Nama Peneliti
Ir. Dwi Putranto Waloeyo, M.T.
Fachrur Reza Assegaff
__________________________________________________________________
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
RINGKASAN
BAB I PENDAHULUAN
BAB II. STUDI PUSTAKA
BAB III METODE PENELITIAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RINGKASAN
Penelitian telah dilakukan di PT. United Tractors Semen Gresik di Desa
Sumberarum, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban Jawa Timur. Obyek yang
diteliti adalah aplikasi struktur geologi untuk optimalisasi kegiatan peledakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan arah peledakan berdasarkan
data struktur geologi di lokasi penambangan, serta mengoptimalisasi kegiatan
peledakan dengan menggunkan teori R.L.Ash sebagai upaya perbaikan geometri
peledakan dilapangan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa saat ini arah peledakan yang diterapkan
hanya memanfaatkan bidang bebas dan penerapan geometri peledakan dilapangan
hanya berdasarkan kondisi batuan yang dijumpai di masing-masing blok.
Berdasarkan teori R.L.Ash, arah peledakan yang optimal adalah pada sudut tumpul
perpotongan kedua arah umum dilapangan, maka dari data hasil struktur geologi
dilapangan diambil sudut tumpul dari perpotongan kedua arah kekar dan didapatkan
arah peledakan yaitu N37°E.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada pembuatan semen dibutuhkan bahan baku atau terak yang terdiri dari
batugamping sebesar 75,95%, tanah liat sebesar 20,94%, pasir besi sebesar 1,90%,
dan pasir kwarsa sebesar 1,21%. Kemudian terak ini dicampur dengan gypsum
dengan perbandingan antara terak dengan gypsum adalah 95% : 5%.
Kegiatan penambangan batugamping yang dilakukan oleh PT. United Tractor
Semen Gresik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku semen yang
diproduksi oleh PT. Semen Gresik yaitu sebesar 14.868.000 ton/tahun. Untuk itu
PT. United Tractor Semen Gresik pada tahun 2015 ini menargetkan produksi
batugamping sebesar 20.138.946ton/tahun (Lampiran C).
Melihat sifat fisik dan mekanik dari overburden serta disadari bahwa lapisan
tersebut bukan sasaran bisnis tambang, maka diperlukan suatu teknik peledakan
yang ekonomis, efisien dan ramah lingkungan. Perolehan material dapat menutupi
semua biaya operasi termasuk pemindahan overburden.
Keberhasilan suatu operasi peledakan yang optimal secara teknis biasanya
tidak diraih seketika, melainkan harus melewati beberapa percobaan dengan
mengubah-ubah parameter peledakan sampai akhirnya diperoleh hasil yang
memuaskan.
Lokasi penambangan batugamping terletak di Kecamatan Kerek, Tuban, Jawa
Timur. Pembongkaran batu gamping dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara
penggaruan dan penggusuran untuk batugamping yang relatif lunak, dan pemboran
dan peledakan untuk batugamping yang relatif keras. Dengan perincian, penggaruan
dan penggusuran 20% dan pemboran dan peledakan 80%.
Kegiatan pemboran dan peledakan bertujuan untuk membongkar
batugamping dari batuan induk dengan fragmentasi batuan yang relatif seragam dan
diharapkan akan memudahkan kegiatan penambangan selanjutnya seperti
pemuatan, pengangkutan, dan peremukan. Ukuran fragmentasi batuan yang
dibutuhkan oleh perusahaan yaitu ≤ 80 cm. Hal ini disesuaikan dengan ukuran
maksimum dari mulut alat peremuk batuan dalam menerima umpan.
BAB II
STUDI PUSTAKA
II.1. Proses Pembentukan Batugamping
Batugamping (limestone) CaCO3 adalah batuan sedimen terdiri dari mineral
calcite (kalsium karbonat). Sumber utama dari calcite ini adalah organisme laut.
Organisme ini mengeluarkan shell yang keluar dan terdeposit di lantai samudera
sebagai pelagic ooze. Calcite sekunder juga dapat terdeposit oleh air meteorit
tersupersaturasi (air tanah yang presopirasi material di gua). Ini menciptakan
speleothem seperti stalagmite dan stalagtit. Bentuk yang lebih jauh terbentuk dari
Oolite (batukapur Oolite) dan dapat dikenali dengan penampilanya yang granular.
Batukapur membentuk 10% dari seluruh volume batuan sedimen.
Berdasarkan cara terbentuknya, batugamping dibagi menjadi tiga:
1. Organik : Pengendapan binatang kerang/cangkang siput, foraminifera
dank oral
2. Mekanik : Bahanya sama dengan organik, yang berbeda hanya terjadi
perombakan dari batu gamping tersebut yang kemudian
terbawa arus dan diendapkan tidak terlalu jauh dari tempat
semula
3. Kimia : Terjadi pada kondisi iklim dan suasana lingkungan tertentu
dalam air laut atau air tawar
Untuk batugamping yang terjadi secara mekanik, bahannya tidak jauh
berbeda dengan jenis batugamping yang terjadi secara organik. Selain itu, mata air
mineral dapat pula mengendapkan batugamping. Jenis batugamping ini terjadi
karena peredaran air panas alam yang melarutkan lapisan batugamping dibawah
permukaan yang kemudian diendapkan kembali dipermukaan bumi. Lempung dan
pasir merupakan unsur pengotor yang mengendap bersama-sama pada saat proses
pengendapan. Keberadaan pengotor batugamping memberikan klasifikasi jenis
batugamping. Apabila pengotornya magnesium, maka batugamping tersebut
diklasifikasikan sebagai batugamping dolomitan, Begitu juga apabila pengotornya
lempung, maka batukapur tersebut diklasifikasikan sebagai batugamping
lempungan, dan batugamping pasiran apabila pengotornya pasir. Prosentase unsur-
unsur pengotor sangat berpengaruh terhadap warna batukapur tersebut, yaitu mulai
dari warna putih susu, abu-abu muda, abu-abu tua, coklat bahkan hitam.
Batugamping dapat bersifat keras dan padat, tetapi dapat pula kebalikanya.
Batugamping yang mengalami metamorfosa akan berubah penampakanya maupun
sifat-sifatnya. Hal ini terjadi karena pengaruh tekanan maupun panas, sehingga
batugamping tersebut menjadi berhablur.
Dibeberapa daerah endapan batugamping seringkali ditemukan di gua dan
sungai bawah tanah. Hal ini terjadi sebagai akibat reaksi tanah. Air hujan yang
mengandung CO3 dari udara maupun dari hasil pembusukan zat-zat organik
dipermukaan, setelah meresap kedalam tanah dapat melarutkan batugamping yang
dilaluinya. Reaksi kimia dari proses tersebut adalah sebagai berikut
𝐶𝑎𝐶𝑂3 + 2 𝐶𝑂2 + 𝐻2 𝑂 ⇆ 𝐶𝑎(𝐻𝐶𝑂3 )2 + 𝐶𝑂2 𝐶𝑎 (𝐻𝐶𝑂3 )2
Secara geologi, batugamping erat sekali hubunganya dengan dolomit.
Karena pengaruh pelindian atau peresapan unsur magnesium dari air-air laut
kedalam batugamping, maka batugamping tersebut dapat berubah menjadi
dolomitan atau jadi dolomit. Kadar dolomit atau MgO dalam batugamping yang
berbeda akan memberikan klasifikasi yang berlainan pula pada jenis batugamping
tersebut.
Adapun deskripsi dari batugamping adalah sebagai berikut :
1. Warna : Putih,putih kecoklatan, dan putih keabuan
2. Kilap : Kaca, dan tanah
3. Goresan : Putih sampai putih keabuan
4. Bidang belahan : Tidak teratur
5. Pecahan : Uneven
6. Kekerasan : 2,7 – 3,4 skala mohs
7. Berat Jenis : 2,387 Ton/m3
8. Tenacity : Keras, Kompak, sebagian berongga
Gambar II.2.
Lipatan Anticline dan Lipatan Syncline
Gambar II.3.
Sesar
Istilah-istilah penting yang berhubungan dengan gejala sesar antara lain:
1. Bidang Sesar
Merupakan bidang rekahan pada batuan yang telah mengalami pergeseran
2. Bagian-bagian yang tersesarkan (tergeser)
Bagian ini terdiri dari Hanging Wall dan Foot Wall
a. Hanging Wall (Atap Sesar), adalah bongkahan patahan yang berada
dibagian atas bidang sesar.
b. Foot Wall (Alas Sesar), adalah bongkahan patahan yang berada
dibagian bawah sesar.
3. Throw dan Heave
a. Throw, adalah yang memisahkan lapisan yang terpatahkan dan diukur
pada sesar dalam bidang tegak lurus padanya.
b. Heave, adalah jarak horizontal yang diukur normal pada sesar yang
memisahkan bagian-bagian dari lapisan yang terpatahkan.
Berdasarkan pada sifat geraknya, sesar dapat dibedakan menjadikan 3 jenis
yaitu:
1. Sesar Normal, yaitu gerak relatif Hanging Wall turun terhadap Foot Wall
dan disebut juga sebagai sesar turun.
2. Sesar Naik, yaitu gerak relatif Hanging Wall naik terhadap Foot Wall.
3. Sesar Mendatar, yaitu gerak relatif mendatar pada bagian-bagian yang
tersesarkan.
Gambar II.4.
Arah Lubang Tembak Searah dengan Dip
Gambar II.5.
Arah Lubang Tembak Berlawanan dengan Dip
Gambar II.6.
Pengaruh Arah Lubang Tembak
Gambar II.7.
Pola Pemboran Segiempat (Square Pattern)
Gambar II.8.
Pola Pemboran Segi Empat (Square Rectanguler Pattern)
Gambar II.9.
Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Square Pattern)
Gambar II.10.
Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Rectanguler Pattern)
Gambar II.13.
Arah peledakan menuju sudut tumpul
II.6. Fragmentasi Batuan
Fragmentasi hasil peledakan merupakan salah satu petunjuk untuk dapat
mengetahui keberhasilan dari suatu peledakan selain powder factor. Karena apabila
dalam suatu peledakan, powder factor tercapai tetapi tidak menghasilkan ukuran
fragmentasi yang diinginkan, maka peledakan tersebut belum bisa dikatakan
berhasil.
Untuk pengukuran fragmentasi hasil peledakan, dilakukan dengan analisa
produktivitas alat muat dan alat angkut, Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai
berikut :
1. Mengukur volume batuan hasil peledakan yang berukuran kurang dari 80
cm. Hal ini dilakukan dengan cara batuan yang lebih kecil dari 80 cm
kemudian diangkut ke dump truck menuju ke unit peremuk batuan.
Sedangkan untuk batuan yang lebih dari 80 cm atau bongkah batuan
dipisahkan untuk dilakukan pemecahan ulang dengan menggunakan rock
breaker. Berat batuan yang masuk yang masuk ke unit peremuk batuan,
dihitung dengan mengalikan jumlah rit pengangkutan, dan berat rata-rata
muatan truk.
2. Tingkat fragmentasi batuan. Dari pengukuran tersebut di atas maka
volume batuan yang tidak dapat diangkut oleh alat muat dan alat angkut,
maka dianggap sebagai bongkah batuan (boulder). Boulder tersebut
kemudian dikumpulkan pada suatu tempat kemudian dilakukan
pemecahan ulang dengan menggunakan rock breaker. Kemudian batuan
tersebut setelah di breaker dan mempunyai ukuran kurang dari 80 cm,
maka bisa diangkut oleh dump truck menuju ke unit peremuk, kemudian
dilakukan pencatatan berapa kali dump truck tersebut melakukan
pengangkutan terhadap batuan hasil pemecahan ulang.
BAB III
METODE PENELITIAN
MULAI
PERUMUSAN MASALAH
TUJUAN PENELITIAN
PENGUMPULAN DATA
PENGOLAHAN DATA
ANALISA DATA
SELESAI
Gambar III.1
Diagram alir Penilitian
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Burden (B)
Burden yang diterapkan saat ini adalah 2,75 meter
b. Spasi (S)
Spasi yang diterapkan saat ini adalah bervariasi antara 3,5 meter,
dengan harga Ks adalah 1,2.
c. Stemming (T)
Stemming yang digunakan pada operasi peledakan saat ini adalah
1,875 meter dengan Kt sebesar 0,75.
d. Subdrilling (J)
Pada operasi peledakan di kuari Tuban, saat ini jarang sekali
menggunakan subdrilling, kalaupun ada itu hanya pada blok tertentu saja
dan besarnya adalah 0,3 meter.
e. Kedalaman lubang bor (H)
Kedalaman lubang tembak tidak boleh lebih kecil dari burden untuk
mencegah terjadinya overbreak. Kedalaman lubang merupakan
penjumlahan tinggi jenjang dan subdrilling dan besarnya rata-rata adalah
6 – 6,3 meter.
f. Tinggi jenjang (L)
Besarnya tinggi jenjang sudah ditentukan oleh peralatan bor dan alat
muat yang tersedia, dan besarnya tinggi jenjang saat ini rata-rata adalah 6
meter.
g. Panjang kolom isian (Pc)
Merupakan panjang dari lubang bor yang diisi bahan peledak dan
besarnya saat ini adalah 4,34 meter.
h. Pola Pemboran dan Pengaturan Peledakan
Pola pemboran yang diterapkan saat ini di kuari Tuban adalah zig-
zag atau selang-seling, sedangkan arah pengembangan volume selama
peledakan yaitu corner cut dengan pola peledakan serentak tiap baris dan
beruntun untuk baris berikutnya dengan delay detonator untuk waktu
tunda.
i. Waktu Tunda
Satuan waktu tunda yang digunakan adalah millisecond (ms),
besarnya waktu tunda yang dimiliki pada tiap-tiap nomor detonator
mempunyai perbedaan selang waktu penyalaan selama 25 millisecond.
Nomor detonator yang tersedia mulai dari nomor 1 sampai dengan nomor
10. Dalam satu baris setiap lubang tembak dipasang delay detonator
dengan nomor yang sama. Sedangkan pada tiap baris yang berbeda
digunakan nomor yang berbeda.
j. Pemakaian Bahan Peledak
Dari hasil pengamatan di lapangan bahan peledak yang diisikan ke
dalam satu lubang tembak adalah sekitar 23,8 kg. Sedangkan bahan
peledak yang dipakai adalah ANFO dengan perbandingan Amonium Nitrat
dengan Fuel Oil adalah 94,5% dengan 5,5%. Dan untuk percampurannya
dilakukan pada kendaraan ANFO Mixer Aresco.
k. Arah Peledakan
Pemilihan arah dari peledakan pada saat ini masih didasarkan pada
posisi alat-alat mekanis yang berada di sekitar operasi peledakan, posisi
jalan tambang, serta tempat peremuk batuan tanpa memperhatikan faktor
struktur kekar dan kondisi lapangan yang ada.
N 37° E
Gambar IV.1.
Arah Peledakan Yang Disarankan.
IV.8. Upaya Perbaikan Fragmentasi
Dalam usaha untuk memperbaiki fragmentasi batuan dengan metode
peledakan, yaitu untuk mendapatkan ukuran batuan hasil peledakan dengan ukuran
kurang dari 80 cm, maka akan dibahas beberapa hal yang berhubungan dengan
perbaikan fragmentasi, yang antara lain tentang geometri peledakan dan arah
peledakannya.
IV.8.1. Geometri Peledakan
Untuk menentukan geometri peledakan digunakan lima dasar besaran
geometri peledakan yang semua besaran tersebut dibandingkan dengan ukuran
burden yang sudah dikoreksi. Sebagai pendekatan digunakan metode dari R.L.Ash.
a. Burden
Penggunaan burden sebesar 2,75 meter saat ini sudah sesuai akan
tetapi masih perlu diterapkan secara pasti bahwa burden yang dipakai
adalah 2,5 meter karena apabila menggunakan burden yang lebih besar
maka akan mengakibatkan boulder yang lebih banyak lagi. Hal ini
disebabkan karena jarak ke arah free face terlalu jauh, sehingga gelombang
kejut yang berasal dari lubang ledak ketika menuju free face akan
menghasilkan gelombang pantul yang tidak cukup menyebabkan
terjadinya rekahan-rekahan pada free face dan gelombang kejut yang
berasal dari lubang tembak lebih banyak diteruskan ke dalam batuan, dan
hanya menghasilkan getaran yang cukup besar.
b. Spasi
Panjang spasi ditentukan oleh besarnya nilai burden dan pola
peledakan, di mana perbandingan antara panjang spasi dengan burden
tergantung dari distribusi energi peledakan yang optimal, sehingga daerah-
daerah yang berpotensial mengakibatkan bongkah batuan dapat dikurangi.
Spasi yang saat ini diterapkan adalah 3,5 meter dan pola peledakan
yang digunakan adalah serentak dalam satu baris dan beruntun untuk baris
selanjutnya. Nilai spasi sebesar 3,5 meter ini dinilai masih cukup besar,
sehingga daerah-daerah yang berpotensial untuk menghasilkan bongkah
batuan masih cukup luas. Menurut Dyno Nobel, untuk penggunaan pola
peledakan selang-seling (staggered pattern) akan menghasilkan distribusi
energi peledakan yang optimum apabila spasi yang diterapkan adalah
seharga 1,15 x B. Oleh karena itu maka dianggap perlu untuk melakukan
pengurangan terhadap jarak spasi yaitu dengan menggunakan spacing
ratio (Ks) sebesar 1,15.
Maka jarak spasi adalah, sebagai berikut :
S = 1,15 x 2,75
S = 3 meter
Gambar IV.2.
Distribusi Energi Peledakan
c. Sub Drilling
Pada saat ini penggunaan sub drilling sebesar 0,3 meter, bahkan ada
yang tidak menggunakan sub drilling sehingga lantai yang dihasilkan
relatif tidak rata dan banyak dijumpainya tonjolan-tonjolan (toe) pada
lantai jenjang. Dengan adanya hal ini banyak menimbulkan masalah pada
saat pemuatan, pengangkutan dan masalah boulder pada peledakan
selanjutnya. Dengan menggunakan burden sebesar 2,5 meter maka sub
drilling ratio yang didapat adalah 0,12. Besar sub drilling ratio ini masih
jauh lebih kecil dari ketentuan R.L.Ash yaitu minimal 0,2. Untuk itu perlu
dilakukan penambahan terhadap kedalaman sub drilling dari 0,3 menjadi
0,5 meter. Batas sub drilling ratioyang ditentukan oleh R.L.Ash adalah 0,2
– 0,3. Pemilihan nilai sub drilling ratio (Kj) minimal sebesar 0,2 pada
peledakan yang diharapkan karena posisi primer diletakkan di bagian
bawah, menurut R.L.Ash membutuhkan sub drilling lebih kecil dibanding
posisi primer pada bagian atas.
d. Kedalaman lubang tembak
Kedalaman lubang tembak merupakan penjumlahan antara tinggi
jenjang dengan sub drilling di mana tinggi jenjang yang ditentukan oleh
perusahaan adalah 6 meter, sehingga kedalaman lubang tembak yang
digunakan seharusnya 6,5 meter dengan memperhitungkan jarak sub
drilling yang dipakai. Kedalaman lubang tembak berpengaruh terhadap
jumlah bahan peledak yang digunakan untuk setiap lubang tembak.
e. Stemming
Penggunaan stemming saat ini sebesar 1,875 meter yang dinilai
kurang pas untuk kedalaman 6 m. Hal ini dikarenakan setelah peledakan
sering dijumpai adanya bagian atas jenjang yang menggantung atau
overhang serta sering dijumpai hasil peledakan dengan bongkah-bongkah
batuan yang berukuran besar. Penggunaan stemming ratio sebesar 0,75
saat ini sudah termasuk dalam batas yang ditentukan oleh R.L.Ash, yaitu
antara 0,5 – 1 akan tetapi melihat dari hasil peledakan perlu dilakukan
penyesuaian kembali dalam penggunaan stemming ratio. Dengan
mempertimbangkan adanya bidang ketidakmenerusan pada permukaan
yang berakibat pada gelombang energi ada yang dipantulkan dan ada yang
diteruskan sebelum mencapai bidang bebas sehingga energi ledakan
menjadi berkurang, juga mempertimbangkan posisi primer pada bagian
bawah lubang tembak maka tekanan gas ledakan lebih lama berada di
dalam lubang ledak sehingga tinggi stemming bisa lebih kecil dibanding
posisi primer di atas yang membutuhkan tinggi stemming yang lebih untuk
mengurung gas hasil ledakan, maka harga stemming ratio yang digunakan
diubah menjadi 0,7 . stemming ratio sebesar ini sudah sesuai dengan
percobaan-percobaan yang dilakukan oleh R.L.Ash dimana jika terdapat
bidang ketidakmenerusan pada permukaan maka nilai stemming ratio (Kt)
adalah 0,7.Sehingga besar stemming menjadi 1,75 meter.
f. Penggunaan Waktu Tunda
Penggunaan waktu tunda juga sangat penting agar tidak terjadi
interaksi antar lubang tembak yang saling berdekatan, dan lubang tembak
satu dengan yang lainnya mempunyai waktu yang cukup untuk
mengembang dan dan menghancurkan batuan yang ada di depannya.
Pemakaian waktu tunda yang digunakan saat ini adalah 25 ms yang
menurut perhitungan dinilai terlalu pendek, sehingga mengakibatkan
beban muatan dalam baris depan dapat menghalangi pergeseran pada baris
berikutnya, sehingga memungkinkan material pada baris di belakangnya
akan terlempar kearah vertikal.
Berdasarkan teori yang ada, yaitu dengan menggunakan rumus
Konya dapat dilakukan analisa terhadap peledakan yang dilakukan. Untuk
mendapatkan hasil peledakan yang baik maka digunakan tr sebesar 20
ms/m sehingga waktu tunda yang dipergunakan adalah 50 ms.
g. Pengisian Bahan Peledak
Bahan peledak yang digunakan adalah ANFO dan sebagai
penguatnya digunakan power gel. Saat ini jumlah bahan peledak yang
untuk tiap lubangnya adalah sebesar 26,8 kg dan powder factor sebesar
0,30475 kg/ton.
5.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan penentuan arah peledakan menurut R.L.Ash, maka
didapatkan Arah peledakan yang sebelumnya belum memperhatikan
struktur-struktur kekar yang ada, dan hanya mengikuti dari bidang bebas
yang sudah ada sebelumnya, perlu diubah arahnya yaitu menuju sudut
tumpul yang dibentuk oleh perpotongan antara kekar mayor dan kekar
minor yang ada di lapangan yaitu pada arah N 37°E
2. Berdasarkan geometri peledakan menurut R.L.Ash, maka didapatkan
geometri peledakan sebagai berikut:
Penerapan jarak burden dan spasi saat ini masih bervariasi dan tidak
tetap, untuk itu perlu dilakukan penyesuaian dengan penggunaan
burden dan spasi sebesar 2,5 x 2,875 meter.
Penentuan jarak stemming saat ini berkisar antara 1,8-2 meter perlu
dikurangi menjadi 1,75 meter.
Penggunaan sub drilling perlu diperhatikan, karena masih banyak
dijumpai bahwa penggunaan sub drilling sering diabaikan. Untuk
menghindari timbulnya lantai jenjang yang tidak rata, maka perlu
digunakan sub drilling sebesar 0,5 meter.
3. Setelah dilakukan perhitungan maka produksi batugamping dapat
memenuhi sasaran produksi yang diharapkan PT. United Tractors Semen
Gresik di tahun 2015 yaitu 20.466.432 ton.
V.2. Saran
1. Agar menapatkan hasil yang maksimal dalam kegiatan peledakan, maka
arah peledakan perlu disesuaikan dengan kondisi struktur geologi
berdasarkan arah kekar yang terdapat di lokasi penambangan.
2. Perlunya pengawasan yang lebih pada saat kegiatan pengeboran
dilakukan sehingga sesuai dengan rencana penempatan lubang yang akan
dibor, Agar jarak dari geometri peledakan dapat sesuai dengan yang
direncanakan.
3. Pengisian bahan peledak sebaiknya dilakukan setepat mungkin begitu
juga dalam pemberian stemming perlu dilakukan pengawasan sehingga
dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana.
4. Pengawasan terhadap kegiatan pengeboran dan peledakan akan sangat
diperlukan untuk mencegah waktu kerja yang tidak produktif