, sehingga daerah-
daerah yang berpotensial mengakibatkan bongkah batuan dapat dikurangi.
Spasi yang saat ini diterapkan adalah 3,5 meter dan pola peledakan
yang digunakan adalah serentak dalam satu baris dan beruntun untuk baris
selanjutnya. Nilai spasi sebesar 3,5 meter ini dinilai masih cukup besar,
sehingga daerah-daerah yang berpotensial untuk menghasilkan bongkah
batuan masih cukup luas. Menurut Dyno Nobel, untuk penggunaan pola
peledakan selang-seling (staggered pattern) akan menghasilkan distribusi
energi peledakan yang optimum apabila spasi yang diterapkan adalah
seharga 1,15 x B. Oleh karena itu maka dianggap perlu untuk melakukan
pengurangan terhadap jarak spasi yaitu dengan menggunakan spacing
ratio (Ks) sebesar 1,15.
Maka jarak spasi adalah, sebagai berikut :
S = 1,15 x 2,75
S = 3 meter

Square Pattern Square Staggered Slighty Rectanguler Rectanguler


Pattern Pattern Staggered Pattern

S=B S=B S =1,15 B S = 1,5 B

Gambar IV.2.
Distribusi Energi Peledakan

c. Sub Drilling
Pada saat ini penggunaan sub drilling sebesar 0,3 meter, bahkan ada
yang tidak menggunakan sub drilling sehingga lantai yang dihasilkan
relatif tidak rata dan banyak dijumpainya tonjolan-tonjolan (toe) pada
lantai jenjang. Dengan adanya hal ini banyak menimbulkan masalah pada
saat pemuatan, pengangkutan dan masalah boulder pada peledakan
selanjutnya. Dengan menggunakan burden sebesar 2,5 meter maka sub
drilling ratio yang didapat adalah 0,12. Besar sub drilling ratio ini masih
jauh lebih kecil dari ketentuan R.L.Ash yaitu minimal 0,2. Untuk itu perlu
dilakukan penambahan terhadap kedalaman sub drilling dari 0,3 menjadi
0,5 meter. Batas sub drilling ratioyang ditentukan oleh R.L.Ash adalah 0,2
– 0,3. Pemilihan nilai sub drilling ratio (Kj) minimal sebesar 0,2 pada
peledakan yang diharapkan karena posisi primer diletakkan di bagian
bawah, menurut R.L.Ash membutuhkan sub drilling lebih kecil dibanding
posisi primer pada bagian atas.
d. Kedalaman lubang tembak
Kedalaman lubang tembak merupakan penjumlahan antara tinggi
jenjang dengan sub drilling di mana tinggi jenjang yang ditentukan oleh
perusahaan adalah 6 meter, sehingga kedalaman lubang tembak yang
digunakan seharusnya 6,5 meter dengan memperhitungkan jarak sub
drilling yang dipakai. Kedalaman lubang tembak berpengaruh terhadap
jumlah bahan peledak yang digunakan untuk setiap lubang tembak.
e. Stemming
Penggunaan stemming saat ini sebesar 1,875 meter yang dinilai
kurang pas untuk kedalaman 6 m. Hal ini dikarenakan setelah peledakan
sering dijumpai adanya bagian atas jenjang yang menggantung atau
overhang serta sering dijumpai hasil peledakan dengan bongkah-bongkah
batuan yang berukuran besar. Penggunaan stemming ratio sebesar 0,75
saat ini sudah termasuk dalam batas yang ditentukan oleh R.L.Ash, yaitu
antara 0,5 – 1 akan tetapi melihat dari hasil peledakan perlu dilakukan
penyesuaian kembali dalam penggunaan stemming ratio. Dengan
mempertimbangkan adanya bidang ketidakmenerusan pada permukaan
yang berakibat pada gelombang energi ada yang dipantulkan dan ada yang
diteruskan sebelum mencapai bidang bebas sehingga energi ledakan
menjadi berkurang, juga mempertimbangkan posisi primer pada bagian
bawah lubang tembak maka tekanan gas ledakan lebih lama berada di
dalam lubang ledak sehingga tinggi stemming bisa lebih kecil dibanding
posisi primer di atas yang membutuhkan tinggi stemming yang lebih untuk
mengurung gas hasil ledakan, maka harga stemming ratio yang digunakan
diubah menjadi 0,7 . stemming ratio sebesar ini sudah sesuai dengan
percobaan-percobaan yang dilakukan oleh R.L.Ash dimana jika terdapat
bidang ketidakmenerusan pada permukaan maka nilai stemming ratio (Kt)
adalah 0,7.Sehingga besar stemming menjadi 1,75 meter.
f. Penggunaan Waktu Tunda
Penggunaan waktu tunda juga sangat penting agar tidak terjadi
interaksi antar lubang tembak yang saling berdekatan, dan lubang tembak
satu dengan yang lainnya mempunyai waktu yang cukup untuk
mengembang dan dan menghancurkan batuan yang ada di depannya.
Pemakaian waktu tunda yang digunakan saat ini adalah 25 ms yang
menurut perhitungan dinilai terlalu pendek, sehingga mengakibatkan
beban muatan dalam baris depan dapat menghalangi pergeseran pada baris
berikutnya, sehingga memungkinkan material pada baris di belakangnya
akan terlempar kearah vertikal.
Berdasarkan teori yang ada, yaitu dengan menggunakan rumus
Konya dapat dilakukan analisa terhadap peledakan yang dilakukan. Untuk
mendapatkan hasil peledakan yang baik maka digunakan tr sebesar 20
ms/m sehingga waktu tunda yang dipergunakan adalah 50 ms.
g. Pengisian Bahan Peledak
Bahan peledak yang digunakan adalah ANFO dan sebagai
penguatnya digunakan power gel. Saat ini jumlah bahan peledak yang
untuk tiap lubangnya adalah sebesar 26,8 kg dan powder factor sebesar
0,30475 kg/ton.

IV.9. Upaya Peningkatan Produksi Batugamping


Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, produksi batugamping hasil
peledakan adalah 15.095 ton dalam sekali peledakan atau 60.381 ton dalam sehari
atau 15.216.000 ton dalam setahun. Jika melihat target produksi yang direncanakan
oleh PT. United TractorSemen Gresik pada tahun 2015 adalah sebesar 20.138.946
ton, maka target produksi belum terpenuhi.
Untuk itu dilakukan kajian pada geometri peledakan agar dicapai hasil yang
optimal, sehingga target produksi dapat terpenuhi dan juga fragmentasi yang
dihasilkan juga sesuai dengan yang diharapkan. Dengan menggunakan metode R.L
Ash. Berdasarkan N37ºE, maka didapatkan geometri peledakan yang diharapkan
akan dapat menghasilkan produksi sebesar 20.304 ton dalam sekali peledakan,
sehingga batugamping yang dihasilkan dalam sehari adalah 81.216 ton, atau
20.466.432 ton dalam setahun.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan penentuan arah peledakan menurut R.L.Ash, maka
didapatkan Arah peledakan yang sebelumnya belum memperhatikan
struktur-struktur kekar yang ada, dan hanya mengikuti dari bidang bebas
yang sudah ada sebelumnya, perlu diubah arahnya yaitu menuju sudut
tumpul yang dibentuk oleh perpotongan antara kekar mayor dan kekar
minor yang ada di lapangan yaitu pada arah N 37°E
2. Berdasarkan geometri peledakan menurut R.L.Ash, maka didapatkan
geometri peledakan sebagai berikut:
 Penerapan jarak burden dan spasi saat ini masih bervariasi dan tidak
tetap, untuk itu perlu dilakukan penyesuaian dengan penggunaan
burden dan spasi sebesar 2,5 x 2,875 meter.
 Penentuan jarak stemming saat ini berkisar antara 1,8-2 meter perlu
dikurangi menjadi 1,75 meter.
 Penggunaan sub drilling perlu diperhatikan, karena masih banyak
dijumpai bahwa penggunaan sub drilling sering diabaikan. Untuk
menghindari timbulnya lantai jenjang yang tidak rata, maka perlu
digunakan sub drilling sebesar 0,5 meter.
3. Setelah dilakukan perhitungan maka produksi batugamping dapat
memenuhi sasaran produksi yang diharapkan PT. United Tractors Semen
Gresik di tahun 2015 yaitu 20.466.432 ton.

V.2. Saran
1. Agar menapatkan hasil yang maksimal dalam kegiatan peledakan, maka
arah peledakan perlu disesuaikan dengan kondisi struktur geologi
berdasarkan arah kekar yang terdapat di lokasi penambangan.
2. Perlunya pengawasan yang lebih pada saat kegiatan pengeboran
dilakukan sehingga sesuai dengan rencana penempatan lubang yang akan
dibor, Agar jarak dari geometri peledakan dapat sesuai dengan yang
direncanakan.
3. Pengisian bahan peledak sebaiknya dilakukan setepat mungkin begitu
juga dalam pemberian stemming perlu dilakukan pengawasan sehingga
dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana.
4. Pengawasan terhadap kegiatan pengeboran dan peledakan akan sangat
diperlukan untuk mencegah waktu kerja yang tidak produktif

Anda mungkin juga menyukai