Anda di halaman 1dari 229

UNIVERSITAS INDONESIA

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PENCABUTAN


IZIN USAHA PERTAMBANGAN SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG – UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
(STUDI KASUS: PENCABUTAN IZIN USAHA
PERTAMBANGAN PT SEBUKU BATUBAI COAL)

SKRIPSI

REVIA ADINI
1506676701

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JANUARI 2019

UNIVERSITAS INDONESIA

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PENCABUTAN


IZIN USAHA PERTAMBANGAN SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG – UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
(STUDI KASUS: PENCABUTAN IZIN USAHA
PERTAMBANGAN PT SEBUKU BATUBAI COAL)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

REVIA ADINI
1506676701

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
KEKHUSUSAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
DEPOK
JANUARI 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat unuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas
Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan hingga pada masa penyusunan skripsi ini maka akan sangat sulit
bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. Tri Hayati S.H., M.H. selaku dosen pembimbing peneliti, yang ditengah –
tengah kesibukannya telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.
2. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, khususnya pada
bidang studi Hukum Administrasi Negara yang telah sangat berjasa dalam
memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama masa
perkuliahan
3. Bapak Heriyanto S.H., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang
telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis dalam rangka
penyusunan skripsi penulis
4. Sahabat – sahabat penulis, Agnia Nurrahma Dewi, Dinda Rizqiyatul Himmah,
Githa Dwi Damara, Zhakirah Zatalini Irawan, Fira Adhisa, Shinta Widiastuty,
Hanif Junisaf Ahmad, Rizka Hartati, Indah Anindya, Bagus Ramasha
Amangku, Irfandhia Rahman, Azalea Dewi Aisyah, Vega Amalia, Salsabila
Siliwangi Surtiwa, Chitra Dwi Risqi yang selalu hadir untuk penulis untuk
memberikan dukungan, masukan dan mendengarkan keluh kesah
5. Teman – teman peminatan Hukum Administrasi Negara FHUI, Syifa Ulhadira,
Hana Farida, Astrid Josephine Aritonang, Haura Klarisa, Seno Adi Respati,
Ivan Abdul Aziz, Priska Putri Andini, Nindya Putri Ferina yang begitu
kooperatif dalam memberikan ide – ide dalam penulisan skripsi ini dan telah
banyak membantu penulis semasa perkuliahan di FHUI
6. Keluarga besar Recht Basketball Club FHUI, M. Yusuf Rashidi S.H., Ratna
Hanifa S.H., Mentari Rania S.H., Fitria Hana S.H., Avitya Danastri S.H.,
Mochammad Iqbal Cakra Buana, Shabrina Khansa, Naufal Fauzan Praktikto,

iv
ABSTRAK

Nama : Revia Adini


NPM : 1506676701
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Kewenangan Gubernur dalam Pencabutan Izin Usaha
Pertambangan Setelah Berlakunya Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
(Studi Kasus: Pencabutan Izin Usaha Pertambangan PT
Sebuku Batubai Coal)

Implikasi lahirnya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah menyebabkan perubahan kewenangan pemerintah dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pertambangan. Adanya perubahan kewenangan
tersebut, menimbulkan suatu kemungkinan terjadinya kesalahan dari pejabat
pemerintah dalam melakukan kegiatan pengaturan dan pengurusan di sector
pertambangan. Oleh karenanya, penulisan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana
kewenangan gubernur dalam hal pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) setelah
berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
menganalisis keabsahan dari pencabutan IUP PT Sebuku Batubai Coal (PT Sebuku)
oleh Gubernur Kalimantan Selatan. Hasil dari penelitian penulis menunjukkan bahwa
kewenangan gubernur dalam hal pencabutan IUP setelah berlakunya Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengalami perluasan.
Gubernur memiliki wewenang untuk mencabut IUP yang wilayah pertambangannya
berada di 1 (satu) daerah provinsi termasuk juga terhadap IUP yang telah diterbitkan
oleh bupati/walikota Selain itu, pencabutan IUP PT Sebuku telah tidak sah karena
mengandung cacat prosedur dan cacat substansi. Untuk mencegah timbulnya
kesewenang – wenangan pemerintah dalam mencabut IUP dikemudian hari, diperlukan
adanya peningkatan pengawasan dari pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksankan oleh pemerintah provinsi.
Disamping itu, diperlukan juga adanya sanksi bagi bupati/walikota apabila melalaikan
kewajibannya untuk menyerahkan dokumen IUP dalam rangka melakukan evaluasi
dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015. Metode penelitian dalam
penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis – normatif, dan menggunakan bahan –
bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

Kata kunci: Pemerintah Daerah, Izin Usaha Pertambangan, Pencabutan

vii
ABSTRACT

Name : Revia Adini


Student Number : 1506676701
Program : Law
Title : Governor's Authority in Revoking Mining Permits After
the enactment of Law Number 23 of 2014 concerning
Regional Government (Case Study: Revocation of PT
Sebuku Batubai Coal Mining Permit)

The implications of Law 23 of 2014 concerning Regional Government led to changes


in government authority in carrying out government affairs in the mining sector. The
change in authority has created a possibility of errors from government officials in
conducting regulatory and management activities in the mining sector. Therefore, this
thesis aims to analyze how the governor's authority in terms of revoking a mining
permits (MP) after the enactment of Law 23/2014 and analyzing the validity of the
revocation of PT Sebuku Batubai Coal (PT Sebuku) MP by South Kalimantan
Governor. The results of the author's research indicate that the governor's authority in
terms of revocation of MP after the enactment of Law Number 23 of 2014 concerning
Regional Government has undergone expansion. The Governor has the authority to
revoke the MP whose mining area is in 1 (one) provincial area including the MP that
has been issued by the regent or mayor. In addition, revocation of PT Sebuku's MP has
been invalid because it contains procedural and substance defects. To prevent the
arising of arbitrariness of the government in revoking MPs in the future, it is necessary
to increase supervision from the central government on the implementation of mining
business management carried out by the provincial government. Besides that, there is
also a need for sanctions for regents or mayors if they neglect their obligation to submit
MP documents in order to evaluate the Minister of Energy and Mineral Resources
Regulation Number 43 of 2015. The research method in writing this thesis is juridical-
normative research, and uses library materials such as primary, secondary and tertiary
legal materials.

Keywords: Local Government, Mining Permit, Revocation

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... iii
KATA PENGANTAR................................................................................................ iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.................................. vi
ABSTRAK.................................................................................................................. vii
DAFTAR ISI............................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN............................................................................................ xiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 11
C. Tujuan Penelitian............................................................................................... 11
D. Definisi Operasional.......................................................................................... 12
E. Metode Penelitian.............................................................................................. 14
F. Kegunaan Penelitian.......................................................................................... 19
G. Sistematika Penulisan........................................................................................ 20

BAB II REGULASI DI BIDANG PERTAMBANGAN


A. Sejarah Hukum Pertambangan di Indonesia....................................................... 22
1. Masa Kekuasaan VOC (1619 -1799)........................................................... 23
2. Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1800 – 1942) .................................... 24
3. Perkembangan pada Periode 1942 – 1949................................................... 27
4. Era Setelah Kemerdekaan........................................................................... 28
B. Perbandingan Instrumen Hukum dan mekanisme untuk melakukan Kegiatan
Pertambangan..................................................................................................... 32
1. Implementasi Instrumen Hukum untuk melakukan Kegiatan
Pertambangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan Pokok Pertambangan..................................................... 34
a. Kuasa Pertambangan............................................................................ 39
b. Kontrak dalam Bidang Pertambangan.................................................. 50
1) Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.............. 54
2) Kontrak Karya.............................................................................. 58
2. Instrumen Hukum untuk melakukan Kegiatan Pertambangan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara............................................................................................... 62
a. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi................................................... 69
b. Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi........................................ 72

BAB III KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH, BERAKIHRNYA IZIN


USAHA PERTAMBANGAN DAN SERTIFIKAT CLEAR AND CLEAN DALAM
KEGIATAN PERTAMBANGAN
A. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan di Bidang Pertambangan.............................................................. 76

ix
1. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan di Bidang Pertambangan sebelum Berlakunya Undang –
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah................... 79
2. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan di bidang Pertambangan setelah berlakunya Undang –
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah................... 89
B. Berakhirnya Izin Usaha Pertambangan dalam Undang – Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara......................................................... 97
1. Pemegang IUP Tidak Memenuhi Kewajiban yang ditetapkan dalam
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009..................................................... 93
2. Pemegang IUP melakukan Tindak Pidana.................................................. 105
3. Pemegang IUP dinyatakan Pailit................................................................ 106
C. Pencabutan Izin Usaha Pertambangan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor
34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara............................................................................................................. 107
D. Sertifikat Clear and Clean dalam Kegiatan Pertambangan................................. 110

BAB IV ANALISIS KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PENCABUTAN


IZIN USAHA PERTAMBANGAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG –
UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
A. Peralihan Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan di bidang Pertambangan.............................................................. 117
1. Dasar Pemerintah Daerah Provinsi dalam Menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara................... 119
2. Legalitas Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 04.E/30/DJB/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara setelah
Berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.................................................................................. 129
3. Kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk Menyerahkan
Dokumen Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara..................................................................................................... 134
B. Analisis Terhadap Persyaratan Pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi................................................................................................ 139
C. Analisis Kewenangan Gubernur Dalam Pencabutan Izin Usaha Pertambangan
Terkait dengan Pencabutan Izin Usaha Pertambangan PT Sebuku Batubai
Coal di Kalimantan Selatan................................................................................ 144
1. Gambaran Umum PT Sebuku Batubai Coal................................................ 144
2. Kasus Posisi................................................................................................ 145
3. Keabsahan Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor
503/119/DPMPTSP/ 2018 tentang Pencabutan Izin Usaha Pertambangan
Operasi Produksi Batubara PT. Sebuku Batubai Coal................................. 147
a. Kewenangan Gubernur Kalimantan Selatan Mencabut Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi PT Sebuku Batubai
Coal...................................................................................................... 151
.
b. Substansi dicabutnya Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT
Sebuku Batubai Coal oleh Gubernur Kalimantan Selatan..................... 154

x
1) Penolakan Masyarakat terhadap Kegiatan Pertambangan Batubara
di Pulau Laut................................................................................... 143
2) Tidak Dilaksanakannya Kegiatan Selama 3 (Tiga) Tahun Setelah
Dimilikinya Izin Lingkungan.......................................................... 164
3) Pemerintah Provinsi Gubernur Kalimantan Selatan Tidak
Memiliki Salinan Izin Lingkungan milik PT Sebuku Batubai
Coal................................................................................................ 168
c. Prosedur yang dilakukan Gubernur Kalimantan Selatan dalam
Mencabut Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT Sebuku
Batubai Coal......................................................................................... 172

BAB V Penutup
5.1 Kesimpulan........................................................................................................ 178
5.2 Saran................................................................................................................... 180

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 181

LAMPIRAN............................................................................................................ 193

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Anatomi Urusan Pemerintahan.................................................. 81


Gambar 3.3 Penataan IUP.............................................................................. 112
Gambar 4.1 Wilayah Pertambangan Pulau Kalimantan................................. 159

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Izin Lingkungan PT Sebuku Batubai Coal


Lampiran 2 Surat Peringatan Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan Perihal Izin Lingkungan PT Sebuku
Lampiran 3 Surat PT Sebuku Batubai Coal perihal Klarifikasi Pelaksanaan
Kegiatan dan Izin Lingkungan
Lampiran 4 Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan tentang
Pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
Batubara PT Sebuku Batubai Coal

xiii
DAFTAR SINGKATAN

AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan


Dirjen Minerba : Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara
ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral
IPR : Izin pertambangan Rakyat
IUP : Izin Usaha Pertambangan
IUP E : Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi
IUP OP : Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
IUPK : Izin Usaha Pertambangan Khusus
PKP2B : Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
VOC : Vereenigde Oostindische Compagnie
WIUP : Wilayah Izin Usaha Pertambangan

xiv


1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber dayaNomordiperbaharui
(renewable resources) maupun yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable
resources). Adapun yang dimaksud dengan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui adalah sumber daya yang dapat tumbuh kembali atau tergantikan
1
dalam jangka waktu yang singkat. Contohnya seperti air yang dapat
menghasilkan energi air (hydropower), energi panas bumi (geothermal), energi
surya (cahaya matahari), biofuel (bahan bakar bio) dan lain - lain. Sebaliknya,
yang dimaksud dengan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui adalah
sumber daya yang tidak dapat ditumbuhkan kembali dengan skala yang sebanding
dengan konsumsinya.2 Hal ini juga dapat dimaknai bahwa sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui merupakan sumber daya yang apabila digunakan dapat
tumbuh kembali namun dengan jangka waktu yang cukup lama, yakni sekitar
ratusan juta tahun lamanya. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
tersebut meliputi batubara yang dapat menghasilkan energi batubara (coal
energy), minyak dan gas bumi (oil and natural gas energy), dan nuklir (nuclear
energy).3
Indonesia sendiri merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang),
bahan galian tersebut meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi,
batubara, dan lain-lain.4 Menurut BP Statistical Review of World Energy 2017,
pada tahun 2016 Indonesia menduduki peringkat 5 produsen batubara terbesar di


1
Md. Diaz Murshed Chowdury, Samim Uddin, Sumaiya Saleh, “Present Scenario of
Renewable and Non-Renewable Resources in Bangladesh: A Compact Analysis”, International
Journal of Sustainable and Green Energy, p. 164.
2
Ibid.
3
North Georgia Electric Membership Corporatis (NGEMC)AP “Renewable and Non-
Renewable Energy”
https://www.ngemc.com/sites/ngemc/files/ERSY/LP%202.9%20Renewable%20and%20Nonrene
wable%20Energy.pdf diakses 13 September 2018
4
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, Ed. 1 Cet. 6 (Depok: PT Rajagrafindo
Persada, 2012), hlm. 1.

Universitas Indonesia


2

dunia dengan jumlah volume produksi batubara sebesar 255,7 (setara dengan
jutaan ton minyak).5 Begitu besarnya peranan sektor pertambangan semakin terasa
dengan adanya fakta bahwa pertambangan termasuk dalam lima sektor terbesar
penerimaan pajak yang berkontribusi sekitar 76% dari total penerimaan menurut
data Kementerian Keuangan Negara Republik Indonesia.6
Besarnya peran sektor pertambangan dalam penerimaan negara juga
diimbangi dengan adanya 8.254 IUP yang diterbitkan oleh Dirjen Minerba
Kementerian ESDM pada tahun 2017.7 Adanya 8.254 IUP yang telah di terbitkan
mengindikasikan bahwa sektor pertambangan di Indonesia cukup diminati oleh
banyak pelaku usaha. 8 Oleh karenanya, untuk dapat menjaga kestabilan dari
keberlangsungan sektor pertambangan sangatlah perlu untuk memperhatikan
pengelolaan dan pembinaan sektor pertambangan itu sendiri.
Melihat begitu besarnya peran dari sektor pertambangan, industri energi dan
sumber daya mineral, khususnya pertambangan, harus dikelola dengan prinsip
seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan
serta berkeadilan agar memperoleh tujuan utama yaitu sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.9 Dalam konstitusi Republik Indonesia,
khususnya Pasal 33 ayat (3) Undang - Undang Dasar 1945 juga telah
diamanatkan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Arti istilah “dikuasai” atau “penguasaan” dalam Pasal tersebut adalah sebuah
konstruksi hukum yang berarti hubungan hukum yang sifatnya penguasaan fisik

5
“Batubara” https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/batu-
bara/item236? diakses 13 September 2018.
6
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, APBN KITA (Kinerja dan Fakta), APBN
2017: Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Hingga Ujung Negeri, edisi Januari 2018, hlm. 6.
7
Jeany Hartriani, “2.522 Izin Tambang Berstatus Non C&C”
https://katadata.co.id/infografik/2017/06/06/2522-izin-tambang-berstatus-non-cc diakses 13
September 2018.
8
Ibid.

9
Martha Pigome, “Politik Hukum Pertambangan Indonesia dan Pengaruhnya pada
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah”, MMH Jilid 40 No. 2 April 2011, hlm.
215.

Universitas Indonesia


3

(possession, occupation) namun bukan penguasaan hukum dalam arti kepemilikan


(ownership). 10 Pengertian tersebut memberikan arti bahwa negara dalam hal
pengelolaan sumber daya alam hanyalah berperan sebagai ‘penguasa, dan bukan
sebagai ‘pemilik’.
Apabila pengertian penguasaan dikaitkan dengan pengertian hak, maka Hak
Penguasaan tertuju kepada negara sebagai subjek hukum (memiliki hak dan
kewajiban). Dari hubungan yang demikian, hak penguasaan negara dapat
dipahami bahwa didalamnya terdapat sejumlah kewajiban dan tanggungjawab
yang bersifat publik.11 Lingkup penguasaan pegara menurut ketentuan Undang –
Undang Dasar 1945 sangat luas, sebab penguasaan negara dalam pelaksanaannya
meliputi; pengaturan, pengusahaan dan pengawasan atas bahan-bahan galian yang
terdapat dalam wilayah hukum pertambagan Indonesia.12
Pelaksanaan penguasaan negara atas bahan-bahan galian dilakukan oleh
Presiden atau Pemerintah (executive).13 Untuk selanjutnya kekuasaan pemerintah
tersebut dijalankan oleh Menteri sebagai pembatu utama Presiden (Pasal 17
Undang – Undang Dasar 1945), bahkan dalam penjelasan umum Undang Undang
Dasar 1945 disebutkan Menteri – menterilah yang terutama menjalankan
14
kekuasaan pemerintahan (pouvoir executief) dalam praktek. Dalam hal
penguasaan negara terhadap sumber daya alam, menteri yang dimaksud dalam hal
ini adalah Kementerian ESDM yang memiliki wewenang untuk mengatur,
mengurus, dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian (tambang)
sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.


10
Bono Budi Priambodo, “Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam”, Hukum Administrasi Negara Sektoral, (Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan Center for Law and Good Governance Studies, 2016), hlm. 152.
11
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press Yohyakarta, 2004), hlm.
22.
12
Ibid., hlm. 75
13
Ibid., hlm. 76.
14
Ibid.

Universitas Indonesia


4

Dalam ranah kewenangan untuk mengatur (regelen), Kementerian ESDM


memiliki wewenang untuk menghasilkan produk-produk hukum berupa peraturan
perundang-undangan. Adapun beberapa produk hukum yang telah dihasilkan
antara lain; Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara yang menggantikan Undang - Undang Nomor 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Pertambangan, Peraturan Menteri
ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, serta beberapa peraturan perundang-
undangan di sektor energi dan sumber daya mineral lainnya, di sektor lingkungan,
sektor penanaman modal dan di sektor lainnya.
Produk - produk hukum Kementerian ESDM tersebut telah menggambarkan
bahwa skema pengusahaan dalam bidang pertambangan telah mengalami
beberapa kali perubahan yang signifikan, salah satunya ialah sejak diterbitkannya
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara yang menggantikan Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah merubah rezim kontrak
antara pemerintah dengan pelaku usaha menjadi rezim izin. Perubahan ini
mengakibatkan keharusan perusahan pemegang PKP2B dan Kontrak Karya untuk
mengalihkannya menjadi IUP dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Sehingga, jika terdapat kontrak atau perjanjian yang terbit sebelum tahun 2009
maka harus dilakukan penyesuaian dengan izin-izin yang sudah ditentukan dalam
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Contohnya, jika pada tahun 2008 pelaku usaha memiliki Kuasa
Pertambangan Penyelidikan Umum yang diterbitkan oleh bupati setempat, maka
satu tahun setelah terbitnya Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, Kuasa Pertambangan tersebut harus
dialihkan atau disesuaikan menjadi IUP.15


15
Indonesia, Surat Edaran Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tentang
Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah sebagai
Pelaksana Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, SE Departemen ESDM No. 03.E/31/DJB/2009,
Bagian A Angka 1.

Universitas Indonesia


5

Perubahan mendasar lainnya ialah berkenaan dengan terbitnya Undang -


Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 14
ayat (1) yang menyatakan: “Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di bidang
kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi”. Pasal 14 ayat (1) Undang - Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut tidak lagi
menyinggung peran Bupati dalam sektor energi dan sumber daya mineral. Selain
itu, dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor
120/253/SJ tanggal 16 Januari 2015 dan Surat Edaran Menteri ESDM Nomor
04/30/DJB/2015 tanggal 30 April 2015, urusan pemerintah bidang pertambangan
mineral dan batubara tidak lagi diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota.16
Jika dibandingkan, dalam ketentuan Pasal 37 Undang - Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menentukan bahwa Bupati,
bersamaan dengan Gubernur dan Menteri ESDM diberikan kewenangan untuk
memberikan IUP kepada pelaku usaha yang telah memenuhi persyaratan.
Sedangkan pada Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak lagi diberikan kewenangan
dalam mengurusi urusan pemerintahan di bidang pertambangan. Tentunya hal ini
berimplikasi pada beberapa urusan yang selama ini telah dikelola oleh
Kabupaten/Kota dalam bidang pertambangan menjadi urusan Pemerintah
Provinsi.17 Hal ini juga disebabkan oleh sistem yang digunakan dalam Undang -
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah tidak
lagi menitikberatkan pada sistem desentralisasi namun lebih pada sistem
sentralisasi.18
Implikasi yang cukup mendasar dari terbitnya Undang -Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah Bupati tidak lagi berwenang

16
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Tindak Lanjut Pembinaan dan Pengawasan
Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara era Terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Bahan Presentasi Pertemuan Tahunan Pengelolaan Pertambangan Mineral
dan Batubara, (Yogyakarta: 22 Oktober 2015), hlm. 3.
17
Djambar, M. Yasin Nahar dan Muhammad Tavip, “Penyelenggaraan Urusan
Pemerintah Bidang Pertambangan dalam Perspektif Otonomi Daerah”, Jurnal Katalogis Vol. 5 No.
2 (Februari 2017), hlm. 33.
18
Ibid.

Universitas Indonesia


6

untuk menerbitkan IUP, sehingga untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan


di bidang pertambangan mineral dan batubara Bupati/Walikota juga diharuskan
untuk segera menyerah-terimakan dokumen-dokumen perizinan IUP yang
terdapat di kabupaten/kota kepada Gubernur. Kendati demikian, peralihan
wewenang dari Bupati/Walikota kepada Gubernur setempat kerap menimbulkan
beberapa masalah mengingat penyerah-terimaan IUP - IUP yang telah diterbitkan
oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur seringkali tidak di lengkapi dengan
19
dokumen terkait. Tidak terlengkapinya dokumen - dokumen IUP dari
Bupati/Kota mengakibatkan Gubernur kesulitan untuk melaksanakan evaluasi
terhadap IUP-IUP yang telah terbit sebagaimana diharuskan oleh Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Evaluasi terhadap penerbitan IUP yang dilakukan oleh Menteri atau gubernur
(sesuai dengan kewenangannya) dilakukan berdasarkan kriteria administrasi,
kewilayahan, teknis, lingkungan dan finansial. 20 Apabila pemegang IUP tidak
memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana yang telah disyaratkan, baik dalam
regulasi di sektor pertambangan sendiri maupun sektor lingkungan serta sektor
lain yang berkaitan, maka Menteri atau gubernur (sesuai dengan kewenangannya)
berwenang untuk memberikan sanksi administratif. 21 Dalam ketentuan Pasal 17
ayat (3) Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan
bahwa sanksi administratif tersebut berupa teguran tertulis, penghentian
sementara kegiatan usaha, atau pencabutan IUP yang dilakukan secara bertahap.
Mengingat perlakuan terhadap masing-masing izin di sektor pertambangan
berbeda-beda oleh karena bergantung pada jenis izin yang dimilikinya, maka
perlu diketahui izin-izin apa saja yang terdapat di sektor pertambangan dan juga


19
Joko Panji Sasongko, “Banyak Bupati belum serahkan Data Izin Tambang ke
Gubernur” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160830212031-12-154986/banyak-bupati-
belum-serahkan-data-izin-tambang-ke-gubernur diakses 13 September 2018.
20
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM No. 43
Tahun 2015 BN No. 2015 Tahun 2015, ps. 5 ayat (2).
21
Ibid., Ps. 17.

Universitas Indonesia


7

peruntukannya. Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang


Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengklasifikasikan izin
dalam beberapa bentuk, diantaranya, IUP, IUPK, dan IPR. 22 Sedangkan IUP
sendiri, terbagi lagi menjadi dua tahap yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi. IUP
Eksplorasi terdiri atas kegiatan:
a. Penyelidikan umum
b. Eksplorasi
c. Studi kelayakan
Sedangkan IUP Operasi Produksi terdiri atas kegiatan:
a. Konstruksi
b. Penambangan
c. Pengolahan dan/atau Pemurnian
d. Pengangkutan dan Penjualan.
Selain itu, mengingat hukum merupakan suatu sistem, maka ketentuan hukum
yang satu akan berkaitan dengan hukum yang lain.23 Sama halnya dalam hukum
pertambangan, untuk mendapatkan IUP diperlukan beberapa persayaratan yang
harus dipenuhi yang tidak hanya berada di dalam lingkup Kementerian ESDM itu
sendiri, namun juga persyaratan di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dan sektor lain yang berkaitan. Contohnya, dalam Pasal 3 ayat (4) jo.
Lampiran Bagian II huruf A Peraturan Menteri KLHK Nomor 5 Tahun 2012
tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan dan Pasal 39 Undang - Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ddinyatakan bahwa IUP
Eksploitasi (Operasi Produksi) Mineral dan Batubara kegiatan pertambangan
mineral dan batubara harus memuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Kemudian setelah diterbitkannya IUP, Menteri melalui Gubernur (sesuai dengan
kewenangannya) melakukan evaluasi terhadap IUP yang telah terbit.24
Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2018
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang

22
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral…, ps. 3.
23
Salim HS, Hukum Pertambangan…hlm. 25.
24
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral...., ps. 4.

Universitas Indonesia


8

Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha


Pertambangan Mineral dan Batubara masih terdapat banyak kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pelaku usaha. Apabila kewajiban-kewajiban yang telah disyaratkan
tersebut tidak dipenuhi, maka pelaku usaha dapat diberi sanksi administratif oleh
Direktur Jenderal atas nama menteri, atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya.25
Terhadap pemberian sanksi administratif, pada Pasal 42 Peraturan Menteri ESDM
Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara telah memberikan suatu pengecualian bahwa “dalam kondisi tertentu”
pemberian sanksi administratif berupa pencabutan IUP dapat dilakukan tanpa
melalui tahapan teguran tertulis, dan penghentian sementara. Namun frasa
“kondisi tertentu” tidak diikuti dengan penjelasan lebih lanjut mengenai
definisinya dalam peraturan menteri tersebut maupun peraturan-peraturan di
lingkungan Kementerian ESDM mengenai kondisi-kondisi apa atau hal-hal apa
yang termasuk dalam “kondisi khusus” tersebut. Hal ini menimbulkan adanya
multi-tafsir terhadap “kondisi tertentu” dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor
34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara
dan melahirkan beberapa masalah untuk IUP-IUP yang dicabut dalam kurun
waktu berlakunya Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang
Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Disamping itu, selain kewenangan untuk memberikan sanksi administratif dan
membuat berbagai produk hukum, Kementerian ESDM juga memiliki wewenang
untuk menetapkan wilayah pertambangan. Adapun yang dimaksud dengan
Wilayah Pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/ atau
batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang
merupakan bagian dari tata ruang nasional. 26 Peran Kementerian ESDM dalam
menetapkan wilayah pertambangan sangatlah penting mengingat tidak semua
bahan galian layak tambang dikarenakan kondisi geologis dan cadangannya yang

25
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah, Perizinanm dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara, Permen ESDM No. 11 Tahun 2018 BN No. 295 Tahun 2018, ps. 94 ayat (3).
26
Indonesia, Undang Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4
Tahun 2009, LN No. 4 Tahun 2009, TLN No. 4959, Ps. 1 Angka 29

Universitas Indonesia


9

tidak ekonomis. Sebaran cadangan wilayah pertambangan tidak bisa ditentukan


dengan pasti sebelum cadangan tersebut ditemukan, ditentukan dan diukur
keekonomiannya.27 Terlebih lagi, banyak potensi cadangan mineral dan energi di
Indonesia yang terletak pada lokasi-lokasi yang peruntukannya bagi keperluan
lain, seperti kawasan hutan, permukiman dan lainnya.28
Selain itu, perencanaan Wilayah Pertambangan dilakukan melalui 2 (dua
tahapan), yaitu tahapan inventarisasi potensi pertambangan dan tahapan
penyusunan rencana wilayah pertambangan.29 Dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan disebutkan
bahwa penetapan wilayah pertambangan dilakukan oleh Menteri ESDM setelah
berkoordinasi dengan gubernur, bupati/walikota dan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Selain itu, wilayah pertambangan tersebut
dapat ditinjau kembali satu kali dalam 5 tahun dan gubernur atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya dapat mengusulkan perubahan Wilayah
Pertambangan kepada Menteri berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian. 30
Kesempatan untuk merubah wilayah pertambangan yang telah ditentukan telah di
berikan kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan ketentuan Pasal 15
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan
dengan cara mengusulkan perubahan wilayah pertambangan kepada Menteri
ESDM.
Salah satu contoh kasus terkait pencabutan IUP Operasi Produksi tampak dari
Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018
tentang Pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT.
Sebuku Batubai Coal (selanjutnya disebut PT Sebuku) di Kabupaten Kotabaru,
Kalimantan Selatan (KTB. 1007IUPOP0094). Kasus ini telah diajukan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin dan kemudian dimenangkan oleh PT

27
Surya Herjuna, “Kajian Penyusunan Wilayah Pertambangan dalam Rangka
Pengelolaan Pertambangan yang Baik”, (WARTA Mineral, Batubara dan Panas Bumi Direktorat
Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi edisi 4 Agustus 2009 ), hlm. 10.
28
Ibid.
29
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan, PP No. 22 Tahun
2010, LN No. 28 Tahun 2010, TLN No. 5110, ps. 3.
30
Ibid. Ps. 15 ayat (2) dan (3).

Universitas Indonesia


10

Sebuku. PT Sebuku merupakan badan hukum privat berbentuk Perseroan Terbatas


yang didirkan berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Nomor 84 Tanggal 29
Agustus 2008. Selain itu, PT Sebuku merupakan anak perusahaan dari PT Sebuku
Iron Lateritic Ores (SILO) dimana kedua anak perusahaan yang lain yaitu PT
Sebuku Tanjung Coal dan PT Sebuku Sejaka Coal juga mengalami pencabutan
IUP OP oleh Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, yang menjabat pada
saat itu.31
Adapun sesuai dengan bagian “menimbang” Surat Keputusan Pencabutan
IUP OP PT Sebuku, yang menjadi alasan dari penerbitan Surat Keputusan
Pencabutan IUP OP tersebut adalah “adanya penolakan masyarakat atas kegiatan
pertambangan batubara di Pulau Laut”. Aksi penolakan masyarakat atas kegiatan
pertambangan tersebut didukung juga dengan beberapa rekomendasi maupun
laporan forum komunikasi warga di sekitar Pulau Laut yang menolak adanya
kegiatan pertambangan di wilayahnya. Rekomendasi - rekomendasi dari warga
masyarakat itu-lah yang mendasari Gubernur Kalimantan Selatan untuk
menerbitkan Surat Keputusan tersebut.
Gubernur Kalimantan Selatan juga menyatakan bahwa PT Sebuku tidak
melakukan kegiatan selama 3 tahun berturut-turut setelah dimilikinya Izin
Lingkungan pada tanggal 7 November 2013. Menurut ketentuan Pasal 50 huruf e
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, tidak
dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sejak diterbitkannya Izin Lingkungan mengakibatkan penanggung jawab
usaha untuk melakukan perubahan usaha. Hal ini ditindak lanjuti oleh Gubernur
Kalimantan Selatan melalui Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan dengan memberikan teguran berupa peringatan kepada PT
Sebuku pada tanggal 16 Oktober 2017. Selain itu, pada tanggal 25 Oktober 2017
Plt. Kepala Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Selatan menjatuhkan sanksi
pemberhentian sementara kegiatan pertambangan PT Sebuku atas dasar tidak
dimilikinya salinan izin lingkungan.


31
“Soenarko Direktur Utama PT Silo: Haji Islam seperti Kepala Negara”
https://majalah.tempo.co/read/155279/soenarko-direktur-utama-pt-silo-haji-isam-seperti-kepala-
negara diakses 13 September 2018.

Universitas Indonesia


11

Pada tanggal 30 Oktober 2017 Gubernur Kalimantan Selatan juga telah


mengirimkan surat kepada Bupati Kotabaru selaku pihak yang mengeluarkan Izin
Lingkungan untuk menghentikan kegiatan dan memberi sanksi administratif
terhadap PT Sebuku. Kemudian, PT Sebuku memberikan surat keberatan kepada
Gubernur Kalimantan Selatan yang menyatakan bahwa perusahaannya telah
melakukan kegiatan pra-konstruksi dan konstruksi sampai dengan tahun 2017
dengan dasar Berita Acara Tindak Lanjut Kegiatan Peninjauan Lapangan dalam
Rangka Monitoring Kegiatan Pertambangan Batubara PT Sebuku yang
ditandatangani oleh perwakilan PT SILO Group, perwakilan gubernur dan
perwakilan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Selatan.
Atas dasar tersebut, pembahasan mengenai pencabutan IUP, khususnya IUP
Operasi Produksi menjadi menarik untuk dibahas, mengingat dengan dicabutnya
IUP yang telah dimiliki oleh suatu perusahaan dapat berimplikasi besar pada
kerugian perusahaan tersebut. Oleh karenanya diharapkan melalui tulisan ini dapat
memberikan pemahaman lebih lanjut terkait analisa perlindungan hukum bagi
badan usaha-badan usaha yang sudah mendapatkan IUP dan juga kaitannya
dengan penegakan hukum dalam menjalani proses pencabutan IUP.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi pokok masalah meliputi:

1. Bagaimanakah kewenangan gubernur dalam hal pencabutan Izin Usaha


Pertambangan setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah?
2. Bagaimana keabsahan pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi milik PT Batubai Sebuku Coal yang dilakukan oleh Gubernur
Kalimantan Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terbagi menjadi dua yaitu tujuan penelitian umum dan tujuan
penelitian khusus.

Universitas Indonesia


12

1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan
gambaran konsep mengenai teori dan praktik pencabutan izin usaha
pertambangan yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Tujuan Khusus
Disamping itu terdapat tujuan penelitian khusus sebagai berikut:
a) Untuk dapat menganalisis dan mengetahui bagaimana kewenangan yang
dimiliki oleh gubernur dalam pencabutan Izin Usaha Pertambangan
setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
b) Untuk menganalisis apakah Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan
dalam mencabut izin usaha pertambangan milik PT Sebuku Batubai Coal
sudah sesuai dengan kewenangan, prosedur, dan substansi-nya.
c) Untuk menambah pengetahuan penulis dalam penulisan di bidang hukum
khususnya mengenai hukum pertambangan.

D. Definisi Operasional
Dalam penelitian ini digunakan pengertian - pengertian atas terminologi
berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia:
1. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas – luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.32
2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.33

32
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014,
LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5589, Ps. 1 angka 2.

33
Ibid., Ps. 1 angka 3.

Universitas Indonesia


13

3. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam


rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara
yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasim studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan, serta kegiatan pascatambang.34
4. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara
akamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.35
5. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang
berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta
air tanah.36
6. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbo yang
terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan
aspal.37
7. Izin Usaha Pertambangan adalah izin untuk melakukan usaha
pertambangan.38
8. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan
untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan
studi kelayakan.39
9. Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi adalah izin usaha yang
diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan
tahapan kegiatan operasi produksi.40



34
Indonesia, Undang Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4
Tahun 2009, LN No. 4 Tahun 2009, TLN No. 4959, Ps. 1 Angka 1.
35
Ibid., ps. 1 Angka 3
36
Ibid., ps. 1 Angka 4.
37
Ibid., ps. 1 Angka 5.
38
Ibid., ps.1 Angka 7.
39
Ibid., ps. 1 Angka 8.
40
Ibid., ps. 1 Angka 9.

Universitas Indonesia


14

10. Wilayah Pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi mineral


dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasioal.41
11. Wilayah Usaha Pertambangan adalah bagian dari Wilayah Pertambangan
yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi
geologi.42
12. Wilayah Izin Usaha Pertambangan adalah wilayah yang diberikan kepada
pemegang Izin Usaha Pertambangan.43
13. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup adalah kajian mengenai
dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.44
14. Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.45
15. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah arahan kebijakan dan
strategi pemanfaatan ruang wilayah negara.46

E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau
beberapa gejala, dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut, untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh


41
Ibid., ps. 1 Angka 29,
42
Ibid., ps.. 1 Angka 30.
43
Ibid., ps.. 1 Angka 31.
44
Ibid., ps. 1 Angka 11.
45
Ibid., ps. 1 Angka 35.
46
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, PP
No. 26 Tahun 2008, LN No. 48 Tahun 2008, TLN No. 4833, Ps. 1 Angka 1.

Universitas Indonesia


15

fakta tersebut. 47 Sedangkan metode penelitian adalah cara melakukan sesuatu


dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan
dengan cara mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai menyusun
laporan.48

Adapun yang dimaksud dengan penelitian hukum merupakan suatu kegiatan


ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan
jalan menganalisanya. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang
bersangkutan.49

1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
yuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.50 Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai data utama untuk
menganilisis kasus. Wawancara yang penulis lakukan ditujukan untuk
memperkuat analisis penulis dan bukan sebagai data utama dalam penyusunan
penulisan ini.
Disamping itu, penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan dan juga pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan
digunakan untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum
pemerintahan daerah dan hukum pertambangan di Indonesia, sedangkan
pendekatan kasus bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau
kaidah hukum yang dilakukan dalam prakteknya. Pendekatan kasus yang

47
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI Press, 2010),
hlm. 2-3.

48
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2003), hlm 1.

49
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum……., hlm. 43.

50
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang;
Bayumedia Publishing), hlm. 295.

Universitas Indonesia


16

penulis teliti dalam penulisan ini adalah kasus pencabutan Izin Usaha
Pertambangan Operasi milik PT Sebuku Batubai Coal di Kalimantan Selatan
oleh Gubernur Kalimantan Selatan.

2. Tipologi Penelitian
Tipologi penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
penelitian terhadap efektivitas hukum. Khususnya terhadap efektivitas regulasi
terkait dengan kewenangan gubernur dalam hal pencabutan izin usaha
pertambangan setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dalam studi kasus Surat Keputusan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT. Sebuku Batubai Coal.

3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data tersebut
meliputi Peraturan Perundang-Undangan di bidang pemerintahan daerah dan
pertambangan di Indonesia, data-data terkait Surat Keputusan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT. Sebuku Batubai Coal,
wawancara dengan Bapak Heriyanto, S.H., M.H., selaku Kepala Biro Hukum
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral yang sekaligus sebagai saksi ahli dalam kasus yang penulis
angkat, serta data yang diperoleh dari studi kepustakaan.

4. Jenis Bahan Hukum


Dalam penelitian ini data yang akan dikumpulkan meliputi data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier yang terdiri dari:

A. Bahan Hukum Primer


Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi

Universitas Indonesia


17

Peraturan Perundang-Undangan terkait, seperti Undang – Undang Nomor


23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang
Izin Lingkungan, Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang
Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang mencabut Peraturan
Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017, serta peraturan perundangan lain
yang dapat mendukung dalam penelitian ini. Selain itu dalam penulisan ini
juga akan digunakan bahan hukum primer berupa Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Banjarmasin Nomor 6/G/2018/PTUN.BJM.

B. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dalam penelitian
ini, penulis menggunakan beberapa literatur seperti buku Era Baru Hukum
Pertambangan di Bawah Rezim UU Nomor 4 Tahun 2009 karangan Tri
Hayati, Hukum Pertambangan di Indonesia karangan Salim HS, buku
Hukum Administrasi Negara karangan Safri Nugraha, Anna Erliyanam Sri
Mamudji, Tri Hayati, Harsanto Nursadi, Eka Sri Sunarti, dan Dian Puji N
Simatupang serta buku-buku lain yang bersangkutan. Selain itu, penulis
juga menjadikan artikel-artikel dan jurnal dari media elektronik sebagai
bahan hukum sekunder dalam penulisan ini.
Untuk dapat mengetahui penerapan dari regulasi di bidang
pertambangan di Indonesia, penulis juga menjadikan Surat Keputusan
Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang
Pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT.
Sebuku Batubai Coal sebagai bahan hukum sekunder untuk diteliti.

Universitas Indonesia


18

Adapun data-data yang berkaitan dengan Surat Keputusan tersebut


meliputi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi, Izin Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), serta dokumen-dokumen lain
yang dapat mendukung dalam penelitian ini.

C. Bahan Hukum Tersier


Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang memberikan informasi
atau hal-hal yang berkaitan dengan isi primer dan sekunder, seperti jurnal-
jurnal nasional dan internasional serta kamus Bahasa Indonesia dan kamus
Bahasa Inggris sebagai pedoman penulisan.

5. Alat Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data-data tersebut diperoleh dari peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan mineral dan batubara
serta bahan kepustakaan lainnya dan data - data terkait Keputusan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT. Sebuku Batubai Coal.

6. Metode Analisis Data

Teknik pengumpulan data menggunakan pendekatan kualitatif dengan


mengidentifikasi dan menganalisis berbagai data primer yang berhubungan
dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini dan melakukan
penelitian kepustakaan. Tahap pengumpulan data dilakukan setelah ditentukan
rancangan penelitian. Dalam penelitian ini, rancangan penelitian yang
digunakan adalah ”case study design” yakni penelitian yang terlebih dahulu
meneiti peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan, kemudian
menelaah dari prakteknya dalam kasus yang penulis teliti.

Pada tahap ini, data yang telah diperoleh pada tahap pengumpulan data
akan diolah dengan pemeriksaan atau validasi data lapangan dan editing. Data
yang diperoleh dari kegiatan pengumpulan data melalui studi kepustakaan

Universitas Indonesia


19

kemudian diperiksa dan dijaga konsistensinya antara data yang satu dengan
yang lainnya. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif yang akan disajikan dalam bentuk deskriptif analitis. Sesuai dengan
teknik pengumpulan data yang bersifat kualitatif, peneliti akan mendapatkan
gambaran yang jelas tentang pengaturan mengenai pencabutan izin usaha
pertambangan di Indonesia, prosedur-prosedur yang harus dilakukan untuk
mencabut izinnya, dan evaluasi terhadap tidak terpenuhinya prosedur dalam
pencabutan izin usaha pertambangan.

7. Bentuk Hasil Penelitian

Bentuk hasil penelitian yang didapatkan adalah berupa skripsi yang mana hal
tersebut diselaraskan dengan bentuk penelitiannya berupa penelitan normatif-
yuridis.

F. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum
mengenai izin usaha pertambangan demi menjawab tantangan terbaru seiring
dengan berkembangnya zaman yang mengakibatkan permasalahan-
permasalahan yang muncul semakin kompleks.

2. Kegunaan Praktis
a) Bagi peneliti, penelitian ini akan menambah wawasan dan pengetahuan
peneliti mengenai hukum pertambangan, khususnya dalam hal pencabutan
izin usaha pertambangan operasi produksi serta penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari.

b) Bagi pemerintah khususnya aparat penegak hukum seperti pegawai-pegawai


dalam lingkungan Kementerian ESDM serta pegawai-pegawai di pemerintah
daerah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan evaluasi dan
rekomendasi terhadap pelaksanaan pencabutan izin usaha pertambangan di
Indonesia

Universitas Indonesia


20

c) Bagi kalangan akademisi dan masyarakat umum, penelitian ini dapat


menambah ilmu pengetahuan tentang hukum pertambangan, khususnya
mengenai prosedur atau tahapan yang harus dilakukan dalam pencabutan
izin usaha pertambangan.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi gambaran secara keseluruhan mengenai isi dari penelitian yang
penulis teliti melalui latar belakang dan pokok permasalahan. Dalam bab ini juga
berisi tujuan penelitian baik yang bersifat umum dan khusus, definisi operasional,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II REGULASI DI BIDANG PERTAMBANGAN


Dalam bab ini akan dibahas dan dijelaskan mengenai tinjauan pustaka terkait
peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan secara umum yang
meliputi sejarah terbentuknya hukum pertambangan di Indonesia. Selain itu, akan
dibahas juga mengenai perbandingan mekanisme atau instrumen hukum untuk
melakukan kegiatan pertambangan dalam Undang-Undang 4 Tahun 2009 dengan
Undang-Undang 11 Tahun 1967.

BAB III KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH, BERAKIHRNYA


IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN SERTIFIKAT CLEAR AND
CLEAN DALAM KEGIATAN PERTAMBANGAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai perbandingan kewenangan yang dimiliki
oleh pemerintah daerah dalam urusan pemerintahan di sektor pertambangan
sebelum dan setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang
diikuti dengan pembahasan pembagian urusan pemerintah dalam bidang
pertambangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Selain itu akan
dibahas dan dijelaskan juga mengenai prosedur pencabutan izin usaha
pertambangan menurut Undang-Undang 4 tahun 2009 dan Peraturan Menteri
ESDM Nomor 34 Tahun 2017tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta
peraturan perundang-undangan lain yang terdapat di sektor energi dan sumber

Universitas Indonesia


21

daya mineral maupun di sektor lingkungan. Selain itu, Sertifikat Clear and Clean
dalam kegiatan pertambangan juga akan dibahas dalam bab ini.

BAB IV ANALISIS
Dalam bab ini, penulis akan melakukan analisis terhadap 3 (tiga) hal. Pada
analisis pertama, penulis akan melakukan peninjuan terhadap peralihan
kewenangan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pememerintahan
di bidang pertambangan setelah berlakunya Undang -Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya penulis melakukan analisis
terhadap persyaratan pencabutan izin usaha persyaratan pencabutan izin usaha
pertambangan operasi produksi. Pada analisis ketiga, penulis akan membahas
secara mendalam mengenai keabsahan dari Surat Keputusan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi milik PT Sebuku Batubai Coal yang
didahului dengan kasus posisi yang diikuti dengan pembahasan mengenai hal-hal
menjadi dasar dari pencabutan tersebut. Penulis akan meninjau apakah terdapat
pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh PT Sebuku Batubai Coal yang
mengakibatkan dicabutnya izin usaha pertambangan operasi produksi miliknya
dari sisi kewenangan, substansi, dan prosedur.

BAB V PENUTUP
Dalam bab ini, penulis akan membuat kesimpulan dari seluruh penelitian yang
telah penulis teliti. Kemudian, penulis akan memberikan saran kepada seluruh
stakeholder agar penyelenggaraan urusan pertambangan menjadi lebih baik.

Universitas Indonesia
22

BAB II
REGULASI DI BIDANG PERTAMBANGAN

A. Sejarah Hukum Pertambangan di Indonesia


Sejarah pengaturan pertambangan pada masing – masing periode telah
berkontribusi besar pada hukum pertambangan yang berlaku di Indonesia saat ini.
Salah satu produk hukum yang memiliki dampak besar adalah Indische Mijnwet.
Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indische Mijnwet merupakan
produk hukum pertambangan peninggalan Belanda yang masih tetap diberlakukan
dengan melakukan beberapa perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan
periode kemerdekaan bangsa Indonesia.1 Akan tetapi, kegiatan pertambangan di
negeri ini telah berlangsung jauh sebelum Indische Mijnwet diberlakukan bahkan
sebelum kerajaan – kerajaan Hindu muncul. Hal ini terlihat dari nenek moyang kita
yang sudah terkenal sebagai pengrajin perkakas logam yang handal seperti: Kapak,
Tombak, Parang, Keris, Badik, Mandu, Arit dan Cangkul pada zaman Perunggu.
Adanya zaman Perunggu ini tentunya tidak lepas dari kemampuan nenek moyang kita
itu, untuk menambang dan mengolah bijih – bijih logam yang ada untuk dijadikan
logam – logam dasar sebagai bahan pokok pembuatan perkakas dan peralatan
kehidupannya. 2
Sedangkan hukum pertambangan di Indonesia sudah terlihat sejak peninggalan
zaman Kerajaan Hindu Sriwijaya dan masa kejayaan Majapahit. Pada zaman kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit, izin pengusahaan pertambangan yang diberikan oleh Raja
atau pembesar kerajaan masih dalam bentuk lisan atau dalam bentuk tertulis di
pelepah lontar.3 Namun, hingga kini belum pernah ditemukan catatan tertulis
mengenai hal tersebut, karena pada saat itu yang berlaku adalah hukum adat, dengan


1
Obbie Afrie Gultom, Sejarah Hukum Pertambangan di Indonesia,
http://www.gultomlawconsultants.com/sejarah-hukum-pertambangan-di-indonesia/ diakses 31
Oktober 2018.
2
Badan Pembinaan Hukum Nasional, “Analisis terhadap Bentuk Kerjasama di Bidang Usaha
Pertambangan”, hlm. 4 https://www.bphn.go.id/data/documents/pertambangan.pdf diakses pada 31
Oktober 2018.
3
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi Pemerintahan Daerah Studi Tentang
Perizinan Pertambangan Timah di Pulau Bangka”, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta
2011), hlm. 79.

Universitas Indonesia
23

konsep “maro” atau “bagi hasil”.4 Kemudian, sejak Belanda datang sebagai kelompok
pedagang yang tergabung dalam Verenigde Ooze Indische Company, maka mulailah
era baru baru dalam kegiatan pengusahaan pertambangan di Indonesia. Analisa lebih
lanjut terkait sejarah hukum pertambangan di Indonesia akan dibagi pada tiga masa
periode, diantaranya; pada masa kekuasaan VOC (tahun 1619 - 1799), masa
pemerintahan Hindia Belanda (tahun 1800 – 1942), perkembangan pada periode tahun
1942 - 1949, perkembangan pada periode tahun 1959, dan pada periode tahun 1967
hingga saat ini.

1. Masa Kekuasaan VOC (1619 – 1799)


Pada zaman kekuasaan VOC yang datang ke Indonesia pada tahun 1616, di
bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen berhasil merebut Jayakarta dan mendirikan
kotabaru yang diberi nama Batavia.5 Kongsi perdagangan Belanda itu datang ke
Indonesia dan akhirnya sampai tahun 1800 berhasil menduduki dan menguasai
sebagian kepulauan Indonesia, dengan tujuan mencari rempah – rempah dan hasil
perkebunan lainnya, tanpa menunjukan minat akan kemungkinan menambang di
negeri ini.6 Menurut Soetaryo Sigit, seorang pakar pertambangan terkemuka
Indonesia, menyimpulkan bahwa dalam bidang pertambangan, orang-orang
Belanda tidak mampu mengembangkan Hindia Belanda menjadi suatu wilayah
pertambangan terkemuka, meskipun potensi mineral wilayah Indonesia
sesungguhnya cukup besar.7 Hal ini pun tidak perlu mengherankan, karena negeri
Belanda bukan negara pertambangan.8
Kendati demikian, pada zaman VOC, Belanda sempat melakukan aktivitas
tambang dikarenakan terdesak oleh kebutuhan pembuatan mata uangnya yang


4
Ibid.
5
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan: Di Bawah Rezim UU No. 4 Tahun 2009,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hlm. 17.
6
Ibid.
7
Soetaryo Sigit, Poternsi Sumber Daya Mineral an Kebangkitan Pertambangan Indonesia,
Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa di ITB, (Bandung: 9 Maret 1996), hlm.
4 dikutip dalam Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press Yohyakarta, 2004), hlm.
62.
8
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press Yohyakarta, 2004), hlm. 62.

Universitas Indonesia
24

terbuat dari perak.9 Adapun penambangan pertama yang dilakukan yaitu


penambangan perak di Salida, Sumatera Barat. Namun oleh karena penjajahan
Belanda ketika itu belum memiliki kemampuan menambang maka VOC
mendatangkan ahli tambang dari Harz, Jerman dan budak belian dari Madagaskar
untuk membuka dan menjalankan aktivitas tambangnya. 10
Selain itu, sebagaimana dicatat oleh sejarah, pada tahun 1710 VOC juga terlibat
dalam kegiatan perdagangan hasil-hasil tambang. Kegiatan perdagangan dilakukan
dengan pembelian timah dari Sultan Palembang yang dihasilkan oleh tambang-
tambang yang dikerjakan oleh orang-orang Cina di Pulau Bangka.11 Pada akhirnya,
VOC memperoleh monopoli atas perdagangan timah ini, sehingga dapat terlihat
bahwa peran VOC hanya sebagai tengkulak yang tidak pernah berminat melakukan
pertambangan sendiri.12
Kemudian setelah banyak pejabat VOC di Batavia yang berlaku curang,
pemborosan dan korupsi yang turut memperburuk kondisi keuangan perusahaan,
maka pada tanggal 1 Januari 1800 VOC dibubarkan dengan ketentuan semua tanah
jajahan dan miliknya diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Sejak itu pula
terbentuk secara resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkuasa hingga
tanggal 8 Maret 1942.13

2. Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1800 – 1942)


Kegiatan pemerintahan pada masa Pemerintahan Hindia Belanda (colonial)
hanya mencakup tugas pemerintahan murni, sedangkan kegiatan perdagangan,
pertanian, perkebunan dan industri kecil dan sebagainya diserahkan kepada pihak
swasta.14 Pada mulanya, Pemerintah Hindia Belanda hanya tertarik di bidang


9
Arif Zulkifli, Pengelolaan Tambang Berkelanjutan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm.
2
10
Ibid., hlm. 2
11
Roziq B Soetjipto, Sejarah Munculnya Pemikiran Pengusahaan Pertambangan yang
Berorientasi Kerakyatan, (Yogyakarta, 1997), hlm. 15 yang dikutip dalam Abrar Saleng, Hukum
Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 62
12
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan…….., hlm. 62
13
Ibid.
14
Ibid., hlm. 63

Universitas Indonesia
25

pertanian serta hasil perkebunan seperti kopi, gula, tembakau, karet, teh, dan
sebagainya.15 Namun oleh karena dalam suasana liberalisasi perekonomian,
muncullah keinginan – keinginan pihak swasta dan perorangan Belanda untuk
mengusahakan pertambangan. Keterlibatan swasta tersebut mendorong
Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu Komisi Khusus pada tahun 1850
untuk mempelajari dan menyusun bentuk pengaturan usaha pertambangan.16
Komisi tersebut berhasil menyusun sebuah peraturan pertambangan
(mijnreglement) yang pertama. Peraturan ini memungkinkan pemberian hak atau
konsesi penambangan kepada swasta warga negara Belanda, tetapi masih terbatas
untuk daerah – daerah di luar Jawa.17 Pada masa itu, konsesi diartikan sebagai
bentuk izin yang memberikan kewenangan kepada Pengusaha Tambang berupa18:
a) Manajemen pengusahaan
b) Pemilikan hasil produksi pertambangan
c) Negara hanya menerima bersih iuran 0,25 gulden perhektar setiap tahun
serta 46% dari hasil kotor usaha pertambangan
Adapun konsesi memiliki ciri – ciri sebagai berikut19:
a) Hak pengusahaan bahan galian secara mutlak berada di tangan pemegang
konsesi;
b) Pembagian hasil dengan Pemerintah berupa pungutan yang berhubungan
dengan usaha pertambangan
c) Kewenangan lain yang dimiliki: membangun berbagai fasilitas penunjuang
di wilayah konsesi
Kebijakan pertambangan yang ditetapkan pada waktu itu memperlihatkan bahwa
pengembangan sumber daya mineral dan batubara dipegang oleh Negara.20


15
Soetaryo Sigit, Poternsi Sumber Daya Mineral…….., hlm. 5 dikutip dalam Tri Hayati, Era
Baru Hukum Pertambangan…….., hlm. 18.
16
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……., hlm. 63
17
Ibid.
18
Indische Mijnwet 1899, Ps. 35 yang dikutip dalam Tri Hayati, Era Baru Hukum
Pertambangan..…, hlm. 27.
19
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan….., hlm. 27.
20
Ibid., hlm. 18.

Universitas Indonesia
26

Perkembangan demikian jelas memperlihatkan semakin pentingnya peran


pemerintah dan swasta dalam usaha pertambangan.
Selain itu, oleh karena mulai dirasakan perlunya mengatur kegiatan
pertambangan secara khusus, pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van
het Mijnwezen“ (Jawatan Pertambangan). Tugas jawatan ini adalah melakukan
eksplorasi geologi – pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan
pemerintah Hindia Belanda.21 Namun di sisi lain, perkembangan pertambangan ini
melambat oleh karena belum adanya peraturan perundang - undangan yang
mengatur tentang pertambangan.
Baru pada tahun 1899, pemerintah Hindia Belanda berhasil mengundangkan
Indische Mijnwet (Staatblad 1899 – 214).22 Namun oleh karena Indische Mijnwet
hanya mengatur pokok – pokok persoalan saja, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan pelaksanaan berupa Mijnordonnantie yang diberlakukan
mulai 1 Mei 1907.23 Kemudian pada tahun 1930, Mijnordonnantie 1907 dicabut
dan diperbaharui dengan Mijnordonnantie 1930 yang berlaku sejak 1 Juli 1930.
Dalam Mijnordonnantie 1930 tidak lagi mengatur mengenai pengawasan
keselamatan kerja pertambangan, tetapi daitur sendiri dalam Mijn Politie
Reglement seusai dengan ketentuan Staatsblad 1930: 341.24
Dalam pelaksanaan Indische Mijnwet terdapat hal- hal yang masih menghambat
kegiatan swasta, dan telah mengalami dua kali amandemen (perubahan) yaitu pada
tahun 1910 dan 1918.25 Setelah itu, kegiatan pertambangan swasta dapat benar –
benar berkembang dan mencapai puncaknya akhir 1930-an, menjela pecahnya
Perang Dunia II.26


21
Soetaryo Sigit, Potensi Sumber Daya Mineral……, hlm. 63.
22
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 64.
23
Ibid., hlm. 64.
24
Soetaryo Sigit dan S. Yudonarpodo, Legal Aspects of The Mineral Industry in Indonesia,
Indonesian Mining Association (IMA) (Jakarta: 1993), hlm 7 yang dikutip dalam Janto Chandra,
“Sejarah Paradigma Penguasaan Negara terhadap Bahan Tambang Batubara dan Hubungannya dengan
Perlindungan Hak – Hak Ekonomi Rakyat”, Jurnal Nurani Vol. 16 No. 1 (Juni 2016: 1 – 18), hlm. 11.
25
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 64
26
Soetaryo Sigit dan S. Yudonarpodo, Legal Aspects of The Mineral….., hlm. 7 dikutip dalam
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 64.

Universitas Indonesia
27

Sampai saat jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1942, selain
minyak bumi, bahan tambang dari negeri ini yang sudah masuk peringkat dunia
hanyalah timah saja, sedang batubara dan bauksit hanya masuk dalam pasaran
internasional dalam jumlah yang sangat terbatas. Meskipun demikian keadaannya,
berdasarkan pengetahuan akan potensi mineral yang ada, perkembangan
pertambangan ketika itu sudah dapat dikatakan optimal.27

3. Perkembangan Pada Periode 1942 – 1949


Menyerahnya tentara kerajaan Hindia Belanda KNIL kepada balatentara Jepang
pada tanggal 8 Maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan pemerintah Hindia
Belanda atas Indonesia.28 Pada periode ini, pertumbuhan pengusahaan urusan
pertambangan sangat lambat. Hal ini tidak mengherankan, karena selama lebih
kurang seperempat abad sejak Perang Dunia II usai Indonesia menganut kebijakan
ekonomi yang sangat tertutup. Iklim usaha secara umum memburuk, dan tambang
di Indonesia banyak yang terlantar, keadaannya lebih mundur dibandingkan
dengan semasa menjelang pecah Perang Pasific pada tahun 1941.29
Selain itu, tidak berkembangnya sektor pertambangan dikarenakan selama
pendudukan Jepang, Indische Mijnwet 1899 praktis tidak jalan, sebab semua
kebijaksanaan mengenai pertambangan termasuk operasi minyak berada di tangan
Komando Militer Jepang yang disesuaikan dengan situasi perang.30
Kendati demikian, pada masa 3 (tiga) tahun penjajahan, Jepang berhasil
mengembangkan potensi pertambangan Indonesia.31 Sejumlah tambang batubara
mereka buka untuk mendapatkan batubara kokas seperti di Kalimantan Selatan,
sebagian lagi di berbagai lokasi di Jawa Barat untuk memasok batubara bagi kereta
api di Jawa. Selain itu, telah diusahakan pula untuk mencari dan membuka tambang
tembaga, antara lain di Tirtomoyo (Jawa Tengah), Sangkaropi (Sulawesi Selatan),


27
Ter Braake, A. L., Mining in The Netherlands East Indies, Bull 4, Netherl and Indies
Council of the Inst of Pacific Relations, (New York. 1994), p. 27 yang dikutip dalam Abrar Saleng,
Hukum Pertambangan….., hlm. 67.
28
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 66.
29
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi……, hlm. 83 - 84.
30
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 66.
31
Ibid.

Universitas Indonesia
28

Timbulun (Sumatera Barat), bijih besi di Lampung dan berbagai lokasi di


Kalimantan Selatan, sinaber di Kalimantan Barat dan Jawa Barat, bijih mangan di
Pulau Doi, bauksit di Kalimantan Barat.32
Setelah perang pasifik usai pada bulan Agustus 1949, disusul dengan perang
kemerdekaan Indonesia tidak banyak yang dapat dilakukan di sektor
pertambangan.33 Kemudian pada tanggal 27 Desember 1949 berlangsung secara
resmi penyerahan dari pihak Belanda kepada Republik Indonesia Serikat dan pada
tanggal 17 Agustus 1950 RIS dilebur menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.34

4. Era Setelah Kemerdekaan


Setelah kemerdekaan tahun 1945, Negara Indonesia mengalami masa transisi
untuk pemulihan kondisi dari masa penjajahan selama 350 tahun, dimana keadaan
politik dan pemerintahan belum stabil.35 Ketidakstabilan politik tersebut
menjadikan tidak dimungkinkannya pelaksanaan usaha pembangunan yang
berkelanjutan.36 Di bidang pertambangan sendiri, tidak dimungkinkannya
dilaksanakan usaha dikarenakan masih terjadi pembahasan dan isu politik yang
sangat peka mengenai pengelolaan atas pertambangan dan minyak dan gas bumi
yang masih dikuasai modal asing.37 Bersamaan dengan keadaan politik yang terus
memburuk, keadaan ekonomipun terus merosot. Bahkan bergolaknya rasa nasional
yang kuat disertai anti orang asing bahkan timbul golongan nasional radikal yang
tidak senang dengan adanya perusahaan dan kapital asing di Indonesia.38 Oleh
karena itu, pada bulan Juli 1951, Dewan Perwakilan Sementara Republik Indonesia
(yang selanjutnya disebut DPRS), yang dipimpin oleh Teuku Moh. Hasan dkk,

32
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi, Kilas
Balik 50 Tahun pertambangan Umum dan Wawasan 25 Tahun Mendatang, (Jakarta, 1995), hlm. II –
20 yang dikutip dalam Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……, hlm. 67
33
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan…….., hlm. 67.
34
Ibid.
35
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan……, hlm. 33.
36
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 68.
37
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan……., hlm. 33.
38
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……, hlm. 68.

Universitas Indonesia
29

menyusun mosi yang mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah –


langkah guna membenahi sistem pengelolaan pertambangan di Indonesia.39
Menanggapi mosi parlemen ini, Panitia Negara yang dibentuk pemerintah
berhasil menyiapkan naskah Rancangan Undang – Undang Pertambangan pada
awal tahun 1952. Meskipun nasakah rancangan undang – undang tersebut tidak
pernah disampaikan kepada DPRS, namun pemerintah dapat menerbitkan Undang
- Undang No. 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan Hak – Hak Pertambangan.40 Pada
bagian “mengingat” huruf b Undang - Undang No. 10 Tahun 1959 tentang
Pembatalan Hak – Hak Pertambangan, menyatakan bahwa undang – undang
tersebut didasari pada Pasal 38 ayat (3) Undang – Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia 1950 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekajaan alam jang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar –
besar kemakmuran rakjat.” Ketentuan tersebut memberikan makna bahwa
kekayaan alam seperti batubara yang ada di Indonesia harus dikuasai oleh Negara.
Selanjutnya, dalam Pasal 89 Undang – Undang Dasar 1950 juga menyebutkan
bahwa kekuasaan perundang – undangan dilakukan oleh Pemerintah bersama –
sama dengan Dewan Perwakilan Rakjat. Meski tidak dielaborasikan lebih lanjut
mengenai yang dimaksud dengan “Negara” pada Pasal 38 ayat (3) Undang –
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, namun jika merujuk pada
ketentuan Pasal 89 Undang – Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950
maka dapat diartikan bahwa pengelolaan terhadap kekayaan alam diatur melalui
perundang – undangan yang dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakjat.
Setelah berhasil diterbitkan oleh Pemerintah, Undang - Undang No. 10 Tahun
1959 Tentang Pembatalan Hak – Hak Pertambangan menegaskan semua hak
pertambangan yang pernah terbit sebelum tahun 1959 yang selama ini belum juga
dikerjakan dan diusahakan kembali, ataupun masih dalam taraf permulaan
pengusahaan dan tidak menunjukkan kesungguhan, semuanya dibatalkan.41 Selain
itu ditetapkan pula dalam Undang - Undang No. 10 Tahun 1959 Tentang

39
Deparetemen Pertambangan dan Energi, 50 Tahun…. hlm. 142 yang dikutip dalam Tri
Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan…., hlm. 33.
40
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 68.
41
Ibid.

Universitas Indonesia
30

Pembatalan Hak – Hak Pertambangan bahwa dalam rangka menunggu undang –


undang yang baru terbit, maka atas daerah – daerah yang akibat pembatalan tadi
menjadi bebas, artinya dapat diomohonkan dan diterbitkan hak pertambangan yang
baru.42 Penerbitan hak pertambangan ini adalah wewenang Menteri Perindustrian
(yang waktu itu membawahi sektor pertambangan) dan hanya dapat dilakukan
kepada perusahaan – perusahaan yang dimiliki oleh Negara dan/atau Derah –
daerah Swatantra.43
Kemudian pada tahun 1960 Pemerintah menerbitkan suatu kebijakan yang
mengatur tentang pertambangan, yaitu dengan diundangkannya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 37 Prp. Tahun 1960 tentang
Pertambangan, yang merupakan produk nasional pertama regulasi di bidang
pertambangan.44 Dalam penjelasannya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang –
Undang Nomor 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan menyebutkan bahwa
telah diterima mosi oleh Parlemen yang menghendaki agar dibentuk sebuah Panitia
Negara untuk Urusan Pertambangan dengan tugas antara lain untuk merencanakan
suatu Undang – undang tentang Pertambangan sebagai Pengganti “Indische
Mijnwet”.45 Sehingga, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang – Undang Nomor 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan, maka
keberlakukan Indische Mijnwet 1899 menjadi berakhir.46
Setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang
Nomor 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan istilah konsesi diganti dengan
Kuasa Pertambangan.47 Adapun yang dimaksud dengan Kuasa Pertambangan
dalam hal ini adalah wewenang yang diberikan kepada badan atau perseorangan


42
Indonesia, Undang – Undang tentang Pembatalan Hak – Hak Pertambangan, UU No. 10
Tahun 1959, LN No. 24 Tahun 1959, TLN No. 1759, ps. 4 ayat (1).
43
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi, Kilas
Balik 50……, hlm. II – 20 yang dikutip dalam Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……, hlm. 69.
44
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan……, hlm. 35.
45
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tentang Pertambangan, UU
Prp. No. 37 Tahun 1960, LN No. 119 Tahun 1960 TLN No. 2055, Penjelasan Paragraf 1.
46
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan….., hlm. 35.
47
Mukmin Zakiuke, Kaitan Kuasa Pertambangan……, hlm. 66

Universitas Indonesia
31

untuk melaksanakan usaha pertambangan.48 Jika dibandingkan, konsesi


memberikan hak yang terlalu luas dan terlalu kuat. Hak konsesi merupakan hak
kebendaan (zakelijkrechts, propertyrights), sehingga dapat dijadikan jaminan
hipotik.49 Berbeda dengan hak kontraktor dan hak pemegang kuasa pertambangan,
tidak mempunyai kekuatan hukum yang demikian, menurut hukum Indonesia.50
Selain itu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 37 Prp.
Tahun 1960 tentang Pertambangan, mengizinkan pemerintah menarik modal asing
untuk mengembangkan bidang eskplorasi dan eksploitasi pertambangan
berdasarkan pola production sharing contract sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 20 Tahun 1963 tentang Pemberian Fasilitas Bagi Proyek – Proyek
yang Dibiayai Dengan Kredit Luar Negeri Atas Dasar “Production Sharing”.51 Pola
bagi hasil ini pada dasarnya tidak lain berupa peminjaman modal dari pihak asing
yang akan dibayar kembali dengan hasil produksi.52 Namun sayangnya, ketika itu,
pola ini tidak berhasil menarik minat swasta ataupun mendatangkan modal dari
luar negeri sebagaimana yang diharapkan.53
Menyadari lemahnya kondisi ekonomi pada saat itu, Pemerintah berinisiatif
untuk menerbitkan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal pada tanggal 10 Januari 1967. Dalam undang – undang tentang penanaman
modal tersebut, pemerintah menetapkan perincian bidang – bidang usaha yang
terbuka bagi modal asing menurut urutan prioritas dan menentukan syarat – syarat
yang harus dipenuhi penanam modal asing dalam tiap – tiap usaha tersebut.54
Dengan demikian, selaras dengan huruf f konsiderans Undang – Undang Nomor
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, penggunaan


48
Indonesia, Undang – undang tentang Pertambangan, UU No. 37 Tahun 1960, LN No. 119
Tahun 1960 TLN No 2055, ps. 1 huruf i.
49
Survey of Indonesia Economic Law, Mining Law, (Bandung, Law School Padjajaran
University, 1974), p. 11 dikutip dalam Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 72.
50
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……, hlm. 72.
51
Deparetemen Pertambangan dan Energi, 50 Tahun Pertambangan….., hlm. 265 yang
dikutip dalam Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 70.
52
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……, hlm. 70.
53
Ibid.
54
Sri Yuliati, Analisis Hukum tentang Pemilikan Saham pada Perusahaan Penanaman Modal
Asing, hlm. 4.

Universitas Indonesia
32

modal asing perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk mempercepat


pembangunan ekonomi Indonesia serta digunakan dalam bidang – bidang dan
sektor – sektor, yang salah satunya adalah sektor pertambangan.
Dalam rangka mengatur sektor pertambangan, pada tahun 1967 pemerintah
Indonesia menetapkan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang – Undang Nomor 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan sekaligus menandai
politik pintu terbuka di bidang pertambangan setelah sebelumnya diawali dengan
ditetapkannya undang – undang tersebut.55 Seiring dengan dinamika pasca
reformasi, UU 11/1967 dianggap sudah tidak sesuai dengan politik ekonomi yang
ingin dijalankan oleh pemerintah. Oleh karena itu, ditetapkanlah Undang – Undang
baru sebagai pengganti Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, yaitu Undang – Undang No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.56

B. Perbandingan Instrumen Hukum dan mekanisme untuk melakukan Kegiatan


Pertambangan
Perusahaan tambang yang besar dan yang serupa dengan itu dijalankan
sebagai usaha negara, sebab ia dikerjakan oleh orang banyak dan cara
mengusahakannya mempunyai akibat terhadap kemakmuran dan kesehatan
rakyat.57 Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang
Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besar
kemakmuran rakyat.” Pasal tersebut mengatur bahwa dalam konteks
produktifitas, sumber daya alam harus berdasarkan prinsip “dikuasai oleh negara”
dan dan prinsip “untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat”.58


55
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara atas Mineral dan Batubara
Pasca Berlakunya Undang – Undang Minerba, Jurnal Konstitusi Vol. 9 No. 3 (September 2012), hlm.
476.
56
Ibid.
57
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan……, hlm. 29.
58
Ahmad Redi, Dinamika Konsepsi Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam, Jurnal
Konstitusi Vol. 12 No. 2 (Juni 2015), hlm. 404

Universitas Indonesia
33

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap


klausul “dikuasai negara” dimana mencakup makna penguasaan oleh negara
dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat
Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”, termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan
publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber – sumber kekayaan yang dimaksud.59
Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh Undang – Undang Dasar 1945
memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam
mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) oleh negara.60 Mengacu pada penafsiran tersebut, hasil
tambang di Indonesia dikuasai oleh negara yang dikelola dengan tujuan untuk
kesejahteraan rakyat sebesar – besarnya, sebagaimana prinsip welfare state.61
Selaras dengan bagian “mengingat” angka 1 Undang – Undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, bahwa undag
– undang tersebut lahir dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 33 Undang –
Undang Dasar 1945. Lebih lanjut Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan menegaskan bahwa
pelaksanaan penguasaan negara dan pengaturan usaha pertambangan bahan galian
dilakukan oleh Menteri yang lapangan tugasnya meliputi urusan pertambangan.62
Berdasarkan fakta tersebut maka dalam bidang pertambangan, Menteri yang
merupakan perpanjangan tangan dari Presiden yang memiliki wewenang untuk
mengelola kegiatan pertambangan di Indonesia.
Meski pada saat ini Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan telah diganti dengan Undang –
Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara namun
kedua undang – undang tersebut memiliki mekanismenya sendiri dalam mengatur


59
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara….. hlm. 479.
60
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 01-021-022/PUU-I/2003 dikutip
dalam Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara….., hlm. 479.
61
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara….., hlm. 479.
62
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, UU
No. 11 Tahun 1967, LN No. 22 Tahun 1967 TLN No. 2831 , Ps. 4 jo. Ps. 2 huruf j

Universitas Indonesia
34

kegiatan pertambangan batubara di Indonesia. Pada rezim Undang – Undang


Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan,
dikenal ada dua bentuk pemberian hak kepada Pengusaha yang akan melakukan
penambangan, yaitu: dalam bentuk izin, yang disebut dengan Kuasa
Pertambangan dan dalam bentuk kontrak.63 Teknis pelaksanaan pengusahaan
pertambangan yang melibatkan pemodal asing diatur tersendiri dalam beberapa
peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral, khususnya pengaturan tentang
perjanjian atau kontrak yang dilakukan yang disebut dengan kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).64
Selanjutnya, terbitnya Undang – Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara menandai era baru di bidang pertambangan
dimana terdapat ketentuan – ketentuan baru yang menujukkan adanya pergeseran
paradigma dalam pengelolaan sumber daya mineral dan batubara.65 Berbeda
dengan rezim Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Pertambangan, pada Undang – Undang No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, hanya terdapat satu bentuk
pemberian pengelolaan pertambangan kepada pengusaha, yaitu berbentuk Izin
Usaha Pertambangan.66

1. Implementasi Instrumen Hukum untuk melakukan Kegiatan


Pertambangan berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok Pertambangan
Setelah kemerdekaan, terjadi gejolak politik sehingga investasi di bidang
pertambangan menurun, terutama setelah dibentuknya Undang – Undang No.
78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing.67 Dalam Undang – Undang


63
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Analisis dan Evaluasi Peraturan
Perundang – Undangan tentang Minerba di Kawasan Hutan Lindung, (2013), hlm. 85
64
Siti Awaliyah, Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (KK/PKP2), Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 27 No. 2 (Agustus
2014), hlm. 112.
65
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara….., hlm. 476.
66
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Analisis dan Evaluasi….., hlm. 85
67
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan……, hlm. 35.

Universitas Indonesia
35

No. 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing disebutkan bahwa tertutup
penanaman modal asing terhadap perusahaan – perusahaan pertambangan bahan
galian vital.68 Selanjutnya, disusul dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang – Undang Nomor 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan
tentang Pertambangan yang juga hanya memberi kesempatan kepada investor
dalam bentuk pinjaman luar negeri (yang akan dikembaikan dari hasil produksi
bahan galian sesuai Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1963).69 Dengan
demikian, untuk melakukan investasi oleh pihak asing secara langsung tidak
dimungkinkan, kecuali dalam bentuk pinjaman luar negeri saja.70 Hal ini
menyebabkan investasi menurun drastis pada era tahun 1950 sampai dengan
1964, sehingga pemasukan keuangan kedalam kas negara juga menjadi turun
drastis.71
Menghadapi kondisi ekonomi yang menurun, pemerintah melakukan
inisiatif dengan ditetapkannya Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1996
tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan. Lebih lanjut dalam Ketetapan MPR tersebut diatur bahwa untuk
membuat kekuatan ekonomi potensiil menjadi kekuatan ekonomi riil, maka
kekayaan alam harus digali, diolah, dan dibina.72 Bersamaan dengan itu,
Ketetapan MPR tersebut juga menyatakan bahwa diperlukan segera untuk
ditetapkan Undang – Undang mengenai modal asing, termasuk domestik asing
untuk mengatasi terbatasnya persediaan modal didalam negeri.73 Atas dasar


68
Indonesia, Undang – undang tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 78 Tahun 1958,
LN No. 138 Tahun 1958, TLN No. 1725, Ps. 3 ayat (1)
69
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan…..., hlm. 35 – 36.
70
Ibid.
71
Ibid.
72
Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat tentang Pembaharuan
Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, Ketetapan MPR No.
XXIII/MPRS/1996, Ps. 8
73
Ibid, Ps. 62

Universitas Indonesia
36

amanat tersebut, maka pada tanggal 10 Januari 1967 diterbitkan Undang –


Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.74
Pasal 8 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing tersebut menyebutkan bahwa: “Penanaman modal
asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerja sama dengan
Pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.” Pasal tersebut telah menyatakan secara tegas
mengenai ketentuan yang berbeda dengan ketentuan sebelumnya, yakni
dimungkinkan adanya penanaman modal asing di bidang pertambangan yang
dilakukan atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan
perundang perundangan yang berlaku. Sehingga untuk menyesuaikan
kebijaksanaan tersebut, tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengganti Undang –
Undang Pertambangan tahun 1960.75 Menyadari sepenuhnya urgensi
penanganan hal ini, Departemen Pertambangan segera membentuk Panitia
Penyusun Rencana Undang – Undang Pertambangan.76
Kemudian usaha dari Panitia Penyusun Rencana Undang – Undang
Pertambangan telah membuahkan hasil yaitu terbitnya Undang – Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan.
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok
Pertambangan ini telah memberi kesempatan kepada investor asing untuk
menanamkan modalnya dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia dan
memberikan kewenangan pengelolaan pertambangan kepada Pemerintah Pusat,
yang dalam hal ini diserahkan kepada Menteri Pertambangan (khususnya untuk
bahan galian a dan golongan b).77 Mengenai masuknya penanaman modal asing
juga ditentukan dalam Pasal 10 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan yang menentukan
bahwa78:


74
Indonesia, Undang – Undang tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 1 Tahun 1967, LN
No. 1 Tahun 1967 TLN No. 2818, Bagian dasar hukum.
75
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan….., hlm. 71.
76
Ibid.
77
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan……, hlm. 36.
78
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi…..., hlm. 85.

Universitas Indonesia
37

a) Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan


untuk melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan
sendiri oleh instansi pemerintah atau perusahaan negara yang bersangkutan
selaku pemegang kuasa pertambangan.
b) Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara
harus berpegang pada pedoman – pedoman, petunjuk – petunjuk, dan syarat
– syarat yang diberikan oleh Menteri.
c) Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini mulai berlaku sesudah
disahkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR apabila
menyangkut ekploitasi golongan a sepanjang mengenai bahan – bahan
galian yang ditentukan dalam Pasal 13 Undang – Undang Nomor 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan dan/atau
perjanjian karyanya berbentuk penanaman modal asing.
Ketentuan diatas telah memperlihatkan bahwa partisipasi modal dan teknologi
asing sangat diharapkan dalam pengusahaan pertambangan. Karena harus
diakui bahwa pengusahaan bahan galian membutuhkan modal besar, teknologi
tinggi dan keahlian – keahlian tertentu.79 Hanya saja dasar partisipasi modal
asing tidak lagi sebagai consessionairis (pemegang konsesi).80 Mereka hanya
dapat menjadi kontraktor dari Pemerintah dan pemegang Kuasa
81
Pertambangan. Berbeda dengan pengertian konsesi lama yang terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Penganti Undang – Undang No. 37 Tahun 1960 tentang
Pertambangan yang memberikan hak kepemilikan pertambangan kepada si
pemegang kuasa, kuasa pertambangan dalam Undang – Undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan hanya
memberikan kekuasaan untuk melaksanakan usaha pertambangan.82


79
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan......, hlm. 72.
80
Ibid.
81
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan....., Ps.
10 jo. Indonesia, Undang – Undang tentang Penanaman Modal Asing....., Ps. 8 dikutip dalam Abrar
Saleng, Hukum Pertambangan, hlm. 72.
82
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan....
Penjelasan Pasal 15.

Universitas Indonesia
38

Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan


Pokok Pertambangan mengatur bahwa pengelolaan bahan galian strategis dan
vital masih dilakukan oleh negara melalui menteri (terpusat), tetapi terdapat
pengandaian bagi bahan galian vital yang dapat dikelola oleh pemerintah
daerah tingkat I bila diberikan kuasa oleh menteri. Sedangkan bahan galian
yang tidak termasuk keduanya dikelola oleh pemerintah daerah tingkat I.83
Adapun yang dimaksud dengan pemerintah daerah tingkat I adalah Menteri dan
pemerintah daerah tingkat II adalah Gubernur Kepala Daerah.84 Namun
terdapat pengecualian, bahwa dengan memperhatikan kepentingan
pembangunan Daerah khususnya dan negara pada umumnya, Menteri dapat
menyerahkan pengaturan usaha pertambangan bahan – bahan galian tertentu
diantara bahan galian golongan b kepada pemerintah daerah tingkat I tempat
terdapat bahan galian itu.85
Disamping itu, guna mengakomodir kebutuhan akan penanaman modal,
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya pertambangan,
melibatkan perusahaan – perusahaan yang secara rinci diatur dalam undang –
undang penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri (PMDN)
maupun penanaman modal asing (PMA).86 Teknis pelaksanaan pengusahaan
pertambangan yang melibatkan pemodal asing diatur tersendiri dalam
beberapa peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral, khususnya
pengaturan tentang perjanjian atau kontrak yang dilakukan yang disebut
dengan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara (PKP2B).87 Kontrak yang dianut dalam Undang – Undang Nomor 11


83
Nazaruddin Lathif, Tinjauan Yuridis tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Batubara, Jurnal Panorama Hukum Vol. 2 No.2, (Desember
2017), hlm. 152.
84
Indonesia, Undang – Undang tentang Pokok – Pokok Pemerintahan di Daerah, UU No.5
Tahun 1974, LN No. 38 Tahun 1974 TLN No. 3037, Ps. 1 huruf i.
85
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi...., hlm. 88.
86
Siti Awaliyah, Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (KK/PKP2B), Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 27 No. 2 (Agustus
2014), hlm. 112.
87
Ibid.

Universitas Indonesia
39

Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan bukanlah


kontrak keperdataan pada umumnya, tetapi merupakan “kontrak publik”.88
Menurut pendapat Prayudi Atmosudirdjo, bahwa kontrak publik ini
merupakan perbuatan hukum publik (berstuursdaad) yang bersegi dua, dimana
Pemerintah sebagai pejabat publik melakukan kegiatan tertentu dengan tetap
tunduk pada aturan – aturan dalam bidang publik yang juga dibuat oleh
Pemerintah sebagai pejabat publik. Hal ini tentunya sangat terkait dengan
amanat Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan konsep
penguasaan oleh negara terhadap sumber daya alam di Indonesia. Tidak
mungkin dapat dihilangkan konsep negara sebagai pemegang hak penguasaan
atas sumber daya alam, di dalam pembuatan kontrak tersebut.89 Atas fakta
tersebut, maka Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Pertambangan telah mengakomodasi perjanjian kontrak
karya untuk pertambangan mineral dan perjanjian karya pengusaha
pertambangan batubara untuk pertambangan batubara.90

a. Kuasa Pertambangan
Kuasa pertambangan merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat
digunakan oleh pemegang kuasa pertambangan untuk melaksanakan kegiatan
usaha di bidang pertambangan.91 Pada dasarnya kuasa pertambangan telah
dikenal sebelum diberlakukannya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, yakni sejak Peraturan
Pemerintah Penganti Undang – Undang No. 37 Tahun 1960 tentang
Pertambangan. Kuasa pertambangan dalam Peraturan Pemerintah Penganti
Undang – Undang No. 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan merupakan
pengganti dari “konsesi” yang terdapat dalam Indische Mijnwet dikarenakan


88
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan......., hlm. 140.
89
Ibid.
90
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Analisis dan Evaluasi....., (2013),
hlm. 37.
91
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 63.

Universitas Indonesia
40

konsesi telah memberikan hak yang terlalu kuat bagi pemegang konsesi itu.92
Dalam pasal 1 huruf i Peraturan Pemerintah Penganti Undang – Undang No.
37 Tahun 1960 tentang Pertambangan memberikan definisi kuasa
pertambangan yang tidak berbeda dengan yang terdapat dalam Undang –
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok
Pertambangan. Hal ini juga selaras dengan penjelasan Pasal 15 Undang –
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok
Pertambangan bahwa untuk pengertian hak – hak pertambangan yang telah
dikenal selama ini, tetap dipergunakan istilah kuasa pertambangan.
Tanpa adanya kuasa pertambangan, perusahaan pertambangan belum dapat
melakukan kegiatannya.93 Kuasa pertambangan diberikan dengan Keputusan
Menteri dan dalam Keputusan Menteri tersebut dapat diberikan ketentuan –
ketentuan khususnya disamping apa yang telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah.94 Kuasa pertambangan dapat dipindahkan kepada perusahaan
atau perseorangan lain bilamana memenuhi ketentuan – ketentuan dan
mendapatkan persetujuan dari menteri.95 Berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua
Peraturan Pelaksana Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, ditentukan bahwa pemegang
kuasa pertambangan mempunyai wewenang untuk melakukan satu atau
beberapa usaha pertambangan yang ditentukan dalam kuasa pertambangan
yang bersangkutan.96 Usaha pertambangan tersebut dilakukan terhadap bahan
– bahan galian97 yang dibagi atas tiga golongan, yaitu98:


92
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok...., Penjelasan Bagian
A angka 5.
93
Ibid.
94
Nazaruddin Lathif, Tinjauan Yuridis tentang Kewenangan Pemerintah ....., hlm. 151.
95
Ibid.
96
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era......, hlm. 87.
97
Bahan galian adalah unsur – unsur kimia, mineral – mineral, bijih – bijih dan segala macam
batuan termasuk batu – batu mulia yang merupakan endapan – endapan alam. (Indonesia, Undang –
Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok...., ps. 2 huruf a)
98
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan......, Ps.
3.

Universitas Indonesia
41

a) Golongan bahan galian strategis;


b) Golongan bahan galian vital;
c) Golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a
atau b.
Usaha pertambangan bahan – bahan galian tersebut meliputi a) penyelidikan
umum, b) eksplorasi, c) eksploitasi, d) pengolahan dan pemurnian, e)
pengangkutan, dan f) penjualan.99 Keenam kegiatan – kegiatan usaha
pertambangan tersebut merupakan suatu proses yang berkelanjutan, dimana
hal pertama yang harus dilakukan dalam melakukan kegiatan usaha
pertambangan adalah dengan melakukan penyelidikan umum yang kemudian
dilanjutkan dengan eksplorasi dan seterusnya.
Kendati demikian, pemberian kuasa pertambangan kepada pemegang
kuasa pertambangan tidak memberikan hak pemilikan pertambangan
kepadanya.100 Pemegang kuasa pertambangan tidak dapat dikatakan
melakukan pekerjaan pertambangan sebagai pemilik wilayah yang
bersangkutan, melainkan ia melakukan usaha pertambangan sebagai pihak
yang diberi kuasa atau tugas oleh negara dan bangsa.101 Adapun
badan/perorangan yang dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan
usaha pertambangan adalah102:
a) Instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menteri, gubermur,
bupati/walikota;
b) Perushaan negara;
c) Perusahaan daerah;
d) Perusahaan dengan modal bersama antara negara dan daerah;
e) Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat - syarat yang
telah ditentukan;


99
Ibid., ps. 14.
100
Mukmin Zakie, Kaitan Kuasa Pertambangan....., hlm. 65
101
Ibid.
102
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan........,
ps. 5.

Universitas Indonesia
42

f) Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan/atau Daerah


dengan Koperasi dan/atau Badan/Perseorangan Swasta yang
memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan;
g) Pertambangan rakyat
Pada rezim Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Pertambangan sistem perizinan yang dianut memiliki ciri
bahwa izin merupakan keputusan publik yang bersifat sepihak, konkret,
individual dan final. Dengan demikian apabila terjadi sengketa, maka
penyelesaian sengketanya melalui Peradilan Tata Usaha Negara.103
Dalam perkembangannya, dari tahun 1967 sampai dengan tahun 1997,
konsep Kuasa Pertambangan ini selalu diusahakan untuk terus diperbaiki.104
Khususnya menyangkut ketentuan – ketentuan dalam kontrak yang
menyangkut bidang keuangan, perpajakan dan pungutan negara lainnya, dari
waktu ke waktu perlu disesuaikan dengan perkembangan kebijaksanaan
pemerintah. Dengan demikian dalam kurun waktu 30 tahun (1967 – 1977)
terdapat tujuh generasi kuasa pertambangan.105
Apabila dilihat dari segi istilahnya, Kuasa pertambangan sebagaimana
diatur dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Pertambangan merupakan106: “Wewenang yang diberikan
kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan.”
Adapun yang dimaksud dengan wewenang adalah hak dan kekuasaan yang
diberikan oleh hukum kepada badan/perorangan untuk melaksanakan usaha
pertambangan.107 Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001
tentang Perubahan Kedua Peraturan Pelaksana Undang – Undang Nomor 11


103
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan......, hlm. 144.
104
Ari Wahyudi Hertanto, Kontrak Karya (Suatu Kajian Hukum Keperdataan), hlm. 206.
105
Joko Susilo dan Adi Prathomo, Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan
Indonesia, Kumpulan Tulisan S. Sigit, 1967 – 2004, (Jakarta: Yayasan Minergy Informasi Indonesia,
2004), hlm. 3 yang dikutip dalam Ari Wahyudi Hertanto, Kontrak Karya (Suatu Kajian Hukum
Keperdataan), hlm. 206.
106
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan...., Ps.
2 huruf i.
107
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia......, hlm. 63.

Universitas Indonesia
43

Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan menyatakan


bahwa108:

Setiap usaha pertambangan bahan galian yang termasuk dalam golongan


bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital, baru dapat
dilaksanakan apabila terlebih dahulu mendapatkan Kuasa Pertambangan.

Pernyataan tersebut memperlihatkan betapa pentingnya kepemilikan kuasa


pertambangan dalam rangka melakukan usaha pertambangan. Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, usaha pertambangan adalah segala kegiatan
usaha pertambangan yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan.109 Adapun unsur –
unsur dari penyelidikan umum
Mengenai jenis – jenis Kuasa pertambangan, perlu dipahami bahwa kuasa
pertambangan dari aspek bentuknya merupakan kuasa pertambangan yang
dilihat dari aspek keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
untuk itu.110 Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, selain Undang –
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok
Pertambangan, pengaturan perizinan batubara juga diatur dalam Peraturan
Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua
Peraturan Pelaksana Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan.111 Pasal 2 (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Peraturan
Pelaksana Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Pertambangan membagi kuasa pertambangan dari segi
bentuknya, yaitu:
a. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan


108
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan,
PP No. 32 Tahun 1969, LN No. 60 Tahun 1969, TLN No. 2916, Ps. 1 ayat (1)
109
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 64.
110
Ibid., hlm. 66.
111
Nazaruddin Lathif, Tinjauan Yuridis tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Batubara, Jurnal Panorama Hukum Vol. 2 No. 2 (Desember
2017), hlm. 152

Universitas Indonesia
44

Surat keputusan penguasaan pertambangan adalah kuasa pertambangan


yang diberikan oleh menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai
kewenangannya kepada instansi pemerintah yang meliputi tahap
kegiatan penyelidikan umum dan eksplorasi.112
b. Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat
Surat keputusan izin pertambangan rakyat adalah kuasa pertambangan
yang diberikan oleh Menteri kepada Rakyat setempat untuk
melaksanakan usaha pertambangan secara kecil – kecilan dan dengan
luas wilayah yang sangat terbatas.113 Isi surat keputusan izin
pertambangan adalah untuk melakukan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pemurnian, dan penjualan.114
c. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan
Surat keputusan pemberian kuasa pertambangan adalah kuasa
pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Peruashaan Negara,
Perusahaan Daerah, badan lain atau perorangan untuk melaksanakan
usaha pertambangan.115 Surat keputusan pemberian kuasa pertambangan
ini dimaksudkan untuk melaksanakan usaha pertambangan yang
meliputi tahap kegiatan 1) penyelidikan umum, 2) eksplorasi, 3)
eksploitasi, 4) pengolahan dan pemurnian, 5) pengangkutan dan
penjualan.116
Sedangkan dilihat dari aspek usahanya, kuasa pertambangan merupakan
penggolongan kuasa pertambangan berdasarkan segi usaha yang akan
dilakukan oleh pemegang kuasa pertambangan.117 Lebih lanjut, Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Peraturan

112
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia......, hlm. 66.
113
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, PP No. 75 Tahun 2001, LN No. 141 Tahun 2001, TLN
No. 4154, Ps. 2 ayat (3).
114
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 67.
115
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun....., Ps. 2 ayat (4)
116
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia......, hlm. 67.
117
Ibid.

Universitas Indonesia
45

Pelaksana Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan –


Ketentuan Pokok Pertambangan juga menyatakan bahwa pemegang kuasa
pertambangan mempunyai wewenang untuk melakukan satu atau beberapa
usaha pertambangan yang ditentukan dalam kuasa pertambangan yang
bersangkutan.118 Dari aspek usahanya, kuasa pertambangan dapat berupa119:
a. Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum
Kuasa pertambangan penyelidikan umum merupakan kuasa untuk
melakukan penyelidikan secara geologi umum dengan maksud untuk
membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda – tanda
adanya bahan galian pada umumnya.120 Kuasa pertambangan
penyelidikan umum diberikan selama – lamanya 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang selama satu tahun lagi, atas permintaan yang bersangkutan
dan diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah
ditetapkan.121
Kepada orang atau badan hukum yang diberikan kuasa
pertambangan penyelidikan umum diwajibkan membayar iuran
tetapkepada negara. Iuran tetap adalah iurang yang dibayarkan kepada
negara sebagai imbalan atas kesempatan untuk melakukan usaha
pertambangan penyelidikan umum, iuran tetap ini dibayarkan pada awal
tahun dan jumlahnya berdasarkan tiap hektar wilayah Kuasa
Pertambangan.122
b. Kuasa Pertambangan Eksplorasi
Kuasa pertambangan eksplorasi adalah wewenang (kuasa) yang
diberikan oleh pejabat berwenang untuk itu untuk melakukan


118
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang...., Ps.
7 ayat (1)
119
Ibid., ps. 7 ayat (2).
120
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 67.
121
Mukmin Zakie, Kaitan Kuasa Pertambangan dengan Hak – hak atas Tanah dalam Undang
– undang Pokok Agraria...., hlm. 71.
122
Ibid.

Universitas Indonesia
46

penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih


teliti/saksama adanya dan sifat letakan bahan galian.123
Kuasa pertambangan eksplorasi diberikan oleh Menteri untuk
jangka waktu selama – lamanya 3 (tiga) tahun atas permintaan yang
bersangkutan.124 Menteri dapat memperpanjang jangka waktu kuasa
pertambangan eksplorasi sebanyak 2 (dua) kali, setiap kalinya untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun atas permintaan yang bersangkutan, yang
harus diajukan sebelum jangka waktu yang telah ditetapkan.125
Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (3) PP 75/2001 juga ditentukan
bahwa dalam hal pemegang kuasa pertambangan eksplorasi telah
menyatakan bahwa usahanya akan dilanjutkan dengan usaha
pertambangan eksploitasi, maka Menteri dapat memberikan
perpanjangan jangka waktu kuasa pertambangan eksplorasi selama –
lamanya 3 (tiga) tahun lagi untuk pembangunan fasilitias - fasilitas
eksploitasi pertambangan atas permintaan yang bersangkutan.
Seperti halnya kuasa pertambangan penyelidikan umum, pada
eksplorasi ini juga dipungut biaya atau iuran tetap yang dibayarkan pada
awal tahun dan diperhitungkan berdasarkan luas kuasa pertambangan
tersebut. Disamping membayar iuran tetap, juga diwajibkan membayar
iuran eksplorasi yakni iuran produksi yang dibayarkan kepada negara
dalam hal pemegang kuasa pertambangan eksplorasi memperoleh hasil
bahan galian yang tergali atas kesempatan melakukan usaha
pertambangan eksplorasi yang diberikan kepadanya.126
c. Kuasa Pertambangan Eksploitasi
Kuasa pertambangan yang berisikan wewenang untuk melakukan
usaha pertambangan eksploitasi disebut kuasa pertambangan
127
eksploitasi. Kuasa pertambangan eksploitasi merupakan kuasa


123
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 68.
124
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun ....., Ps. 9 ayat (2).
125
Ibid.
126
Mukmin Zakie, Kaitan Kuasa Pertambangan dengan Hak – hak....., hlm. 71.
127
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun......, Ps. 10 ayat (1).

Universitas Indonesia
47

pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan


memanfaatkannya.128
Kuasa pertambangan eksploitasi ini diberikan oleh Menteri untuk
jangka waktu selama – lamanya 30 (tiga puluh) tahun, atas permintaan
yang bersangkutan.129 Selain itu, menteri dapat memperpanjang jangka
waktu kuasa pertambangan eksploitasi sebanyak 2 (dua) kali, setiap
kalinya untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun atas permintaan yang
bersangkutan yang harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu
yang telah ditetapkan.130
Kepada pemegang kuasa pertambangan eksploitasi diwajibkan
membayar iuran eksploitasi yakni iutan produksi yang dibayarkan
kepada negara atas hasil produksi yang diperolehnya dari usaha
pertambangan eksploitasi satu atau lebih bahan galian.131 Disamping
iuran untuk kegiatan eksploitasi tersebut juga dikenai iuran tetap yang
tata cara pembayarannya sama seperti kuasa pertambangan
penyelidikan umum dan kuasa pertambangan eksplorasi.132
d. Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian
Kuasa pertambangan yang berisikan wewenang untuk melakukan
usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian disebut kuasa
pertambangan pengolahan dan pemurnian.133 Kuasa pertambangan
pengolahan dan pemurnian adalah kuasa pertambangan untuk


128
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 68.
129
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967 ....., Ps. 10 ayat
(2).
130
Ibid. Ps. 10 ayat (3).
131
Mukmin Zakie, Kaitan Kuasa Pertambangan dengan Hak – hak...., hlm. 71.
132
Ibid.
133
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967....., Ps. 11 ayat
(1).

Universitas Indonesia
48

mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan


memperoleh unsur – unsur yang terdapat pada bahan galian itu.134
Kuasa pertambangan pengolahan dan pemurnian diberikan oleh
Menteri untuk jangka waktu selama – lamanya 30 (tiga puluh) tahun,
atas permintaan yang bersangkutan.135 Dalam hal ini, menteri dapat
memperpanjang jangka waktu kuasa pertambangan pengolahan dan
pemurnian setiap kalinya untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun atas
permintaan yang bersangkutan yang harus diajukan sebelum jangka
waktu yang telah ditetapkan.136
e. Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan
Kuasa pertambangan pengakutan dan penjualan adalah wewenang
untuk melakukan usaha pertambangan pengakutan dan penjualan.137
Pengangkutan adalah segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil
pengolahan dan pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau
tempat pengolahan atau pemurnian, sedangkan penjualan adalah segala
usaha penjualan bahan galian dan hasil pengolahan atau pemurnian
bahan galian.138
Dilihat dari segi jangka waktunya, kuasa pertambangan
pengangkutan dan penjualan ini diberikan selama – lamanya 10
(sepuluh) tahun dan dapat diperpanjan setiap kalinya selama – lamanbya
5 (lima) tahun.139
Setelah diketahui adanya jenis – jenis kuasa pertambangan yang dilihat dari
segi aspek usaha dan bentuknya, maka perlu diketahui siapa saja pejabat yang
berwenang untuk menerbitkan kuasa pertambangan. Sebagaimana telah
diketahui, bahwa setiap usaha petambangan bahan galian yang termasuk dalam


134
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 68.
135
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967......, ps. 11 ayat
(2).
136
Ibid., ps. 11 ayat (3).
137
Ibid., ps. 12 ayat (1).
138
Mukmin Zakie, Kaitan Kuasa Pertambangan dengan Hak – hak......, hlm. 72.
139
Ibid.

Universitas Indonesia
49

golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital, baru dapat
dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan kuasa
pertambangan.140 Adapun kuasa pertambangan dituangkan dalam surat
keputusan kuasa pertambangan.141 Surat keputusan kuasa pertambangan
tersebut dapat diberikan oleh142:
a. Bupati atau Walikota
Bupati atau walikota berwenangmenerbitkan surat keputusan kuasa
pertambangan apabila wilayah kuasa pertambangan terletak dalam
wilayah kabupaten/kota dan/atau di wilayah laut sampai 4 mil laut.143
b. Gubernur
Gubernur berwenang menerbitkan kuasa pertambangan apabila wilayah
kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah
kabupaten/kotadan tidak dilakukan kerja sama antar kabupaten/kota
maupun antara kabupaten/kota dengan provinsi, dan/atau di wilayah laut
yang terletak antara 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut.144
c. Menteri
Menteri berwenang menerbitkan kuasa pertambangan apabila wilayah
kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa provinsi dan tidak
dilakukan kerja sama antarprovinsi, dan/atau di wilayah laut yang
terletak di luar 12 (duabelas) mil laut.145
Dalam menerbitkan surat keputusan kuasa pertambangan tersebut, pejabat
yang berwenang harus memerhatikan syarat – syarat yang telah ditentukan
dalam berbagai peraturan perundang – undangan yang berlaku.146 Setelah


140
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967....., Ps. 1.
141
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 69.
142
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967....., Ps. 2.
143
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 69.
144
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 11 Tahun 1967...., ps. 2 ayat
(2) huruf b.
145
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 69.
146
Ibid.

Universitas Indonesia
50

memahami hal – hal apa saja yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kuasa
pertambangan, maka perlu diketahui pula dalam hal apa saja kuasa
pertambangan dapat dibatalkan dan diakhiri. Pada dasarnya, kuasa
pertambangan dapat berakir karena dikembalikan, dibatalkan dan karena habis
waktunya.147
Kuasa pertambangan yang berakhir karena dikembalikan adalah
menyerahkan kembali kuasa pertambangannya secara tertulis kepada
menteri.148 Peryataan tertulis tersebut harus disertai dengan alasan – alasan
yang cukup mengenai sebab pernyataan tersebut disampaikan.149 Dengan
demikian, yang berwenang untuk membatalkan kuasa pertambangan adalah
menteri, yang kemudian dituangkan dalam keputusan menteri.150 Adapun yang
menjadi faktor - faktor yang dapat menyebabkan pembatalan kuasa
pertambangan antara lain151:
1) Apabila pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat – syarat
yang ditetapkan
2) Apabila pemegang kuasa pertambangan ingkar menjalankan perintah –
perintah petunjuk yang diberikan oleh pihak yang berwajib untuk
kepentingan negara
Apabila kuasa pertambangan berakhir karena dikembalikan maka:
1) Segala beban yang diberatkan kepada kuasa pertambangan batal menurut
hukum;
2) Wilayah kuasa pertambangan kembali kepada kekuasaan negara
3) Segala sesuatu yang diperlukan untuk pengamanan bangunan – bangunan
tambang dan kelanjutan pengambilan bahan – bahan galian menjadi hak

147
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan...., Ps.
20 jo. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pelaskana Undang – Undang tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Pertambangan, PP No. 32 Tahun 1969, LN No. 60 Tahun 1969 TLN No. 2916, Ps.
38.
148
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan.....,
Ps. 21 ayat (1)
149
Ibid., ps. 21 ayat (2)
150
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....,hlm. 94.
151
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan...., Ps.
22.

Universitas Indonesia
51

negara tanpa penggantian kerugian kepada pemegang kuasa


pertambangan
4) Perusahaan atau perseorangan yang memegang kuasa pertambangan itu
diharuskan menyerahkan semua klise dan bahan – bahan peta, gambar –
gambar ukuran tanah dan sebagainya yang bersangkutan dengan usaha
pertambangan kepada Menteri dengan tidak menerima ganti kerugian
Sedangkan kuasa pertambangan yang berakhir demi hukum adalah kuasa
pertambangan yang berakhir karena jangka waktu yang telah ditentukan dalam
kuasa pertambangan telah habis dan tidak mengajukan perpanjangan atau
peningkatan ketika masih berlakunya kuasa pertambangan.152 Kuasa
pertambangan dapat dibatalkan oleh Menteri jika153:
1) Pekerjaan belum dimulai dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah
pemberian kuasa pertambangan
2) Atas permintaan pemilik tanah, sebelum dibayar sejumlah ganti rugi
3) Pemegang kuasa pertambangan telah meninggalkan pekerjaannya dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan
4) Jika pemegang kuasa pertambangan ternyata tidak memenuhi syarat yang
ditentukan dan tidak memenuhi petunjuk yang diberikan oleh menteri.
Dalam hal kuasa pertambangan dibatalkan atas permintaan pemilik tanah,
pemegang kuasa pertambangan diwajibkan membayar ganti kerugian kepada
pemegang hak atas tanah sebagai perimbangan dan sekaligus ditegaskan pula
kewajiban pemegang hak atas tanah untuk memperbolehkan pekerjaaan
pemegang kuasa pertambangan.154
Kuasa pertambangan yang berakhir secara sepihak berkaitan dengan
kelalaian perusahaan untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku.155 Namun demikian, sebelum diputus secara
sepihak, perusahaan terlebih dahulu diberi peringatan tiga kali dan jika


152
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 94.
153
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi....., hlm. 92.
154
Ibid.
155
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 95.

Universitas Indonesia
52

peringatan tersebut tidak ditanggapi, maka pemerintah akan melakukan


pemutusan secara sepihak.156

b. Kontrak dalam Bidang Pertambangan


Sebelum berlakunya Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, pengaturan mengenai penanaman
modal asing diatur dalam Undang - Undang Nomor 78 Tahun 1958 tentang
Penanaman Modal Asing. Sebagaimana diketahui, Undang - Undang Nomor
78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing tidak memberikan peluang
kepada penanam modal asing untuk melakukan investasi langsung pada
kegiatan usaha pertambangan.157 Selain itu, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang – Undang Nomor 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan juga
hanya memberi kesempatan kepada investor dalam bentuk pinjaman luar
negeri (yang akan dikembalikan dari hasil produksi bahan galian, sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1963).158 Kebijakan tersebut juga
menyebabkan investasi di bidang pertambangan menurun. Untuk mengatasi
hal tersebut, diterbitkanlah Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal yang memungkinkan adanya penanaman modal asing di
bidang pertambangan yang didasarkan pada suatu kerjasama dengan
Pemerintah atas dasar Kontrak Karya atau bentuk lain.159 Ketentuan tersebut
kemudian ditindak lanjuti dalam sektor pertambangan dengan diterbitkannya
Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan.
Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan memberi kesempatan kepada investor asing untuk
menanamkan modalnya dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia dan
memberikan kewenangan pengelolaan pertambangan kepada Pemerintah


156
Ibid.
157
http://www.bphn.go.id/data/documents/7aetambang.pdf diakses 27 November 2018, hlm.
20
158
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan..... hlm. 36.
159
Indonesia, Undang – Undang tentang Penanaman Modal Asing....., Ps. 8.

Universitas Indonesia
53

Pusat.160 Pasal 10 ayat (3) Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan memungkinkan adanya perjanjian
karya yang berbentuk penanaman modal asing dalam melaksanakan pekerjaan
– pekerjaan pertambangan. Kontrak yang dianut dalam Undang - Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan ini
bukanlah kontrak keperdataan pada umumnya, tetapi merupakan “kontrak
publik”.161
Perbedaan kontrak karya sebagai kontrak publik dengan kontrak perdata
pada umumnya, terlihat bahwa awal setelah adanya kesepakatan kedua belah
pihak untuk melakukan kontrak karya, belum dapat langsung membuat
kontrak sebelum terlebih dahulu mendapat izin publik yaitu berupa izin
menteri.162 Sedangkan dalam kontrak perdata, bila kedua belah pihak sudah
sepakat melakukan perjanjian, maka dapat langsung dibuat perjanjian, tanpa
menunggu persetujuan. Dalam hal ini, persetujuan menteri adalah sebagai
perwujudan dari penguasaan negara terhadap sumber daya alam, yang
dimandatkan kepada pemerintah, dalam hal ini kepada Menteri ESDM.163
Kontrak diwujudkan dalam bentuk Kontrak Karya berdasarkan Pasal 10
ayat (1) Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan dan dalam bentuk Perjanjian Kerja
Pengusahaan Pertambangan Batubara, berdasarkan Keputusan Presiden No.
75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara.164 Menurut Tri Hayati dalam bukunya yang berjudul
Era Baru Hukum Pertambangan: Di Bawah Rezim UU No. 4 Tahun 2009,
terdapat perbedaan untuk penanaman modal asing di bidang pertambangan
batubara, dimana sejak tahun 1981 sampai 2010 pola kontrak yang digunakan
bukan Kontrak Karya Pertambangan, melainkan melalui Kontrak Kerjasama
Pertambangan Batubara yang kemudian diganti dengan sebutan Perjanjian


160
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 36.
161
Ibid.
162
Ibid., hlm. 141.
163
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 141.
164
Ibid., hlm. 140.

Universitas Indonesia
54

Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan Batubara. Pada dasarnya, Kontrak


Kerjasama Pertambangan Batubara maupun PKP2B tidak jauh berbeda
dengan pola Kontrak Karya Pertambangan. Kontrak Karya Pertambangan
merupakan perjanjian antara pemerintah dan pengusaha pertambangan yang
menjadi dasar hukum bagi pihak pengusaha untuk melaksanakan kegiatan –
kegiatan pertambangan di Indonesia.165 Dalam konstruksi “kerjasama”
Kontrak Karya Pertambangan, pihak pemerintah menjadi principal dan pihak
pengusaha merupakan contractor.166 Sedangkan dalam Kontrak Kerjasama
Pertambangan Batubara dan PKP2B yang menjadi principal adalah
perusahaan tambang batubara negara selaku pemegang kuasa
pertambangan.167

1) Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara


Perjanjian karya merupakan salah satu instrumen hukum dalam bidang
pertambangan, khususnya dalam bidang batubara.168 Pada dasarnya istilah
PKP2B ditemukan dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Undang - Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,
namun konstruksi yang digunakan dalam ketentuan ini tidak hanya
perjanjian dalam pertambangan batubara semata, tetapi juga dalam bidang
pertambangan emas, tembaga dan perak, dan lain – lain.169 Selain itu,
Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan tidak memberikan suatu definisi yang tegas mengenai
apa yang dimaksud dengan PKP2B namun definisi PKP2B dapat ditemukan
dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614
Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam Rangka
Penanaman Modal Asing. Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Energi dan


165
Ari Wahyudi Hertanto, Kontrak Karya (Suatu Kajian Hukum Keperdataan)....., hlm. 204
166
Ibid.
167
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan......, hlm. 36.
168
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 225.
169
Ibid.

Universitas Indonesia
55

Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman


Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara dalam Rangka Penanaman Modal Asing
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan PKP2B adalah: “Perjanjian
antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum
Indonesia dalam rangka Penanaman Modal Asing untuk melaksanakan
usaha pertambangan bahan galian batubara”. Pengertian tersebut
menunjukkan bahwa PKP2B merupakan pengusahaan pertambangan yang
dilaksanakan melalui “perjanjian” dengan pihak asing, sehingga
pelaksanaannya juga sangat berkaitan dengan Undang – Undang Penanaman
Modal.
Salim HS mengungkapkan bahwa perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara merupakan perjanjian yang dibuat antara
Pemerintah Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara
asing dengan nasional (dalam rangka penanaman modal asing).170 Di sisi
lain, Abrar Saleng mengatakan bahwa perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara (coal agreement) merupakan perjanjian pola
campuran (mixed) antara pola kontrak karya dengan kontrak production
sharing.171 Dikatakan campuran atau gabungan karena untuk ketentuan
perpajakan mengikuti pola kontrak karya, sedangkan pembagian hasil
produksi mengikuti pola kontra production sharing.172
Dalam bukunya yang berjudul Hukum Pertambangan, Abrar Saleng
berpendapat bahwa pola PKP2B semula yang menjadi prinsipalnya adalah
PT. Tambang Batubara Bukit Asam yang merupakan BUMN satu – satunya
pemegang Kuasa Pertambangan untuk pengusahaan bahan galian batubara,
namun setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996
tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubaara yang menjadi prinsipal bukan lagi PT. Tambang Batubara Bukit
Asam melainkan Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh


170
Ibid, hlm. 231.
171
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan......, hlm. 162 - 163.
172
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia......, hlm. 231

Universitas Indonesia
56

Menteri Pertambangan dan Energi. Dengan demikian, para pihak dalam


PKP2B adalah:
a) Pemerintah Republik Indonesia
b) Perusahaan swasta nasional / asing yang telah berbadan hukum
Indonesia serta berkedudukan di Indonesia sebagai kontraktor
Selain kontraktor asing, kontraktor pada PKP2B juga dimungkinkan
melibatkan badan usaha swasta nasional (kontraktor nasional).173
Selain itu, mengenai jangka waktu berlakunya PKP2B telah diatur
dalam Pasal 1 Keputusan Presiden No. 49 Tahun 1981 tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Tambang Batubara
antara Perusahaan Negara Tambang Batubara dan Kontraktor Swasta yang
menyatakan:

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Perjanjian


Kerjasama adalah perjanjian antara Perusahaan Negara Tambang
Batubara sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan dan pihak swasta
sebagai Kontraktor untuk pengusahaan tambang batubara untuk jangka
waktu 30 (tiga puluh) tahun berdasarkan ketentuan – ketentuan tersebut
dalam Keputusan Presiden ini.

Beerdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dipahami bahwa jangka waktu


untuk melaksanakan PKP2B adalah 30 (tiga puluh) tahun. Jangka waktu
tersebut dapat diperpanjang apabila kontraktor telah melaksanakan hak dan
kewajibannya dengan baik.174 Adapun tahapan atau periode pelaksanaan
PKP2B adalah sebagai berikut175:
a) Periode penyelidikan umum (general survey); 12 bulan
b) Periode eksplorasi (exploration); 36 bulan
c) Periode kajian kelayakan (fesiability study); 12 bulan
d) Periode konstruksi (construction); 36 bulan
e) Periode operasi (operation); 30 tahun terhitung sejak permulaan
operasi penambangan

173
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan......., hlm. 163.
174
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 272 – 273.
175
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan...., hlm. 165.

Universitas Indonesia
57

Selama periode penyelidikan umum, eksplorasi dan kajian kelayakan,


kontraktor diwajibkan secara periodic mengembalikan bagian – bagian
wilayah tertentu dari wilayah operasi yang tidak prospektif / ekonomis.,
yang disebut relinquishment.176
Selain itu, prinsip – prinsip PKP2B dapat ditemukan dalam Kepres
75/1996. Prinsip –prinsip tersebut antara lain177:
a) Perusahaan kontraktor swasta bertanggung jawab atas pengelolaan
perusahaan pertambangan batubara yang dilaksanakan berdasarkan
perjanjian
b) Perusahaan kontraktor swasta menanggung semua resiko dan semua
biaya berdasarkan perjanjian dalam melaksanakan perusahaan
pertambangan batubara
Resiko merupakan akibat yang kurang menyenangkan (merugikan,
membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan
perusahaan kontraktor swasta dalam pengusahaanpertambangan batubara,
sedangkan biaya merupakan uang, ongkos, belanja dan pengeluaran yang
dikeluarkan oleh kontraktor swasta dalam pengusahaann pertambangan
batubara.178 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua resiko dan
biaya dalam pengelolaan pengusahaan pertambangan batubara ditanggung
oleh perusahaan kontraktor swasta.179
Apabila terjadi sengketa antara masing – masing pihak, mereka sepakat
untuk menyelesaikan semua sengketa, baik yang terjadi sebelum ataupun
sesudah pengakhiran perjanjian melalui; perujukan (konsiliasi) dan badan
arbitrase.180 Dalam hal kedua belah pihak hendak mencari penyelesaian
secara damai atas engketa melalui cara konsiliasi, maka bagi kontraktor
asing, konsiliasi dilakukan sesuai dengan Peraturan Konsiliasi dari United


176
Ibid., hlm. 164
177
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara, Kepres No. 75 Tahun 1996, Lembar Negara No. 1578 Tahun 1996, Ps. 2
178
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia...., hlm. 232.
179
Ibid.
180
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan....., hlm. 164.

Universitas Indonesia
58

Nations Comission on International Trade Law (UNCITRAL) yang terdapat


dalam Resolusi 35/32 Majelis Umum PBB tangal 4 Desember 1980.
Sedangkan bagi kontraktor nasional, konsiliasi dilakukan sesuai dengan
peraturan konsiliasi yang dianut oleh Badan Arbitrasi Nasional Indonesia
(BANI).181
Dalam pola PKP2B juga dikenal istilah generasi perjanjian. Generasi
pada pola ini selain dipengaruhi oleh kebijaksanaan pemerintahan pada saat
perjanjian dibuat juga dipengaruhi oleh fluktuasi batubara.182 Dalam
perkembangan generasi awal PKP2B generasi I tercatat antara lain:
Arutmin, Berau Coal, BPH Kendilo dan Indominco Mandiri yang berlokasi
di Kalimantan.183 Dengan keberhasilan PT Freeport dan PT INCO pada
generasi I kontrak karya, maka pada awal tahun 1980 para investor banyak
berdatangan dan hingga tahun 2007 kontrak karya mencapai generasi VIII
dan PKP2B generasi III.184

2.2.1.2.2 Kontrak Karya


Meski sistem kontrak karya atau Contract of Work (CoW) seringkali
diidentikkan dengan UU 11/1967 yang menjadi awal berlakunya sistem
tersebut, namun jauh sebelunnya, di masa Hindia Belanda, sistem tersebut
telah dikenal dalam Indische Mijnwet 1899.185 Dalam ketentuan Pasal 5a
Indische Mijnwet 1899, Pemerintah Hindia Belanda berwenang untuk
melakukan penyelidikan dan eksploitasi dimana penyelidikan dan eksploitasi
tersebut dapat dilakukan sendiri atau oleh perorangan atau perusahaan
berdasarkan perjanjian.186 Setelah di amandemen pada tahun 1904 dan 1918,
Indische Mijnwet mengatur bahwa pemerintah Hindia Belanda juga dapat


181
Ibid.
182
Ibid., hlm. 165.
183
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi....., hlm. 87.
184
Ibid.
185
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai...., hlm. 476.
186
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan...., hlm 65 yang dikutip dalam Victor Imanuel
Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara....., hlm. 476.

Universitas Indonesia
59

memberikan konsesi kepada pihak swasta dalam melakukan eksploitasi


pertambangan.187 Dengan demikian, sejak diberlakukannya Indische Mijnwet
inilah sistem kontrak karya dan konsesi dikenal yang kemudian dilanjutkan
oleh UU 11/1967.
Pengertian kontrak karya terdapat dalam Pasal 1 Butir (1) Keputusan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang
Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam rangka Penanaman Modal Asing.
Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri ESDM Nomor 1614 Tahun 2004 tentang
Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam rangka Penanaman Modal Asing
mengartikan kontrak karya sebagai:

Kontrak karya yang selanjutnya disebut KK adalah perjanjian antara


Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum
Indonesia dalam rangka Penanaman Modal Asing untuk melaksanakan
usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam,
panas bumi, radio aktif, dan batubara.

Dalam definisi ini, yang menjadi subjek adalah Pemerintah Indonesia dan
badan hukum Indonesia. Modal utama dari badan hukum Indonesia itu berasal
modal asing dengan maksimal 95%, sementara modal perusahaan mitra
nasionalnya minimal adalah 5%.188 Modal asing yang dimiliki oleh badan
hukum Indonesia itu digunakan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploirasi
bahan galian, yang meliputi emas, perak, dan tembaga.189 Adapun latar
belakang pengaturan sistem kontrak karya pada awal kebijakan pertambangan
pada tahun 1967 adalah sebagai upaya pemerintah dalam mendatangkan
capital (modal) untuk melakukan pembangunan melalui sektor pertambangan
dengan cara memberikan kontrak karya bagi pelaku usaha yang hendak


187
Victor Imanuel Williamsom Nalle, Hak Menguasai Negara..... hlm. 476.
188
Salim HS, Hukum Pertambangan...., hlm. 128.
189
Ibid.

Universitas Indonesia
60

melakukan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia.190 Hal tersebut


dikarenakan kegiatan usaha pertambangan merupakan kegiatan yang syarat
dengan investasi karena tanpa adanya investasi yang besar, usaha
pertambangan umum tidak mungkin akan dapat dilakukan besar – besaran.191
Oleh karena itu, selain undang – undang di sektor pertambangan sendiri,
peraturan yang mengatur erat juga kaitannya dengan undang – undang
investasi.192 Undang – undang investasi diatur dalam Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pasal 8 ayat (1)
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
menegaskan bahwa, penanaman modal asing dibidang pertambangan
didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah atas dasar kontrak
karya.193
Dalam konteks investasi di bidang pertambangan yang dilakukan
melalui penanaman modal asing adalah dilakukan melalui joint venture
“Kontrak Karya” yaitu suatu bentuk perjanjian usaha patungan antara
pemerintah Indonesia dengan perusahaan penanaman modal asing.194 Di sini
para pihak bersama – sama dengan modalnya (modal asing dan modal
nasional) membentuk badan hukum baru yakni badan hukum Indonesia.195
Kerjasama dalam bentuk kontrak karya, serupa dengan perjanjian kerjasama
dalam bidang pertambangan minyak dan gas bumi yang telah ada sebelum UU
Penanaman Modal diundangkan.196 Dalam bentuk kerjasama tersebut, pihak


190
Daud Silalahi dan Kristianto P.H., Perizinan dalam Kegiatan Pertambangan di Indonesia
Pasca Undang – Undang Minerba No. 4 Tahun 2009, Law Review XI No. 1 (Juli 2011) , hlm. 5.
191
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan....., hlm 135.
192
Ibid., hlm. 135
193
Ibid., hlm. 149.
194
Iwan Dermawan, Kewajiban Divestasi pada Penanaman Modal Asing di bidang
Pertambangan Umum (Studi Kasus Perjanjian Kontrak Karya antara PT. Newmont Nusa Tenggara
dengan Pemerintah Indonesia), (Skripsi Universitas Indonesia, 2008), hlm. 5.
195
Marulak Pardede, Implikasi Hukum Kontrak Karya Pertambangan terhadap Kedaulatan
Negara (Legal Implication of Mining Contract of Works to The State Sovereignty), Jurnal Penelitian
Hukum De Jure, Vol. 18 No. 1 (Maret 2018), hlm. 9
196
Ibid.

Universitas Indonesia
61

asing (investor asing) membentuk badan hukum Indonesia dengan modal


asing inilah yang menjadi pihak pada perjanjian yang bersangkutan.197
Disamping ketentuan mengenai investasi dalam kontrak karya, perlu
dicermati pula kewenangan pemerintah daerah sebagai pihak yang terlibat
dalam kontrak karya. Dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1614 Tahun
2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam rangka
Penanaman Modal Asing pemerintah daerah tidak lagi menjadi salah satu
pihak dalam kontrak karya, sedangkan para pihaknya adalah Pemerintah
Indonesia yang diwaikili oleh Menteri ESDM dengan badan hukum
Indonesia.198 Sementara itu, kedudukan gubernur dan bupati/walikota hanya
sebagai saksi.199
Kendati pemerintah daerah tidak dapat berperan menjadi pihak yang
melakukan kerjasama dengan badan hukum Indonesia, namun Undang –
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok
Pertambangan menyebutkan bahwa Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangannya dapat menandatangani kontrak karya yang
hendak diterbitkan.200 Apabila wilayah kontrak karya yang dimohon berada
dalam wilayah kabupaten, maka pejabat yang menandatangani kontrak karya
itu adalah bupati/walikota, tetapi apabila wilayah pertambangan yang
dimohon berada dalam dua kabupaten/kota, maka pejabat yang berwenang
menandatangani kontrak karya itu adalah gubernur, sementara apabila
wilayah pertambangan yang diomohon berada pada dua daerah provinsi, maka
pejabat yang berwenang menandatanganinya dalah Menteri ESDM.201 Untuk
jangka waktu berlakunya kontrak karya bergantung kepada jenis kegiatan


197
Amrizal, Hukum Bisnis Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
1996), hlm. 86 yang dikutip dalam Marulak Pardede, Implikasi Hukum Kontrak Karya Pertambangan
terhadap Kedaulatan Negra......, hlm. 9
198
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....... hlm. 131.
199
Ibid.
200
Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan.....,
Ps. 10 ayat (2).
201
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia....., hlm. 143.

Universitas Indonesia
62

yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan dimana jangka waktu untuk


berlakunya kegiatan eksploitasi adalah tiga puluh tahun yang kemudian dapat
dilakukan perpanjangan.202

2. Instrumen Hukum untuk melakukan Kegiatan Pertambangan


berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara
Tahun 2009 merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan
batubara di Indonesia dengan disahkannya Undang – Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, menggantikan Undang –
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok
Pertambangan.203 Dalam pengaturan disahkannya Undang – Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pintu masuk bagi
penanam modal asing dalam pertambangan mineral dan batubara tidak lagi
melalui kontrak karya, melainkan melalui perizinan yang menunjukkan
kedudukan Pemerintah menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan
penanam modal asing.204 Oleh karenanya, pada rezim disahkannya Undang –
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
tidak lagi mengenal rezim kontrak seperti pada Undang – Undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan,
disahkannya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara hanya menganut rezim izin, yaitu Izin Usaha
Pertambangan.205
Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara mengartikan pertambangan sebagai “sebagian atau seluruh
tahapan kegiatan dalan rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan


202
Ibid., hlm. 131.
203
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi....., hlm. 93.
204
Arman Nefi, Irawan Maleba dan Dyah Puspitasari Ayuningtyas, Implikasi Keberlakuan
Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Pasca Undang – Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No. 1 (Januari
– Maret 2018), hlm. 143.
205
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan......, hlm. 154.

Universitas Indonesia
63

mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi


kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.206 Mineral
merupakan senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat
fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang
membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.207 Sedangkan batubara
adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari
sisa tumbuh – tumbuhan.208 Adapun menurut Pasal 1 angka 6 Undang –
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
usaha pertambangan merupakan kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral
atau batubara yang meliputi tahapan kegaitan penyelidikan umum, eksplorasi,
studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Selain itu, dalam Undang –
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
tidak lagi mengenal penggolongan bahan galian, namun terdapat
penggolongan itu penggolongan usaha pertambangan menjadi209:
1) Pertambangan mineral
a. Pertambangan mineral radioaktif
b. Pertambangan mineral logam
c. Pertambangan mineral bukan logam
d. Pertambangan batuan
2) Pertambangan batubara
Sehingga klasifikasi dalam pengusahaan pertambangan telah dibagi menjadi
pertambagan mineral dan pertambangan batubara.
UU 4/2009 juga mengenal adanya “Wilayah Pertambangan”, pengertian
wilayah pertambangan ini dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah No.
22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan. Peraturan Pemerintah No. 22
Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan mengartikan wilayah


206
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4
Tahun 2009, LN No. 4 Tahun 2009 TLN No. 4959, Ps. 1 angka 1
207
Ibid., ps. 1 angka 2.
208
Ibid., ps. 1 angka 3.
209
Ibid., ps. 34

Universitas Indonesia
64

pertambangan sebagai wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau


batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang
merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional.210 Menurut Pasal 3
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan,
untuk merencanakan wilayah pertambangan, harus disusun melalui tahapan
inventarisasi potensi pertambangan dan penyusunan rencana wilayah
pertambangan.
Wilayah pertambangan ini terdiri atas Wilayah Usaha Pertambangan,
Wilayah Pertambangan Rakyat, dan Wilayah Pencadangan Negara.211
Selanjutnnya, Pasal 16 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara menentukan bahwa satu wilayah usaha
pertambangan terdiri atas 1 (satu) atau beberapa wilayan izin usaha
pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah
kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. IUP
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan wilayah izin usaha
pertambangan, karena sebelum IUP diberikan kepada pemohon, maka harus
terlebih dahulu menetapkan wilayah izin usaha pertambangan.212 Terdapat 5
(lima) jenis wilayah izin usaha pertambangan, diantaranya213:
a) Wilayah Izin Usaha Pertambangan Radioaktif, diperoleh sesuai
ketentuan peraturan perundang – undangan (berdasarkan Pasal 50
Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara);
b) Wilayah Izin Usaha Pertambangan Logam, yang diberikan kepada
badan usaha, koperasi dan perseorangan dan dapat diperoleh
dengan cara lelang (Pasal 51 Undang – Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara);
c) Wilayah Izin Usaha Pertambangan Batubara, yang diberikan
kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan dan dapat


210
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan......, Ps. 3.
211
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara....., Ps. 13.
212
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 162
213
Ibid.

Universitas Indonesia
65

diperoleh dengan cara mengajukan permohonan (Pasal 54 Undang


– Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara);
d) Wilayah Izin Usaha Pertambangan Bukan Logam, yang diberikan
kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan dan dapat
diperoleh dengan cara mengajukan permohonan (Pasal Undang –
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara);
e) Wilayah Izin Usaha Pertambangan Batuan, yang diberikan kepada
badan usaha, koperasi, dan perseorangan dan dapat diperoleh
dengan cara pengajuan permohonan (Pasal 57 Undang – Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara).
Sedangkan wilayah pertambangan rakyat merupakan wilayah untuk
melaksankaan kegiatan pertambangan rakyat.214 Pengaturan teknis mengenai
pedoman pelaksanaan, penyiapan, penetapan dan pemberian wilayah izin
usaha pertambangan dapat ditemukan dalam Keputusan Menteri ESDM
Nomor 1789 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanan Penyiapan,
Penetapan, dan Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah
Izin Usaha Pertambangan Khusus Mineral dan Batubara.
Adapun wilayah pencadangan negara negara adalah wilayah
pertambangan yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional dan
sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah
konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan
lingkungan.215 Masih dalam Pasal yang sama, Pasal 27 Undang – Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
menentukan bahwa wilayah pencangan negara ini dapat diusahakan dengan
IUPK yang selanjutnya wilayah pencadangan negara ini berubah menjadi
wilayah usaha pertambangan khusus.


214
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara....., Ps. Ps. 20.
215
Ibid, ps. 27.

Universitas Indonesia
66

Lebih lanjut mengenai IUP, dalam Peraturan Menteri ESDM No. 25 Tahun
2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara telah
mengklasifikasikan izin dalam beberapa bentuk, diantaranya IUP, IUP,
IPR216. IUPK adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah
izin usaha pertambangan khusus.217 IUPK sendiri terdiri atas dua tahap,
yaitu218:
a) IUPK untuk tahap Eksplorasi, yaitu izin usaha yang diberikan untuk
melakukan kegiatan tahapan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi
kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus (Pasal 1 angka
12 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara)
b) IUP tahap Operasi Produksi, yaitu izin usaha yang diberikan setelah
selesai pelaksanaan IUPK eksplorasi untuk melakukan tahapan
kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus
(Pasal 1 angka 13 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara).
Sedangkan IPR adalah izin untuk melaksanakan pertambangan dalam
wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.219
Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat baik
perorangan dengan luas maksimum 5 hektare dan/atau koperasi dengan luas
maksimum 10 hektare dan hal ini dapat dilimpahkan ke camat sesuai dengan
perundang – undangan yang berlaku.220
IUP adalah izin usaha untuk melaksanakan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh Menteri, Gubernur, Bupati sesuai dengan kewenangannya.221

216
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM No. 43 Tahun
2015 BN No. 2015 Tahun 2015, Ps. 3.
217
Ibid., ps. 11.
218
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi.....,hlm. 97.
219
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., Ps. 1 angka
10.
220
Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi....., hlm. 97.
221
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., Ps. 1 angka
7 yang dikutip dalam Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi.... hlm. 97.

Universitas Indonesia
67

Namun, setelah diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014


tentang Pemerintah Daerah, Bupati/walikota tidak lagi mempunyai wewenang
dalam melakukan pengurusan dalam bidang pertambangan. Sehingga menurut
ketentuan Pasal 36 Peraturan Menteri ESDM Nomor. 11 Tahun 2018 tentang
Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah dilakukan beberapa
perubahan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 22 Tahun 2018, IUP diberikan
oleh Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya.222
Prinsip pemberian IUP sebagaimana diatur dalam Undang – Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah,
satu IUP hanya diperbolehkan untuk satu jenis tambang, yaitu untuk satu jenis
mineral atau batubara.223 Penyimpangan terhadap prinsip tersebut
dimungkinkan dalam hal apabila perusahaan yang telah memperoleh IUP pada
waktu melakukan penambangan menemukan mineral lain di wilayah izin
usaha pertambangan yang dikelolanya, maka pemegangan IUP yang
bersangkutan diberikan prioritas oleh Pemerintah untuk dapat
mengusahakannya.224 Selain itu IUP sendiri, terbagi lagi menjadi dua tahap
yaitu225:
a) IUP Eksplorasi, yang meliputi kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan;
b) IUP Operasi Produksi, yang meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan
penjualan.
Adapun izin usaha di bidang pertambangan mineral dan batubara hanya dapat
diberikan kepada226:


222
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, Permen ESDM No. 11 Tahun 2018, Berita Negara No. 295 Tahun 2018, Ps. 36 dan Ps. 41.
223
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan...., hlm. 157.
224
Ibid.
225
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., Ps. 36
ayat (1).
226
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah...., Ps. 34

Universitas Indonesia
68

a) Badan Usaha
1. BUMN
2. BUMD
3. Badan Usaha Swasta
b) Koperasi
c) Perseorangan
1. Perusahaan firma
2. Perusahaan komanditer
3. Orang perseorangan
Badan usaha, koperasi, dan perseorangan hanya dapat melaksanakan
kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara setelah mendapatkan
izin usaha di bidang pertambangan Mineral dan Batubara.227 Selain itu,
sebelum melakukan permohonan IUP, badan usaha, koperasi ataupun
perseorangan harus terlebih dahulu memiliki Wilayah Izin Usaha
Pertambangan.228 Sehingga IUP diberikan melalui tahapan a) Pemberian
WIUP dan b) Pemberian IUP.229
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah
diubah sebanyak 5 (lima) kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 8
Tahun 2018 mengatur mengenai persyaratan – persyaratan untuk
mendapatkan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Pasal 23 Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa persyaratan tersebut
meliputi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.
Selain mengenai izin usaha, Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga menentukan kewajiban
IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib untuk melakukan
divestasi saham kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta Nasional

227
Ibid., ps. 35.
228
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan...., hlm. 158.
229
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksana Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, PP No. 23 Tahun 2010, LN No. 23 Tahun 2010, TLN No. 5111, Ps.7.

Universitas Indonesia
69

setelah 5 (lima) tahun berproduksi.230 Divestasi ini merupakan kewajiban


pemegang izin asing agar membuka ruang lebih besar bagi kepentingan
nasional untuk masuk kedalam proses pemanfaatan pertambangan.231
Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara juga mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi
Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di
dalam negeri.232 Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian
bahan mineral dan batubara di dalam negeri merupakan usaha untuk
meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah dari produk (added-value),
tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan
penerimaan negara.233 Selama ini, bahan mineral dan batubara yang
ditambang langsung begitu saja diekspor ke luar negeri tanpa ada usaha
pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu.234

a. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi


IUP terdiri atas dua tahap, yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi
Produksi.235 Dalam hal ini terlihat bahwa dalam melakukan kegiatan
pertambangan, diperlukan peroleh 2 (dua) kali tahap izin yaitu izin untuk
melakukan eksplorasi baru kemudian izin untuk melakukan operasi
produksi. Adapun menurut Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang – Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
kegiatan yang termasuk dalam IUP Eskplorasi adalah:
a) Penyelidikan umum


230
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan...., hlm.173.
231
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kajian Harmonisasi Undang – Undang di Bidang Sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup, (Jakarta, 2018), hlm. 113.
232
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., ps. 103
ayat (1).
233
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kajian Harmonisasi Undang – Undang...., hlm. 114.
234
Ibid.
235
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., ps. 36 ayat
(1)

Universitas Indonesia
70

Pasal 1 angka 14 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara mengartikan penyelidikan
umum sebagai tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui
kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
b) Eksplorasi
Pasal 1 angka 15 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara mengartikan eksplorasi sebagai
tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi
secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran,
kualitas sumber daya terukut dari bahan galian, serta informasi
mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
c) Studi kelayakan
Pasal 1 angka 16 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara mengartikan studi kelayakan
sebagai tahapan kegiatan pertambangan untuk memperoleh
informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk
menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan,
termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan
pascatambang.
Adapun pengaturan mengenai jangka waktu IUP Eksplorasi dapat
ditemukan dalam Pasal 42 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jo. Pasal 40 Peraturan
Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. IUP Eksplorasi untuk jenis kegiatan pertambangan
mineral logam, dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8
(delapan) tahun.236 Sedangkan IUP Eksplorasi untuk kegiatan
pertambangan mineral bukan logam, dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) tahun. Untuk IUP Pertambangan mineral bukan
logam jenis tertentu (gamping, intan, batu mulia, dan sebagainya), dapat
diberikan untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun). Sedangkan


236
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan...., hlm. 158.

Universitas Indonesia
71

IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan, dapat diberikan untuk jangka


waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan untuk pertambangan batubara dapat
diberikan untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.237
Permohonan IUP Eksplorasi harus diajukan kepada Menteri atau
Gubernur sesuai dengan kewenangannya, paling lambat 5 (lima) hari
kerja238:
a) Setelah Badan Usaha, koperasi, atau perseorangan ditetapkan
sebagai pemenang lelang wilayah izin usaha pertambangan
mineral logam atau wilayah izin usaha pertambangan batubara;
atau
b) Setelah penerbitan peta WIUP Mineral bukan logam atau WIUP
batuan.
Selain itu, pemohon IUP harus memenuhi persyaratan administratif,
tekmis, lingkungan, dan finansial.239
Menurut Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, persyaratan administratif untuk IUP Eksplorasi mineral logam
dan batubara bagi badan usaha meliputi surat permohonan, surat direksi
dan daftar pemegang saham dan surat keterangan domisili, sedangkan
untuk IUP Eksplorasi mineral bukan ogam dan batuan bagi badan usaha
meliputi surat permohonan, profil badan usaha, akte pendirian badan usaha
yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh
pejabat yang berwenang, nomor pokok wajib pajak, susunan direksi dan
daftar pemegang saha, dan surat keterangan domisili.
Persyaratan teknis untuk IUP Eksplorasi menurut Pasal 25 Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara meliputi daftar riwayat hidup dan
surat pernyataan tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang
berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun dan peta WIUP yang


237
Ibid.
238
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah....., ps. 38.
239
Ibid., ps. 39 ayat (1) dan (2).

Universitas Indonesia
72

dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai


dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional.
Sedangkan untuk pesyaratan lingkungan IUP Eksplorasi menurut Pasal 26
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara meliputi pernyataan
untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang – undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, persyaratan
finansial untuk IUP Eksplorasi menurut Pasal 27 Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara meliputi bukti penempatan jaminan
kesungguhan pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan bukti pembayaran
harga nilai kompensasi data informasi hasil lelang WIUP mineral logam
atau batubara sesuai dengan nilai penawaran lelang atau bukti pembayaran
biaya pencadangan wilayah dan pembayaran pencetakan peta WIUP
mineral bukan logam atas batuan atas permohonan wilayah.
Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan,
pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang
tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP (gubernur atau Menteri).240
Selain itu, apabila pemegang IUP Eksplorasi ingin menjual mineral atau
batubara yang telah ditemukan, maka ia wajib mengajukan izin sementara
untuk melakukan pengangkutan dan penjualan yang diberikan oleh
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.241

b. Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi


IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai
pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi
produksi.242 Dalam hal ini, pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk
memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha


240
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara...., Ps. 43 ayat
(1)
241
Ibid, ps. 43 ayat (2) dan Ps. 44.
242
Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara....., Ps. 1
angka 9.

Universitas Indonesia
73

pertambangannya.243 Pasal 1 angka 17 Undang – Undang Nomor 4 Tahun


2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jo. Pasal 44 ayat (1)
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara mengartikan Operasi Produksi
sebagai tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi:
a) Konstruksi
b) Penambangan
c) Pengolahan dan/atau Pemurnian
d) Pengangkutan dan penjualan
Pasal 46 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara menentukan bahwa IUP Operasi Produksi hanya
dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan atas hasil
pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang telah mempunyai
data hasil kajian studi kelayakan. IUP Operasi Produksi diberikan oleh244:
a) Menteri, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan/atau
pemurnian, serta lokasi pelabuhan khusus:
1. Berada pada lintas daerah provinsi
2. Berbatasan langsung dengan negara lain
b) Gubernur, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan
dan/atau pemurnian, serta lokasi pelabuhan khusus dalam 1 (satu)
daerah provinsi.
Sama halnya dengan IUP Eksplorasi, untuk mendapatkan IUP Operasi
Produksi harus terlebih dahulu memnuhi beberapa persyaratan,
diantaranya persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.245
Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menentukan bahwa
persyaratan administratif untuk IUP Operasi Produksi mineral logam dan
batubara bagi badan usaha meliputi surat permohonan, susunan direksi dan

243
Ibid., ps. 46 ayat (2).
244
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah....., Ps. 41.
245
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksana Kegiatan Usaha…,, ps. 23.

Universitas Indonesia
74

daftar pemegang saham dan surat keterangan domisili, sedangkan untuk


IUP Operasi Produksi bukan logam dan batuan persyaratannya meliputi
surat permohonan, profil badan usaha, akte pendirian badan usaha yang
bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat
yang bewenanga, nomor pokok wajib pajak, susunan direksi dan daftar
pemegang saham, dan surat keterangan domisili.
Persyaratan teknis untuk IUP Operasi Produksi menurut Pasal 25
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara meliputi:
a) Peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang
dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang
berlaku secara nasional
b) Laporan lengkap eksplorasi
c) Laporan studi kelayakan
d) Rencana reklamasi dan pascatambang
e) Rencana kerja dan anggaran biaya
f) Rencana pembangunan saran adan prasarana penunjuang kegiatan
operasi produksi
g) Tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang
berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun
Untuk persyaratan lingkungan IUP Operasi Produksi menurut Pasal 26
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara meliputi pernyataan
kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang – undangan
di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan persetujuan
dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
– undangan. Sedangkan menurut Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara, persyaratan finansial untuk IUP Operasi Produksi
meliputi
a) Laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan
publik
b) Bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir

Universitas Indonesia
75

c) Bukti pembayaran pengganti investasi sesuai dengan nilai


penawaran lelang bagi pemenang lelang WIUP yang telah berakhir
Selain persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial, perlu
diperhatikan juga mengenai peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP
Operasi Produksi. Ketentuan mengenai tata cara permohonanpeningkatan
IUP Operasi Produksi telah diakomodir melalui Peraturan Menteri ESDM
Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan
dan Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Permohonan peningkatan IUP Operasi Produksi harus diajukan kepada
Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya paling lama246:
a) 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu IUP Eksplorasi
Mineral Logam, IUP Eksplorasi Mineral bukan logam jenis tertentu,
IUP Eksplorasi Batubara
b) 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu IUP Eksplorasi
atau IUP Eksplorasi batuan.
Selain itu, permohonan peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi harus
memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.247
Adapun jangka waktu untuk IUP Operasi Produksi diatur secara rinci
dalam Pasal 44 ayat (2) Permen Peraturan Menteri ESDM Nomor 11
Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan
Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Untuk
IUP Operasi Produksi Mineral Logam, Batubara, Mineral bukan logam
jenis tertentu maksimal adalah 20 (duapuluh) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masing – masing 10 (sepuluh) tahun. Untuk IUP
Operasi Produksi mineral bukan logam diberikan jangka waktu paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing –
masing untuk 5 (lima) tahun. Sedangkan untuk IUP Operasi Produksi
batuan diberikan jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang sebanyak 2 (dua) kali untuk masing – masing 5 (lima) tahun.


246
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah....., Ps. 43 ayat (3).
247
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksana Kegiatan Usaha Pertambangan..., ps. 23.

Universitas Indonesia
76

BAB III
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH, BERAKIHRNYA IZIN USAHA
PERTAMBANGAN DAN SERTIFIKAT CLEAR AND CLEAN DALAM
KEGIATAN PERTAMBANGAN

A. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Menyelenggarakan Urusan


Pemerintahan di Bidang Pertambangan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 telah
mengamanatkan bahwa konsep Negara yang dipakai di Indonesia adalah konsep
Negara kesatuan yang berbentuk republik yang kemudian diikuti dengan sistem
desentralisasi.1 Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang Undang
Dasar 1945 yang menyatakan: “Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten dan
Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.” dan Pasal (5) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
“Pemerintah dalam menjalankan otonomi seluas – luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang – undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan
Pusat.”
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa pemerintah daerah
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk
menyerahkan sebagian kekuasannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, dimana
ini dikenal pula sebagai desentralisasi.2 Pengertian daerah sendiri dapat ditemukan
dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
berbunyi:

Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat


hukum yang mepunyai batas – batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus Ursusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut


1
Djambar, M. Yasin Nahar dan Muhammad Tavip, Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Bidang Pertambangan dalam Perspektif Otonomi Daerah, Jurnal Katalogis, Vol. 5 Nomor 2 (Februari
2017), hlm. 26
2
Reynold Simandjuntak, Sistem Desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Perspektif Yuridis Konstitusional, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 7 Nomor 1 (Juni 2015),
hlm. 58.

Universitas Indonesia
77

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan


Republik Indonesia.3

Selain itu, Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menentukan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945 yang diuraikan dalam berbagai Urusan
Pemerintahan.4 Adapun penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah
dilaksanakan berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan.5
Pasal 1 angka 8 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan Urusan Pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Otonomi daerah
adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat,
sesuai dengan peraturan perundang – undangan.6 Melalui otonomi, pemerintah daerah
mempunyai peluang lebih besar untuk mendorong dan memberi motivasi membangun
daerah yang kondusif, sehingga akan muncul kreasi dan inovasi masyarakat yang
dapat bersaing dengan daerah lain.7 Dengan demikian, prakarsa, wewenang, dan
tanggung jawab mengenai urusan – urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi
tanggung jawab daerah itu, baik mengenai politik kebijaksanaan, perencanaan, dan
pelaksanaannya maupun mengenai segi – segi pembiayaannya.8 Adapun perangkat
pelaksanaannya adalah perangkat daerah sendiri.9


3
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 23 Tahun 2014,
LN Nomor 244 Tahun 2014, TLN Nomor 5589, Ps. 1 angka 12.

4
Ibid., Ps. 5 ayat (1) dan (2).
5
Ibid., ps. 5 ayat (4).
6
HAW. Widjaja, Otonom Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2004), hlm. 76.
7
Ibid.
8
C.S.T Kansil dan Christine S. T. Kansil. Pemerintahan Daerah di Indonesia: Hukum
Adiministrasi Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 3.
9
Ibid.

Universitas Indonesia
78

Sedangkan yang dimaksud dengan dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian


Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau
gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan
umum.10 Dalam asas dekonsentrasi, tanggung jawab tetap ada pada Pemerintahan
Pusat, baik perencanaan dan pelaksanaannya maupun pembiayaannya tetap menjadi
tanggung jawab Pemerintah Pusat.11 Unsur pelaksanaannya dikoordinasikan oleh
kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil Pemerintah Pusat.12
Berbeda halnya dengan dekonsentrasi dan desentralisasi, tugas pembantuan
merupakan penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
pusat atau dari Pemerintah Daerah Provinsi kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
Provinsi.13 Dalam bukunya, C.S.T Kansil berpendapat bahwa asas tugas pembantuan
adalah asas yang menyatakan tugas turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah
yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dengan kewajiban
mempertanggungjawabkannya kepada yang pemberi tugas.14 Adapun tujuan
diberikannya tugas pembantuan (medebewind) adalah untuk lebih meningkatkan
efektivitas dan efesiensi penyelenggaran pembangunan serta pelayanan umum kepada
masyarakat.15 Selain itu, pemberian tugas pembantuan juga bertujuan untuk
memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu


10
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah......, ps. 1 angka 9.
11
C.S.T Kansil dan Christine S. T. Kansil. Pemerintahan Daerah di Indonesia: Hukum
Adiministrasi Daerah...., hlm. 3.
12
Ibid.
13
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah....., Ps. 1 angka 12.
14
C.S.T Kansil dan Christine S. T. Kansil. Pemerintahan Daerah di Indonesia: Hukum
Adiministrasi Daerah...., hlm. 4.
15
Untung Dwi Hananto, Asas Desentralisasi dan Tugas Pembantuan dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Jurnal MMH Jilid 40 Nomor 2 (April 2011), hlm. 208.

Universitas Indonesia
79

mengembangkan pembangunan daerah dan desa sesuai dengan potensi dan


karakteristiknya.16
Selain itu, Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 juga mengatur bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah – daerah provinsi dan daerah provinsi
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap – tiap provinsi, kabupaten dan kota itu
mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan undang – undang. Daerah –
daerah provinsi yang dibagi atas kabupaten dan kota mempunyai pemerintah daerah
(local government) berdasarkan asas otonomi daerah.17 Dengan demikian pemerintah
pusat dan pemerintah daerah diserahkan kewenangan untuk menentukan sikap
disetiap keputusan dan kebijakan.18
Dalam hal kekayaan alam, Undang Undang Dasar 1945 mengamanatkan:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat”.19 Hak penguasaan
negara yang dinyatakan pada Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 tersebut
20
memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Bahan
– bahan tambang atau galian, baik yang berupa minyak dan gas bumi, maupun mineral
dan batubara, sebagai bagian dari kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi,
dengan demikian dikuasai oleh negara dan harus ditujukan untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera dan adil.21 Oleh karena negara menguasai bahan – bahan
galian atau tambang yang terkandung di dalam bumi, maka mengandung arti
pemerintah memiliki wewenang untuk ikut memengaruhi jalannya produksi sekalipun


16
Sadu Wasistiono, Etin Indrayani, dan Andi Pitono, Memahami Asas Tugas Pembantuan,
(Bandung: Fokus Media, 2006), hlm. 2 yang dikutip Untung Dwi Hananto, Asas Desentralisasi dan
Tugas Pembantuan....., hlm. 208.
17
Michele Fransiska Senduk “Eksistensi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan
Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Mencapai Good Governance” hlm. 2
https://media.neliti.com/media/publications/117297-ID-eksistensi-pemerintah-daerah-dalam-
penge.pdf diakses 3 Desember 2018.
18
Ibid.
19
Indonesia, Undang – Undang Dasar 1945, Ps. 33 ayat (3).
20
Tri Hayati, dkk, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam berdasarkan
Pasal 33 UUD 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS FHUI, 2005), hlm. 17 yang
dikutip dalam J. Ronald Mawuntu, Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi, Vol. XX Nomor 3 (April – Juni 2012), hlm. 17.
21
Hartati, Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Pertambangan Mineral dan
Batubara, Jurnal MMH Jilid 41 Nomor 4 (Oktober 2017), hlm. 532

Universitas Indonesia
80

jalannya produksi sendiri dilaksanakan oleh swasta.22 Maka dalam hal ini dapat
diartikan bahwa pemerintah memegang kendali atas pelaksanaan kegiatan
pertambangan. Oleh karenanya, pemerintah, baik pusat maupun pemerintah daerah
mempunyai wewenang dalam mengurus dan mengelola sumber daya alam.23
Disamping itu, dalam hal klasifikasi urusan pemerintahan, Pasal 9 ayat (1)
Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur
bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan
pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.24 Urusan pemerintahan
konkuren terdiri atas urusan pemerintah wajib dan urusan pemerintahan pilihan
dimana urusan pemerintahan tersebut dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi
dan daerah kabupaten/kota.25 Urusan pemerintahan wajib dibagi dalam urusan
pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar dan urusan pemerintahan wajib yang
tidak terkait pelayanan dasar, sedangkan pembagian urusan pemerintahan konkuren
yang bersifat pilihan salah satunya adalah urusan pemerintahan di bidang energi dan
sumber daya mineral.26 Adapun pembagian urusan pembagian tersebut dapat dilihat
di bagan berikut:


22
Ibid.
23
Michele Fransiska Senduk “Eksistensi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan
Pertambangan Mineral dan Batubara.... hlm. 3.
24
Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan (Indonesia, Undang – Undang
tentang Pemerintahan Daerah....., Ps. Pasal 9 ayat (2) dan (5)).

25
Michele Fransiska Senduk “Eksistensi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan
Pertambangan Mineral dan Batubara.... hlm. 3.
26
Urusan pemerintahan konkuren yang bersifat pilihan meliputi: kelautan dan perikanan,
pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian, dan
transmigrasi (Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah....., Ps. 12 ayat (3)).

Universitas Indonesia
81

Gambar 3.127
Anatomi Urusan Pemerintahan

Lebih lanjut, pembagian urusan pemerintahan dalam bidang energi sumber daya
mineral juga ditemukan dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 9
Tahun 2015. Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan secara tegas bahwa: “Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi.” Selain itu, ketentuan tersebut
dinyatakan kembali secara tegas dalam lampiran bagian CC Nomor 2 mengenai
Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya mineral bahwa
sub urusan Mineral dan Batubara hanya dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah


27
Anatomi Urusan Pemerintahan dikutip dari Pemaparan Direktorat Jenderal Bina
Administrasi Kewilayah Kementerian Dalam Negeri “Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
Pusat” (2017) https://www.sumbarprov.go.id/images/2017/04/file/Materi_Direktur_Dekon_TP_-
Kemendagri_(Fasgub).pdf diakses 20 Desember 2018.

Universitas Indonesia
82

Provinsi, sedangkan Daerah Kabupaten/Kota sudah tidak lagi memiliki wewenang


untuk melakukan pengurusan.
Sebelum berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah diatur dalam Undang – Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang
– Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Kabupaten
dan Daerah Kota memiliki kewenangan daerah terhadap kawasan pertambangan.28
Dengan demikian, berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah telah mengesampingkan kewenangan pemerintah
kabupaten/kota menurut Pasal 8 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, maka pengaturan kewenangan perizinan
pertambangan mineral dan batubara pada tataran pemerintah daerah kabupaten/kota
diambil alih oleh pemerintah daerah provinsi.29

1. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Menyelenggarakan Urusan


Pemerintahan di Bidang Pertambangan sebelum Berlakunya Undang –
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Sampai dengan saat ini, telah terjadi tiga kali perubahan besar dalam undang
– undang tentang otonomi daerah, yaitu dimulai dengan Undang – Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai perubahan dari Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang – Undang
Nomor 32 Tahun 2004 rentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.30 Terjadinya krisis
multi-dimensi yang dialami Indonesia pada tahun 1997 – 1998 dan diikuti oleh
tuntutan masyarakat akan perlunya reformasi di segala bidang khususnya


28
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah...., ps. 119.
29
Michele Fransiska Senduk “Eksistensi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan
Pertambangan Mineral dan Batubara...., hlm. 18
30
Bambang Yunianto, Implikasi Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap
Pengembangan Mineral dan Batubara, Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol. 12 Nomor 12
(Januari 2016), hlm. 4.

Universitas Indonesia
83

reformasi politik yang menuntut lebih banyak dekonsentrasi dan desentralisasi


kewenangan yang telah membuahkan diberlakukannya Undang – Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana undang - undang tersebut
memberikan hak otonomi yang sangat luas dalam banyak hal, kecuali 6 (enam)
hal yang masih menjadi urusan pusat, yaitu: urusan pertahanan dan keamanan,
fiskal dan moneter, urusan hubungan luar negeri, hukum dan agama.31
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya nasional
yang tersedia di wilayahnya. Adapun bunyi dari Pasal 10 ayat (1) UNDANG –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai
berikut: “Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di
wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai
dengan peraturan perundang – undangan.” Dari bunyi Pasal 10 ayat (1) Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah tersebut timbul
penafsiran bahwa pengurusan dan pengaturan untuk urusan pertambangan juga
termasuk yang telah diserahkan kepada daerah otonom.32 Selain itu, dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom yang merupakan salah satu
peraturan pelaksana dari Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah merinci pembagian kewenangan antara Pemerintah,
Provinsi, dan kabupaten kota sebagai daerah otonom. Adapun Pasal 3 ayat (5)
angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mengelompokkan
Bidang Pertambangan dan Energi sebagai salah satu kewenangan Provinsi sebagai
daerah otonom. Salah satu kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom dalan
Bidang Pertambangan dan Energi adalah untuk memberikan izin usaha inti
pertambangan umum lintas Kabupaten/Kota yang meliputi eksplorasi dan


31
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Analisis dan Evaluasi Peraturan
Perundang – Undangan tentang Minerba di Kawasan Hutan Lindung, (2013), hlm. 35.
32
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 95.

Universitas Indonesia
84

eskploitasi.33 Dari rincian tersebut, diketahui bahwa urusan pertambangan


termasuk urusan yang juga diserahkan kepada daerah otonom sehingga menjadi
kewenangan pemerintah daerah.34 Namun, di sisi lain, apabila dilihat dalam Pasal
11 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah yang berbunyi:

Bidang pemerintahan yang wajib dilaksankan oleh Daerah Kabupaten dan


Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga
kerja.

diketahui bahwa rumusan Pasal 11 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak menjadikan urusan pertambangan ke
dalam urusan yang wajib diserahkan kepada daerah otonom. Oleh karenanya
dapat diketahui bahwa urusan pertambangan bukan merupakan kewenangan wajib
dari pemerintah daerah, melainkan termasuk dalam urusan pilihan.
Selain itu, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 75
Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan yang memberikan
kewenangan pengelolaan sektor pertambangan secara utuh kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten dan Kota secara utuh untuk urusan pemerintahan, kecuali 6
(enam) hal yang menjadi urusan Pemerintah.35 Pemberian kewenangan tersebut
dapat ditemukan pada Bagian Umum Penjelasan menetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor


33
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom, PP Nomor 75 Tahun 2001, LN Nomor 54 Tahun 2000, TLN Nomor
3952, ps. 3 ayat (3) angka 3 huruf b.

34
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 95 – 96.
35
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Analisis..... hlm. 51.

Universitas Indonesia
85

11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambanganyang


menyatakan:

Kebijakan pengelolaan usaha pertambangan umum yang selama ini bersifat


sentralistis maka sesuai kebijakan Otonomi Daerah akan diberikan kepada
daerah seara luas, nyata, bertanggung jawab, dan secara proporsional.

Secara proporsional dalam hal ini bukan berarti semua kewenangan


pengelolaan pertambangan umum akan diserahkan kepada Daerah. Sesuai
peraturan perundang – undangan yang berlaku baik Menteri, Gubernur
maupun Bupati/Walikota secara proporsional mempunyai kewenangan di
dalam pengelolaan usaha pertambangan umum.

Ketentuan pada bagian penjelasan tersebut telah memberikan makna bahwa


penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam bidang usaha pertambangan umum
merupakan wewenang yang dibagi secara proporsional antara Menteri, gubernur,
dan bupati/walikota.
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang
Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Pertambanganmenentukan bahwa setiap usaha pertambangan
bahan galian yang termasuk dalam golongan bahan galian strategis dan golongan
bahan galian vital, baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu mendapatkan
Kuasa Pertambangan.36 Adapun Kuasa Pertambangan itu sendiri hanya dapat
diberikan oleh bupati, gubernur dan menteri sesuai dengan kewenangannya
masing – masing.37 Pasal 40 sampai dengan Pasal 42 menetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan juga
memberikan wewenang kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai
dengan kewenangannya untuk membatalkan Kuasa Pertambangan Eksplorasi,

36
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, PP Nomor 75 Tahun 2001, LN Nomor 141 Tahun 2001,
TLN Nomor 4154, ps. 1 ayat (1).
37
Ibid., ps. 1 ayat (2).

Universitas Indonesia
86

Eksploitasi, Pengolahan dan Pemurnian, Pengangkutan dan Penjualan. Lebih


lanjut, Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang –
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok
Pertambangan memberikan kewenangan pengelolaan usaha pertambangan umum
yang dilaksankan oleh Menteri, gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya untuk:
a. Pencadangan dan penetapan wilayah usaha pertambangan;
b. Pemberian kuasa pertambangan;
c. Pemberian perizinan pertambangan rakyat;
d. Pelaksanaan perjanjain kerja sama usaha pertambangan dalam bentuk KK
dan PKP2B;
e. Pengevaluasian dan pelaporan kegiatan;
f. Pembinaan dan pengawasan
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kewenangan terhadap penyelenggaraan
urusan pemerintahan di bidang pertambangan dilaksanakan baik oleh Pemerintah
Pusat, maupun pemerintah daerah yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten.
Kemudian setelah 5 (lima) tahun berlaku, pemerintah menerbitkan Undang
– Undang tentang pemerintahan daerah yang baru, yaitu Undang – Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Sebagai Pengganti Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam bukunya
yang berjudul Era Baru Hukum Pertambangan Di Bawah Rezim UU Nomor 4
Tahun 2009, Tri Hayati mengemukakan bahwa sama halnya dengan yang diatur
dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
urusan pertambangan tidak termasuk urusan wajib bagi provinsi dan atau
kabupaten/kota tetapi termasuk urusan pilihan. Undang – Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa urusan
pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang

Universitas Indonesia
87

bersangkutan.38 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang merupakan


peraturan pelaksana dari Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan.39 Dengan demikian, tidak ada urusan yang mutlak merupakan
kewenangan daerah otonom semata, sama halnya dengan urusan pertambangan
yang merupakan urusan pemerintahan yang dibagi antara tingkatan pemerintahan
secara bersama.40
Salah satu perubahan yang signifikan pada Undang – Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ialah terkait dengan pembentukan
Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
yang harus disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.41 Sebelumnya, tidak
terdapat hubungan koordinatif antara Kabupaten/Kota dengan provinsi, yang
seolah – olah lepas tanpa hubungan dan koordinasi.42 Hal tersebut dikarenakan
sistem otonomi pada Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah yang tidak bertingkat (tidak ada hubungan hirarki antara
pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota), maka hubungan
provinsi dan kabupaten bersifat koordinatif, pembinaan, dan pengawasan.43 Pada
masa itu, Kabupaten/Kota membuat peraturan daerah yang berjalan sendiri –
sendiri, sehingga banyak terdapat peraturan daerah yang tidak sinkron antara
peraturan daerah yang satu dengan yang lain baik seara vertikal maupun
horizontal dengan peraturan yang terdapat di level Pusat.44


38
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah......, ps. 14 ayat (2).
39
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, PP Nomor
38 Tahun 2007, LN Nomor 82 Tahun 2007, TLN Nomor 4737, ps. 2 ayat (1).
40
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan....., hlm. 98
41
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah…, ps. 186 ayat (1).
42
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan…, hlm. 100.
43
LIPI, Partnership for Gobernance Reform in Indonesia, dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia,
Desentralisasi & Otonomi Daerah, (Jakarta: LIPI Press, 2007), hlm. 11.
44
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan…, hlm. 100.

Universitas Indonesia
88

Selain itu, pola pemberian otonomi kepada daerah masih menggunakan pola
lama dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah, dimana Pemerintah Pusat dapat menyerahkan langsung kepada
Kabupaten dan Kota.45 Hal ini dikarenakan Undang – Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan otonomi seluas – luasnya
kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengurus rumah tangganya sendiri.46
Sehingga pada dasarnya kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara sudah diserahkan kepada pemerintah daerah berdasarkan asas
desentralisasi.47
Namun dalam prakteknya, pada era Undang – Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah masih dijumpai penyelenggaraan otonomi
daerah yang tidak sesuai dengan otonomi daerah karena masing – masing daerah
berlomba untuk mencari penerimaan bagi daerahnya.48 Persoalan ini sudah
dimulai sejak diberlakukannya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah yang memberi wewenang kepada daerah untuk mengelola
sumber daya yang berada di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara
kelestarian lingkungan hidupnya sesuai dengan undang – undang.49 Hal tersebut
mengakibatkan banyak perizinan pertambangan yang dikeluarkan tanpa
mengikuti kaedah perlindungan lingkungan dan optimalisasi pemanfaatan sumber
daya. Selain itu, oknum juga memanfaatkan surat izin untuk diperjual belikan,
sehingga siapa yang paling dekat dengan pemberi izin maka dialah yang paling
dahulu mendapatkan izin.50 Hal inilah yang kemudian menjadikan kendali
Pemerintah Pusat yang seharusnya dijalin dalam rangka Negara Kesatuan


45
Ibid.
46
Bambang Yunianto, Implikasi Undang – Undang Nomor 23….. hlm. 4.
47
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan…, hlm. 101.
48
Badan Pembinaan Hukum Nasional, “Analisis tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam”,
hlm. 8 https://www.bphn.go.id/data/documents/ae_tentang_pengelolaan_sda.pdf diakses 8 Desember
2018.
49
Bambang Yunianto, Implikasi Undang – Undang Nomor 23….. hlm. 4.
50
Ibid.

Universitas Indonesia
89

Republik Indonesia menjadi bias dan melemah.51 Oleh sebab itu kemudian pada
tahun 2014 diterbitkan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang menarik kembali kewenangan pengelolaan
pertambangan, yang semula berada di tangan Kabupaten/Kota ditarik kembali
kepada Pemerintah Pusat dan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (asas
dekonsentrasi).52

2. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Menyelenggarakan Urusan


Pemerintahan di bidang Pertambangan setelah berlakunya Undang –
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pada tanggal 18 Maret 2015, Pemerintah menerbitkan Undang – Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah tentang Pemerintahan Daerah. Terlihat
adanya kebijakan baru dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa bahwa pada tingkat pemerintah
daerah, urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral yang
berada di wilayah pemerintah daerah hanya diamanahkan kepada Pemerintah
Provinsi.53 Lebih lengkapnya, Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa:
“Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi
dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi.”
Dari ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah tersebut dapat dipahami bahwa penyelenggaraan
urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral hanya dibagi
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi. Ketentuan ini kemudian
dipertegas dalam Lampiran huruf CC mengenai Pembagian Urusan Pemerintah


51
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan…, hlm. 101.
52
Badan Pembinaan Hukum Nasional, “Analisis tentang …..hlm. 103.
53
Nurul Laili Fadhilah, Implikasi Pemberlakuan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah atas
Perizinan Pertambangan terhadap Legislasi di Daerah, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Th. 1 Nomor 2 (Desember 2016), hlm. 92 – 93.

Universitas Indonesia
90

Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral yang nomor 2-
nya mengatur tentang sub urusan Mineral dan Batubara. Dalam Lampiran Bagian
CC Nomor 2 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah disebutkan mengenai kewenangan Derah Provinsi yang antara lain
kewenangan untuk melakukan:
a. Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan
batuan dalam 1 (satu) Daerah Provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12
mil
b. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara dalam
rangka penanaman modal dalm negeri pada wilayah izin usaha
pertambangan daerah yang berada dalam 1 (satu) daerah provinsi termasuk
wilayah laut sampai dengan 12 (duabelas) mil laut
c. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam
rangka penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha
pertambangan yang berada dalam 1 (satu) daerah provinsi termasuk wilayah
laut sampai dengan 12 (duabelas) mil laut
d. Penerbitan izin pertambangan rakyat untuk komoditas mineral logam,
batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah pertambangan
rakyat
e. Penerbitan izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk
pengolahan dan pemurnian dalam rangka penanaman modal dalam negeri
yang komoditas tambangnya berasal dari 1 (satu) Daerah Provinsi yang
sama
f. Penerbitan izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar
dalam rangka penanaman modal dalan negeri yang kegiatan usahanya dalam
1 (satu) Daerah Provinsi
g. Penetapan harga patokan mineral bukan logam dan batuan.
Pada dasarnya, kewenangan Gubernur yang diatur dalam lampiran Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan
peralihan kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh Bupati/Walikota.
Implikasi dari dilimpahkannya kewenangan tersebut, pada kolom
Bupati/Walikota dalam Lampiran Bagian CC Nomor 2 Undang – Undang Nomor
23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah tidak disebutkan kewenangan

Universitas Indonesia
91

apapun. Dengan demikian dapat dipahami bahwa seluruh kewenangan dalam


bidang pertambangan yang semula dimiliki oleh Bupati/Walikota, menjadi
kewenangan Gubernur.
Pada dasarnya pencabutan kewenangan Bupati/Walikota dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan
batubara ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 Undang - Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyatakan
Bupati memiliki wewenang untuk menerbitkan IUP sesuai dengan
kewenangannya. Namun, kekhawatiran akan bertentangnya peralihan
kewenangan Bupati yang diatur dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kemudian diakomodir melalui Surat
Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 04.E/30/DJB/2015
tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Bidang Pertambangan Mineral
dan Batubara setelah Berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Adapun hal – hal yang diatur didalam Surat Edaran
ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 antara lain:
1. Bupati/Walikota tidak lagi mempunyai kewenangan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral
dan batubara terhitung sejak tanggal 2 Oktober 2014;
2. Dengan berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Dareah, maka pasal – pasal dalam Undang – Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara beserta
peraturan pelaksananya yang mengatur kewenangan Bupati/Walikota
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha kepada
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batubara,
Gubernur dan Bupati/Walikota segera melakukan koordinasi terkait
dengan penyerahan dokumen IUP mineral dan batubara dalam rangka
Penanaman Modal Dalam Negeri yang telah dikeluarkan oleh
bupati/walikota sebelum berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah;
4. Gubernur dapat melakukan evaluasi terhadap berkas perizinan yang
disampaikan oleh bupati/walikota dan apabila terdapat ketidaksesuaian

Universitas Indonesia
92

proses atau mekanisme penerbitan seperti tidak memenuhi persyaratan


atau tumpang tindih, Gubernur dapat membatalkan IUP Eksplorasi, IUP
Operasi Produksi, atau Izin Pertambangan Rakyat yang bersangkutan;
5. Dalam hal pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban, Gubernur dapat
memberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian
sementara dan pencabutan izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang – undangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015
tersebut dapat dipahami bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota tidak lagi memiliki
wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan
sumber daya mineral. Kewenangan yang semula diniliki oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota kemudian dialihkan menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.
Disamping itu, terhadap izin – izin yang telah diterbitkan oleh bupati harus di
evaluasi oleh gubernur yang apabila ditemukan pemegang IUP tidak memenuhi
kewajiban, Gubernur dapat memberikan sanksi administratif terhadap IUP
tersebut.
Selain itu, Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 juga telah
memberikan kepastian hukum mengenai kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota yang diatur dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, bahwa pasal – pasal dalam Undang
- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
beserta peraturan pelaksananya yang mengatur kewenangan Bupati/Walikota
tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Padahal pada masa berlakunya
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki wewenang yang cukup besar yakni untuk
menerbitkan dan membatalkan Kuasa Pertambangan (yang pada saat ini sudah
diganti dengan IUP).54 Oleh karenanya, saat ini, Pemerintah Kabupaten/Kota tidak
lagi memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang


54
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan Kuasa Pertambangan diatur
dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a PP 75/2001, sedangkan kewenangan untuk membatalkan Kuasa
Pertambangan diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 42 PP 75/2001.

Universitas Indonesia
93

pertambangan mineral dan batubara, melainkan kewenangan tersebut hanya


dimiliki oleh Menteri ESDM dan Gubernur.
Perubahan kewenangan dalam urusan pertambangan ini kemudian ditindak
lanjuti dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dalam
bagian konsiderans huruf a, Permen ESDM 43/2015 menyatakan bahwa:

Perlu dilakukan serah terima dokumen perizinan sebagai akibat pembagian


urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara sesuai
dengan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.

Konsiderans Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut
memberikan arti bahwa terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara merupakan tindak lanjut dari terbitnya Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Lebih lanjut dalam Pasal 2 Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan bahwa Bupati/Walikota
memiliki kewajiban untuk menyampaikan dokumen perizinan di bidang Mineral
dan Batubara kepada Gubernur dan Provinsi sesuai dengan kewenangannya
terhadap izin yang telah diterbitkan. Sama halnya dengan ketentuan dalam Surat
Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015, Peraturan Menteri ESDM Nomor 43
Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara juga mewajibkan Menteri atau Gubernur sesuai dengan
kewenangannya untuk melakukan evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi evaluasi
administrasi, kewilayahan, teknis, lingkungan, dan finansial terhadap IUP
penyesuaian dari Kuasa Pertambangan dan terhadap Kuasa Pertambangan yang
belum berakhir jangka waktunya tetapi belum disesuaikan menjadi IUP.55


55
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM Nomor 43
Tahun 2015, ps. 4.

Universitas Indonesia
94

Pasal 17 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara juga
memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal yang mewakili Menteri atau
Gubernur sesuai dengan kewenangannya untuk memberikan sanksi administratif
kepada Pemegang IUP yang tidak memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Selain
itu, pengaturan mengenai perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara
diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan
di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam Peraturan Menteri ESDM
Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara, diatur bahwa pemberian IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUJP,
diberikan oleh Menteri dan Gubernur sesuai dengan kewenangannya masing –
masing.56 Selain itu, apabila pemegang IUP (baik IUP Eksplorasi maupun IUP
Operasi Produksi), IUPK, IUP OP khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian,
dan IUJP melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Peraturan
Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan
Mineral dan Batubara maka Gubernur dan Direktur Jenderal atas nama Menteri
sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha,
dan/atau pencabutan izin.57
Setelah 9 (sembilan) bulan Permen ESDM Peraturan Menteri ESDM Nomor
34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara
berlaku, kemudian pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11
Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah Perizinan dan Pelaporan pada
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang dalam ketentuan
penutupnya mencabut Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang
Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.58 Kemudian terdapat


56
Kewenangan untuk memberikan IUP Eksplorasi diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Permen
ESDM 34/2017, kewenangan untuk memberikan IUP Operasi Produksi diatur dalam Pasal 10 ayat (1)
Permen ESDM 34/2017, dan kewenangan untuk memberikan IUJP diatur dalam Pasal 19 ayat (1)
Permen ESDM 34/2017.
57
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Perizinan di
Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM Nomor 34 Tahun 2017, ps. 38.
58
Ketentuan mengenai dicabutnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 tahun 2017 tentang
Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara diatur di dalam Pasal 114 huruf f Peraturan
Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah Perizinan dan Pelaporan
pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

Universitas Indonesia
95

beberapa pasal yang diubah dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun
2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah Perizinan dan Pelaporan pada
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sehingga diterbitkan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara. Menindaklanjuti pengaturan yang baru tersebut maka diterbitkan
Keputusan Menteri ESDM Nomor 1796 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman
Pelaksanan Permohonan, Evaluasi, serta Penerbitan Perizinan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pada dasarnya, jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor
34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara,
ketentuan mengenai wewenang Pemerintah Pusat dan pemerintah provinsi dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan tidak banyak
diubah dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2018 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Hanya saja Peraturan Menteri ESDM
Nomor 22 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permen ESDM Nomor 11 Tahun
2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara diterbitkan sebagai bentuk
penyederhanaan peraturan menteri ESDM terkait subnstansi kewilayahan,
perizinan, dan pelaporan pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara
dengan merevisi 5 (lima) Peraturan Menteri ESDM, 1 Keputusan Menteri ESDM,
dan 2 Peraturan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.59 Adapun Pasal 36 ayat
(1) Permen ESDM 11/2018 memberikan kewenangan kepada Menteri dan
Gubernur sesuai dengan kewenangannya untuk menerbitkan IUP Eksplorasi,
sedangkan kewenangan Menteri atau gubernur untuk memberikan IUP Operasi
Produksi diatur dalam Pasal 41 Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018
tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan

59
“Pencabutan/Penyederhanaan Regulasi dan Perizinan Sektor ESDM” hlm. 8
https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-pencabutan-penyederhanaan-regulasi-dan-
perizinan-sektor-esdm-.pdf diakses 27 Desember 2018.

Universitas Indonesia
96

Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam Peraturan Menteri ESDM


Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan
Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.tidak lagi
ditemukan kewenangan Bupati/Walikota dalam menerbitkan IUP, baik IUP
Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi. Peran Bupati/Walikota hanya
ditemukan dalam hal penentuan Wilayah Usaha Pertambangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018
tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi: “Wilayah di dalam
Wilayah Pertambangan dapat ditetapkan menjadi Wilayah Usaha Pertambangan
oleh Menteri setelah ditentukan oleh gubernur berdasarkan hasil koordinasi
dengan bupati/walikota.” Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah,
Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara tersebut maka dapat dipahami bahwa peran bupati/walikota hanya
sebatas melakukan koordinasi dengan gubernur untuk menentukan Wilayah
Usaha Pertambangan dalam Wilayah Pertambangan, bukan lagi sebagai pihak
yang dapat menerbitkan maupun membatalkan IUP.
Selain itu, perlu juga dipahami bahwa merujuk pada ketentuan Pasal 12 ayat
(3) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
diketahui bahwa bidang energi dan sumber daya mineral termasuk sebagai urusan
pemerintahan konkuren yang bersifat pilihan. Hal tersebut berkaitan dengan
ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah yang berbunyi: “Urusan pemerintahan konkuren adalah
Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi
dan Daerah Kabupaten/Kota.” dan Pasal 9 ayat (3) yang berbunyi: “Urusan
pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan
Otonomi Daerah.” Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), dan
Pasal 12 ayat (3) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah maka dapat dipahami bahwa kewenangan Gubernur dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya
mineral merupakan kewenangan yang diserahkan kepada daerah provinsi yang

Universitas Indonesia
97

kemudian menjadi dasar dari pelaksanaan otonomi daerah di daerah provinsi


tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setelah diterbitkannya Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti
dengan Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015, Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara dan peraturan perundangan lain yang terkait,
maka penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan
batubara hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu Kementerian
ESDM, dan pemerintah provinsi, yaitu Gubernur.

B. Berakhirnya Izin Usaha Pertambangan dalam Undang – Undang Nomor 4


Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara
Dalam Bab XV UU Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara telah diatur ketentuan – ketentuan mengenai
berakhirnya izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus. Lebih
lengkapnya, Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara menyatakan bahwa:

IUP dan IUPK berakhir karena:


a. Dikembalikkan;
b. Dicabut; atau
c. Habis masa berlakunya.60

Adapun terhadap IUP atau IUPK yang dikembalikan, dicabut, atau habis masa
berlakunya, IUP atau IUPK tersebut dikembalikan kepada Menteri atau gubernur
sesuai dengan kewenangannya dan kemudian WIUP atau WIUPK terhadap IUP atau
IUPK tersebut ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai
prosedur dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara.61


60
Indonesia, Undang – Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 4 Tahun
2009, LN Nomor 4 Tahun 2009, TLN Nomor 4959, ps. 117

61
Ibid., ps. 122.

Universitas Indonesia
98

Untuk IUP yang berakhir karena dikembalikkan, Undang - Undang Nomor 4


Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah memberikan hak
kepada pemegang IUP atau IUPK untuk dapat menyerahkan kembali IUP atau IUPK
–nya dengan pernyataan tertulis kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas.62 Pengembalian IUP atau
IUPK baru dapat dinyatakan sah apabila telah disetujui oleh Menteri atau gubernur
sesuai dengan kewenangannya dan setelah memenuhi kewajibannya.63 Sedangkan
untuk IUP atau IUPK yang berakhir karena habis masa berlakunya disebabkan karena
pemegang IUP atau IUPK tidak mengindahkan ketentuan jangka waktu keberlakuan
izinnya dan tidak mengajukan permohonan peningkatan maupun perpanjangan tahap
kegiatan.
Berakhirnya IUP atau IUPK yang disebabkan karena pencabutan hanya dapat
dilakukan oleh Menteri dan gubernur sesuai dengan kewenangannya.64 Lebih lanjut
Pasal 119 UU 4/2009 menentukan bahwa pencabutan IUP atau IUP dapat dilakukan
apabila:
a) Pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam
IUP atau IUPK serta peraturan perundang – undangan;
b) Pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara;
c) Pemegang IUP atau IUPK melakukan dinyatakan pailit.
Selain ketiga hal tersebut, Pasal 151 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara juga menentukan bahwa Menteri atau gubernur
sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif kepada
pemegang IUP, IPR, atau IUPK apabila melanggar pasal – pasal tertentu dalam
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Sanksi administratif tersebut meliputi peringatan tertulis, penghentian sementara


62
Ibid., ps. 118 ayat (1).
63
Ibid., ps. 118 ayat (2).
64
Indonesia, Undang – Undang Pertambangan Mineral …ps. 118 ayat (1) jo. Indonesia,
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Perizinan di Bidang Pertambangan…..,
ps. 94 ayat (3)

Universitas Indonesia
99

sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan/atau pencabutan
IUP, IPR, atau IUPK.65
Adapun pasal – pasal yang dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) dimana dapat
berakibat pada diberikannya sanksi administratif meliputi pelanggaran terhadap Pasal
40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74
ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96,
Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal
105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (2), Pasal 112
ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1),
Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2). Berdasarkan ketentuan
tersebut maka dapat dipahami bahwa apabila pemegang IUP melanggar pasal – pasal
tersebut maka Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya tidak dapat
langsung mencabut IUP-nya, melainkan harus melalui tahapan – tahapan sanksi
adaministratif terlebih dahulu.

1. Pemegang Izin Usaha Pertambangan Tidak Memenuhi Kewajiban yang


Ditetapkan
Pasal 119 huruf a Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara telah menentukan secara tegas bahwa
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat mencabut IUP atau
IUPK apabila pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang
ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang – undangan.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka dapat dimaknai bahwa kewajiban
yang dimaksud tidak hanya kewajiban yang terdapat di dalam Undang - Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, namun juga
ketentuan peraturan perundang – undangan diluar Undang - Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara seperti Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, dan lain sebagainya.


65
Ibid., ps. 151 ayat (2).

Universitas Indonesia
100

Secara material substansial, rumusan dalam Pasal 119 huruf a Undang -


Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
bersifat alternatif, dimana hanya diperlukan salah salah satu alternatif kewajiban
yang tidak dipenuhi sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang -
undangan untuk dapat dicabutnya IUP.66 Dengan demikian, dapat diartikan bahwa
hanya dengan satu kewajiban yang dilanggar, baik yang diatur didalam Undang -
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
maupun di peraturan perundangan lain yang berkaitan dengan IUP tersebut, maka
pemegang IUP tetap dapat diberikan sanksi administratif.
Adapun beberapa kewajiban pemegang IUP yang dimaksud adalah kewajiban
– kewajiban yang diatur dalam Pasal 39, Pasal 65, Pasal 95 sampai dengan Pasal
112, dan Pasal 136 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Dalam hal ini penulis akan memfokuskan pembahasan
mengenai kewajiban Pemegang IUP Operasi Produksi dalam ranah lingkungan.
Adapun Pasal 65 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara menyatakan bahwa:

Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


51, Pasal 54, dan Pasal 60 yang melakukan usaha pertambangan wajib
memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan
lingkungan dan persyaratan finansial.

Lebih lanjut Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang


Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan
bahwa persyaratan lingkungan yang dimaksud sebagai persyaratan pemegang IUP
Operasi Produksi meliputi: a) pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang – undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, dan b) persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang – undangan.
Adapun salah satu dokumen lingkungan hidup yang menjadi kewajiban bagi
pemegang IUP adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan67. Pasal 23 ayat

66
Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda, Putusan Nomor 31/G/2010/PTUN-SMD, hlm.
15.
67
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi

Universitas Indonesia
101

(2) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkap dengan AMDAL
diatur dengan AMDAL diatur dengan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Merujuk pada ketentuan pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) jo. Lampiran I
Bagian II huruf A Peraturan Menteri KLHK Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan dan Pasal 39 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diketahui bahwa IUP Eksploitasi
(Operasi Produksi) Mineral dan Batubara kegiatan pertambangan mineral dan
batubara termasuk kedalam kegiatan yang berdampang penting terhadap
lingkungan hidup dan oleh karenanya harus memuat AMDAL.
Adapun AMDAL tersebut merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan
lingkungan hidup.68 Penyusunan AMDAL dituangkan ke dalam dokumen
AMDAL yang terdiri atas a) Kerangka Acuan, b) Andal (Analisis Dampak
Lingkungan Hidup), dan c) RKL – RPL (Rencana Pengelolaan Lingkungan hidup
– Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup), dimana Kerangka Acuan menjadi
dasar penyusunan dari Andal dan RKL – RPL.69 Disamping itu, Pasal 26 Undang
– Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup jo. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan menentukan bahwa penysusunan dokumen AMDAL
harus melibatkan masyarakat dengan prinsip pemberian informasi yang
transparan dan lengkap. Adapun masyarakat yang dimaksud dalam ketentuan
Pasal 26 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup meliputi masyarakat:
a. Yang terkena dampak;
b. Pemerhati lingkungan hidup; dan/atau


proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. (Indonesia, Undang
– Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 32 Tahun 2009, LN Nomor
140 Tahun 2009 TLN Nomor 5059,ps. 1 angka 11).
68
Indonesia, Undang – Undang Perlindungan dan Pengelolaan..., ps. 24.

69
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Izin Lingkungan, PP Nomor 27 Tahun 2012, LN
Nomor 48 Tahun 2012 TLN Nomor 5285, ps. 5.

Universitas Indonesia
102

c. Yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.


Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dipahami bahwa terhadap masyarakat
di suatu wilayah yang kiranya akan terkenda dampak dari dilakukannya kegiatan
pertambangan harus dilibatkan dalam penyusunan dokumen AMDAL. Selain itu,
Pasal 26 ayat (4) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memungkinkan masyarakat tersebut untuk
mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL.
Kemudian, dokumen AMDAL tersebut dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL
yang telah memiliki lisensi dan dibentuk oleh Menteri, gubernur atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.70 Adapun hasil penilaian yang
dilakukan oleh Komisi Penilai AMDAL tersebut, yang mana menurut Pasal 31
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Komisi Penilai AMDAL menetapkan keputusan kelayakan
atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya. Keputusan
kelayakan lingkungan hidup tersebut kemudian menjadi dasar dari diterbitkannya
izin lingkungan.71 Pasal 37 ayat (3) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menentukan bahwa izin
lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya. Kewenangan bupati/walikota dalam menerbitkan izin
lingkungan kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 63 ayat (3) huruf o Undang
– Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang untuk
menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota. Izin lingkungan
tersebut memiliki peranan penting, mengingat menurut Pasal 40 Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam


70
Indonesia, Undang – Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup...,ps. 29.
71
Ibid., ps. 36 ayat (2).

Universitas Indonesia
103

rangka mendapatkan Izin Usaha Pertambangan, pelaku usaha harus terlebih


dahulu mendapatkan izin lingkungan yang dilengkapi dengan AMDAL.
Setelah dimilikinya izin lingkungan, tentunya terdapat kewajiban – kewajiban
yang harus dilakukan oleh pemegang izin tersebut. Adapun berdasarkan Pasal 37
ayat (2) huruf C Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diketahui bahwa dalam dokumen AMDAL
itu sendiri ditetapkan sejumlah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang
izin lingkungan. Salah satu kewajiban dari pemegang izin lingkungan adalah
melaksanakan kegiatan, hal ini diatur dalam Pasal 50 ayat (2) huruf d Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Pasal 50 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan tersebut
menentukan bahwa tidak dilaksankannya kegiatan dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sejak diterbitkannya izin lingkungan mengharuskan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan (pemegang izin lingkungan) untuk melakukan perubahan
izin lingkungan. Sehingga dalam hal ini diketahui bahwa setelah dimilikinya izin
lingkungan, pemegang izin lingkungan berkewajiban salah satunya untuk
melakukan kegiatan.
Adapun izin lingkungan yang diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat dibatalkan apabila72:
a. Persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat
hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau
pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. Penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam
keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL – UPL; atau
c. Kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen AMDAL atau UKL –
UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dipahami bahwa apabila penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan (pemegang izin lingkungan) tidak melaksanakan
kewajiban – kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen AMDAL, maka izin

72
Ibid., ps. 37 ayat (2).

Universitas Indonesia
104

lingkungan tersebut dapat dibatalkan. Disamping itu, Pasal 38 Undang – Undang


Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
memungkinkan dibatalkannya izin lingkungan melalui keputusan tata usaha
negara. Dalam hal izin lingkungan dicabut, maka izin usaha dan/atau kegiatan
dibatalkan, sedangkan dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan,
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.73
Sehingga diketahui bahwa apabila adanya perubahan terhadap usaha dan/atau
kegiatan, maka pemegang izin lingkungan harus melakukan pembaharuan
terhadap izin lingkungannya.
Pasal 76 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan kewenangan kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota untuk menerapkan sanksi administratif kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan. Adapun sanksi administratif tersebut terdiri
atas:
a. Teguran tertulis;
b. Paksaan pemerintah;
c. Pembekuan izin lingkungan; atau
d. Pencabutan izin lingkungan
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dipahami bahwa Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota dapat memberikan sanksi administratif kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan yang
dimilikinya.
Selain kewajiban dalam ranah izin lingkungan, terdapat kewajiban –
kewajiban dalam sektor lain yang harus dilaksankan oleh pemegang IUP Operasi
Produksi. Kewajiban – kewajiban tersebut menjadi sangat penting mengingat
dengan tidak terpenuhinya kewajiban dapat berdampak pada dicabutnya IUP.


73
Ibid., ps. 40 ayat (2) dan (3).

Universitas Indonesia
105

2. Pemegang Izin Usaha Pertambangan melakukan Tindak Pidana


Dilakukannya tindak pidana oleh pelaku usaha (pemegang izin) dapat
berakibat pada dicabutnya izin usaha pertambangan yang dimilikinya. Ketentuan
ini telah diatur secara tegas dalam Pasal 119 huruf b Undang - Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, bahwa Menteri atau
gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat mencabut IUP atau IUPK apabila
pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Adapun tindak pidana yang tercantum dalam Undang - Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah sebagai
berikut:
a. setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, atau
IUPK
b. pemegang IUP, IPR, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan
laporan dnegan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu
c. melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK
d. mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegaitan operasi produksi
e. setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi
Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan
dari pemegang IUP atau IUPK
f. merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang
IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat - syarat
g. mengeluarkan IUP, IPR atau IUPK yang bertentangan dengan Undang -
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
Selanjutnya Pasal 162 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara menentukan bahwa, kepada pelaku tindak
pidana tersebut dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
c. kewajiban mempayar biaya yang timbul akibat tindak pidana

Universitas Indonesia
106

Kendati demikian, pengenaan tindak pidana kepada pemegang izin usaha tidak
dapat dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan.74

3. Pemegang Izin Usaha Pertambangan dinyatakan Pailit


Pasal 119 huruf c Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara telah menegaskan bahwa Menteri atau
gubernur sesuai dengan kewenangannya memiliki wewenang untuk mencabut
IUP atau IUPK apabila pemegang IUP atau IUPK dinyatakan palilit. Namun
penjelasan lebih lanjut mengenai pailit itu sendiri tidak dapat ditemukan dalam
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, pailit adalah keadaan seseorang
debitor apabila ia telah menghentikan pembayaran utang – utangnya dan keadaan
tersebut menghendaki campur tangan Majelis Hakim guna menjamin kepentingan
bersama dari para kreditornya.75 Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mendefinisikan kepailitan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit
yang pengurusan dan pemberannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur daam Undang – Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan Pemegang IUP dinyatakan palilit
dalam UU 4/2009 adalah ketika pemegang IUP dinyatakan oleh Pengadilan Niaga
dimana Pemegang IUP sudah tidak dapat lagi memenuhi kewajiban –
kewajibannya. Dengan adanya putusan yang menyatakan bahwa badan usaha
pemegang IUP pailit, maka Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya
dapat mencabut IUP yang pailit tersebut.


74
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Perizinan Tata Cara
……….., ps. 99.
75
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1973),
hlm. 225.

Universitas Indonesia
107

C. Pencabutan Izin Usaha Pertambangan dalam Peraturan Menteri ESDM


Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara
Selain tidak dipenuhinya kewajiban, dilakukannya tindak pidana dan dinyatakan
pailit, Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara selaku peraturan pelaksana dari Undang -
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga
mengatur mengenai ketentuan pencabutan izin usaha pertambangan. Pasal 38
Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara memberikan kewenangan kepada Direktur
Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya untuk
memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi
Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan IUJP yang tidak mematuhi
ketentuan – ketentuan tertentu dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun
2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut.
Adapun sanksi administratif tersebut harus dilakukan melalui berberapa tahapan,
yaitu76:
a) Peringatan tertulis;
b) Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan/atau
c) Pencabutan izin
Lebih lanjut, Pasal 39 Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang
Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara menentukan bahwa
peringatan tertulis yang dimaksud dalam pemberian sanksi administratif tersebut
harus diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masing –
masing paling lama 10 (sepuluh) hari kalender. Selanjutnya, apabila pemegang izin
belum melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu peringatan
tertulis, maka dikenakan sanksi administratif selanjutnya berupa penghentian
sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha debgan jangka waktu paling lama 60
(enam puluh) hari kalender.77 Apabila pemegang izin tidak kunjung melaksanakan


76
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Perizinan...., ps. 38 ayat
(2) dan (3).
77
Ibid., ps. 40.

Universitas Indonesia
108

kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi berupa


penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha, maka menurut Pasal 41
Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara pemegang izin tersebut akan dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan izin.
Adapun pemberian sanksi administratif dalam 38 (2) Peraturan Menteri ESDM
Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara tersebut hanya terbatas dalam hal pemegang IUP melakukan pelanggaran
terhadap pasal – pasal yang disebutkan dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a atau sampai
dengan huruf y, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), atau ayat (6), Pasal 27 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 huruf a atau sampai dengan huruf f, Pasal 31 huruf a
atau sampai dengan huruf t, Pasal 32 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 33 huruf a, huruf b,
atau huruf c, Pasal 35 ayat (1) huruf a atau sampai dengan huruf d atau ayat (3) huruf
a atau huruf b, atau Pasal 36 huruf a atau huruf b Peraturan Menteri ESDM Nomor 34
Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Berdasarkan ketentuan tersebut, diketahui bahwa menyusun dan menyampaikan
rencana kerja dan anggaran biaya kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya untuk mendapatkan persetujuan serta menyampaikan laporan tertulis
secara berkala atas rencana kerja dan anggaran biaya serta pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan yang dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan
d merupakan kewajiban bagi pemegang IUP yang apabila tidak dilaksanakan dapat
berakibat pada diberikannya sanksi administratif kepada pemegang IUP tersebut.
Selain itu, Pasal 42 Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang
Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara memungkinkan Menteri
atau gubernur sesuai dengan kewenangannya untuk memberikan sanksi administratif
berupa pencabutan izin tanpa melalui tahapan pemberian sanksi administratif berupa
teguran tertulis dan penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha
dalam “kondisi tertentu” sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
Jika dicermati, pengertian mengenai “kondisi tertentu” yang dimaksud dalam
Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara tidak dapat ditemukan dalam Permen ESDM
34/2017 itu sendiri.

Universitas Indonesia
109

Bapak Heriyanto selaku Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara Kementerian ESDM menyatakan bahwa “kondisi tertentu” yang dimaksud
dalam Pasal 42 Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di
Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut merujuk kepada IUP yang
dicabut karena adanya pelanggaran kewajiban, melakukan tindak pidana dan karena
pailit.78 Pernyataan dari Kepala Bagian Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara Kementerian tersebut sama artinya dengan ketentuan dalam Pasal 119
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
dimana pencabutan IUP atau IUPK dimungkinkan apabila a) Pemegang IUP atau
IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta
peraturan perundang – undangan, b) Pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, c) IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Meskipun Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di
Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara telah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi dengan adanya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang
Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, namun ketentuan mengenai sanksi administratif
tidak jauh berbeda dengan pengaturan di Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun
2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 94
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara menentukan bahwa dalam hal pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi
Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IUJP, dan IUJP Operasi Produksi
khusus untuk pengangkutan dan penjual tidak mematuhi ketentuan dan melanggar
beberapa Pasal dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata
Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara, maka pemegang izin tersebut diberi sanksi administratif oleh
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannnya.


78
Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, Putusan Nomor 6/G/2018/PTUN.BJM, hlm.
141 – 142.

Universitas Indonesia
110

Perbedaannya terlihat bahwa dalam pengaturan di Peraturan Menteri ESDM


Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan
Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara telah menegaskan hal
– hal apa saja yang termasuk kedalam “kondisi tertentu” yang memungkinkan Menteri
atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif
berupa pencabutan izin tanpa melalui teguran tertulis dan penghentian sementara
sebagian atau seluruh kegiatan. Pasal 99 Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun
2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa kondisi tertentu tersebut yang
berkaitan dengan:
a) Pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pemegang IUP atau IUPK
berdasarkan putusan pengadilan;
b) Hasil evaluasi Menteri atas IUP Operasi Produksi yang dikeluarkan oleh
Gubernur yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta tidak
menerapkan kaidah pertambangan yang baik;
c) Pelanggaran adinistratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 Peraturan
Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara;
d) Hasil evaluasi penerbitan IUP yang dilakukan oleh Menteri/Gubernur
sesuai kewenangannya
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat terlihat bahwa Peraturan Menteri ESDM
Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan
Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara telah memberikan
definisi yang jelas mengenai “kondisi tertentu” dimana Menteri atau gubernur
memiliki kewenangan untuk langsung mencabut izin – izin usaha.

D. Sertifikat Clear and Clean dalam Kegiatan Pertambangan


Secara normatif, dengan dimilikinya sertifikat Clear and Clean oleh pemegang
IUP, maka dapat dikatakan bahwa pemegang IUP tersebut telah memenuhi kriteria
administratif, teknis, kewilayahan, lingkungan, dan finansial dalam regulasi – regulasi
di sektor pertambangan mineral dan batubara. Pada awalnya, istilah Clear and Clean

Universitas Indonesia
111

dikenal dalam bidang pertambangan muncul pada saat Siaran Pers Kementerian
ESDM Nomor 33/Humas KESDM/2011 tanggal 27 Mei 2011 yang kemudian disusul
dengan banyaknya pertanyaan dari berbagai pihak kepada ESDM mengenai status
wilayah izin usaha pertambangan.79 Dalam siaran pers pada tanggal 27 Mei 2011
tersebut, Kementerian ESDM menyatakan bahwa terdapat data IUP Clear and Clean
sebanyak 3.971 IUP dan data IUP Non Clear and Clean sebanyak 4.504 IUP.80 Pada
dasarnya, latar belakang munculnya istilah Clean and Clear ini disebabkan oleh
karena banyaknya perizinan yang tumpang tindih pada era otonomi daerah sebelum
berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dikeluarkannya kebijakan clear and clean oleh pemerintah adalah sebagai upaya
penataan perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang bermasalah.81
Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar menjelaskan dampak dari keberadaan
tambang non-CnC mengganggu aktivitas penambangan karena tidak memenuhi
standar penerapan keselamatan para pekerja, padahal standar keselamatan merupakan
prioritas yang paling utama dipenuhi perusahaan tambang.82 Selain itu, dampak lain
yang ditimbulkan menurut Arcandra adalah kerap terjadinya tumpang tindih lahan
hingga titik koordinat di lapangan yang tidak sesuai dengan perizinan.
Pengkategorian IUP menjadi IUP CnC dan IUP non-CnC merupakah salah satu
upaya pemerintah pusat menghimpun data IUP tambang pasca-booming izin guna
disesuaikan dengan rezim Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara melalui mekanisme rekonsiliasi di tahun 2011.83
Adapun tujuan dari dilaksanakannya Rekonsiliasi data IUP adalah agar terciptan


79
Prima Nugraha, Budi Gutami, dan Henny Juliani, Penerapan Status Clear and Clean oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap Izin Usaha Pertambangan, Dipenogoro Law
Journal, Vol. 6 Nomor 2 Tahun 2017, hlm. 3

80
Ibid.

81
Ahmad Redi, Dilema Penegakan Hukum Penambangan Mineral dan Batubara tanpa Izin
Pada Pertambangan Skala Kecil, Jurnal Rechtsvinding Vol. 5 Nomor 3 (Desenmber 2016), hlm. 411.
82
“Pemerintah Ancam Cabut Izin Penambang Tidak Berstatus Clear and Clean”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5abf89cd7efa7/pemerintah-ancam-cabut-izin-
penambang-tidak-berstatus-iclear-and-clean-i diakses 12 Desember 2018.
83
“Siaran Pers: Laporan Penataan Izin Batubara Dalam Korsup KPK” https://pwyp-
indonesia.org/id/318888/siaran-pers-laporan-penataan-izin-batubara-dalam-korsup-kpk/ diakses 17
Desember 2018.

Universitas Indonesia
112

koordinasi, verifikasi, dan sinkronisasi IUP di seluruh provinsi/kabupaten/kota di


Indonesia.84 Adapun data mengenai penataan IUP dalam kurun waktu 2011 sampai
dengan tahun 2015 ialah sebagai berikut:

Gambar 3.285
Penataan IUP

Dari tabel tersebut dapat terlihat adanya perkembangan dari segi jumlah IUP non
CnC. Berdasarkan data terakhir yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara mencatat masih terdapat 2.595 IUP yang belum berstatus CnC yang tersebar
di seluruh Indonesia.86
Masih banyaknya perusahaan yang masih non-CnC mendorong pemerintah untuk
melakukan percepatan penyelesaian IUP Non CnC, hal ini ditempuh dengan
menerbitkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
2021/K/30/MEM/2014 tentang Tim Koordinasi Penyelesaian Permasalahan Izin


84
Ahmad Redi, Dilema Penegakan Hukum Penambangan Mineral….. hlm. 411.
85
Penataan IUP yang dikutip dari Kementerian ESDM, Reformasi Perizinan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara Pasca Berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 (Jakarta, 3
Februari 2016).
86
“Pemerintah Ancam Cabut Izin Penambang Tidak Berstatus Clear and Clean”……diakses
12 Desember 2018.

Universitas Indonesia
113

Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.87 Tim yang dimaksud dalam Kepmen
ESDM 2021/K/30/MEM/2014 terdiri dari lintas sektor yaitu Kementerian ESDM,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian dalam Negeri, Kejaksaan, POLRI,
BPKP, BIG yang mepunyai tugas antara lain88:
a. menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan hukum terkait dengan
IUP Mineral dan Batubara
b. melakukan pembahasan guna menyelesaikan permasalahan baik aspek
teknis, administratif dan hukum terkait dengan IUP Mineral dan Batubara.
Disamping itu, pasca peralihan kewenangan dari bupati ke gubernur juga
berimplikasi pada kewajiban sertifikat clear and clean yang diatur di dalam Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan. Pasal 1 angka 15 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan menyatakan
bahwa: “Sertifikat Clear and Clean adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal kepada pemegang IUP yang telah memenuhi persyaratan administratif,
kewilayahan, teknis, lingkungan, dan keuangan.” Dari ketentuan tersebut maka dapat
terlihat bahwa pemegang IUP harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan
administratif, kewilayahan, teknis, lingkungan, dan keuangan untuk mendapatkan
sertifikat Clear and Clean (CnC). Persyaratan tersebut antara lain:
a. kriteria administratif terdiri atas:
1. pengajuan permohonan perpanjangan/peningkatan KP atau IUP sebelum
masa berlaku KP atau IUP berakhir;
2. pencadangan dan permohonan KP ditetapkan sebelum UU 4/2009 terbit;
3. KP Eksploitasi merupakan peningkatan KP Eksplorasi;
4. Tidak memiliki lebih dari satu KP atau IUP bagi badan usaha yang tidak
terbuka;
5. Jangka waktu berlakunya IUP Eksplorasi tidak melebihi ketentuan UU
4/2009;
6. Permohonan pencadangan wilayah tidak diajukan pada wilayah KK,
PKP2B, KP atau IUP yang masih aktif dan sama komoditas


87
Yannahendro K. dan Satyo Naresworo, “Penyerahan Izin Usaha……, hlm. 41.
88
Ibid.

Universitas Indonesia
114

7. Jangka waktu IUP Operasi Produksi tidak boleh melebihi jangka waktu
KP Eksploitasi
8. KP yang masih berlaku setelah UU 4/2009
b. kriteria kewilayahan terdiri atas:
1. WIUP tidak tumpang tindih dengan WIUP lain yang sama komoditas;
2. WIUP tidak tumpang tindih dengan WPN;
3. Tidak tumpang tindih dengan wilayah administratif kabupaten/kota atau
provinsi lain;
4. Koordinat IUP Eksplorasi sesuai dengan koordinat pencadangan wilayah;
5. Koordinat IUP Operasi Produksi berada di dalam koordinat IUP
Eksplorasi; dan/atau
6. Koordinat IUP sejajar garis lintang bujur
c. kriteria teknis berupa:
1. laporan Eksplorasi, bagi pemegang IUP Eksplorasi yang belum memasuki
tahapan kegiatan Studi Kelayakan; atau
2. laporan Eksplorasi dan Studi Kelayakan, bagi pemegang IUP Eksplorasi
yang sudah memasuki tahapan kegiatan Studi Kelayakan atau pemegang
IUP Operasi Produksi;
d. kriteria lingkungan berupa dokumen lingkungan hidup yang telah disahkan
oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –
undangan
e. kriteria finansial berupa:
1. bukti pelunasan iuran tetap sampai dengan tahun terakhir saat
penyampaian, bagi pemegang IUP Ekslorasi; atau
2. bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi (royalty) sampai dengan
tahun terakhir saat penyampaian, bagi pemegang IUP Operasi Produksi
Apabila pemegang IUP tidak memenuhi kriteria – kriteria sebagaimana disyaratkan,
maka menurut Pasal 17 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata
Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Pemegang
IUP tersebut diberikan sanksi administratif oleh Direkutr Jenderal atau gubernur
sesuai dengan kewenangannya. Selanjutnya dalam Pasal 19 Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara ditentukan juga bahwa apabila gubernur tidak

Universitas Indonesia
115

memberikan sanksi administratif berupa pencabutan IUP sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 18, maka Direktur Jenderal atas nama Menteri mencabut IUP yang tidak
memenuhi kriteria lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kelima kriteria tersebut merupakan patokan bagi Gubernur atau Menteri sesuai
dengan kewenangannya untuk melakukan evaluasi. Paling lambat 90 (sembilan
puluh) hari kalender sejak penandatanganan berita acara serah terima dokumen
perizinan dari bupati/walikota, gubernur wajib menyampaikan hasil evaluasi terhadap
penerbitan IUP kepada Menteri ESDM melalui Direktur Jenderal.89 Hasil evaluasi
terhadap penerbitan IUP tersebut memuat:
a. rekomendasi IUP yang memenuhi kriteria administratif dan kewilayahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan huruf b serta hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 kepada
Menteri melalui Direktur Jenderal untuk dimasukkan dalam daftar
Pengumuman Status IUP Clear and Clean;
b. IUP atau KP yang dicabut karena tidak memenuhi kriteria administratif dan
kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (20 huruf a dan huruf
b serta hasil evaluasi sebagaiman dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan
Pasal 16;
c. Rekomendasi IUP yang memenuhi kriteria teknis dan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c dan huruf d untuk
pemberian Sertifikat IUP Clear and Clean;
d. IUP yang dikenakan sanksi administratif sebagimana dimaksud dalam Pasal
17;
e. IUP Operasi Produksi yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;
dan/atau
f. Hasil evaluasi terhadap penerbitan KP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Kemudian, Direktur Jenderal atas nama Menteri mengumumkan status IUP Clear and
Clean berdasarkan90:

89
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral……, ps. 21.
90
Ibid., ps. 22.

Universitas Indonesia
116

a. Hasil evaluasi terhadap penerbitan IUP terkait aspek administratif dan


kewilayahan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan huruf b sampai dengan Pasal 16 dan hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan
b. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a, huruf
d, dan ayat (3)
Lebih lanjut, Pasal 24 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata
Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
menyebutkan bahwa Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan Sertifikat IUP
Clear and Clean berdasarkan:
a. Hasil evaluasi terhadap penerbitan IUP terkait aspek teknis, lingkungan, dan
finansial yang dilakukan oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, dan ayat (3) serta hasil evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20; dan
b. Hasil evaluasi dari gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
huruf c dan huruf f serta evaluasi kriteria finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3).
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwasanya, jika suatu perusahaan telah
memenuhi syarat dari Izin Usaha Pertambangan tentunya IUP itu sendiri harus sudah
bersertifikat CnC, lalu berlaku sebaliknya, apabila perusahaan tersebut tidak
memenuhi syarat IUP, maka tentunya IUP tersebut tidak akan memiliki sertifikat
CnC.91


91
Prima Nugraha, Budi Gutami, dan Henny Juliani, Penerapan Status Clear…, hlm. 15.

Universitas Indonesia
117

BAB IV
ANALISIS KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PENCABUTAN IZIN
USAHA PERTAMBANGAN SETELAH BERLAKUNYAUNDANG –
UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH

A. Peralihan Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Menyelenggarakan


Urusan Pemerintahan di bidang Pertambangan
Terbitnya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
telah menghapus kewenangan bupati/walikota dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Wewenang
bupati/walikota tersebut kemudian dialihkan kepada gubernur yang diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
04.E/30/DJB/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara setelah Berlakunya Undang – Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri ESDM Nomor
43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. Dengan dilimpahkannya kewenangan tersebut, gubernur
berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata
Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara diwajibkan
untuk melakukan evaluasi terhadap dokumen perizinan yang telah diterbitkan oleh
bupati/walikota.
Kendati demikian, asas gubernur dalam menjalankan kewenangannya untuk
melakukan evaluasi terhadap dokumen – dokumen perizinan yang telah diterbitkan
oleh bupati/walikota tidak dijelaskan lebih lanjut dalam Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata
Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Asas
gubernur dalam menjalankan kewenangannya tersebut haruslah ditentukan,
mengingat daerah provinsi selain berstatus sebagai daerah otonom juga merupakan
wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat1. Apabila kewenangan gubernur dalan melakukan evaluasi terhadap

1
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN
No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5589, Ps. 4 ayat (1).

Universitas Indonesia
118

dokumen – dokumen tersebut didasari pada asas desentralisasi, maka keputusan atau
tindakan yang dilakukan haruslah didasari pada standar operasional prosedur
pembuatan keputusan dan/atau tindakan dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
Berbeda halnya jika kewenangan gubernur tersebut didasari pada asas dekonsentrasi,
maka gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat yang tidak tunduk pada
standar operasional prosedur di wilayah provinsinya. Dengan demikian, dasar dari
gubernur menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral
dan batubara merupakan hal yang substansial untuk dibahas.
Selain itu, Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara mengatur bahwa bupati/walikota memiliki wewenang untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan. Akan tetapi
kewenangan – kewenangan bupati/walikota tersebut dinyatakan tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan ketentuan Angka 2 Surat Edaran
ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015. Di sisi lain, diketahui bahwa Surat Edaran tidak
termasuk pada hierarki Peraturan Perundang – Undangan yang disebutkan dalam
Pasal 7 Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang – Undangan. Dengan demikian, legalitas Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015 dalam mencabut kewenangan bupati/walikota yang diatur dalam
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara
juga merupakan hal yang subtansial untuk dibahas.
Dalam hal peralihan kewenangan dari bupati/walikota kepada gubernur,
bupati/walikota memiliki kewajiban untuk menyerahkan dokumen – dokumen
perizinan di bidang mineral dan batubara yang telah ia terbitkan kepada Gubernur.2
Pada prakteknya, masih banyak bupati yang tidak koperatif untuk menyerahkan data
mengenai IUP di wilayahnya kepada gubernur.3 Padahal, penyerahan dokumen


2
Kewajiban Bupati/walikota untuk menyampaikan dokumen perizinan di bidang Mineral dan
Batubara kepada gubernur diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM No. 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang
berbunyi “Bupati/walikota wajib menyampaikan dokumen perizinan di bidang Mineral dan Batubara
dalam rangka penanaman modal dalam negeri dan WIUP-nya dalam 1 (satu) wilayah provinsi beserta
kelengkapannya kepada gubernur sesuai dengan ketentuan Undang – Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah”.
3
Joko Panji Sasongko, “Banyak Bupati belum serahkan Data Izin Tambang ke Gubernur”
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160830212031-12-154986/banyak-bupati-belum-
serahkan-data-izin-tambang-ke-gubernur diakses 17 Desember 2018.

Universitas Indonesia
119

perizinan tersebut merupakan hal yang penting, karena kelengkapan dokumen akan
menentukan apakah pemegang IUP telah memenuhi persyaratan administratif,
wilayah, teknis, lingkungan, dan finansial atau tidak. Tidak terpenuhinya syarat –
syarat tersebut akan berimplikasi pada diberikannya sanksi administratif berupa
pencabutan IUP. Dengan demikian, kewajiban bupati/walikota untuk menyerahkan
dokumen perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara memiliki urgensi
yang tinggi untuk dibahas. Oleh karena itu, dalam menganalisa peralihan
kewenangan urusan pemerintahan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertambangan, penulis akan memfokuskan pada 3 (tiga) hal diantaranya dasar
pemerintah daerah provinsi dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertambangan mineral dan batubara, legalitas Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015 dalam menganulir ketentuan dalam Undang - Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, dan kewajiban
bupati/walikota dalam menyerahkan dokumen perizinan pertambangan mineral dan
batubara yang telah diterbitkan.

1. Dasar Pemerintah Daerah Provinsi dalam Menyelenggarakan Urusan


Pemerintahan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara
Setelah diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, terjadi perubahan yang sangat mendasar bagi pemerintah
daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan.
Pasal 14 jo. Lampiran Bagian CC Nomor 2 Undang – Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah telah menegaskan bahwa urusan
pemerintahan di bidang pertambangan tidak lagi diberikan kepada Bupati,
melainkan hanya dapat diselenggarakan oleh Menteri ESDM dan Gubernur.
Adapun bunyi dari Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah adalah: “Penyelenggaran Urusan Pemerintahan
bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi.” Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1)
Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah tersebut
maka dapat dipahami bahwa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di

Universitas Indonesia
120

bidang energi dan sumber daya mineral, khususnya pertambangan4, kewenangan


tersebut hanya dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi.
Kemudian, Kementerian ESDM menerbitkan Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
yang merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Kedua peraturan tersebut kembali
menegaskan mengenai penghapusan kewenangan pemerintah kabupaten/kota
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral
dan batubara dan memberikan kewajiban kepada bupati/walikota untuk
menyerahkan dokumen perizinan yang telah ia terbitkan dan diikuti dengan
kewajiban gubernur untuk mengevaluasi perizinan tersebut. Selain itu, angka 2
Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 mengatur bahwa kewenangan
bupati/walikota yang diatur dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara maupun peraturan pelaksananya tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian, angka 3 Surat Edaran ESDM
Nomor 04.E/30/DJB/2015 juga mengatur bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang semula dimiliki
oleh Bupati/Walikota dilimpahkan kepada gubernur. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa selain kewenangan – kewenangan gubernur yang sudah diatur
dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara, gubernur juga memiliki kewenangan – kewenangan yang semula
dimiliki oleh bupati/walikota.
Selain itu, dalam hal klasifikasi urusan pemerintahan5, urusan energi dan sumber
daya mineral terklasifikasi sebagai urusan pemerintahan konkuren yang bersifat


4
Pasal 14 ayat (3) dan (4) Undang - Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
mengecualikan urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan
pengelolaan minyak dan gas bumi hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang berkaitan
dengan panas bumi menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota. Untuk urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan pertambangan haya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.
5
Pasal 9 Undang – Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan
Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan
urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintahan Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan
pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
(urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi

Universitas Indonesia
121

pilihan6. Lebih lengkapnya, Pasal 12 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014


Tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa urusan pemerintahan konkuren
terdiri dari:
a. Urusan pemerintahan wajib, yang terdiri dari:
1. Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar;
2. Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
b. Urusan pemerintahan pilihan, yang meliputi:
1. Kelautan dan perikanan;
2. Pariwisata;
3. Pertanian;
4. Kehutanan;
5. Energi dan sumber daya mineral;
6. Perdagangan;
7. Perindustrian; dan
8. Transmigrasi
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa urusan energi dan sumber daya mineral,
khususnya pertambangan, terklasifikasi sebagai urusan pemerintahan konkuren
yang bersifat pilihan. Menurut Pasal 9 ayat (3) Undang – Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan konkuren adalah urusan
pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota. Maka, dalam urusan energi dan sumber daya mineral
kewenangannya telah terbagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi. Untuk kewenangan pemerintah pusat dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan konkuren, Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa:

Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat


diselenggarakan:
a. Sendiri oleh Pemerintah Pusat;

daerah). Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Preseiden sebagai kepala pemerintahan.
6
Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh
Daerah (Daerah Otonom) sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh Daerah (Indonesia, Undang –
Undang tentang Pemerintahan Daerah....., ps. 1 angka 15).

Universitas Indonesia
122

b. Dengan cara melimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah


Pusat atau kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah berdasarkan asas
Dekonsentrasi; atau
c. Dengan cara menugasi Daerah berdasarkan asas Tugas Pembantuan.7

ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah tersebut mengatur bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintah konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dimungkinkan
untuk dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil dari Pemerintah Pusat. Apabila
dikaitkan dalam kegiatan pertambangan maka dapat dipahami bahwa Kementerian
ESDM selaku pemerintah pusat dapat melimpahkan urusan yang menjadi
wewenangnya kepada pemerintah provinsi berdasarkan asas dekonsentrasi.
Di sisi lain, urusan pertambangan merupakan urusan pemerintahan konkuren
yang secara bersamaan telah menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah
daerah provinsi dan menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah di provinsi
tersebut. Lebih lanjut dalam regulasi di sektor pertambangan mineral dan batubara
sendiri, Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
Dan Batubara telah memberikan kewenangan secara atribusi8 kepada gubernur
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan.9 Oleh
karena itu, Gubernur dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertambangan mineral dan batubara seperti penerbitan dan pencabutan IUP
merupakan tugas otonomi daerah yang merupakan kewenangan dirinya sendiri
yang melekat berdasarkan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.10


7
Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah....., ps. 19 ayat (1).
8
Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badna dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang – Undang (Indonesia,
Undang – Undang tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292 Tahun
2014, TLN No. 5601, ps. 1 angka 22)
9
Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara
diatur di dalam Pasal 7 Undang – Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara diantaranya kewenangan untuk a) pembuatan peraturan perundang – undangan daerah, b)
pemberian IUP...

10
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.

Universitas Indonesia
123

Perlu diketahui bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi


seluas – luasnya, yang artinya daerah diberikan kewenangan membuat kebijakan
daerah, untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan
rakyat.11 Salah satu contoh dari pelaksanaan otonomi daerah oleh gubernur dalam
sektor pertambangan mineral dan batubara adalah kewenangannya untuk mencabut
IUP12, dimana pencabutan IUP itu dilakukan dengan penerbitan surat keputusan
gubernur. Surat keputusan yang dimaksud dalam hal ini adalah surat keputusan
administrasi negara selaku pejabat administrasi negara yang mempunyai efek
langsung karena keputusan administrasi negara (administrative beschikking)
bersifat individual, kasual, dan konkrit.13 Surat keputusan tersebut haruslah bersifat
individual, kasual, dan konkrit karena surat keputusan itu ditujukan kepada satu
pemegang IUP yang memenuhi kualifikasi untuk dicabut IUP-nya. Oleh karena itu,
dalam menerbitkan surat keputusan dalam rangka menyelenggarakan urusan
pemerintahan di sektor mineral dan batubara, gubernur juga harus mengindahkan
ketentuan dalam Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemrintahan. Adapun yang dimaksud dengan keputusan menurut Undang -
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemrintahan adalah:

Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata


Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut
Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.14


11
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), hlm. 8.

12
Kewenangan gubernur untuk mencabut IUP diatur di dalam Pasal 119 UU No. 4 Tahun
2009 yang berbunyi “IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya apabila: a) Pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang
ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang – undangan, b) pemegang IUP atau
IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang ini, atau c)
pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.”.
13
Prayudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, cet. 10 (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1995), hlm. 88 yang dikutip dalam Tri Hayati, “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi
Pemerintahan Daerah Studi Tentang Perizinan Pertambangan Timah di Pulau Bangka”, (Disertasi
Doktor Universitas Indonesia, Jakarta 2011), hlm. 44.
14
Indonesia, Undang – Undang tentang Administrasi..., ps. 1 angka 7.

Universitas Indonesia
124

Jika ketentuan pada Pasal 1 angka 7 Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemrintahan tersebut dikaitkan dengan kewenangan
gubernur untuk mencabut IUP melalui surat keputusan maka dapat dipahami
bahwa surat keputusan yang diterbitkan oleh gubernur dalam hal mencabut IUP
tersebut adalah surat keputusan yang dikategorikan sebagai keputusan tata usaha
negara dan juga keputusan administrasi negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemrintahan.
Terhadap kewenangan untuk menerbitkan surat keputusan, Pasal 7 ayat (2)
huruf h jo. Pasal 49 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah mewajibkan pejabat pemerintahan (dalam hal ini gubernur)
untuk menyusun dan melaksanakan pedoman umum standar operasional prosedur
pembuatan keputusan. Standar operasional prosedur tersebut menjadi pedoman
umum bagi pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan dan wajib
diumumkan kepada publik melalui media cetak, media elektronik dan media
lainnya.15 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Gubernur dalam
menerbitkan surat keputusan dalam rangka menyelenggarakan urusan
pemerintahan di sektor pertambangan harus didasari pada standar operasional
prosedur pembuatan keputusan yang berlaku di daerah otonomnya.
Dalam kasus yang penulis angkat diketahui bahwa gubernur melakukan
pencabutan IUP suatu perusahaan dimana IUP tersebut sebelumnya diterbitkan
oleh bupati. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, diketahui bahwa gubernur
bertindak sebagai kepala daerah dalam menyelenggarakan urusan di sektor
pertambangan mineral dan batubara, sehingga setiap tindakan ataupun keputusan
yang ia lakukan harus didasari oleh peraturan daerah mengenai standar operasional
prosedur di daerah otonomnya. Akan tetapi, pada kasus ini, Gubernur tidak
mendasari surat keputusan pencabutan IUP-nya pada peraturan daerah tetang
standar operasional prosedur penerbitan keputusan di wilayahnya.
Pada surat keputusannya, Gubernur menyebutkan Peraturan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 4 tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kewenangan pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

15
Ibid., ps. 49 ayat (2) dan (3).

Universitas Indonesia
125

Provinsi Kalimantan Selatan sebagai salah satu landasan diterbitkannya surat


keputusan pencabutan IUP. Adapun Pasal 7 Peraturan Gubernur Kalimantan
Selatan Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan pada
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kalimantan
Selatan berbunyi sebagai berikut:

Terhadap Keputusan Gubernur tentang Perizinan dan Nonperizinan pada Dinas


Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, dikecualikan dari
ketentuan dalam Peraturan Gubernur Nomor. 63 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pembentukan Produk Hukum Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 7 Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan


Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan pada Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kalimantan Selatan
tersebut dapat diketahui bahwa dalam kasus yang diangkat oleh penulis, Gubernur
Kalimantan Selatan menganggap bahwa sektor pertambangan mineral dan
batubara termasuk dalam ranah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu sehingga penyelenggaraannya tidak perlu tunduk pada peraturan
gubernur tentang pedoman pembentukan produk hukum di daerahnya. Padahal,
jika merujuk pada ketentuan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun
2015 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal jo. Surat
Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 60/0523/DPMPTSP/2018 tentang Standar
Pelayanan pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Provinsi Kalimantan Selatan, kewenangan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu hanya sebatas pemberian IUP bukan untuk pencabutan IUP.
Dengan demikian diketahui bahwa pencabutan IUP merupakan kewenangan dari
gubernur yang seharusnya penerbitan surat keputusan pencabutan IUP-nya harus
didasarkan pada peraturan daerah di daerah otonomnya.
Oleh karena dalam kasus yang penulis angkat Gubernur tidak mendasari surat
keputusan pencabutan IUP-nya pada peraturan daerah tentang pedoman
pembentukan produk hukum daerah di daerahnya maka timbul kemungkinan

Universitas Indonesia
126

bahwa kewenangan baru yang dimiliki gubernur untuk mengevaluasi IUP – IUP
yang diterbitkan oleh bupati merupakan kewenangan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat.16 Apabila kewenangan gubernur tersebut didasari pada asas
dekonsentrasi dimana ia bertindak sebagai wakil pemerintah pusat bukan sebagai
kepala daerah maka perlu dipahami bahwa gubernur hanya bertidak sebagai
pelaksana (mengurus; menerbitkan beschiking atau keputusan saja) yang
pelaksanannya diawasi, dibina dan dievaluasi oleh Pusat (dalam hal ini
Kementerian ESDM).17 Adapun dalam regulasi di sektor pertambangan,
kewenangan gubernur untuk mencabut IUP yang telah diterbitkan oleh bupati
dilahirkan melalui kebijakan yang dibuat oleh pusat yakni Kementerian ESDM
melalui Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang diikuti dengan Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 dan Permen
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam Surat Edaran
ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara tidak disinggung mengenai dasar gubernur dalam menjalankan
kewenangan barunya yang merupakan peralihan kewenangan dari bupati/walikota.
Seharusnya, dengan adanya pelimpahan kewenangan tersebut, Gubernur membuat
peraturan daerah baru untuk mengatur mengenai kewenangan – kewenangan yang
baru dimilikinya apabila asas dari kewenangan tersebut dipahami berasal dari asas
desentralisasi.
Sebagaimana diketahui, dalam hukum administrasi negara terkandung dua
aspek, pertama yaitu aturan – aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana


16
Daerah Provinsi selain berstatus sebagai daerah otonom juga merupakan wilayah
administratif yang menjadi wilayah kerja bagi gubernur sebagai wakil Pemerintah pusat dan wilayah
kerja bagi gubernur dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umumdi wilayah Daerah provinsi.
(Indonesia, Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244
Tahun 2014, TLN No. 5589, Ps. 4 ayat (1).
17
Operasionalisasi kewenangan dari dekonsentrasi adalah keweanangan dilaksanakan secara
tersebar di seluruh Indonesia oleh lembaga pemerintah pusat di pusat dan di daerah (lembaga pusat
yang terletak/berkedudukan di daerah). Kebijakan dilakukan oleh pusat, pengaturan dilaksanakan oleh
Pusat, sedangkan lembaga pusat di Daerah hanya sebagai pelaksana (mengurus; menerbitkan
beschiking/keputusan saja), dilaksanakan, diawasi, dibina dan dievaluasi oleh Pusat, untuk semua
wilayah Indonesia berlaku untuk semua masyarakat dan privat sektor. (Harsanto Nursadi, Hukum
Administrasi Negara Sektoral (Depok, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016),
hlm. 12).

Universitas Indonesia
127

alat – alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya, kedua yaitu aturan – aturan
hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtbetreking) antara alat perlengkapan
administrasi Negara atau pemerintah dengan warganya.18 Dalam hal pengaturan
mengenai bagaimana alat – alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya,
pemerintahan daerah memiliki wewenang untuk peraturan daerah.19 Dalam
peraturan daerah tersebut haruslah mencakup pengaturan mengenai kewenangan,
kelembagaan, sumber daya manusia, keuangan/aset, dan pengawasan yang
kemudian dijadikan sebagai dasar pemerintah daerah melakukan tugas –
tugasnya.20 Apabila dikaitkan dengan kewenangan yang baru dilimpahkan kepada
pemerintah provinsi terkait dengan dicabutnya kewenangan bupati dalam sektor
pertambangan, maka agar gubernur dapat menjalankan kewenangan barunya
tersebut gubernur harus terlebih dahulu membentuk peraturan daerah terkait
dengan kewenangan barunya tersebut. Dalam kasus yang penulis angkat dalam
tulisan ini, diketahui bahwa Gubernur Kalimantan Selatan tidak membentuk
produk hukum baru terkait dengan peralihan kewenangan yang baru dimilikinya
berdasarkan Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 dan Peraturan Menteri
ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Meskipun diketahui adanya Peraturan
Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, namun pada peraturan daerah tersebut tidak mencakup
kewenangan yang baru dimiliki oleh gubernur berdasarkan Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Surat Edaran ESDM No.
04.E/30/DJB/2015. Telebih lagi, Gubernur Kalimantan Selatan tersebut juga tidak
mendasari surat keputusan pencabutan IUP-nya pada Peraturan Daerah Provinsi


18
Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 37 yang
dikutip dalam Harsanto Nursadi, Hukum Administrasi Negara..., hlm. 13.
19
Kewenangan pemerintahan daerah untuk membentuk peraturan daerah diatur dalam Pasal
18 ayat (6) Undang – Undang 1945 yang berbunyi “Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan – peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”.

20
Cakupan hukum yang mengatur hukum administrasi negara meliputi kewenangan,
kelembagaan, sumber daya manusia, keuangan/aset, dan pengawasan. Adapun kewenangan mengatur
(regeling) pemerintah daerah melalui peraturan daerah sama halnya dengan kewenangan mengatur
negara (lembaga legislative) dan administrasi negara/pemerintah pusat, hanya saja materi muatan dan
daya jangkau peraturan daerah hanya seluas areal daerahnya (Harsanto Nursadi, Hukum Administrasi
Negara..., hlm. 13 – 26).

Universitas Indonesia
128

Kalimantan Selatan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara tersebut. Ketiadaan peraturan daerah tersebut menimbulkan
kemungkinan bahwa kewenangan gubernur dalam melakukan evaluasi terhadap
dokumen – dokumen IUP yang diterbitkan oleh Bupati didasari pada asas
dekonsentrasi.
Di sisi lain, Bapak Heriyanto selaku Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menyatakan bahwa meskipun gubernur
disamping ia memiliki otonomi daerah juga dimungkinkan untuk diserahkan tugas
dekonsentrasi yang kemudian disediakan dana untuk melaksanakan
21
dekonsentrasinya. Akan tetapi, menurut Bapak Heriyanto, hingga saat ini belum
ada kewenangan yang diserahkan kepada gubernur berdasarkan asas
dekonsentrasi.22 Pada dasarnya, diketahui bahwa dalam Undang – Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah ditentukan bahwa sektor
pertambangan termasuk urusan pemerintahan konkuren dan gubernur juga telah
mendapatkan wewenang atributif dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara artinya penyelenggaraan tugas
gubernur didasari pada asas desentralisasi. Akan tetapi, sepanjang gubernur
menerbitkan surat keputusan pencabutan IUP dalam rangka melakukan evaluasi
terhadap IUP yang diterbitkan oleh bupati tidak didasari pada peraturan daerah
tentang pedoman pembentukan produk hukum daerah di daerahnya maka dapat
ditafsirkan bahwa tindakan yang dilakukan gubernur tersebut hanya sebagai wakil
dari Pemerintah Pusat.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara normatif
kewenangan gubernur dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
sektor pertambangan mineral dan batubara didasari pada asas desentralisasi yang
kemudian melahirkan otonomi daerah di wilayahnya. Akan tetapi,
penyelenggaraan segala kewenangan gubernur tersebut haruslah berpedoman pada
peraturan daerah di daerah otonomnya. Tidak didasarinya tindakan maupun
keputusan gubernur pada peraturan daerah di daerahnya akan menimbulkan


21
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.

22
Ibid.

Universitas Indonesia
129

penafsiran bahwa kewenangan gubernur tersebut didasari pada asas dekonsentrasi


dimana gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat, bukan kepala daerah.
Dengan demikian, seharusnya pada kasus yang penulis angkat, gubernur
Kalimantan Selatan mendasari surat keputusan pencabutan IUP-nya pada peraturan
daerah tentang pedoman pembentukan produk hukum daerah di lingkungan
pemerintah provinsi Kalimantan Selatan.

2. Legalitas Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral No.
04.E/30/DJB/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara setelah Berlakunya Undang – Undang
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Terbitnya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah telah memberikan dampak yang signifikan terutama dalam sektor
pertambangan. Pasalnya, Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah telah menghapus kewenangan bupati/walikota dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor pertambangan sebagimana
diatur dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral Dan Batubara. Sebelum adanya penghapusan kewenangan pemerintah
kabupaten/kota yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, semula bupati/walikota memiliki wewenang yang
cukup besar dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di sektor pertambangan
seperti pembuatan peraturan perundang – undangan daerah, pemberian dan
pencabutan IUP apabila WIUP-nya berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota.23
Akan tetapi, kewenangan bupati/walikota untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertambangan sebagaimana diatur di dalam Undang -
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara tidak


23
Kewenangan bupati/walikota untuk membuat peraturan perundang – undangan daerah dan
memberikan IUP diatur di dalam Pasal 8 huruf a dan b UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara yang berbunyi “Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara antara lain adalah a) pembuatan peraturan perundang –
undangan daerah, b) pemberian IUP....”. Kewenangan bupati/walikota untuk mencabut IUP diatur di
dalam Pasal 119 UU No. 4 Tahun 2009 yang berbunyi “IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila: a) Pemegang IUP atau IUPK
tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang –
undangan, b) pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang – Undang ini, atau c) pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.”.

Universitas Indonesia
130

lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan diterbitkannya Surat Edaran


ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015. Angka 2 Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015 menyatakan bahwa:

Dengan berlakunya Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah, maka pasal – pasal dalam Undang - Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara beserta peraturan
pelaksananya yang mengatur kewenangan Bupati/Walikota tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.

Ketentuan tersebut telah secara tegas mencabut kewenangan – kewenangan


bupati/walikota yang terdapat di Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara maupun pada peraturan pelaksana lainnya.
Setelah 8 (delapan) bulan Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 berlaku,
kemudian pada tanggal 30 Desember 2015 Pemerintah menerbitkan Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengatur mengenai tata cara
Menteri dan gubernur sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan evaluasi
terhadap dokumen – dokumen perizinan yang diterbitkan oleh bupati/walikota.
Dalam hal ini perlu dikaji lebih lanjut mengenai kedudukan surat edaran yang
diterbitkan oleh Kementerian ESDM dalam menganulir ketentuan dalam Undang
- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Pada
dasarnya, surat edaran tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang –
undangan24 sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan.25 Prof.
Maria selaku Guru Besar Ilmu Perundang – Undangan Universitas Indonesia
menyatakan bahwa surat edaran tidak termasuk dalam kategori peraturan


24
Peraturan perundang – undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang – undangan. (Indonesia, Undang –
Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82
Tahun 2011, TLN No. 5234, ps. 1 angka 2)
25
Jenis dan hierarki peraturan perundang – undangan terdiri atas: a) Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, b) Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat, c) Undang –
Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undnag – Undang, d) Peraturan Pemerintah, e) Peraturan
Presiden, f) Peraturan Daerah Provinsi, dan g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (Indonesia, Undang
– Undang tentang Pembentukan Peraturan...., ps. 7 ayat (1))

Universitas Indonesia
131

perundang – undangan dimana sifatnya hanya untuk kalangan intern.26 Lebih


lanjut, menurut Prof. Maria, dari segi muatan biasanya sebuah surat edaran
menjelaskan atau membuat prosedur untuk mempermudah, atau memperjelas
peraturan yang mesti dilaksanakan maka surat edaran tersebut tidak boleh
menabrak Undang – Undang, Peraturan pemerintah atau Peraturan Presiden.27
Menurut Wila Chandrawila selaku Anggota Komisi III DPR, semestinya surat
edaran tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang kedudukan dan
hierarkisnya lebih tinggi, apalagi sampai meniadakan.28 Sebagaimana diketahui
keberadaan Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 dalam rangka
menindaklanjuti Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah telah menabrak ketentuan yang terdapat di dalam Undang - Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, padahal berdasarkan
penjelasan sebelumnya diketahui bahwa surat edaran seharusnya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang kedudukan hierarkisnya lebih tinggi.
Jika dikaji dari sisi hukum administrasi negara, keberadaan peraturan kebijakan
(yang dalam hal ini dikaitkan dengan diterbitkannya surat edaran) merupakan
konsekuensi dari kewenangan bebas yang dimiliki oleh pemerintah (diskresi).29
Peraturan kebijakan tidak lain dari penggunaan diskresi dalam wujud tertulis.30
Pasal 6 ayat (2) huruf e Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan menyebutkan salah satu hak dari pejabat pemerintahan
adalah menggunakan diskresi31 sesuai dengan tujuannya. Lebih lanjut, ketentuan


26
“Surat Edaran Bukan Peraturan Perundang – Undangan”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18765/surat-edaran-bukan-peraturan-
perundangundangan diakses 4 Januari 2019.
27
Ibid.
28
Ibid.

29
Sadhu Bagas Suratno, Pembentukan Peraturan Kebijakan berdasarkan Asas – Asas
Umum Pemerintahan yang Baik, E-Journal Lentera Hukum Vol. 3, Issue 3 (2017), hlm. 167.

30
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Gadjah Mada University
Press, 1993), hlm. 152 yang dikutip dalam Sadhu Bagas Suratno, Pembentukan Peraturan Kebijakan
berdasarkan Asas – Asas Umum...., hlm. 167.

31
Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan dalam hal peraturan perundang – undangan yang memberikan pilihan, tidak
mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan (Indonesia, Undang –
Undang tentang Administrasi...., ps. 1 angka 9).

Universitas Indonesia
132

mengenai diskresi diatur dalam Bab VI Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan dimana Pasal 22 ayat (2) Undang – Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menentukan tujuan dari
diskresi antara lain untuk:
a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. Mengisi kekosongan hukum;
c. Memberi kepastian hukum;
d. Mengatasi stagnasi pemerintahan32 dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum
Jika dikaitkan dengan Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015, diketahui
bahwa surat edaran tersebut dirterbitkan dalam rangka melaksanakan ketentuan
pasal – pasal dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang menghapus kewenangan bupati/walikota dalam sektor
pertambangan. Meskipun surat edaran itu sendiri tidak termasuk dalam hierarki
peraturan perundang – undangan namun Kementerian ESDM selaku badan
pemerintahan memiliki wewenang untuk menerbitkan diskresi33 atau yang Philipus
M. Hadjon sebut sebagai peraturan kebijakan.34 Selain itu, dipahami bahwa
terbitnya Surat Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 telah melancarkan
penyelenggaraan pemerintahan khsusunya di sektor pertambangan mineral dan
batubara karena telah memberikan kepastian hukum yang sekaligus mengisi
kekosongan hukum setelah diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian Surat Edaran ESDM
Nomor 04.E/30/DJB/2015 telah memenuji tujuan – tujuan dari diskresi yang diatur


32
Stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai
kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya: keadaan alam atau gejolak
politik (Indonesia, Undang – Undang tentang Administrasi...., Penjelasan Pasal 22 ayat (2) huruf d).
33
Kementerian ESDM selaku badan pemerintahan memiliki wewenang untuk menerbitkan
diskresi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang – Undang No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan yang berbunyi “Pejabat pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan
Diskresi sesuai dengan tujuannya.”.
34
Philipus M. Hadjon menyatakan produk semacam peraturan kebijaksanaan tidak terlepas
dari kaitan penggunaan freies ermessen, yaitu, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan
merumuskan kebijaksanannya itu di dalam pelbagai bentuk “juridische regels”, seperti halnya
peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran dan mengumumkan kebijaksanaan itu (Philipus M.
Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi...., hlm. 152.)

Universitas Indonesia
133

di dalam Pasal 22 ayat (2) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.
Kendati demikian, memang pada idealnya ketentuan dalam Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menghapus
kewenangan bupati/walikota dalam sektor pertambangan diikuti dengan
penyesuaian dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral Dan Batubara. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa peralihan
kewenangan ini memiliki urgensi yang tinggi dan untuk merevisi suatu undang –
undang dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Bapak Heriyanto selaku Kepala
Bagian Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM
menyatakan bahwa pada saat Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah diterbitkan, Kementerian ESDM telah menyampaikan
adanya problem pada undang – undang tersebut dimana pada Undang - Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara masih diatur
mengenai kewenangan bupati/walikota.35 Akan tetapi, perlu diperhatikan
ketentuan Pasal 407 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa “Pada saat Undang – Undang ini
mulai berlaku, semua peraturan perundang –undangan yang berkaitan secara
langsung dengan Daerah wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya
pada Undang – Undang ini.” Berdasarkan ketentuan pada Pasal 407 Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka dipahami
bahwa tanpa dilakukannya perubahan pada Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, secara normatif bupati/walikota
sudah tidak lagi memiliki wewenang dalam sektor pertambangan mineral dan
batubara.36 Akan tetapi, lebih lanjut menurut Bapak Heriyanto, saat ini revisi
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara sudah dalam proses.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa meskipun surat
edaran tidak termasuk dalam peraturan perundang – undangan, tetapi pengaturan


35
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.

36
Ibid.

Universitas Indonesia
134

mengenai peralihan kewenangan dari bupati/walikota ke gubernur dalam sektor


pertambangan mineral dan batubara berdasarkan Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memiliki urgensi tinggi dalam
pelaksanaan urusan pemerintah terutama di pemerintah daerah provinsi. Selain itu,
apabila Kementerian ESDM tidak menerbitkan Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015 maka dapat menimbulkan ketidakpastian dan kekosongan
hukum yang juga akan menghambat penyelenggaraan pemerintahan di sektor
pertambangan di daerah. Terlebih lagi, Kementerian ESDM memang memiliki
kewenangan untuk menggunakan diskresi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat
(2) huruf e Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Akan tetapi, memang seharusnya pengaturan dalam Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mencabut kewenangan
bupati/walikota tersebut diikuti dengan penyesuaian dalam Undang - Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Dalam hal ini
pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, telah berupaya menanggulangi
permasalahan ini dengan melakukan revisi Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara yang saat ini masih berjalan.

3. Kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk Menyerahkan


Dokumen Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan batubara
Dengan dicabutnya kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor mineral dan batubara telah
melahirkan kewajiban pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyerahkan
dokumen – dokumen perizinan terhadap IUP yang telah ia terbitkan. Kewajiban
pemerintah daerah kabupaten/kota tersebut diatur di dalam 2 ayat (1) Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan yang berbunyi:

Bupati/walikota wajib menyampaikan dokumen perizinan di bidang Mineral


dan Batubara dalam rangka penanaman modal dalam negeri dan WIUP-nya
dalam 1 (satu) wilaya provinsi beserta kelengkapannya kepada gubernur
sesuai dengan ketentuan undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah

Universitas Indonesia
135

Lebih lanjut, Pasal 402 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menentukan bahwa terhadap Izin yang telah dikeluarkan
sebelum berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dipahami bahwa terhadap izin – izin
di bidang pertambangan yang telah diterbitkan oleh bupati/walikota sebelum
adanya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
tetap berlaku, hanya saja izin – izin tersebut harus dilakukan evaluasi oleh Menteri
atau gubernur sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan. Adapun bunyi dari Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan bahwa: “Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya
melakukan evaluasi terhadap dokumen perizinan di bidang Pertambangan Mineral
dan Batubara beserta kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3.”
Lebih lanjut Pasal 5 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan mengatur bahwa
evaluasi IUP dilakukan terhadap dua hal yaitu terhadap penyesuaian IUP dari
Kuasa Pertambangan dan terhadap Kuasa Pertambangan yang belum berakhir
jangka waktunya tetapi belum menjadi IUP. Evaluasi tersebut didasarkan pada
kriteria administratif, kewilayahan, teknis, lingkungan, dan finansial.37 Apabila
setelah dilakukan evaluasi diketahui IUP tersebut tidak memenuhi kriteria yang
ditentukan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis,
penghentian sementara kegiatan usaha, dan pencabutan IUP.
Sebaliknya, menurut Pasal 21 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan apabila IUP

37
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM No. 43 Tahun
2015, ps. 5 ayat (2).

Universitas Indonesia
136

telah memenuhi seluruh syarat yang ditentukan, maka gubernur menyampaikan


hasil evaluasi terhadap penerbitan IUP tersebut kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal dengan merekomendasikan IUP tersebut untuk mendapatkan sertifikat
IUP clear and clean. Kemudian, Pasal 22 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43
Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan
menentukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, Direktur
Jenderal atas nama Menteri mengumumkan status IUP clear and clean dan
memberikan sertifikat IUP clear and clean. Dengan demikian, dengan
diterbitkannya Sertifikat clear and clean oleh Direktur Jenderal maka secara
normatif dapat dikatakan bahwa IUP tersebut telah memenuhi kriteria
administratif, kewilayahan, teknis, lingkungan, dan finansial.
Tentunya pengaturan di Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015
tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan merupakan
maksud baik dari Pemerintah untuk memastikan IUP – IUP yang telah diterbitkan
oleh bupati/walikota telah sesuai dengan proses atau mekanisme penerbitannya.
Akan tetapi, upaya evaluasi yang dilakukan oleh gubernur tidak dapat serta merta
dilakukan tanpa adanya koordinasi yang baik dengan bupati/walikota selaku pihak
yang sebelumnya menerbitkan IUP – IUP di wilayahnya. Pada prakteknya, masih
banyak bupati yang tidak koperatif untuk menyerahkan data mengenai IUP di
wilayahnya kepada gubernur.38 Kendati dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor
43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan
telah dilakukan upaya berupa adanya berita acara serah terima dokumen perizinan
dari bupati/walikota ke gubernur, namun ketentuan ini tidak diikuti dengan sanksi
apabila bupati/walikota tidak memenuhinya. Padahal dengan adanya ancaman
sanksi bagi bupati/walikota apabila tidak menyerahkan dokumen – dokumen
terkait IUP maka akan dapat meminimalisir kelalaian bupati.
Disamping itu, ketidak-koperatifannya bupati/walikota dalam menyerahkan
dokumen – dokumen terkait IUP tentu akan berpengaruh bagi pemegang IUP,
dimana gubernur dapat berasumsi bahwa terdapat beberapa kriteria yang tidak


38
Joko Panji Sasongko, “Banyak Bupati Belum Serahkan Data Izin Tambang ke Gubernur”
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160830212031-12-154986/banyak-bupati-belum-
serahkan-data-izin-tambang-ke-gubernur diakses 17 Desember 2018.

Universitas Indonesia
137

dipenuhi oleh pemegang IUP, padahal pemegang IUP telah memenuhi kriteria
tersebut, hanya saja bupati/walikota yang memiliki dokumen tersebut tidak
menyerahkannya kepada gubernur. Contohnya, terkait dengan kriteria lingkungan
sebagaimana disyaratkan dalam melakukan evaluasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan, apabila bupati/walikota
tidak menyerahkan izin lingkungan terkait dengan IUP Operasi Produksi yang
telah ia terbitkan kepada gubernur, maka dapat berimplikasi pada tidak
terpenuhinya kriteria lingkungan terhadap IUP tersebut. Oleh karena dianggap
tidak memenuhi kriteria lingkungan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan, maka gubernur berdasarkan Pasal 18
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan dapat memberikan sanksi administratif
berupa pencabutan IUP Operasi Produksi tersebut.
Menurut Bapak Heriyanto selaku Kepala Bagian Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, upaya yang dapat dilakukan oleh
gubernur apabila bupati/walikota tidak menyerahkan dokumen – dokumen izin
dalam sektor pertambangan adalah melaporkan bupati/walikota tersebut kepada
Menteri Dalam Negeri.39 Dengan gubernur melaporkan bupati/walikota kepada
Menteri Dalam Negeri, Menteri dalam Negeri dapat memberikan teguran kepada
bupati/walikota yang bersangkutan. Selaras dengan hal tersebut, Pasal 350 ayat
(5) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
memungkinkan gubernur untuk memberikan teguran tertulis kepada
bupati/walikota dalam hal kepala daerah (bupati) tidak memberikan pelayanan
perizinan. Maka dalam hal ini diketahui bahwa apabila gubernur tidak kunjung
menerima dokumen – dokumen IUP yang seharusnya ia evaluasi dari
bupati/walikota, maka gubernur tersebut dapat memberikan teguran kepada
bupati/walikota yang bersangkutan untuk menyerahkan dokumen tersebut.


39
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.

Universitas Indonesia
138

Selain itu, Kementerian ESDM juga telah menerbitkan surat edaran dimana
gubernur juga dapat membuka penerimaan dokumen langsung dari perusahaan –
perusahaan.40 Surat edaran tersebut disampaikan kepada seluruh gubernur dan
bupati bahwa apabila gubernur belum menerima dokumen – dokumen IUP,
gubernur dapat memberikan pengumuman bahwa seluruh perusahaan yang berada
di wilayah provinsi tersebut mendaftarkan kembali izinnya dengan melampirkan
dokumen – dokumen yang ada. Surat edaran tersebut dimaksudkan sebagai
alternatif apabila bupati tidak melakukan kewajibannya.
Akan tetapi diketahui bahwa terkait dimungkinkannya gubernur untuk
meminta dokumen – dokumen IUP langsung kepada pemegang IUP tidak
menjadikan Pemegang IUP memiliki kewajiban untuk memberikan dokumen –
dokumen yang telah dimiliki kepada gubernur. Apabila pemegang IUP tidak
menyerahkan dokumen – dokumen terkait perizinannya, gubernur tidak dapat
memberikan sanksi apapun kepada pemegang IUP sebab kewajiban untuk
menyerahkan dokumen tersebut merupakan kewajiban dari bupati/walikota. Oleh
karena itu, meskipun gubernur juga telah melakukan upaya untuk meminta
dokumen – dokumen IUP kepada pemegang IUP dalam rangka melakukan
evaluasi, pemegang IUP tidak berkewajiban untuk menyerahkan dokumen –
dokumen tersebut kepada gubernur. Selain itu, dimungkinkan juga gubernur tidak
proaktif untuk melaporkan bupati/walikota yang tidak menyerahkan dokumen –
dokumen IUP kepada Menteri Dalam Negeri. Ketiadaan sikap proaktif tersebut
tentunya akan berimplikasi pada kerugian pemegang IUP karena dianggap tidak
memenuhi persyaratan. Dengan demikian, untuk dapat memaksimalkan upaya
evaluasi dokumen – dokumen IUP sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan seharusnya bupati/walikota dapat dikenakan sanksi yang
diatur dalam sektor pertambangan mineral dan batubara apabila tidak kooperatif
dalam menyerahkan dokumen – dokumen IUP yang telah ia terbitkan.


40
Ibid.

Universitas Indonesia
139

B. Analisis Terhadap Persyaratan Pencabutan Izin Usaha Pertambangan


Operasi Produksi
Pada dasarnya pencabutan IUP merupakan salah satu kemungkinan
berakhirnya IUP selain karena dikembalikan atau karena habis masa berlakunya.41
Untuk dapat mencabut IUP (baik IUP Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi),
diperlukan adanya proses tahapan, yaitu:
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara sebagian atua seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi
produksi; dan/atau
c. Pencabutan IUP
Bertentangan dengan ketiga tahapan tersebut, Undang - Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara dan Peraturan Menteri ESDM
Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara memberi adanya kemungkinan – kemungkinan kondisi dimana IUP dapat
langsung dicabut tanpa adanya tahapan tertentu. Pasal 119 Undang - Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara memungkinkan
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya untuk mencabut IUP apabila:
a. Pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP;
b. Pemegang IUP melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara;
c. Pemegang IUP dinyatakan pailit.
Selain ketiga kondisi tersebut, Menteri atau gubernur masih dimungkinkan untuk
mencabut IUP tanpa adanya tahapan – tahapan tertentu menurut “kondisi tertentu”
yang terdapat di dalam Pasal 42 Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017
tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun
sayangnya elaborasi terhadap frasa “kondisi tertentu” dalam Peraturan Menteri
ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral
dan Batubara tidak ditemukan dalam peraturan menteri ESDM itu sendiri.
Ketiadaan penjelasan “kondisi tertentu” dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 34


41
IUP dapat berakhir karena: a) dikembalikan, b) dicabut atau c) habis masa berlakunya
(Indonesia, Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4 Tahun 2009,
LN No. 4 Tahun 2009, TLN No. 4959, ps. 117).

Universitas Indonesia
140

Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara


tentunya berpotensi menimbulkan masalah – masalah dalam kegiatan
pertambangan. Contohnya, dalam hal pemegang IUP telah memenuhi semua
kewajibannya, tidak dipidana dan juga tidak pailit, Menteri atau gubernur sesuai
dengan kewenangannya dimungkinkan mencabut IUP tersebut atas dasar “kondisi
tertentu” yang ditafsirkan sendiri. Tentunya hal ini akan sangat merugikan
pemegang IUP yang telah menaati semua ketentuan dalam regulasi di bidang
pertambangan.
Kemudian pada taggal 21 Februari 2018, Pemerintah menerbitkan Peraturan
Menteri ESDM Nmor. 22 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan,
dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Adapun
terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara mencabut keberlakuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 34
Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara 18 terbit dengan memberikan kepastian hukum mengenai frasa “kondisi
tertentu” yang semula tidak ditemukan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 34
Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal
99 Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara menentukan bahwa Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya
dapat memberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin tanpa melalui
tahapan pemberian sanksi administratif berupa teguran tertulis dan penghentian
sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha dalam kondisi tertentu berkaitan
dengan:
a. Pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pemegang IUP berdasarkan
putusan pengadilan;
b. Hasil evaluasi Menteri atas IUP Operasi Produksi yang dikeluarkan oleh
Gubernur yag telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta tidak
menerapkan kaidah pertambangan yang baik;

Universitas Indonesia
141

c. Pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 Peraturan


Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara (Pemegang IUP Operasi Produksi Khusus untuk
pengangkutan dan penjualan wajib menyampaikan salinan
perjanjian/kontrak dengan pemegang izin setiap kali melakukan
penambahan kerja sama dan larangan dalam Pasal 75 Peraturan Menteri
ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah,
Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara);
d. Hasil evaluasi penerbitan IUP yang dilakukan oleh Menteri atau gubernur
sesuai dengan kewenangannya.
Kondisi – kondisi tertentu yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11
Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara telah menunjukkan adanya
perluasan makna dari Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara. Salah satunya dalam hal tindak pidana,
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara hanya memungkinkan dicabutnya IUP apabila pemegang IUP melakukan
tindak pidana sebatas yang diatur dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara saja, diantaranya:
a. setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, atau
IUPK;
b. pemegang IUP, IPR, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan
laporan dnegan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu;
c. melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK;
d. mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegaitan operasi produksi;
e. setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi
Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari
pemegang IUP atau IUPK;
f. merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang
IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat – syarat;

Universitas Indonesia
142

g. mengeluarkan IUP, IPR atau IUPK yang bertentangan dengan Undang -


Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara
Jika merujuk pada ketentuan Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara, diluar tindak pidana yang disebutkan diatas,
maka IUP tidak dapat langsung dicabut. Sedangkan, dalam Peraturan Menteri
ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan,
dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara ruang
lingkup pelanggaran pidana tidak hanya sebatas yang diatur pada Undang - Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara melainkan
berdasarkan putusan pengadilan, sehingga terlepas dari tindak pidana apapun yang
dilakukan oleh pemegang IUP, apabila sudah terdapat putusan pengadilannya, maka
IUP tersebut dapat langsung dicabut oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya.
Selain itu, kondisi tertentu yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor
11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara juga mengakomodir adanya
hasil evaluasi penerbitan IUP yang dilakukan oleh Menteri atau gubernur sesuai
kewenangannya sebagai dasar dicabutnya IUP. Adapun dalam hal ini muncul
kemungkinan bahwa evaluasi penerbitan IUP yang dimaksud dalam Pasal 99
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara ialah kewajiban evaluasi yang dilaksankaan oleh Menteri atau gubernur
sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam dalam Peraturan Menteri
ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Pasal 5 dalam Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan mewajibkannya dilakukannya evaluasi terhadap IUP
penyelesaian dari Kuasa Pertambangan dan/atau Kuasa Pertambangan yang belum
berakhir jangka waktunya tetapi belum disesuaikan menjadi IUP berdasarkan kriteria
administratif, kewilayahan, teknis, lingkungan, dan finansial.
Terhadap kewajiban melakukan evaluasi tersebut, Pasal 17 dalam Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan telah menentukan sanksi – sanksi yang dapat diberikan kepada

Universitas Indonesia
143

pemegang IUP apabila IUP nya tidak memenuhi kriteria yang ditentukan. Adapun
sanksi tersebut bervariatif yang didasarkan pada jenis pelanggarannya, contohnya
dalam hal IUP Operasi Produksi tidak memenuhi kriteria lingkungan, maka menurut
Pasal 18 dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan, maka gubernur atau Menteri sesuai
dengan kewenangannya dapat langsung mencabut IUP tersebut. Berbeda halnya untuk
IUP Operasi Produksi yang tidak memenuhi kriteria finansial, dimana menurut Pasal
17 ayat (2) dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan, gubernur atau Menteri sesuai dengan
kewenangannya harus memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis,
penghentian sementara kegiatan usaha, atau pencabutan IUP. Dengan demikian
terdapat perbedaan perlakuan pemberian sanksi terhadap masing – masing kriteria
yang ditentukan.
Apabila hasil evaluasi penerbitan IUP yang dilakukan oleh Menteri atau gubernur
sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 99 huruf d Peraturan
Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah,
Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
merujuk kepada evaluasi dalam dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan maka akan
timbul ketidakpastian hukum dalam ketentuan pencabutan IUP. Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, apabila kriteria yang tidak dipenuhi oleh suatu IUP Operasi
Produksi adalah kriteria finansial maka merujuk kepada ketentuan Pasal 17 ayat (2)
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan dalam mencabut IUP Operasi Produksi tersebut
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya harus melalui tahapan – tahapan
dalam sanksi administratif. Sedangkan apabila merujuk kepada ketentuan Pasal 99
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian
Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, terlepas dari apapun kriteria yang tidak dipenuhi, apabila hasil evaluasi
penerbitan IUP terbukti adanya pelanggaran maka Menteri atau gubernur sesuai
dengan kewenangannya dapat langsung mencabut IUP Operasi Produksi tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa regulasi mengenai persyaratan
pencabutan IUP telah mengalami perluasan makna setelah diberlakukannya Peraturan

Universitas Indonesia
144

Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah,
Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

C. Analisis Kewenangan Gubernur Dalam Pencabutan Izin Usaha


Pertambangan Terkait dengan Pencabutan Izin Usaha Pertambangan PT
Sebuku Batubai Coal di Kalimantan Selatan
Setelah dipahami mengenai analisa terhadap peralihan kewenangan pemerintah
daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan dan
berakhirnya izin usaha pertambangan dalam kegiatan pertambangan pada bagian
sebelumnya, maka pada bagian ini akan dibahas mengenai analisis khusus terhadap
pencabutan IUP Operasi Produksi PT Sebuku Batubai Coal. Analisis terhadap
pencabutan IUP Operasi Produksi PT Sebuku Batubai Coal akan dikaitkan dengan
undang – undang dan peraturan perundang – undangan terutama dalam sektor
pertambangan yang berlaku pada kurun waktu sebelum diterbitkannya Surat
Keputusan Pencabutan IUP Operasi Produksi PT Sebuku, yaitu 26 Januari 2018, dan
juga konspesi dalam hukum administrasi negara.

1. Gambaran Umum PT Sebuku Batubai Coal


Sebagaimana uraian – uraian sebelumnya, diketahui bahwa adanya peralihan
kewenangan dari bupati/walikota ke gubernur dapat berpotensi menimbulkan
adanya masalah dalam melakukan evaluasi terhadap IUP yang telah diterbitkan.
PT Sebuku Batubai Coal (yang selanjutnya disebut PT Sebuku), selaku pemegang
IUP, merupakan salah satu perusahaan yang memiliki kasus terhadap pencabutan
IUP, khususnya IUP Operasi Prouksi yang dilakukan oleh Gubernur Kalimantan
Selatan pada masa peralihan kewenangan pemerintahan daerah di sektor
pertambangan yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
PT Sebuku yang beralamat di Jalan Pluit Utara Raya No. 18 Jakarta Utara
merupakan badan hukum privat berbentuk perseroan yang didirkan pada tahun
2008 dan bergerak di bidang pertambangan batubara. PT Sebuku merupakan salah
satu anggota dari PT Sebuku Iron Lateritic Ores (yang selanjutnya disebut PT
SILO) yang anggota lainnya adalah PT Sebuku Tanjung Coal, dan PT Sejaka Coal.
Pada kasus ini, lokasi penambangan IUP Operasi Produksi milik PT Sebuku berada

Universitas Indonesia
145

di Kecamatan Pulau Laut Utara dan Pulau Laut Tengah Kabupaten kotabaru
Provinsi Kalimantan Selatan.
Dalam rangka menjalankan kegiatan usaha pertambangannya, pada tanggal 5
November 2008, PT Sebuku memperoleh Kuasa Pertambangan Penyelidikan
Umum dari Bupati Kotabaru melalui Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor
545/12/PU/D.PE yang kemudian telah disesuaikan menjadi IUP Eksplorasi yang
diterbitkan oleh Bupati Kotabaru melalui Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor
545/12/PU/D.PE. PT Sebuku Batubai Coal juga telah mendapatkan persetujuan
peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi seluas 5.140,89 Ha dari
Bupati Kotabaru melalui Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor.
545/62/PU/D.PE/2010 tertanggal 7 Juli 2010.
Terkait dengan izin lingkungan, pada tanggal 30 Juni 2010, Bupati Kotabaru
menerbitkan Surat Kelayakan Lingkungan milik PT Sebuku Batubai melaui Surat
Keputusan Bupati Notabaru Nomor 188.45/278/KUM/2010. Kemudian pada tahun
2013, terhadap penyeseuaian atas Surat Kelayakan Lingkungan, Bupati Kotabaru
menerbitkan Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor 188.4//668/KUM/2014
tentang Izin Lingkungan Atas Kegiatan Pertambangan Batubara oleh PT. Sebuku
Batubai Coal. Selain itu, pada tanggal 15 Ferbruari 2017, Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara menerbitkan Sertifikat Clear and Clean 934/Bb/03/2017
kepada PT Sebuku.

4.3.2 Kasus Posisi


Kasus ini timbul akibat adanya pencabutan IUP Operasi Produksi PT Sebuku
oleh Gubernur Kalimantan Selatan melalui Surat Keputusan Gubernur Kalimantan
Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 (yang selanjutnya disebut SK
Pencabutan IUP OP PT Sebuku) pada tanggal 26 Januari 2018. Pada bagian
“menimbang” SK Pencabutan IUP OP PT Sebuku, Gubernur Kalimantan Selatan
menyebutkan “bahwa masyarakat menolak adanya kegiatan pertambangan
batubara di Pulau Laut” yang kemudian dipahami bahwa penolakan masyarakat
terhadap kegiatan pertambangan batubara di Pulau Laut merupakan dasar dari
dicabutnya IUP OP PT Sebuku. Pada bagian “memperhatikan” pada SK Gubernur
Kalimantan Selatan tersebut disebutkan bahwa terdapat beberapa surat forum, surat
kelompok maupun surat lain yang menunjukkan adanya bukti tertulis dari

Universitas Indonesia
146

penolakan warga masyarakat di Pulau Laut terhadap aktivitas tambang di Pulau


Laut, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.
Oleh karena merasa telah dirugikan, PT Sebuku kemudian mengajukan gugatan
ke Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin yang kemudian dalam amar
Putusan Nomor 6/G/2018/PTUN.BJM mengabulkan seluruh gugatan Penggugat
(PT Sebuku) dan menyatakan SK Gubermur Kalimantan Selatan tentang
Pencabutan IUP OP PT Sebuku batal. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit
dalam SK-nya, diketahui dari Putusan Nomor 6/G/2018/PTUN.BJM bahwa selain
adanya penolakan dari masyarakat, terdapat beberapa hal yang menjadi dasar
dicabutnya IUP Operasi Produksi PT Sebuku. Salah satunya adalah bahwa
berdasarkan Surat Kabar Radar Bajarmasin dan informasi dari pihak Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten Kotabaru, diketahui PT Sebuku tidak melakukan
kegiatan selama 3 (tiga) tahun berturut – turut setelah memiliki Izin Lingkungan
sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 50 ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Pasal 50 ayat (2) huruf e Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menentukan bahwa
apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Izin Lingkungan
tidak dilakukan rencaha usaha dan/atau kegiatan maka Izin Lingkungan tersebut
harus dilakukan perubahan. Atas dasar tersebut, pada tanggal 16 Oktober 2017
Gubernur Kalimantan Selatan melalui Dinas Lingkungan Hidup-nya memberikan
peringatan tertulis kepada PT Sebuku agar PT Sebuku untuk melakukan
permohonan perubahan izin lingkungan (Surat Dinas Lingkungan Hidup Provinsi
Kalimantan Selatan Nomor 660/648/TL/DLH sebagaimana terlampir).
Selanjutnya pada tanggal 25 Oktober 2017, Provinsi Kalimantan Selatan
melalui Surat Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 540/4252-
BMB/DESDM memberikan sanksi berupa Penghentian Sementara Kegiatan
Pertambangan Batubara kepada PT SILO Group. Alasan sanksi pemberhentian
sementara tersebut dikarenakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi
Kalimantan Selatan (yang selanjutnya disebut Dinas ESDM Provinsi Kalimantan
Selatan) tidak memiliki salinan Izin Lingkungan PT Sebuku. Kemudian pada
tanggal 30 Oktober 2017, PT Sebuku memberikan Surat kepada Dinas Lingkungan
Hidup Provinsi Kalimantan Selatan perihal Klarifikasi Pelaksanaan Kegiatan dan
Izin Lingkungan PT Sebuku Batubai Coal (sebagaimana terlampir). Dalam

Universitas Indonesia
147

suratnya tersebut, PT Sebuku Batubai Coal memberikan penjelasan mengenai


kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan setelah dimilikinya Izin Lingkungan. Hal
tersebut didukung pula dengan Berita Acara Tindak Lanjut Kegiatan Peninjauan
Lapangan dalam Rangka Monitoring Kegiatan Pertambangan Batubara PT SILO
Group yang ditandatangani oleh perwakilan PT Sebuku dan perwakilan Dinas
Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 2
November 2017. Dalam Berita Acara Tersebut dinyatakan bahwa sejak
mendapatkan izin lingkungan, PT Sebuku telah melaksanakan tahapan kegiatan pra
konstruksi dan konstruksi sampai dengan tahun 2017.
Bahwa kemudian, didapati adanya aspirasi masyarakat yang menolak tambang
yang kemudian ditindak lanjuti oleh Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Selatan
dengan mengeluarkan Nota Dinas tertanggal 20 Desember 2017 perihal Aspirasi
Masyarakat Terhadap Penolakan Kegiatan Pertambangan Batubara di Pulau Laut
yang kemudian ditindaklanjuti lagi oleh Sekretaris Daerah Provinsi. Pada tanggal
8 Januari 2018, Gubernur Kalimantan Selatan menerbitkan Keputusan tentang
Pembentukan Tim Kajian Kegiatan Pertambangan Batubara di Wilayah Pulau Laut
Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Selain itu, Tim dari Universitas
Lambung Mangkurat juga telah membuat Kajian Akademisi Tahun 2018 tentang
Lingkungan Hidup Pulau Laut Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan
yang membahas mengenai Tingkat Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan
Hidup di Pulau Laut. Selanjutnya pada tanggal 26 Januari 2018, atas dasar aspirasi
masyarakat terhadap penolakan kegiatan tambang di Pulau laut, Gubernur
Kalimantan Selatan menerbitkan Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor
503119/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi PT Sebuku Batubai Coal di Kabupaten Kotabaru (KTB.
1007IUPOP0094).

4.3.3 Keabsahan Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor


503/119/DPMPTSP/ 2018 tentang Pencabutan Izin Usaha Pertambangan
Operasi Produksi Batubara PT. Sebuku Batubai Coal
Kasus yang diangkat oleh penulis dalam tulisan ini adalah pencabutan IUP
Operasi Produksi milik PT Sebuku oleh Gubernur Kalimantan Selatan dimana
bentuk pencabutan IUP Operasi Produksinya berupa Keputusan Gubernur Provinsi

Universitas Indonesia
148

Kalimantan Selatan. Adapun Pasal 1 angka 9 Undang – Undang No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang No. 5 Tahun 1996 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual dan, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa untuk dapat dikatakan
suatu keputusan adalah keputusan tata usaha negara harus dipenuhi syarat konkret,
individual, dan final dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Dalam kasus yang diangkat oleh penulis, kewenangan Gubernur Kalimantan
Selatan dalam menerbitkan Surat Keputusan tentang Pencabutan IUP OP milik PT
Sebuku merupakan kewenangan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang energi dan sumber daya mineral, khususnya pertambangan batubara
sebagaimana diatur dalam Pasal 119 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, Pasal 38 Peraturan Menteri ESDM
Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara, dan Pasal 17 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Adapun sifat konkret dalam suatu keputusan artinya objek yang diputuskan dalam
keputusan itu tidak abstrak tetapi berwujud tertentu atau dapat ditemukan.42 Dalam
hal ini, surat keputusan yang diterbitkan oleh Gubernur Kalimantan Selatan telah
menentukan secara tegas dan jelas bahwa hal yang diatur dalam surat keputusan
tersebut adalah “Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan tentang Pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT Sebuku Batubai Coal di
Kabupaten Kotabaru” sebagaimana terlihat pada bagian “memutuskan” surat
keputusan sebagaimana terlampir. Klausa tersebut memperlihatkan bahwa hal yang
diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan merupakan sesuatu


42
Rochmat Soemitro, Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung: Refika Aditama, 1998),
hlm. 95.

Universitas Indonesia
149

yang berwujud dan dapat ditentukan. Dengan demikian, sifat konkret dalam Surat
Keputusan Gubernur Kalimantan tersebut telah terpenuhi.
Sedangkan sifat individual artinya keputusan tersebut tidak ditunjuk untuk
umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju.43 Dalam kasus ini,
keputusan yang diterbitkan oleh Gubernur Kalimantan Selatan khususnya pada
bagian Kedua di “menetapkan” telah ditentukan secara tegas bahwa keputusan
gubernur mengenai pencabutan IUP Operasi Produksi ditujukan kepada PT Sebuku
Batubai Coal yang lokasi penambangannya terletak di Pulau Laut Utara dan Pulua
Lut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan demikian,
sifat individual pada Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan telah
terpenuhi. Selain itu, yang dimaksud dengan sifat final artinya keputusan tersebut
sudah tidak lagi membutuhkan persetujuan atau instansi lain untuk
penetapannnya.44 Dalam hal ini, terlihat pada bagian kelima dalam “menetapkan”
SK Gubernur Kalimantan Selatan tentang Pencabutan IUP Operasi Produksi milik
PT Sebuku dinyatakan bahwa “keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan...”, dengan demikian dapat dipahami bahwa keberlakuan SK Gubernur
tersebut tidak memerlukan persetujuan instansi atau pihak lain lagi karena dalam
Surat Keputusan tersebut telah ditetapkan tanggal berlakunya Surat Keputusan,
sehingga syarat “final” dalam Surat Keputusan Gubernur Kalimantan tersebut telah
terpenuhi. Selain itu, dengan diterbitkannya SK Gubernur Kalimantan Selatan
tentang Pencabutan IUP Operasi Produksi milik PT Sebuku tentunya berakibat
hukum bagi PT Sebuku dimana PT Sebuku sudah tidak lagi dapat menjalankan
usahanya dalam kegiatan pertambangan. Dengan demikian, berdasarkan
penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa SK Gubernur Kalimantan Selatan
tentang Pencabutan IUP Operasi Produksi milik PT Sebuku dapat dikategorikan
sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang –
Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang No.
5 Tahun 1996 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.


43
Ibid.

44
Ibid.

Universitas Indonesia
150

Selain itu, diterbitkannya Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan adalah


salah satu bentuk dari tindakan pemerintahan yang untuk menilai keabsahannya
harus diukur berdasarkan pada keabsahan dari wewenang, prosedur, dan subtansi
yang berdasar pada peraturan perundang – undangan yang berlaku dan Asas – Asas
Umum Pemerintahan yang Baik.45 Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 64 ayat (1)
Undang – Undang Nomor. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
yang berbunyi:

Keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat:


a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau;
c. substansi.

Selaras dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa prinsip


legalitas dalam tindakan/keputusan pemerintahan meliputi i) wewenang, ii)
prosedur, dan iii) substansi, dimana wewenang dan prosedur merupakan landasan
bagi legalitas formal yang melahitkan asas praesumptio iustae causa atau
vermoden van rechmatig, sedangkan substansi akan melahirkan legalitas materiil.46
Tidak terpenuhinya tiga komponen legalitas tersebut mengakibatkan cacat yuridis
suatu tindakan/keputusan pemerintah.47 Asas praesumptio iustae causa ini menjadi
penting, mengingat asas tersebut memberi makna bahwa suatu keputusan
pemerintah harus selalu dianggap sah sampai dengan dibuktikan sebaliknya.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka diketahui bahwa untuk menentukan sah
atau tidaknya surat keputusan diperlukan adanya analisis terhadap kewenangan
pejabat yang menerbitkan surat keputusan, prosedur dan juga substansinya. Untuk
mengetahui lebih lanjut keabsahan dari SK Gubernur Kalimantan Selatan
Pencabutan IUP OP PT Sebuku maka analisis akan dilakukan berdasarkan
kewenangan Gubernur Kalimantan Selatan, prosedur yang dilakukan Gubernur


45
Indroharto, Usaha Memahami Undang – Undang tentang Peradilan Administrasi
Pemerintahan, Buku I, Beberapa pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993), hlm. 85.

46
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), hlm. 22.

47
Ibid.

Universitas Indonesia
151

Kalimantan Selatan dalam mencabut IUP Operasi Produksi PT Sebuku dan juga
substansi dari dicabutnya IUP Operasi Produksi PT Sebuku.

a. Kewenangan Gubernur Kalimantan Selatan Mencabut Izin Usaha


Pertambangan Operasi Produksi PT Sebuku Batubai Coal
Setelah diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten/kota tidak lagi memiliki
kewenangan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan
sumber daya mineral. Sebelumnya, pada Pasal 8 Undang - Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara ditentukan bahwa
salah satu kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara adalah pemberian IUP, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi
produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah
laut sampai dengan 4 (empat) mil. Disamping itu, Pasal 119 Undang - Undang
Nomor 4 Tahun 2009 rentang Pertambangan Mineral Dan Batubara juga
memberikan kewenangan kepada bupati/walikota untuk mencabut IUP yang
telah diterbitkan. Dengan demikian diketahui bahwa sebelum kewenangan
pemerintah kabupaten/kota ditarik melalui Undang – Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015, sebelum tanggal 2 Oktober 2014 kabupaten/kota memiliki
kewenangan untuk menerbitkan dan mencabut IUP dalam satu wilayah
kabupaten/kota.
Dalam kasus yang diangkat oleh penulis, diketahui bahwa PT Sebuku telah
mendapatkan IUP Operasi Produksi yang merupakan peningkatan dari IUP
Eksplorasi48 pada 7 Juli 2010 melalui Keputusan Bupati Kotabaru Nomor
188.45/668/KUM/2013. Diketahui bahwa pada kurun waktu sebelum tanggal 2
Oktober 2014, untuk kegiatan pertambangan yang berada dalam satu wilayah
kabupaten/kota menjadi wewenang dari pemerintah kabupaten/kota baik untuk
menerbitkan maupun mencabut IUP. Dengan demikian dalam kasus ini, tindakan

48
Peningkatan dari IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi diatur dalam Pasal 46 ayat
(1) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi “Setiap
pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan
kegiatan usaha pertambangannya.”

Universitas Indonesia
152

bupati dalam menerbitkan IUP Operasi Produksi PT Sebuku pada 7 Juli 2010
merupakan tindakan yang didasari oleh wewenang yang diatur dalam Undang -
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara,
mengingat Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah pada kurun waktu tersebut belum berlaku.
Meskipun IUP Operasi Produksi PT Sebuku diterbitkan oleh Bupati
Kotabaru, namun setelah terbitnya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah yang khususnya diatur dalam Pasal 14 jo.
Lampiran Bagian CC Nomor 2 dan kemudian diikuti dengan terbitnya Surat
Edaran ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015, Bupati Kotabaru tidak lagi memiliki
wewenang terhadap IUP Operasi Produksi tersebut dan terhadap IUP Operasi
Produksi PT Sebuku tersebut harus dilakukan evaluasi oleh Gubernur
Kalimantan Selatan. Kewajiban untuk melakukan evaluasi tersebut terhadap IUP
yang telah diterbitkan oleh bupati tersebut kemudian dipertegas dalam Pasal 5
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Apabila terhadap
evaluasi yang dilakukan oleh Gubernur diketahui bahwa IUP Operasi Produksi
PT Sebuku tidak memenuhi kriteria administratif, kewilayahan, teknis,
lingkungan, atau finansial maka menurut Pasal 17 Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara jo. angka 6 Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015 Gubernur memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi
administratif terhadap IUP tersebut. Adapun sanksi administratif tersebut berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha; atau
c. pencabutan IUP.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa dalam Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan
Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Gubernur memiliki wewenang
untuk mencabut IUP, baik IUP Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi yang
telah diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
Selain itu, diketahui bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri
ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan

Universitas Indonesia
153

Mineral dan Batubara, gubernur memiliki wewenang untuk menerbitkan IUP


Operasi Produksi apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan/atau
pemurnian, serta lokasi pelabuhan khusus berada dalam 1 (satu) daerah provinsi.
Bersamaan dengan itu, Pasal 38 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri ESDM Nomor
34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara
memberikan kewenangan kepada gubernur sesuai dengan kewenangannya untuk
memberikan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha;
dan/atau
c. pencabutan izin
ketentuan tersebut memberikan arti bahwa terhadap pelanggaran IUP yang
berada di dalam 1 (satu) daerah Provinsi, gubernur memiliki kewenangan untuk
memberikan sanksi administratif berupa pencabutan IUP. Disamping itu, Pasal
119 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara juga berbunyi:

IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati dapat
dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya apabila:
a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan
dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang – undangan;
b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara; atau
c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.

Ketentuan dalam Pasal 119 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara tersebut juga telah memberikan
kewenangan kepada Gubernur untuk mencabut IUP. Dengan demikian,
berdasarkan Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral Dan Batubara, Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan
Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Surat Edaran ESDM
Nomor 04.E/30/DJB/2015 dapat disimpulkan bahwa Gubernur memiliki

Universitas Indonesia
154

wewenang untuk mencabut IUP, baik IUP Eksplorasi maupun IUP Operasi
Produksi yang wilayah pertambangannya berada di dalam 1 (satu) Provinsi.
Dalam kasus yang diangkat oleh penulis diketahui bahwa wilayah
pertambangan batubara PT Sebuku berada di Kabupaten Kotabaru yang terletak
di wilayah administratif Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Oleh karena
kasus pencabutan IUP Operasi Produksi ini terjadi di periode waktu setelah
diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, maka apabila terdapat pelanggaran pada IUP yang telah diterbitkan oleh
Bupati Kotabaru, kewenangan untuk mencabut IUP Operasi Produksinya
merupakan kewenangan Gubernur Kalimantan Selatan bukan lagi Bupati
Kotabaru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Gubernur Kalimantan
Selatan memiliki wewenang untuk mencabut IUP Operasi Produksi milik PT
Sebuku yang terletak di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.

c. Substansi dicabutnya Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT


Sebuku Batubai Coal oleh Gubernur Kalimantan Selatan
Untuk mengetahui alasan dicabutnya IUP Operasi Produksi milik PT
Sebuku, maka hal yang harus diperhatikan adalah hal – hal yang disebut dalam
SK Gubernur Kalimantan Selatan tentang pencabutan IUP Operasi Produksi PT
Sebuku. Pada bagian “menimbang” Gubernur Kalimantan Selatan tentang
Pencabutan IUP Operasi Produksi PT Sebuku disebutkan bahwa:

a. bahwa sejak tanggal 7 Juli 2010, PT Sebuku Batubai Coal telah


mendapat Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara yang
diterbitkan sesuai Keputusan Bupati Kotabaru Nomor
542/62/IUPOP/D.PE/2010 tahun 2010 tentang Persetujuan
Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Produksi kepada PT Sebuku
Batubai Coal seluas 5.140,89 Ha
b. bahwa masyarakat menolak adanya kegiatan pertambangan batubara di
Pulau Laut;
c. bahwa untuk melindungi kepentingan umum dan kepastian hukum
terhadap wilayah IUP Operasi Produksi Batubara milik PT Sebuku
Batubai Coal dipandang perlu mencabut izin yang bersangkutan
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang – undangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a,
huruf b, dan huruf c diatas perlu ditetapkan dengan Keputusan
Gubernur Kalimantan Selatan.

Universitas Indonesia
155

Berdasarkan bagian “menimbang” pada surat keputusan tersebut maka diketahui


bahwa dasar dari dicabutnya IUP Operasi Produksi milik PT Sebuku adalah
adanya penolakan dari masyarakat terhadap kegiatan pertambangan batubara di
Pulau Laut. Penolakan masyarakat tersebut juga didukung dengan adanya
beberapa rekomendasi maupun laporan forum komunikasi warga sebagaimana
disebut pada bagian “memperhatikan” SK Gubernur Kalimantan Selatan.
Selain itu, merujuk pada Putusan Nomor 6/G/2018/PTUN.BJM diketahui
bahwa alasan lain dari dicabutnya IUP Operasi Produksi milik PT Sebuku adalah
karena PT Sebuku tidak melakukan kegiatan selama 3 (tiga) tahun setelah
dimilikinya izin lingkungan49 dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan tidak
memiliki salinan izin lingkungan milik PT Sebuku50. Dengan demikian dapat
disimpulkam bahwa inti masalah dari kasus pencabutan IUP Operasi Produksi
milik PT Sebuku adalah adanya penolakan masyarakat terhadap kegiatan
pertambangan batubara di Pulau Laut, tidak dilaksanakannya kegiatan selama 3
(tiga) tahun setelah dimilikinya izin lingkungan oleh PT Sebuku, dan Gubernur
Kalimantan Selatan tidak memiliki salinan izin lingkungan milik PT Sebuku.
Untuk menganalisis keabsahan dari substansi SK Gubernur Kalimantan Selatan
tentang pencabutan IUP Operasi Produksi PT Sebuku akan dibahas masing –
masing sesuai dengan inti masalahnya.

1) Penolakan Masyarakat terhadap Kegiatan Pertambangan Batubara di


Pulau Laut


49
Tergugat (Gubernur Kalimantan Selatan) dalam Surat Jawabannya menyatakan “Penggugat
(PT Sebuku) belum melaksanakan kegiatan di lapangan sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 50 ayat
(2) huruf e Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Bahwa Penggugat
sebagaimana diatur dalam pasal 50 ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang
Izin Lingkungan wajib melakukan permohonan perubahan Izin Lingkungan kepada Bupati dan tidak
melakukan kegiatan sebelum diterbitkannya perubahan Izin Lingkungan.” (Pengadilan Tata Usaha
Negara Banjarmasin, Putusan No. 6/G/2018/PTUN.BJM, hlm. 60).
50
Fakta hukum yang diperoleh dalam proses persidangan salah satunya adalah “bahwa pada
tanggal 25 Oktober 2017, Provinsi Kalimantan Selatan melalui Surat Dinas ESDM No. 540/4252-
BMB/DESDM perihal Penghentian Sementara kegiatan Pertambangan Batubara PT Sebuku Batubai
Coal didasari bahwa Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Selatan tidak memiliki salinan izin
lingkungan sehingga kepada Penggugat (PT Sebuku) diminta untuk menghentikan kegiatan
pertambangan batubara sampai salinan izin lingkungan yang berlaku disampaikan kepada Dinas
ESDM Provinsi Kalinantan Selatan” (Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, Putusan No.
6/G/2018/PTUN.BJM, hlm. 217 – 218).

Universitas Indonesia
156

Berdasarkan ketentuan dalam bagian “menimbang” SK Gubernur


Kalimantan Selatan tentang pencabutan IUP Operasi Produksi PT Sebuku
diketahui bahwa dasar dari diterbitkannya SK tersebut adalah adanya
penolakan dari masyarakat terhadap kegiatan pertambangan batubara di
Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan yang
merupakan lokasi dilakukannya kegiatan pertambangan oleh PT Sebuku.
Adapun pada bagian “memperhatikan” SK Gubernur Kalimantan Selatan
tentang pencabutan IUP Operasi Produksi PT Sebuku disebutkan mengenai
surat – surat rekomendasi dan laporan masyarakat mengenai penolakan
terhadap kegiatan pertambangan batubara di Pulau Laut, surat – surat
tersebut antara lain:
1. Notulen Rapat Dengar Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kotabaru Nomor 043/N-DPRD/12/2009 tanggal 16 Desember 2009
tentang Pembahasan Aktifitas Pertambangan di Wilayah Pulau Laut;
2. Rekomendasi Pimpinan Muhammadiyah Kotabaru Nomor
11/REK/A/III.0/1010 tanggal 3 April 2010;
3. Laporan Forum Komunikasi Warga Gerakan Penyelamat Pulau Laut
Nomor 003/GPPL/IX/2010 tanggal 7 September 2010 tentang Laporan
Tindak Pidana Memberi Keterangan Palsu;
4. Laporan Forum Komunikasi Warga Gerakan Penyelamat Pulau Laut
Nomor 020/LSM-AKGUS/KTB-Kalsel-XI/2014 tanggal 30
November 2014;
5. Surat Forum Komunikasi Warga Gerakan Penyelamat Pulau Laut
bulan Desember 2010 tentang Penolakan Segala Bentuk Alih Fungsi /
Perubahan / Pinjam Pakai Kawasan Hutan di Pulau Laut;
6. Surat Kelompok Pedagang Ikan dan Nelayan Kabupaten Kotabaru
Bulan November 2010
Surat – surat rekomendasi dan laporan masyarakat tersebut dijadikan
Gubernur Kalimantan Selatan sebagai dasar dari adanya penolakan
masyarakat terhadap kegiatan tambang di Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru.
Apabila merujuk pada ketentuan Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
rentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, Peraturan Pemerintah No. 8
Tahun 2018 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Pemerintah Nomor

Universitas Indonesia
157

23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral


dan Batubara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang
Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Peraturan
Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan tidak terdapat 1 (satu) ketentuan pun
yang menyatakan bahwa penolakan masyarakat dapat dijadikan sebagai
dasar alasan dicabutnya IUP. Selain itu, tidak terdapat satu ukuran yang
diakui dapat mengakomodir aspirasi dari seluruh masyarakat di suatu
daerah. Dalam kasus ini, diketahui bahwa surat – surat rekomendasi dan
laporan masyarakat yang dijadikan dasar dari Gubernur Kalimantan Selatan
menerbitkan surat keputusannya hanya didasari pada golongan – golongan
tertentu, seperti kelompok Muhammadiyah, kelompok pedagang ikan dan
nelayan Kabupaten Kotabaru, forum komunikasi warga gerakan penyelemat
laut. Kelompok – kelompok tersebut tidaklah mencakup keseluruhan dari
masyarakat yang ada di daerah Kabupaten Kotabaru, dengan begitu terdapat
kemungkinan adanya bagian masyarakat lain di Kabupaten Kotabaru yang
tidak terakomodir aspirasinya. Majelis Hakim dalam pertimbangannya
berpendapat bahwa rasio logic dari kekhawatiran masyarakat itu tidak
terbukti secara ilmu pengetahuan (science).51 Dengan demikian, aspirasi
masyarakat terhadap penolakan kegiatan tambang di Pulau Laut tidak dapat
dijadikan sebagai alasan dari dicabutnya IUP Operasi Produksi milik PT
Sebuku.
Selain itu, penolakan masyarakat terhadap aktivitas pertambangan di
Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru tidak dapat dibenarkan. Sebab, jika
merujuk pada Lampiran IX No. 22 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2007
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disebutkan bahwa Kawasan
Andalan Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru, Provinisi Kalimantan Selatan
memiliki sektor unggulan di sektor perikanan dan pertambangan.

51
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim PTUN Banjarmasin menyatakan “bahwa poin
ketiga yang menyatakan “bahwa masyarkaat menolak adanya kegiatan pertambangan batubara di
Pulau Laut” bukanlah alasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan dalam mencapai tujuan dari
penerbitan Objek Sengketa (SK Pencabutan IUP OP PT Sebuku). Sebab rasio logic dari kekhawatiran
masyarakat itu tidak terbukti secara ilmu pengetahuan dan kemudian hasilnya telah dilegitimasi oleh
hukum.” (Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, Putusan No. 6/G/2018/PTUN.BJM, hlm. 232).

Universitas Indonesia
158

Pengaturan bahwa Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru merupakan kawasan


andalan52 yang memiliki unggulan di sektor pertambangan juga diatur
didalam beberapa peraturan lain, diantaranya Lampiran XIII Angka 4
Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau
Kalimantan, Pasal 72 huruf d Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
No. 9 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Kalimantan Selatan Tahun 2015 - 2035, Pasal 25 ayat (5) Peraturan Daerah
Kabupaten Kotabaru No. 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Kotabaru Tahun 2012 – 2032. Dengan demikian,
diketahui bahwa berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana
tata ruang wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015 - 2035, dan
rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kotabaru Tahun 2012 – 2032, Pulau
Laut ditetapkan sebagai wilayah yang memiliki unggulan di sektor
pertambangan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dasar dari penolakan
masyarakat yang menginginkan Pulau Laut bebas dari aktivitas tambang
bertentangan dengan ketentuan dalam rencana tata ruang nasional.
Selain itu, diketahui bahwa dalam sektor pertambangan penetapan
kegiatan pertambangan dilandasi oleh wilayah pertambangan53 sebagai
bagian dari tata ruang nasional.54 Berdasarkan ketentuan tersebut maka
dapat diartikan bahwa untuk dapat dilaksankannya suatu kegiatan
pertambangan, maka wilayah yang bersangkutan harus termasuk sebagai
wilayah pertambangan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
Adapun Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010
tentang Wilayah Pertambangan menentukan bahwa wilayah pertambangan


52
Kawasan Andalan menurut Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah bagian dari kawasan budi daya, baik di ruang
darat maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
bagi kawasan tersebut dan kawasan disekitarnya.
53
Wilayah Pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara
dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang
nasional (Indonesia, Undang – Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4 Tahun 2009,
LN No. 4 Tahun 2009, TLN No. 4959, ps. 1 angka 29).
54
Ketentuan wilayah pertambangan sebagai landasan dari penetapan kegiatan pertambangan
diatur dalam Pasal 9 Undang – Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
yang berbunyi “Wilayah Pertambangan sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan
bagi penetapan kegiatan pertambangan.”

Universitas Indonesia
159

ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan gubernur,


bupati/walikota dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Republik Indonesia. Menindaklanjuti ketentuan tersebut,
Kementerian ESDM kemudian menerbitkan Surat Keputusan Menteri
ESDM Nomor 4003 K/30//MEM/2013 tentang Penetapan Wilayah
Pertambangan Pulau Kalimantan.
Adapun diktum kesatu Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 4003
K/30//MEM/2013 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau
Kalimantan menetapkan wilayah pertambangan Pulau Kalimantan yang
terdiri atas a) Wilayah Usaha Pertambangan, b) Wilayah Pertambangan
Rakyat, c) Wilayah Pencadangan Negara, yang dituangkan dalam lembar
peta sebagaimana tercantum dalam Lampiran. Adapun gambar peta yang

menjadi lampiran SK Menteri ESDM 4002/2013 adalah sebagai berikut:


Gambar 4.155
Wilayah Pertambangan Pulau Kalimantan

Berdasarkan peta wilayah pertambangan Pulau Kalimantan tersebut


diketahui bahwa Pulau Laut termasuk dalam wilayah Banjarmasin selaku


55
Peta Wilayah Pertambangan Pulau Kalimantan yang dikutip di dalam Lampiran Keputusan
Menteri ESDM No. 4003 K/30/MEM/2013

Universitas Indonesia
160

ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Ketentuan dalam Surat Keputusan


Menteri ESDM Nomor 4003 K/30//MEM/2013 tentang Penetapan Wilayah
Pertambangan Pulau Kalimantan tersebut selaras dengan ketentuan dalam
rencana tata ruang nasional sebagaimana diatur Lampiran IX Nomor 22
Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional yang menyebutkan Pulau Laut sebagai kawasan andalan yang
memiliki keunggulan di bidang pertambangan. Dengan demikian diketahui
bahwa dasar dari penolakan masyarakat terhadap aktivitas pertambangan di
Pulau Laut tidak dapat dibenarkan, sebab baik secara normatif dari sisi
rencana tata ruang nasional maupun dari sisi regulasi di sektor pertambangan
mineral dan batubarapun, Pulau Laut merupakan wilayah yang memang
diperuntukkan sebagai wilayah pertambangan.
Ironisnya, diketahui bahwa dalam menetapkan suatu daerah menjadi
wilayah pertambangan telah melibatkan masyarakat untuk ikut andil dalam
menetapkannya. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 10 huruf b Undang -
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara
yang berbunyi:

Penetapan Wilayah Pertambangan dilaksanakan secara terpadu dengan


memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat,
dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial
budaya serta berwawasan lingkungan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 huruf b Undang - Undang Nomor 4 Tahun


2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara tersebut maka dapat
dipahami bahwa masyarakat memiliki hak untuk memberikan pendapat
dalam rangka menetapkan suatu daerah menjadi wilayah pertambangan.
Apabila dikaitkan dengan kasus yang diangkat oleh penulis, maka
seharusnya apabila masyarakat yang tinggal di Pulau Laut merasa keberatan
akan dijadikannya daerah Pulau Laut sebagai wilayah pertambangan maka
masyarakat tersebut dapat memberikan pendapatnya pada saat proses
penetapan wilayah pertambangan. Dengan tidak adanya pendapat atas
keberatan ditetapkannya Pulau Laut sebagai wilayah pertambangan maka

Universitas Indonesia
161

dapat diartikan bahwa masyarakat di Pulau Laut telah menyetujui hal


tersebut.
Apabila dalam hal ini Gubernur Kalimantan Selatan tetap ingin
mengupayakan aspirasi masyarakat untuk meniadakan aktivitas tambang di
Pulau Laut, Gubernur dapat mengusulkan perubahan atas wilayah
pertambangan yang telah ditentukan. Kewenangan gubernur untuk
mengusulkan perubahan tersebut diatur di dalam Pasal 15 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan yang
berbunyi: “Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
dapat mengusulkan perubahan Wilayah Pertambangan kepada Menteri
berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian.” Berdasarkan ketentuan pada
Pasal 15 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang
Wilayah Pertambangan diketahui bahwa dalam kasus ini, Gubernur
Kalimantan dapat mengajukan keberatan atas Surat Keputusan Menteri
ESDM Nomor 4003 K/30//MEM/2013 tentang Penetapan Wilayah
Pertambangan Pulau Kalimantan yang menetapkan Pulau Laut sebagai
wilayah pertambangan. Akan tetapi, keberatan yang akan diajukan oleh
Gubernur tersebut harus didasari pada hasil penyelidikan dan penelitian,
sehingga Gubernur tidak dapat serta merta menjadikan aspirasi masyarakat
sebagai dasar dari permohonan perubahan wilayah pertambangan tersebut.
Di sisi lain, PT Sebuku juga telah memilik Izin Lingkungan yang
diterbitkan oleh Bupati Kotabaru sejak tahun 2013. Berdasarkan ketentuan
Pasal 31 dan Pasal 36 ayat (2) Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diketahui bahwa
AMDAL56 merupakan salah satu persyaratan dari diterbitkannya izin
lingkungan, mengingat AMDAL merupakan dasar dari ditetapkannya
keputusan kelayakan lingkungan hidup dan keputusan kelayakan
lingkungan hidup tersebut kemudian menjadi dasar dari diterbitkannya izin


56
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), yang selanjutnya disebut
Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan. (Indonesia, Undang – Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, ps. 1 angka 11).

Universitas Indonesia
162

lingkungan. Dalam penyusunan dokumen AMDAL, Pasal 26 ayat (1)


Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menentukan bahwa dokumen AMDAL
harus disusun dengan melibatkan masyarakat, terlebih lagi Pasal 26 ayat (4)
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang juga memberikan hak kepada
masyarakat tersebut untuk dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen
AMDAL.57 Dengan demikian diketahui bahwa dengan telah diterbitkannya
izin lingkungan maka PT Sebuku telah melakukan penyusunan dokumen
AMDAL yang ikut melibatkan masyarakat di Pulau Laut dan juga telah
memenuhi seluruh persyaratan – persyaratan di bidang lingkungan.
Sehingga, apabila masyarakat di Pulau Laut benar – benar menolak adanya
aktivitas pertambangan di daerahnya seharusnya pada saat penyusunan
dokumem AMDAL PT Sebuku, masyarakat tersebut menyampaikan
keberatannya.
Menurut Bapak Heriyanto selaku Kepala Bagian Hukum Direktorat
Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM yang juga sekaligus
sebagai saksi ahli pada kasus yang penulis angkat, adanya penolakan oleh
masyarakat harus direspon oleh pihak perusahaan.58 Lebih lanjut, menurut
Bapak Heriyanto, dalam kasus ini pasti perusahaan akan mengakomodir
protes dari masyarakat sepanjang alasan dari penolakannya itu bukan
penolakan kegiatan tambang. Berbeda halnya apabila penolakan dari
masyarakat itu didasari pada bukti yang memang dilarang oleh ketentuan
peraturan perundang – undangan. Contohnya, dalam hal yang berkaitan
dengan lingkungan seperti penyusunan dokumen AMDAL yang tidak
melibatkan masyarakat yang seharusnya, maka tindakan yang seharusnya
dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Selatan adalah membatalkan izin


57
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (1) Undang – Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meliputi a) yang terkena dampak, b)
pemerhati lingkungan hidup, c) yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
(Indonesia, Undang – Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan..., ps. 26 ayat (3)).
58
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.

Universitas Indonesia
163

lingkungan milik PT Sebuku yang kemudian dapat diikuti dengan


pembatalan IUP.59
Pada dasarnya, apabila warga masyarakat merasa dirugikan terhadap
keputusan dari pejabat pemerintah maka terdapat beberapa upaya yang dapat
dilakukan oleh warga masyarakat tersebut sebagaimana diatur dalam Bab X
Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan tentang upaya administratif. Pasal 75 ayat (2) Undang –
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
disebutkan bahwa upaya administratif tersebut terdiri atas keberatan dan
banding, perbedaannya keberatan diajukan langsung kepada pejabat
pemerintahan yang menetapkan keputusan, sedangkat banding diajukan
kepada atasan pejabat yang menetapkan keputusan. Selain itu, warga
masyarakat tersebut juga dimungkinkan untuk melakukan pengaduan atas
keputusan pejabat pemerintahan tersebut dalam rangka penyelenggaraan
pelayanan publik kepada Ombudsman Republik Indonesia sebagaimana
diatur dalam pasal 36 Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
Akan tetapi, berdasarkan keterangan dari Bapak Heriyanto yang
dikaitkan dengan dengan kasus ini maka dapat diketahui bahwa tujuan dari
penolakan masyarakat di Pulau Laut itu adalah untuk meniadakan aktivitas
tambang di Pulau Laut, yang tentunya tidak dapat dibenarkan. Terlebih lagi,
dalam kasus ini diketahui bahwa PT Sebuku telah memenuhi persyaratan –
persyaratan administratif, teknis, lingkungan dan finansial dengan
dimilikinya sertifikat clear and clean yang diterbitkan oleh Kementerian
ESDM pada tahun 2017.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa SK
Pencabutan IUP OP PT Sebuku yang didasari pada penolakan masyarakat
yang menolak kegiatan pertambangan di Pulau Laut merupakan suatu hal
yang tidak berlandaskan hukum. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan
rencana tata ruang nasional dan Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor
4003 K/30//MEM/2013 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau


59
Ibid.

Universitas Indonesia
164

Kalimantan, Pulau Laut telah ditetapkan menjadi wilayah pertambangan dan


dalam menjalankan kegiatannya, PT Sebuku telah memenuhi semua
persyaratan – persyaratan di sektor pertambangan batubara. Selain itu, tidak
terdapat undang – undang maupun peraturan perundangan yang
memungkinkan penolakan masyarakat menjadi alasan dari dicabutnya IUP.
Pencabutan IUP Operasi Produksi PT Sebuku telah berakibat pada
kerugian besar yang dialami oleh perusahaan, mengingat PT Sebuku telah
beritikad baik dengan melakukan kegiatan dan memenuhi semua
persyaratan yang ditentukan oleh Kementerian ESDM. Dari sisi finansial
tentunya tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkan oleh PT Sebuku dalam
menjalankan kewajiban – kewajibannya untuk kemudian dapat melakukan
kegiatan penambangan. Seharusnya, kejadian pencabutan IUP yang tidak
didasari pada alasan hukum yang benar harus ditindaklanjuti agar tidak ada
perusahaan – perusahaan tanbang lain yang mengalami kerugian serupa.
Perlu dipahami bahwa pada dasarnya perusahaan tambang turut berperan
dalam menggerakan roda ekonomi dan membantu pengembangan wilayah
dan masyarakat di daerah yang bersangkutan.60 Artinya, pemerintah daerah
seharusnya dapat lebih kooperatif terhadap perusahaan – perusahaan
tambang di daerahnya.

2) Tidak Dilaksanakannya Kegiatan Selama 3 (tiga) Tahun Setelah


dimilikinya Izin Lingkungan
Pada tanggal 16 Oktober 2017, diketahui bahwa Dinas Lingkungan
Hidup Provinsi Kalimantan Selatan (yang selanjutnya disebut Dinas LH
Provinsi Kalimantan Selatan) mengirimkan Surat Dinas Nomor 660/648-
TL/DLH kepada PT Sebuku perihan Izin Lingkungan (terlampir). Dalam
Surat Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 660/648-TL/DLH
tersebut disebutkan bahwa berdasarkan Surat Kabar Radar Banjarmasin
tanggal 13 Oktober 2017 diketahui bahwa PT Sebuku belum melaksanakan
kegiatan di lapangan setelah dimiliknya izin lingkungan. Maka, menurut
Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan, berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat


60
Ibid.

Universitas Indonesia
165

(2) huruf e Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, PT


Sebuku diwajibkan untuk melakukan permohonan perubahan izin
lingkungan. Adapun bunyi dari Pasal 50 ayat (1) jo. ayat (2) huruf e
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan adalah sebagai
berikut:

Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan wajib mengajukan


permohonan perubahan izin lingkungan, apabila tidak melaksanakan
rencana usaha dan/atau kegiatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkannya Izin Lingkungan.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 50 ayat (1) jo. ayat (2) huruf e Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan diketahui bahwa apabila
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan (pemilik izin lingkungan) tidak
melakukan kegiatan selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya izin
lingkungan, maka pemilik izin lingkungan tersebut diwajibkan melakukan
permohonan perubahan izin lingkungan. Oleh karena berdasarkan Surat
Kabar Radar Banjarmasin Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan memahami
PT Sebuku tidak melaksanakan kegiatan sejak diterbitkannya izin lingkungan
pada tahun 2013, maka berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (2) huruf e
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Dinas LH
Provinsi Kalimantan Selatan memerintahkan PT Sebuku untuk melakukan
permohonan perubahan izin lingkungan.
Kendati demikian, Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan tidak menjelaskan lebih lanjut batasan rencana usaha dan/atau
kegiatan yang dimaksud harus dilakukan setelah dimilikinya izin lingkungan.
Akan tetapi, apabila merujuk pada izin lingkungan PT Sebuku yang
diterbitkan melalui surat keputusan bupati kotabaru pada tahun 2013
(terlampir), disebutkan bahwa ruang lingkup kegiatan pertambangan
batubara dalam izin lingkungan PT Sebuku meliputi kegiatan pra-konstruksi,
kegiatan konstruksi, kegiatan operasi, dan kegiatan pasca operasi. Diketahui
bahwa pada saat kasus ini berjalan kegiatan yang dilakukan oleh PT sebuku

Universitas Indonesia
166

baru berada pada tahap konstruksi61, maka kegiatan yang seharusnya sudah
dilakukan oleh PT Sebuku merupakan kegiatan – kegiatan pada tahap pra-
konstruksi dan tahap konstruksi. Dalam diktum ketiga izin lingkungan PT
Sebuku disebutkan bahwa kegiatan pada tahap pra-konstruksi terdiri dari
sosialisasi kegiatan, pembebasan laha, dan pengurusan izin, sedangkan untuk
tahap konstruksi, kegiatannya meliputi penerimaan tenaga kerja, mobiliasi
peralatan dan material, pembukaan lahan untuk sarana penunjang dan
pendukung, dan pembangunan sarana penunjang dan saran pendukung.
Dengan demikian, diketahui bahwa kegiatan yang harus dilakukan oleh PT
Sebuku setelah dimilikinya izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (2) huruf e Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan merujuk pada kegiatan pada tahap pra konstruksi dan konstruksi
yang diatur di dalam izin lingkungan PT Sebuku.
Menanggapi Surat Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan Nomor
660/648-TL/DLH tersebut, pada tanggal 30 Oktober 2017, PT Sebuku
mengirimkan Surat Nomor 026/SBC/DIR-SMD/X/2017 kepada Dinas LH
Provinsi Kalimantan Selatan perihal Klarifikasi Pelaksanaan Kegiatan dan
Izin Llingkungan PT Sebuku Batubai Coal (terlampir). Pada poin 2 surat PT
Sebuku tersebut, PT Sebuku menyampaikan keberatannya dan
mengklarifikasi secara rinci bahwa perusahaannya telah melaksanakan
kegiatan antara lain pembebasan lahan, penerimaan tenaga kerja konstruksi,
mobilisasi alat berat untuk konstruksi, pembukaan lahan untuk sarana
penunjang dan sarana pendukung dan pembangunan sarana penunjang dan
sarana pendukungnya yang dijelaskan. Selain itu, dalam surat tersebut PT
Sebuku juga menyatakan bahwa perusahannya telah membuat dan
menyampaikan laporan pelaksanaan izin lingkungan (laporan RKL – RPL)
setiap 6 (enam) bulan sekali yang juga memuat mengenai laporan secara
umum pelaksanaan dari kegiatan tahap pra-konstruksi dan konstruksi
sebagaimana telah dilakukan yang disampaikan kepada Dinas LH Kabupaten
Kotabaru. Terlebih lagi pada poin 5 (lima) surat PT Sebuku dinyatakan
bahwa:


61
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.

Universitas Indonesia
167

Apabila di dalam laporan Izin Lingkungan (laporan RKL – RPL) yang


telah disampaikan dianggap masih banyak kekurangan, maka kami
akan memperbaiki dan melaporkan secara rinci dalam laporan
pelaksanan Izin Lingkungan periode Juli s.d. Desember tahun 2017.

Pernyataan PT Sebuku pada poin 5 (lima) suratnya telah menunjukkan


adanya itikad baik dari perusahaan untuk hendak memenuhi semua
kewajiban – kewajiban dalam rangka melaksanakan kegiatan pertambangan.
Menindaklanjuti hal tersebut, pada tanggal 2 November 2017, Dinas
ESDM Provinsi Kalimantan Selatan melakukan peninjauan lapangan ke
wilayah kegiatan pertambangan PT Sebuku untuk menilai ada tidaknya
kegiatan. Hasil dari peninjauan lapangan tersebut kemudian dituangkan
dalam Berita Acara Tindak Lanjut Kegiatan Peninjuan Lapangan Dalam
Rangka Monitoring Kegiatan Pertambangan PT Sebuku Batubai Coal. Berita
Acara yang ditandatangani oleh perwakilan PT Sebuku dan perwakilan Dinas
ESDM tersebut berisi bahwa PT Sebuku sejak mendapatkan izin lingkungan
telah melaksanakan tahapan kegiatan pra kontruksi dan konstruksi sampai
dengan tahun 2017.62
Dengan demikian, oleh karena PT Sebuku telah melaksanakan kegiatan
yang ditentukan dalam izin lingkungannya sebagaimana terbukti dalam
Berita Acara Tindak Lanjut Kegiatan Peninjuan Lapangan Dalam Rangka
Monitoring Kegiatan Pertambangan PT Sebuku Batubai Coal yang dibuat
oleh Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Selatan, maka PT Sebuku tidak lagi
perlu melakukan permohonan perubahan izin lingkungan sebagaimana
diperintahkan oleh Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan. Selain itu,
Gubernur Kalimantan Selatan tidak dapat mendasari diberikannya sanksi
administratif kepada PT Sebuku oleh karena PT Sebuku tidak melaksanakan
kegiatan.
Akan tetapi, apabila seandainya diketahui bahwa PT Sebuku tidak
melaksanakan kegiatan selama 3 (tiga) tahun setelah dimilikinya izin
lingkungan, maka tindakan yang seharusnya dilakukan oleh Gubernur

62
Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, Putusan No. 6..., hlm. 238.

Universitas Indonesia
168

Kalimantan Selatan adalah memerintahkan PT Sebuku untuk menyusun


dokumen AMDAL baru. Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) Pemerintah Nomor
27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan ditentukan bahwa sebelum
mengajukan permohonan perubahan izin lingkungan maka penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan (pemilik izin lingkungan) wajib mengajukan
permohonan perubahan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL – UPL. Adapun dasar dari diterbitkannya perubahan
keputusan kelayakan lingkungan hidup adalah penyusunan dan penilaian
dokumen AMDAL baru atau penyampaian dan penilaian terhadap adendum
Andal dan RKL – RPL.63 Dengan demikian, diketahui bahwa untuk
permohonan perubahan izin lingkungan tidak dapat serta merta dilakukan
tanpa adanya penyusunan dokumen AMDAL yang baru. Sehingga, apabila
dikaitkan dalam kasus ini, seandainya diketahui PT Sebuku tidak
melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam izin lingkungannya,
maka Gubernur Kalimantan Selatan dapat memerintahkan PT Sebuku untuk
melakukan penyusunan dokumen AMDAL yang baru sebelum kemudian
memerintahkannya untuk melakukan perubahan izin lingkungan.

3) Pemerintah Provinsi Gubernur Kalimantan Selatan tidak memiliki


Salinan Izin Lingkungan milik PT Sebuku Batubai Coal
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, diketahui
bahwa terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan telah memberikan
kewajiban pada Menteri ESDM atau gubernur sesuai dengan kewenangannya
untuk melakukan evaluasi terhadap dokumen – dokumen IUP yang telah
diterbitkan oleh bupati/walikota. Evaluasi terhadap dokumen IUP tersebut
dilakukan berdasarkan kriteria administratif, kewilayahan, teknis,
lingkungan, dan finansial.64 Tidak terpenuhinya kriteria tersebut dapat


63
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Izin Lingkungan, PP No. 27 Tahun 2012, LN No.
48 Tahun 2012 TLN No. 5285, ps. 50 ayat (4).
64
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara
Evaluasi..., ps. 5 ayat (2).

Universitas Indonesia
169

berakibat pada diberikannya sanksi administratif yang berujung pada


dicabutnya IUP. Dalam melakukan evaluasi tersebut, diperlukan koordinasi
yang baik antara pemerintah daerah kabupaten/walikota dengan Kementerian
ESDM dan pemerintah daerah provinsi, mengingat apabila bupati/walikota
tidak menyerahkan dokumen terkait maka Gubernur dapat berasumsi bahwa
pemegang IUP tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Pada kasus yang penulis angkat, diketahui bahwa pada tanggal 25
Oktober 2017, Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Selatan menerbitkan Surat
Dinas Nomor 540/4252-BMB/DESDM perihal Penghentian Sementara
Kegiatan Pertambangan Batubara yang ditujukan kepada PT Sebuku. Dalam
surat dinas ESDM tersebut dinyatakan bahwa surat tersebut didasari pada
tidak dimilikinya salinan izin lingkungan PT Sebuku sehingga PT Sebuku
diminta untuk menghentikan kegiatan pertambangan batubara sampai salinan
izin lingkungannnya disampaikan kepada Dinas ESDM Provinsi Kalimantan
Selatan.65 Dengan demikian dapat dipahami bahwa dasar dari Gubernur
Kalimantan Selatan menjatuhkan sanksi administratif berupa penghentian
sementara kegiatan pertambangan batubara didasari pada tidak dimilikinya
salinan izin lingkungan PT Sebuku.
Pada dasarnya, dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 34
Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan, Surat Edaran ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015, maupun pada regulasi di sektor pertambangan lainnya
tidak diatur bahwa tidak diberikannya salinan izin lingkungan dapat menjadi
dasar dikenakannya sanksi administratif kepada pemegang IUP. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tidak dimilikinya salinan izin lingkungan
tidak dapat dijadikan dasar untuk memberikan sanksi administratif berupa
penghentian sementara kegiatan usaha kepada pemegang IUP. Dalam kasus
yang penulis angkat, diketahui bahwa Gubernur Kalimantan Selatan melalui
Dinas LH telah menerbitkan Surat Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan

65
Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, Putusan No. 6..., hlm. 217.

Universitas Indonesia
170

No. 660/648-TL/DLH pada tanggal 16 Oktober 2017 yang memerintahkan


PT Sebuku untuk melakukan perubahan izin lingkungan, maka seharusnya
Gubernur Kalimantan Selatan sudah mengetahui bahwa PT Sebuku telah
memiliki izin lingkungan.66 Hanya dengan tidak dimilikinya salinan izin
lingkungan oleh Gubernur Kalimantan Selatan, tidak dapat dikatakan bahwa
PT Sebuku tidak memenuhi kriteria lingkungan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan.67
Apabila Gubernur Kalimantan Selatan tidak memiliki salinan izin
lingkungan PT Sebuku, maka Gubernur Kalimantan Selatan dapat meminta
kepada Bupati Kotabaru selaku pihak yang menerbitkan izin lingkungan PT
Sebuku atau langsung kepada PT Sebuku untuk menyerahkan salinan izin
lingkungannya, bukan dengan langsung memberikan sanksi administratif
berupa penghentian sementara. Selain itu, dalam hal bupati/walikota tidak
menyerahkan dokumen – dokumen IUP yang telah diterbitkan kepada
gubernur, maka gubernur dimungkinkan untuk melaporkan bupati/walikota
tersebut kepada Menteri Dalam Negeri yang kemudian Menteri Dalam
Negeri memberi teguran kepada bupati/walikota.68 Adapun dalam kasus ini
diketahui bahwa Gubernur Kalimantan Selatan tidak melakukan upaya baik
untuk meminta salinan izin lingkungan PT Sebuku langsung kepada Bupati
Kotabaru, maupun upaya untuk melaporkan Bupati Kotabaru kepada Menteri
Dalam Negeri untuk kemudian diberikan teguran agar menyerahkan salinan
izin lingkungan tersebut. Selain itu, Gubernur Kalimantan Selatan juga tidak


66
Apabila ditemukan fakta bahwa PT Sebuku melakukan kegiatan pertambangan tanpa
memiliki izin lingkungan, maka menurut ketentuan Pasal 111 ayat (2) Undang – Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bupati Kotabaru dapat dikenakan
sanksi pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
67
Evaluasi terhadap penerbitan IUP berdasarkan kriteria lingkungan diatur di dalam Pasal 5
ayat (2) huruf d Peraturan Menteri ESDM No. 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan
Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi “Evaluasi terhadap penerbitan Iup
sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria lingkungan berupa
dokumen lingkungan hidup yang telah disahkan oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan.”
68
Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal
Mineral dan batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 18 Desember 2018.

Universitas Indonesia
171

meminta salinan izin lingkungan PT Sebuku langsung kepada PT Sebuku,


padahal gubernur dimungkinkan untuk membuka penerimaan dokumen –
dokumen IUP langsung dari perusahaan tambang tanpa melalui
69
bupati/walikota. Kendati demikian, apabila PT Sebuku tidak menyerahkan
salinan izin lingkungannya kepada Gubernur Kalimantan Selatan, maka PT
Sebuku tidak dapat dikenakan sanksi akan hal tersebut. Hal ini dikarenakan
kewajiban untuk menyerahkan dokumen IUP tersebut merupakan kewajiban
dari bupati/walikota, bukan perusahaan tambang (dalam hal ini PT Sebuku)
itu sendiri.
Dengan tidak dilakukannya upaya apapun oleh Gubernur Kalimantan
Selatan untuk meminta salinan izin lingkungan PT Sebuku sebelum
memberikan sanksi administratif, maka dapat diketahui bahwa Gubernur
Kalimantan Selatan tidak memiliki itikad baik dalam melakukan evaluasi
terhadap dokumen IUP Operasi Produksi PT Sebuku. Tidak hanya Gubernur
Kalimantan Selatan, dalam kasus ini Bupati Kotabaru juga telah lalai dalam
melakanakan kewajibannya untuk menyerahkan dokumen – dokumen IUP
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun
2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan.
Pemberian sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan
pertambangan telah memberikan dampak kerugian yang cukup besar bagi PT
Sebuku, mengingat PT Sebuku tidak lagi dapat menjalankan kegiatan
usahanya yang telah dipersiapkan bahkan sejak tahun 2009 saat dimilikinya
IUP Eksplorasi.
Seharusnya, dalam kasus ini, Gubernur Kalimantan Selatan dan Bupati
Kotabaru berkoordinasi dengan baik untuk melakukan evaluasi terhadap
dokumen – dokumen IUP yang wilayah tambangnya berlokasi di Kabupaten
Kotabaru. Selain itu, Kementerian ESDM juga seharusnya ikut andil dalam
menengahi permasalahan miskoordinasi antara gubernur dengan bupati.
Tentunya, dengan adanya koordinasi yang baik antara Menteri ESDM,
gubernur dan juga bupati/walikota dapat meminimalisir pemberian sanksi
administratif kepada pemegang IUP secara sewenang – wenang.


69
Ibid.

Universitas Indonesia
172

c. Prosedur yang dilakukan Gubernur Kalimantan Selatan dalam


Mencabut Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT Sebuku Batubai
Coal
Pada dasarnya, prosedur untuk mencabut suatu IUP didasarkan pada alasan
dari dicabutnya IUP itu sendiri. Pasal 119 Undang - Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, Pasal 99 Peraturan Menteri
ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan
dan Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 42
Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara dan Pasal 18 Peraturan Menteri ESDM
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan memungkinkan kondisi – kondisi tertentu dimana IUP dapat
langsung diberikan sanksi administratif berupa pencabutan IUP tanpa melalui
tahapan pemberian sanksi administratif berupa teguran tertulis dan penghentian
sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha. Sedangkan diluar dari kondisi –
kondisi yang ditentukan dalam Pasal 119 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, Pasal 99 Peraturan Menteri
ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah Perizinan
dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara 8, dan
Pasal 18 Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan, maka pemberian sanksi
administratifnya harus melalui tahapan a) teguran tertulis, b) penghentian
sementara kegiatan usaha, atau c) pencabutan IUP.
Merujuk pada pembahasan mengenai analisis substansi dari SK Pencabutan
IUP OP PT Sebuku sebagaimana telah dibahas sebelumnya, diketahui bahwa
alasan – alasan dalam SK tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum. Dengan
demikian, analisis terhadap prosedur dari diterbitkannya SK Pencabutan IUP OP
PT Sebuku tidak berpatokan pada alasan – alasan Gubernur Kalimantan Selatan
dalam menerbitkan SK tersebut, melainkan berpatokan pada sejumlah fakta –
fakta hukum yang terdapat di dalam Putusan Nomor 6/G/2018/PTUN.BJM.
Sebagaimana diketahui, PT Sebuku telah menerima surat teguran tertulis dari
Gubernur Kalimantan Selatan melalui Dinas LHnya berupa Surat Dinas LH

Universitas Indonesia
173

Provinsi Kalimantan Selatan No. 660/648/TL/DLH pada tanggal 16 Oktober


2017 perihal Izin Lingkungan PT Sebuku. Surat Dinas LH tersebut
memerintahkan PT Sebuku untuk mengajukan permohonan perubahan izin
lingkungan karena diketahui dari Surat Kabar Radar Banjarmasin bahwa PT
Sebuku tidak melakukan kegiatan selama 3 (tiga) tahun sejak dimilikinya izin
lingkungan. Kemudian, pada tanggal 25 Oktober 2017, Gubernur Kalimantan
Selatan melalui Dinas ESDMnya menerbitkan Surat Dinas ESDM Provinsi
Kalimantan Selatan No. 540/4252-BMB/DESDM perihal Penghentian
Sementara Kegiatan Pertambangan Batubara PT Sebuku Batubai Coal.
Penghentian sementara kegiatan pertambangan batubara PT Sebuku tersebut
disebabkan oleh karena Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Selatan belum
memiliki salinan izin lingkungan PT Sebuku. Kemudian, pada tanggal 26 Januari
2018, Gubernur Kalimantan Selatan menerbitkan Surat Keputusan Nomor
503/119/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi Batubara PT Sebuku Batubai Coal di Kabupaten Kotabaru.
Berdasarkan alur kronologis tahapan pemberian sanksi administratif yang
telah dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa terdapat beberapa hal dalam
tahapan pemberian sanksi tersebut yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang – undangan. Diketahui bahwa PT Sebuku menerima surat teguran dari
Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan, bukan Dinas ESDM. Apabila sanksi
berupa teguran tertulis tersebut dimaksudkan pada IUP Operasi Produksi PT
Sebuku, maka sanksi tersebut seharusnya diberikan oleh Dinas ESDM,
mengingat teguran dalam rangka IUP merupakan domain-nya Dinas ESDM
Provinsi Kalimantan Selatan.70 Sebaliknya, untuk urusan perizinan di bidang
lingkungan merupakan kewenangan Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan.
Sehingga, terhadap surat teguran tertulis berupa Surat Dinas LH Provinsi
Kalimantan Selatan Nomor 660/648/TL/DLH, tidak dapat dikategorikan sebagai
teguran tertulis dalam tahapan sanksi administratif di sektor pertambangan
mineral dan batubara, karena Surat Dinas LH tersebut termasuk dalam ranah
tahapan sanksi admninistratif terhadap izin lingkungan.


70
Ibid.

Universitas Indonesia
174

Selain itu, Surat Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 540/4252-
BMB/DESDM perihal Penghentian Sementara Kegiatan Pertambangan Batubara
PT Sebuku Batubai Coal tidak dapat dibenarkan. Dari segi substansi, Surat Dinas
ESDM tersebut telah menyalahi ketentuan peraturan perundang – undangan
karena tidak dimilikinya salinan izin lingkungan tidak dapat dijadikan alasan
pemberian sanksi kepada pemegang IUP.71 Dari segi prosedur, diketahui bahwa
sanksi penghentian sementara kegiatan merupakan tahapan lanjutan dari sanksi
teguran tertulis72, sehingga diperlukan adanya teguran tertulis terlebih dahulu
untuk kemudian dapat diberikan sanksi penghentian sementara kegiatan
pertambangan. Dalam kasus PT Sebuku ini, diketahui bahwa sanksi teguran
tertulis yang diberikan oleh Dinas LH Provinsi Kalimantan Selatan tidak
termasuk dalam tahap pemberian sanksi administratif terhadap IUP Operasi
Produksi PT Sebuku karena surat teguran tersebut ditujukan pada izin lingkungan
PT Sebuku. Dengan demikian, untuk dapat memberikan sanksi administratif
berupa penghentian sementara kegiatan pertambangan PT Sebuku, seharusnya
Gubernur Kalimantan Selatan melalui Dinas ESDM terlebih dahulu memberikan
teguran tertulis yang didasari pada alasan – alasan yang dapat diakomodir secara
hukum sebagai alasan dalam mencabut IUP.
Terlebih lagi, penerbitan surat keputusan berupa pencabutan IUP Operasi
Produksi PT Sebuku juga tidak dapat dibenarkan baik dari segi substansi maupun
dari segi prosedur. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,
diketahui bahwa tidak ada satupun ketentuan peraturan perudangan yang


71
Keadaan – keadaan yang dimungkinkan untuk diberikannya penghentian sementara
kegiatan usaha pertambangan diatur dalam Pasal 113 Undang – Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi “Penghentian sementara kegiatan usaha
pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila terjadi: a) keadaan kahar,
b) keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan
usaha pertambangan, c) apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat
menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan
di wilayahnya.”
72
Ketentuan yang menyatakan bahwa sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh
kegiatan usaha pertambangan merupakan kelanjutan dari sanksi teguran tertulis diatur di dalam Pasal
40 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM No. 34 Tahun 2017 tentang ... yang berbunyi “Dalam hal
pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan IUJP
yang mendapat sanksi peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 belum melaksanakan kewajibannya, dikenakan sankasi
administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b.”

Universitas Indonesia
175

memungkinkan aspirasi masyarakat sebagai dasar dari dicabutnya IUP. Selain


itu, dari segi prosedur, diketahui bahwa selain kondisi – kondisi tertentu yang
telah ditentukan, untuk dapat mencabut IUP harus didahului dengan tahapan
sanksi administratif lainnya, yaitu teguran tertulis dan penghentian sementara
sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan. Dalam tahapan pemberian
sanksi administratif tersebut diharuskan adanya alasan yang memang diakomodir
dalam ketentuan peraturan perundangan sebagai alasan untuk dicabutnya IUP
yang tidak kunjung diindahkan oleh pemegang IUP dalam batas waktu yang telah
ditentukan.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dalam kasus PT Sebuku
diketahui bahwa teguran tertulis yang diterbitkan oleh Dinas LH Provinsi
Kalimantan Selatan merupakan teguran tertulis terhadap izin lingkungan PT
Sebuku, bukan terhadap IUP, sehingga surat teguran tersebut tidak termasuk
sebagai tahapan pemberian sanksi administratif IUP PT Sebuku. Selain itu,
alasan yang dijadikan dasar dari diterbitkannya SK Pencabutan IUP PT Sebuku
berbeda dengan alasan dari diberikannya sanksi berupa penghentian sementara
kegiatan pertambangan batubara PT Sebuku. Pada sanksi pemberhentian
sementara, Gubernur Kalimantan Selatan mendasari sanksi tersebut oleh karena
Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Selatan tidak memiliki salinan izin
lingkungan PT Sebuku, sedangkan pada surat keputusan pencabutan IUP Operasi
Produksi PT Sebuku, Gubernur Kalimantan Selatan mendasari pencabutan
tersebut oleh karena adanya penolakan warga masyarakat Pulau Laut terhadap
aktivitas tambang di Pulau Laut. Seharusnya, alasan dari sanksi penghentian
sementara kegiatan batubara dan pencabutan IUP Operasi Produksi PT Sebuku
didasari pada hal yang sama, mengingat normatifnya, pencabutan IUP
merupakan tahapan lanjutan oleh karena pemegang IUP tidak kunjung
mengindahkan sanksi pemberhentian sementara yang telah diberikan pada jangka
waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan tersebut
dapat diketahui bahwa tahapan pemberian sanksi administratif dalam penerbitan
SK Pencabutan IUP OP PT Sebuku telah melanggar ketentuan peraturan
perundang – undangan.
Apabila seandainya Gubernur Kalimantan Selatan mendasari diterbitkannya
SK Pencabutan IUP OP PT Sebuku oleh karena adanya “kondisi tertentu”

Universitas Indonesia
176

sebagaimana dimungkinkan pada Pasal 42 Peraturan Menteri ESDM Nomor 34


Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara,
hal tersebut juga tidak dapat dibenarkan. Kendati pada Peraturan Menteri ESDM
Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara sendiri tidak dielaborasikan definisi dari kondisi tertentu tersebut,
namun diketahui bahwa kondisi yang dimaksud pada frasa tersebut merujuk
kepada ketentuan dalam Pasal 119 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, yaitu adanya pelanggaran
kewajiban, melakukan tindak pidana, dan karena perusahaan pailit.73
Sebagimana telah dibahas secara rinci pada bagian sebelumnya, diketahui bahwa
PT Sebuku telah memenuhi seluruh kewajiban dalam ranah IUP Operasi
Produksi, terlebih lagi PT Sebuku juga telah memiliki sertifikat clear and clean
oleh Menteri ESDM pada tahun 2017. Dengan dimilikinya sertifikat clear and
clean, maka dapat diketahui bahwa PT Sebuku telah memenuhi persyaratan –
persyaratan IUP terutama terkait dengan persyaratan administrasi, wilayah,
teknis, finansial, dan lingkungan.74 Selain itu, diketahui tidak terdapat satu
putusan pengadilan negeri-pun yang menyatakan PT Sebuku terlibat dalam suatu
tindak pidana. Dalam hal kepailitan juga diketahui bahwa PT Sebuku tidak
sedang dalam kedaan pailit. Dengan tidak terbuktinya PT Sebuku melanggar
kewajiban, melakukan tindak pidana, dan dalam keadaan pailit, maka Gubernur
Kalimantan Selatan tidak dapat dengan serta merta langsung mencabut IUP
Operasi Produksi PT Sebuku Batubai Coal. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa dari segi prosedur penerbitannya, SK Pencabutan IUP OP PT Sebuku
telah melanggar ketentuan peraturan perundang – undangan.


73
Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, Putusan No. 6..., hlm. 133 - 134).
74
Ketentuan yang menyatakan bahwa dimilikinya sertifikat clear and clean mengartikan
pemegang IUP telah memenuhi persyaratan administrasi, wilayah, teknis, finansial, dan lingkungan
diatur di dalam Pasal 24 Peraturan Menteri ESDM No. 43 Tahun 2015 tentang ... yang berbunyi
“Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan Sertifikat IUP Clear and Clean berdasarkan: a)
hasil evaluasi terhadap penerbitan IUP terkait aspek teknis, lingkungan, dan finansial yang dilakukan
oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, dan
ayat (3) serta hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dan b) hasil evaluasi dari gubernr
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c dan huruf f serta evaluasi kriteria finansial
sebagaima adimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).

Universitas Indonesia
177

Setelah diketahui penjabaran mengenai analisis terhadap aspek kewenangan,


prosedur, dan subtansi dari SK Pencabutan IUP OP PT Sebuku, maka dapat diketahui
bahwa dari segi kewenangan, Gubernur Kalimantan Selatan memiliki wewenang
untuk mencabut IUP Operasi Produksi PT Sebuku karena lokasi kegiatan
pertambangan PT Sebuku termasuk dalam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Sedangkan dari segi substansi, alasan aspirasi masyarakat yang menolak aktivitas
pertambangan di Pulau Laut dan tidak dimilikinya salinan izin lingkungan oleh Dinas
ESDM Provinsi Kalimantan Selatan tidak termasuk sebagai alasan yang
dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang – undangan untuk menjadi dasar
dicabutnya IUP. Terhadap alasan pencabutan IUP oleh karena PT Sebuku diharuskan
mengajukan permohonan perubahan izin lingkungan tidak lagi menjadi relevan
karena diketahui PT Sebuku telah melakukan kegiatan setelah dimilikinya izin
lingkungan. Sedangkan dari aspek prosedur, penerbitan SK Pencabutan IUP OP telah
melanggar ketentuan peraturan perundang – undangan karena tahapan – tahapannya
tidak terpenuhi dan juga alasan dari surat keputusan tersebut tidak termasuk dalam
“kondisi tertentu” yang dimungkinkan untuk langsung dicabutnya IUP tanpa tahapan
tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari segi substansi dan prosedur, SK
Pencabutan IUP Operasi Produksi telah melanggar ketentuan perarutan perundangan
yang berlaku, khususnya di peraturan di bidang peraturan mineral dan batubara.

Universitas Indonesia
178

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis jabarkan pada bagian sebelumnya, maka
dapat disimpulkan beberapa hal, diantaranya:
1. Kewenangan gubernur dalam pencabutan IUP setelah berlakunya Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengalami
perluasan. Gubernur memiliki wewenang untuk mencabut IUP yang wilayah
pertambangannya berada di 1 (satu) daerah provinsi termasuk juga terhadap
IUP yang telah diterbitkan oleh bupati/walikota sebelum berlakunya Undang
– Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah atas hasil dari
evaluasi yang dilakukan terhadap IUP yang bersangkutan. Adapun
bupati/walikota tidak lagi memiliki wewenang untuk mencabut IUP, setelah
diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 04.E/30/DJB/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara setelah
Berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Selain itu, Menurut Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, diketahui bahwa IUP yang telah
diterbitkan dapat berakhir jika dikembalikan, dicabut atau habis masa
berlakunya. Pencabutan IUP dapat langsung dilakukan oleh Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral atau gubernur sesuai dengan kewenangannya,
dalam hal pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam
IUP atau IUPK serta peraturan perundang – undangan, pemegang IUP atau
IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang –
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
atau pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit. Selain itu, dimungkinkan
juga pencabutan IUP yang harus dilakukan melalui tahapan sanksi
administratif terlebih dahulu berupa peringatan tertulis, penghentian
sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi,

Universitas Indonesia
179

dan/atau pencabutan IUP, IPR, atau IUPK dalam hal pemegang IUP
melakukan pelanggaran ketentuan dalam beberapa Pasal yang disebutkan
dalam Pasal 151 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.

2. Pencabutan IUP Operasi Produksi PT Sebuku melalui Surat Keputusan


Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 telah tidak
sah karena surat keputusan tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang – undangan khususnya di sektor pertambangan mineral dan
batubara karena mengandung cacat prosedur dan cacat substansi. Dari segi
substansi, Gubernur Kalimantan Selatan mendasari surat keputusan
pencabutan IUP PT sebuku oleh karena adanya aspirasi masyarakat yang
menolak aktivitas pertambangan di Pulau Laut, karena tidak dimilikinya
salinan izin lingkungan PT Sebuku dan oleh karena PT Sebuku tidak
melakukan kegiatan setelah dimilikinya izin lingkungan. Berdasarkan
ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara maupun peraturan pelaksana lainnya,
tidak terdapat satu ketentuan-pun yang memungkinkan aspirasi masyarakat
dan tidak dimilikinya salinan izin lingkungan sebagai dasar dari dicabutnya
IUP. Selain itu, berdasrkan surat keberatan dari PT Sebuku dan Berita Acara
Tindak Lanjut Kegiatan Peninjauan Lapangan dalam Rangka Monitoring
Kegiatan Pertambangan Batubara PT Sebuku oleh Dinas ESDM Provinsi
Kalimantan Selatan, diketahui bahwa PT Sebuku telah melaksanakan kegiatan
pra-konstruksi dan konstruksi setelah dimilikinya izin lingkungan. Dengan
demikian, dari segi substansi, PT Sebuku telah terbantahkan melanggar hal –
hal yang dijadikan dasar oleh Gubernur Kalimantan Selatan dalam mencabut
IUP-nya.
Dari segi prosedur. Gubernur Kalimantan Selatan telah tidak
mengindahkan tahapan – tahapan sanksi administratif dalam menerbitkan
surat keputusan pencabutan IUP PT Sebuku. Meskipun PT Sebuku telah
menerima teguran tertulis, sanksi pemberhentian sementara kegiatan
pertambangan, dan sanksi pencabutan IUP, diketahui bahwa pejabat yang
menerbitkan sanksi tertulis bukan merupakan pejabat yang berwenang dalam

Universitas Indonesia
180

ranah pertambangan mineral batubara. Sanksi tertulis tersebut diberikan oleh


Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan dimana sanksi teguran
tersebut merujuk pada izin lingkungan, bukan IUP. Selain itu, Gubernur
Kalimantan Selatan mendasari diberikannya sanksi teguran tertulis, sanksi
pemberhentian sementara kegiatan pertambangan, dan sanksi pencabutan IUP
pada alasan yang berbeda – beda di setiap sanksinya. Padahal, tahapan
pemberian sanksi administratif merupakan satu kesatuan rangkaian tahapan
oleh karena Pemegang IUP tidak kunjung mengindahkan sanksi sebelumnya
yang diberikan, sehingga seharusnya dasar dari tiap tahapan sanksi tersebut
tidak boleh berbeda – beda. Dengan demikian, meskipun surat keputusan
pencabutan IUP diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, namun dari segi
subtansi dan prosedur, Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor
503/119/DPMPTSP/ telah melanggar ketentuan peraturan perundangan yang
mengakibatkan surat keputusan tersebut tidak sah.

5.1 Saran
Dari penelitian yang penulis lakukan, penulis menyarankan beberapa hal dengan
tujuan untuk memaksimalkan penyelenggaraan urusan pemerintahan di sektor
pertambangan mineral dan batubara. Saran – saran tersebut antara lain adalah:
1. Pemberian sanksi pada regulasi di sektor pertambangan mineral dan batubara
kepada bupati/walikota dalam hal bupati/walikota lalai dalam memenuhi
kewajibannya untuk menyerahkan dokumen – dokumen IUP sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata
Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
2. Peningkatan peran pemerintah pusat dalam melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilakukan
pemerintah provinsi. Dengan diterbitkannya Undang – Undang No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah, gubernur mengemban tugas yang lebih
banyak jika dibandingkan pada masa sebelum Undang – Undang No. 23
Tahun 2014 diterbitkan oleh karena kewenangan di sektor pertambangan yang
semula dimiliki oleh bupati/walikota seluruhnya dilimpahkan kepada
gubernur.

Universitas Indonesia
181

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Amrizal. Hukum Bisnis Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia. Jakarta: Djambatan,
1996.

Atmosudirdjo, Prayudi. Hukum Administrasi Negara. Cet. 10. Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1995.

Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara. Tindak Lanjut Pembinaan dan Pengawasan
Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara era Terbitnya UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Bahan Presentasi Pertemuan
Tahunan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Yogyakarta: 22
Oktober 2015.

Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi. Kilas


Balik 50 Tahun Pertambangan Umum dan Wawasan 25 Tahun Mendatang.
Jakarta, 1995.

Hayati, Tri, dkk. Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam
berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS
FHUI, 2005.

Hayati, Tri. Era Baru Hukum Pertambangan: Di Bawah Rezim UU No. 4 Tahun 2009.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.

Hadjon, Philipun M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press, 1993.

H.R, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

HS, Salim. Hukum Pertambangan di Indonesia. Ed. 1 Cet. 6. Depok: PT Rajagrafindo


Persada, 2012.

Universitas Indonesia

182

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang;


Bayumedia Publishing.

Indroharto. Usaha Memahami Undang – Undang tentang Peradilan Administrasi


Pemerintahan, Buku I, Beberapa pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.

Kansil, C. S. T. dan Christine S. T. Kansil. Pemerintahan Daerah di Indonesia: Hukum


Administrasi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Komisi Pemberantasan Korupsi. Kajian Harmonisasi Undang – Undang di Bidang


Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2018.

LIPI, Partnership for Governance Reform in Indonesia, dan Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia. Desentralisasi & Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press, 2007.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Cet. 1. Bandung: PT Citra


Aditya Bakti, 2004.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara,
2003.

Nursadi, Harsanto. Hukum Administrasi Negara Sektoral karangan Harsanto Nursadi.


Depok, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016.

Priambodo, Bono Budi. “Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Pengelolaan


Sumberdaya Alam”, Hukum Administrasi Negara Sektoral. Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Center for Law and Good
Governance Studies, 2016.

Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Analisis dan

Universitas Indonesia

183

Evaluasi Peraturan Perundang – Undangan tentang Minerba di Kawasan Hutan


Lindung. 2013.

Saleng, Abrar. Hukum Pertambangan. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2004.

Sigit, Soetaryo. Potensi Sumber Daya Mineral an Kebangkitan Pertambangan


Indonesia, Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa di ITB.
Bandung: 9 Maret 1996.

Sigit, Soetaryo dan S. Yudonarpodo. Legal Aspects of The Mineral Industry in


Indonesia, Indonesian Mining Association (IMA). Jakarta: 1993.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI Press, 2010.

Soemitro, Rochmat. Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Refika Aditama, 1998.

Soetjipto, Roziq B. Sejarah Munculnya Pemikiran Pengusahaan Pertambangan yang


Berorientasi Kerakyatan. Yogyakarta: 1997.

Sunarno, Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,


2008.

Survey of Indonesia Economic Law. Mining Law. Bandung: Law School Padjajaran
University, 1974.

Susilo, Joko. dan Adi Prathomo. Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan


Indonesia, Kumpulan Tulisan S. Sigit, 1967 – 2004. Jakarta: Yayasan Minergy
Informasi Indonesia, 2004.

Widjaja. Otonom Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,


2004.

Wasistiono, Sadu, Etin Indrayani, dan Andi Pitono. Memahami Asas Tugas
Pembantuan. Bandung: Fokus Media, 2006.

Universitas Indonesia

184

Yuliati, Sri. Analisis Hukum tentang Pemilikan Saham pada Perusahaan Penanaman
Modal Asing.

Zulkifli, Arif. Pengelolaan Tambang Berkelanjutan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.

II. HARIAN

Herjuna, Surya. “Kajian Penyusunan Wilayah Pertambangan dalam Rangka


Pengelolaan Pertambangan yang Baik” WARTA Mineral, Batubara dan Panas
Bumi Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi edisi 4 Agustus
2009. Hlm. 10.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. “APBN KITA (Kinerja dan Fakta), APBN
2017: Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Hingga Ujung Negeri,” Edisi Januari
2018. Hlm. 6.

III. HASIL WAWANCARA

Wawancara dengan Bapak Heriyanto S.H., M.H. Kepala Biro Hukum Direktorat
Jenderal Mineral dan batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
pada 18 Desember 2018.

IV. INTERNET

Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Analisis tentang Pengelolaan Sumber Daya


Alam”.
https://www.bphn.go.id/data/documents/ae_tentang_pengelolaan_sda.pdf.
Diakses 8 Desember 2018.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Analisis terhadap Bentuk Kerjasama di Bidang


Usaha Pertambangan”
Universitas Indonesia

185

https://www.bphn.go.id/data/documents/pertambangan.pdf. Diakses pada 31


Oktober 2018.

Gultom, Obbie Afrie. “Sejarah Hukum Pertambangan di Indonesia”


http://www.gultomlawconsultants.com/sejarah-hukum-pertambangan-di-
indonesia/. Diakses 31 Oktober 2018.

Hartriani, Jeany. “2.522 Izin Tambang Berstatus Non C&C”


https://katadata.co.id/infografik/2017/06/06/2522-izin-tambang-berstatus-non-
cc. Diakses 13 September 2018.

Hukumonline.com. “Pemerintah Ancam Cabut Izin Penambang Tidak Berstatus Clear


and Clean”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5abf89cd7efa7/pemerintah-ancam-
cabut-izin-penambang-tidak-berstatus-iclear-and-clean-i. Diakses 12 Desember
2018.

Hukumonline.com. “Surat Edaran Bukan Peraturan Perundang – Undangan”


https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18765/surat-edaran-bukan-
peraturan-perundangundangan. Diakses 4 Januari 2019.

Indonesia Investments. “Batubara”. https://www.indonesia-


investments.com/id/bisnis/komoditas/batu-bara/item236?. Diakses 13
September 2018.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral “Pencabutan/Penyederhanaan Regulasi


dan Perizinan Sektor
ESDM”https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-pencabutan-
penyederhanaan-regulasi-dan-perizinan-sektor-esdm-.pdf. Diakses 27 Desember
2018.

North Georgia Electric Membership Corporatis (NGEMC)AP. “Renewable and Non-


Renewable Energy”.

Universitas Indonesia

186

https://www.ngemc.com/sites/ngemc/files/ERSY/LP%202.9%20Renewable%2
0and%20Nonrenewable%20Energy.pdf. Diakses 13 September 2018

Panji Sasongko, Joko. “Banyak Bupati Belum Serahkan Data Izin Tambang ke
Gubernur” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160830212031-12-
154986/banyak-bupati-belum-serahkan-data-izin-tambang-ke-gubernur. Diakses
13 September 2018.

Senduk, Michele Fransiska. “Eksistensi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan


Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Mencapai Good Governance”
https://media.neliti.com/media/publications/117297-ID-eksistensi-pemerintah-
daerah-dalam-penge.pdf. Diakses 3 Desember 2018.

“Siaran Pers: Laporan Penataan Izin Batubara Dalam Korsup KPK” https://pwyp-
indonesia.org/id/318888/siaran-pers-laporan-penataan-izin-batubara-dalam-
korsup-kpk/. Diakses 17 Desember 2018.

Tempo.com. “Soenarko Direktur Utama PT Silo: Haji Islam seperti Kepala Negara”.
https://majalah.tempo.co/read/155279/soenarko-direktur-utama-pt-silo-haji-
isam-seperti-kepala-negara. Diakses 13 September 2018.

V. JURNAL

Awaliyah, Siti. “Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan


Batubara (KK/PKP2)”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th.
27 No. 2 (Agustus 2014). Hlm. 112.

Bagas Suratno, Sadhu. “Pembentukan Peraturan Kebijakan berdasarkan Asas – Asas


Umum Pemerintahan yang Baik,” E-Journal Lentera Hukum Vol. 3, Issue 3
(2017). Hlm. 167.

Braake, A. L, Ter. “Mining in The Netherlands East Indies”, Netherl and Indies
Council of the Inst of Pacific Relations, (New York. 1994).
Universitas Indonesia

187

Chandra, Janto. “Sejarah Paradigma Penguasaan Negara terhadap Bahan Tambang


Batubara dan Hubungannya dengan Perlindungan Hak – Hak Ekonomi Rakyat”,
Jurnal Nurani Vol. 16 No. 1 (Juni 2016: 1 – 18). Hlm. 11.

Djambar, M. Yasin Nahar dan Muhammad Tavip. “Penyelenggaraan Urusan


Pemerintah Bidang Pertambangan dalam Perspektif Otonomi Daerah”, Jurnal
Katalogis Vol. 5 No. 2 (Februari 2017). Hlm. 33.

Djambar, M. Yasin Nahar dan Muhammad Tavip, “Penyelenggaraan Urusan


Pemerintahan Bidang Pertambangan dalam Perspektif Otonomi Daerah,” Jurnal
Katalogis Vol. 5 No. 2 (Februari 2017). Hlm. 26.

Dwi Hananto, Untung. “Asas Desentralisasi dan Tugas Pembantuan dalam UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,” Jurnal MMH Jilid 40 No. 2 (April
2011). Hlm. 208.

Hartati, Tri. “Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Pertambangan


Mineral dan Batubara,” Jurnal MMH Jilid 41 No. 4 (Oktober 2017). Hlm. 532.

Imanuel Williamsom Nalle, Victor. “Hak Menguasai Negara atas Mineral dan Batubara
Pasca Berlakunya Undang – Undang Minerba,” Jurnal Konstitusi Vol. 9 No. 3
(September 2012). Hlm. 476.

J. Ronald, Mawuntu. “Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945


dan Putusan Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Konstitusi Vol. XX No. 3 (April –
Juni 2012). Hlm. 17.

Lathif, Nazaruddin. “Tinjauan Yuridis tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi


dalam Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Batubara,” Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 2 (Desember 2017). Hlm. 152

Universitas Indonesia

188

Md. Diaz Murshed Chowdury, Samim Uddin, Sumaiya Saleh. “Present Scenario of
Renewable and Non-Renewable Resources in Bangladesh: A Compact Analysis”,
International Journal of Sustainable and Green Energy. Hlm. 164.
Nefi, Arman, Irawan Maleba dan Dyah Puspitasari Ayuningtyas, “Implikasi
Keberlakuan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Pasca Undang – Undang No.
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke-48 No. 1 (Januari – Maret 2018). Hlm. 143.

Nugraha, Prima, Budi Gutami, dan Henny Juliani, “Penerapan Status Clear and Clean
oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap Izin Usaha
Pertambangan”, Dipenogoro Law Journal, Vol. 6 No. 2 (2017). Hlm. 3.

Nurul Laili Fadhilah, “Implikasi Pemberlakuan Undang – Undang No. 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Undang – Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah atas Perizinan Pertambangan terhadap Legislasi di Daerah,”
Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 1 No. 2
(Desember 2016). Hlm. 92 – 93.

Pardede, Marulak. “Implikasi Hukum Kontrak Karya Pertambangan terhadap


Kedaulatan Negara (Legal Implication of Mining Contract of Works to The State
Sovereignty),” Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 18 No. 1 (Maret 2018).
Hlm. 9.

Pigome, Martha. “Politik Hukum Pertambangan Indonesia dan Pengaruhnya pada


Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah”. MMH Jilid 40 No. 2
(April 2011). Hlm. 215.

Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Analisis dan
Evaluasi Peraturan Perundang – Undangan tentang Minerba di Kawasan Hutan
Lindung, (2013). Hlm. 85

Redi, Ahmad. “Dinamika Konsepsi Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam”,
Jurnal Konstitusi Vol. 12 No. 2 (Juni 2015). Hlm. 404
Universitas Indonesia

189

Redi, Ahmad. “Dilema Penegakan Hukum Penambangan Mineral dan Batubara tanpa
Izin Pada Pertambangan Skala Kecil,” Jurnal Rechtsvinding Vol. 5 No. 3
(Desember 2016). Hlm. 411.

Silalahi, Daud dan Kristianto P.H. “Perizinan dalam Kegiatan Pertambangan di


Indonesia Pasca Undang – Undang Minerba No. 4 Tahun 2009,” Law Review XI
No. 1 (Juli 2011). Hlm. 5.

Simandjuntak, Reynold. “Sistem Desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik


Indonesia Perspektif Yuridis Konstitusional,” de Jure, Jurnal Syariah dan
Hukum, Vol. 7 No. 1 (Juni 2015). Hlm. 58.

Yunianto, Bambang. “Implikasi Undang – Undang No. 23 Tahun 2014 terhadap


Pengembangan Mineral dan Batubara,” Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara
Vol. 12 No. 12 (Januari 2016). Hlm. 4.

VI. KAMUS

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Kamus Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


1973.

VII. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang – Undang Dasar 1945.

Indonesia, Undang – Undang tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan,


UU No. 11 Tahun 1967, LN No. 22 Tahun 1967 TLN No. 2831.

Indonesia. Undang – Undang tentang Pembatalan Hak – Hak Pertambangan, UU No.


10 Tahun 1959, LN No. 24 Tahun 1959, TLN No. 1759.

Indonesia. Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014,


LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5589.
Universitas Indonesia

190

Indonesia. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,


UU No. 12 Tahun 2011.

Indonesia, Undang – Undang tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 78 Tahun


1958, LN No. 138 Tahun 1958, TLN No. 1725.

Indonesia, Undang – Undang tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 1 Tahun 1967,
LN No. 1 Tahun 1967 TLN No. 2818.

Indonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059.

Indonesia, Undang Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4


Tahun 2009, LN No. 4 Tahun 2009, TLN No. 4959.

Indonesia, Undang – Undang tentang Pokok – Pokok Pemerintahan di Daerah, UU


No.5 Tahun 1974, LN No. 38 Tahun 1974 TLN No. 3037.

Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketetapan Majelis Permusyarawatan


Rakyat tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan,
dan Pembangunan, Ketetapan MPR No. XXIII/MPRS/1996.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tentang Pertambangan,


UU Prp. No. 37 Tahun 1960, LN No. 119 Tahun 1960 TLN No. 2055.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Izin Lingkungan. PP No. 27 Tahun 2012, LN


No. 48 Tahun 2012 TLN No. 5285.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok


Pertambangan. PP No. 32 Tahun 1969, LN No. 60 Tahun 1969, TLN No. 2916.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Pelaksana Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral


dan Batubara. PP No. 23 Tahun 2010, LN No. 23 Tahun 2010.
Universitas Indonesia

191

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan


Propinsi Sebagai Daerah Otonom. PP No. 75 Tahun 2001. LN No. 54 Tahun
2000, TLN No. 3952.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara


Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. PP No. 38 Tahun 2007, LN No. 82 Tahun 2007, TLN No. 4737.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua tentang Perubahan Kedua


atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU No. 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan. PP No. 75
Tahun 2001, LN No. 141 Tahun 2001, TLN No. 4154.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. PP


No. 26 Tahun 2008, LN No. 48 Tahun 2008, TLN No. 4833.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan. PP No. 22 Tahun


2010, LN No. 28 Tahun 2010, TLN No. 5110.

Indonesia, Presiden Republik Indonesia. Keputusan Presiden tentang Ketentuan Pokok


Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Kepres No. 75 Tahun 1996,
LN No. 1578 Tahun 1996.

Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Permen ESDM No. 43 Tahun 2015 BN
No. 2015 Tahun 2015.

Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan
Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Permen
ESDM No. 11 Tahun 2018, Berita Negara No. 295 Tahun 2018.

Universitas Indonesia

192

Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Permen ESDM No. 34 Tahun 2017.

Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Surat Edaran Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan
Batubara sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah sebagai Pelaksana Undang-
Undang No. 4 Tahun 2009. SE Departemen ESDM No. 03.E/31/DJB/2009.

VIII. PETA

Peta Wilayah Pertambangan Pulau Kalimantan dalam Lampiran Keputusan Menteri


ESDM No. 4003 K/30/MEM/2013.

IX. PUTUSAN PENGADILAN

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan No. 01-021-022/PUU-I/2003.

Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin. Putusan No. 6/G/2018/PTUN.BJM.

Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda. Putusan No. 31/G/2010/PTUN-SMD.

X. SKRIPSI/ TESIS/ DISERTASI


Dermawan, Iwan. “Kewajiban Divestasi pada Penanaman Modal Asing di bidang
Pertambangan Umum (Studi Kasus Perjanjian Kontrak Karya antara PT.
Newmont Nusa Tenggara dengan Pemerintah Indonesia)”. Skripsi Universitas
Indonesia, Depok, 2008.

Hayati, Tri. “Perizinan Pertambangan di Era Reformasi Pemerintahan Daerah Studi


Tentang Perizinan Pertambangan Timah di Pulau Bangka”. Disertasi Doktor
Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.
Universitas Indonesia

Lampiran 1. Izin Lingkungan PT Sebuku Batubai Coal

i'i. ;. .. 1';,

$a.#.'+#.-
WIS#l;,9;
'EriP.:,
,,.'7'l;l
\, *'
-l',.r,

BUPATI KOTABARU
KEPUTUSAN BUPATI KOTABARU

NoMoR 188.4s / bAg / ruttt / zots


TENTANG

IZIN LINGKUNGAN
ATAS KEGIATAN PER?AMBANGAN BATUBARA
OLEH PT. SEBUKU BATUBAI COALYANG BE'RLOKASI DI
KECAMATAN PUI,AU I,AUT UTARA DAN
* KECAMATANPULAULAUTTENGAFI
KABUPATEN KOTABARU

BUPATI KOTABARU,

Menimbalg : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan


Pemerintah Nomor 27 Tah.ula 2072 tentang Izin
Lingkungal, setiap usaha datlatau kegiatan yartg
beirdampak penting terhadap lingkungan hidup
wajib memiliki Amdal atau UKLUPL wajib memiliki
Izin Lingkungan;
b. bahwa kegiatan Pertambangan Batubara oleh PT.
Sebuku Batubai Coal, berlokasi di Kecamataa Pulau
Laut Utara darr Kecamatal Pulau Laut Tengah
Kabupaten Kotabaru merupakan kegiatan yang
wajib memiliki Izin Lingkungan;
c. bahwa berdasarkan Surat Nomor
66Ol59llBLHD/2O13 tentang Rqkomendasi Izin
Lingkungan Hidup Rencaaa Kegiatan Pertambangan
Batubara oleh PT. Sebqku Batubai Coal yallg
berlokasi di Kecamatan Pulau Laut Utara da-n
Kecarnatan Pulau Laut Tengah Kabupaten Kotabaru,
telah sesuai dengan ketentuan da.n Peraturan
Perundang-undanga.n yang berlaku;
d. bahwa berdasarkan surat Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia Nomor B-
T66g lDep.tlLHlPDALlOT l2OL3 Taaggal 04 Juli
2013 perihal Pengesahan dokumen lingkungan,
perlu diterbitkan nya Izrn Lingkungan.
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, perlu
menetapkal Keputusan Bupati tentang lzin
Lingkungal atas Kegiataa Pertambangan Batubara
oleh PT. Sebuku Batubai Coal yang berlokasi di
Kecamatan Pulau Laut Utara dan Kecamatan Pulau
Laut Tengah Kabupaten Kotabaru;
(lanjutan)

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 27 'fahun 1959 tentang


Penetapan Undalg-Undang Darurat Nomor 3 Tahun
1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di
Kalimaritan (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor
9) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 182Oi;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2OO4 tentang
Pemerintahal Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 4437)
Sebagaimana telah diubah beberapa ka-1i terakhir
derrgan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaral
Negara Republik Iodonesia Nomor 4844);
J. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2OO7 tentang
Penataan Rualg (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahart
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
4. Undalg-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (l,embaran
I{egara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,
fambahan Lembaral Negara Republik Indonesia
Nomor 4959);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2OO9
tentang Perlindungan dal Pengelolaa-n Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2OO9 Nomor 140, Tambahan Lembaraa Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);
6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2OO9 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tamhahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undaagan
(Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 5234);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 20O5
tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembarart
Negara Republik Indonesia Tahun 2O05 Nomor l'65,
Tambahan Lembaral Negara Republik Indonesia
Nomor 4593);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2OO7
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antar
Pemerintah, Pemerintahal Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tohun 2OO7 Nomor 82,
Tambahan Lembaral Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
(lanjutan)

10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahuo 2O12


tentang Izin Lingkungan (l,embaral Negara
Republik Indonesia Tahun 2Ol2 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5285);
11. Peratura.n Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun
2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2O 1 1
Nomor 694);
1.) Peraturan Menteri Negara Lingkungal Hidup Nomor
05 Tahun 2OL2 tgrl1atg Jenis Rencaqa Usaha
danl atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
16 Talrun 2Ol2 tenlang Pedoman Penyr-rsunan
Dokumen Lingkungan Hidup; ^
t4. Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 19
tah:un 2OO7 tentang Urusan Pemerintahal Yang
Menjadi Kewenangan Pemerintahaa Daerah
Kabupaten Kotabaru (Lembaran Daerah Kabupaten
Kotabaru Tahun 2007 Nomor 19);
15. Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 08
Tahun 2010 tentang Izin Lokasi di Kabupaten
Kotabaru {Lembaran Daerah Kabupaten Kotabaru
Tahun 2010 Nomor 08;
16. Peraturan Daerah Kabuoaten Kotabaru Nomor 12
f.frrn ZOft tentang Pembentukan, Organisasi dan
Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten
Kotabaru (Lembaran Daerah Kabupaten Kotabaru
?ahun 2O11 Nomor 12, Tambahan Lembaran
Daera-h Kabupaten Kotabaru Nomor O5),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Daera} Kabupaten Kotabaru Nomor 17 Tahun 2012
tentang Perubaian Atas Peraturan . Daerah
Kabupaten Kotabaru Nomor 12 Tahun 201 tentang
Pembenrukan, Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Teknis Daerah Kabupaten Kotabaru (kmbaral
D4erah Kabupaten Kotabaru Tahun 2012 Nomor
t7l;
L7. Peraturan Bupati Kotabaru Nomor 16 Tahun 2013
tentang Pedoman Pembentukan Produk Hukum
Daerair di Lingkungan Pemerintah Kabupaten
Kotabaru (Berita Daerah Kabupaten Kotabaru
Tahun 2O13 Nomor 502);
(lanjutan)

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

KESATU Keputusan Bupati tentang Perubahan lzin


Lingkungan Atas Kegiatan Pertambangan Batubara
oleh PT. SEBUKU BATUBAI COAL yang berlokasi di
Kecamatan Pulau Laut Utara dan Kecamatan Pulau
Laut Tengah Kabupaten Kotabaru.

KEDUA : Memberikan Izin Lingkungeim kepada :

,l
1. Nama Perusahaan PT. SEBUKU BATUBAI COAL
2. Jenis Usaha Perlambangan Batubara
3. Penanggungjawab EffendyTios
4. Alamat Kantor Jl. Pluit Utara Raya No. 18,
Jakarta Utara 14450
5. Lokasi Kegiatan Kecanatan Pulau Laut Utara
dal Kecamatan Pulau Laut
Tengah, Kabupaten
Kotabaru.
6. Deskripsi Kegiatan Usaha/kegiatan
Perta$ba-ngan Bafubara
mempunyai rincian sebagai
berikut :

a. Luas yilayah IUP


Eksplorasi adalah
9 .69 1 ,97 Ha terletal< di
dua kecamatan, yaitu
Kecamatan Pulau Laut
Utara dan Kecamatan
Pulau * l,aut Tengah
dengan koordinat
geogralis sebagai berikut:

No. South East


Tltik
1 o3018',55,90" 11606',57,30"
2 03018',s5,90" 1160633,70"
J 03020'15,90" 1160633.70"
4 03020'15,94" 116069,50"
5 03021',54,50" 11606',9.50"
6 0302154,50" 1 160549,10"
7 03022'43,70" 1160549,10"
8 o3022',43.70" 1 16052a,30"

I 0302330,20" 1160528,30"
10 03023'30,20" 11604',54.4y
11 o3025E.90" tt604'54,40',
t2 03025,8,90" 11604',15,50"
13 0302635,10" 11604',15,50"
14 0302635.10" tt603'43,7Q"
0302728,20" tt603'43,70"
16 03027'28,20" 116035,40"
1,7 03028'27,60" 116035,40"
(lanjutan)

i8 0302821,60" tl6v2'6,30"
19 0303141.40" 71602',6,30"
0303141,40" 1 1605',17.O0',
21 0302536.40" 11605',17,00"
oo o302536.40" 116063.70"
23 o3023',56,00" 116063,70"
24 o3s2356.00" 1160653,50',
25 03023'14,90" 1160653.50"
26 o3023',74,90" 1L607',14,80"
27 03018',18.90" 1t607'L4,80"
28 03018',18,90" 1 1606',57.3o',

b. Tata letak kegiatan


pertambangan terdiri dari
tapak bukaan tambang
dan qarana penunj angnya
seperti jalan tambang,
lokasi penimbunan tanah
pucuk, lokasi penimbuna.n
tanah penutup (waste
dump), kolam
pengendapan, kantor dan
mess, gudang sparePart,
gudang bahan peledak,
dan lain-lain serta sarana
pendukung operasl
penambalgan seperti
jalar angkut hasil
produksi batubara,
tempat penimbunan
batubara (stockPile) di
lokasi Pelabuhan dan
lahan PenYangga.
c. Batubara Yang. akan
diProduksi dikurangi
' asumsi kehilangan adalah
sebesar 20.950.O0O ton ,
umur tambang adalah
selama 30 tahun.

KETIGA Ruang lingkup kegiatan dalam izin lingkungan ini


meliputi :
a. kegiatan Pertambangan Batubara secara garis
besar mempunyai 4 (empat) tahapan meliputi :
1. kegiatan pra-konsfuksi yang terdiri dari:
- sosialisasi kegiatan' Kegiatan ini dilakukan
sebelum dimulainya suatu kegiatan
dengan cara memberikan penjelasan
secara rinci kepada masyaralat terutama
masyarakat yang akan terkena dampak
dan masyarakat pemerhati lingkungan
tentang kegiatan yarrg al<an dilaksana-kan.
Sosialisasi akan terus dilaksanakan jika
tedadi ketidak sepahamaa yang dapat
menimbulkan damPak negative.
(lanjutan)

- pembebasan lahan. Kegiatan ini


dilaksanakan berdasar kepada peraturan
yang berlaku dan kesepakatan a,ntara
kedua belah pihak.
- pengurusan izin. Per'r,inan akan dilakukart
berkaitan dengan kegiatan pertambaagan
batubara.
2. kegiatan konstruksi yang terdiri dari :
-" penerimaal tenaga kerja konstruksi.
Tenaga kerja lokal yang memenuhi
persyaratanlliualifikasi yang ditetapkan
- perusahaa.n atau kontraktor akan menjadi
prioritas. Seluruh peke{a direncanakan
akan diberi perlindungan berupa Asuransi
Kecelakaan Keg'a dar\ Jamsostek sesuai
perafuran yang berlaku.
- mobilisasi peralatan dan material pada
tahap konstruksi. Kegiatan ini dilakukan
agar berkoordinasi dengan pihak terkait
agar dalam proses mobilisasi dapat
berjala-n dengan benar dan lancar'
- pembukaan lahan untuk sarana
penunjang dan sarana pendukung (sarana
. dan prasarana). Kegiatan ini terdiri dari
kegiatal pembersihan lahan dan
pematangan la}Iafi
- Pembalgunan sarana penunjang dan
sarana pendukung.
3. kegiatan operasi yang terdiri dari :
- penerimaar tenaga kerja untuk operasi
tambang. Pada kegiatan ini; akan
. diprioritaskan penerimaan tenaga ke4'a
lokal selama " memenuhi
persyaratan/kualifikasi yang ditetapkan
perusahaan atau kontraktor. Selama
pekejaan tersebut dapat
dilakukan/ dikerj akan oleh penduduk
sekitar, maka kesempatan kerja akan
diberikan kepada penduduk sekitar.
- mobilitas alat berat untuk operasi
tambang. Untuk operasional kegiatan ini,
maka akan berkoordinasi dengan pihak
terkait agar dalam proses mobilisasi dapat
beq'alan dengan benar darr lancar.
- pembersihan lahan (land clearing).
Kegiatan ini dilal<ukan secara bertahap
sesuai dengan kemqjuan tahaP
penambalgal.
- pengupasar dan penimbunan tanah
pucuk.
- pengupasandan penimbunaa lapisan
tanah penutup (over burden). Pada
(lanjutan)

kegiatar ini dibuat teras-teras atau jenjang


untuk memudahkal pembagian ke{a dart
pengoperasia-rr alat-alat berat serta untuk
menjaga kemantapan lereng sesuai dengan
rekomendasi hasil kajian geoteknik.
pembongkaran talah (batuan) penutup
dengan cara peledakan.
penggalian batubara. Sistem penambangan
(penggalian) batubara yang akan dilakukan
ada-lah tambang terbuka dengan metode
open pit dengaa teknik contour mining.
Arah kemajuan penambangaa batubara
tiap tahun mengikuti arah penyebaran
endapan batubara atau beriawananan
jurus batubara
penirisan air tambang. Kolam pengendapa
yang dibuat mempunyai 3 kompartemen
untuk mengendapkan partikel-partikel
padatan hasil air tambalg dan untuk
pengelolaal kualitas air, sehingga air yang
mengalir keluar dari kolam pengendapan
tidak mencemari badan air sekitar.
pengangkutan batubara. Kegiatan ini
dilakukan dengal menggunakal dump
tn-rck.
pengolahan dan penimbunan batubara,
Tahapan dari pengolahal batubara
meliputi proses umpan, peremukan,
pengangkutan dan penimbunan.
pengoperasional base camp, bengkel dan
genset. termasuk pengoperasian bengkel
dan genset. Kegiatan ini meliputi
pekeq'aan-pekerjaan .- perbengkelan,
pergudangan
penginapan tenaga kerja, dan
perkantoran, serta pengoperasian genset.
pengadaan air bersih. Air bersih yang
dibutuhkan diambil dari sumur bor yang
diambil denga-n pompa listrik dan
ditampung dala-rn tangki air dan diberi
larutan air kapur r:ntuk menetralkal serta
tawas untuk menjernihkan.
reklamasi dan revegetasi. Kegiatan
reklamasi di lapangan dilakukan
bersamaan dengan kegiatan penambangan
yakni pada setiap pit tambang yang selesai
tanpa harus menunggu keseluruhan
tambang selesai. Lahan bekas bukaal
tambang yalg telah direklamasi akan
segera dilakukan revegetasi yang dimulai
denga;r penyebaran bibit tenamarr penutup
dan diialjutkan dengan penanaman
tanaman yang cepat tumbuh (fast growing
species).
(lanjutan)

4. Kegiatat pasca operasi yang terdiri dari :


- pelepasan tenaga kerja. Kegiatal ini
dilal<ukan secara bertahap dan
disesuaikan dengan kebutuhan
operasional di lapangan. reklamasi dan
revegetasi lahan lanjutan.
- reklamasi dan revegetasi lanjutan.
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari
" kegiatan reklamasi darr revegetasi lahan
yang telah dilaksanakan pada tahap
operasi. Void-void yang timbul akan
- dikelola dan/atau akan dimanfaatkan
sebagai budidaya perikarran darat
dan/atau reseryoir air dan/atau tempat
reklamasi air.
-
demobilisasi alat-alat berat. Kegiatan ini
dilakukan secara dua tahap, Yaitu
sebagian pada tahap pertama setelal
kegiatan operasional tambang dari sisanya
pada tahap kedua yaitu setelah reklamasi
dan ievegetasi lanjutan selesai.
b. dalam program pemberdayaan masyarakat, PT.
Sebuku Batubai Coa-l berkomitmen untuk
bertinda} etis dengan memberika:r konstribusi
"
kepada pengembangaa ekonomi kepada
masyarakat setempat. Program ini al<an
dilaksanakan dari tahun ke tahun dal akan
dimulai seja-k tahap pra-konstruksi sampai pasca
operasi dengan mengedepankan empat bidang
utama, yakni sektor pendidikan dal keterampilan,
sektor kesehatan dan nutrisi, sektor lingkungaa
dan kebudayaan serta sektor pengembangan
infrastruktur dan pemberdayaan bkonomi
berbasis kemasyarakatar

KEEMPAT Pt. SEBUKU BATUBAI COAL, dalam pelaksanaan


kegiatannya harus memenuhi persyaratan yaitu
memiliki:
a. Izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup untuk tahapan konstruksi dan operasi yang
terdiri atas :
1. Izin pembuangan air limbah; dan
2. Izin penyimpanan sementara Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun.
b. Izin usaha dan/ atau izin lainnya yang terkait
dengan legiatan tersebut di atas.

KELIMA Instansi pemberi izrn wajib memperhatikan izin


lingkungan sebagai syarat penerbital izin dalam
pelaksalaan kegiatan sebagaimana dimaksud da-lam
Diktum KEEMPAT.
(lanjutan)

KEENAM PT. SEBUKU BATUBAI COAL, dalam melatsanakan


kegiatarrnya harus memenuhi kewajiban melakukap
pengelolaan dampak sebagaimana tercantum dalam
Dokumen Penyempurnaan Kerangka Acuan Analisis
Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), Dokumen
Penyempurnaan Analisis Dampak Lingkungan Hidup
(ANDAL), Dokumen P€nyempurnaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Dokumen
Penyempurnaan Rencana Pemantauan Lingkungan
Hidup (RPL) yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Keputusan Bupati ini.

KETUJUH Selain kewajiban sebagaimana dimaksud da-1am


Diktum KEENAM, Pl. SEBUKU BATUBAI COAL
da-1am melaksanakari kegiatalrnya juga diminta
melaksanakan ha1-hal sebagai berikut :
a. melakukan koordinasi dengan insta-nsi pusat
maupun daerah, berkaitaa dengqn pelaksanaan
kegiatar ini;
b. mengupayakan aplikasi 4R (reduce, reuse, recycle
dan replace) terhadap limbah-limbah yang
dihasilkan;
c.- menerapkan Standart Operating System (SOP)
'
pengelolaan limbah;
d. melakukan koordinasi dengan Dinas
Pertambalgan dan Energi Kabupaten Kotabaru;
e. melakukan sosialisasi kegiatal kepada
pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan
penduduk setempat sebelum kegiatan dilakukan;
dan
f. mendokumentasikan seluruh kegiatan
pengelo)ean Iingkungan yang {ilakukan terkait
dengan kegiatan-kegiatan tersebut.

KEDtrLAPAN Penerbitan izin sebagaimana dimaksud flalam Diktum


KEEMPAT wajib mencantumkal segala persyarata-n
dan kewajibaa yang tercartum dalam Diktum
KEENAM dan Diktum KY|UJUH.

KESEMBILAN Izin Lingkungan ini berlaku sama dengan masa


berlakunya izin usaha danf atau kegiatan.

KESEPULUH Menyampaikan laporan pelaksanaal persyaratal dan


kewajiba-ri sebagaimala dimalsud dalam Diklum
KEENAM dan Diktum KETUJUH, setiap 6 (enam)
bulan sekali sejak Keputusan Bupati ini ditetapkan
kepada :
1. Menteri Negara Lingkungan Hidup;
(lanjutan)

2. Gubemr:r Provinsi Ka.lima-ntan Selataa u.p, Kepala


Badan Lingkungan Hidup Provinsi Ka-limantqn
Selatarl;
o. Bupati Kotabaru u.p. Kepala Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Kotaba-ru;
4. Instansi / Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
yarg membidangi;

KESEBELAS Menyar4paikan laporan pelaksanaan persyaratan dan


kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KEENAM dan Dikturn KETUJUH, diluar dari
komponen fisik, kimia dan biologi, secepatnya setelah
selesainya pelaksanaan kegiatal ini kepada instansi
lain yang membidangi sebagaimana tercantum dalam
Dokumen Penyempurnaa-n Kerangka Acuan Ana-lisis
Dampak Lingkungan Hidup (I(A-ANDAL), Dokumen
Penyempurnaan Analisis Dampak Lingkungan Hidup
(ANDAL), Dokumen Penyempurnaan Rencaaa
Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Dokumen
Penyempurnaan Rencana Pemantauan Lingkungan
Hidup (RPL) yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Keputusan Bupati ini.

KEDUABELAS Apabila dalam pelaksaaaan usaha dan/atau kegiatan,


dan/ atau hasil pelaksanaan pengawasan timbul
datnpak lingkungan hidup di luar dari dampak
penting yang dikelola sebagaimana dimaksud dalam
Diktum KEENAM darr Diktum KETUJUH,
penanggungiawab usaha dan/ atau kegiatan wajib
melaporkan kepada instansi terkait, sebagaimana
dimaksud dalam Diktum KESEPULUH.

KBTIGABELAS : Keputusan ioi mul;ai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Kotabaru
tansgal 07 NoV 2013

Tembusan Kepada :
1. Menteri Negara Lingkungan Hidup di Jakarta;
2. Gubernur Kalimartal Selatan di Banjarbaru;
3. Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalimadtan Selatan
di Banjarmasin;
4. KepaJa Pusat Pengelolaan Ekoregion Kalimantan di Balikpapan;
5. Kepa1a Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Kotabaru di
Kotabaru;
6. Kepala Dinas Pertambaaga[ dan Energi Kabupaten Kotabaru di
Kotabaru; daa
7. PT. SEBUKU BATUBAI COAL di Jal<arta.
Lampiran 2 Surat Peringatan Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan
Lampiran 3. Surat PT Sebuku Batubai Coal perihal
Klarifikasi Pelaksanaan Kegiatan dan Izin Lingkungan
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
Lampiran 4. Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan tentang Pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT Sebuku Batubai Coal
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)
(lanjutan)

Anda mungkin juga menyukai