Anda di halaman 1dari 87

KAJIAN IMPLIKASI PENERAPAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TERHADAP


PENGEMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Darsa Permana
Bambang Yunianto
Harta Haryadi
Jafril
Meitha Suciyanti
Kusnawan
Endang Mulyani

PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA


BALITBANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
2015

i
KATA PENGANTAR

Hadirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diperkirakan


akan berdampak luas terhadap berbagai sektor, termasuk sektor energi dan sumber daya mineral.
Hal ini tidak terlepas dari perubahan kewenangan pengelolaan, yang semula bertumpu pada
Pemerintahan Kabupaten/Kota menjadi Pemerintahan Provinsi.

Kajian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan terkait dengan perubahan
urusan pemerintahan di sektor energi dan sumber daya mineral, khususnya di bidang mineral dan
batubara, serta mencari solusi atas permasalahan tersebut agar pemberlakuan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu dilakukan uji
petik terhadap beberapa provinsi, yaitu Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, Provinsi
Kepulauan Bangka-Belitung, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Uji petik ini diharapkan mampu
memberikan gambaran utuh tentang kondisi pengelolaan pertambangan mineral dan batubara
secara nasional pascadiberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, sehingga dapat
diperoleh berbagai masukan dalam rangka penyusunan kebijakan di sektor energi dan sumber
daya mineral.

Dalam kesempatan ini Tim tak lupa menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua
pihak yang telah membantu pembuatan hingga tersusunnya kajian ini. Semoga kajian ini dapat
bermanfaat bagi siapapun yang memerlukannya.

Bandung, Desember 2015

ii
SARI

Sebagaimana diketahui bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pemerintahan


Daerah telah diganti oleh Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dengan judul yang sama. Ada
perubahan mendasar dari kedua undang-undang tersebut, terutama dikaitkan dengan kewenangan
dalam urusan pemerintahan; jika sebelumnya bertumpu kepada Pemerintahan Kabupaten/Kota
(Undang-undang Nomor 32 Tahun 2010), maka kini banyak dilimpahkan kepada Pemerintah
Provinsi (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014), termasuk kewenangan dalam pengelolaan
bidang mineral dan batubara.

Mengingat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 harus langsung dilaksanakan tanpa menunggu
peraturan pelaksanaannya (dalam bentuk Peraturan Pemerintah), maka Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral dan Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran agar
tidak terjadi kekosongan hukum yang dapat merugikan berbagai pihak. Di tingkat Daerah, para
Gubernur juga mengeluarkan Surat Edaran serupa sebagai tindak lanjut dari Surat Edaran yang
dikeluarkan oleh dua Kementerian tersebut.

Dari hasil survei yang dilakukan terhadap empat provinsi, yaitu Provinsi Jawa Barat beserta
empat Kabupaten, yakni Cianjur, Sukabumi, Garut, dan Tasikmalaya; Jawa Timur beserta dua
Kabupaten, yakni Sidoarjo dan Malang; Bangka-Belitung, khususnya di Kabupaten Belitung dan
Belitung Timur; serta Provinsi Kalimantan Selatan beserta Kabupaten Banjar, diperoleh data
sebagai berikut:

1. Reaksi yang ditimbulkan atas pemberlakuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 hampir
sama di setiap provinsi dan kabupaten yang disurvei. Mereka merasa kehadiran Undang-
undang tersebut tanpa disosialisasikan secara utuh terlebih dulu dan dipaksakan karena
dikeluarkan menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden SBY. Kondisi ini pada akhirnya
telah menimbulkan “kegaduhan” di setiap daerah karena mereka, baik Pemerintahan
Provinsi maupun Pemerintahan Kabupaten/Kota, merasa belum siap menerima perubahan
yang cukup fundamental.

2. Meskipun telah dikeluarkan Surat Edaran dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
dan Menteri Dalam Negeri, yang juga diikuti oleh masing-masing Gubernur, ketiadaan
Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
menjadi kendala utama bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014. Hal ini disebabkan
Surat Edaran tersebut kurang implementatif serta kurang memiliki kekuatan hukum,

iii
sehingga dalam kenyataannya ada Pemerintah Kabupaten/Kota yang terpaksa mengeluarkan
kebijakan sendiri untuk menghindari keadaan yang lebih buruk.

3. Telah terjadi “kebijaksanaan”, baik disengaja maupun tidak disengaja, terhadap berbagai hal
yang terkait dengan masalah perizinan. Sebagai contoh: pengusaha kecil yang menambang
mineral tertentu dengan luas yang hanya ratusan meter persegi, kesulitan mengurus izin ke
provinsi karena menghabiskan waktu, tenaga, dan dana. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten/
Kota mengambil “kebijaksanaan” yang memberi izin kepada pengusaha kecil tersebut tetap
melaksanakan penambangan sambil menunggu proses perizinan selesai. Walaupun dianggap
keliru dan cukup berisiko, langkah ini terpaksa diambil oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan.

4. Ada sikap skeptis yang tidak hanya ditunjukkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, tetapi
bahkan juga oleh Pemerintah Provinsi, bahwa pemberlakuan Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 tidak akan menemui sasaran sebagaimana yang diinginkan. Terlepas dari latar
belakang alasan kedua Pemerintahan di Daerah tersebut, baik Kabupaten/Kota maupun
Provinsi, persoalan utamanya terletak kepada kekurangsiapan mereka menerima substansi
dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang dianggap kurang menggambarkan kondisi
yang ada di lapangan.

Atas dasar hasil survei di atas, maka diperlukan revisi terhadap berbagai materi yang tercantum
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, atau, paling tidak, ditangguhkan pelaksanaannya
sembari menunggu Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014.

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii


SARI ................................................................................................................................. iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... ix

1. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.1.1. Hakikat Otonomi Daerah ........................................................... 1
1.1.2. Urusan Pemerintahan ................................................................. 2
1.1.3. Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah ..... 3
1.2. Tujuan dan Sasaran ................................................................................. 3
1.3. Ruang Lingkup dan Alur Pikir ................................................................ 3
1.4. Metodologi .............................................................................................. 4
1.5. Lokasi/Tempat Pelaksanaan Kegiatan .................................................... 5
1.6. Penerima Manfaat ................................................................................... 5
1.7. Keluaran, Hasil, Manfaat, Dampak ......................................................... 5

2. DASAR HUKUM OTONOMI DAERAH DARI WAKTU KE WAKTU .............. 7


2.1. Amandemen UUD 1945 .......................................................................... 7
2.2. Otonomi Daerah di Awal Kemerdekaan ................................................. 7
2.3. Otonomi Daerah Pada Masa Orde Baru .................................................. 8
2.4. Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi .................................................. 8
2.5. Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
dan Kementerian Dalam Negeri .............................................................. 11
2.6. Surat Edaran Gubernur ............................................................................ 15

3. PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PASCA


PEMBERLAKUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2014 .................. 19
3.1. Umum .................................................................................................... 19
3.2. Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral .............................................. 23

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................... 25


4.1. Hasil ........................................................................................................ 25
4.1.1. Provinsi Jawa Barat .................................................................... 25
4.1.2. Provinsi Jawa Timur .................................................................. 38
4.1.3. Provinsi Kalimantan Selatan ....................................................... 43
4.1.4. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ........................................ 46
4.2. Pembahasan ............................................................................................. 53
4.2.1. Penyerahan Urusan Pemerintahan dari Pemerintah Kabupaten/
Kota ke Pemerintah Provinsi ...................................................... 55
4.2.2. Implikasi pemberlakuan UU No.23/2014 terhadap
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di daerah ...... 57

v
5. ANALISIS .................................................................................................................... 60
5.1. Pelaksanaan P3D ..................................................................................... 60
5.2. Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara ............................. 62
5.2.1. Masa Transisi ............................................................................. 62
5.2.2. Revisi UU 4/2009 dan Produk Hukum Turunannya .................. 64

6. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan ............................................................................................. 67
5.2. Saran ....................................................................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 69


LAMPIRAN ..................................................................................................................... 71

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1. Alur Pikir Kajian Implikasi Penerapan Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2014 terhadap Pengembangan Mineral dan Batubara .................... 4
3.1. Urusan Pemerintahan .............................................................................................. 20
4.1. Grafik Jumlah IUP per Komoditas di Provinsi Jawa Barat ..................................... 27
4.2. Grafik Realisasi Bagi Hasil Sektor Pertambangan Umum bagi Provinsi
Tahun 2003-2014 ...................................................................................... 29
4.3. Peta PKP2B di Provinsi Kalimantan Selatan .......................................................... 44
4.4. Skema Pembagian Urusan menurut UU No.23/2014 .............................................. 54
5.1. Implikasi UU 23/2014 terhadap UU 4/2009 ........................................................... 64

vii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
2.1. Perbandingan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 ................................................................................. 10
4.1. Rekapitulasi Usaha Pertambangan di Provinsi Jawa Barat ..................................... 26
4.2. Produksi Bahan Galian di Kabupaten Sukabumi per April 2015 ............................ 32
4.3. Potensi Bahan Galian di Kabupaten Garut ............................................................. 33
4.4. Sumber Daya Bahan Galian di Kabupaten Tasikmalaya ........................................ 35
4.5. Sumber Daya Bahan Galian di Kabupaten Malang ................................................ 42
4.6. Sumber Daya, Cadangan, Rencana Produksi dan Penjualan Perusahaan
PKP2B di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014 ................................... 43
4.7. Sumber Daya dan Cadangan Perusahaan IUP Batubara di Provinsi
Kalimantan Selatan Tahun 2015 .................................................................. 45
4.8. Rekapitulasi IUP per Kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan
Tahun 2015 .................................................................................................... 46
4.9. Produksi, Royalti dan Landrent Batubara di Provinsi Kalimantan Selatan,
2011-2015 ..................................................................................................... 47
4.10. Peralatan Laboratorium di Dinas Dinas Pertambangan dan Energi
Provinsi Kalimantan Selatan ........................................................................ 48
4.11. Produksi Bahan Galian di Kabupaten Banjar Tahun 2004-2014 ............................ 49
4.12. Nilai Royalti dan Pajak Daerah Bahan Galian di Kabupaten Banjar
Tahun 2004-2014 ......................................................................................... 49
4.13. Peralatan Laboratorium di Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten
Banjar ........................................................................................................... 50
4.14. Peralatan Lapangan di Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar ........... 50
4.15. Data produksi logam, non logam dan batuan di Kabupaten Belitung Timur ........... 52
4.16. Royalti dan Pajak-Pajak Pertambangan di Kabupaten Belitung Timur ................... 52
5.1. Pasal-Pasal UU 4/2009 yang harus Disesuaikan ..................................................... 65

viii
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat


terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi,
Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, pemberian otonomi daerah ternyata


mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Hal ini tidak terlepas dari situasi dan kondisi internal
di dalam negeri serta mengikuti perkembangan di luar negeri, dengan tetap mengedepankan
perlunya percepatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

1.1.1. Hakikat Otonomi Daerah

Pada hakikatnya otonomi daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan masyarakat
hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah, dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh
kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah. Urusan pemerintahan yang
diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan Presiden.
Konsekuensi dari negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada di tangan
Presiden. Agar pelaksanaan urusan pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai
dengan kebijakan nasional, maka Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara dan setiap
menteri bertanggung atas urusan pemerintahan tertentu dalam pemerintahan. Sebagian urusan
pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang sesungguhnya diotonomikan
ke Daerah. Konsekuensi menteri sebagai pembantu Presiden adalah kewajiban menteri atas nama
Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Agar tercipta sinergi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
berkewajiban membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk dijadikan
pedoman bagi Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke Daerah
dan menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk melakukan

1
pembinaan dan pengawasan. Presiden melimpahkan kewenangan kepada Menteri sebagai
koordinator pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan dan Pengawasan yang bersifat teknis,
sedangkan Kementerian melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum.
Mekanisme tersebut diharapkan mampu menciptakan harmonisasi antar kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.

1.1.2. Urusan Pemerintahan

Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
terdapat urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang
dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut, dan ada urusan pemerintahan konkuren.

Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas urusan pemerintahan Wajib dan urusan pemerintahan
Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan Wajib dibagi dalam urusan pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan
Dasar dan urusan pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk urusan
pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.

Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah


kabupaten/kota, walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala
atau ruang lingkup urusan pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/ kota mempunyai urusan pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki,
namun tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah
kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah
Pusat.

Di samping urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan konkuren, undang-undang


juga mengenal adanya urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan umum menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika,
menjamin hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan sebagai pilar
kehidupan berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada gubernur sebagai
kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/wali kota sebagai kepala pemerintahan
kabupaten/kota.

2
1.1.3. Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah

Mengingat kondisi geografis yang sangat luas, maka untuk efektivitas dan efisiensi pembinaan
dan pengawasan atas penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota, Presiden sebagai penanggung jawab akhir pemerintahan secara keseluruhan
melimpahkan kewenangannya kepada gubernur untuk bertindak atas nama Pemerintah Pusat
untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Daerah kabupaten/kota agar melaksanakan
otonominya dalam koridor NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk efektivitas
pelaksanaan tugasnya selaku wakil Pemerintah Pusat, gubernur dibantu oleh perangkat gubernur
sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena perannya sebagai Wakil Pemerintah Pusat maka
hubungan gubernur dengan pemerintah Daerah kabupaten/kota bersifat hierarkis.

1.2. Tujuan dan Sasaran

Tujuan kajian adalah teridentifikasinya permasalahan terkait urusan pemerintahan di bidang


mineral dan batubara, serta diperolehnya solusi atas permasalahan tersebut sehubungan dengan
pemberlakuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004. Adapun sasaran kajian adalah
tersusunnya usulan kebijakan dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan yang
baru di bidang mineral dan batubara.

1.3. Ruang Lingkup dan Alur Pikir

Ruang lingkup kegiatan meliputi:

a. Penelaahan terhadap kondisi Pemerintah provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota,


khususnya Dinas yang menangani pertambangan mineral dan batubara.

b. Hubungan antara Pemerintahan provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan


pertambangan selama ini ditinjau dari aspek pengaturan, perizinan, pembinaan, dan
pengawasan.

c. Penelaahan dalam penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK).

d. Analisis pengembangan mineral dan batubara ke depan.

Alur pikir kajian tentang implikasi penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap
pengembangan mineral dan batubara dilakukan dari dua sisi;

a. Pertama, sisi Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, yang meliputi survei kepada Dinas
ESDM, Bappeda, dan Dinas terkait dari masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Dari
sini diidentifikasi aspek pengaturan, perizinan, pembinaan, dan pengawasan di bidang
mineral dan batubara.

3
b. Kedua, sisi Pemerintah Pusat, yang meliputi Kementerian ESDM, Kementerian Dalam
Negeri, dan Kementerian lain yang terkait. Dari sini diidentifikasi mengenai norma, standar,
prosedur, dan kriteria (NSPK) di bidang mineral dan batubara.

c. Dengan adanya penelaahan terhadap dua sisi di atas, maka dilakukan analisis kebijakan
dalam rangka perumusan konsep kebijakan.

Alur pikir dan konsep pendataan kajian implikasi penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 terhadap pengembangan mineral dan batubara dapat dilihat pada Gambar 1.1.

e.
Pemerintah Provinsi Identifikasi:
dan Kabupaten/Kota: • Pengaturan
f.
• Dinas ESDM • Perijinan
• Bappeda • Pembinaan
g.
• Dinas terkait • Pengawasan

ANALISIS
Identifikasi: KEBIJAKAN
Pemerintah Pusat:
• Norma
• KESDM h.
• Standar
• Kemendagri
• Prosedur
• Kementerian terkait
• Kriteria
i.
PERUMUSAN
KONSEP
KEBIJAKAN

Gambar 1.1. Alur Pikir Kajian Implikasi Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 terhadap Pengembangan Mineral dan Batubara

1.4. Metodologi

Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah metode penelitian survei dan nonsurvei.
Metode survei dilakukan dengan mendatangi Dinas-dinas yang terkait atau berhubungan dengan
penanganan bidang mineral dan energi di beberapa daerah, yaitu di Provinsi Jawa Barat, Provinsi
Jawa Timur, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Adapun metode
penelitian nonsurvei dilakukan melalui koordinasi dan pendataan dengan intansi terkait di
lingkungan Kementerian ESDM dan di luar Kementerian ESDM (Kementerian Perindustrian,
Kementerian Perdagangan, dan kementerian lain yang terkait). Pengumpulan data menggunakan
teknik observasi, sementara model pengolahan menggunakan teknik analisis statistika, ekonomi,
dan analisis kebijakan.

4
1.5. Lokasi/Tempat Pelaksanaan Kegiatan

Bandung, DKI Jakarta, dan 4 provinsi yang memiliki izin usaha pertambangan minerba yang
cukup banyak, yaitu: Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Selatan,
dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

1.6. Penerima Manfaat

Penerima manfaat kajian ini adalah:

a) Pemerintah Pusat dan Daerah;

b) investor pemegang izin usaha pertambangan, dan calon investor yang ingin berusaha di
bidang pertambangan mineral dan batubara.

1.7. Keluaran, Hasil, Manfaat, Dampak

Keluaran

Keluaran kajian ini adalah:

a) laporan “Kajian Implikasi Penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap


Pengembangan Bidang Mineral dan Batubara”;

b) ringkasan eksekutif.

Hasil

Hasil kajian dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara untuk menyusun peraturan perundang-undangan baru di bidang mineral dan batubara
sesuai dengan Undang- undang Nomor 23 Tahun 2014.

Manfaat

Kajian ini diharapkan memberikan manfaat:

5
a) dapat meminimalisasi kerancuan dalam menginterpretasikan pelaksanaan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014, khususnya di bidang pertambangan mineral dan batubara, oleh para
pengambil keputusan;

b) memberikan jaminan kepastian hukum kepada investor dan calon investor di bidang
pertambangan mineral dan batubara.

Dampak

Dampak atas dilakukannya kajian Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah agar
pelaksanaan Undang-undang ini dapat berjalan secara mulus, sehingga tidak terjadi perbedaan
pandangan yang besar antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah provinsi dengan Pemerintah
kabupaten/kota dalam menerjemahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.

6
DASAR HUKUM OTONOMI DAERAH DARI WAKTU KE WAKTU

Dasar hukum otonomi daerah adalah Amandemen UUD 1945 Pasal 18, yang memuat paradigma
baru dan arah politik pemerintahan daerah yang baru dalam menjalankan otonomi daerah, yaitu
tentang prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan. Hal tersebut tertuang dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (2), yang
menegaskan bahwa pemerintahan di Daerah adalah pemerintahan otonomi dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

2.1. Amandemen UUD 1945

Selain itu, UUD 1945 Pasal 18 Ayat 2 memuat prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan
pusat. Bidang yang tetap menjadi wewenang Pemerintah Pusat adalah terkait politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, agama, yustisi, moneter, dan fiskal nasional.

Prinsip otonomi daerah di dalam UUD 1945 Pasal 18 Ayat 2 mengandung makna bahwa bentuk
dan isi otonomi daerah tidak harus seragam, tetapi disesuaikan dengan keadaan khusus dan
keberagaman daerah. Contohnya otonomi untuk daerah pertanian dapat berbeda dengan daerah
industri. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat, hukum adat beserta hak
otonominya pun tertuang dalam UUD 1945 Pasal 18 Ayat 2.

2.2. Otonomi Daerah di Awal Kemerdekaan

Rumusan prinsip atau asas otonomi sudah tertuang dalam undang-undang dari tahun 1945
sampai dengan 2004. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menyatakan kemerdekaan
pengaturan rumah tangga daerah asal tidak bertentangan dengan pengaturan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah yang lebih luas daripadanya. Kemudian Undang-undang Nomor 22 Tahun
1948 memuat aturan hak pengaturan dan pengurusan rumah tangga sendiri berdasarkan hak
otonomi dan medebewind, dan tidak berat ekonomi pada desa atau kota kecil.

Lalu muncul ndang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang otonomi formil, yaitu wewenang
daerah mengurus rumah tangganya tidak dibatasi/tidak diperinci, sejauh tidak bertentangan
dengan urusan yang diatur oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi
tingkatannya. Kemudian hadir Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1965
tentang melanjutkan politik desentralisasi (teritorial) dan dekonsentrasi dimana daerah diberi hak
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan memperhatikan kemampuan
masing-masing daerah.

2.3. Otonomi Daerah Pada Masa Orde Baru

7
Pada tahun 1965 dikeluarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 yang mengatur otonomi
teritorial yang riil dan seluas-luasnya serta menjalankan politik dekonsentrasi sebagai komponen
yang vital. Otonomi, selain sebagai hak/kewenangan, juga sekaligus kewajiban. Selanjutnya
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 menyatakan
prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab, serta otonomi adalah hak, wewenang dan
sekaligus kewajiban.

2.4. Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Sesuai dengan perubahan pemerintahan dari masa orde baru ke masa reformasi, undang-undang
tentang otonomi daerah juga mengalami perubahan. Hal ini untuk menghadapi perkembangan
keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, sehingga
dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas,
nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan
Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan,
dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, perubahan undang-undang dimaknai
bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada
prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.

Atas dasar pertimbangan di atas, maka lahirlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, yang diikuti oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang memberikan otonomi secara
luas, nyata, dan bertanggung jawab. Peraturan perundangan ini juga memuat penyelenggaraan
otonomi memperhatikan aspek demokrasi, partisipatif, adil dan merata dengan memperhatikan
potensi dan keragaman daerah, serta otonomi provinsi bersifat terbatas, sekaligus menjalankan
fungsi dekonsentrasi.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Namun seiring dengan berjalannya waktu, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 kembali harus
diganti karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan
tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Negara beranggapan bahwa dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk

8
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antar-susunan pemerintahan dan antar-pemerintahan
daerah, potensi, dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan
memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara. Untuk itu lahirlah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua undang-undang ini
memberikan pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab.
Undang-undang tersebut juga memuat penyelenggaraan otonomi yang berorientasi kepada
peningkatan kesejahteraan rakyat, menjamin hubungan serasi antara daerah, dan menjamin
hubungan serasi dengan pemerintah.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang terdiri atas 26 Bab dan 240 Pasal ini, lebih lengkap
dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, serta memperkenalkan beberapa
hal baru yang merupakan implementasi dari aspirasi banyak orang, aspirasi beberapa pakar, dan
aspirasi dari perubahan itu sendiri. Hal baru yang tercantum dalam Undang-undang ini di
antaranya pembentukan daerah dan kawasan khusus, pemilihan kepala daerah (pilkada) secara
langsung, pembagian urusan pemerintahan, keuangan daerah, kontrol terhadap defisit daerah,
penetapan APBD Kabupaten/Kota, penguatan posisi gubernur, kelembagaan DPRD sebagai
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pertanggungjawaban kepala daerah, dan impeachment
kepala daerah.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

Dinamika yang terus berkembang telah menuntut kembali perubahan undang-undang tentang
otonomi daerah. Hal ini tidak terlepas dari upaya Negara agar penyelenggaraan pemerintahan
daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing
daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah juga perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan
aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan
keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem

9
penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh karena itu lahirlah Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 yang merupakan pengganti dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terdiri atas 27 Bab dan 411 Pasal, serta 32 Lampiran
(dari Lampiran A sampai dengan Lampiran FF). Perbandingan kedua undang-undang tersebut
lihat Tabel 2.1 dan Lampiran 1.

Tabel 2.1. Perbandingan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

No. Telaah UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 23 Tahun 2014


perbandingan
1 Asas-asas a. kepastian hukum; a. kepastian hukum;
pemerintahan daerah b. tertib penyelenggara negara; b. tertib penyelenggara negara;
c. kepentingan umum; c. kepentingan umum;
d. keterbukaan; d. keterbukaan;
e. proporsionalitas; e. proporsionalitas;
f. profesionalitas; f. profesionalitas;
g. akuntabilitas; g. akuntabilitas;
h. efisiensi; dan h. efisiensi;
i. efektivitas. i. efektivitas; dan
j. keadilan.
2. Pembagian Pemerintah pusat merinci apa saja yang Urusan pemerintahan absolut, urusan
kekuasaan antara menjadi urusan pemerintahannya, selebihnya pemerintahan konkuren, dan urusan
pusat dan daerah menjadi urusan daerah (general competence). pemerintahan umum. Pemerintah pusat
Pemerintah pusat mengambil bagian: merinci apa saja yang menjadi urusan
a. politik luar negeri; pemerintahannnya,selebihnya jadi urusan
b. pertahanan; daerah. Urusan pemerintahan pusat meliputi:
c. keamanan; a. politik luar negeri;
d. yustisi; b. pertahanan;
e. moneter dan fiskal nasional; c. keamanan;
f. agama. d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
3. Kewenangan Kewenangan provinsi: Kewenangan provinsi:
provinsi dan a. perencanaan dan pengendalian a. urusan Pemerintahan yang lokasinya
kabupaten/kota pembangunan; lintas Daerah kabupaten/kota;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan b. urusan Pemerintahan yang penggunanya
pengawasan tata ruang; lintas Daerah kabupaten/kota;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan c. urusan Pemerintahan yang manfaat atau
ketentraman masyarakat; dampak negatifnya lintas Daerah
d. penyediaan sarana dan prasarana umum; kabupaten/kota; dan/atau
e. penanganan bidang kesehatan; d. urusan Pemerintahan yang penggunaan
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber dayanya lebih efisien apabila
sumber daya manusia potensial; dilakukan oleh Daerah Provinsi.
g. penanggulangan masalah sosial lintas
kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas
kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha
kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas
kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan
sipil;
m. pelayanan administrasi umum
pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal
termasuk lintas kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota ; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan
oleh peraturan perundang-undangan.

Kewenangan kabupaten/kota: Kewenangan kabupaten/kota:

10
a. perencanaan dan pengendalian a. urusan Pemerintahan yang lokasinya
pembangunan; dalam Daerah kabupaten/kota;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan b. urusan Pemerintahan yang penggunanya
pengawasan tata ruang; dalam Daerah kabupaten/kota;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan c. urusan Pemerintahan yang manfaat atau
ketentraman masyarakat; dampak negatifnya hanya dalam Daerah
d. penyediaan sarana dan prasarana umum; kabupaten/ kota; dan/atau
e. penanganan bidang kesehatan; d. urusan Pemerintahan yang penggunaan
f. penyelenggaraan pendidikan; sumber dayanya lebih efisien apabila
g. penanggulangan masalah sosial; dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha
kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan
sipil;
m. pelayanan administrasi umum
pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman
modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;
dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan
oleh peraturan perundang-undangan.

Urusan pemerintahan provinsi dan


kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada
dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
4. Hubungan kepala Kepala daerah bersama DPRD menetapkan Kepala daerah bersama DPRD menetapkan
daerah dengan perda: perda:
DPRD 1. terkait APBD; 1. terkait APBD;
2. terkait Renstra pemda; 2. terkait penyusunan dan pengajuan
3. terkait pengangkatan dan pemberhentian rancangan Perda tentang RPJPD dan
kepala daerah. rancangan Perda tentang RPJMD kepada
DPRD untuk dibahas bersama DPRD,
serta menyusun dan menetapkan RKPD;
3. terkait pengangkatan dan pemberhentian
kepala daerah.
5. Masalah pemilihan Satu pasangan calon yang dilaksanakan secara Satu pasangan calon yang dilaksanakan
kepala daerah demokratis berdasarkan asas langsung, umum, secara demokratis berdasarkan asas
bebas, rahasia, jujur, dan adil. langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil.

2.5. Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian
Dalam Negeri
Dalam rangka menjamin kepastian hukum dan sambil menunggu terbitnya peraturan pelaksanaan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, maka pada masa transisi ini pemerintah cq Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Dalam Negeri masing-masing telah
mengeluarkan surat edaran untuk dipedomani oleh Daerah.

A. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral


Sehubungan dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, maka
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara telah mengirim surat kepada Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 2066/06/DJB/2014 tanggal 26 November 2014, yang pada intinya meminta

11
agar menerbitkan Surat Edaran untuk mengisi kekosongan hukum pada masa transisi.
Selanjutnya Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah membuat
surat dengan Nomor 2115/30/SDB/2014 tanggal 16 Desember 2014 perihal Kewenangan
Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Surat tersebut antara lain menyebutkan:

1. Mengingat dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak mengatur masa transisi
terhadap permohonan baru, perpanjangan, atau peningkatan tahap kegiatan di bidang
pertambangan mineral dan batubara, maka Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
dalam waktu dekat akan menerbitkan produk hukum untuk mengatur masa transisi terkait
perizinan pertambangan mineral dan batubara.

2. Terkait dengan permohonan:

a. Perubahan IUP Eksplorasi mineral bukan logam atau batuan antara lain terkait jangka
waktu dan/atau perubahan saham, permohonan WIUP mineral bukan logam atau batuan,
permohonan IUP mineral bukan logam atau batuan termasuk perpanjangan IUP serta
peningkatan IUP Eksplorasi mineral bukan logam atau batuan menjadi IUP Operasi
Produksi mineral bukan logam atau batuan.

b. penerbitan IPR dalam wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) termasuk perpanjangan


IPR; dan

c. perubahan IUP Eksplorasi mineral logam atau batubara antara lain terkait jangka waktu
dan /atau perubahan saham, serta peningkatan IUP Eksplorasi mineral logam dan
batubara menjadi IUP- Operasi Produksi mineral logam dan batubara;

yang diajukan kepada Bupati/Walikota oleh pemohon WIUP/IUP/IPR dan pemegang IUP/
IPR sebelum tanggal 2 Oktber 2014 dan telah diproses oleh dinas teknis daerah
Kabupaten/Kota, maka dapat ditandatangani oleh Bupati/ Walikota setelah tanggal 2
Oktober 2014 sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.

3. Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang diterima Bupati/Walikota


mulai tanggal 2 Oktober 2014, maka Bupati/Walikota menyerahkan berkas permohonannya
kepada Gubernur untuk dievaluasi dan diproses penerbitn izinnya sesuai Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014.

Akhirnya, pada tanggal 30 April 2015, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan
Surat Edaran Nomor 04.E/30/DJB/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di
Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Butir-butir Surat Edaran ini adalah:

1) Bupati/walikota tidak lagi berwenang dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di


bidang pertambangan mineral dan batubara terhitung sejak tanggal 2 Oktober 2014.

12
2) Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, maka pasal-pasal dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara beserta
peraturan pelaksananya yang mengatur kewenangan bupati/walikota tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.

3) Untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha kepada pemegang IUP mineral
dan batubara, gubernur dan bupati/walikota segera melakukan koordinasi terkait dengan
penyerahan dokumen IUP mineral dan batubara dalam rangka PMDN yang telah
dikeluarkan oleh bupati/walikota sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014.

4) Dalam rangka pelaksanaan peralihan kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan di


bidang pertambangan mineral dan batubara, diminta kepada bupati/walikota untuk segera
menyerahkan berkas perizinan kepada gubernur, antara lain:

a. IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi mineral logam, mineral bukan logam, batuan, dan
batubara, dan/atau IPR yang telah diterbitkan bupati/walikota sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014;

b. IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi mineral logam, mineral bukan logam, batuan, dan
batubara, dan/atau IPR yang terlanjur diterbitkan bupati/walikota setelah berlakunya
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014;

c. rencana penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang belum ditetapkan oleh
bupati/walikota;

d. permohonan, antara lain:

1) wilayah IUP (WIUP) mineral bukan logam dan batuan;

2) IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan batuan;

3) peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi mineral logam, mineral
bukan logam, batuan, dan batubara;

4) IPR dan perpanjangan IPR;

5) perpanjangan IUP Operasi Produksi logam, batubara, mineral bukan logam, dan
batuan;

6) perubahan jangka waktu IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara (sesuai dengan
jangka waktu dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009);

13
yang telah diajukan kepada bupati/walikota sebelum tanggal 2 Oktober 2014 yang saat
ini masih diproses oleh Dinas Teknis kabupaten/kota yang mempunyai tugas pokok dan
fungsi di bidang pertambangan mineral dan batubara.

5) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi di bidang


pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
23 Tahun 2014, diminta kepada gubernur untuk segera:

a. memproses penerbitan atau pemberian persetujuan atas berkas perizinan yang telah
disampaikan oleh bupati/walikota;

b. memperbarui berkas perizinan yang telah disampaikan oleh bupati/ walikota


sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf b;

c. memproses penetapan WPR;

d. memproses permohonan yang diajukan kepada gubernur, antara lain berupa permohonan:

1) perubahan jangka waktu IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara;

2) peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi;

3) perpanjangan IUP Operasi Produksi;

4) WIUP yang berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota;

5) IUP Eksplorasi, serta IPR dan perpanjangannya.

6) Gubernur dapat melakukan evaluasi terhadap berkas perizinan yang disampaikan oleh
bupati/walikota.

B. Kementerian Dalam Negeri


Pada tanggal 16 Januari 2015, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor
120/253/Sj tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pokok-pokok Surat Edaran ini adalah:

1. Penyelenggaraan urursan pemerintahan konkuren yang bersifat pelayanan kepada


masyarakat luas dan masif, yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda dan tidak dapat
dilaksanakan tanpa dukungan personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen
(P3D), tetap dilaksanakan oleh tingkatan/susunan pemerintahan yang saat ini
menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren tersebut sampai dengan diserahkannya
P3D. (Catatan: ada 11 sub urusan yang termasuk ke dalam butir ini, tetapi sub urusan bidang
energi dan sumber daya mineral tidak termasuk di dalamnya).

14
2. Penyelenggaraan perizinan dalam bentuk pemberian atau pencabutan izin dilaksanakan oleh
susunan/tingkatan pemerintahan sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.

3. Penataan/perubahan perangkat daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan konkuren


hanya dapat dilakukan setelah ditetapkannya hasil pemetaan urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.

4. Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor


23 Tahun 2014 dilaksanakan oleh Badan/Kantor Kesbangpol dan/atau Biro/Bagian pada
sekretariat daerah yang membidangi pemerintahan sebelum terbentuknya instansi vertikal
yang membantu gubernur dan bupati/ walikota.

5. Pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dibantu oleh SKPD
provinsi sampai dengan dibentuknya perangkat gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

6. Diminta kepada gubernur, bupati, dan walikota untuk:

a. menyelesaikan secara seksama inventarisasi P3D antar tingkatan/susunan pemerintahan


sebagai akibat pengalihan urusan pemerintahan konkuren paling lambat tanggal 31 Maret
2016 dan serah terima personel, sarana dan prasarana, serta dokumen (P2D) paling
lambat tanggal 2 Oktober 2016;

b. gubernur, bupati/walikota segera berkoordinasi terkait dengan pengalihan urusan


pemerintahan konkuren;

c. melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait yang difasilitasi oleh


Kementerian Dalam Negeri;

d. melakukan koordinasi dengan pimpinan DPRD masing-masing; dan

e. melaporkan pelaksanaan Surat Edaran ini kepada Menteri Dalam Negeri.

2.6. Surat Edaran Gubernur

Untuk menghadapi kekosongan peraturan, beberapa gubernur telah membuat surat edaran
sebagai langkah antisipasi.

A. Surat Edaran Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Nomor 540/241/DPE/2015


perihal Pembinaan dan Pengawasan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral,
tanggal 16 Maret 2015

15
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dan sesuai Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri RI Nomor 120/253/Sj tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tanggal 16 Januari 2015
Hal Tindak Lanjut Penataan IUP tanggal 16 Januari 2015, khususnya dalam pemberian
kewenangan kepada Gubernur untuk menyelenggarakan urusan bidang energi dan sumber daya
mineral, bersama ini disampaikan hal-hal berikut:

1. Bahwa pada saat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah wajib mendasarkan dan
menyesuaikan dalam pengaturannya.
2. Sesuai dalam matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat
dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota bidang energi dan sumber daya mineral,
dalam rangka pembinaan dan pengawasan yang merupakan kewenangan daerah provinsi
untuk menjadi perhatian dan berlaku sejak diundangkan.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, agar Bupati/Walikota untuk tidak memberikan segala
bentuk penetapan, penerbitan, dan persetujuan yang terkait dengan bidang energi dan sumber
daya mineral dalam daerah provinsi.

B. Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No. 545/1541/119.2/2014 tentang Tindak Lanjut
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan terbitnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, ada perubahan kewenangan urusan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadi urusan Pemerintah Daerah Provinsi. Untuk
mengimplementasikan hal ini, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dalam konsolidasi
Perizinan Pertambangan telah menerbitkan:

1. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemberian Izin di
Bidang ESDM sebagai Implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.

2. Pengumpulan berkas Izin Usaha Pertambangan yang telah diterbitkan oleh Kabupaten/Kota.

3. Penyusunan database izin tambang se-Provinsi Jawa Timur.

4. Merekrut tenaga honorer dari UGM dan UPN Veteran, sebagai PTT/Kontrak dalam rangka
memproses permohonan izin pertambangan dan menyusun database.

5. Mengintruksikan kepada seluruh Bupati/Walikota agar menghentikan Penerbitan Izin Usaha


Pertambangan, karena telah menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi hasil KORSUP
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

16
6. Mengintruksikan kepada seluruh Bupati/Walikota agar menyerahkan data dan dokumen
perizinan yang telah dikeluarkan dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap
pemegang izin.

7. Seluruh Kabupaten/Kota penghasil sumber daya alam pertambangan umum, tetap


mendapatkan Dana Bagi Hasil, Pajak Daerah, dan Pajak Air Tanah.

C. Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 503/24/Investasi dan BUMD perihal
Penyelenggaraan Perijinan di Jawa Barat, setelah ditetapkan Undang-undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah mengubah kewenangan urusan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadi urusan Pemerintah Daerah Provinsi. Untuk itu
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat tetap menjamin penyelenggaraan pelayanan publik yang
optimal, dengan menerbitkan:

1. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 86 Tahun 2014 tentang Kebijakan Transisional
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 92 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Perizinan Terpadu.

2. Instruksi Gubernur Jawa Barat Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Urusan
Pemerintahan Konkuren Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.

3. Kesepakatan Bersama antara Pemerintahan Provinsi Jawa Barat dengan Pemerintah


Kabupaten/Kota se Jawa Barat Nomor 119/83/Otda/Ksm tanggal 23 Desember 2014,
tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah Dalam Pelayanan Publik setelah
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih membutuhkan bantuan Pemerintah Kabupaten/Kota


dalam rangka optimalnya pelayanan perizinan, di antaranya:

1. Perizinan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setelah berlakunya


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dan sebelum terbitnya Peraturan Gubernur Jawa
Barat Nomor 92 Tahun 2014, tetap dinyatakan berlaku hingga berakhirnya masa berlaku
perizinan.

2. Untuk itu kepada seluruh Kabupaten/Kota segera melakukan penyesuaian berdasarkan


tahapan kewenangan urusan pemerintahan melalui pencabutan izin sesuai ketentuan yang
berlaku.

17
3. Menyampaikan daftar dan dokumen perizinan yang telah diterbitkan sebagaimana point 1
dan 2 oleh Operasional Perangkat Daerah (OPD) yang menangani peizinan di Daerah
Kabupaten/Kota kepada Gubernur Jawa Barat, untuk optimalnya perizinan.

4. Menyampaikan informasi tentang perubahan kewenangan penerbitan perizinan kepada


masyarakat/pemohon izin untuk segera menyesuaikan dan berkoordinasi dengan Badan
Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Provinsi Jawa Barat serta Biro Investasi dan
BUMD Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat Untuk menangani pemasalahan dan kendala
dalam pelaksanaan pelayanan perizinan.

18
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PASCAPEMBERLAKUKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2014

3.1. Umum

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 telah ditetapkan sebagai pengganti Undang-undang


Nomor 32 Tahun 2004, yang dinyatakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Muatan Undang-undang
terbaru ini membawa banyak perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Salah satunya
adalah pembagian urusan pemerintahan daerah.

Menurut Pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, urusan pemerintahan terdiri atas urusan
pemerintahan: absolut, konkuren, dan umum. Urusan pemerintahan absolut sepenuhnya
kewenangan Pemerintah Pusat, sementara urusan pemerintahan konkuren dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota yang merupakan dasar dari
pelaksanaan otonomi daerah. Sedangkan urusan pemerintahan umum adalah urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Mencermati lebih jauh tentang urusan pemerintahan konkuren, Pasal 12 undang-undang ini
membaginya menjadi dua bagian, yaitu urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan
pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
semua Daerah, terdiri atas pelayanan dasar dan pelayanan nondasar. Sedangkan urusan
pemerintahan pilihan berupa urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh Daerah sesuai
dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing Daerah. Urusan pemerintahan pilihan meliputi
bidang: (a) kelautan dan perikanan; (b) pariwisata; (c) pertanian; (d) kehutanan; (e) energi dan
sumber daya mineral; (f) perdagangan; (g) perindustrian; dan (h) transmigrasi (Gambar 3.1).

19
Gambar 3.1. Urusan Pemerintahan

Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta
Daerah kabupaten/kota sebagaimana disebutkan di atas didasarkan pada prinsip akuntabilitas,
efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Berikut kriteria-kriteria urusan
pemerintahan pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota.

Kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:

a. urusan pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;

b. urusan pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;

c. urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas
negara;

d. urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh
Pemerintah Pusat; dan/atau

e. urusan pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.

Kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah provinsi adalah:

a. urusan pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;

b. urusan pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;

c. urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota;
dan/atau

20
d. urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh
Daerah provinsi.

Kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota


adalah:

a. urusan pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;

b. urusan pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;

c. urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah
kabupaten/kota; dan/atau

d. urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh
Daerah kabupaten/kota.

Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan Daerah dan Pemerintah Pusat dalam
urusan pilihan adalah sebagai berikut:

a. penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber
daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;

b. urusan pemerintahan bidang kehutanan yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya
kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota;

c. urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan
pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat;

d. urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan
pemanfaatan langsung panas bumi dalam Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota.

Beberapa prinsip dasar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014

a. Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan Urusan


Pemerintahan. Yang dimaksud dengan “kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan
Urusan Pemerintahan” dalam ketentuan ini adalah kebijakan yang ditetapkan oleh Pemeritah
Pusat sebagai pedoman dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren, baik yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat maupun yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 6
berikut penjelasannya).

b. Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini diwakili oleh menteri/kepala lembaga pemerintahan
nonkementerian, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Daerah provinsi, sementara pembinaan dan pengawasan untuk Daerah

21
kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah Pusat (Pasal 7 dan
Pasal 8 berikut penjelasannya).

c. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi
serta Daerah kabupaten/kota didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan
eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional (Pasal 13 berikut penjelasannya).

Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah penanggungjawab penyelenggaraan


suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan
jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.

Yang dimaksud dengan “prinsip efisiensi” adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat
diperoleh.

Yang dimaksud dengan “prinsip eksternalitas” adalah penyelenggara suatu urusan


pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul
akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.

Yang dimaksud dengan “prinsip kepentingan strategis nasional” adalah penyelenggara suatu
urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan pertimbangan dalam rangka menjaga keutuhan
dan kesatuan bangsa, menjaga kedaulatan negara, implementasi hubungan luar negeri,
pencapaian program strategis nasional dan pertimbangan lain yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.

d. Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi, kecuali pengelolaan minyak dan gas bumi yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Sementara urusan pemerintahan bidang energi dan
sumber daya mineral yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam
Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota. Daerah
kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari
penyelenggaraan urusan pemerintahan (Pasal 14).

e. Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren berwenang untuk:


(Pasal 16)

1) menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan


urusan pemerintahan, yakni berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai pedoman dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi
kewenangan Daerah;

22
2) penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteriasebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah
mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan; dan

3) kewenangan Pemerintah Pusat dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga pemerintah


nonkementerian, dan harus dikoordinasikan dendan kementerian lain yang terkait.

f. Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan


Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dengan wajib berpedoman kepada norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal
kebijakan Daerah yang dibuat tidak mempedomani norma, standar, prosedur, dan kriteria
tidak sesuai dengan kebijakan Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat membatalkan
kebijakan Daerah. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun Pemerintah Pusat belum
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, penyelenggara Pemerintahan Daerah
melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17).

g. Seluruh ketentuan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 berlaku juga bagi Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh,
Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam
Undang-Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah tersebut (Pasal 399).

h. Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap berlaku sampai
dengan habis berlakunya izin (Pasal 402).

i. Serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen sebagai akibat
pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota yang diatur berdasarkan Undang-undang ini dilakukan paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan (Pasal 404).

j. Pada saat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 mulai berlaku, seluruh peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini (Pasal 408).

k. Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 harus ditetapkan paling
lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan (Pasal 410).

3.2. Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, salah satu
urusan pemerintahan pilihan adalah di bidang energi dan sumber daya mineral yang dibagi antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah provinsi, dan Pemerintah kabupaten/kota. Bidang energi dan

23
sumber daya mineral dikelompokkan menjadi sub urusan geologi, mineral dan batubara, minyak
dan gas bumi, energi baru terbarukan, dan ketenagalistrikan.

Geologi

Sub urusan geologi mencakup penetapan cekungan air tanah, konservasi air tanah, kawasan
lindung geologi, bahaya gunung api, gerakan tanah, neraca sumber daya dan cadangan sumber
daya mineral dan energi, serta kawasan rencana bencana geologi, dan lain-lain.

Mineral dan batubara

Sub urusan mineral dan batubara meliputi penetapan wilayah pertambangan dan wilayah izin
usaha pertambangan, penerbitan izin usaha pertambangan, penetapan dan penerbitan izin usaha
pertambangan dan jasa pertambangan, penetapan harga patokan, dan lain-lain.

Minyak dan gas bumi

Sub urusan minyak dan gas bumi meliputi penyelenggaraan minyak dan gas bumi, dan hanya
dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

Energi baru terbarukan

Sub urusan energi baru terbarukan meliputi penetapan wilayah kerja panas bumi, penerbitan izin
panas bumi, penetapan harga listrik dan/atau uap panas bumi, dan lain-lain.

Ketenagalistrikan

Sub urusan ketenagalistrikan meliputi penetapan wilayah penyediaan tenaga listrik, penerbitan
izin usaha penyediaan tenaga listrik, penetapan tarif tenaga listrik, persetujuan harga jual tenaga
listrik dan sewa jaringan tenaga listrik, dan lain-lain.

Dari kelima sub urusan di bidang energi dan sumber daya mineral, hanya sub urusan energi baru
terbarukan yang melibatkan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, yaitu penerbitan izin
pemanfaatan langsung panas bumi. Sub urusan geologi, mineral dan batubara, dan
ketenagalistrikan dikelola oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah provinsi, sedangkan sub urusan
minyak dan gas bumi hanya dikelola oleh Pemerintah Pusat.

Rincian urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat dilihat pada
Lampiran.

24
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Dalam rangka kajian mengenai implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap
pengembangan mineral dan batubata di Indonesia dilakukan survai lapangan pada 4 (empat)
provinsi sebagai sampel nasional, yaitu: Jawa Barat, Jawa Timur, Kepulauan Bangka Belitung,
dan Kalimantan Selatan. Survai lapangan untuk pendataan informasi yang terkait dilakukan
dengan berpedoman kuesioner dan wawancara. Mengenai ruang lingkup pendataan menyangkut
hal-hal berikut:

1) Kondisi dan potensi pertambangan mineral dan batubara di provinsi dan kabupaten;

2) Kondisi pengelolaan pertambangan setelah diberlakukan Undang-undang Nomor 23


Tahun 2014, antara lain;

a. Tenaga pelaksana pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di provinsi


dan kabupaten,

b. Peralatan pendukung pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang


tersedia,

c. Anggaran kegiatan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara,

d. Hubungan antara dinas pertambangan provinsi dan kabupaten, dan

e. Penerimaan daerah dari pertambangan mineral dan batubara.

3) Pandangan dan masukan terhadap implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014


terhadap pengembangan pertambangan mineral dan batubara di daerah

Berikut diuraikan mengenai hasil survai lapangan tentang pelaksanaan pengembangan


pertambangan mineral dan batubara setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 di empat provinsi sebagai sampel nasional dengan data peta pada Lampiran 2.

4.1.1. Provinsi Jawa Barat


A. Hasil Survei di Tingkat Provinsi

Kondisi dan potensi pertambangan mineral dan batubara

Potensi bahan tambang di Provinsi Jawa Barat sangat besar, mencapai 29 jenis mineral dan
batubara yang terdiri dari 17 mineral non logam (andesit, kapur, bentonit, diatome, felspar,
fosfat, kaolin, marmer, pasir urug, sirtu, kuarsa, tanah liat, tras, zeolit, gipsum, belerang, kalsit);
delapan Mineral logam (pasir besi, bijih besi, galena, emas, perak, mangan, tembaga, seng); dan

25
empat mineral batuan (batu permata, onyx, batu ares dan obsidian), dan batubara. Seluruh
potensi yang besar tersebut tersebar di 19 kabupaten di Provinsi Jawa Barat, antara lain
(Kabupaten Cianjur, Sukabumi, Bogor, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Subang, Tasikmalaya,
Pangandaran, Garut, Bandung, Bandung Barat, Ciamis, Cirebon, Indramayu, Kuningan, Banjar,
Sumedang dan Majalengka).

Sumber daya batu kapur yang terbesar terdapat di Kabupaten Sukabumi (>1,562 miliar ton),
andesit di Kabupaten Karawang (>870 juta ton), bentonit di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi
(masing-masing >130 juta ton), sirtu di Kabupaten Karawang (>533 juta ton), pasir kuarsa di
Kabupaten Sukabumi (>3 miliar ton), tanah liat di Kabupaten Sumedang (>122,7 miliar ton), tras
di Kabupaten Bandung Barat (>2 miliar ton), dan pasir besi di Kabupaten Sukabumi (>113 juta
ton).

Keberadaan sumber daya mineral dan batubara di wilayah Provinsi Jawa Barat yang luasnya
35.222,18 km2, cukup besar dan tersebar diseluruh wilayah kabupaten, diusahakan oleh 131
usaha logam, 93 usaha bukan logam dan 555 usaha batuan, dengan total izin usaha pertambangan
berjumlah 779 buah (Tabel 4.1. dan Gambar 4.2).

Tabel 4.1. Rekapitulasi Usaha Pertambangan di Provinsi Jawa Barat

Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat, 2015

26
Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat, 2015

Gambar 4.1. Grafik Jumlah IUP per Komoditas di Provinsi Jawa Barat

Kondisi pengelolaan pertambangan setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23


Tahun 2014
Untuk mengelola sumber daya yang besar dan tersebar di seluruh wilayah provinsi, Dinas
Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat melakukan pengelolaan pertambangan dengan
keterbatasan dan dilakukan secara sporadis. Jumlah tenaga pelaksana pertambangan di dinas ini,
terdiri atas: 1 orang Sarjana Strata 3, 29 orang Sarjana Strata 2, 59 orang Sarjana Strata 1, 13
orang Sarjana Muda (Diploma 3), 1 orang Diploma 1, 91 orang SLTA, dan 11 orang SD. Dilihat
berdasarkan latar belakang pendidikan dan keahlian, terdiri atas: 11 orang Sarjana Tambang, 10
orang Sarjana Geologi, 5 orang Sarjana Teknik Geodesi, 6 orang Sarjana Ekonomi, 3 orang
Sarjana Sosial, 10 Sarjana Manajemen, dan 5 orang Inspektur Tambang.

Peralatan pendukung berupa peralatan laboratorium dan peralatan lapangan. Peralatan


laboratorium, antara lain: Ph Meter (1 unit), Conductivity Meter (1 unit), Filter RO (2 unit),
Neraca analitik 4 decimal (2 unit), Spektrofotometer UV-Vis (1 unit), COD Reaktor (2 unit),
Ruang asam (3 unit), Kompresor (4 unit), AAS (2 unit), Oven (2 unit), Jaw Crusher (1 unit),
Pulveferizer (1 unit), dan Alat Uji Kuat Tekan (1 unit). Peralatan lapangan terdiri atas: Water
Level Meter (5 unit), GPS (20 unit), Borehole Camera (1 unit), Geolistrik(1 unit) dan Vibration
Meter (1 unit).

27
Anggaran kegiatan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang terkait dengan sektor
mineral dan batubara berjumlah Rp.121.197.000.000, dengan perincian anggaran rutin
Rp.18.282.905.000 dan anggaran pembangunan yang meliputi perencanaan, pembangunan fisik,
evaluasi dan pengembangan sebesar Rp.102.914.095.000.

Setelah adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, menyebabkan hubungan antara provinsi
dan kabupaten menjadi kurang optimal, disebabkan kesulitan penggunaan anggaran, pengelolaan
sumber daya manusia tidak efisien, koordinasi kegiatan antara Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota belum dinamis karena belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai
turunan undang-undang tersebut sebagai payung hukum untuk dapat melaksanakannya.

Berikut diuraikan hasil survei tentang pelaksanaan pengembangan pertambangan mineral dan
batubara setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 di Provinsi Jawa Barat,
yaitu:

1) Perizinan terhambat provinsi (belum adanya SOP, peraturan, PP yang mengatur undang-
undang ini).
2) Dampak kerusakan lingkungan akan lebih besar, karena keterbatasan personil untuk
melakukan pengawasan pengusahaan tambang ke seluruh kabupaten.
3) Distamben kabupaten/kota memiliki anggaran tetapi tidak dapat dilaksanakan, sementara
propinsi dari segi anggaran belum ada, personil terbatas, tidak mungkin melaksanakan
tugasnya dengan baik.
4) Penerimaan negara bukan pajak dari sektor minerba akan turun yang berdampak terhadap
dana bagi hasil untuk kabupaten/kota. Dana bagi hasil untuk yang diterima kabupaten/kota
sangat tergantung ada tidaknya data-data bukti setor royalti, yang selama ini dinas
pertambangan dan energi kabupaten yang mengumpulkan termasuk menagih royalti.
5) Penambangan tanpa izin (peti) akan marak lagi. Penambangan batubara, emas dan batuan
mulai muncul kembali setelah sekian lama hilang karena ketatnya pengawasan dari aparat
kepolisian maupun dinas.
6) Terjadinya pembiaran peti dari aparat kepolisian karena ada uang jasa pengamanan.
7) Tidak semua wilayah memiliki migas [sementara yang diserahkan kepada kabupaten/kota
adalah urusan migas].
8) Para pegawai di kabupaten/kota banyak menganggur (karena semakin sedikitnya tupoksi
yang bisa dikerjakan).
9) Para pegawai di kabupaten/kota akan kehilangan pegawai- pegawai yang berkualitas
(pengawas inspeksi tambang yang sudah mendapatkan pendidikan dan keahlian yang sudah
dibiayai oleh kabupaten/kota karena akan ditarik semuanya ke provinsi).

28
10) Proses perpindahan pegawai dari kabupaten/kota memerlukan waktu yang cukup panjang,
sementara tugas dan pekerjaan harus segera dilaksanakan karena Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 berlaku efektif saat itu.
11) Menjadikan keresahan bagi para pejabat dinas pertambangan dan energi di seluruh
Kabupaten/Kota.
12) Kinerja SKPD dinas pertambangan dan energi rendah. DPA SKPD dinas pertambangan dan
energi telah disahkan oleh dewan, sementara dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 DPA tersebut tidak dapat dilaksanakan karena alasan kewenangan sudah tidak dimiliki
lagi. Maka bagi SKPD yang tidak melaksanakan DPA, dapat penilaian kinerjanya rendah.
13) Resiko tidak dapat menyelesaikan presentasi RKAB dan RKKTL karena jumlah IUP
terlalu banyak yang harus dilaksanakan oleh provinsi.
14) Pola pembinaan karier pegawai terganggu, SKP sebagai parameter pengukur kinerja akan
rendah. Otomatis nilai SKP para staf, pejabat rendah yang berimplikasi tidak naik pangkat,
CPNS sulit menjadi PNS penuh.

Penerimaan daerah dari pertambangan mineral dan batubara

Selama tahun 2003 – 2014, penerimaan dari sektor perambangan terus memperlihatkan
peningkatan (Gambar 4.2), dari Rp.2,67 miliar (2003) menjadi Rp.6,38 miliar (2014).
Penerimaan ini sebenarnya relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah IUP yang cukup
banyak (total ada 779 buah) serta keberadaan sumber daya mineral dan batubara tersebar di
wilayah Provinsi Jawa Barat yang cukup luas (35.222,18 km2).

Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat, 2015

Gambar 4.2. Garafik Realisasi Bagi Hasil Sektor Pertambangan Umum bagi Provinsi Tahun 2003-2014

29
B. Hasil Survei di Tingkat Kabupaten

Kabupaten Cianjur

Kondisi Pertambangan Mineral dan Batubara

Jenis bahan mineral tambang di Kabupaten Cianjur yang ada pada saat ini terdiri atas jenis
mineral bukan logam dan mineral logam. Untuk jenis mineral bukan logam adalah sirtu,
pasir/pasir pasang, gamping, felspar, tras, dan andesit. Dilihat dari jumlah pengusahaannya,
untuk jenis mineral bukan logam hingga akhir tahun 2012 berjumlah 93 unit usaha, dengan
perincian pengusahaan sirtu 18 unit usaha, pasir/pasir pasang 60 unit usaha, gamping satu unit
usaha, felspar empat unit usaha, tras enam unit usaha, dan batu andesit empat unit usaha.
Sementara dilihat dari jenis izin yang diberikan, pengusahaan bahan galian bukan logam
berjumlah 93 perizinan, terdiri atas yang aktif sebanyak 42 unit usaha, tidak aktif sebanyak 40
unit usaha, dalam proses balik nama dua unit usaha, dan dibatalkan izinnya sembilan unit usaha.

Untuk jenis mineral logam adalah pasir besi, emas dmp, dan galena. Dilihat dari jumlah
pengusahannya, terdapat sebanyak 11 unit usaha, dengan perincian pengusahaan pasir besi
berjumlah tiga unit usaha, emas dmp enam unit usaha, dan galena dua unit usaha. Sedangkan
untuk jenis perizinannya terdiri atas IUP Operasi Produksi sebanyak enam unit usaha dan KP
Eksplorasi lima unit usaha. Dari jumlah perizinan tersebut, yang aktif sebanyak enam unit usaha
dan yang tidak aktif lima unit usaha.

Kondisi Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014


Kondisi pengelolaan pertambangan setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 terdapat kesamaan dengan kabupaten yang lain di Provinsi Jawa Barat. Implikasi adanya
pelimpahan kewenangan dari kabupaten/kota ke provinsi, praktis secara administrasi serta tugas
dan fungsi sudah tidak ada aktivitas, baik dari kegiatan perencanaan sampai dengan kegiatan
pengawasan. Kegiatan hanya sporadis dilakukan kalau ada permasalahan di lapangan atau
pengaduan dari masyarakat, yang ditindaklanjuti dengan pelaporan ke Dinas Pertambangan dan
Energi di tingkat Provinsi Jawa Barat. Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan Kabupaten
Cianjur sendiri tidak melakukan aktivitas apapun. Pegawai yang mengurus pertambangan
mineral dan batubara jumlahnya terbatas, karena urusan pertambangan mineral dan batubara
hanya diurusi oleh bidang dengan pejabat struktural eselon 3.

Terkait Pasal 404 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa serah terima
personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D) dilakukan paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan, Dinas Sumber Daya Air dan

30
Pertambangan Kabupaten Cianjur sudah mempersiapkan sejak dini, dan tinggal menunggu tim
dari tingkat provinsi (Jawa Barat).

Dampak dari diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap pertambangan di


Kabupaten Cianjur mengakibatkan, antara lain, kinerja tidak optimal, pengelolaan pertambangan
praktis tidak tertangani secara benar karena kabupaten/kota tidak memiliki kewenanganan lagi,
akibat tidak ada kegiatan pengawasan dikhawatirkan kerusakan lingkungan tidak terkontrol,
penerimaan negara tidak terpungut secara optimal, dan akan mengundang beroperasinya
pertambangan tanpa izin.

Kabupaten Sukabumi

Kondisi Pertambangan Mineral dan Batubara

Potensi geologi pertambangan Kabupaten Sukabumi antar lain sumber panas bumi di daerah
Gunung Salak dan Cisolok, serta bahan galian emas, perak, batubara, pasir kuarsa, marmer, pasir
besi, bentonit, teras, batu gamping, tanah liat, dan lain-lain. Potensi sebagian sumber daya
tambang tersebut tersebar di bagian selatan aliran sungai Cimandiri. Beberapa wilayah yang
memiliki potensi sumber daya tambang tersebut di antaranya adalah wilayah Cibadak (meliputi
batubara, kaolin, marmer, batu apung, tras, batu hijau, dan batu sirap), wilayah Palabuhanratu
(batu gips, marmer, batu sela, dan batu sirap), wilayah Jampangtengah (fosfat, mangan, lilin, batu
merah, dan batu sirap), dan wilayah Jampangkulon (besi, titan, mas, batu gips, tembaga, dan
asbes).

Pemegang IUP di Kabupaten Sukabumi berjumlah 161 IUP, terdiri atas 47 IUP mineral logam,
56 IUP mineral bukan logam, dan 43 IUP batuan. IUP mineral logam berupa galena 12 IUP,
emas 15 IUP, mangan satu IUP, pasir besi 11 IUP dan bijih besi delapan IUP; IUP mineral bukan
logam meliputi 10 IUP pasir beton, 15 IUP pasir kuarsa, 10 IUP tanah liat, sembilan IUP zeolit,
empat IUP kalsedon, dua IUP pasir pasang, empat IUP bentonit, dan dua IUP tras; IUP batuan
berupa 19 IUP batu gamping, satu IUP marmer, empat IUP batu ares, dan 19 IUP andesit.
Mengenai IUP bahan tambang yang telah berproduksi per bulan April tahun 2015 ditunjukkan
Tabel 4.2.

Penerimaan negara tahun 2015 dari sektor pertambangan umum di Kabupaten Sukabumi sebesar
USD16,563.00 dan Rp.196.022.802.

31
Tabel 4.2. Produksi Bahan Galian di Kabupaten Sukabumi per April 2015
No. Jenis Bahan Tambang Produksi (Ton)
1. Pasir beton 32.331,00
2. Batu Kapur/ Gamping 3.679,97
3. Batu split 2.871,00
4. Batu Ares 500,00
5. Tanah liat 53.614,89
6. Tanah liat 6.148,00
7. Zeolit 11.281,19
8. Bentonit 2.155,00
9. Pasir pasang 4.453,00
10. Batu andesit 577,97
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi, 2015

Kondisi Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

Tidak berbeda dengan Kabupaten Cianjur, kondisi pengelolaan pertambangan di Kabupaten


Sukabumi juga mengalami kekosongan pascadiberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014. Demikian pula dengan aspek P3D yang seluruhnya sudah disiapkan oleh Dinas
Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi, tinggal menunggu tim dari tingkat provinsi
(Jawa Barat). Adapun jumlah karyawan di Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi
seluruhnya 42 orang, terdiri atas S2 lima orang, S1 21 orang, Sarjana Muda satu orang, dan
sisanya SLTA 15 orang.

Sementara dampak dari diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap


pertambangan di Kabupaten Sukabumi sama dengan di Kabupaten Cianjur, yaitu kinerja tidak
optimal, pengelolaan pertambangan tidak tertangani secara baik, pengawasan tidak ada yang
dikhawatirkan berdampak negatif pada kerusakan lingkungan, penerimaan negara tidak terpungut
secara optimal, dan akan mengundang beroperasinya pertambangan tanpa izin.

Kabupaten Garut

Kondisi Pertambangan Mineral dan Batubara

Kabupaten Garut memiliki potensi sumber daya pertambangan yang cukup besar, sebagian besar
berupa sumber daya bahan galian bukan logam dan batuan. Beberapa sumber daya mineral
tersebut adalah: perlit dan obsidian, batu setengah permata, kaolin, batu templek, pasir dan sirtu,
Tanah urug, lempung (tanah liat), batu belah, batu apung, belerang, toseki, dan batu silika (Tabel
4.3).

Pemegang IUP berjumlah 24 buah, dengan perincian IUP emas (empat buah), IUP tembaga (satu
buah), IUP pasir besi (tiga buah), dan IUP galena (satu buah), dan IUP untuk jenis mineral bukan
logam dan batuan (13 IUP).

32
Tabel 4.3. Potensi Bahan Galian di Kabupaten Garut

No. Jenis Bahan Galian Lokasi Cadangan Keterangan


1. Perlit dan obsidian Gunung Kiamis dan sekitarnya, Cadangan terkira 72 juta ton
Kecamatan Pasirwangi,
2. Batu setengah Tersebar di Desa Sukarame, Cadangan terkira 9.035 ton Berdasarkan mutu dapat
permata Kecamatan Caringin, Garut dengan mutu yang dipegunakan sebagai bahan
(krisopras/Jamrud selatan (Blok Cilending, Blok bervariasi. perhiasan (kalung, gelang,
Garut, native Cigajah, dan Blok Kiara Payung) cincin) ataupun sebagai
copper/Batu Urat bahan rumah tangga (meja,
Tembaga, agat, patung, asbak, dan
kuarsa/kalsedon/kec sebaginya).
ubung, kriskola,
jaspir, fosil kayu
terkersikkan, dan
lain-lain
3. Kaolin Kecamatan Malangbong (Desa Cadangan terkira:
Campaka, Desa Cikarang, dan 1. Blok Karaha (Desa
Desa Citeras) Cikarang) 2.673.336 m3
2. Blok Citeras (Desa
Cihaurkoneng) 2.737.000
m3
3. Blok Batulayang (Desa
Sukamanah) 3.311.000
m3
4. Batu templek Kecamatan Cisewu (Pasir Cadangan terkira 1,8 juta
Ciaseup, Kampung Ciawitali, m3 dan kualitas yang cukup
Desa Girimukti, Kampung Lio, tinggi
Cipicing, Ciguntur, Cilumbu dan
Dataran Loa, Desa Cisewu)
5. Pasir dan sirtu Tersebar di kecamatan:
Leuwigoong, Samarang, Garut
Kota, Banyuresmi, Tarogong,
Leles, dan Cibatu
6. Tanah urug, Tersebar di kecamatan: Leles, Cadangan terbatas dan
Banyuresmi dan Leuwigoong, tersebar tidak merata
7. Lempung (tanah liat) Tersebar di beberapa tempat, Lempung telah banyak
seperti Desa Cihonje, diusahakan oleh
Sukabandung, Banyuresmi dan masyarakat setempat
Sukarame.
8. Batu belah Tersebar di kecamatan:
Bungbulang, Kadungora, Leles,
dan Cisewu
9. Batu apung Terdapat di Desa Nagrek, Tersebar tidak merata
Kecamatan Limbangan dalam batuan breksi
gunung api
10. Belerang Terdapat di Gunung Papandayan Potensi dalam bentuk
kerak dan lumpur belerang
sebagai proses kegiatan
solfatora dan fumarol
11. Toseki , ditemukan di daerah timur laut Sangat baik digunakan
Gunung Mandalagiri, Kecamatan sebagai bahan keramik
Cikajang,
12. Batu silika Terdapat di Sanghyangheulang, Potensi terdapat di lembah
Kecamatan Bungbulang, dan dasar sungai
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Garut, 2015

Kondisi pengelolaan pertambangan setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23


Tahun 2014
Tenaga pelaksana yang menangani pertambangan mineral dan batubara di Kabupaten Garut
berjumlah 11 orang yang terdiri atas: 3 orang Sarjana Strata 2, 3 orang Sarjana Strata 1, dan 5
orang lulusan SLTA. Berdasarkan latar belakang pendidikan dan keahlian, adalah: 3 orang
Sarjana Tambang, 1 orang Sarjana Geologi, 1 orang Sarjana Teknik Metalurgi, 1 orang Sarjana

33
Sosial, dan 1 orang Inspektur Tambang. Peralatan pendukung operasional kegiatan untuk
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di Kabupaten Garut terdiri atas GPS 3 unit,
Palu Geologi 2 unit, dan Sunto 1 unit.

Anggaran kegiatan yang terkait dengan sektor mineral dan batubara berjumlah Rp.356.876.000,
terdiri atas anggaran untuk evaluasi IUP, rekonsiliasi PNBP sektor pertambangan, perhitungan
dan penetapan produksi pertambangan, kajian kondisi dan potensi air tanah, verifikasi nilai
perolehan air, dan inventarisasi potensi sumber daya mineral bukan logam dan batuan.

Berdasarkan survei di Kabupaten Garut diperoleh informasi bahwa:

a) Sebagian besar usaha pertambangan mineral dan batubara memiliki nilai positif dalam
menunjang infrastruktur di wilayah tersebut, khususnya untuk memasok kebutuhan bahan
baku bagi pelaksanaan pembangunan infrastruktur Kabupaten Garut. Namun di lain pihak,
setelah munculnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, sebagian besar usaha
pertambangan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi lingkungan hidup, perizinan dan
penyelewengan disebabkan kewenangan yang biasanya ditangani oleh Kabupaten sekarang
beralih kepada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat yang sama sekali kurang
memahami kondisi wilayah dan aspek kehidupan masyarakat dan pengusaha tambang di
wilayah Kabupaten Garut; dan

b) Sosialisasi mengenai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, perlu dilakukan kepada


seluruh pengusaha sektor pertambangan di Kabupaten Garut, sehingga permasalahan dan
dampak dari undang-undang tersebut dapat diselesaikan bersama antara Dinas Pertambangan
dan Energi Kabupaten Garut dengan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat.

Dengan kondisi di atas, Dinas Pertambangan Kabupaten Garut berharap dilibatkan dalam hal
pembinaan dan pengawasan, dengan alasan:

a. keterbatasan personil di Dinas Pertambangan Provinsi;

b. beban kerja bagi Dinas Pertambangan Provinsi terlalu besar;

c. wilayah kerja atau rentang kendali Dinas Pertambangan Provinsi terlalu luas meliputi 27
kabupaten dan kota;

d. berdampak kepada usaha-usaha lain yang terkait dengan sektor pertambangan seperti usaha
jasa kontruksi yang memerlukan bahan material dari sektor pertambangan;

e. neraca kebutuhan material bagi pembangunan di kabupaten dan kota cukup tinggi, di sisi
lain perusahaan tambang pemegang IUP sangat terbatas.

34
Kabupaten Tasikmalaya

Kondisi Pertambangan Mineral dan Batubara

Kabupaten Tasikmalaya memiliki potensi sumber daya pertambangan yang cukup besar,
sebagian besar berupa sumber daya bahan galian logam, bukan logam, dan batuan (Tabel 4.4).

Tabel 4.4. Sumber Daya Bahan Galian di Kabupaten Tasikmalaya

No. Jenis Bahan Galian Lokasi (Kecamatan)


Andesit Karangnunggal, Sukaratu, Ciawi, Rajapolah, Parungponteng,
Cibalong, Sukaraja, dan Cipatujah
Sirtu Sukaratu, Ciawi, Cikatomas dan Cikalong)
Tras Sodonghilir, Pancatengah, Cikatomas, Parungponteng dan
Sukaraja
Marmer Parungponteng, Cibalong, Sukaraja, dan Karangnunggal
Batu gamping Sukaraja, Parungponteng, Cibalong, Karangnunggal,
Bantarkalong, Sodonghilir, Cikatomas, Cikalong, Taraju, dan
Pancatengah
Batu apung Sukaratu dan Padakembang
Obsidian Sukaratu dan Padakembang
Dasit Cipatujah
Diorit dan granodiorit Cineam dan Cipatujah
Pasir Sukartu, Padakembang, Singaparna, Sukaraja, Cibalong,
Karangnunggal, Cikatomas, dan Cikalong
Fosfat Cikalong, Sukaraja, Taraju dan Karangnunggal
Zeolit Karangnunggal, Cipatujah, Cikalong, Cikatomas, dan
Pancatengah
Bentonit Karangnunggal, Bantarkalong, Bojongasih, Sukaraja, Tarajum
Cikatomas, Pancatengah, dan Cibalong
Gips Karangnunggal, Cikalong, dan Cibalong
Belerang Kadipaten di Kawah Karaha dan Gunung Galunggung,
Kecamatan Sukaratu
Dolomit Cibalong dan Cipatujah
Kalsit Parungponteng dan Pancatengah
Diatome Manonjaya
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Garut, 2015

Sumber daya dan potensi bahan galian bukan logam untuk bahan keramik di Kabupaten
Tasikmalaya, yaitu:

a) lempung, terdapat di Kecamatan Karangnunggal, Bantarkalong, Cipatujah, Cikatomas,


Pancatengah, Cikalong, dan Cisayong;

b) toseki, terdapat di Kecamatan Pagerageung;

c) kaolin, terdapat di Kecamatan Salawu, Taraju, Kadipaten dan Karangnunggal;

d) ballclay, terdapat di Kecamatan Karangnunggal, Cipatujah, dan Bantarkalong;

e) perlit, terdapat di Kecamatan Karangnunggal;

f) felspar, di Kecamatan Cipatujah, Karangnunggal, dan Bantarkalong.

35
Sumber daya dan potensi bahan galian batuan berupa bahan galian ½ batu permata atau batu
mulia, yaitu

a) agate, terdapat di Kecamatan Parungponteng;

b) kayu terkersikan, terdapat di Kecamatan Parungponteng dan Cipatujah;

c) oniks, terdapat di Kecamatan Parungponteng;

d) kalsedon, terdapat di Kecamatan Parungponteng dan Cipatujah;

e) jasper pancawarna, terdapat di Kecamatan Karangnunggal dan Bantarkalong;

f) akik, terdapat di Kecamatan Karangnunggal dan Cipatujah;

g) jasper magnetik, terdapat di Kecamatan Cipatujah dan Bantarkalong;

h) biduri tawon dan kecubung, terdapat di Kecamatan Cipatujah.

Sumber daya mineral logam di Kabupaten Tasikmalaya tersebar antara lain:

a) pasir besi, terdapat di Kecamatan Cipatujah, Karangnunggal, dan Cikalong;

b) bijih besi, terdapat di Kecamatan Sodonghilir, Bojonggambir, Cipatujah, dan


Karangnunggal;

c) emas, terdapat di Kecamatan Cineam, Karangjaya, Salopa, dan Bojonggambir;

d) mangan, terdapat di Kecamatan Cipatujah, Karangnunggal, Bantarkalong, Cibalong,


Pancatengah, dan Parungponteng;

e) tembaga, terdapat di Kecamatan Cipatujah, Karangnunggal, Cikalong, dan Pancatengah;

f) barit, terdapat di Kecamatan Cineam dan Pancatengah;

g) galena, terdapat di Kecamatan Cipatujah dan Karangnunggal;

h) seng, terdapat di Kecamatan Cineam dan Karangnunggal.

Selain bahan galian bukan logam, logam, dan batuan, Kabupaten Tasikmalaya memiliki sumber
daya dan potensi batubara yang terdapat di Kecamatan Cikatomas, Jatiwaras, Salopa, Taraju,
Bojongasih, Cikalong, Cikatomas dan Bojonggambir. Batubara di Kabupaten Tasikmalaya
termasuk batubara muda.

Total jumlah pemegang sebanyak 33 buah, terdiri atas IUP pasir besi (enam buah), IUP
tembaga (dua buah), IUP pasir (19 buah), dan IUP gipsum (satu buah), IUP andesit (tiga buah),
IUP bentonti (satu buah) dan IUP batugamping (satu buah).

36
Kondisi pengelolaan pertambangan setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014
Berdasarkan hasil survei di Kabupaten Tasikmalaya diperoleh infromasi bahwa:

a) Respon dari Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tasikmalaya sangat
membantu dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, agar dampak dari adanya Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 yang banyak menimbulkan masalah ini dapat segera dicarikan
solusinya;

b) Sebagian besar usaha pertambangan mineral dan batubara di Kabupaten Tasikmalaya,


memilki nilai positif dalam menunjang infrastruktur di wilayah tersebut, khususnya untuk
memasok kebutuhan bahan baku bagi pelaksanaan pembangunan infrastruktur Kabupaten
Tasikmalaya, namun dilain pihak setelah timbul Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
sebagian besar usaha pertambangan mineral dan batubara menimbulkan dampak yang
cukup besar bagi lingkungan hidup, perijinan dan penyelewengan disebabkan kewenangan
yang biasanya ditangani oleh Kabupaten bersangkutan sekarang dihilangkan sama sekali
dan dialihkan kepada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat yang sama sekali
kurang memahami kondisi wilayah dan aspek kehidupan masyarakat dan pengusaha
tambang di wilayah Kabupaten Tasikmalaya; dan

c) Sosialisasi mengenai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, perlu dilakukan kepada


seluruh pengusaha sektor pertambangan di Kabupaten Garut dan Tasikmalaya,
permasalahan dan dampak dari undang-undang tersebut dapat diselesaikan bersama antara
Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kabupaten Tasikmalaya dengan Dinas
Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat.

Dengan kondisi di atas, maka apapun bentuknya, Dinas Pertambangan Kabupaten Tasikmalaya
berharap dapat dilibatkan dalam hal pembinaan dan pengawasan, dengan alasan:

a) terjadinya stagnasi perijinjan sehingga menimbulkan semakin banyaknya penambangan


tampa izin;

b) perlu peninjauan Struktur Organisasi Dinas atas perubahan kewenangan yang selanjutnya
berdampak pula pada fungsi pembinaan dan pengawasan serta pengendalian suatu kegiatan
usaha pertambangan;

c) perlu adanya peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang berkaitan dengan pembagian
urusan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral bagi kabupaten;

37
d) perlu adanya kejelasan prosedur pelayanan perijinan usaha pertambangan sehingga
pelayanan dapat dilakukan dengan cepatm mudah, murah, memiliki akuntabilitas yang baik
dan transparan;

e) fungsi BINWASDAL dari hulu dan hilir yang merupakan kewenangan kabupaten harus
lebih jelas sebelum dilakukan rasionalisasi organisasi.

4.1.2. Provinsi Jawa Timur

A. Hasil Survei di Tingkat Provinsi

Kondisi dan potensi pertambangan mineral dan batubara

Potensi bahan tambang sangat besar, terdiri atas 12 mineral batuan (andesit, breksi, diorit,
gamping, marmer, onyx, pasir, sirtu, tanah liat, tanah urug, tras, dan tuff ); enam mineral logam
(besi, emas, mangan, pasir besi, pirit dan seng); 12 mineral bukan logam (pasir kuarsa, yodium,
belerang, fosfat, zeolit, felspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit dan oker), dan
batubara. Seluruh potensi yang besar tersebut rata-rata tersebar di 29 kabupaten, yaitu
Kabupaten Bangkalan, Banyuwangi, Blitar, Bojonegoro, Bondowoso, Gresik, Jember, Jombang,
Kediri, Lamongan, Lumajanag, Madiun, Magetan, Malang, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Pacitan,
Pamekasan, Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo, Sampang, Sidoarjo, Situbondo, Sumenep,
Trenggalek, Tuban, dan Tulungagung.

Keberadaan sumber daya mineral bukan logam dapat diuraikan sebagai berikut: sumber daya
pasir kuasa yang terdapat di Kabupaten Tuban, Pamekasan, Sumenep, Paciatan dan
Bangakalan, (total 160.142.617.685 ton), sumber daya fosfat yang terdapat di Kabupaten
Pasuruan, Situbondo, Lamongan, Pacitan, Pamekasan, Sumenep, Bangkalan dan tuban (total
5.009.379.180 ton), sumber daya zeolit terdapat di Kabupaten Malang, Blitar, Ponorogo, dan
Pacitan (total 23.317.364 ton), sumber daya kaolin terdapat di Kabupaten Malang, Blitar,
Ponorogo dan Pacitan (total 36.799.656 ton), sumber daya felspar terdapat di Kabupaten
Malang, Pacitan, Blitar dan Trenggalek (total 674.772.656 ton), sumber daya bentonit terdapat
di Kabupaten Malang, Ponorogo, Tulungagung, dan Pacitan (total 483.725.682 ton), sumber
daya gipsum terdapat di Kabupaten Bondowoso, Ponorogo, Pacitan dan Bojonegoro (total
4.964.426 ton), sumber daya dolomit terdapt di Kabupaten Tuban, Pacitan, Gresik, Lamongan
dan Pamekasan (total 219.218.098.792 ton), sumber daya kalsit terdapat di Kabupaten
Bondowoso, Blitar, Tuban dan Nganjuk (total 17.268.934 ton), sumber daya rijang terdapat di
Kabupaten Ponorogo dan Pacitan (total 4.682 ton), sumber daya firopilit terdapat di Kabupaten

38
Malang, Pacitan dan Blitar (total 149.364.202 ton) dan sumber daya oker terdapat di Kabupaten
Pacitan dan Ponorogo (total 390.000 ton).

Keberadaan sumber daya mineral batuan dapat diuraikan sebagai berikut: sumber daya andesit
yang terdapat di Kabupaten Situbondo, Bondowoso, Malang, Blitar, Madiun dan Jombang (total
160.450.662.965 ton), sumber daya breksi yang terdapat di Kabupaten Bondowoso, dan
Magetan (total 1.124.178.000 ton), sumber daya diorit terdapat di Kabupaten Pacitan (total
113.717.791ton), sumber daya gamping terdapat di Kabupaten Malang, Situbondo, Bondowoso,
Blitar, Trenggalek, Ponorogo, tulungagung, Lamongan, dan Tuban (total 176.058.656.546 ton),
sumber daya marmer terdapat di Kabupaten Malang, Trenggalek, Ponorogo dan Tulungagung
(total 1.049.670.364 ton), sumber daya onyx terdapat di Kabupaten Nganjuk dan Bojonegoro
(total 6.148.312 ton), sumber daya pasir terdapat di Kabupaten Situbondo, Bondowoso, Malang,
Lamongan, Pasuruan, Lumajang, Magetan, Nganjuk dan Bojonegoro (total 8.463.742.487ton),
sumber daya sirtu terdapat di Kabupaten Batu, Malang, Blitar, Probolinggo, Ponorogo, Pasuruan
dan Kediri (total 174.509.135 ton), sumber daya tanah liat terdapat di Kabupaten Trenggalek,
Malang, Blitar, Sumenep, Nganjuk, Ponorogo, Pamekasan, Gresik, Kediri dan Madiun (total
6.447.431.320 ton), sumber daya tanah urug terdapat di Kabupaten Gresik, Pacitan, Madiun,
Ponorogo, Jombang, Ponorogo, Mojokerto dan Ngawi (total 414.715.482ton), sumber daya trass
terdapat di Kabupaten Situbondo, Bondowoso, Blitar, Probolinggo, Pasuruan, Jombang,
Bojonegoro, Ngawi dan Pacitan (total 21.005.722.573ton) dan sumber daya tuff terdapat di
Kabupaten Pacitan (total 2.766.182.800 ton) dan hampir 7.000.000 ton berada di Kabupaten
Trenggalek, Tulungagung dan Pacitan.

Sedangkan empat macam sumber daya mineral logam, tersebar antara lain: sumber daya besi
terdapat di Kabupaten Malang, Blitar, Trenggalek (total 735.608.023 ton), sumber daya emas
terdapat di Kabupaten Blitar, Pacitan, Jember dan Ponorogo (total 2.893.060 ton), sumber daya
mangan terdapat di Kabupaten Malang, Blitar, Trenggalek, Tulungagung, Ponorogo, Pacitan
dan Jember (total 143.598.428 ton) dan sumber daya tembaga terdapat di Kabupaten Blitar,
Jember, Ponorogo, Tulungagung dan Paciatan (total 449.065ton)

Kondisi pengelolaan pertambangan setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23


Tahun 2014
Untuk mengelola sumber daya yang besar dan tersebar di seluruh wilayah Provinsi Jawa Timur
diperlukan jumlah tenaga pelaksana yang cukup dan memadai. Di Pemerintahan Provinsi Jawa
saat ini ditangani oleh tenaga pelaksana berjumlah seluruhnya 116 orang, dengan tingkat
pendidikan sebagai berikut: 21 orang Sarjana Strata 2, 57 orang Sarjana Strata 1, 12 orang
Sarjana Muda (Diploma 3), 23 orang SLTA, 2 orang SLTP, dan 1 orang pendidikan SD.
Berdasarkan latar belakang pendidikan dan keahlian, terdiri atas: 3 orang Sarjana Tambang, 7

39
orang Sarjana Geologi, 30 orang Sarjana Teknik Lainnya, 14 orang Sarjana Ekonomi, 15 orang
Sarjana Sosial, 22 orang Sarjana Non-Teknik Lainnya, dan 25 orang Non-Sarjana.

Peralatan pendukung pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang tersedia berupa
peralatan laboratorium dan peralatan lapangan. Peralatan laboratorium, antara lain: Oven 2 unit,
Timbangan 2 unit, Vacum Pump 2 unit, Desikator Vacum 2 unit, Hot Plate 1 unit, Muffle
Furnace 1 unit, Inkubator 1 unit, Plastisitas 1 unit, Braightness (Colourred) 1 unit, Comparator
Test 1 unit, Colorimeter 1 unit, Turbbidimmeter 2 unit, Spektrofotometer 2 unit, Health Magnetic
With Heater 2 unit, Resistivitymeter 1 unit, Pulveizer 2 unit, Neraca Analitik 3 unit, Atomic
Absorption 6 unit, Multimeter 1 unit, Microwave Digestion 1 unit, pH Meter 2 unit, UV-Vis
Spectrophotometer 1 unit, Refrigerated Sample Storage 2 unit, X Ray Fluresence 1 unit, dan
Filtration Unit 1 unit. Sedangkan peralatan lapangan terdiri atas: Laptop 1 unit, Alat Geolistrik 2
unit, EC Meter 1 unit, Sieve Shaker Machine 1 unit, Alat Kuat Tekan 1 unit, Kompas Geologi 1
unit, Stopwatch 1 unit, CD Column 1 unit, Bom Calorimeter 1 unit, dan Jaw Crusher 1 unit.

Setelah adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, menyebabkan hubungan antara provinsi
dan kabupaten menjadi kurang optimal, disebabkan kesulitan penggunaan anggaran, pengelolaan
sumber daya manusia tidak efisien, koordinasi kegiatan antara Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota belum dinamis karena belum adanya PP sebagai turunan undang-
undang tersebut sebagai payung hukum untuk dapat melaksanakannya.

Berikut diuraikan mengenai hasil survei lapangan tentang pelaksanaan pengembangan


pertambangan mineral dan batubara setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 di Provinsi Jawa Timur, antara lain:

a) Kinerja SKPD dinas pertambangan dan energi rendah. DPA SKPD dinas pertambangan
dan energi telah disahkan oleh dewan, sementara dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 DPA tersebut tidak dapat dilaksanakan karena alasan kewenangan sudah tidak ada
lagi. Maka bagi skpd yang tidak melaksanakan dpa, dapat penilaian kinerjanya rendah.

b) Resiko tidak dapat menyelesaikan presentasi RKAB dan RKKTL karena jumlah IUP
terlalu banyak yang harus dilaksanakan oleh provinsi.

c) Perizinan terhambat provinsi (belum adanya SOP, peraturan, PP yang mengatur undang-
undang ini).

d) Dampak kerusakan lingkungan akan lebih besar, karena keterbatasan personil untuk
melakukan pengawasan pengusahaan tambang ke seluruh kabupaten.

40
e) Distamben kabupaten/kota memiliki anggaran tetapi tidak dapat dilaksanakan, sementara
propinsi dari segi anggaran belum ada, personil terbatas, tidak mungkin melaksanakan
tugasnya dengan baik.

f) Penerimaan negara bukan pajak dari sektor minerba akan turun yang berdampak terhadap
dana bagi hasil untuk kabupaten/kota. Dana bagi hasil untuk yang diterima kabupaten/kota
sangat tergantung ada tidaknya data-data bukti setor royalti, yang selama ini dinas
pertambangan dan energi kabupaten yang mengumpulkan termasuk menagih royalti.

g) Terjadinya pembiaran peti dari aparat kepolisian karena ada uang jasa pengamanan.
Penambangan tanpa izin (PETI) akan marak lagi. Penambangan batubara, emas dan batuan
mulai muncul kembali setelah sekian lama hilang karena ketatnya pengawasan dari aparat
kepolisian maupun dinas.

h) Para pegawai di kabupaten/kota banyak menganggur (karena semakin sedikitnya tupoksi


yang bisa dikerjakan), sehingg pola pembinaan karier pegawai terganggu, SKP sebagai
parameter pengukur kinerja akan rendah. Otomatis nilai SKP para staf, pejabat rendah yang
berimplikasi tidak naik pangkat, CPNS sulit menjadi PNS penuh.

i) Kabupaten/kota akan kehilangan pegawai yang berkualitas (pengawas inspeksi tambang


yang sudah mendapatkan pendidikan dan keahlian yang sudah dibiayai oleh kabupaten/kota
karena akan ditarik semuanya ke provinsi), sehingga menimbulkan keresahan bagi para
pejabat dinas pertambangan dan energi di seluruh Kabupaten/Kota.

B. Hasil Survei di Tingkat Kabupaten

Kabupaten Malang

Kondisi Pertambangan Mineral dan Batubara

Kabupaten Malang memiliki banyak sumber daya mineral bukan logam dan batuan,
meskipun sumber daya mineral logam juga ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit.
Sumber daya bukan logam dan batuan terdapat di 18 kecamatan, yaitu Kecamatan Sumber
Manjing Wetan, Bantur, Pagak, Tirtoyudo, Donomulyo, Gedangan, Kalipare, Kepanjen,
Gondanglegi, Singosari, Sumber-pucung, Jabung, Karangploso, Wajak, Kasembon, Turen,
Dampit, dan Ampelgading (Tabel 4.5).

41
Tabel 4.5. Sumber Daya Bahan Galian di Kabupaten Malang

No. Lokasi (Kecamatan) Jenis Bahan Galian


1 Kecamatan Sumber Manjing Mangan, emas, fosfat, kalsit, felspar, bentonit, phirophilit, zeolit, oker, dan
Wetan toseki
2 Kecamatan Kalipare Mangan, emas, kaolin, pasir kuarsa, gamping, dan marmer
3 Kecamatan Gedangan Pasir besi, emas, kalsit, phirophilit, zeolit, oker, gamping, dan marmer
4 Kecamatan Dampit Emas, felspar, kaolin, pasir kuarsa, oker, pasir, gamping, dan marmer
5 Pagak Kalsit, tanah liat, kaolin, dan bentonit
6 Bantur Kalsit, tanah liat, kaolin dan bentonit
7 Donomulyo Kalsit
8 Kepanjen Felspar
9 Gondanglegi Felspar
10 Tirtoyudo Tanah liat, pasir kuarsa, bentonit, zeolit, dan toseki
11 Singosari Tanah liat
12 Sumberpucung Tanah liat
13 Ampelgading Kaolin, pasir, dan pasir kuarsa
14 Jabung Andesit
15 Karangploso Andesit
16 Wajak Pasir
17 Kasembon Pasir
18 Turen Pasir
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Garut, 2015

Jumlah pemegang IUP terdapat 68 IUP, terdiri atas 10 buah IUP dan 58 IPR. Jenis bahan galian
yang diusahakan antara lain IUP pasir besi (16 buah), IUP phirophilit (sembilan buah), IUP
zeolit (satu buah), dan IUP sirtu (26 buah).

Kondisi pengelolaan pertambangan setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23


Tahun 2014
Tenaga pelaksana pengelola pertambangan di Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten
Malang berjumlah 34 orang, terdiri atas: 6 orang Sarjana Strata 2, 23 orang Sarjana Strata 1, dan
5 orang lulusan SLTA. Berdasarkan latar belakang pendidikan dan keahlian, terdiri atas: 3 orang
Sarjana Geologi, 5 orang Sarjana Teknik Lainnya, 6 orang Sarjana Ekonomi, 10 orang Sarjana
Non-Teknik, 5 orang Non Sarjana, dan 1 orang Inspektur Tambang. Peralatan pendukung, berupa
peralatan lapangan, yaitu GPS sebanyak 4 unit.

Anggaran kegiatan yang terkait dengan sektor mineral dan batubara pada tahun 2014 berjumlah
Rp.1.502.000.000, tidak termasuk program kerja dan kegiatan untuk operasional rutin
kesekretariatan dan juga belum termasuk kebutuhan anggaran untuk Gaji Pegawai Rutin.

Apapun bentuknya, Dinas Pertambangan Kabupaten Malang tetap harus dilibatkan dalam hal
pembinaan dan pengawasan, mengingat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 apabila
diterapkan di daerah kota/kabupaten kurang efektif, karena wilayah kabupaten/kota yang luas
akan membutuhkan waktu yang lama dalam pelaksanaan pengurusan kegiatan yang berkaitan
dengan pertambangan, di samping itu masyarakat penambang kebanyakan SDM-nya rendah
sehingga menjadi sulit apabila berurusan dengan kepengurusan kegiatan yang berkaitan dengan
pertambangan.

42
4.1.3. Provinsi Kalimantan Selatan

A. Hasil Survei Lapangan di Tingkat Provinsi

Kondisi dan potensi pertambangan mineral dan batubara

Luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan 37.530,52 km2 yang terbagi dalam 11 kabupaten dan
2 Kota. Wilayah Kalimantan Selatan merupakan salah satu daerah produsen batubara di
Indonesia. Sumber daya batubara terukur pada perusahaan PKP2B di Provinsi Kalimantan
Selatan sebesar 4.232,86 juta ton dengan cadangan terbukti 2.319,29 juta ton. Rencana produksi
perusahaan PKP2B tahun 2015 seluruhnya sebesar 118,12 juta ton dan rencana penjualan sebesar
109,43 juta ton (Tabel 4.6). Mengenai wilayah kerja perusahaan PKP2B di Provinsi Kalimantan
Selatan dapat dilihat pada Gambar 4.3. Sedangkan Sumber daya batubara terukur berdasar
perusahaan IUP di Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 1.009,55 juta ton dengan cadangan
terbukti 454,88 jut ton. Rencana produksi perusahaan IUP batubara tahun 2015 sebesar 48,42
juta ton dan rencana penjualan sebesar 47,39 juta ton (Tabel 4.7)

Tabel 4.6. Sumber daya dan Cadangan Perusahaan PKP2B di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015

SUMBER DAYA CADANGAN


NO PERUSAHAAN RENCANA PROD RENC. PENJUALAN
Tereka Terunjuk Terukur Terkira Terbukti
1 PT. Antang Gunung Meratus 378,530,388.00 261,214,397.00 257,135,013.00 33,496,542.00 54,796,986.00 7,000,000.00 7,000,000.00
2 PT. Arutmin Indonesia
Site Senakin 263,705,484.00 139,287,089.00 72,137,229.00 2,275,000.00 8,109,000.00 2,233,959.00 1,885,000.00
Site Satui 50,157,000.00 63,507,000.00 96,154,000.00 3,731,000.00 39,302,000.00 4,019,049.00 3,662,500.00
Batulicin 268,405,000.00 59,150,000.00 83,646,000.00 67,124,000.00 7,830,000.00 8,200,000.00
Mulia 165,497,000.00 55,060,000.00 60,481,000.00 10,764,000.00 17,230,000.00 6,678,039.00 6,678,039.00
Asam Asam 137,200,000.00 65,091,000.00 38,902,000.00 25,636,000.00 47,281,000.00 10,020,000.00 10,020,000.00
Kintap 208,696,000.00 40,461,000.00 8,180,000.00 71,261,000.00 27,867,000.00 8,869,082.00 8,854,000.00
3 PT. Adaro Indonesia 1,371,100,000.00 1,422,500,000.00 2,560,090,000.00 579,400,000.00 1,708,290,000.00 57,000,000.00 57,000,000.00
4 PD. Baramarta 70,238,200.00 56,901,955.12 32,318,626.12 40,768,788.12 1,771,014.00 1,623,000.00
5 PT. Bahari Cakrawala Sebuku 1,820,207.00 170,354.00 1,319,325.00 19,060.00
6 PT. Jorong Barutama Greston 94,820,000.00 7,730,000.00 5,560,000.00 3,201,000.00 1,300,000.00 1,352,000.00
7 PT. Sumber Kurnia Buana 8,140,000.00 22,320,000.00 37,560,000.00 3,879,357.00 2,776,680.00 73,676.00 103,676.00
8 PT. Banjar Intan Mandiri 7,000,000.00 3,500,000.00 1,750,000.00 428,330.82 99,000.00 90,000.00
9 PT. Tanjung Alam Jaya
10 PT. Kadya Caraka Mulia 7,952,866.00 22,506,138.00 3,790,066.08 305,900.00 397,500.00
11 PT. Borneo Indobara 514,595,000.00 651,877,000.00 789,024,000.00 326,538,000.00 248,906,000.00 6,000,000.00 6,000,000.00
12 PT. Kalimantan Energi Lestari 6,961,410.00 12,524,681.00 35,442,829.00 13,708,833.00 19,939,949.00 2,560,000.00 2,500,000.00
13 PT. Bangun Banua PK 6,307,988.90 8,315,471.90 12,463,980.51 5,856,441.84 2,147,232.64 400,000.00 409,000.00
14 PT. Interex Sacra Raya
15 PT. Wahana Baratama Mining 23,265,579.00 43,274,464.00 46,032,553.00 29,110,692.00 31,965,549.00 1,586,000.00 1,838,000.00
16 PT. Mantimin Coal Mining 61,708,000.00 73,307,000.00 61,708,000.00 54,663,000.00
17 PT. Bara Pramulya Abadi
TOTAL 3,574,619,049.90 2,984,195,131.02 4,232,860,722.63 1,235,808,190.84 2,319,292,581.66 118,115,719.00 109,431,775.00
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan, 2015

43
Gambar 4.3. Peta PKP2B di Provinsi Kalimantan Selatan

Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan, 2015

44
Tabel 4.7. Sumber Daya dan Cadangan Perusahaan IUP Batubara di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015

SUMBER DAYA CADANGAN


NO PERUSAHAAN RENCANA PROD RENC. PENJUALAN
Tereka Terunjuk Terukur Terkira Terbukti
A Kab. Banjar
1 PT. Gunung Limo 6,714,394.00 5,414,263.00 5,209,692.00 4,903,440.00 750,076.00 735,000.00
2 CV. Makmur Bersama 3,215,706.88 2,371,247.32 2,057,262.40 1,769,609.95 1,679,895.71 200,000.00 291,934.33
3 PT. Talenta Bumi 5,331,897.00 1,664,030.00 1,031,878.00
4 CV. Rizki Bintang 9,507,548.00 6,080,229.00 4,768,101.00 9,654,286.00 3,797,978.00 373,310.00 373,310.00
5 PT. Indomarta Multi Mining 18,000,000.00 15,000,000.00 32,000,000.00 8,850,000.00 11,550,000.00 1,200,000.00 1,170,000.00
6 PT. Banjar Persada Resources 332,487.00 150,000.00 155,000.00
7 PT. Intan Karya Mandiri
8 CV. Gunung Sambung

B Kab. Tapin
1 PT. Bhumi Rantau Energi 7,236,000.00 7,200,000.00
2 PT. Energi Bhumi Lestari 2,254,504.00 2,250,000.00
3 CV. Karyati 9,852,523.00 1,050,000.00 1,008,420.00
4 PT. Berkat Murah Rejeki 720,000.00
5 Binuang Mitra Bersama (Eks HBM) 5,873,129.00 4,309,388.00 2,745,647.00 1,200,000.00 1,200,000.00
6 KUD Makmur 4,112,380.11 3,156,512.54 2,400,000.00 2,400,000.00

C Kab. Balangan
1 PT. Laskar Semesta Alam 5,600,000.00 15,370,000.00 100,820,000.00 8,700,000.00 48,210,000.00
D Kab. Tanah Bumbu
1 CV. Rahma Rahman 6,635,600.00 528,000.00 480,000.00
2 PT. Astri Mining 1,874,900.00 441,000.00 420,000.00
3 PT.Usaha Baratama Jesindo 3,438,604.15 920,000.00 920,000.00
4 CV. Mitra Anugerah Sejahtera 1,509,100.00 695,000.00 695,000.00
5 CV. Anugerah Sukses Gemilang 4,202,312.00 1,836,000.00 1,836,000.00
6 CV. Puteri Ahdadia 2,953,385.69 1,200,000.00 1,200,000.00
7 PT. Astri Mining Resources 3,831,050.00 2,400,000.00 2,400,000.00
8 PT. Prolindo Cipta Nusantara 20,647,791.00 4,400,000.00 4,400,000.00
9 PT. Anzawara Satria 6,573,324.00 200,000.00 200,000.00
10 CV. Mandiri Citra Makmur Tambang 1,156,437.70 1,156,438.00 1,156,438.00
11 PT. Usaha Kawan Sejati 805,970.00 441,000.00 420,000.00
12 PT. Berkat Bersujud 2,757,362.00 600,000.00 570,000.00
13 PT. Anugerah Daya Gemilang 825,853.00 600,000.00 600,000.00
14 CV. Rizki Mulia Bara 1,447,167.00 465,600.00 465,600.00
15 PT. Angsana Jaya Energi 4,509,040.00 1,320,000.00 1,200,000.00
16 CV. Bintang Mulia Bara 2,275,700.00 378,000.00 360,000.00

E. Kab. Tanah Laut


1 PT. Amanah Anugerah A. M
2 PT. Surya Sakti Dharma Kencana
3 PT. Indoasia Cemerlang
4 PT. Kintap Bukit Mulia
5 CV. Wahyu Taruna Bakti 1,194,862.00 120,000.00 120,000.00
6 CV. Restu Ibu 2,285,315.00 240,000.00 240,000.00

E. Kab. Kotabaru
1 PT. Karbon Mahakam - 791,999.00 605,000.00 186,999.00
2 PT. Baramega Citra Mulia P 50,395,984.22 23,274,661.82 7,200,000.00 7,200,000.00
3 KUD Gajah Mada 612,330,000.00 203,432,660.00 4,800,000.00 4,800,000.00
4 PT. Sebuku Sejaka Coal 29,715,614.61 37,732,085.09 121,094,674.54 48,939,446.08
5 PT. Sebuku Tanjung Coal 13,261,245.00 16,585,540.00 59,165,457.00 29,925,530.00
6 PT. Sebuku Batubai Coal 23,240,586.00 15,774,859.00 16,933,850.00 4,434,728.00
7 PT. Tunggal Utama Lestari
8 PT. Bangun Karya Sabumi
9 PT. Sasangga Banua Banjar
10 PT. Metalindo Bhumi
11 PT. Kelumpang Hulu Energi L

F. Kab. Hulu Sungai Selatan (HSS)


1 PT. Pro Sarana Cipta 2,135,159.00 949,000.00 921,000.00
TOTAL 113,745,726.49 121,601,772.41 1,009,549,116.16 48,753,491.06 454,883,270.69 48,423,928.00 47,387,702.33
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan, 2015

45
Jumlah pemegang izin usaha pertambangan di Provinsi Kalimantan Selatan seluruhnya 861
buah, terdiri atas: Pemegang IUP 861 Izin, Pemegang PKP2B 19 Izin, dan Pemegang KK 2 Izin.
Jenis bahan galian yang diusahakan berupa batubara 650 izin, logam 90 buah, dan mineral bukan
logam dan Batuan 121 buah (Tabel 4.8). Dari 861 IUP terdapat 423 yang sudah CnC, 61 dalam
proses CnC, dan 74 sudah memiliki sertifikat CnC. Sedangkan untuk perusahaan PKP2B
seluruhnya sudah CnC.

Tabel 4.8. Rekapitulasi IUP per Kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015
KOMODITAS BATUBARA

NO KABUPATEN/KOTA IUP Eksplorasi IUP Operasi Produksi Keterangan


Perizinan Perizinan Jumlah
Blm CNC Sdh CNC Proses CNC Sertifikat CNC
Habis Berlaku Habis Berlaku
1 Kotabaru 34 10 31 22 97 25 72 0 12
2 Tanah Bumbu 29 48 48 167 292 139 136 17 22
3 Tanah Laut 39 4 3 86 132 57 62 14 18
4 Banjar 0 16 5 32 53 10 36 8 7
5 Tapin 0 0 0 25 25 0 25 0 6
6 Hulu Sungai Selatan 2 0 0 1 3 0 3 0 1
7 Hulu Sungai Tengah 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 Hulu Sungai Utara 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 Balangan 0 25 0 3 28 1 27 0 2
10 Tabalong 3 1 0 16 20 3 10 7 6
11 Barito Kuala 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 Banjarmasin 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 Banjarbaru 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SUB TOTAL 107 104 87 352 650 235 371 46 74

KOMODITAS MINERAL

NO KABUPATEN/KOTA IUP Eksplorasi IUP Operasi Produksi Keterangan


Perizinan Perizinan Jumlah
Belum CNCSudah CNC Proses CNC Sertifikat CNC
Habis Berlaku Habis Berlaku
1 Kotabaru 2 2 0 11 15 6 9 0 0
2 Tanah Bumbu 3 0 2 6 11 5 6 0 0
3 Tanah Laut 2 6 1 23 32 24 5 3 0
4 Banjar 4 7 0 9 20 17 2 1 0
5 Tapin 0 0 0 2 2 1 1 0 0
6 Hulu Sungai Selatan 1 0 0 0 1 0 1 0 0
7 Hulu Sungai Tengah 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 Hulu Sungai Utara 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 Balangan 0 3 0 2 5 0 5 0 0
10 Tabalong 3 1 0 0 4 1 2 1 0
11 Barito Kuala 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 Banjarmasin 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 Banjarbaru 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SUB TOTAL 15 19 3 53 90 54 31 5 0

KOMODITAS BATUAN

NO KABUPATEN/KOTA IUP Eksplorasi IUP Operasi Produksi Keterangan


Perizinan Perizinan Jumlah
Belum CNCSudah CNC Proses CNC Sertifikat CNC
Habis Berlaku Habis Berlaku
1 Kotabaru 0 0 22 12 34 34 0 0 0
2 Tanah Bumbu 9 6 0 1 16 14 2 0 0
3 Tanah Laut 0 2 0 22 24 22 2 0 0
4 Banjar 0 0 0 22 22 13 9 0 0
5 Tapin 0 0 3 0 3 0 3 0 0
6 Hulu Sungai Selatan 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 Hulu Sungai Tengah 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 Hulu Sungai Utara 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 Balangan 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 Tabalong 0 6 3 13 22 7 5 10 0
11 Barito Kuala 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 Banjarmasin 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 Banjarbaru 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SUB TOTAL 9 14 28 70 121 90 21 10 0

TOTAL 131 137 118 475 861 379 423 61 74

Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan, 2015

46
Berdasarkan data Biro Keungan DESDM dan Dispenda Provinsi Kalsel royalty batubara tahun
2011 di Provinsi Kalimantan Selatan mencapai Rp.2,5 triliun dan nilai landrent sebesar Rp.9,9
miliar. Tahun 2014 nilai royalty batubara mengalami penurunan menjadi Rp.2,2 triliun dan nilai
landrent naik menjadi Rp.27,5 miliar (Tabel 4.9).

Tabel 4.9. Produksi, Royalti dan Landrent Batubara di Provinsi Kalimantan Selatan, 2011-2015

No Tahun Data Produksi Data Royalti Data Landrent


(Ton) (Rp.) (Rp.)

1 2011 138,782,205.67 2.5 Triliun (Seluruh Wilayah Kalsel) 9.9 Miliar (Seluruh Wilayah Kalsel)
509,14 Miliar (Provinsi Kalsel) 1,9 Miliar (Provinsi kalsel)
9.026 Miliar (Seluruh Wilayah
2 2012 149,495,347.34 2,7 Triliun (Seluruh Wilayah Kalsel) Kalsel)
634 Miliar (Prov. Kalsel) 2.653 Miliar (Prov Kalsel)
9,973 Miliar (Seluruh Wilayah
3 2013 163,016,615.41 2.8 Triliun (Seluruh Wilayah Kalsel) Kalsel)
579,2 Miliar (Prov. Kalsel) 1,99 Miliar (Prov. Kalsel)

4 2014 171,189,904.05 574.996 miliar (Prov. Kalsel) 27,5 Miliar (Seluruh Wilayah Kalsel)
2.2 Triliun (Seluruh Wilayah Kalsel) 6,89 Miliar (Prov. Kalsel)
5 2015 36.047.467,49 271.331 Miliar (Prov Kalsel) 3.462 Miliar (Prov Kalsel)
(April)
Sumber : Biro Keungan DESDM dan Dispenda Provinsi Kalsel, 2015

Kondisi pengelolaan pertambangan setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23


Tahun 2014
Jumlah pegawai Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan seluruhnya
berjumlah 90 orang, terdiri atas: 8 orang Sarjana Strata 2, 32 orang Sarjana Strata 1, 4 orang
Sarjana Muda (Diploma 3), 42 orang pendidikan SLTA, 1 orang pendidikan, dan 3 orang non
pendidikan. Berdasarkan latar belakang pendidikan/keahlian terdiri atas: 4 orang Sarjana
Tambang, 8 orang Sarjana Geologi, 5 orang Sarjana Teknik Lainnya, 7 orang Sarjana Ekonomi,
6 orang Sarjana Sosial, 3 orang Sarjana Non-teknik Lainnya, 50 orang Non-sarjana, dan 5 orang
Inspektur Tambang.

Anggaran tahun 2015 untuk operasional Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan
Selatan terdiri atas anggaran rutin sebesar Rp.16.350.041.800,- dan anggaran pembangunan
sebesar Rp.6.991.960.000,-. Peralatan laboratorium yang tersedia di Dinas Dinas Pertambangan
dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan lihat Tabel 4.10.

47
Tabel 4.10. Peralatan Laboratorium di Dinas Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan
No. Peralatan Jumlah No. Peralatan Jumlah
1. Bomb Calorimeter 1 9. Alat-alat Gelas Cukup banyak
2. Infrared Sulfur Analyzer 1 10. Jaw Crusher 2
3. TGA 1 11. Rotary Sampel Divider 1
4. XRF 1 12. Furnance 4
5. AAS 1 13. Minimum Free Space Oven 1
6. UV/Vis Spectrophotometer 1 14. Drying Oven 2
7. Lemari Asam 2 15. Sieve Shaker 1
8. Timbangan 6 16.
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan, 2015

Berdasarkan koordinasi dengan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan,
diperoleh informasi, bahwa ada beberapa hal yang perlu disiapkan dalam pelaksanaan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014, antara lain:

a) Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah dimana Urusan Pemerintahan di Bidang Pertambangan Dan Energi sudah
menjadi kewenangan Provinsi khususnya Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi
Kalimantan Selatan sehingga sangat perlu untuk penambahan personel untuk kualifikasi
pendidikan Pertambangan atau Geologi.
b) Dalam Hal monitoring terhadap Izin Usaha Pertambangan yang sekarang menjadi
kewenangan provinsi sangat diperlukan anggaran untuk selalu memonitoring kegiatan
yang dilakukan oleh pemegang izin usaha pertambangan

B. Hasil Survai Lapangan di Tingkat Kabupaten

Kabupaten Banjar

Kondisi dan Potensi Pertambangan Mineral dan Batubara

Luas wilayah Kabupaten Banjar 4.668 km2. Potensi Pertambangan di Kabsumber daya dan
cadangan upaten Banjar berupa batubara, mangan, emas, zircon, nikel, besi, intan, kuarsa, tanah
urug dan sirtu. Jumlah pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Banjar
seluruhnya 111 buah, yang terdiri atas: 104 IUP dan 7 PKP2B. Jenis bahan galian yang
diusahakan terdiri atas batubara 48 izin, mineral logam 15 buah izin (mangan, emas, zircon,
nikel, kromit dan besi), mineral bukan logam 5 izin (intan dan kuarsa), dan batuan 23 izin
(batuan, tanah urug, dan sirtu).

Produksi batubara di Kabuoaten Banjar tahun 2014 sebesar 2,35 juta ton dengan nilai royalty dan
pajak daerah sebesar Rp.38,19 miliar, untuk produksi dan royalty dan pajak daerah bahan galian
mineral selengkapnya lihat Tabel 4.11 dan Tabel 4.12.

48
Tabel 4.11. Produksi Bahan Galian di Kabupaten Banjar Tahun 2004-2014

Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar, 2015

Tabel 4.12. Nilai Royalti dan Pajak Daerah Bahan Galian di Kabupaten Banjar Tahun 2004-2014

Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar, 2015

Kondisi pengelolaan pertambangan setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23


Tahun 2014

Jumlah pegawai di Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar seluruhnya 20 orang yang
terdiri atas: 8 orang Sarjana Strata 2, 16 orang Sarjana Strata 1, dan 6 orang Sarjana Muda
(Diploma 3), 5 orang lulusan SLTA, dan 2 orang lulusan SLTP. Berdasarkan latar belakang
pendidikan/keahlian terdiri atas: 4 orang Sarjana Tambang, 4 orang Sarjana Geologi, 3 orang
Sarjana Teknik Sipil, 2 orang Sarjana Teknik Lingkungan, 1 orang Sarjana Teknik Elektro, 2
orang Sarjana Ekonomi, 3 orang Sarjana Sosial, 2 orang Sarjana Ilmu Pemerintahan, 1 orang
Sarjana Ilmu Hukum, 2 orang Sarjana Ilmu Pertanian, 5 orang D-3 Tambang, 1 ornag D-3
Kesehatan Lingkungan, dan 4 orang Inspektur Tambang.

Anggaran operasional Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar Tahun 2015 terdiri atas
anggaran rutin dan anggaran pembangunan, nilai anggaran rutin sebesar Rp.2.896.376.926,00

49
dan anggaran pembangunan sebesar Rp.16.086.477.300,00. Peralatan yang ada di Dinas
Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar berupa peralatan laboratorium dan peralatan
lapangan. Mengenai jenis kedua peralatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.13 dan Tabel 4.14.

Tabel 4.13. Peralatan Laboratorium di Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar

Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar, 2015

Tabel 4.14. Peralatan Lapangan di Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar

Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar, 2015

Berdasarkan survai ke Di Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar terkait pemberlakuan


Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 khususnya di sector pertambangan terdapat masukan-
masukan sebagai berikut:

a) Pemerintah pusat segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai petunjuk teknis
pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, khususnya terkait penyerahan P3D.

50
b) Selama penyerahan Personil, pendanaan, sarana dan prasarana serta dokumen (P3D) dari
Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten/Kota ke Dinas Pertambangan dan Energi
Propinsi belum selesai agar Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten/Kota tetap
diberikan kewenangan melaksanakan sub urusan pertambangan dan energi sesuai
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 terkecuali perizinan dan turunannya.
c) Selambat-lambatnya Maret 2017 Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi sudah
membentuk UPT atau Dinas pembantuan untuk melaksanakan tugas-tugas pembinaan
dan pengawasan terhadap IUP-OP yang jumlahnya 873 buah IUP dan 17 buah PKP2B.
d) Segera memetakan tenaga pengawas tambang yang memiliki kompetensi yang ada di
Kabupaten/Kota.
e) Segera memetakan tenaga pengawas tambang yang memiliki kompetensi yang ada di
Kabupaten/Kota.
f) Perlu adanya petunjuk yang jelas terhadap mekanisme penyerahan personel, khusus
terhadap pegawai non teknis.
g) Perlu adanya kajian jika IUP mineral non logan dan Batuan diserahkan ke Propinsi maka
konsekuensi harus merubah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD.
h) Perizinan pemanfaatan air tanah, Penetapan cekungan air tanah dan penetapan nilai air
tanah menjadi kewenangan propinsi sementara pajak air tanah selama ini Kabupaten
yang memungut.

4.1.4. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Kabupaten Belitung

Kabupaten Belitung merupakan daerah yang potensial di bidang pertambangan, karena terdapat
banyak tanah yang mengandung mineral bijih timah dan bahan galian yang tersebar secara
merata, yaitu pasir kuarsa, pasir bangunan, kaolin, batu gunung, tanah liat dan granit. Pasir
bangunan ini merupakan bahan galian golongan C yang sebagian besar diusahakan dan
dieksploitasi oleh masyarakat Belitung. Kabupaten ini sudah dikenal sebagai penghasil timah
putih (stanum) yang telah dikenal luas di pasar internasional.

Kabupaten Belitung merupakan salah satu produsen utama bahan galian tambang. Berbagai jenis
bahan galian dan mineral yang ada antara lain timah, tanah liat, pasir bangunan, dan kaolin. Pada
tahun 2013 Kabupaten Belitung menghasilkan produksi bahan galian kaolin sebesar 130.419Ton,
bahan tanah liat sebesar 36.950 ton, bahan pasir kwarsa sebesar 71.073 ton, dan timah sebesar
4.957 ton.

51
Kondisi Pertambangan Mineral dan Batubara

Kabupaten Belitung Timur memiliki potensi bahan galian tambang antara lain: timah, pasir
kuarsa, kaolin, granit, batu gunung, tanah liat dan biji besi. Jumlah pemegang izin usaha
pertambangan (IUP) seluruhnya 114 buah, yang terdiri atas IUP bahan galian logam 50 buah
(batu besi 14 buah dan timah 36 buah), bukan logam 36 buah (pasir kuarsa 36 buah), dan
batuan 28 buah (batu gunung 1 buah, kaolin 5 buah, pasir bangunan 15 buah, dan tanah liat 7
buah). Mengenai produksi mineral di Kabupaten Belitung Timur lihat Tabel 4.15.

Tabel 4.15. Data produksi logam, non logam dan batuan di Kabupaten Belitung Timur

Produksi /Tahun (Ton)


No. Komoditas
2011 2012 2013 2014 S/D Juli 2015
1
Pasir Kwarsa 1.223.665,00 1.147.966,00 1.075.260,00 1.954.164,00 1.352.665,00
2
Pasir Bangunan 372.250,00 780.800,00 1.655.010,00 1.168.550,00 338.040,00
3
Kaolin 17.515,00 23.473,00 59.378,00 104.774,00 74.298,00
4
Tanah Liat 125.050,00 164.950,00 67.600,00 21.250,00 -
5
Batu Gunung - - - 121,50 92,61
6
Timah 14.799,00 43.867,00 50.546,00 3.652,00 4.512,00
7
Batu Besi 6.756,48 6.707,61 4.379,94 3.843,39 579,5778

Jumlah 1.760.035,48 2.167.763,61 2.912.173,94 3.256.354,89 1.770.187,19


Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Belitung Timur, 2015

Penerimaan negara yang berasal dari royalti dan penerimaan pajak-pajak pertambangan tiap
tahun di Kabupaten Belitung Timur dapat dilihat pada Tabel 4.16. Tahun 2014 royalti dan pajak-
pajak pertambangan di Kabupaten Belitung Timur sebesar Rp.24,18 miliar dan USD217.963,20.
Sedangkan royalti pertambangan sampai bulan Juli 2015 sebesar Rp.813,64 juta.

Tabel 4.16. Royalti dan Pajak-Pajak Pertambangan di Kabupaten Belitung Timur

No. Tahun Jumlah (Rp) Jumlah ($)

1 2011 36.797.552.864,00 -
2 2012 41.942.206.734,00 -
3 2013 31.954.194.277,00 -
4 2014 24.183.204.737,00 217.963,20
5 S/D Juli 2015 813.635.816,00 -
Jumlah 135.690.794.428,00 217.963,20
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Belitung Timur, 2015

52
Kondisi Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

Jumlah pegawai Dinas Pertambangan dan Energi di Kabupaten Belitung Timur sebanyak 26
orang, terdiri atas S1 16 orang, D3 6 orang, dan SLTA 4 orang. Dilihat dari keahlian terdapat 5
orang sarjana tambang, 1 orang sarjana geologi, 3 orang sarjana tekno elektro, 3 orang sarjana
ekonomi, dan masing-masing 1 orang sarjana administrasi Negara, hokum, kimia, dan geofisika.
Peralatan laboratorium yang dimiliki terdiri atas 1 paket analytical balance, 1 paket alat
laboratorium tambang (BERGHOF/MWS-2) dan Laboratorium lainnya (Jaw Crusher 5,
RPI/MN280, Biological Microscope Nikon/Elipe E100), Flame, BUCK SCIENTIFIC, PC, dan
lainnya. Sedangkan peralatan lapangan yang dimiliki antara lain: GPS Garmin (4 buah), palu,
multi digital, megger, kompas, loup, dan lainnya.

Dalam hal anggaran, tahun 2015 Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Belitung Timur
memiliki anggaran rutin sebesar Rp.2.610.370.000,00 dan anggaran pembangunan
Rp.3.460.187.000,00 yang terdiri atas:

a) Program pembinaan, penertiban dan pengawasan terhadap IPR sebesar Rp.10.942.000,00

b) Program pebinaan dan pengembangan bidang ketenagalistrikan sebesar


Rp.3.122.145.000,00

c) Program perlindungan dan konservasi sumber daya alam sebesar Rp.327.100.000,00.

Kondisi pengelolaan Pertambangan di Kabupaten Belitung dan Belitung Timur setelah


diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terdapat kesamaan, adanya pelimpahan
kewenangan dari kabupaten/kota ke provinsi praktis secara umum sudah tidak ada aktivitas
secara tupoksi, baik dari kegiatan perencanaan sampai dengan kegiatan pengawasan. Namun
untuk kegiatan pengawasan pihak dinas Pertambangan pada kedua kabupaten ini masih secara
sporadis melakukan pengawasan setiap ada pengaduan dari masyarakat, disamping setiap
pengaduan masyarakat atau pengusaha tambang selalu disampaikan ke tingkat provinsi. Dalam
hal anggaran yang telah ada sesuai pengajuan untuk tahun anggaran 2015 pada dinas
pertambangan di kedua kabupaten tersebut tetap tidak digunakan, dengan alas an karena secara
tupoksi tidak bisa dijalankan karena kewenangan pertambangan di kabupaten/kota telah dicabut
sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.

Menurut Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Belitung Timur, pemberlakuan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 semenjak tanggal 2 Oktober 2014, membuat tupoksi Dinas
Pertambangan dan Energi di Kabupaten dan Kotamadya menjadi tidak berjalan, dikarenakan
kewenangan kab/kota di bidang pertambangan sudah terpangkas semuanya. Akibatnya
pelaksanaan pembinaan dan pengawasan usaha pertambangan yang selama ini sudah berjalan di

53
kabupaten/kota menjadi berhenti, sedangkan provinsi belum siap untuk melaksanakannya.
Seharusnya ada petunjuk teknis dan pelaksanaan dari pemerintah pusat yang bisa dilaksanakan di
masa transisi sekarang ini. Akan tetapi lebih baik lagi apabila Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 ditinjau kembali, dikarenakan sudah banyak keluhan dari masyarakat dengan
diberlakukannya undang-undang tersebut, mereka menjadi sulit dalam pengurusan perizinan
akibat jarak tempuh ke ibukota provinsi yang jauh.

4.2. Pembahasan
4.2.1. Penyerahan Urusan Pemerintahan dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke Pemerintah
Provinsi

Sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, urusan konkruen terdiri atas:

1) Wajib terkait pelayanan dasar: Urusan pemerintahan wajib yang sebagian substansinya
merupakan pelayanan dasar;

2) Wajib tidak terkait pelayanan dasar: Urusan pemerintahan wajib yang substansinya tidak
mengandung pelayanan dasar; dan

3) Pilihan: Urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan
potensi yang dimiliki Daerah.

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, setidaknya terdapat 49 urusan


yang sebelumnya merupakan urusan pemerintah kabupaten akan menjadi urusan pemerintah
provinsi (Gambar 4.4).

Gambar 4.4. Skema Pembagian Urusan menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

54
Berdasarkan analisis terhadap urusan pemerintahan kabupaten yang beralih menjadi urusan
pemerintah provinsi pada umumnya adalah:

a) Bidang pendidikan terdiri atas 3 urusan;

b) Bidang kelautan dan perikanan terdiri atas 9 urusan;

c) Bidang kehutanan terdiri atas 12 urusan;

d) Bidang energi dan sumber daya mineral terdiri atas 19 urusan;

e) Bidang perdagangan terdiri atas 1 urusan;

f) Bidang perindustrian terdiri atas 3 urusan;

g) Bidang perhubungan terdiri atas 1 urusan; dan

h) Bidang tenaga kerja terdiri atas 1 urusan.

Beberapa implikasi diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang perlu


dipersiapkan adalah:

a) Dalam hal pembiayaan, setidaknya terdapat sejumlah anggaran yang perlu disiapkan
oleh provinsi yang dapat mencukupi berbagai kegiatan, baik pembiayaan untuk belanja
kegiatan maupun pembiayaan untuk personil, belanja operasional dan belanja
pemeliharaan yang dulu menjadi kewenangan kabupaten/kota, dalam hal ini 49 urusan
yang dialihkan;

b) Dalam hal sarana dan prasarana, terdapat aset-aset, baik aset yang bergerak dan aset yang
tidak bergerak yang akan diserahkan dalam rangka penyelenggaraan urusan yang akan
dilaihkan ke provinsi, antara lain: tanah, bangunan, kendaraan, komputer,
perlengkapan/peralatan kantor, peralatan litbang, dan lainnya;

c) Dalam hal personalia, terdapat sejumlah pegawai (PNS) yang terlibat langsung dalam
penyelenggaraan 49 urusan yang diserahkan ke provinsi, belum termasuk pejabat
struktural dan tenaga honorer yang masuk dalam struktur organisasi SKPD
penyelenggaraan urusan, serta tenaga fungsional khusus (jabatan fungsional tertentu);

d) Dalam hal penyerahan dokumen, bahwa dalam penyelenggaraan urusan yang akan
dialihkan ke pemerintah provinsi harus disertai penyerahan dokumen-dokumen prinsip,
baik yang terkait substansi urusan secara langsung (seperti buku register perizinan,
dokumen perizinan yang masih berlaku, dokumen personalia dan anggaran, dan lainnya).
Berdasarkan analisis terdapat 33 jenis dokumen prinsip yang perlu diserahkan ke
pemerintah provinsi.

55
Untuk itu dalam proses peralihan urusan dari kabupaten/kota ke provinsi diperlukan:

a) Persiapan dan perencanaan yang matang serta memerlukan koordinasi yang intensif antar
pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi sehingga batas akhir
penyelesaian pengalihan P3D dapat terlaksana sebelum tanggal 2 Oktober 2016 (Batas
akhir sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014);

b) Diperlukan pembentukan pokja/tim khusus yang difasilitasi oleh pemerintah provinsi


untuk menyusun petunjuk teknis sekaligus menyusun jadwal/tahapan proses pengalihan
ke provinsi dengan melibatkan seluruh pemerintah kabupaten/kota dengan unsur-unsur
wajib yang harus disertakan dalam pokja/tim tersebut adalah: bidang pemerintahan,
bidang organisasi/kelembagaan, bidang SDM/kepegawaian, bidang keuangan, bidang
hukum, bidang perencanaan, unsur pengawas intern (inspektorat), dan unsur SKPD
terkait.

c) Mengingat terdapat juga urusan provinsi yang diserahkan kepada Kabupaten, maka
diminta kepada pihak Pemerintah Provinsi (antara lain; urusan penyiapan kebutuhan
metrologi berupa tera, tera ulang dan pengawasan, yang penganggarannya telah melalui
APBD Prov) untuk dapat mempersiapkan penyerahan Dokumen P3D Pemerintah
Kabupaten Belitung Timur

4.2.2. Implikasi pemberlakuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap


pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di daerah

Berdasarkan hasil diskusi dengan pihak dinas pertambangan mineral dan batubara di tingkat
kabupaten/kota, implikasi dari pemberlakuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap
tata kelola pertambangan mineral dan batubara di daerah adalah:

a) Proses perizinan pertambangan mineral dan batubara di kabupaten/kota terhambat,


karena dari Provinsi belum ada kejelasan SOP dan peraturannya;

b) Kerusakan lingkungan tidak terpantau dan tidak dikelola dengan baik. Distamben
Kabuapten/Kota memiliki DPA tetapi tidak dapat dilaksanakan, sementara Propinsi dari
segi anggaran belum ada, personil terbatas, tidak mungkin melaksanakan tugasnya
dengan baik.

c) Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan mineral dan batubara
akan mengalami penurunan yang akan berdampak terhadap Dana Bagi Hasil untuk

56
kabupaten/kota. Dana bagi hasil untuk yang diterima Kabupaten/Kota sangat tergantung
ada tidaknya data-data bukti setor royal, yang selama ini Dinas Pertambangan dan Energi
Kabupaten yang mengumpulkan termasuk menagih royalty;

d) Penambangan Tanpa Izin (PETI) akan semakin marak dan pemilik IUP tidak terawasi.
Penambangan mineral dan batubara tanpa izin akan mulai muncul kembali setelah sekian
lama hilang karena ketatnya pengawasan dari aparat kepolisian maupun Dinas.

e) Kinerja SKPD Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten/Kota akan buruk, karena
anggaran SKPD dinas tersebut telah disahkan oleh Dewan, sementara dengan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014 anggaran tersebut tidak dapat dilaksanakan karena alasan
kewenangan sudah tidak ada lagi. Maka bagi SKPD yang tidak melaksanakan DPA,
dapat penilaian kinerjanya rendah.

f) SKP sebagai parameter kinerja akan rendah, otomatis nilai DP3 para staf, pejabat akan
rendah yang berimplikasi tidak naik pangkat, CPNS sulit menjadi PNS penuh.

g) Terjadi perubahan kewenangan dan Strutur Organisasi Dinas yang selanjutnya


berdampak pula pada fungsi pembinaan pengawasan dan pengendalian suatu kegiatan
usaha pertambangan.

h) Terjadinya stagnasi perizinan.

i) Apapun bentuknya bahwa Daerah Kabupaten tetap harus dilibatkan dalam hal
pembinaan dan pengawasan dengan pertimbangan :

 keterbatasan personil di provinsi,

 beban kerja bagi provinsi terlalu besar,

 wilayah kerja/ rentang kendali terlalu luas (Jawa Barat 27 kabupaten dan kota),

 kecenderungan timbulnya penambang tanpa izin semakin besar,

 berdampak kepada usaha usaha lain, contoh jasa kontruksi yang memerlukan bahan
material,

 neraca kebutuhan bahan material bagi pembangunan di kabupaten dan kota cukup
tinggi, disisi lain perusahaan tambang pemegang izin terbatas.

Berdasarkan implikasi pemberlakuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap


pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di daerah di atas, maka diperlukan alternatif
segera penyelesaiannya sebagai berikut:

57
a) Selama penyerahan Personil, pendanaan, sarana dan prasarana serta dokumen (P3D)
dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten/Kota ke Dinas Pertambangan dan
Energi Propinsi belum selesai agar Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten/Kota
tetap diberikan kewenangan melaksanakan sub urusan pertambangan dan energi sesuai
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 terkecuali perizinan dan turunannya.

b) Selambat-lambatnya Maret 2017 Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi sudah


membentuk UPT atau Dinas pembantuan untuk melaksanakan tugas-tugas pembinaan
dan pengawasan pertambangan.

c) Segera memetakan tenaga pengawas tambang yang memiliki kompetensi yang ada di
Kabupaten/Kota.

d) Perlu adanya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri berkaitan dengan pembagian
urusan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral bagi kabupaten.

e) Perlu adanya kejelasan Prosedur Pelayanan Perizinan dengan cepat, mudah, murah,
mempunyai akuntabilitas baik, dan transparan.

f) Fungsi BINWASDAL dari hulu – hilir yang merupakan kewenangan kabupaten harus
lebih jelas sebelum dilakukan rasionalisasi organisasi.

g) Pemerintah pusat segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai petunjuk


teknis pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, khususnya terkait
penyerahan P3D.

h) Selama penyerahan Personil, pendanaan, sarana dan prasarana serta dokumen (P3D)
dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten/Kota ke Dinas Pertambangan dan
Energi Propinsi belum selesai agar Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten/Kota
tetap diberikan kewenangan melaksanakan sub urusan pertambangan dan energi
sesuai Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 terkecuali perizinan dan turunannya.

i) Selambat-lambatnya Maret 2017 Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi sudah


membentuk UPT atau Dinas pembantuan untuk melaksanakan tugas-tugas
pembinaan dan pengawasan pertambangan.

j) Segera memetakan tenaga pengawas tambang yang memiliki kompetensi yang ada di
Kabupaten/Kota.

k) Perlu adanya petunjuk yang jelas terhadap mekanisme penyerahan personel,


khusus terhadap pegawai non teknis.

58
l) Perlu adanya kajian jika IUP mineral non logan dan Batuan diserahkan ke Propinsi
maka konsekuensi harus mengubah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
PDRD.

m) Perizinan pemanfaatan air tanah, Penetapan cekungan air tanah dan penetapan nilai air
tanah menjadi kewenangan propinsi sementara pajak air tanah selama ini Kabupaten
yang memungut.

59
ANALISIS

5.1. Pelaksanaan P3D

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 telah menimbulkan tanggapan beragam


dari berbagai Daerah. Tanggapan negatif muncul dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang
kewenangannya “terambil” oleh ketentuan sebagaimana tertuang dalam undang-undang tersebut.

Berikut disampaikan berbagai tanggapan yang dirangkum dari berbagai sumber:

a) Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) yang ada di seluruh kabupaten/kota di


Provinsi Bangka Belitung akan melepas bidang pertambangan, dan hanya mengatur
bidang energi, khususnya panas bumi, sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014. Khusus di Kabupaten Bangka Tengah, Distamben akan segera dihapus,
yang kemungkinan akan disusul oleh kabupaten lain. Di Kabupaten Belitung Timur, sisa
anggaran Distamben tahun 2015 langsung dibekukan.

b) Pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, yang di dalamnya


mengatur bahwa gubernur memegang kewenangan penuh terkait izin dan pengelolaan
pertambangan, pengelolaan hutan, kelautan dan perikanan, Pemerintah Provinsi Jambi
akan lebih selektif dalam mengeluarkan perizinan terutama Izin Usaha Pertambangan
(IUP). Sebelumnya, saat perizinan yang dipegang pemerintah kabupaten/kota,
Pemerintah Provinsi Jambi menemukan banyak perusahaan pemegang IUP yang tidak
melaksanakan kewajiban, seperti pembayaran royalti dan reklamasi.

c) Lahirnya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 membawa dampak besar bagi
kewenangan dan pengambilan kebijakan strategis di daerah, khususnya pemberian izin
serta pengawasan operasi perusahaan pertambangan batubara di daerah. Pemberian IUP
yang sebelumnya dikeluarkan Pemerintah kabupaten/kota, sekarang dilimpahkan kepada
ke Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Namun patut disayangkan, sejak dikeluarkan
undang-undang tersebut belum ada arahan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Padahal, arahan perlu dilakukan agar ada koordinasi dan penjabaran lebih lanjut
mengenai kewenangan dalam pemberian izin operasi perusahaan tambang yang ada di
kabupaten/kota di Kalimantan Timur. Selain itu, koordinasi juga diperlukan agar ke
depan tidak menimbulkan berbagai pelanggaran yang dapat menjerat pemerintah
kabupaten/kota ke ranah hukum karena menyalahgunakan kewenangan.

d) Fraksi Gerindra DPRD Sumut secara tegas mengatakan, belum keluarnya Peraturan
Pemerintah sebagai turunan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 telah menimbulkan

60
kepanikan bagi para pengusaha dan masyarakat pelaku bisinis yang membutuhkan
pengurusan izin usaha, termasuk pengurusan izin usaha di bidang pertambangan. Belum
keluarnya Peraturan Pemerintah sebagai turunan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014,
sepertinya “kiamat” bagi para pelaku bisnis dan masyarakat, sebab sampai saat ini antara
Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten di Sumatera Utara saling “buang badan”
dalam hal pengurusan izin, termasuk izin di bidang pertambangan.

e) Staf Ahli Bupati Kotabaru Bidang Ekonomi dan Keuangan, mengatakan semua perizinan
pertambangan rakyat untuk komoditas mineral logam, batubara, mineral bukan logam,
dan batuan dalam wilayah pertambangan rakyat menjadi kewenangan provinsi. Diyakini
bahwa pengusaha di Kotabaru tidak akan mengurus izin ke Pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan karena jarak antara Kotabaru dengan Banjarmasin cukup jauh,
sehingga akan akan memberikan dampak negatif bagi daerah kabupaten atau daerah
penghasil apabila terjadi penambangan ilegal. Terlebih dengan pembinaan dan
pengawasan terhadap pengelolaan usaha pertambangan rakyat tidak melibatkan daerah
pasti akan memberikan dampak negatif kerusakan lingkungan bagi daerah yang memiliki
potensi sumber daya mineral. Ancaman tersebut dapat diatasi, manakala urusan
pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah provinsi diselenggarakan
dengan cara menugaskan Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan,
atau dengan cara menugasi desa yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

f) Pemprov Jabar akan mengeluarkan konsep perizinan paralel atau Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (PTSP) antara provinsi dengan PTSP kabupaten/kota sebagai tindakan
ditetapkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014. Perizinan paralel digulirkan
dalam rangka memberikan kemudahan pelayanan kepada masyarakat dan pelaku usaha
mengingat Pemerintah Daerah kabupaten/kota tidak lagi memiliki wewenang
mengeluarkan izin tambang.

g) Deputy Chairman APBI-ICMA, menyatakan, yang menjadi potensi permasalahan


dalam penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, yakni akan ada potensi
resistensi atau sikap tidak kooperatif dari pemerintah kabupaten terkait dengan
pemberian rekomendasi bagi pemohon IUP. Dijelaskan bahwa potensi permasalahan
lainnya adalah hambatan terhadap proses lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan
(WIUP) terkait dengan pelimpahan kewenangan ke pemerintah provinsi. Kelangsungan
usaha pemegang IUP sangat tergantung pada keharmonisan hubungan pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten setempat. Terkait dengan adanya
penataan aturan pertambangan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,

61
dikatakan bajwa undang-undang tersebut harus mampu mengatasi berbagai masalah
yang saat ini terjadi akibat banyaknya penyalahgunaan wewnang Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan.

5.2. Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara


5.2.1. Masa Transisi

Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan


kesepakatan antara Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri pada awal tahun 2010
silam untuk memecah ke dalam tiga Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebelumnya.
Sebenarnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang terbaru diharapkan disahkan sebelum
pelaksanaan Pemilu 2014 tetapi mengalami pemunduran waktu hingga baru bisa disahkan pada
bulan September 2014.

Pada naskah akademik RUU Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa tujuan RUU tersebut
adalah untuk memperbaiki berbagai kelemahan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Beberapa kelemahan yang dimaksud adalah konsep kebijakan desentralisasi dalam negara
kesatuan, hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat sipil dan berbagai aspek
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang belum diatur.

Pelayanan Dasar

Pada Pasal 12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 membagi urusan pemerintahan yang
berkaitan dan tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Urusan wajib pemerintah yang
dikategorikan pelayanan dasar adalah pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan
ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman/ketertiban umum dan
perlindungan masyarakat, serta sosial. Sementara urusan pemerintahan wajib tetapi tidak masuk
kategori pelayanan dasar menurut undang-undang ini adalah tenaga kerja, pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak, pangan, pertanahan, lingkungan hidup, administrasi
kependudukan dan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat dan desa, pengendalian
penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan informatika, koperasi dan
usaha kecil-menengah, penanaman modal, kepemudaan dan olahraga, statistik, persandian,
kebudayaan, perpustakaan dan kearsipan.

Kategori lainnya selain urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan pilihan.
Beberapa urusan yang dianggap urusan pemerintahan pilihan dan sudah pasti dianggap oleh
penggagas undang-undang ini tidak berkaitan dengan pelayanan dasar adalah kelautan dan
perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan,

62
perindustrian dan transmigrasi. Pembagian urusan pemerintahan wajib dan pilihan sebagai
urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah masih perlu diperdebatkan
karena terkait dengan pelayanan publik yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Beberapa
urusan pilihan di dalam undang-undang ini sebenarnya terkait erat dengan kebutuhan dasar
masyarakat dalam membuka akses usaha bagi kalangan dunia usaha. Apalagi pemerintah telah
menggelorakan gerakan kewirausahaan nasional sehingga urusan-urusan pilihan dalam undang-
undang ini sebenarnya adalah urusan wajib pemerintah daerah untuk membantu masyarakat
meningkatkan kesejahteraannya melalui jalur wiraswasta dalam berbagai bidang.

Norma yang Dipedomani dalam Masa Transisi

Beberapa hal yang perlu dipedomani dalam masa transisi menurut Dirjen Otonomi Daerah,
Kementerian Dalam Negeri :

a) Sub urusan yang bersifat pelayanan kepada masyarakat luas dan massif maka Pemerintah
Kabupaten masih bisa melaksanakan urusan tersebut sampai 2 Oktober 2016.

b) Masih banyak Sub urusan Energi, sumberdaya Mineral dan Batubara urusan bersifat
pelayanan kepada masyarakat luas dan massif tidak tercantum dalam Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri Nomor 120/253/sj tanggal 16 Januari 2015.

c) Dirjen Otonomi Daerah, beralasan kenapa sub urusan bidang Energi, sumberdaya
mineral dan Batu Bara bersifat pelayanan kepada masyarakat dan massif tidak tercantum
dalam surat edaran Mendagri, karena pihak Dirjen ESDM tidak menyampaikan usulan
ke Menteri Dalam Negeri.

Beberapa hal terkait anggaran yang perlu dipedomani dalam masa transisi menurut Dirjen
Anggaran Kementerian Dalam Negeri:

a) Apakah yang sudah teranggarkan dalam APBD terutama Dokumen Pelaksana Anggaran
(DPA) Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar yang telah mendapatkan
pengesahan masih bisa dilaksanakan untuk tahun 2015 secara penuh.

b) Pasal 18 PP No. 58 Tahun 2005, menyebutkan bahwa Pengeluaran Daerah harus


didukung dengan dasar hukum yang melandasi. Pasal 27 PP 58 Tahun 2005 APBD
harus didasarkan pada urusan, organisasi, program dan kegiatan. APBD merupakan
dasar belanja daerah. Penganggaran APBD Tahun 2015 didasarkan pada Permendagri
37 Tahun 2014, dimana proses perencanaan dan penganggaran sudah dimulai tahun
2014 sebelum Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 ditetapkan.

63
c) Untuk program dan kegiatan yang ada dalam APBD Tahun 2015 yang sifatnya terkait
langsung dengan masyarakat tetap dapat dilaksanakan, karena pemerintahan tidak bisa
berhenti.

5.2.2. Revisi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Produk Hukum Turunannya

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terkait aspek kewenangan seperti yang
tertera dalam Pasal 14 dan Pasal 15 secara perundangan agar terjadi ketertiban dan kepastian
hukum menuntut adanya revisi perbaikan terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dan
produk hukum turunannya. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan,
serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi (Pasal
14 ayat 1). Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi serta daerah kabupaten/kota tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari undang-undang ini (Pasal 15 ayat 1). Implikasi Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dapat divisualisasikan dalam
Gambar 5.1.

TERJADI PERUBAHAN
POLA PERLU PENYESUAIAN UU
PENYELENGGARAAN NOMOR 4 TAHUN 2009
PEMERINTAHAN

TERJADI
PERUBAHAAN POLA PERLU PENGATURAN
KEWENANGAN MASA TRANSISI
PENGELOLAAN ESDM

Gambar 5.1. Implikasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap Undang-undang


Nomor 4 Tahun 2009

Dalam rangka menjamin kepastian hukum dan sambil menunggu terbitnya peraturan pelaksanaan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, maka pada masa transisi ini pemerintah cq Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan Surat Edaran Kementerian ESDM untuk
dijadikan pedoman dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di daerah. Selain itu,
Kementerian ESDM melakukan beberapa hal, antara lain:

64
a) Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, pengelolaan Inspektur
Tambang (IT) dan Pejabat Pengawas menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

b) Meminta kepada Kadis ESDM Prov/Kab/Kota melakukan pendataan IT pada masing-


masing SKPD.

c) KESDM melakukan jejak minat bagi pejabat fungsional IT dan Calon IT di Provinsi dan
Kab/Kota yang berminat untuk mutasi menjadi Aparatur Siplil Negara di KESDM yang
ditempatkan di Daerah.

d) KESDM melakukan penyiapan revisi perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009


dan produk hukum turunannya berpedoman kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014.

Berdasarkan proses persiapan revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dan produk hukum
turunannya telah diinvetarisasi beberapa pasal yang segera harus disesuaikan (Tabel 5.1). Selain
penyesuain beberapa pasal Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014, dalam perbaikan tersebut juga menambahkan beberapa hal yang
dipandang perlu untuk dimasukan dalam revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dan
produk hukum turunannya.

Tabel 5.1. Pasal-Pasal Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang harus Disesuaikan

No Pasal Substansi/Materi

1. Pasal 6 Kewenangan Pemerintah Pusat


Termasuk di dalamnya pengelolaan Inspektur Tambang

2. Pasal 7 Kewenangan pemerintah provinsi Termasuk di dalamnya kewenangan bupati/walikota


yang sebelumnya diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009

3. Pasal 8 Kewenangan pemerintah kabupaten/kota


Dihapus  tidak mempunyai kewenangan lagi

4. Pasal 21 Penetapan WPR


Menjadi kewenangan pemerintah Daerah provinsi (gubernur)

5. Pasal 23 Pengumuman kepada masyarakat terkait penetapan WPR


Menjadi kewenangan pemerintah Daerah provinsi (gubernur)

6. Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut tentang kriteria dan mekanisme penetapan WPR
Menjadi kewenangan pemerintah Daerah provinsi, maka pengaturannya dalam
peraturan daerah provinsi

7. Pasal 37 Kewenangan pemberian IUP


Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

8. Pasal 40 ayat Kewenangan penerbitan IUP untuk mineral lain


(3) dan ayat (6) Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

9. Pasal 44 Kewenangan penerbitan izin sementara


Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

65
10. Pasal 48 Kewenangan pemberian IUP Operasi Produksi
Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

11. Pasal 67 Kewenangan pemberian IPR


Menjadi kewenangan pemerintah Daerah provinsi (gubernur)

12. Pasal 72 Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pemberian IPR
Menjadi kewenangan pemerintah Daerah provinsi, maka pengaturannya dalam
peraturan daerah provinsi

13. Pasal 73 Kewajiban dalam pengelolaan usaha pertambangan rakyat


Menjadi kewenangan pemerintah Daerah provinsi

14. Pasal 93 Terkait pengalihan IUP


Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

15. Pasal 100 Kewenangan penunjukan pihak ketiga untuk melaksanakan reklamasi dan
pascatambang
Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

16. Pasal 104 Kewenangan pemberian IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan
pemurnian
Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

17. Pasal 105 Kewenangan pemberian IUP Operasi Produksi untuk penjualan
Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

18. Pasal 110 Penyerahan data eksplorasi dan operasi produksi


Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

No. Pasal Substansi/Materi

19. Pasal 113 dan Kewenangan persetujuan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan
Pasal 114 Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

20. Pasal 118 Penyerahan kembali IUP


Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

21. Pasal 119 dan Kewenangan pencabutan IUP


Pasal 121 Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

22. Pasal 122 dan Pengembalian IUP yang berakhir


Pasal 123 Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

23. Pasal 139, Pasal Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan usaha pertambangan
140, dan Pasal Bupati tidak mempunyai kewenangan
141  pengawasan Pemerintah kepada pemerintah Daerah provinsi
 Kewenangan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan oleh pemegang izin berada pada Menteri dan gubernur
 Terkait kewenangan Inspektur Tambang (pengelolaan IT oleh Pemerintah
Pusat)

24. Pasal 142 Kewajiban pelaporan penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan


Bupati tidak mempunyai kewenangan  pelaporan oleh gubernur

25. Pasal 143 Pembinaan dan pengawasan usaha pertambangan rakyat


Menjadi kewenangan pemerintah Daerah provinsi (gubernur)

26. Pasal 151 Kewenangan pemberian sanksi administratif


Bupati tidak mempunyai kewenangan  kewenangan pada Menteri dan gubernur

66
PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Sebagaimana diketahui bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pemerintahan


Daerah telah diganti oleh Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dengan judul yang sama. Ada
perubahan mendasar dari kedua undang-undang tersebut, terutama dikaitkan dengan kewenangan
dalam urusan pemerintahan; jika sebelumnya bertumpu kepada Pemerintahan Kabupaten/Kota
(Undang-undang Nomor 32 Tahun 2010), maka kini banyak dilimpahkan kepada Pemerintah
Provinsi (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014), termasuk kewenangan dalam pengelolaan
bidang mineral dan batubara.

Mengingat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 harus langsung dilaksanakan tanpa menunggu
peraturan pelaksanaannya (dalam bentuk Peraturan Pemerintah), maka Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral dan Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran agar
tidak terjadi kekosongan hukum yang dapat merugikan berbagai pihak. Di tingkat Daerah, para
Gubernur juga mengeluarkan Surat Edaran serupa sebagai tindak lanjut dari Surat Edaran yang
dikeluarkan oleh dua Kementerian tersebut.

Dari hasil survei yang dilakukan terhadap empat provinsi, yaitu Provinsi Jawa Barat beserta
empat Kabupaten, yakni Cianjur, Sukabumi, Garut, dan Tasikmalaya; Jawa Timur beserta dua
Kabupaten, yakni Sidoarjo dan Malang; Bangka-Belitung, khususnya di Kabupaten Belitung dan
Belitung Timur; serta Provinsi Kalimantan Selatan beserta Kabupaten Banjar, diperoleh data
sebagai berikut:

1) Reaksi yang ditimbulkan atas pemberlakuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014


hampir sama di setiap provinsi dan kabupaten yang disurvei. Mereka merasa kehadiran
Undang-undang tersebut tanpa disosialisasikan secara utuh terlebih dulu dan dipaksakan
karena dikeluarkan menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden SBY. Kondisi ini pada
akhirnya telah menimbulkan “kegaduhan” di setiap daerah karena mereka, baik
Pemerintahan Provinsi maupun Pemerintahan Kabupaten/Kota, merasa belum siap
menerima perubahan yang cukup fundamental.

2) Meskipun telah dikeluarkan Surat Edaran dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
dan Menteri Dalam Negeri, yang juga diikuti oleh masing-masing Gubernur, ketiadaan
Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
menjadi kendala utama bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014. Hal ini

67
disebabkan Surat Edaran tersebut kurang implementatif serta kurang memiliki kekuatan
hukum, sehingga dalam kenyataannya ada Pemerintah Kabupaten/Kota yang terpaksa
mengeluarkan kebijakan sendiri untuk menghindari keadaan yang lebih buruk.

3) Telah terjadi “kebijaksanaan”, baik disengaja maupun tidak disengaja, terhadap berbagai
hal yang terkait dengan masalah perizinan. Sebagai contoh: pengusaha kecil yang
menambang mineral tertentu dengan luas yang hanya ratusan meter persegi, kesulitan
mengurus izin ke provinsi karena menghabiskan waktu, tenaga, dan dana. Untuk itu,
Pemerintah Kabupaten/ Kota mengambil “kebijaksanaan” yang memberi izin kepada
pengusaha kecil tersebut tetap melaksanakan penambangan sambil menunggu proses
perizinan selesai. Walaupun dianggap keliru dan cukup berisiko, langkah ini terpaksa
diambil oleh Pemerintah Kabupaten/Kota agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan.

4) Ada sikap skeptis yang tidak hanya ditunjukkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, tetapi
bahkan juga oleh Pemerintah Provinsi, bahwa pemberlakuan Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 tidak akan menemui sasaran sebagaimana yang diinginkan. Terlepas dari
latar belakang alasan kedua Pemerintahan di Daerah tersebut, baik Kabupaten/Kota
maupun Provinsi, persoalan utamanya terletak kepada kekurangsiapan mereka menerima
substansi dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang dianggap kurang
menggambarkan kondisi yang ada di lapangan.

6.2. Saran

1) Berdasarkan hasil studi kasus pengelolaan pertambangan mineral dan batubara pada 4
provinsi sebagai sampel, terjadinya persoalan carut marut pengelolaan pertambangan
mineral dan batubara, maka diperlukan revisi terhadap berbagai materi yang tercantum
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, atau, paling tidak, ditangguhkan
pelaksanaannya sembari menunggu Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.

2) Untuk memberi jaminan kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan


mineral dan batubara, maka perlu segera melakukan revisi perbaikan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2009 dan produk hukum turunannya.

68
DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: Alumni.
Bhasin, Balbir dan Jennifer McKay, 2002, “Mining Law and Policy in Indonesia: Reforms of the
Contract of Work Model to Promote Foreign Direct Investment and Sustainibility”,
Australian Mining and Petroleum Law Journal Volume 21 Number 1 (April 2002): 77 –
94. Telah dipublikasikan dalam Jurnal Konstitusi Volume 9 Nomor 3 September 2012,
hlm.473 – 494.
H.S, Salim, 2006, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
H.S, Salim dan Budi Sutrisno, 2008, Hukum Investasi di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Djohermansyah, D, 2015 “Kado Hari Otonomi” Kompas, 25 April 2015
Fachry Ali dan Kalla, 2011, “Tepat Redam Tuntutan Reposisi”, dalam: Jazim Hamidi (ed), Optik
Hukum Bermasalah: Peraturan Daerah Bermasalah, Jakarta: Prestasi Pustaka.
Faisal Amrullah, 2010, “Kebijakan Umum dalam Politik Perundang-Undangan di Indonesia”,
Jurnal Hukum, Volume VIII Nomor 2 Edisi Juni, 2010.
Hughes, O 2003, ‘Public management in developing countries’ Public management And
Administration, 3rd edn, Palgrave, Basingstoke, pp.218-27
Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik,2011, Legislative Drafting, Total Media, Yogyakarta.
Kemendagri, 2011, Naskah Akademik RUU tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta
Kementerian Dalam Negeri, 2011, “Mendagri Temukan Perda 369 Perda bermasalah 2011”.
Kemitraan, 2014 “Menata Indonesia dari Daerah” Kemitraan, Jakarta
Mahendra Putra Kurnia (et.al), 2013, Pedoman NA Perda Partisipatif: Urgensi, Strategi, dan
Proses Bagi Pembentukan Perda yang Baik (Cetakan Pertama), Yogyakarta: Kreasi Total
Media (KTM).
Mezak, Meray Hendrik, 2011, “Pengaturan Hak Penguasaan Negara atas Pertambangan Studi
Perbandingan Konsepsi Kontrak Karya dengan Izin Usaha Pertambangan”, Law Review
Volume XI Nomor 1 Juli 2011: Hlm. 21 – 36.
Muslimin B. Putra, M.,B., 2015, Menafsir Undang-Undang Pemerintahan Daerah Yang Terbaru,
Dimuat Harian SINDO, Kamis, 8 Januari 2015.
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan
di Indonesia, Bandung:Alumni.
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Peters, G. B, 2011, Governance as political theory, Critical Political Studies, Vol. 5 No. 1 pp. 63-
72.

69
Pratikno, 2009 “Rekonsolidasi Reformasi Indonesia: Kontribusi Studi Politik dan Pemerintahan
dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif” Pidato guru besar UGM,
Yogyakarta.
Rhodes, R.A.W, 2007, Understanding governance: Ten years on, Organization Studies , Vol. 28,
No. 8, pp. 1243-126.
Simon F. Sembiring, 2009, Jalan Baru Untuk Tambang: Mengalirkan Berkah bagi Anak Bangsa,
Jakarta: Gramedia.
Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Cetakan Keempat, Palu.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Yuking, Ana Sofa, 2011, “Kepastian Hukum dalam Undang-Undang Minerba”, Law Review
Volume XI Nomor 1 Juli 2011: hlm. 38 – 50.

70
LAMPIRAN - LAMPIRAN

71
Lampiran 1

Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah


Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5
1. Geologi Penetapan cekungan air tanah. Penetapan zona konservasi -
Penetapan zona konservasi air air tanah pada cekungan air
tanah pada cekungan air tanah, tanah dalam Daerah
lintas Daerah provinsi dan provinsi.
lintas negara. Penerbitan izin pengeboran,
Penetapan kawasan lindung izin penggaliaan, izin
geologi dan warisan geologi pemakaian, dan izin
(geoheritage). pengusahaan air tanah
Penetapan status dan dalam Daerah provinsi.
peringatan dini bahaya gunung Penetapan nilai perolehan
api. air tanah dalam Daerah
Peringatan dini potensi provinsi.
gerakan tanah.
Penetapan neraca sumber daya
dan cadangan sumber daya
mineral dan energi nasional.
Penetapan kawasan rawan
bencana geologi.
2. Mineral dan Penetapan wilayah Penetapan wilayah izin -
Batubara pertambangan sebagai bagian usaha pertambangan mineral
dari rencana tata ruang bukan logam dan batuan
wilayah nasional, yang terdiri dalam 1 (satu) Daerah
atas wilayah usaha provinsi dan wilayah laut
pertambangan, wilayah sampai dengan 2 mil.
pertambangan rakyat, dan Penerbitan izin usaha
wilayah pencadangan negara, pertambangan mineral
serta wilayah usaha logam dan batubara dalam
pertambangan khusus. rangka penanaman modal
Penetapan wilayah izin usaha dalam negeri pada wilayah
pertambangan mineral logam izin usaha pertambangan
dan batubara, serta wilayah Daerah yang berada dalam 1
izin usaha pertambangan (satu) Daerah provinsi,
khusus. termasuk wilayah laut
Penetapan wilayah izin usaha sampai dengan 12 mil laut.
pertambangan mineral bukan Penerbitan izin usaha
logam dan batuan lintas pertambangan mineral
Daerah provinsi dan wilayah bukan logam dan batuan
laut lebih dari 12 mil. dalam rangka penanaman
Penerbitan izin usaha modal dalam negeri pada
pertambangan mineral logam, wilayah izin usaha
batubara, bukan logam, dan pertambangan yang berada
batuan pada: dalam 1 (satu) Daerah
1) wilayah izin usaha provinsi, termasuk wilayah
pertambangan yang laut sampai dengan 12 mil
berada pada wilayah laut.
lintas Daerah provinsi; Penerbitan izin usaha
2) wilayah izin usaha pertambangan rakyat untuk
pertambangan yang komoditas mineral logam,
berbatasan langsung batubara, mineral bukan
dengan negara lain; dan logam, dan batuan dalam
3) wilayah laut lebih dari 12 wilayah pertambangan
mil. rakyat.
Penetapan izin usaha Penerbitan izin usaha
pertambangan dalam rangka pertambangan operasi
penanaman modal asing. produksi khusus untuk
Pemberian izin usaha pengolahan dan pemurnian
pertambangan khusus mineral dalam rangka penanaman

72
dan batubara. modal dalam negeri yang
Pemberian registrasi izin komoditas tambangnya
usaha pertambangan dan berasal dari 1 (satu) Daerah
penetapan jumlah produksi provinsi yang sama.
setiap Daerah provinsi untuk Penerbitan izin usaha jasa
komoditas mineral logam dan pertambangan dan surat
batubara. keterangan terdaftar dalam
Penerbitan izin usaha rangka penanaman modal
pertambangan operasi dalam negeri yang kegiatan
produksi khusus untuk usahanya dalam 1 (satu)
pengolahan dan pemurnian Daerah provinsi.
yang komoditas tambangnya Penetapan hrga patokan
yang berasal dari Daerah mineral bukan logam dan
provinsi lain di luar lokasi batuan.
fasilitas pengolahan dan
pemurnian, atau impor serta
dalam rangka penanaman
modal asing.
Penerbitan izin usaha jasa
pertambangan dan surat
keterangan terdaftar dalam
rangka penanaman modal
asing yang kegiatan usahanya
di seluruh wilayah Indonesia.
Penetapan harga patokan
mineral logam dan batubara.
Pengelolaan Inspektur
Tambang dan pejabat
pengawas pertambangan.

3. Minyak dan Gas Penyelenggaraan minyak dan - -


Bumi gas bumi.
4. Energi Baru Penetapan wilayah kerja panas Penerbitan izin pemanfaatan Penerbitan izin
Terbarukan bumi. langsung panas bumi lintas pemanfaatan langsung
Penerbitan izin pemanfaatan Daerah kabupaten/ kota panas bumi dalam Daerah
langsung panas bumi lintas dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota.
Daerah provinsi. provinsi.
Penerbitan izin panas bumi Penerbitan surat keterangan
untuk pemanfaatan tidak terdaftar usaha jasa
langsung. penunjang yang kegiatan
Penetapan harga listrik usahanya dalam 1 (satu)
dan/atau uap panas bumi. Daerah provinsi.
Penetapan badan usaha Penerbitan izin pembinaan
sebagai pengelola tenaga air dan pengawasan usaha
untuk pembangkit listrik. niaga bahan bakar nabati
Penerbitan surat keterangan (biofuel) sebagai bahan
terdaftar usaha jasa penunjang bakar lain dengan kapasitas
yang kegiatan usahanya dalam penyediaan di atas 10.000
lintas Daerah provinsi. (sepuluh ribu) ton per tahun.
Penerbitan izin usaha niaga
bahan bakar nabati (biofuel)
sebagai bahan bakar lain
dengan kapasitas penyediaan
di atas 10.000 (sepuluh ribu)
ton per tahun.
5. Ketenagalistrikan Penetapan wilayah usaha Penerbitan izin usaha -
penyediaan tenaga listrik dan penyediaan tenaga listrik
izin jual beli tenaga listrik non badan usaha milik
lintas negara. Negara dan penjualan
Penerbitan izin usaha tenaga listrik serta
penyediaan tenaga listrik penyewaan jaringan kepada
Daerah provinsi, badan usaha penyedia tenaga listrik
milik Negara dan penjualan dalam Daerah provinsi.
tenaga listrik serta penyewaan Penerbitan izin operasi yang
jaringan kepada penyedia fasilitas instalasinya dalam

73
tenaga listrik lintas Daerah Daerah provinsi.
provinsi atau badan usaha Penetapan tariff tenaga
milik Negara. listrik untuk konsumen dan
Penerbitan izin operasi yang penerbitan izin pemanfaatan
fasilitas instalasinya mencakup jaringan untuk
lintas Daerah provinsi atau telekomunikasi, multimedia,
berada di wilayah di atas 12 dan informatika dari
mil laut. pemegang izin yang
Penetapan tarif tenaga listrik ditetapkan oleh Pemerintah
untuk kons men dan Daerah provinsi.
penerbitan izin pemanfaatan Persetujuan harga jual
jaringan untuk telekomunikasi, tenaga listrik dan sewa
multimedia, dan informatika jaringan tenaga listrik,
dari pemegang izin yang penjualan kelebihan tenaga
ditetapkan oleh Pemerintah listrik dari pemegang izin
Pusat. yang ditetapkan oleh
Persetujuan harga jual tenaga Pemerintah Daerah provinsi.
listrik dan sewa jaringan Penerbitan izin usaha jasa
tenaga listrik, rencana usaha penunjang tenaga listrik
penyediaan tenaga listrik, bagi badan usaha dalam
penjualan kelebihan tenaga negeri/mayoritas sahamnya
listrik dari pemegang izin yang dimiliki oleh penanam
ditetapkan oleh Pemerintah modal dalam negeri.
Pusat. Penyediaan dana untuk
Penerbitan izin usaha jasa kelompok masyarakat tidak
penunjang tenaga listrik yang mampu, pembangunan
dilakukan oleh badan usaha sarana penyediaan tenaga
milik negara atau penanam listrik belum berkembang,
modal asing/ mayoritas daerah terpencil, dan
sahamnya dimiliki oleh perdesaan.
penanam modal asing.
Penyediaan dana untuk
kelompok masyarakat tidak
mampu, pembangunan sarana
penyediaan tenaga listrik
belum berkembang, daerah
terpencil, dan perdesaan.

74
LAMPIRAN 2

PETA PENYEBARAN IUP DI PROVINSI JAWA BARAT, JAWA TIMUR, BANGKA


BELITUNG, DAN KALIMANTAN SELATAN

75
Penyebaran IUP di Provinsi Jawa Barat

76
Penyebaran IUP di Provinsi Jawa Timur

77
Penyebaran IUP di Provinsi Bangka Belitung

78
Penyebaran IUP di Provinsi Kalimantan Selatan

79

Anda mungkin juga menyukai