SKRIPSI
REVIA ADINI
1506676701
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JANUARI 2019
UNIVERSITAS INDONESIA
SKRIPSI
REVIA ADINI
1506676701
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
KEKHUSUSAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
DEPOK
JANUARI 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat unuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas
Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan hingga pada masa penyusunan skripsi ini maka akan sangat sulit
bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. Tri Hayati S.H., M.H. selaku dosen pembimbing peneliti, yang ditengah –
tengah kesibukannya telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.
2. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, khususnya pada
bidang studi Hukum Administrasi Negara yang telah sangat berjasa dalam
memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama masa
perkuliahan
3. Bapak Heriyanto S.H., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang
telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis dalam rangka
penyusunan skripsi penulis
4. Sahabat – sahabat penulis, Agnia Nurrahma Dewi, Dinda Rizqiyatul Himmah,
Githa Dwi Damara, Zhakirah Zatalini Irawan, Fira Adhisa, Shinta Widiastuty,
Hanif Junisaf Ahmad, Rizka Hartati, Indah Anindya, Bagus Ramasha
Amangku, Irfandhia Rahman, Azalea Dewi Aisyah, Vega Amalia, Salsabila
Siliwangi Surtiwa, Chitra Dwi Risqi yang selalu hadir untuk penulis untuk
memberikan dukungan, masukan dan mendengarkan keluh kesah
5. Teman – teman peminatan Hukum Administrasi Negara FHUI, Syifa Ulhadira,
Hana Farida, Astrid Josephine Aritonang, Haura Klarisa, Seno Adi Respati,
Ivan Abdul Aziz, Priska Putri Andini, Nindya Putri Ferina yang begitu
kooperatif dalam memberikan ide – ide dalam penulisan skripsi ini dan telah
banyak membantu penulis semasa perkuliahan di FHUI
6. Keluarga besar Recht Basketball Club FHUI, M. Yusuf Rashidi S.H., Ratna
Hanifa S.H., Mentari Rania S.H., Fitria Hana S.H., Avitya Danastri S.H.,
Mochammad Iqbal Cakra Buana, Shabrina Khansa, Naufal Fauzan Praktikto,
iv
ABSTRAK
vii
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... iii
KATA PENGANTAR................................................................................................ iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.................................. vi
ABSTRAK.................................................................................................................. vii
DAFTAR ISI............................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN............................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 11
C. Tujuan Penelitian............................................................................................... 11
D. Definisi Operasional.......................................................................................... 12
E. Metode Penelitian.............................................................................................. 14
F. Kegunaan Penelitian.......................................................................................... 19
G. Sistematika Penulisan........................................................................................ 20
ix
1. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan di Bidang Pertambangan sebelum Berlakunya Undang –
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah................... 79
2. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan di bidang Pertambangan setelah berlakunya Undang –
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah................... 89
B. Berakhirnya Izin Usaha Pertambangan dalam Undang – Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara......................................................... 97
1. Pemegang IUP Tidak Memenuhi Kewajiban yang ditetapkan dalam
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009..................................................... 93
2. Pemegang IUP melakukan Tindak Pidana.................................................. 105
3. Pemegang IUP dinyatakan Pailit................................................................ 106
C. Pencabutan Izin Usaha Pertambangan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor
34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara............................................................................................................. 107
D. Sertifikat Clear and Clean dalam Kegiatan Pertambangan................................. 110
x
1) Penolakan Masyarakat terhadap Kegiatan Pertambangan Batubara
di Pulau Laut................................................................................... 143
2) Tidak Dilaksanakannya Kegiatan Selama 3 (Tiga) Tahun Setelah
Dimilikinya Izin Lingkungan.......................................................... 164
3) Pemerintah Provinsi Gubernur Kalimantan Selatan Tidak
Memiliki Salinan Izin Lingkungan milik PT Sebuku Batubai
Coal................................................................................................ 168
c. Prosedur yang dilakukan Gubernur Kalimantan Selatan dalam
Mencabut Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT Sebuku
Batubai Coal......................................................................................... 172
BAB V Penutup
5.1 Kesimpulan........................................................................................................ 178
5.2 Saran................................................................................................................... 180
LAMPIRAN............................................................................................................ 193
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
DAFTAR SINGKATAN
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber dayaNomordiperbaharui
(renewable resources) maupun yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable
resources). Adapun yang dimaksud dengan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui adalah sumber daya yang dapat tumbuh kembali atau tergantikan
1
dalam jangka waktu yang singkat. Contohnya seperti air yang dapat
menghasilkan energi air (hydropower), energi panas bumi (geothermal), energi
surya (cahaya matahari), biofuel (bahan bakar bio) dan lain - lain. Sebaliknya,
yang dimaksud dengan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui adalah
sumber daya yang tidak dapat ditumbuhkan kembali dengan skala yang sebanding
dengan konsumsinya.2 Hal ini juga dapat dimaknai bahwa sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui merupakan sumber daya yang apabila digunakan dapat
tumbuh kembali namun dengan jangka waktu yang cukup lama, yakni sekitar
ratusan juta tahun lamanya. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
tersebut meliputi batubara yang dapat menghasilkan energi batubara (coal
energy), minyak dan gas bumi (oil and natural gas energy), dan nuklir (nuclear
energy).3
Indonesia sendiri merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang),
bahan galian tersebut meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi,
batubara, dan lain-lain.4 Menurut BP Statistical Review of World Energy 2017,
pada tahun 2016 Indonesia menduduki peringkat 5 produsen batubara terbesar di
1
Md. Diaz Murshed Chowdury, Samim Uddin, Sumaiya Saleh, “Present Scenario of
Renewable and Non-Renewable Resources in Bangladesh: A Compact Analysis”, International
Journal of Sustainable and Green Energy, p. 164.
2
Ibid.
3
North Georgia Electric Membership Corporatis (NGEMC)AP “Renewable and Non-
Renewable Energy”
https://www.ngemc.com/sites/ngemc/files/ERSY/LP%202.9%20Renewable%20and%20Nonrene
wable%20Energy.pdf diakses 13 September 2018
4
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, Ed. 1 Cet. 6 (Depok: PT Rajagrafindo
Persada, 2012), hlm. 1.
Universitas Indonesia
2
dunia dengan jumlah volume produksi batubara sebesar 255,7 (setara dengan
jutaan ton minyak).5 Begitu besarnya peranan sektor pertambangan semakin terasa
dengan adanya fakta bahwa pertambangan termasuk dalam lima sektor terbesar
penerimaan pajak yang berkontribusi sekitar 76% dari total penerimaan menurut
data Kementerian Keuangan Negara Republik Indonesia.6
Besarnya peran sektor pertambangan dalam penerimaan negara juga
diimbangi dengan adanya 8.254 IUP yang diterbitkan oleh Dirjen Minerba
Kementerian ESDM pada tahun 2017.7 Adanya 8.254 IUP yang telah di terbitkan
mengindikasikan bahwa sektor pertambangan di Indonesia cukup diminati oleh
banyak pelaku usaha. 8 Oleh karenanya, untuk dapat menjaga kestabilan dari
keberlangsungan sektor pertambangan sangatlah perlu untuk memperhatikan
pengelolaan dan pembinaan sektor pertambangan itu sendiri.
Melihat begitu besarnya peran dari sektor pertambangan, industri energi dan
sumber daya mineral, khususnya pertambangan, harus dikelola dengan prinsip
seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan
serta berkeadilan agar memperoleh tujuan utama yaitu sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.9 Dalam konstitusi Republik Indonesia,
khususnya Pasal 33 ayat (3) Undang - Undang Dasar 1945 juga telah
diamanatkan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Arti istilah “dikuasai” atau “penguasaan” dalam Pasal tersebut adalah sebuah
konstruksi hukum yang berarti hubungan hukum yang sifatnya penguasaan fisik
5
“Batubara” https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/batu-
bara/item236? diakses 13 September 2018.
6
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, APBN KITA (Kinerja dan Fakta), APBN
2017: Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Hingga Ujung Negeri, edisi Januari 2018, hlm. 6.
7
Jeany Hartriani, “2.522 Izin Tambang Berstatus Non C&C”
https://katadata.co.id/infografik/2017/06/06/2522-izin-tambang-berstatus-non-cc diakses 13
September 2018.
8
Ibid.
9
Martha Pigome, “Politik Hukum Pertambangan Indonesia dan Pengaruhnya pada
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah”, MMH Jilid 40 No. 2 April 2011, hlm.
215.
Universitas Indonesia
3
10
Bono Budi Priambodo, “Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam”, Hukum Administrasi Negara Sektoral, (Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan Center for Law and Good Governance Studies, 2016), hlm. 152.
11
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press Yohyakarta, 2004), hlm.
22.
12
Ibid., hlm. 75
13
Ibid., hlm. 76.
14
Ibid.
Universitas Indonesia
4
15
Indonesia, Surat Edaran Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tentang
Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah sebagai
Pelaksana Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, SE Departemen ESDM No. 03.E/31/DJB/2009,
Bagian A Angka 1.
Universitas Indonesia
5
Universitas Indonesia
6
19
Joko Panji Sasongko, “Banyak Bupati belum serahkan Data Izin Tambang ke
Gubernur” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160830212031-12-154986/banyak-bupati-
belum-serahkan-data-izin-tambang-ke-gubernur diakses 13 September 2018.
20
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM No. 43
Tahun 2015 BN No. 2015 Tahun 2015, ps. 5 ayat (2).
21
Ibid., Ps. 17.
Universitas Indonesia
7
Universitas Indonesia
8
Universitas Indonesia
9
Universitas Indonesia
10
31
“Soenarko Direktur Utama PT Silo: Haji Islam seperti Kepala Negara”
https://majalah.tempo.co/read/155279/soenarko-direktur-utama-pt-silo-haji-isam-seperti-kepala-
negara diakses 13 September 2018.
Universitas Indonesia
11
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terbagi menjadi dua yaitu tujuan penelitian umum dan tujuan
penelitian khusus.
Universitas Indonesia
12
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan
gambaran konsep mengenai teori dan praktik pencabutan izin usaha
pertambangan yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Tujuan Khusus
Disamping itu terdapat tujuan penelitian khusus sebagai berikut:
a) Untuk dapat menganalisis dan mengetahui bagaimana kewenangan yang
dimiliki oleh gubernur dalam pencabutan Izin Usaha Pertambangan
setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
b) Untuk menganalisis apakah Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan
dalam mencabut izin usaha pertambangan milik PT Sebuku Batubai Coal
sudah sesuai dengan kewenangan, prosedur, dan substansi-nya.
c) Untuk menambah pengetahuan penulis dalam penulisan di bidang hukum
khususnya mengenai hukum pertambangan.
D. Definisi Operasional
Dalam penelitian ini digunakan pengertian - pengertian atas terminologi
berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia:
1. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas – luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.32
2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.33
32
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014,
LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5589, Ps. 1 angka 2.
33
Ibid., Ps. 1 angka 3.
Universitas Indonesia
13
34
Indonesia, Undang Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4
Tahun 2009, LN No. 4 Tahun 2009, TLN No. 4959, Ps. 1 Angka 1.
35
Ibid., ps. 1 Angka 3
36
Ibid., ps. 1 Angka 4.
37
Ibid., ps. 1 Angka 5.
38
Ibid., ps.1 Angka 7.
39
Ibid., ps. 1 Angka 8.
40
Ibid., ps. 1 Angka 9.
Universitas Indonesia
14
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau
beberapa gejala, dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut, untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
41
Ibid., ps. 1 Angka 29,
42
Ibid., ps.. 1 Angka 30.
43
Ibid., ps.. 1 Angka 31.
44
Ibid., ps. 1 Angka 11.
45
Ibid., ps. 1 Angka 35.
46
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, PP
No. 26 Tahun 2008, LN No. 48 Tahun 2008, TLN No. 4833, Ps. 1 Angka 1.
Universitas Indonesia
15
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
yuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.50 Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai data utama untuk
menganilisis kasus. Wawancara yang penulis lakukan ditujukan untuk
memperkuat analisis penulis dan bukan sebagai data utama dalam penyusunan
penulisan ini.
Disamping itu, penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan dan juga pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan
digunakan untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum
pemerintahan daerah dan hukum pertambangan di Indonesia, sedangkan
pendekatan kasus bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau
kaidah hukum yang dilakukan dalam prakteknya. Pendekatan kasus yang
47
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI Press, 2010),
hlm. 2-3.
48
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2003), hlm 1.
49
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum……., hlm. 43.
50
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang;
Bayumedia Publishing), hlm. 295.
Universitas Indonesia
16
penulis teliti dalam penulisan ini adalah kasus pencabutan Izin Usaha
Pertambangan Operasi milik PT Sebuku Batubai Coal di Kalimantan Selatan
oleh Gubernur Kalimantan Selatan.
2. Tipologi Penelitian
Tipologi penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
penelitian terhadap efektivitas hukum. Khususnya terhadap efektivitas regulasi
terkait dengan kewenangan gubernur dalam hal pencabutan izin usaha
pertambangan setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dalam studi kasus Surat Keputusan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT. Sebuku Batubai Coal.
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data tersebut
meliputi Peraturan Perundang-Undangan di bidang pemerintahan daerah dan
pertambangan di Indonesia, data-data terkait Surat Keputusan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT. Sebuku Batubai Coal,
wawancara dengan Bapak Heriyanto, S.H., M.H., selaku Kepala Biro Hukum
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral yang sekaligus sebagai saksi ahli dalam kasus yang penulis
angkat, serta data yang diperoleh dari studi kepustakaan.
Universitas Indonesia
17
Universitas Indonesia
18
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data-data tersebut diperoleh dari peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan mineral dan batubara
serta bahan kepustakaan lainnya dan data - data terkait Keputusan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT. Sebuku Batubai Coal.
Pada tahap ini, data yang telah diperoleh pada tahap pengumpulan data
akan diolah dengan pemeriksaan atau validasi data lapangan dan editing. Data
yang diperoleh dari kegiatan pengumpulan data melalui studi kepustakaan
Universitas Indonesia
19
kemudian diperiksa dan dijaga konsistensinya antara data yang satu dengan
yang lainnya. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif yang akan disajikan dalam bentuk deskriptif analitis. Sesuai dengan
teknik pengumpulan data yang bersifat kualitatif, peneliti akan mendapatkan
gambaran yang jelas tentang pengaturan mengenai pencabutan izin usaha
pertambangan di Indonesia, prosedur-prosedur yang harus dilakukan untuk
mencabut izinnya, dan evaluasi terhadap tidak terpenuhinya prosedur dalam
pencabutan izin usaha pertambangan.
Bentuk hasil penelitian yang didapatkan adalah berupa skripsi yang mana hal
tersebut diselaraskan dengan bentuk penelitiannya berupa penelitan normatif-
yuridis.
F. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum
mengenai izin usaha pertambangan demi menjawab tantangan terbaru seiring
dengan berkembangnya zaman yang mengakibatkan permasalahan-
permasalahan yang muncul semakin kompleks.
2. Kegunaan Praktis
a) Bagi peneliti, penelitian ini akan menambah wawasan dan pengetahuan
peneliti mengenai hukum pertambangan, khususnya dalam hal pencabutan
izin usaha pertambangan operasi produksi serta penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Universitas Indonesia
20
G. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi gambaran secara keseluruhan mengenai isi dari penelitian yang
penulis teliti melalui latar belakang dan pokok permasalahan. Dalam bab ini juga
berisi tujuan penelitian baik yang bersifat umum dan khusus, definisi operasional,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Universitas Indonesia
21
daya mineral maupun di sektor lingkungan. Selain itu, Sertifikat Clear and Clean
dalam kegiatan pertambangan juga akan dibahas dalam bab ini.
BAB IV ANALISIS
Dalam bab ini, penulis akan melakukan analisis terhadap 3 (tiga) hal. Pada
analisis pertama, penulis akan melakukan peninjuan terhadap peralihan
kewenangan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pememerintahan
di bidang pertambangan setelah berlakunya Undang -Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya penulis melakukan analisis
terhadap persyaratan pencabutan izin usaha persyaratan pencabutan izin usaha
pertambangan operasi produksi. Pada analisis ketiga, penulis akan membahas
secara mendalam mengenai keabsahan dari Surat Keputusan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi milik PT Sebuku Batubai Coal yang
didahului dengan kasus posisi yang diikuti dengan pembahasan mengenai hal-hal
menjadi dasar dari pencabutan tersebut. Penulis akan meninjau apakah terdapat
pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh PT Sebuku Batubai Coal yang
mengakibatkan dicabutnya izin usaha pertambangan operasi produksi miliknya
dari sisi kewenangan, substansi, dan prosedur.
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini, penulis akan membuat kesimpulan dari seluruh penelitian yang
telah penulis teliti. Kemudian, penulis akan memberikan saran kepada seluruh
stakeholder agar penyelenggaraan urusan pertambangan menjadi lebih baik.
Universitas Indonesia
22
BAB II
REGULASI DI BIDANG PERTAMBANGAN
1
Obbie Afrie Gultom, Sejarah Hukum Pertambangan di Indonesia,
http://www.gultomlawconsultants.com/sejarah-hukum-pertambangan-di-indonesia/ diakses 31
Oktober 2018.
2
Badan Pembinaan Hukum Nasional, “Analisis terhadap Bentuk Kerjasama di Bidang Usaha
Pertambangan”, hlm. 4 https://www.bphn.go.id/data/documents/pertambangan.pdf diakses pada 31
Oktober 2018.
3
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi Pemerintahan Daerah Studi Tentang
Perizinan Pertambangan Timah di Pulau Bangka”, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta
2011), hlm. 79.
Universitas Indonesia
23
konsep “maro” atau “bagi hasil”.4 Kemudian, sejak Belanda datang sebagai kelompok
pedagang yang tergabung dalam Verenigde Ooze Indische Company, maka mulailah
era baru baru dalam kegiatan pengusahaan pertambangan di Indonesia. Analisa lebih
lanjut terkait sejarah hukum pertambangan di Indonesia akan dibagi pada tiga masa
periode, diantaranya; pada masa kekuasaan VOC (tahun 1619 - 1799), masa
pemerintahan Hindia Belanda (tahun 1800 – 1942), perkembangan pada periode tahun
1942 - 1949, perkembangan pada periode tahun 1959, dan pada periode tahun 1967
hingga saat ini.
4
Ibid.
5
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan: Di Bawah Rezim UU No. 4 Tahun 2009,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hlm. 17.
6
Ibid.
7
Soetaryo Sigit, Poternsi Sumber Daya Mineral an Kebangkitan Pertambangan Indonesia,
Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa di ITB, (Bandung: 9 Maret 1996), hlm.
4 dikutip dalam Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press Yohyakarta, 2004), hlm.
62.
8
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press Yohyakarta, 2004), hlm. 62.
Universitas Indonesia
24
9
Arif Zulkifli, Pengelolaan Tambang Berkelanjutan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm.
2
10
Ibid., hlm. 2
11
Roziq B Soetjipto, Sejarah Munculnya Pemikiran Pengusahaan Pertambangan yang
Berorientasi Kerakyatan, (Yogyakarta, 1997), hlm. 15 yang dikutip dalam Abrar Saleng, Hukum
Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 62
12
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan…….., hlm. 62
13
Ibid.
14
Ibid., hlm. 63
Universitas Indonesia
25
pertanian serta hasil perkebunan seperti kopi, gula, tembakau, karet, teh, dan
sebagainya.15 Namun oleh karena dalam suasana liberalisasi perekonomian,
muncullah keinginan – keinginan pihak swasta dan perorangan Belanda untuk
mengusahakan pertambangan. Keterlibatan swasta tersebut mendorong
Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu Komisi Khusus pada tahun 1850
untuk mempelajari dan menyusun bentuk pengaturan usaha pertambangan.16
Komisi tersebut berhasil menyusun sebuah peraturan pertambangan
(mijnreglement) yang pertama. Peraturan ini memungkinkan pemberian hak atau
konsesi penambangan kepada swasta warga negara Belanda, tetapi masih terbatas
untuk daerah – daerah di luar Jawa.17 Pada masa itu, konsesi diartikan sebagai
bentuk izin yang memberikan kewenangan kepada Pengusaha Tambang berupa18:
a) Manajemen pengusahaan
b) Pemilikan hasil produksi pertambangan
c) Negara hanya menerima bersih iuran 0,25 gulden perhektar setiap tahun
serta 46% dari hasil kotor usaha pertambangan
Adapun konsesi memiliki ciri – ciri sebagai berikut19:
a) Hak pengusahaan bahan galian secara mutlak berada di tangan pemegang
konsesi;
b) Pembagian hasil dengan Pemerintah berupa pungutan yang berhubungan
dengan usaha pertambangan
c) Kewenangan lain yang dimiliki: membangun berbagai fasilitas penunjuang
di wilayah konsesi
Kebijakan pertambangan yang ditetapkan pada waktu itu memperlihatkan bahwa
pengembangan sumber daya mineral dan batubara dipegang oleh Negara.20
15
Soetaryo Sigit, Poternsi Sumber Daya Mineral…….., hlm. 5 dikutip dalam Tri Hayati, Era
Baru Hukum Pertambangan…….., hlm. 18.
16
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……., hlm. 63
17
Ibid.
18
Indische Mijnwet 1899, Ps. 35 yang dikutip dalam Tri Hayati, Era Baru Hukum
Pertambangan..…, hlm. 27.
19
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan….., hlm. 27.
20
Ibid., hlm. 18.
Universitas Indonesia
26
21
Soetaryo Sigit, Potensi Sumber Daya Mineral……, hlm. 63.
22
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 64.
23
Ibid., hlm. 64.
24
Soetaryo Sigit dan S. Yudonarpodo, Legal Aspects of The Mineral Industry in Indonesia,
Indonesian Mining Association (IMA) (Jakarta: 1993), hlm 7 yang dikutip dalam Janto Chandra,
“Sejarah Paradigma Penguasaan Negara terhadap Bahan Tambang Batubara dan Hubungannya dengan
Perlindungan Hak – Hak Ekonomi Rakyat”, Jurnal Nurani Vol. 16 No. 1 (Juni 2016: 1 – 18), hlm. 11.
25
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 64
26
Soetaryo Sigit dan S. Yudonarpodo, Legal Aspects of The Mineral….., hlm. 7 dikutip dalam
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 64.
Universitas Indonesia
27
Sampai saat jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1942, selain
minyak bumi, bahan tambang dari negeri ini yang sudah masuk peringkat dunia
hanyalah timah saja, sedang batubara dan bauksit hanya masuk dalam pasaran
internasional dalam jumlah yang sangat terbatas. Meskipun demikian keadaannya,
berdasarkan pengetahuan akan potensi mineral yang ada, perkembangan
pertambangan ketika itu sudah dapat dikatakan optimal.27
27
Ter Braake, A. L., Mining in The Netherlands East Indies, Bull 4, Netherl and Indies
Council of the Inst of Pacific Relations, (New York. 1994), p. 27 yang dikutip dalam Abrar Saleng,
Hukum Pertambangan….., hlm. 67.
28
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 66.
29
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi……, hlm. 83 - 84.
30
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 66.
31
Ibid.
Universitas Indonesia
28
Universitas Indonesia
29
Universitas Indonesia
30
42
Indonesia, Undang – Undang tentang Pembatalan Hak – Hak Pertambangan, UU No. 10
Tahun 1959, LN No. 24 Tahun 1959, TLN No. 1759, ps. 4 ayat (1).
43
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi, Kilas
Balik 50……, hlm. II – 20 yang dikutip dalam Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……, hlm. 69.
44
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan……, hlm. 35.
45
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tentang Pertambangan, UU
Prp. No. 37 Tahun 1960, LN No. 119 Tahun 1960 TLN No. 2055, Penjelasan Paragraf 1.
46
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan….., hlm. 35.
47
Mukmin Zakiuke, Kaitan Kuasa Pertambangan……, hlm. 66
Universitas Indonesia
31
48
Indonesia, Undang – undang tentang Pertambangan, UU No. 37 Tahun 1960, LN No. 119
Tahun 1960 TLN No 2055, ps. 1 huruf i.
49
Survey of Indonesia Economic Law, Mining Law, (Bandung, Law School Padjajaran
University, 1974), p. 11 dikutip dalam Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 72.
50
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……, hlm. 72.
51
Deparetemen Pertambangan dan Energi, 50 Tahun Pertambangan….., hlm. 265 yang
dikutip dalam Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 70.
52
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……, hlm. 70.
53
Ibid.
54
Sri Yuliati, Analisis Hukum tentang Pemilikan Saham pada Perusahaan Penanaman Modal
Asing, hlm. 4.
Universitas Indonesia
32
55
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara atas Mineral dan Batubara
Pasca Berlakunya Undang – Undang Minerba, Jurnal Konstitusi Vol. 9 No. 3 (September 2012), hlm.
476.
56
Ibid.
57
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……, hlm. 29.
58
Ahmad Redi, Dinamika Konsepsi Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam, Jurnal
Konstitusi Vol. 12 No. 2 (Juni 2015), hlm. 404
Universitas Indonesia
33
59
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara….. hlm. 479.
60
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 01-021-022/PUU-I/2003 dikutip
dalam Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara….., hlm. 479.
61
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara….., hlm. 479.
62
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, UU
No. 11 Tahun 1967, LN No. 22 Tahun 1967 TLN No. 2831 , Ps. 4 jo. Ps. 2 huruf j
Universitas Indonesia
34
63
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Analisis dan Evaluasi Peraturan
Perundang – Undangan tentang Minerba di Kawasan Hutan Lindung, (2013), hlm. 85
64
Siti Awaliyah, Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (KK/PKP2), Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 27 No. 2 (Agustus
2014), hlm. 112.
65
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara….., hlm. 476.
66
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Analisis dan Evaluasi….., hlm. 85
67
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan……, hlm. 35.
Universitas Indonesia
35
No. 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing disebutkan bahwa tertutup
penanaman modal asing terhadap perusahaan – perusahaan pertambangan bahan
galian vital.68 Selanjutnya, disusul dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang – Undang Nomor 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan
tentang Pertambangan yang juga hanya memberi kesempatan kepada investor
dalam bentuk pinjaman luar negeri (yang akan dikembaikan dari hasil produksi
bahan galian sesuai Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1963).69 Dengan
demikian, untuk melakukan investasi oleh pihak asing secara langsung tidak
dimungkinkan, kecuali dalam bentuk pinjaman luar negeri saja.70 Hal ini
menyebabkan investasi menurun drastis pada era tahun 1950 sampai dengan
1964, sehingga pemasukan keuangan kedalam kas negara juga menjadi turun
drastis.71
Menghadapi kondisi ekonomi yang menurun, pemerintah melakukan
inisiatif dengan ditetapkannya Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1996
tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan. Lebih lanjut dalam Ketetapan MPR tersebut diatur bahwa untuk
membuat kekuatan ekonomi potensiil menjadi kekuatan ekonomi riil, maka
kekayaan alam harus digali, diolah, dan dibina.72 Bersamaan dengan itu,
Ketetapan MPR tersebut juga menyatakan bahwa diperlukan segera untuk
ditetapkan Undang – Undang mengenai modal asing, termasuk domestik asing
untuk mengatasi terbatasnya persediaan modal didalam negeri.73 Atas dasar
68
Indonesia, Undang – undang tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 78 Tahun 1958,
LN No. 138 Tahun 1958, TLN No. 1725, Ps. 3 ayat (1)
69
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan…..., hlm. 35 – 36.
70
Ibid.
71
Ibid.
72
Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat tentang Pembaharuan
Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, Ketetapan MPR No.
XXIII/MPRS/1996, Ps. 8
73
Ibid, Ps. 62
Universitas Indonesia
36
74
Indonesia, Undang – Undang tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 1 Tahun 1967, LN
No. 1 Tahun 1967 TLN No. 2818, Bagian dasar hukum.
75
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 71.
76
Ibid.
77
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan……, hlm. 36.
78
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi…..., hlm. 85.
Universitas Indonesia
37
79
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan......, hlm. 72.
80
Ibid.
81
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan....., Ps.
10 jo. Indonesia, Undang – Undang tentang Penanaman Modal Asing....., Ps. 8 dikutip dalam Abrar
Saleng, Hukum Pertambangan, hlm. 72.
82
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan....
Penjelasan Pasal 15.
Universitas Indonesia
38
83
Nazaruddin Lathif, Tinjauan Yuridis tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Batubara, Jurnal Panorama Hukum Vol. 2 No.2, (Desember
2017), hlm. 152.
84
Indonesia, Undang – Undang tentang Pokok – Pokok Pemerintahan di Daerah, UU No.5
Tahun 1974, LN No. 38 Tahun 1974 TLN No. 3037, Ps. 1 huruf i.
85
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi...., hlm. 88.
86
Siti Awaliyah, Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (KK/PKP2B), Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 27 No. 2 (Agustus
2014), hlm. 112.
87
Ibid.
Universitas Indonesia
39
a. Kuasa Pertambangan
Kuasa pertambangan merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat
digunakan oleh pemegang kuasa pertambangan untuk melaksanakan kegiatan
usaha di bidang pertambangan.91 Pada dasarnya kuasa pertambangan telah
dikenal sebelum diberlakukannya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, yakni sejak Peraturan
Pemerintah Penganti Undang – Undang No. 37 Tahun 1960 tentang
Pertambangan. Kuasa pertambangan dalam Peraturan Pemerintah Penganti
Undang – Undang No. 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan merupakan
pengganti dari “konsesi” yang terdapat dalam Indische Mijnwet dikarenakan
88
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan......., hlm. 140.
89
Ibid.
90
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Analisis dan Evaluasi....., (2013),
hlm. 37.
91
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 63.
Universitas Indonesia
40
konsesi telah memberikan hak yang terlalu kuat bagi pemegang konsesi itu.92
Dalam pasal 1 huruf i Peraturan Pemerintah Penganti Undang – Undang No.
37 Tahun 1960 tentang Pertambangan memberikan definisi kuasa
pertambangan yang tidak berbeda dengan yang terdapat dalam Undang –
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok
Pertambangan. Hal ini juga selaras dengan penjelasan Pasal 15 Undang –
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok
Pertambangan bahwa untuk pengertian hak – hak pertambangan yang telah
dikenal selama ini, tetap dipergunakan istilah kuasa pertambangan.
Tanpa adanya kuasa pertambangan, perusahaan pertambangan belum dapat
melakukan kegiatannya.93 Kuasa pertambangan diberikan dengan Keputusan
Menteri dan dalam Keputusan Menteri tersebut dapat diberikan ketentuan –
ketentuan khususnya disamping apa yang telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah.94 Kuasa pertambangan dapat dipindahkan kepada perusahaan
atau perseorangan lain bilamana memenuhi ketentuan – ketentuan dan
mendapatkan persetujuan dari menteri.95 Berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua
Peraturan Pelaksana Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, ditentukan bahwa pemegang
kuasa pertambangan mempunyai wewenang untuk melakukan satu atau
beberapa usaha pertambangan yang ditentukan dalam kuasa pertambangan
yang bersangkutan.96 Usaha pertambangan tersebut dilakukan terhadap bahan
– bahan galian97 yang dibagi atas tiga golongan, yaitu98:
92
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok...., Penjelasan Bagian
A angka 5.
93
Ibid.
94
Nazaruddin Lathif, Tinjauan Yuridis tentang Kewenangan Pemerintah ....., hlm. 151.
95
Ibid.
96
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era......, hlm. 87.
97
Bahan galian adalah unsur – unsur kimia, mineral – mineral, bijih – bijih dan segala macam
batuan termasuk batu – batu mulia yang merupakan endapan – endapan alam. (Indonesia, Undang –
Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok...., ps. 2 huruf a)
98
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan......, Ps.
3.
Universitas Indonesia
41
99
Ibid., ps. 14.
100
Mukmin Zakie, Kaitan Kuasa Pertambangan....., hlm. 65
101
Ibid.
102
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan........,
ps. 5.
Universitas Indonesia
42
103
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan......, hlm. 144.
104
Ari Wahyudi Hertanto, Kontrak Karya (Suatu Kajian Hukum Keperdataan), hlm. 206.
105
Joko Susilo dan Adi Prathomo, Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan
Indonesia, Kumpulan Tulisan S. Sigit, 1967 – 2004, (Jakarta: Yayasan Minergy Informasi Indonesia,
2004), hlm. 3 yang dikutip dalam Ari Wahyudi Hertanto, Kontrak Karya (Suatu Kajian Hukum
Keperdataan), hlm. 206.
106
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan...., Ps.
2 huruf i.
107
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia......, hlm. 63.
Universitas Indonesia
43
108
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan,
PP No. 32 Tahun 1969, LN No. 60 Tahun 1969, TLN No. 2916, Ps. 1 ayat (1)
109
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 64.
110
Ibid., hlm. 66.
111
Nazaruddin Lathif, Tinjauan Yuridis tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Batubara, Jurnal Panorama Hukum Vol. 2 No. 2 (Desember
2017), hlm. 152
Universitas Indonesia
44
Universitas Indonesia
45
118
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang...., Ps.
7 ayat (1)
119
Ibid., ps. 7 ayat (2).
120
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 67.
121
Mukmin Zakie, Kaitan Kuasa Pertambangan dengan Hak – hak atas Tanah dalam Undang
– undang Pokok Agraria...., hlm. 71.
122
Ibid.
Universitas Indonesia
46
123
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 68.
124
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun ....., Ps. 9 ayat (2).
125
Ibid.
126
Mukmin Zakie, Kaitan Kuasa Pertambangan dengan Hak – hak....., hlm. 71.
127
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun......, Ps. 10 ayat (1).
Universitas Indonesia
47
128
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 68.
129
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967 ....., Ps. 10 ayat
(2).
130
Ibid. Ps. 10 ayat (3).
131
Mukmin Zakie, Kaitan Kuasa Pertambangan dengan Hak – hak...., hlm. 71.
132
Ibid.
133
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967....., Ps. 11 ayat
(1).
Universitas Indonesia
48
134
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 68.
135
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967......, ps. 11 ayat
(2).
136
Ibid., ps. 11 ayat (3).
137
Ibid., ps. 12 ayat (1).
138
Mukmin Zakie, Kaitan Kuasa Pertambangan dengan Hak – hak......, hlm. 72.
139
Ibid.
Universitas Indonesia
49
golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital, baru dapat
dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan kuasa
pertambangan.140 Adapun kuasa pertambangan dituangkan dalam surat
keputusan kuasa pertambangan.141 Surat keputusan kuasa pertambangan
tersebut dapat diberikan oleh142:
a. Bupati atau Walikota
Bupati atau walikota berwenangmenerbitkan surat keputusan kuasa
pertambangan apabila wilayah kuasa pertambangan terletak dalam
wilayah kabupaten/kota dan/atau di wilayah laut sampai 4 mil laut.143
b. Gubernur
Gubernur berwenang menerbitkan kuasa pertambangan apabila wilayah
kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah
kabupaten/kotadan tidak dilakukan kerja sama antar kabupaten/kota
maupun antara kabupaten/kota dengan provinsi, dan/atau di wilayah laut
yang terletak antara 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut.144
c. Menteri
Menteri berwenang menerbitkan kuasa pertambangan apabila wilayah
kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa provinsi dan tidak
dilakukan kerja sama antarprovinsi, dan/atau di wilayah laut yang
terletak di luar 12 (duabelas) mil laut.145
Dalam menerbitkan surat keputusan kuasa pertambangan tersebut, pejabat
yang berwenang harus memerhatikan syarat – syarat yang telah ditentukan
dalam berbagai peraturan perundang – undangan yang berlaku.146 Setelah
140
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967....., Ps. 1.
141
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 69.
142
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967....., Ps. 2.
143
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 69.
144
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967...., ps. 2 ayat
(2) huruf b.
145
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 69.
146
Ibid.
Universitas Indonesia
50
memahami hal – hal apa saja yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kuasa
pertambangan, maka perlu diketahui pula dalam hal apa saja kuasa
pertambangan dapat dibatalkan dan diakhiri. Pada dasarnya, kuasa
pertambangan dapat berakir karena dikembalikan, dibatalkan dan karena habis
waktunya.147
Kuasa pertambangan yang berakhir karena dikembalikan adalah
menyerahkan kembali kuasa pertambangannya secara tertulis kepada
menteri.148 Peryataan tertulis tersebut harus disertai dengan alasan – alasan
yang cukup mengenai sebab pernyataan tersebut disampaikan.149 Dengan
demikian, yang berwenang untuk membatalkan kuasa pertambangan adalah
menteri, yang kemudian dituangkan dalam keputusan menteri.150 Adapun yang
menjadi faktor - faktor yang dapat menyebabkan pembatalan kuasa
pertambangan antara lain151:
1) Apabila pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat – syarat
yang ditetapkan
2) Apabila pemegang kuasa pertambangan ingkar menjalankan perintah –
perintah petunjuk yang diberikan oleh pihak yang berwajib untuk
kepentingan negara
Apabila kuasa pertambangan berakhir karena dikembalikan maka:
1) Segala beban yang diberatkan kepada kuasa pertambangan batal menurut
hukum;
2) Wilayah kuasa pertambangan kembali kepada kekuasaan negara
3) Segala sesuatu yang diperlukan untuk pengamanan bangunan – bangunan
tambang dan kelanjutan pengambilan bahan – bahan galian menjadi hak
147
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan...., Ps.
20 jo. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pelaskana Undang – Undang tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Pertambangan, PP No. 32 Tahun 1969, LN No. 60 Tahun 1969 TLN No. 2916, Ps.
38.
148
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan.....,
Ps. 21 ayat (1)
149
Ibid., ps. 21 ayat (2)
150
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....,hlm. 94.
151
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan...., Ps.
22.
Universitas Indonesia
51
152
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 94.
153
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi....., hlm. 92.
154
Ibid.
155
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 95.
Universitas Indonesia
52
156
Ibid.
157
http://www.bphn.go.id/data/documents/7aetambang.pdf diakses 27 November 2018, hlm.
20
158
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan..... hlm. 36.
159
Indonesia, Undang – Undang tentang Penanaman Modal Asing....., Ps. 8.
Universitas Indonesia
53
Pusat.160 Pasal 10 ayat (3) Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan memungkinkan adanya perjanjian
karya yang berbentuk penanaman modal asing dalam melaksanakan pekerjaan
– pekerjaan pertambangan. Kontrak yang dianut dalam Undang - Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan ini
bukanlah kontrak keperdataan pada umumnya, tetapi merupakan “kontrak
publik”.161
Perbedaan kontrak karya sebagai kontrak publik dengan kontrak perdata
pada umumnya, terlihat bahwa awal setelah adanya kesepakatan kedua belah
pihak untuk melakukan kontrak karya, belum dapat langsung membuat
kontrak sebelum terlebih dahulu mendapat izin publik yaitu berupa izin
menteri.162 Sedangkan dalam kontrak perdata, bila kedua belah pihak sudah
sepakat melakukan perjanjian, maka dapat langsung dibuat perjanjian, tanpa
menunggu persetujuan. Dalam hal ini, persetujuan menteri adalah sebagai
perwujudan dari penguasaan negara terhadap sumber daya alam, yang
dimandatkan kepada pemerintah, dalam hal ini kepada Menteri ESDM.163
Kontrak diwujudkan dalam bentuk Kontrak Karya berdasarkan Pasal 10
ayat (1) Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan dan dalam bentuk Perjanjian Kerja
Pengusahaan Pertambangan Batubara, berdasarkan Keputusan Presiden No.
75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara.164 Menurut Tri Hayati dalam bukunya yang berjudul
Era Baru Hukum Pertambangan: Di Bawah Rezim UU No. 4 Tahun 2009,
terdapat perbedaan untuk penanaman modal asing di bidang pertambangan
batubara, dimana sejak tahun 1981 sampai 2010 pola kontrak yang digunakan
bukan Kontrak Karya Pertambangan, melainkan melalui Kontrak Kerjasama
Pertambangan Batubara yang kemudian diganti dengan sebutan Perjanjian
160
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 36.
161
Ibid.
162
Ibid., hlm. 141.
163
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 141.
164
Ibid., hlm. 140.
Universitas Indonesia
54
165
Ari Wahyudi Hertanto, Kontrak Karya (Suatu Kajian Hukum Keperdataan)....., hlm. 204
166
Ibid.
167
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan......, hlm. 36.
168
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 225.
169
Ibid.
Universitas Indonesia
55
170
Ibid, hlm. 231.
171
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan......, hlm. 162 - 163.
172
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia......, hlm. 231
Universitas Indonesia
56
Universitas Indonesia
57
176
Ibid., hlm. 164
177
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara, Kepres No. 75 Tahun 1996, Lembar Negara No. 1578 Tahun 1996, Ps. 2
178
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 232.
179
Ibid.
180
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan....., hlm. 164.
Universitas Indonesia
58
181
Ibid.
182
Ibid., hlm. 165.
183
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi....., hlm. 87.
184
Ibid.
185
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai...., hlm. 476.
186
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan...., hlm 65 yang dikutip dalam Victor Imanuel
Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara....., hlm. 476.
Universitas Indonesia
59
Dalam definisi ini, yang menjadi subjek adalah Pemerintah Indonesia dan
badan hukum Indonesia. Modal utama dari badan hukum Indonesia itu berasal
modal asing dengan maksimal 95%, sementara modal perusahaan mitra
nasionalnya minimal adalah 5%.188 Modal asing yang dimiliki oleh badan
hukum Indonesia itu digunakan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploirasi
bahan galian, yang meliputi emas, perak, dan tembaga.189 Adapun latar
belakang pengaturan sistem kontrak karya pada awal kebijakan pertambangan
pada tahun 1967 adalah sebagai upaya pemerintah dalam mendatangkan
capital (modal) untuk melakukan pembangunan melalui sektor pertambangan
dengan cara memberikan kontrak karya bagi pelaku usaha yang hendak
187
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara..... hlm. 476.
188
Salim HS, Hukum Pertambangan...., hlm. 128.
189
Ibid.
Universitas Indonesia
60
190
Daud Silalahi dan Kristianto P.H., Perizinan dalam Kegiatan Pertambangan di Indonesia
Pasca Undang – Undang Minerba No. 4 Tahun 2009, Law Review XI No. 1 (Juli 2011) , hlm. 5.
191
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan....., hlm 135.
192
Ibid., hlm. 135
193
Ibid., hlm. 149.
194
Iwan Dermawan, Kewajiban Divestasi pada Penanaman Modal Asing di bidang
Pertambangan Umum (Studi Kasus Perjanjian Kontrak Karya antara PT. Newmont Nusa Tenggara
dengan Pemerintah Indonesia), (Skripsi Universitas Indonesia, 2008), hlm. 5.
195
Marulak Pardede, Implikasi Hukum Kontrak Karya Pertambangan terhadap Kedaulatan
Negara (Legal Implication of Mining Contract of Works to The State Sovereignty), Jurnal Penelitian
Hukum De Jure, Vol. 18 No. 1 (Maret 2018), hlm. 9
196
Ibid.
Universitas Indonesia
61
197
Amrizal, Hukum Bisnis Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
1996), hlm. 86 yang dikutip dalam Marulak Pardede, Implikasi Hukum Kontrak Karya Pertambangan
terhadap Kedaulatan Negra......, hlm. 9
198
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....... hlm. 131.
199
Ibid.
200
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan.....,
Ps. 10 ayat (2).
201
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 143.
Universitas Indonesia
62
202
Ibid., hlm. 131.
203
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi....., hlm. 93.
204
Arman Nefi, Irawan Maleba dan Dyah Puspitasari Ayuningtyas, Implikasi Keberlakuan
Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Pasca Undang – Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No. 1 (Januari
– Maret 2018), hlm. 143.
205
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan......, hlm. 154.
Universitas Indonesia
63
206
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4
Tahun 2009, LN No. 4 Tahun 2009 TLN No. 4959, Ps. 1 angka 1
207
Ibid., ps. 1 angka 2.
208
Ibid., ps. 1 angka 3.
209
Ibid., ps. 34
Universitas Indonesia
64
210
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan......, Ps. 3.
211
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara....., Ps. 13.
212
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 162
213
Ibid.
Universitas Indonesia
65
214
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara....., Ps. Ps. 20.
215
Ibid, ps. 27.
Universitas Indonesia
66
Lebih lanjut mengenai IUP, dalam Peraturan Menteri ESDM No. 25 Tahun
2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara telah
mengklasifikasikan izin dalam beberapa bentuk, diantaranya IUP, IUP,
IPR216. IUPK adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah
izin usaha pertambangan khusus.217 IUPK sendiri terdiri atas dua tahap,
yaitu218:
a) IUPK untuk tahap Eksplorasi, yaitu izin usaha yang diberikan untuk
melakukan kegiatan tahapan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi
kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus (Pasal 1 angka
12 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara)
b) IUP tahap Operasi Produksi, yaitu izin usaha yang diberikan setelah
selesai pelaksanaan IUPK eksplorasi untuk melakukan tahapan
kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus
(Pasal 1 angka 13 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara).
Sedangkan IPR adalah izin untuk melaksanakan pertambangan dalam
wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.219
Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat baik
perorangan dengan luas maksimum 5 hektare dan/atau koperasi dengan luas
maksimum 10 hektare dan hal ini dapat dilimpahkan ke camat sesuai dengan
perundang – undangan yang berlaku.220
IUP adalah izin usaha untuk melaksanakan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh Menteri, Gubernur, Bupati sesuai dengan kewenangannya.221
216
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM No. 43 Tahun
2015 BN No. 2015 Tahun 2015, Ps. 3.
217
Ibid., ps. 11.
218
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi.....,hlm. 97.
219
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., Ps. 1 angka
10.
220
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi....., hlm. 97.
221
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., Ps. 1 angka
7 yang dikutip dalam Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi.... hlm. 97.
Universitas Indonesia
67
222
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, Permen ESDM No. 11 Tahun 2018, Berita Negara No. 295 Tahun 2018, Ps. 36 dan Ps. 41.
223
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan...., hlm. 157.
224
Ibid.
225
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., Ps. 36
ayat (1).
226
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah...., Ps. 34
Universitas Indonesia
68
a) Badan Usaha
1. BUMN
2. BUMD
3. Badan Usaha Swasta
b) Koperasi
c) Perseorangan
1. Perusahaan firma
2. Perusahaan komanditer
3. Orang perseorangan
Badan usaha, koperasi, dan perseorangan hanya dapat melaksanakan
kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara setelah mendapatkan
izin usaha di bidang pertambangan Mineral dan Batubara.227 Selain itu,
sebelum melakukan permohonan IUP, badan usaha, koperasi ataupun
perseorangan harus terlebih dahulu memiliki Wilayah Izin Usaha
Pertambangan.228 Sehingga IUP diberikan melalui tahapan a) Pemberian
WIUP dan b) Pemberian IUP.229
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah
diubah sebanyak 5 (lima) kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 8
Tahun 2018 mengatur mengenai persyaratan – persyaratan untuk
mendapatkan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Pasal 23 Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa persyaratan tersebut
meliputi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.
Selain mengenai izin usaha, Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga menentukan kewajiban
IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib untuk melakukan
divestasi saham kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta Nasional
227
Ibid., ps. 35.
228
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan...., hlm. 158.
229
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksana Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, PP No. 23 Tahun 2010, LN No. 23 Tahun 2010, TLN No. 5111, Ps.7.
Universitas Indonesia
69
230
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan...., hlm.173.
231
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kajian Harmonisasi Undang – Undang di Bidang Sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup, (Jakarta, 2018), hlm. 113.
232
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., ps. 103
ayat (1).
233
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kajian Harmonisasi Undang – Undang...., hlm. 114.
234
Ibid.
235
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., ps. 36 ayat
(1)
Universitas Indonesia
70
236
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan...., hlm. 158.
Universitas Indonesia
71
237
Ibid.
238
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah....., ps. 38.
239
Ibid., ps. 39 ayat (1) dan (2).
Universitas Indonesia
72
240
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., Ps. 43 ayat
(1)
241
Ibid, ps. 43 ayat (2) dan Ps. 44.
242
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara....., Ps. 1
angka 9.
Universitas Indonesia
73
Universitas Indonesia
74
Universitas Indonesia
75
246
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah....., Ps. 43 ayat (3).
247
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksana Kegiatan Usaha Pertambangan..., ps. 23.
Universitas Indonesia
76
BAB III
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH, BERAKIHRNYA IZIN USAHA
PERTAMBANGAN DAN SERTIFIKAT CLEAR AND CLEAN DALAM
KEGIATAN PERTAMBANGAN
1
Djambar, M. Yasin Nahar dan Muhammad Tavip, Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Bidang Pertambangan dalam Perspektif Otonomi Daerah, Jurnal Katalogis, Vol. 5 Nomor 2 (Februari
2017), hlm. 26
2
Reynold Simandjuntak, Sistem Desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Perspektif Yuridis Konstitusional, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 7 Nomor 1 (Juni 2015),
hlm. 58.
Universitas Indonesia
77
Selain itu, Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menentukan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945 yang diuraikan dalam berbagai Urusan
Pemerintahan.4 Adapun penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah
dilaksanakan berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan.5
Pasal 1 angka 8 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan Urusan Pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Otonomi daerah
adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat,
sesuai dengan peraturan perundang – undangan.6 Melalui otonomi, pemerintah daerah
mempunyai peluang lebih besar untuk mendorong dan memberi motivasi membangun
daerah yang kondusif, sehingga akan muncul kreasi dan inovasi masyarakat yang
dapat bersaing dengan daerah lain.7 Dengan demikian, prakarsa, wewenang, dan
tanggung jawab mengenai urusan – urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi
tanggung jawab daerah itu, baik mengenai politik kebijaksanaan, perencanaan, dan
pelaksanaannya maupun mengenai segi – segi pembiayaannya.8 Adapun perangkat
pelaksanaannya adalah perangkat daerah sendiri.9
3
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 23 Tahun 2014,
LN Nomor 244 Tahun 2014, TLN Nomor 5589, Ps. 1 angka 12.
4
Ibid., Ps. 5 ayat (1) dan (2).
5
Ibid., ps. 5 ayat (4).
6
HAW. Widjaja, Otonom Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2004), hlm. 76.
7
Ibid.
8
C.S.T Kansil dan Christine S. T. Kansil. Pemerintahan Daerah di Indonesia: Hukum
Adiministrasi Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 3.
9
Ibid.
Universitas Indonesia
78
10
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah......, ps. 1 angka 9.
11
C.S.T Kansil dan Christine S. T. Kansil. Pemerintahan Daerah di Indonesia: Hukum
Adiministrasi Daerah...., hlm. 3.
12
Ibid.
13
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah....., Ps. 1 angka 12.
14
C.S.T Kansil dan Christine S. T. Kansil. Pemerintahan Daerah di Indonesia: Hukum
Adiministrasi Daerah...., hlm. 4.
15
Untung Dwi Hananto, Asas Desentralisasi dan Tugas Pembantuan dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Jurnal MMH Jilid 40 Nomor 2 (April 2011), hlm. 208.
Universitas Indonesia
79
16
Sadu Wasistiono, Etin Indrayani, dan Andi Pitono, Memahami Asas Tugas Pembantuan,
(Bandung: Fokus Media, 2006), hlm. 2 yang dikutip Untung Dwi Hananto, Asas Desentralisasi dan
Tugas Pembantuan....., hlm. 208.
17
Michele Fransiska Senduk “Eksistensi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan
Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Mencapai Good Governance” hlm. 2
https://media.neliti.com/media/publications/117297-ID-eksistensi-pemerintah-daerah-dalam-
penge.pdf diakses 3 Desember 2018.
18
Ibid.
19
Indonesia, Undang – Undang Dasar 1945, Ps. 33 ayat (3).
20
Tri Hayati, dkk, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam berdasarkan
Pasal 33 UUD 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS FHUI, 2005), hlm. 17 yang
dikutip dalam J. Ronald Mawuntu, Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi, Vol. XX Nomor 3 (April – Juni 2012), hlm. 17.
21
Hartati, Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Pertambangan Mineral dan
Batubara, Jurnal MMH Jilid 41 Nomor 4 (Oktober 2017), hlm. 532
Universitas Indonesia
80
jalannya produksi sendiri dilaksanakan oleh swasta.22 Maka dalam hal ini dapat
diartikan bahwa pemerintah memegang kendali atas pelaksanaan kegiatan
pertambangan. Oleh karenanya, pemerintah, baik pusat maupun pemerintah daerah
mempunyai wewenang dalam mengurus dan mengelola sumber daya alam.23
Disamping itu, dalam hal klasifikasi urusan pemerintahan, Pasal 9 ayat (1)
Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur
bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan
pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.24 Urusan pemerintahan
konkuren terdiri atas urusan pemerintah wajib dan urusan pemerintahan pilihan
dimana urusan pemerintahan tersebut dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi
dan daerah kabupaten/kota.25 Urusan pemerintahan wajib dibagi dalam urusan
pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar dan urusan pemerintahan wajib yang
tidak terkait pelayanan dasar, sedangkan pembagian urusan pemerintahan konkuren
yang bersifat pilihan salah satunya adalah urusan pemerintahan di bidang energi dan
sumber daya mineral.26 Adapun pembagian urusan pembagian tersebut dapat dilihat
di bagan berikut:
22
Ibid.
23
Michele Fransiska Senduk “Eksistensi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan
Pertambangan Mineral dan Batubara.... hlm. 3.
24
Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan (Indonesia, Undang – Undang
tentang Pemerintahan Daerah....., Ps. Pasal 9 ayat (2) dan (5)).
25
Michele Fransiska Senduk “Eksistensi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan
Pertambangan Mineral dan Batubara.... hlm. 3.
26
Urusan pemerintahan konkuren yang bersifat pilihan meliputi: kelautan dan perikanan,
pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian, dan
transmigrasi (Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah....., Ps. 12 ayat (3)).
Universitas Indonesia
81
Gambar 3.127
Anatomi Urusan Pemerintahan
Lebih lanjut, pembagian urusan pemerintahan dalam bidang energi sumber daya
mineral juga ditemukan dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 9
Tahun 2015. Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan secara tegas bahwa: “Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi.” Selain itu, ketentuan tersebut
dinyatakan kembali secara tegas dalam lampiran bagian CC Nomor 2 mengenai
Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya mineral bahwa
sub urusan Mineral dan Batubara hanya dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
27
Anatomi Urusan Pemerintahan dikutip dari Pemaparan Direktorat Jenderal Bina
Administrasi Kewilayah Kementerian Dalam Negeri “Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
Pusat” (2017) https://www.sumbarprov.go.id/images/2017/04/file/Materi_Direktur_Dekon_TP_-
Kemendagri_(Fasgub).pdf diakses 20 Desember 2018.
Universitas Indonesia
82
28
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah...., ps. 119.
29
Michele Fransiska Senduk “Eksistensi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan
Pertambangan Mineral dan Batubara...., hlm. 18
30
Bambang Yunianto, Implikasi Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap
Pengembangan Mineral dan Batubara, Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol. 12 Nomor 12
(Januari 2016), hlm. 4.
Universitas Indonesia
83
31
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Analisis dan Evaluasi Peraturan
Perundang – Undangan tentang Minerba di Kawasan Hutan Lindung, (2013), hlm. 35.
32
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 95.
Universitas Indonesia
84
diketahui bahwa rumusan Pasal 11 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak menjadikan urusan pertambangan ke
dalam urusan yang wajib diserahkan kepada daerah otonom. Oleh karenanya
dapat diketahui bahwa urusan pertambangan bukan merupakan kewenangan wajib
dari pemerintah daerah, melainkan termasuk dalam urusan pilihan.
Selain itu, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 75
Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan yang memberikan
kewenangan pengelolaan sektor pertambangan secara utuh kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten dan Kota secara utuh untuk urusan pemerintahan, kecuali 6
(enam) hal yang menjadi urusan Pemerintah.35 Pemberian kewenangan tersebut
dapat ditemukan pada Bagian Umum Penjelasan menetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor
33
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom, PP Nomor 75 Tahun 2001, LN Nomor 54 Tahun 2000, TLN Nomor
3952, ps. 3 ayat (3) angka 3 huruf b.
34
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 95 – 96.
35
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Analisis..... hlm. 51.
Universitas Indonesia
85
Universitas Indonesia
86
Universitas Indonesia
87
38
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah......, ps. 14 ayat (2).
39
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, PP Nomor
38 Tahun 2007, LN Nomor 82 Tahun 2007, TLN Nomor 4737, ps. 2 ayat (1).
40
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 98
41
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah…, ps. 186 ayat (1).
42
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan…, hlm. 100.
43
LIPI, Partnership for Gobernance Reform in Indonesia, dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia,
Desentralisasi & Otonomi Daerah, (Jakarta: LIPI Press, 2007), hlm. 11.
44
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan…, hlm. 100.
Universitas Indonesia
88
Selain itu, pola pemberian otonomi kepada daerah masih menggunakan pola
lama dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah, dimana Pemerintah Pusat dapat menyerahkan langsung kepada
Kabupaten dan Kota.45 Hal ini dikarenakan Undang – Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan otonomi seluas – luasnya
kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengurus rumah tangganya sendiri.46
Sehingga pada dasarnya kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara sudah diserahkan kepada pemerintah daerah berdasarkan asas
desentralisasi.47
Namun dalam prakteknya, pada era Undang – Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah masih dijumpai penyelenggaraan otonomi
daerah yang tidak sesuai dengan otonomi daerah karena masing – masing daerah
berlomba untuk mencari penerimaan bagi daerahnya.48 Persoalan ini sudah
dimulai sejak diberlakukannya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah yang memberi wewenang kepada daerah untuk mengelola
sumber daya yang berada di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara
kelestarian lingkungan hidupnya sesuai dengan undang – undang.49 Hal tersebut
mengakibatkan banyak perizinan pertambangan yang dikeluarkan tanpa
mengikuti kaedah perlindungan lingkungan dan optimalisasi pemanfaatan sumber
daya. Selain itu, oknum juga memanfaatkan surat izin untuk diperjual belikan,
sehingga siapa yang paling dekat dengan pemberi izin maka dialah yang paling
dahulu mendapatkan izin.50 Hal inilah yang kemudian menjadikan kendali
Pemerintah Pusat yang seharusnya dijalin dalam rangka Negara Kesatuan
45
Ibid.
46
Bambang Yunianto, Implikasi Undang – Undang Nomor 23….. hlm. 4.
47
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan…, hlm. 101.
48
Badan Pembinaan Hukum Nasional, “Analisis tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam”,
hlm. 8 https://www.bphn.go.id/data/documents/ae_tentang_pengelolaan_sda.pdf diakses 8 Desember
2018.
49
Bambang Yunianto, Implikasi Undang – Undang Nomor 23….. hlm. 4.
50
Ibid.
Universitas Indonesia
89
Republik Indonesia menjadi bias dan melemah.51 Oleh sebab itu kemudian pada
tahun 2014 diterbitkan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang menarik kembali kewenangan pengelolaan
pertambangan, yang semula berada di tangan Kabupaten/Kota ditarik kembali
kepada Pemerintah Pusat dan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (asas
dekonsentrasi).52
51
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan…, hlm. 101.
52
Badan Pembinaan Hukum Nasional, “Analisis tentang …..hlm. 103.
53
Nurul Laili Fadhilah, Implikasi Pemberlakuan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah atas
Perizinan Pertambangan terhadap Legislasi di Daerah, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Th. 1 Nomor 2 (Desember 2016), hlm. 92 – 93.
Universitas Indonesia
90
Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral yang nomor 2-
nya mengatur tentang sub urusan Mineral dan Batubara. Dalam Lampiran Bagian
CC Nomor 2 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah disebutkan mengenai kewenangan Derah Provinsi yang antara lain
kewenangan untuk melakukan:
a. Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan
batuan dalam 1 (satu) Daerah Provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12
mil
b. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara dalam
rangka penanaman modal dalm negeri pada wilayah izin usaha
pertambangan daerah yang berada dalam 1 (satu) daerah provinsi termasuk
wilayah laut sampai dengan 12 (duabelas) mil laut
c. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam
rangka penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha
pertambangan yang berada dalam 1 (satu) daerah provinsi termasuk wilayah
laut sampai dengan 12 (duabelas) mil laut
d. Penerbitan izin pertambangan rakyat untuk komoditas mineral logam,
batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah pertambangan
rakyat
e. Penerbitan izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk
pengolahan dan pemurnian dalam rangka penanaman modal dalam negeri
yang komoditas tambangnya berasal dari 1 (satu) Daerah Provinsi yang
sama
f. Penerbitan izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar
dalam rangka penanaman modal dalan negeri yang kegiatan usahanya dalam
1 (satu) Daerah Provinsi
g. Penetapan harga patokan mineral bukan logam dan batuan.
Pada dasarnya, kewenangan Gubernur yang diatur dalam lampiran Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan
peralihan kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh Bupati/Walikota.
Implikasi dari dilimpahkannya kewenangan tersebut, pada kolom
Bupati/Walikota dalam Lampiran Bagian CC Nomor 2 Undang – Undang Nomor
23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah tidak disebutkan kewenangan
Universitas Indonesia
91
Universitas Indonesia
92
54
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan Kuasa Pertambangan diatur
dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a PP 75/2001, sedangkan kewenangan untuk membatalkan Kuasa
Pertambangan diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 42 PP 75/2001.
Universitas Indonesia
93
Konsiderans Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut
memberikan arti bahwa terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara merupakan tindak lanjut dari terbitnya Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Lebih lanjut dalam Pasal 2 Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan bahwa Bupati/Walikota
memiliki kewajiban untuk menyampaikan dokumen perizinan di bidang Mineral
dan Batubara kepada Gubernur dan Provinsi sesuai dengan kewenangannya
terhadap izin yang telah diterbitkan. Sama halnya dengan ketentuan dalam Surat
Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015, Peraturan Menteri ESDM Nomor 43
Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara juga mewajibkan Menteri atau Gubernur sesuai dengan
kewenangannya untuk melakukan evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi evaluasi
administrasi, kewilayahan, teknis, lingkungan, dan finansial terhadap IUP
penyesuaian dari Kuasa Pertambangan dan terhadap Kuasa Pertambangan yang
belum berakhir jangka waktunya tetapi belum disesuaikan menjadi IUP.55
55
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM Nomor 43
Tahun 2015, ps. 4.
Universitas Indonesia
94
Pasal 17 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara juga
memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal yang mewakili Menteri atau
Gubernur sesuai dengan kewenangannya untuk memberikan sanksi administratif
kepada Pemegang IUP yang tidak memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Selain
itu, pengaturan mengenai perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara
diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan
di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam Peraturan Menteri ESDM
Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara, diatur bahwa pemberian IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUJP,
diberikan oleh Menteri dan Gubernur sesuai dengan kewenangannya masing –
masing.56 Selain itu, apabila pemegang IUP (baik IUP Eksplorasi maupun IUP
Operasi Produksi), IUPK, IUP OP khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian,
dan IUJP melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Peraturan
Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan
Mineral dan Batubara maka Gubernur dan Direktur Jenderal atas nama Menteri
sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha,
dan/atau pencabutan izin.57
Setelah 9 (sembilan) bulan Permen ESDM Peraturan Menteri ESDM Nomor
34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara
berlaku, kemudian pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11
Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah Perizinan dan Pelaporan pada
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang dalam ketentuan
penutupnya mencabut Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang
Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.58 Kemudian terdapat
56
Kewenangan untuk memberikan IUP Eksplorasi diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Permen
ESDM 34/2017, kewenangan untuk memberikan IUP Operasi Produksi diatur dalam Pasal 10 ayat (1)
Permen ESDM 34/2017, dan kewenangan untuk memberikan IUJP diatur dalam Pasal 19 ayat (1)
Permen ESDM 34/2017.
57
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Perizinan di
Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM Nomor 34 Tahun 2017, ps. 38.
58
Ketentuan mengenai dicabutnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 tahun 2017 tentang
Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara diatur di dalam Pasal 114 huruf f Peraturan
Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah Perizinan dan Pelaporan
pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Universitas Indonesia
95
beberapa pasal yang diubah dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun
2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah Perizinan dan Pelaporan pada
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sehingga diterbitkan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara. Menindaklanjuti pengaturan yang baru tersebut maka diterbitkan
Keputusan Menteri ESDM Nomor 1796 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman
Pelaksanan Permohonan, Evaluasi, serta Penerbitan Perizinan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pada dasarnya, jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor
34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara,
ketentuan mengenai wewenang Pemerintah Pusat dan pemerintah provinsi dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan tidak banyak
diubah dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2018 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Hanya saja Peraturan Menteri ESDM
Nomor 22 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permen ESDM Nomor 11 Tahun
2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara diterbitkan sebagai bentuk
penyederhanaan peraturan menteri ESDM terkait subnstansi kewilayahan,
perizinan, dan pelaporan pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara
dengan merevisi 5 (lima) Peraturan Menteri ESDM, 1 Keputusan Menteri ESDM,
dan 2 Peraturan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.59 Adapun Pasal 36 ayat
(1) Permen ESDM 11/2018 memberikan kewenangan kepada Menteri dan
Gubernur sesuai dengan kewenangannya untuk menerbitkan IUP Eksplorasi,
sedangkan kewenangan Menteri atau gubernur untuk memberikan IUP Operasi
Produksi diatur dalam Pasal 41 Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018
tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan
59
“Pencabutan/Penyederhanaan Regulasi dan Perizinan Sektor ESDM” hlm. 8
https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-pencabutan-penyederhanaan-regulasi-dan-
perizinan-sektor-esdm-.pdf diakses 27 Desember 2018.
Universitas Indonesia
96
Universitas Indonesia
97
Adapun terhadap IUP atau IUPK yang dikembalikan, dicabut, atau habis masa
berlakunya, IUP atau IUPK tersebut dikembalikan kepada Menteri atau gubernur
sesuai dengan kewenangannya dan kemudian WIUP atau WIUPK terhadap IUP atau
IUPK tersebut ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai
prosedur dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara.61
60
Indonesia, Undang – Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 4 Tahun
2009, LN Nomor 4 Tahun 2009, TLN Nomor 4959, ps. 117
61
Ibid., ps. 122.
Universitas Indonesia
98
62
Ibid., ps. 118 ayat (1).
63
Ibid., ps. 118 ayat (2).
64
Indonesia, Undang – Undang Pertambangan Mineral …ps. 118 ayat (1) jo. Indonesia,
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Perizinan di Bidang Pertambangan…..,
ps. 94 ayat (3)
Universitas Indonesia
99
sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan/atau pencabutan
IUP, IPR, atau IUPK.65
Adapun pasal – pasal yang dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) dimana dapat
berakibat pada diberikannya sanksi administratif meliputi pelanggaran terhadap Pasal
40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74
ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96,
Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal
105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (2), Pasal 112
ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1),
Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2). Berdasarkan ketentuan
tersebut maka dapat dipahami bahwa apabila pemegang IUP melanggar pasal – pasal
tersebut maka Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya tidak dapat
langsung mencabut IUP-nya, melainkan harus melalui tahapan – tahapan sanksi
adaministratif terlebih dahulu.
65
Ibid., ps. 151 ayat (2).
Universitas Indonesia
100
Universitas Indonesia
101
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. (Indonesia, Undang
– Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 32 Tahun 2009, LN Nomor
140 Tahun 2009 TLN Nomor 5059,ps. 1 angka 11).
68
Indonesia, Undang – Undang Perlindungan dan Pengelolaan..., ps. 24.
69
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Izin Lingkungan, PP Nomor 27 Tahun 2012, LN
Nomor 48 Tahun 2012 TLN Nomor 5285, ps. 5.
Universitas Indonesia
102
70
Indonesia, Undang – Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup...,ps. 29.
71
Ibid., ps. 36 ayat (2).
Universitas Indonesia
103
Universitas Indonesia
104
73
Ibid., ps. 40 ayat (2) dan (3).
Universitas Indonesia
105
Universitas Indonesia
106
Kendati demikian, pengenaan tindak pidana kepada pemegang izin usaha tidak
dapat dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan.74
74
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Perizinan Tata Cara
……….., ps. 99.
75
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1973),
hlm. 225.
Universitas Indonesia
107
76
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Perizinan...., ps. 38 ayat
(2) dan (3).
77
Ibid., ps. 40.
Universitas Indonesia
108
Universitas Indonesia
109
Bapak Heriyanto selaku Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara Kementerian ESDM menyatakan bahwa “kondisi tertentu” yang dimaksud
dalam Pasal 42 Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di
Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut merujuk kepada IUP yang
dicabut karena adanya pelanggaran kewajiban, melakukan tindak pidana dan karena
pailit.78 Pernyataan dari Kepala Bagian Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara Kementerian tersebut sama artinya dengan ketentuan dalam Pasal 119
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
dimana pencabutan IUP atau IUPK dimungkinkan apabila a) Pemegang IUP atau
IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta
peraturan perundang – undangan, b) Pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, c) IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Meskipun Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di
Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara telah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi dengan adanya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang
Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, namun ketentuan mengenai sanksi administratif
tidak jauh berbeda dengan pengaturan di Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun
2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 94
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara menentukan bahwa dalam hal pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi
Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IUJP, dan IUJP Operasi Produksi
khusus untuk pengangkutan dan penjual tidak mematuhi ketentuan dan melanggar
beberapa Pasal dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata
Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara, maka pemegang izin tersebut diberi sanksi administratif oleh
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannnya.
78
Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, Putusan Nomor 6/G/2018/PTUN.BJM, hlm.
141 – 142.
Universitas Indonesia
110
Universitas Indonesia
111
dikenal dalam bidang pertambangan muncul pada saat Siaran Pers Kementerian
ESDM Nomor 33/Humas KESDM/2011 tanggal 27 Mei 2011 yang kemudian disusul
dengan banyaknya pertanyaan dari berbagai pihak kepada ESDM mengenai status
wilayah izin usaha pertambangan.79 Dalam siaran pers pada tanggal 27 Mei 2011
tersebut, Kementerian ESDM menyatakan bahwa terdapat data IUP Clear and Clean
sebanyak 3.971 IUP dan data IUP Non Clear and Clean sebanyak 4.504 IUP.80 Pada
dasarnya, latar belakang munculnya istilah Clean and Clear ini disebabkan oleh
karena banyaknya perizinan yang tumpang tindih pada era otonomi daerah sebelum
berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dikeluarkannya kebijakan clear and clean oleh pemerintah adalah sebagai upaya
penataan perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang bermasalah.81
Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar menjelaskan dampak dari keberadaan
tambang non-CnC mengganggu aktivitas penambangan karena tidak memenuhi
standar penerapan keselamatan para pekerja, padahal standar keselamatan merupakan
prioritas yang paling utama dipenuhi perusahaan tambang.82 Selain itu, dampak lain
yang ditimbulkan menurut Arcandra adalah kerap terjadinya tumpang tindih lahan
hingga titik koordinat di lapangan yang tidak sesuai dengan perizinan.
Pengkategorian IUP menjadi IUP CnC dan IUP non-CnC merupakah salah satu
upaya pemerintah pusat menghimpun data IUP tambang pasca-booming izin guna
disesuaikan dengan rezim Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara melalui mekanisme rekonsiliasi di tahun 2011.83
Adapun tujuan dari dilaksanakannya Rekonsiliasi data IUP adalah agar terciptan
79
Prima Nugraha, Budi Gutami, dan Henny Juliani, Penerapan Status Clear and Clean oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap Izin Usaha Pertambangan, Dipenogoro Law
Journal, Vol. 6 Nomor 2 Tahun 2017, hlm. 3
80
Ibid.
81
Ahmad Redi, Dilema Penegakan Hukum Penambangan Mineral dan Batubara tanpa Izin
Pada Pertambangan Skala Kecil, Jurnal Rechtsvinding Vol. 5 Nomor 3 (Desenmber 2016), hlm. 411.
82
“Pemerintah Ancam Cabut Izin Penambang Tidak Berstatus Clear and Clean”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5abf89cd7efa7/pemerintah-ancam-cabut-izin-
penambang-tidak-berstatus-iclear-and-clean-i diakses 12 Desember 2018.
83
“Siaran Pers: Laporan Penataan Izin Batubara Dalam Korsup KPK” https://pwyp-
indonesia.org/id/318888/siaran-pers-laporan-penataan-izin-batubara-dalam-korsup-kpk/ diakses 17
Desember 2018.
Universitas Indonesia
112
Gambar 3.285
Penataan IUP
Dari tabel tersebut dapat terlihat adanya perkembangan dari segi jumlah IUP non
CnC. Berdasarkan data terakhir yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara mencatat masih terdapat 2.595 IUP yang belum berstatus CnC yang tersebar
di seluruh Indonesia.86
Masih banyaknya perusahaan yang masih non-CnC mendorong pemerintah untuk
melakukan percepatan penyelesaian IUP Non CnC, hal ini ditempuh dengan
menerbitkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
2021/K/30/MEM/2014 tentang Tim Koordinasi Penyelesaian Permasalahan Izin
84
Ahmad Redi, Dilema Penegakan Hukum Penambangan Mineral….. hlm. 411.
85
Penataan IUP yang dikutip dari Kementerian ESDM, Reformasi Perizinan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara Pasca Berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 (Jakarta, 3
Februari 2016).
86
“Pemerintah Ancam Cabut Izin Penambang Tidak Berstatus Clear and Clean”……diakses
12 Desember 2018.
Universitas Indonesia
113
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.87 Tim yang dimaksud dalam Kepmen
ESDM 2021/K/30/MEM/2014 terdiri dari lintas sektor yaitu Kementerian ESDM,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian dalam Negeri, Kejaksaan, POLRI,
BPKP, BIG yang mepunyai tugas antara lain88:
a. menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan hukum terkait dengan
IUP Mineral dan Batubara
b. melakukan pembahasan guna menyelesaikan permasalahan baik aspek
teknis, administratif dan hukum terkait dengan IUP Mineral dan Batubara.
Disamping itu, pasca peralihan kewenangan dari bupati ke gubernur juga
berimplikasi pada kewajiban sertifikat clear and clean yang diatur di dalam Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan. Pasal 1 angka 15 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan menyatakan
bahwa: “Sertifikat Clear and Clean adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal kepada pemegang IUP yang telah memenuhi persyaratan administratif,
kewilayahan, teknis, lingkungan, dan keuangan.” Dari ketentuan tersebut maka dapat
terlihat bahwa pemegang IUP harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan
administratif, kewilayahan, teknis, lingkungan, dan keuangan untuk mendapatkan
sertifikat Clear and Clean (CnC). Persyaratan tersebut antara lain:
a. kriteria administratif terdiri atas:
1. pengajuan permohonan perpanjangan/peningkatan KP atau IUP sebelum
masa berlaku KP atau IUP berakhir;
2. pencadangan dan permohonan KP ditetapkan sebelum UU 4/2009 terbit;
3. KP Eksploitasi merupakan peningkatan KP Eksplorasi;
4. Tidak memiliki lebih dari satu KP atau IUP bagi badan usaha yang tidak
terbuka;
5. Jangka waktu berlakunya IUP Eksplorasi tidak melebihi ketentuan UU
4/2009;
6. Permohonan pencadangan wilayah tidak diajukan pada wilayah KK,
PKP2B, KP atau IUP yang masih aktif dan sama komoditas
87
Yannahendro K. dan Satyo Naresworo, “Penyerahan Izin Usaha……, hlm. 41.
88
Ibid.
Universitas Indonesia
114
7. Jangka waktu IUP Operasi Produksi tidak boleh melebihi jangka waktu
KP Eksploitasi
8. KP yang masih berlaku setelah UU 4/2009
b. kriteria kewilayahan terdiri atas:
1. WIUP tidak tumpang tindih dengan WIUP lain yang sama komoditas;
2. WIUP tidak tumpang tindih dengan WPN;
3. Tidak tumpang tindih dengan wilayah administratif kabupaten/kota atau
provinsi lain;
4. Koordinat IUP Eksplorasi sesuai dengan koordinat pencadangan wilayah;
5. Koordinat IUP Operasi Produksi berada di dalam koordinat IUP
Eksplorasi; dan/atau
6. Koordinat IUP sejajar garis lintang bujur
c. kriteria teknis berupa:
1. laporan Eksplorasi, bagi pemegang IUP Eksplorasi yang belum memasuki
tahapan kegiatan Studi Kelayakan; atau
2. laporan Eksplorasi dan Studi Kelayakan, bagi pemegang IUP Eksplorasi
yang sudah memasuki tahapan kegiatan Studi Kelayakan atau pemegang
IUP Operasi Produksi;
d. kriteria lingkungan berupa dokumen lingkungan hidup yang telah disahkan
oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –
undangan
e. kriteria finansial berupa:
1. bukti pelunasan iuran tetap sampai dengan tahun terakhir saat
penyampaian, bagi pemegang IUP Ekslorasi; atau
2. bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi (royalty) sampai dengan
tahun terakhir saat penyampaian, bagi pemegang IUP Operasi Produksi
Apabila pemegang IUP tidak memenuhi kriteria – kriteria sebagaimana disyaratkan,
maka menurut Pasal 17 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata
Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Pemegang
IUP tersebut diberikan sanksi administratif oleh Direkutr Jenderal atau gubernur
sesuai dengan kewenangannya. Selanjutnya dalam Pasal 19 Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara ditentukan juga bahwa apabila gubernur tidak
Universitas Indonesia
115
Universitas Indonesia
116
91
Prima Nugraha, Budi Gutami, dan Henny Juliani, Penerapan Status Clear…, hlm. 15.
Universitas Indonesia
117
BAB IV
ANALISIS KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PENCABUTAN IZIN
USAHA PERTAMBANGAN SETELAH BERLAKUNYAUNDANG –
UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
Universitas Indonesia
118
dokumen – dokumen tersebut didasari pada asas desentralisasi, maka keputusan atau
tindakan yang dilakukan haruslah didasari pada standar operasional prosedur
pembuatan keputusan dan/atau tindakan dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
Berbeda halnya jika kewenangan gubernur tersebut didasari pada asas dekonsentrasi,
maka gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat yang tidak tunduk pada
standar operasional prosedur di wilayah provinsinya. Dengan demikian, dasar dari
gubernur menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral
dan batubara merupakan hal yang substansial untuk dibahas.
Selain itu, Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara mengatur bahwa bupati/walikota memiliki wewenang untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan. Akan tetapi
kewenangan – kewenangan bupati/walikota tersebut dinyatakan tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan ketentuan Angka 2 Surat Edaran
ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015. Di sisi lain, diketahui bahwa Surat Edaran tidak
termasuk pada hierarki Peraturan Perundang – Undangan yang disebutkan dalam
Pasal 7 Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang – Undangan. Dengan demikian, legalitas Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015 dalam mencabut kewenangan bupati/walikota yang diatur dalam
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara
juga merupakan hal yang subtansial untuk dibahas.
Dalam hal peralihan kewenangan dari bupati/walikota kepada gubernur,
bupati/walikota memiliki kewajiban untuk menyerahkan dokumen – dokumen
perizinan di bidang mineral dan batubara yang telah ia terbitkan kepada Gubernur.2
Pada prakteknya, masih banyak bupati yang tidak koperatif untuk menyerahkan data
mengenai IUP di wilayahnya kepada gubernur.3 Padahal, penyerahan dokumen
2
Kewajiban Bupati/walikota untuk menyampaikan dokumen perizinan di bidang Mineral dan
Batubara kepada gubernur diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM No. 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang
berbunyi “Bupati/walikota wajib menyampaikan dokumen perizinan di bidang Mineral dan Batubara
dalam rangka penanaman modal dalam negeri dan WIUP-nya dalam 1 (satu) wilayah provinsi beserta
kelengkapannya kepada gubernur sesuai dengan ketentuan Undang – Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah”.
3
Joko Panji Sasongko, “Banyak Bupati belum serahkan Data Izin Tambang ke Gubernur”
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160830212031-12-154986/banyak-bupati-belum-
serahkan-data-izin-tambang-ke-gubernur diakses 17 Desember 2018.
Universitas Indonesia
119
perizinan tersebut merupakan hal yang penting, karena kelengkapan dokumen akan
menentukan apakah pemegang IUP telah memenuhi persyaratan administratif,
wilayah, teknis, lingkungan, dan finansial atau tidak. Tidak terpenuhinya syarat –
syarat tersebut akan berimplikasi pada diberikannya sanksi administratif berupa
pencabutan IUP. Dengan demikian, kewajiban bupati/walikota untuk menyerahkan
dokumen perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara memiliki urgensi
yang tinggi untuk dibahas. Oleh karena itu, dalam menganalisa peralihan
kewenangan urusan pemerintahan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertambangan, penulis akan memfokuskan pada 3 (tiga) hal diantaranya dasar
pemerintah daerah provinsi dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertambangan mineral dan batubara, legalitas Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015 dalam menganulir ketentuan dalam Undang - Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, dan kewajiban
bupati/walikota dalam menyerahkan dokumen perizinan pertambangan mineral dan
batubara yang telah diterbitkan.
Universitas Indonesia
120
4
Pasal 14 ayat (3) dan (4) Undang - Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
mengecualikan urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan
pengelolaan minyak dan gas bumi hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang berkaitan
dengan panas bumi menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota. Untuk urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan pertambangan haya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.
5
Pasal 9 Undang – Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan
Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan
urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintahan Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan
pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
(urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi
Universitas Indonesia
121
Universitas Indonesia
122
ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah tersebut mengatur bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintah konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dimungkinkan
untuk dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil dari Pemerintah Pusat. Apabila
dikaitkan dalam kegiatan pertambangan maka dapat dipahami bahwa Kementerian
ESDM selaku pemerintah pusat dapat melimpahkan urusan yang menjadi
wewenangnya kepada pemerintah provinsi berdasarkan asas dekonsentrasi.
Di sisi lain, urusan pertambangan merupakan urusan pemerintahan konkuren
yang secara bersamaan telah menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah
daerah provinsi dan menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah di provinsi
tersebut. Lebih lanjut dalam regulasi di sektor pertambangan mineral dan batubara
sendiri, Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
Dan Batubara telah memberikan kewenangan secara atribusi8 kepada gubernur
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan.9 Oleh
karena itu, Gubernur dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertambangan mineral dan batubara seperti penerbitan dan pencabutan IUP
merupakan tugas otonomi daerah yang merupakan kewenangan dirinya sendiri
yang melekat berdasarkan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.10
7
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah....., ps. 19 ayat (1).
8
Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badna dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang – Undang (Indonesia,
Undang – Undang tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292 Tahun
2014, TLN No. 5601, ps. 1 angka 22)
9
Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara
diatur di dalam Pasal 7 Undang – Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara diantaranya kewenangan untuk a) pembuatan peraturan perundang – undangan daerah, b)
pemberian IUP...
10
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.
Universitas Indonesia
123
11
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), hlm. 8.
12
Kewenangan gubernur untuk mencabut IUP diatur di dalam Pasal 119 UU No. 4 Tahun
2009 yang berbunyi “IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya apabila: a) Pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang
ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang – undangan, b) pemegang IUP atau
IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang ini, atau c)
pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.”.
13
Prayudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, cet. 10 (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1995), hlm. 88 yang dikutip dalam Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi
Pemerintahan Daerah Studi Tentang Perizinan Pertambangan Timah di Pulau Bangka”, (Disertasi
Doktor Universitas Indonesia, Jakarta 2011), hlm. 44.
14
Indonesia, Undang – Undang tentang Administrasi..., ps. 1 angka 7.
Universitas Indonesia
124
Jika ketentuan pada Pasal 1 angka 7 Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemrintahan tersebut dikaitkan dengan kewenangan
gubernur untuk mencabut IUP melalui surat keputusan maka dapat dipahami
bahwa surat keputusan yang diterbitkan oleh gubernur dalam hal mencabut IUP
tersebut adalah surat keputusan yang dikategorikan sebagai keputusan tata usaha
negara dan juga keputusan administrasi negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemrintahan.
Terhadap kewenangan untuk menerbitkan surat keputusan, Pasal 7 ayat (2)
huruf h jo. Pasal 49 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah mewajibkan pejabat pemerintahan (dalam hal ini gubernur)
untuk menyusun dan melaksanakan pedoman umum standar operasional prosedur
pembuatan keputusan. Standar operasional prosedur tersebut menjadi pedoman
umum bagi pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan dan wajib
diumumkan kepada publik melalui media cetak, media elektronik dan media
lainnya.15 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Gubernur dalam
menerbitkan surat keputusan dalam rangka menyelenggarakan urusan
pemerintahan di sektor pertambangan harus didasari pada standar operasional
prosedur pembuatan keputusan yang berlaku di daerah otonomnya.
Dalam kasus yang penulis angkat diketahui bahwa gubernur melakukan
pencabutan IUP suatu perusahaan dimana IUP tersebut sebelumnya diterbitkan
oleh bupati. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, diketahui bahwa gubernur
bertindak sebagai kepala daerah dalam menyelenggarakan urusan di sektor
pertambangan mineral dan batubara, sehingga setiap tindakan ataupun keputusan
yang ia lakukan harus didasari oleh peraturan daerah mengenai standar operasional
prosedur di daerah otonomnya. Akan tetapi, pada kasus ini, Gubernur tidak
mendasari surat keputusan pencabutan IUP-nya pada peraturan daerah tetang
standar operasional prosedur penerbitan keputusan di wilayahnya.
Pada surat keputusannya, Gubernur menyebutkan Peraturan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 4 tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kewenangan pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
15
Ibid., ps. 49 ayat (2) dan (3).
Universitas Indonesia
125
Universitas Indonesia
126
bahwa kewenangan baru yang dimiliki gubernur untuk mengevaluasi IUP – IUP
yang diterbitkan oleh bupati merupakan kewenangan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat.16 Apabila kewenangan gubernur tersebut didasari pada asas
dekonsentrasi dimana ia bertindak sebagai wakil pemerintah pusat bukan sebagai
kepala daerah maka perlu dipahami bahwa gubernur hanya bertidak sebagai
pelaksana (mengurus; menerbitkan beschiking atau keputusan saja) yang
pelaksanannya diawasi, dibina dan dievaluasi oleh Pusat (dalam hal ini
Kementerian ESDM).17 Adapun dalam regulasi di sektor pertambangan,
kewenangan gubernur untuk mencabut IUP yang telah diterbitkan oleh bupati
dilahirkan melalui kebijakan yang dibuat oleh pusat yakni Kementerian ESDM
melalui Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang diikuti dengan Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 dan Permen
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam Surat Edaran
ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara tidak disinggung mengenai dasar gubernur dalam menjalankan
kewenangan barunya yang merupakan peralihan kewenangan dari bupati/walikota.
Seharusnya, dengan adanya pelimpahan kewenangan tersebut, Gubernur membuat
peraturan daerah baru untuk mengatur mengenai kewenangan – kewenangan yang
baru dimilikinya apabila asas dari kewenangan tersebut dipahami berasal dari asas
desentralisasi.
Sebagaimana diketahui, dalam hukum administrasi negara terkandung dua
aspek, pertama yaitu aturan – aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana
16
Daerah Provinsi selain berstatus sebagai daerah otonom juga merupakan wilayah
administratif yang menjadi wilayah kerja bagi gubernur sebagai wakil Pemerintah pusat dan wilayah
kerja bagi gubernur dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umumdi wilayah Daerah provinsi.
(Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244
Tahun 2014, TLN No. 5589, Ps. 4 ayat (1).
17
Operasionalisasi kewenangan dari dekonsentrasi adalah keweanangan dilaksanakan secara
tersebar di seluruh Indonesia oleh lembaga pemerintah pusat di pusat dan di daerah (lembaga pusat
yang terletak/berkedudukan di daerah). Kebijakan dilakukan oleh pusat, pengaturan dilaksanakan oleh
Pusat, sedangkan lembaga pusat di Daerah hanya sebagai pelaksana (mengurus; menerbitkan
beschiking/keputusan saja), dilaksanakan, diawasi, dibina dan dievaluasi oleh Pusat, untuk semua
wilayah Indonesia berlaku untuk semua masyarakat dan privat sektor. (Harsanto Nursadi, Hukum
Administrasi Negara Sektoral (Depok, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016),
hlm. 12).
Universitas Indonesia
127
alat – alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya, kedua yaitu aturan – aturan
hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtbetreking) antara alat perlengkapan
administrasi Negara atau pemerintah dengan warganya.18 Dalam hal pengaturan
mengenai bagaimana alat – alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya,
pemerintahan daerah memiliki wewenang untuk peraturan daerah.19 Dalam
peraturan daerah tersebut haruslah mencakup pengaturan mengenai kewenangan,
kelembagaan, sumber daya manusia, keuangan/aset, dan pengawasan yang
kemudian dijadikan sebagai dasar pemerintah daerah melakukan tugas –
tugasnya.20 Apabila dikaitkan dengan kewenangan yang baru dilimpahkan kepada
pemerintah provinsi terkait dengan dicabutnya kewenangan bupati dalam sektor
pertambangan, maka agar gubernur dapat menjalankan kewenangan barunya
tersebut gubernur harus terlebih dahulu membentuk peraturan daerah terkait
dengan kewenangan barunya tersebut. Dalam kasus yang penulis angkat dalam
tulisan ini, diketahui bahwa Gubernur Kalimantan Selatan tidak membentuk
produk hukum baru terkait dengan peralihan kewenangan yang baru dimilikinya
berdasarkan Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 dan Peraturan Menteri
ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Meskipun diketahui adanya Peraturan
Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, namun pada peraturan daerah tersebut tidak mencakup
kewenangan yang baru dimiliki oleh gubernur berdasarkan Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Surat Edaran ESDM No.
04.E/30/DJB/2015. Telebih lagi, Gubernur Kalimantan Selatan tersebut juga tidak
mendasari surat keputusan pencabutan IUP-nya pada Peraturan Daerah Provinsi
18
Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 37 yang
dikutip dalam Harsanto Nursadi, Hukum Administrasi Negara..., hlm. 13.
19
Kewenangan pemerintahan daerah untuk membentuk peraturan daerah diatur dalam Pasal
18 ayat (6) Undang – Undang 1945 yang berbunyi “Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan – peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”.
20
Cakupan hukum yang mengatur hukum administrasi negara meliputi kewenangan,
kelembagaan, sumber daya manusia, keuangan/aset, dan pengawasan. Adapun kewenangan mengatur
(regeling) pemerintah daerah melalui peraturan daerah sama halnya dengan kewenangan mengatur
negara (lembaga legislative) dan administrasi negara/pemerintah pusat, hanya saja materi muatan dan
daya jangkau peraturan daerah hanya seluas areal daerahnya (Harsanto Nursadi, Hukum Administrasi
Negara..., hlm. 13 – 26).
Universitas Indonesia
128
21
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.
22
Ibid.
Universitas Indonesia
129
2. Legalitas Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral No.
04.E/30/DJB/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara setelah Berlakunya Undang – Undang
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Terbitnya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah telah memberikan dampak yang signifikan terutama dalam sektor
pertambangan. Pasalnya, Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah telah menghapus kewenangan bupati/walikota dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor pertambangan sebagimana
diatur dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral Dan Batubara. Sebelum adanya penghapusan kewenangan pemerintah
kabupaten/kota yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, semula bupati/walikota memiliki wewenang yang
cukup besar dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di sektor pertambangan
seperti pembuatan peraturan perundang – undangan daerah, pemberian dan
pencabutan IUP apabila WIUP-nya berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota.23
Akan tetapi, kewenangan bupati/walikota untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertambangan sebagaimana diatur di dalam Undang -
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara tidak
23
Kewenangan bupati/walikota untuk membuat peraturan perundang – undangan daerah dan
memberikan IUP diatur di dalam Pasal 8 huruf a dan b UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara yang berbunyi “Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara antara lain adalah a) pembuatan peraturan perundang –
undangan daerah, b) pemberian IUP....”. Kewenangan bupati/walikota untuk mencabut IUP diatur di
dalam Pasal 119 UU No. 4 Tahun 2009 yang berbunyi “IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila: a) Pemegang IUP atau IUPK
tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang –
undangan, b) pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang – Undang ini, atau c) pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.”.
Universitas Indonesia
130
24
Peraturan perundang – undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang – undangan. (Indonesia, Undang –
Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82
Tahun 2011, TLN No. 5234, ps. 1 angka 2)
25
Jenis dan hierarki peraturan perundang – undangan terdiri atas: a) Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, b) Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat, c) Undang –
Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undnag – Undang, d) Peraturan Pemerintah, e) Peraturan
Presiden, f) Peraturan Daerah Provinsi, dan g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (Indonesia, Undang
– Undang tentang Pembentukan Peraturan...., ps. 7 ayat (1))
Universitas Indonesia
131
26
“Surat Edaran Bukan Peraturan Perundang – Undangan”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18765/surat-edaran-bukan-peraturan-
perundangundangan diakses 4 Januari 2019.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Sadhu Bagas Suratno, Pembentukan Peraturan Kebijakan berdasarkan Asas – Asas
Umum Pemerintahan yang Baik, E-Journal Lentera Hukum Vol. 3, Issue 3 (2017), hlm. 167.
30
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Gadjah Mada University
Press, 1993), hlm. 152 yang dikutip dalam Sadhu Bagas Suratno, Pembentukan Peraturan Kebijakan
berdasarkan Asas – Asas Umum...., hlm. 167.
31
Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan dalam hal peraturan perundang – undangan yang memberikan pilihan, tidak
mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan (Indonesia, Undang –
Undang tentang Administrasi...., ps. 1 angka 9).
Universitas Indonesia
132
mengenai diskresi diatur dalam Bab VI Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan dimana Pasal 22 ayat (2) Undang – Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menentukan tujuan dari
diskresi antara lain untuk:
a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. Mengisi kekosongan hukum;
c. Memberi kepastian hukum;
d. Mengatasi stagnasi pemerintahan32 dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum
Jika dikaitkan dengan Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015, diketahui
bahwa surat edaran tersebut dirterbitkan dalam rangka melaksanakan ketentuan
pasal – pasal dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang menghapus kewenangan bupati/walikota dalam sektor
pertambangan. Meskipun surat edaran itu sendiri tidak termasuk dalam hierarki
peraturan perundang – undangan namun Kementerian ESDM selaku badan
pemerintahan memiliki wewenang untuk menerbitkan diskresi33 atau yang Philipus
M. Hadjon sebut sebagai peraturan kebijakan.34 Selain itu, dipahami bahwa
terbitnya Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 telah melancarkan
penyelenggaraan pemerintahan khsusunya di sektor pertambangan mineral dan
batubara karena telah memberikan kepastian hukum yang sekaligus mengisi
kekosongan hukum setelah diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian Surat Edaran ESDM
Nomor 04.E/30/DJB/2015 telah memenuji tujuan – tujuan dari diskresi yang diatur
32
Stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai
kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya: keadaan alam atau gejolak
politik (Indonesia, Undang – Undang tentang Administrasi...., Penjelasan Pasal 22 ayat (2) huruf d).
33
Kementerian ESDM selaku badan pemerintahan memiliki wewenang untuk menerbitkan
diskresi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang – Undang No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan yang berbunyi “Pejabat pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan
Diskresi sesuai dengan tujuannya.”.
34
Philipus M. Hadjon menyatakan produk semacam peraturan kebijaksanaan tidak terlepas
dari kaitan penggunaan freies ermessen, yaitu, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan
merumuskan kebijaksanannya itu di dalam pelbagai bentuk “juridische regels”, seperti halnya
peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran dan mengumumkan kebijaksanaan itu (Philipus M.
Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi...., hlm. 152.)
Universitas Indonesia
133
di dalam Pasal 22 ayat (2) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.
Kendati demikian, memang pada idealnya ketentuan dalam Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menghapus
kewenangan bupati/walikota dalam sektor pertambangan diikuti dengan
penyesuaian dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral Dan Batubara. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa peralihan
kewenangan ini memiliki urgensi yang tinggi dan untuk merevisi suatu undang –
undang dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Bapak Heriyanto selaku Kepala
Bagian Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM
menyatakan bahwa pada saat Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah diterbitkan, Kementerian ESDM telah menyampaikan
adanya problem pada undang – undang tersebut dimana pada Undang - Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara masih diatur
mengenai kewenangan bupati/walikota.35 Akan tetapi, perlu diperhatikan
ketentuan Pasal 407 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa “Pada saat Undang – Undang ini
mulai berlaku, semua peraturan perundang –undangan yang berkaitan secara
langsung dengan Daerah wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya
pada Undang – Undang ini.” Berdasarkan ketentuan pada Pasal 407 Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka dipahami
bahwa tanpa dilakukannya perubahan pada Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, secara normatif bupati/walikota
sudah tidak lagi memiliki wewenang dalam sektor pertambangan mineral dan
batubara.36 Akan tetapi, lebih lanjut menurut Bapak Heriyanto, saat ini revisi
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara sudah dalam proses.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa meskipun surat
edaran tidak termasuk dalam peraturan perundang – undangan, tetapi pengaturan
35
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.
36
Ibid.
Universitas Indonesia
134
Universitas Indonesia
135
Lebih lanjut, Pasal 402 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menentukan bahwa terhadap Izin yang telah dikeluarkan
sebelum berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dipahami bahwa terhadap izin – izin
di bidang pertambangan yang telah diterbitkan oleh bupati/walikota sebelum
adanya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
tetap berlaku, hanya saja izin – izin tersebut harus dilakukan evaluasi oleh Menteri
atau gubernur sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan. Adapun bunyi dari Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan bahwa: “Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya
melakukan evaluasi terhadap dokumen perizinan di bidang Pertambangan Mineral
dan Batubara beserta kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3.”
Lebih lanjut Pasal 5 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan mengatur bahwa
evaluasi IUP dilakukan terhadap dua hal yaitu terhadap penyesuaian IUP dari
Kuasa Pertambangan dan terhadap Kuasa Pertambangan yang belum berakhir
jangka waktunya tetapi belum menjadi IUP. Evaluasi tersebut didasarkan pada
kriteria administratif, kewilayahan, teknis, lingkungan, dan finansial.37 Apabila
setelah dilakukan evaluasi diketahui IUP tersebut tidak memenuhi kriteria yang
ditentukan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis,
penghentian sementara kegiatan usaha, dan pencabutan IUP.
Sebaliknya, menurut Pasal 21 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan apabila IUP
37
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM No. 43 Tahun
2015, ps. 5 ayat (2).
Universitas Indonesia
136
38
Joko Panji Sasongko, “Banyak Bupati Belum Serahkan Data Izin Tambang ke Gubernur”
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160830212031-12-154986/banyak-bupati-belum-
serahkan-data-izin-tambang-ke-gubernur diakses 17 Desember 2018.
Universitas Indonesia
137
dipenuhi oleh pemegang IUP, padahal pemegang IUP telah memenuhi kriteria
tersebut, hanya saja bupati/walikota yang memiliki dokumen tersebut tidak
menyerahkannya kepada gubernur. Contohnya, terkait dengan kriteria lingkungan
sebagaimana disyaratkan dalam melakukan evaluasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan, apabila bupati/walikota
tidak menyerahkan izin lingkungan terkait dengan IUP Operasi Produksi yang
telah ia terbitkan kepada gubernur, maka dapat berimplikasi pada tidak
terpenuhinya kriteria lingkungan terhadap IUP tersebut. Oleh karena dianggap
tidak memenuhi kriteria lingkungan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan, maka gubernur berdasarkan Pasal 18
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan dapat memberikan sanksi administratif
berupa pencabutan IUP Operasi Produksi tersebut.
Menurut Bapak Heriyanto selaku Kepala Bagian Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, upaya yang dapat dilakukan oleh
gubernur apabila bupati/walikota tidak menyerahkan dokumen – dokumen izin
dalam sektor pertambangan adalah melaporkan bupati/walikota tersebut kepada
Menteri Dalam Negeri.39 Dengan gubernur melaporkan bupati/walikota kepada
Menteri Dalam Negeri, Menteri dalam Negeri dapat memberikan teguran kepada
bupati/walikota yang bersangkutan. Selaras dengan hal tersebut, Pasal 350 ayat
(5) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
memungkinkan gubernur untuk memberikan teguran tertulis kepada
bupati/walikota dalam hal kepala daerah (bupati) tidak memberikan pelayanan
perizinan. Maka dalam hal ini diketahui bahwa apabila gubernur tidak kunjung
menerima dokumen – dokumen IUP yang seharusnya ia evaluasi dari
bupati/walikota, maka gubernur tersebut dapat memberikan teguran kepada
bupati/walikota yang bersangkutan untuk menyerahkan dokumen tersebut.
39
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.
Universitas Indonesia
138
Selain itu, Kementerian ESDM juga telah menerbitkan surat edaran dimana
gubernur juga dapat membuka penerimaan dokumen langsung dari perusahaan –
perusahaan.40 Surat edaran tersebut disampaikan kepada seluruh gubernur dan
bupati bahwa apabila gubernur belum menerima dokumen – dokumen IUP,
gubernur dapat memberikan pengumuman bahwa seluruh perusahaan yang berada
di wilayah provinsi tersebut mendaftarkan kembali izinnya dengan melampirkan
dokumen – dokumen yang ada. Surat edaran tersebut dimaksudkan sebagai
alternatif apabila bupati tidak melakukan kewajibannya.
Akan tetapi diketahui bahwa terkait dimungkinkannya gubernur untuk
meminta dokumen – dokumen IUP langsung kepada pemegang IUP tidak
menjadikan Pemegang IUP memiliki kewajiban untuk memberikan dokumen –
dokumen yang telah dimiliki kepada gubernur. Apabila pemegang IUP tidak
menyerahkan dokumen – dokumen terkait perizinannya, gubernur tidak dapat
memberikan sanksi apapun kepada pemegang IUP sebab kewajiban untuk
menyerahkan dokumen tersebut merupakan kewajiban dari bupati/walikota. Oleh
karena itu, meskipun gubernur juga telah melakukan upaya untuk meminta
dokumen – dokumen IUP kepada pemegang IUP dalam rangka melakukan
evaluasi, pemegang IUP tidak berkewajiban untuk menyerahkan dokumen –
dokumen tersebut kepada gubernur. Selain itu, dimungkinkan juga gubernur tidak
proaktif untuk melaporkan bupati/walikota yang tidak menyerahkan dokumen –
dokumen IUP kepada Menteri Dalam Negeri. Ketiadaan sikap proaktif tersebut
tentunya akan berimplikasi pada kerugian pemegang IUP karena dianggap tidak
memenuhi persyaratan. Dengan demikian, untuk dapat memaksimalkan upaya
evaluasi dokumen – dokumen IUP sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan seharusnya bupati/walikota dapat dikenakan sanksi yang
diatur dalam sektor pertambangan mineral dan batubara apabila tidak kooperatif
dalam menyerahkan dokumen – dokumen IUP yang telah ia terbitkan.
40
Ibid.
Universitas Indonesia
139
41
IUP dapat berakhir karena: a) dikembalikan, b) dicabut atau c) habis masa berlakunya
(Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4 Tahun 2009,
LN No. 4 Tahun 2009, TLN No. 4959, ps. 117).
Universitas Indonesia
140
Universitas Indonesia
141
Universitas Indonesia
142
Universitas Indonesia
143
pemegang IUP apabila IUP nya tidak memenuhi kriteria yang ditentukan. Adapun
sanksi tersebut bervariatif yang didasarkan pada jenis pelanggarannya, contohnya
dalam hal IUP Operasi Produksi tidak memenuhi kriteria lingkungan, maka menurut
Pasal 18 dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan, maka gubernur atau Menteri sesuai
dengan kewenangannya dapat langsung mencabut IUP tersebut. Berbeda halnya untuk
IUP Operasi Produksi yang tidak memenuhi kriteria finansial, dimana menurut Pasal
17 ayat (2) dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan, gubernur atau Menteri sesuai dengan
kewenangannya harus memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis,
penghentian sementara kegiatan usaha, atau pencabutan IUP. Dengan demikian
terdapat perbedaan perlakuan pemberian sanksi terhadap masing – masing kriteria
yang ditentukan.
Apabila hasil evaluasi penerbitan IUP yang dilakukan oleh Menteri atau gubernur
sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 99 huruf d Peraturan
Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah,
Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
merujuk kepada evaluasi dalam dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan maka akan
timbul ketidakpastian hukum dalam ketentuan pencabutan IUP. Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, apabila kriteria yang tidak dipenuhi oleh suatu IUP Operasi
Produksi adalah kriteria finansial maka merujuk kepada ketentuan Pasal 17 ayat (2)
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan dalam mencabut IUP Operasi Produksi tersebut
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya harus melalui tahapan – tahapan
dalam sanksi administratif. Sedangkan apabila merujuk kepada ketentuan Pasal 99
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, terlepas dari apapun kriteria yang tidak dipenuhi, apabila hasil evaluasi
penerbitan IUP terbukti adanya pelanggaran maka Menteri atau gubernur sesuai
dengan kewenangannya dapat langsung mencabut IUP Operasi Produksi tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa regulasi mengenai persyaratan
pencabutan IUP telah mengalami perluasan makna setelah diberlakukannya Peraturan
Universitas Indonesia
144
Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah,
Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Universitas Indonesia
145
di Kecamatan Pulau Laut Utara dan Pulau Laut Tengah Kabupaten kotabaru
Provinsi Kalimantan Selatan.
Dalam rangka menjalankan kegiatan usaha pertambangannya, pada tanggal 5
November 2008, PT Sebuku memperoleh Kuasa Pertambangan Penyelidikan
Umum dari Bupati Kotabaru melalui Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor
545/12/PU/D.PE yang kemudian telah disesuaikan menjadi IUP Eksplorasi yang
diterbitkan oleh Bupati Kotabaru melalui Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor
545/12/PU/D.PE. PT Sebuku Batubai Coal juga telah mendapatkan persetujuan
peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi seluas 5.140,89 Ha dari
Bupati Kotabaru melalui Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor.
545/62/PU/D.PE/2010 tertanggal 7 Juli 2010.
Terkait dengan izin lingkungan, pada tanggal 30 Juni 2010, Bupati Kotabaru
menerbitkan Surat Kelayakan Lingkungan milik PT Sebuku Batubai melaui Surat
Keputusan Bupati Notabaru Nomor 188.45/278/KUM/2010. Kemudian pada tahun
2013, terhadap penyeseuaian atas Surat Kelayakan Lingkungan, Bupati Kotabaru
menerbitkan Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor 188.4//668/KUM/2014
tentang Izin Lingkungan Atas Kegiatan Pertambangan Batubara oleh PT. Sebuku
Batubai Coal. Selain itu, pada tanggal 15 Ferbruari 2017, Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara menerbitkan Sertifikat Clear and Clean 934/Bb/03/2017
kepada PT Sebuku.
Universitas Indonesia
146
Universitas Indonesia
147
Universitas Indonesia
148
Kalimantan Selatan. Adapun Pasal 1 angka 9 Undang – Undang No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang No. 5 Tahun 1996 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual dan, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa untuk dapat dikatakan
suatu keputusan adalah keputusan tata usaha negara harus dipenuhi syarat konkret,
individual, dan final dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Dalam kasus yang diangkat oleh penulis, kewenangan Gubernur Kalimantan
Selatan dalam menerbitkan Surat Keputusan tentang Pencabutan IUP OP milik PT
Sebuku merupakan kewenangan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang energi dan sumber daya mineral, khususnya pertambangan batubara
sebagaimana diatur dalam Pasal 119 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, Pasal 38 Peraturan Menteri ESDM
Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara, dan Pasal 17 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Adapun sifat konkret dalam suatu keputusan artinya objek yang diputuskan dalam
keputusan itu tidak abstrak tetapi berwujud tertentu atau dapat ditemukan.42 Dalam
hal ini, surat keputusan yang diterbitkan oleh Gubernur Kalimantan Selatan telah
menentukan secara tegas dan jelas bahwa hal yang diatur dalam surat keputusan
tersebut adalah “Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan tentang Pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT Sebuku Batubai Coal di
Kabupaten Kotabaru” sebagaimana terlihat pada bagian “memutuskan” surat
keputusan sebagaimana terlampir. Klausa tersebut memperlihatkan bahwa hal yang
diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan merupakan sesuatu
42
Rochmat Soemitro, Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung: Refika Aditama, 1998),
hlm. 95.
Universitas Indonesia
149
yang berwujud dan dapat ditentukan. Dengan demikian, sifat konkret dalam Surat
Keputusan Gubernur Kalimantan tersebut telah terpenuhi.
Sedangkan sifat individual artinya keputusan tersebut tidak ditunjuk untuk
umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju.43 Dalam kasus ini,
keputusan yang diterbitkan oleh Gubernur Kalimantan Selatan khususnya pada
bagian Kedua di “menetapkan” telah ditentukan secara tegas bahwa keputusan
gubernur mengenai pencabutan IUP Operasi Produksi ditujukan kepada PT Sebuku
Batubai Coal yang lokasi penambangannya terletak di Pulau Laut Utara dan Pulua
Lut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan demikian,
sifat individual pada Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan telah
terpenuhi. Selain itu, yang dimaksud dengan sifat final artinya keputusan tersebut
sudah tidak lagi membutuhkan persetujuan atau instansi lain untuk
penetapannnya.44 Dalam hal ini, terlihat pada bagian kelima dalam “menetapkan”
SK Gubernur Kalimantan Selatan tentang Pencabutan IUP Operasi Produksi milik
PT Sebuku dinyatakan bahwa “keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan...”, dengan demikian dapat dipahami bahwa keberlakuan SK Gubernur
tersebut tidak memerlukan persetujuan instansi atau pihak lain lagi karena dalam
Surat Keputusan tersebut telah ditetapkan tanggal berlakunya Surat Keputusan,
sehingga syarat “final” dalam Surat Keputusan Gubernur Kalimantan tersebut telah
terpenuhi. Selain itu, dengan diterbitkannya SK Gubernur Kalimantan Selatan
tentang Pencabutan IUP Operasi Produksi milik PT Sebuku tentunya berakibat
hukum bagi PT Sebuku dimana PT Sebuku sudah tidak lagi dapat menjalankan
usahanya dalam kegiatan pertambangan. Dengan demikian, berdasarkan
penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa SK Gubernur Kalimantan Selatan
tentang Pencabutan IUP Operasi Produksi milik PT Sebuku dapat dikategorikan
sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang –
Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang No.
5 Tahun 1996 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
43
Ibid.
44
Ibid.
Universitas Indonesia
150
45
Indroharto, Usaha Memahami Undang – Undang tentang Peradilan Administrasi
Pemerintahan, Buku I, Beberapa pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993), hlm. 85.
46
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), hlm. 22.
47
Ibid.
Universitas Indonesia
151
Kalimantan Selatan dalam mencabut IUP Operasi Produksi PT Sebuku dan juga
substansi dari dicabutnya IUP Operasi Produksi PT Sebuku.
Universitas Indonesia
152
bupati dalam menerbitkan IUP Operasi Produksi PT Sebuku pada 7 Juli 2010
merupakan tindakan yang didasari oleh wewenang yang diatur dalam Undang -
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara,
mengingat Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah pada kurun waktu tersebut belum berlaku.
Meskipun IUP Operasi Produksi PT Sebuku diterbitkan oleh Bupati
Kotabaru, namun setelah terbitnya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah yang khususnya diatur dalam Pasal 14 jo.
Lampiran Bagian CC Nomor 2 dan kemudian diikuti dengan terbitnya Surat
Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015, Bupati Kotabaru tidak lagi memiliki
wewenang terhadap IUP Operasi Produksi tersebut dan terhadap IUP Operasi
Produksi PT Sebuku tersebut harus dilakukan evaluasi oleh Gubernur
Kalimantan Selatan. Kewajiban untuk melakukan evaluasi tersebut terhadap IUP
yang telah diterbitkan oleh bupati tersebut kemudian dipertegas dalam Pasal 5
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Apabila terhadap
evaluasi yang dilakukan oleh Gubernur diketahui bahwa IUP Operasi Produksi
PT Sebuku tidak memenuhi kriteria administratif, kewilayahan, teknis,
lingkungan, atau finansial maka menurut Pasal 17 Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara jo. angka 6 Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015 Gubernur memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi
administratif terhadap IUP tersebut. Adapun sanksi administratif tersebut berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha; atau
c. pencabutan IUP.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa dalam Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan
Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Gubernur memiliki wewenang
untuk mencabut IUP, baik IUP Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi yang
telah diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
Selain itu, diketahui bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri
ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan
Universitas Indonesia
153
IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati dapat
dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya apabila:
a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan
dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang – undangan;
b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara; atau
c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.
Ketentuan dalam Pasal 119 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara tersebut juga telah memberikan
kewenangan kepada Gubernur untuk mencabut IUP. Dengan demikian,
berdasarkan Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral Dan Batubara, Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan
Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Surat Edaran ESDM
Nomor 04.E/30/DJB/2015 dapat disimpulkan bahwa Gubernur memiliki
Universitas Indonesia
154
wewenang untuk mencabut IUP, baik IUP Eksplorasi maupun IUP Operasi
Produksi yang wilayah pertambangannya berada di dalam 1 (satu) Provinsi.
Dalam kasus yang diangkat oleh penulis diketahui bahwa wilayah
pertambangan batubara PT Sebuku berada di Kabupaten Kotabaru yang terletak
di wilayah administratif Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Oleh karena
kasus pencabutan IUP Operasi Produksi ini terjadi di periode waktu setelah
diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, maka apabila terdapat pelanggaran pada IUP yang telah diterbitkan oleh
Bupati Kotabaru, kewenangan untuk mencabut IUP Operasi Produksinya
merupakan kewenangan Gubernur Kalimantan Selatan bukan lagi Bupati
Kotabaru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Gubernur Kalimantan
Selatan memiliki wewenang untuk mencabut IUP Operasi Produksi milik PT
Sebuku yang terletak di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.
Universitas Indonesia
155
49
Tergugat (Gubernur Kalimantan Selatan) dalam Surat Jawabannya menyatakan “Penggugat
(PT Sebuku) belum melaksanakan kegiatan di lapangan sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 50 ayat
(2) huruf e Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Bahwa Penggugat
sebagaimana diatur dalam pasal 50 ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang
Izin Lingkungan wajib melakukan permohonan perubahan Izin Lingkungan kepada Bupati dan tidak
melakukan kegiatan sebelum diterbitkannya perubahan Izin Lingkungan.” (Pengadilan Tata Usaha
Negara Banjarmasin, Putusan No. 6/G/2018/PTUN.BJM, hlm. 60).
50
Fakta hukum yang diperoleh dalam proses persidangan salah satunya adalah “bahwa pada
tanggal 25 Oktober 2017, Provinsi Kalimantan Selatan melalui Surat Dinas ESDM No. 540/4252-
BMB/DESDM perihal Penghentian Sementara kegiatan Pertambangan Batubara PT Sebuku Batubai
Coal didasari bahwa Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Selatan tidak memiliki salinan izin
lingkungan sehingga kepada Penggugat (PT Sebuku) diminta untuk menghentikan kegiatan
pertambangan batubara sampai salinan izin lingkungan yang berlaku disampaikan kepada Dinas
ESDM Provinsi Kalinantan Selatan” (Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, Putusan No.
6/G/2018/PTUN.BJM, hlm. 217 – 218).
Universitas Indonesia
156
Universitas Indonesia
157
Universitas Indonesia
158
52
Kawasan Andalan menurut Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah bagian dari kawasan budi daya, baik di ruang
darat maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
bagi kawasan tersebut dan kawasan disekitarnya.
53
Wilayah Pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara
dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang
nasional (Indonesia, Undang – Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4 Tahun 2009,
LN No. 4 Tahun 2009, TLN No. 4959, ps. 1 angka 29).
54
Ketentuan wilayah pertambangan sebagai landasan dari penetapan kegiatan pertambangan
diatur dalam Pasal 9 Undang – Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
yang berbunyi “Wilayah Pertambangan sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan
bagi penetapan kegiatan pertambangan.”
Universitas Indonesia
159
55
Peta Wilayah Pertambangan Pulau Kalimantan yang dikutip di dalam Lampiran Keputusan
Menteri ESDM No. 4003 K/30/MEM/2013
Universitas Indonesia
160
Universitas Indonesia
161
56
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), yang selanjutnya disebut
Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan. (Indonesia, Undang – Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, ps. 1 angka 11).
Universitas Indonesia
162
57
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (1) Undang – Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meliputi a) yang terkena dampak, b)
pemerhati lingkungan hidup, c) yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
(Indonesia, Undang – Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan..., ps. 26 ayat (3)).
58
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.
Universitas Indonesia
163
59
Ibid.
Universitas Indonesia
164
60
Ibid.
Universitas Indonesia
165
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 50 ayat (1) jo. ayat (2) huruf e Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan diketahui bahwa apabila
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan (pemilik izin lingkungan) tidak
melakukan kegiatan selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya izin
lingkungan, maka pemilik izin lingkungan tersebut diwajibkan melakukan
permohonan perubahan izin lingkungan. Oleh karena berdasarkan Surat
Kabar Radar Banjarmasin Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan memahami
PT Sebuku tidak melaksanakan kegiatan sejak diterbitkannya izin lingkungan
pada tahun 2013, maka berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (2) huruf e
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Dinas LH
Provinsi Kalimantan Selatan memerintahkan PT Sebuku untuk melakukan
permohonan perubahan izin lingkungan.
Kendati demikian, Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan tidak menjelaskan lebih lanjut batasan rencana usaha dan/atau
kegiatan yang dimaksud harus dilakukan setelah dimilikinya izin lingkungan.
Akan tetapi, apabila merujuk pada izin lingkungan PT Sebuku yang
diterbitkan melalui surat keputusan bupati kotabaru pada tahun 2013
(terlampir), disebutkan bahwa ruang lingkup kegiatan pertambangan
batubara dalam izin lingkungan PT Sebuku meliputi kegiatan pra-konstruksi,
kegiatan konstruksi, kegiatan operasi, dan kegiatan pasca operasi. Diketahui
bahwa pada saat kasus ini berjalan kegiatan yang dilakukan oleh PT sebuku
Universitas Indonesia
166
baru berada pada tahap konstruksi61, maka kegiatan yang seharusnya sudah
dilakukan oleh PT Sebuku merupakan kegiatan – kegiatan pada tahap pra-
konstruksi dan tahap konstruksi. Dalam diktum ketiga izin lingkungan PT
Sebuku disebutkan bahwa kegiatan pada tahap pra-konstruksi terdiri dari
sosialisasi kegiatan, pembebasan laha, dan pengurusan izin, sedangkan untuk
tahap konstruksi, kegiatannya meliputi penerimaan tenaga kerja, mobiliasi
peralatan dan material, pembukaan lahan untuk sarana penunjang dan
pendukung, dan pembangunan sarana penunjang dan saran pendukung.
Dengan demikian, diketahui bahwa kegiatan yang harus dilakukan oleh PT
Sebuku setelah dimilikinya izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (2) huruf e Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan merujuk pada kegiatan pada tahap pra konstruksi dan konstruksi
yang diatur di dalam izin lingkungan PT Sebuku.
Menanggapi Surat Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan Nomor
660/648-TL/DLH tersebut, pada tanggal 30 Oktober 2017, PT Sebuku
mengirimkan Surat Nomor 026/SBC/DIR-SMD/X/2017 kepada Dinas LH
Provinsi Kalimantan Selatan perihal Klarifikasi Pelaksanaan Kegiatan dan
Izin Llingkungan PT Sebuku Batubai Coal (terlampir). Pada poin 2 surat PT
Sebuku tersebut, PT Sebuku menyampaikan keberatannya dan
mengklarifikasi secara rinci bahwa perusahaannya telah melaksanakan
kegiatan antara lain pembebasan lahan, penerimaan tenaga kerja konstruksi,
mobilisasi alat berat untuk konstruksi, pembukaan lahan untuk sarana
penunjang dan sarana pendukung dan pembangunan sarana penunjang dan
sarana pendukungnya yang dijelaskan. Selain itu, dalam surat tersebut PT
Sebuku juga menyatakan bahwa perusahannya telah membuat dan
menyampaikan laporan pelaksanaan izin lingkungan (laporan RKL – RPL)
setiap 6 (enam) bulan sekali yang juga memuat mengenai laporan secara
umum pelaksanaan dari kegiatan tahap pra-konstruksi dan konstruksi
sebagaimana telah dilakukan yang disampaikan kepada Dinas LH Kabupaten
Kotabaru. Terlebih lagi pada poin 5 (lima) surat PT Sebuku dinyatakan
bahwa:
61
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.
Universitas Indonesia
167
Universitas Indonesia
168
63
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Izin Lingkungan, PP No. 27 Tahun 2012, LN No.
48 Tahun 2012 TLN No. 5285, ps. 50 ayat (4).
64
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Evaluasi..., ps. 5 ayat (2).
Universitas Indonesia
169
Universitas Indonesia
170
66
Apabila ditemukan fakta bahwa PT Sebuku melakukan kegiatan pertambangan tanpa
memiliki izin lingkungan, maka menurut ketentuan Pasal 111 ayat (2) Undang – Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bupati Kotabaru dapat dikenakan
sanksi pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
67
Evaluasi terhadap penerbitan IUP berdasarkan kriteria lingkungan diatur di dalam Pasal 5
ayat (2) huruf d Peraturan Menteri ESDM No. 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan
Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi “Evaluasi terhadap penerbitan Iup
sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria lingkungan berupa
dokumen lingkungan hidup yang telah disahkan oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan.”
68
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.
Universitas Indonesia
171
69
Ibid.
Universitas Indonesia
172
Universitas Indonesia
173
70
Ibid.
Universitas Indonesia
174
Selain itu, Surat Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 540/4252-
BMB/DESDM perihal Penghentian Sementara Kegiatan Pertambangan Batubara
PT Sebuku Batubai Coal tidak dapat dibenarkan. Dari segi substansi, Surat Dinas
ESDM tersebut telah menyalahi ketentuan peraturan perundang – undangan
karena tidak dimilikinya salinan izin lingkungan tidak dapat dijadikan alasan
pemberian sanksi kepada pemegang IUP.71 Dari segi prosedur, diketahui bahwa
sanksi penghentian sementara kegiatan merupakan tahapan lanjutan dari sanksi
teguran tertulis72, sehingga diperlukan adanya teguran tertulis terlebih dahulu
untuk kemudian dapat diberikan sanksi penghentian sementara kegiatan
pertambangan. Dalam kasus PT Sebuku ini, diketahui bahwa sanksi teguran
tertulis yang diberikan oleh Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan tidak
termasuk dalam tahap pemberian sanksi administratif terhadap IUP Operasi
Produksi PT Sebuku karena surat teguran tersebut ditujukan pada izin lingkungan
PT Sebuku. Dengan demikian, untuk dapat memberikan sanksi administratif
berupa penghentian sementara kegiatan pertambangan PT Sebuku, seharusnya
Gubernur Kalimantan Selatan melalui Dinas ESDM terlebih dahulu memberikan
teguran tertulis yang didasari pada alasan – alasan yang dapat diakomodir secara
hukum sebagai alasan dalam mencabut IUP.
Terlebih lagi, penerbitan surat keputusan berupa pencabutan IUP Operasi
Produksi PT Sebuku juga tidak dapat dibenarkan baik dari segi substansi maupun
dari segi prosedur. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,
diketahui bahwa tidak ada satupun ketentuan peraturan perudangan yang
71
Keadaan – keadaan yang dimungkinkan untuk diberikannya penghentian sementara
kegiatan usaha pertambangan diatur dalam Pasal 113 Undang – Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi “Penghentian sementara kegiatan usaha
pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila terjadi: a) keadaan kahar,
b) keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan
usaha pertambangan, c) apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat
menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan
di wilayahnya.”
72
Ketentuan yang menyatakan bahwa sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh
kegiatan usaha pertambangan merupakan kelanjutan dari sanksi teguran tertulis diatur di dalam Pasal
40 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM No. 34 Tahun 2017 tentang ... yang berbunyi “Dalam hal
pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan IUJP
yang mendapat sanksi peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 belum melaksanakan kewajibannya, dikenakan sankasi
administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b.”
Universitas Indonesia
175
Universitas Indonesia
176
73
Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, Putusan No. 6..., hlm. 133 - 134).
74
Ketentuan yang menyatakan bahwa dimilikinya sertifikat clear and clean mengartikan
pemegang IUP telah memenuhi persyaratan administrasi, wilayah, teknis, finansial, dan lingkungan
diatur di dalam Pasal 24 Peraturan Menteri ESDM No. 43 Tahun 2015 tentang ... yang berbunyi
“Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan Sertifikat IUP Clear and Clean berdasarkan: a)
hasil evaluasi terhadap penerbitan IUP terkait aspek teknis, lingkungan, dan finansial yang dilakukan
oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, dan
ayat (3) serta hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dan b) hasil evaluasi dari gubernr
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c dan huruf f serta evaluasi kriteria finansial
sebagaima adimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
Universitas Indonesia
177
Universitas Indonesia
178
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis jabarkan pada bagian sebelumnya, maka
dapat disimpulkan beberapa hal, diantaranya:
1. Kewenangan gubernur dalam pencabutan IUP setelah berlakunya Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengalami
perluasan. Gubernur memiliki wewenang untuk mencabut IUP yang wilayah
pertambangannya berada di 1 (satu) daerah provinsi termasuk juga terhadap
IUP yang telah diterbitkan oleh bupati/walikota sebelum berlakunya Undang
– Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah atas hasil dari
evaluasi yang dilakukan terhadap IUP yang bersangkutan. Adapun
bupati/walikota tidak lagi memiliki wewenang untuk mencabut IUP, setelah
diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 04.E/30/DJB/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara setelah
Berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Selain itu, Menurut Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, diketahui bahwa IUP yang telah
diterbitkan dapat berakhir jika dikembalikan, dicabut atau habis masa
berlakunya. Pencabutan IUP dapat langsung dilakukan oleh Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral atau gubernur sesuai dengan kewenangannya,
dalam hal pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam
IUP atau IUPK serta peraturan perundang – undangan, pemegang IUP atau
IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang –
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
atau pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit. Selain itu, dimungkinkan
juga pencabutan IUP yang harus dilakukan melalui tahapan sanksi
administratif terlebih dahulu berupa peringatan tertulis, penghentian
sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi,
Universitas Indonesia
179
dan/atau pencabutan IUP, IPR, atau IUPK dalam hal pemegang IUP
melakukan pelanggaran ketentuan dalam beberapa Pasal yang disebutkan
dalam Pasal 151 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Universitas Indonesia
180
5.1 Saran
Dari penelitian yang penulis lakukan, penulis menyarankan beberapa hal dengan
tujuan untuk memaksimalkan penyelenggaraan urusan pemerintahan di sektor
pertambangan mineral dan batubara. Saran – saran tersebut antara lain adalah:
1. Pemberian sanksi pada regulasi di sektor pertambangan mineral dan batubara
kepada bupati/walikota dalam hal bupati/walikota lalai dalam memenuhi
kewajibannya untuk menyerahkan dokumen – dokumen IUP sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata
Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
2. Peningkatan peran pemerintah pusat dalam melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilakukan
pemerintah provinsi. Dengan diterbitkannya Undang – Undang No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah, gubernur mengemban tugas yang lebih
banyak jika dibandingkan pada masa sebelum Undang – Undang No. 23
Tahun 2014 diterbitkan oleh karena kewenangan di sektor pertambangan yang
semula dimiliki oleh bupati/walikota seluruhnya dilimpahkan kepada
gubernur.
Universitas Indonesia
181
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Amrizal. Hukum Bisnis Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia. Jakarta: Djambatan,
1996.
Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara. Tindak Lanjut Pembinaan dan Pengawasan
Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara era Terbitnya UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Bahan Presentasi Pertemuan
Tahunan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Yogyakarta: 22
Oktober 2015.
Hayati, Tri, dkk. Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam
berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS
FHUI, 2005.
Hayati, Tri. Era Baru Hukum Pertambangan: Di Bawah Rezim UU No. 4 Tahun 2009.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.
Universitas Indonesia
182
LIPI, Partnership for Governance Reform in Indonesia, dan Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia. Desentralisasi & Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press, 2007.
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara,
2003.
Universitas Indonesia
183
Soemitro, Rochmat. Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Refika Aditama, 1998.
Survey of Indonesia Economic Law. Mining Law. Bandung: Law School Padjajaran
University, 1974.
Wasistiono, Sadu, Etin Indrayani, dan Andi Pitono. Memahami Asas Tugas
Pembantuan. Bandung: Fokus Media, 2006.
Universitas Indonesia
184
Yuliati, Sri. Analisis Hukum tentang Pemilikan Saham pada Perusahaan Penanaman
Modal Asing.
II. HARIAN
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. “APBN KITA (Kinerja dan Fakta), APBN
2017: Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Hingga Ujung Negeri,” Edisi Januari
2018. Hlm. 6.
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat
Jenderal Mineral dan batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
pada 18 Desember 2018.
IV. INTERNET
Universitas Indonesia
186
https://www.ngemc.com/sites/ngemc/files/ERSY/LP%202.9%20Renewable%2
0and%20Nonrenewable%20Energy.pdf. Diakses 13 September 2018
Panji Sasongko, Joko. “Banyak Bupati Belum Serahkan Data Izin Tambang ke
Gubernur” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160830212031-12-
154986/banyak-bupati-belum-serahkan-data-izin-tambang-ke-gubernur. Diakses
13 September 2018.
“Siaran Pers: Laporan Penataan Izin Batubara Dalam Korsup KPK” https://pwyp-
indonesia.org/id/318888/siaran-pers-laporan-penataan-izin-batubara-dalam-
korsup-kpk/. Diakses 17 Desember 2018.
Tempo.com. “Soenarko Direktur Utama PT Silo: Haji Islam seperti Kepala Negara”.
https://majalah.tempo.co/read/155279/soenarko-direktur-utama-pt-silo-haji-
isam-seperti-kepala-negara. Diakses 13 September 2018.
V. JURNAL
Braake, A. L, Ter. “Mining in The Netherlands East Indies”, Netherl and Indies
Council of the Inst of Pacific Relations, (New York. 1994).
Universitas Indonesia
187
Dwi Hananto, Untung. “Asas Desentralisasi dan Tugas Pembantuan dalam UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,” Jurnal MMH Jilid 40 No. 2 (April
2011). Hlm. 208.
Imanuel Williamsom Nalle, Victor. “Hak Menguasai Negara atas Mineral dan Batubara
Pasca Berlakunya Undang – Undang Minerba,” Jurnal Konstitusi Vol. 9 No. 3
(September 2012). Hlm. 476.
Universitas Indonesia
188
Md. Diaz Murshed Chowdury, Samim Uddin, Sumaiya Saleh. “Present Scenario of
Renewable and Non-Renewable Resources in Bangladesh: A Compact Analysis”,
International Journal of Sustainable and Green Energy. Hlm. 164.
Nefi, Arman, Irawan Maleba dan Dyah Puspitasari Ayuningtyas, “Implikasi
Keberlakuan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Pasca Undang – Undang No.
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke-48 No. 1 (Januari – Maret 2018). Hlm. 143.
Nugraha, Prima, Budi Gutami, dan Henny Juliani, “Penerapan Status Clear and Clean
oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap Izin Usaha
Pertambangan”, Dipenogoro Law Journal, Vol. 6 No. 2 (2017). Hlm. 3.
Nurul Laili Fadhilah, “Implikasi Pemberlakuan Undang – Undang No. 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Undang – Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah atas Perizinan Pertambangan terhadap Legislasi di Daerah,”
Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 1 No. 2
(Desember 2016). Hlm. 92 – 93.
Redi, Ahmad. “Dinamika Konsepsi Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam”,
Jurnal Konstitusi Vol. 12 No. 2 (Juni 2015). Hlm. 404
Universitas Indonesia
189
Redi, Ahmad. “Dilema Penegakan Hukum Penambangan Mineral dan Batubara tanpa
Izin Pada Pertambangan Skala Kecil,” Jurnal Rechtsvinding Vol. 5 No. 3
(Desember 2016). Hlm. 411.
VI. KAMUS
Indonesia, Undang – Undang tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 1 Tahun 1967,
LN No. 1 Tahun 1967 TLN No. 2818.
Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Permen ESDM No. 43 Tahun 2015 BN
No. 2015 Tahun 2015.
Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan
Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Permen
ESDM No. 11 Tahun 2018, Berita Negara No. 295 Tahun 2018.
Universitas Indonesia
192
Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Permen ESDM No. 34 Tahun 2017.
Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Surat Edaran Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan
Batubara sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah sebagai Pelaksana Undang-
Undang No. 4 Tahun 2009. SE Departemen ESDM No. 03.E/31/DJB/2009.
VIII. PETA
i'i. ;. .. 1';,
$a.#.'+#.-
WIS#l;,9;
'EriP.:,
,,.'7'l;l
\, *'
-l',.r,
BUPATI KOTABARU
KEPUTUSAN BUPATI KOTABARU
IZIN LINGKUNGAN
ATAS KEGIATAN PER?AMBANGAN BATUBARA
OLEH PT. SEBUKU BATUBAI COALYANG BE'RLOKASI DI
KECAMATAN PUI,AU I,AUT UTARA DAN
* KECAMATANPULAULAUTTENGAFI
KABUPATEN KOTABARU
BUPATI KOTABARU,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
,l
1. Nama Perusahaan PT. SEBUKU BATUBAI COAL
2. Jenis Usaha Perlambangan Batubara
3. Penanggungjawab EffendyTios
4. Alamat Kantor Jl. Pluit Utara Raya No. 18,
Jakarta Utara 14450
5. Lokasi Kegiatan Kecanatan Pulau Laut Utara
dal Kecamatan Pulau Laut
Tengah, Kabupaten
Kotabaru.
6. Deskripsi Kegiatan Usaha/kegiatan
Perta$ba-ngan Bafubara
mempunyai rincian sebagai
berikut :
I 0302330,20" 1160528,30"
10 03023'30,20" 11604',54.4y
11 o3025E.90" tt604'54,40',
t2 03025,8,90" 11604',15,50"
13 0302635,10" 11604',15,50"
14 0302635.10" tt603'43,7Q"
0302728,20" tt603'43,70"
16 03027'28,20" 116035,40"
1,7 03028'27,60" 116035,40"
(lanjutan)
i8 0302821,60" tl6v2'6,30"
19 0303141.40" 71602',6,30"
0303141,40" 1 1605',17.O0',
21 0302536.40" 11605',17,00"
oo o302536.40" 116063.70"
23 o3023',56,00" 116063,70"
24 o3s2356.00" 1160653,50',
25 03023'14,90" 1160653.50"
26 o3023',74,90" 1L607',14,80"
27 03018',18.90" 1t607'L4,80"
28 03018',18,90" 1 1606',57.3o',
Ditetapkan di Kotabaru
tansgal 07 NoV 2013
Tembusan Kepada :
1. Menteri Negara Lingkungan Hidup di Jakarta;
2. Gubernur Kalimartal Selatan di Banjarbaru;
3. Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalimadtan Selatan
di Banjarmasin;
4. KepaJa Pusat Pengelolaan Ekoregion Kalimantan di Balikpapan;
5. Kepa1a Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Kotabaru di
Kotabaru;
6. Kepala Dinas Pertambaaga[ dan Energi Kabupaten Kotabaru di
Kotabaru; daa
7. PT. SEBUKU BATUBAI COAL di Jal<arta.
Lampiran 2 Surat Peringatan Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan
Lampiran 3. Surat PT Sebuku Batubai Coal perihal
Klarifikasi Pelaksanaan Kegiatan dan Izin Lingkungan
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
Lampiran 4. Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan tentang Pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT Sebuku Batubai Coal
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)