Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENGABDIAN MASYARAKAT

DISKUSI HUKUM TENTANG PERAN PEMERINTAH DALAM

KEBUT REALISASI REFORMASI AGRARIA DALAM

PROYEK STRATEGI NASIONAL

Dosen Pengampu : Dr. Nuria Siswi Enggarani S.H., M.Hum

Nama Anggota :

1. Wynona Salsabila B (C100170117)


2. Tanuhita Kumara P.A.S (C100200033)
3. Salma Khairun Nisa (C100200042)
4. Alifannisa Shella H(C100200060)
5. Al Rizal Gahwi (C100200074)
6. Muhammad Fauzan H (C100200139)
7. Nabilla Dea A (C100200156)
8. Rizki Dwi Aji K (C100200242)
9. Ernesto Febrian Adi N (C100200351)
10. Alzami Aulia Rachman (C100200407)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2022
Universitas Area Aktifitas Tanggal Berlaku : Tanggal
Muhammadiyah Kerjasama dan Revisi : Kode Dokumen :
Surakarta Penelitian (AL) fungsi
Penelitian (FPL)

FORMULIR PERNYATAAN KOLABORASI DOSEN DAN MAHASISWA

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama Dosen Pengusul Dr. Nuria Siswi Enggarani, SH.M.Hum
NIK 1590
Alamat Jl. Tarumanegara III Rt 04/06 Banyuanyar Solo
Telp. / HP 08122595009
Prodi, Fakultas Ilmu Hukum, Hukum

menyatakan mengadakan pengabdian kolaboratif dengan mahasiswa tersebut dibawah dengan


judul pengabdian
Nama Mahasiswa Mitra Kolaboratif Muhammad Fauzan Hendrawan

NIM C100200139

RIT Pelaksanaan Penelitian /


Pengabdian*

Surakarta, 8 Juli 2022

Dosen Pengampu Ketua Pelaksana

Dr. Nuria Siswi Enggarani, SH.M.Hum M. Fauzan Hendrawan

i
DAFTAR ISI

FORMULIR PERNYATAAN KOLABORASI DOSEN DAN MAHASISWA..............................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................................................ii

KATA PENGANTAR......................................................................................................................................iii

BAB I............................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................2
C. Tujuan Penyuluhan..........................................................................................................................2
D. Manfaat Penyuluhan.......................................................................................................................3
E. Target Luaran...................................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................................................4

PERMASALAHAN MITRA..............................................................................................................................4

BAB III..........................................................................................................................................................5

METODE PELAKSANAAN..............................................................................................................................5

A. Jenis dan Sifat Pendekatan..........................................................................................................5


B. Sumber Data Penelitian...............................................................................................................5
C. Lokasi Penyuluhan.......................................................................................................................5
D. Instrumen Pengumpulan Data.....................................................................................................5
E. Analisis Data................................................................................................................................5
BAB IV..........................................................................................................................................................6

TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................................................6

BAB V.........................................................................................................................................................14

PEMBAHASAN DAN SOLUSI YANG DITAWARKAN PEMBAHASAN..............................................................14

ii
RINGKASAN

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari pengertian di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah
pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.Implementasi otonomi daerah telah di
sepakati oleh pemerintah dan dpr mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
DaerahJenis pendekatan yang digunakan adalah penelitian hukum normative-empiris dengan
pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Sehingga, penelitian tersebut merupakan perpaduan antara penelitian normative
(kepustakaan) dan penelitian hukum empiris (lapangan). UU Pokok Agraria belum sempurna
serta menindaklanjuti pengakuan hak ulayat. Namun, berbagai peristiwa politik nasional
menyebabkan UUPA menjadi macan ompong dalam realisasinya. Secara substansi, peraturan
perundang-undangan sektoral, yakni UU penanaman modal, UU Kehutanan, UU Pertambangan,
UU Perkebunan dan UU Perindustrian menunjukkan tumpang tindih dengan peraturan umum di
bidang agraria (general agraria law).Prinsip-prinsip dasar yang diberikan UU PA No 5 tahun
1960 sebagian memenuhi kebutuhan masyarakat, namun untuk mencapai keadilan masyarakat
perlu kebijakan yang konseptual sekaligus operasional, artinya menjawab berbagai kebutuhan
masyarakat karena perubahan yang dinamis dan sebagian lain ketentuan di dalam UU PA perlu
dilakukan evaluasi.

KATA PENGANTAR

iii
Assalamualikum Wr.Wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT yang telah melimpahkan
nikmat dan sehat kepada kita semua rahmat serta hidayahnya sehingga kami dapat melaksanakan
kegitan pengabdian masyarakat ini dengan tema “ Peran Pemerintah Dalam Kebut Realisasi
Reformasi Agraria Dalam Proyek Strategi Nasional “

Kegiatan pengabdian masyarakat ini tidak akan terlaksana dengan baik apabila tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Nuria Siswi Enggarani, SH.M.Hum sebagai dosen pengampu

2. Bapak Muhammad Indra Bangsawan, SH., M.H. sebagai pembicara

3. Segenap mahasiswa umum yang telah mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat ini;

4. Semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan pengabdian masyarakat ini.

Kami sangat menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan laporan masih terdapat
beberapa kesalahan yang tidak sedikit. Oleh karena itu kami dengan rendah hati memohon maaf
atas kesalahan penulisan ataupun penyusunan makalah ini. Kami sangat berharap adanya kritikan
dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam laporan ini agar kami dapat memperbaikiya
dan sebagai pembelajaran untuk kami.

Tidak banyak kata pengantar yang disampaikan oleh kami karena itu dengan adanya kata
pengantar ini, kami dapat mengantarkan kata-kata pembukaan hangat kepada pembaca sebelum
kita mulai ke pembahasan dalam laporan ini.

Terima kasih, Wassalamualaikum Wr.Wb

Surakarta, 8 Juli 2022

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari
pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah
pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.Implementasi otonomi daerah telah
memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU otonomi daerah ini merupakan revisi
terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 sehingga kedua UU tersebut kini tidak
berlaku lagi. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan
kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab.
Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
tersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah
harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah
akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan pemerintahan
maupun pembangunan daerahnya masing-masing.1 Dalam Pasal 18 & UUD 1945 dikatakan
bahwa .Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar
permusya-aratan dalam pemerintahan negara dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat

Istimewa. " Penjelasan Pasal 18 & UUD 1945 menerangkan bahwa karena negara Indonesia
adalah negara kesatuan, Indonesia tidak akan mempunyai daerah didalam lingkungannya yang
juga berbentuk negara”. Wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi dibagi pula menjadi daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat administratif

1
https://tugaskampuspanji.blogspot.com/2016/02/contoh-makalah-otonomi-daerah.html

1
belaka, semuanya menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang$undang. Di
daerah-daerah yang bersifat otonom diadakan badan per-akilan daerah, karena daerah pun
pemerintah akan bersendikan permusya-aratan2.Salah satu aset yang paling sulit dalam
pengelolaannya adalah aset tanah. Tanah merupakan aset pemerintah yang sangat vital dalam
operasional pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan tanah aset
daerah banyak ragamnya dengan status penggunaan yang juga bermacam-macam, sehingga
terjadi banyak kepentingan terhadap tanah-tanah tersebut3. Untuk mengadministrasikan tanah-
tanah aset daerah bukanlah hal yang mudah saat ini, karena tanah yang dikuasai pemerintah
daerah adalah tanah-tanah yang sudah turun-temurun dikuasai oleh pemerintah daerah dan bukti
surat-suratnya ada yang mudah ditelusuri dan ada pula yang sulit ditelusuri bukti
kepemilikannya.4

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja yang dilakukan oleh Pemerintahan dalam Kebut Relasi Refirma Agraria dalam
Proyek Strategis Nasional dalam beberapa tahun belakang?
2. Bagaimana orientasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam menerapkan
kebijakan otonomi daerah dibidang pertanahan dan penataan ruang?

C. Tujuan Penyuluhan

Terdapat beberapa tujuan dari diskusi hukum yang kami selenggarakan antara lain :
1. Untuk memberikan sosialisasi dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sebuah
pemerintahan dan kewenagan didalamnya serta beberapa pengertian Agraria untuk
berjalanya otonomi daerah tersebut.
2. Untuk membantu tentang pemahaman bagaimana peran pemerintahan dalam hal ini
adalah berkaitan dengan Agraria.
3. Untuk mengetahui progres pemerintahan dalam beberapa aspek yang antara lain Agraria
serta bagaimana pemerintah melaksanakan tugas tersebut.

D. Manfaat Penyuluhan
2
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil Pemerintahan Daerah di Indonesia , Hukum
Adminitrasi Daerah 1903-2001, (Jakarta;Sinar;Grafika 2002), hlm 2
3
Ibid. hlm 11
4
Ibid. hlm 59.
2
Terdapat beberapa manfaat dari diskusi hukum yang kami selenggarakan antara lain :
1. Sebagai pengetahuan tentang pemahaman pemerintahan daerah atau otonomi daerah yang
lebih luas .
2. Menambah sebuah wawasan bagaimana Hukum Agraria berkembang didalam
pemerintahan daerah yang memiliki beberapa peraturan yang berbeda-beda.

E. Target Luaran

Luaran yang diharapkan dari penyuluhan ini adalah meningkat pemahaman tentang peran
pemerintah dalam reformasi agraria demi terciptanya kestrategisan nasional..

BAB II

3
PERMASALAHAN MITRA

UU Pokok Agraria belum sempurna serta menindaklanjuti pengakuan hak ulayat. Namun,
berbagai peristiwa politik nasional menyebabkan UUPA menjadi macan ompong dalam
realisasinya. Secara substansi, peraturan perundang-undangan sektoral, yakni UU penanaman
modal, UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perkebunan dan UU Perindustrian menunjukkan
tumpang tindih dengan peraturan umum di bidang agraria (general agraria law). Dengan
terbitnya peraturan perundang-undangan sektoral tersebut, maka hilanglah memori para pembuat
kebijakan tentang maksud yang terkandung dalam pasal-pasal pengakuan hak ulayat masyarakat
hukum adat dalam UUPA. Meskipun dengan penempatan pengakuan hak ulayat di bagian awal
UUPA menunjukkan betapa pentingnya pengakuan masyarakat hukum adat, tetapi berpuluh
tahun kemudian masalah pengakuan hak masyarakat ini menghilang dan digantikan dengan
urusan sederhana, yaitu pendaftaran tanah yang menghasilkan sertifikat hak atas tanah sebagai
bukti formil terhadap penguasaan sebidang tanah

BAB III

4
METODE PELAKSANAAN

F. Jenis dan Sifat Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan adalah penelitian hukum normative-empiris dengan


pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Sehingga, penelitian tersebut merupakan perpaduan antara penelitian normative
(kepustakaan) dan penelitian hukum empiris (lapangan). Dengan menggunakan pendekatan
tersebut penelitian akan mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang
sedang diteliti, yang dicoba untuk dicari jawabannya.

G. Sumber Data Penelitian

Sumber data peneliti yang kami ambil meliputi sumber data primer dan sumber data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung. Sedangkan data
sekunder adalah dokumen-dokumen, jurnal, buku tentang Peraturan yang bersangkutan.

H. Lokasi Penyuluhan

Penyuluhan dilakukan secara daring (online) melalui aplikasi zoom meeting.

I. Instrumen Pengumpulan Data

Instrument pengumpul data terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer dengan melakukan wawancara, penyampaian materi secara online kepada
mahasiswa melalui aplikasi zoom meeting. Sedangkan untuk data sekunder menggunakan
identifikasi isi dengan metode kepustakaan untuk pemenuhan materi yang disampaikan.

J. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakan dan lapangan dianalisis secara kualitatif,
sehingga digunakan teknik analisis kualitatif.

BAB IV

5
TINJAUAN PUSTAKA

K. Sistem Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu. Urusan-urusan yang diserahkan
oleh pusat ke daerah tersebut disebut urusan rumah tangga daerah. Dengan kata lain, sistem
rumah tangga daerah adalah tatanan yang berkaitan dengan pembagian wewenang, tugas, dan
tanggung jawab untuk mengurus urusan pemerintahan antar pusat dan daerah. Daerah-daerah
yang diberi wewenang untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri ini kemudian disebut
daerah otonom.5
Otonomi Daerah itu dilatarbelakangi oleh kondisi politik hukum yang berkembang pada
saat itu. Berikut ini akan diuraikan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan
Otonomi Daerah sejak tahun 1945.
1. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite
Nasional Daerah
Undang-Undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui
pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Didalam Undang-Undang ini
ditentukan 3 (tiga) jenis Daerah Otonomi, yaitu Keresidenan, Kabupaten dan Kota. Otonomi
Daerah diberikan kepada daerah bersamaan pada saat pembentukan daerah melalui Undang -
Undang berupa kewenangan pangkal yang sangat terbatas dan selama kurun waktu 3 (tiga) tahun
belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya. Undang-Undang ini belum bisa
dilaksanakan sepenuhnya.
2. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang ini hanya berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan
daerah yang demokrasi. Di dalam Undang-Undang ini ditentukan 2 (dua) jenis daerah
otonom, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi istimewa serta ada 3 (tiga)
tingakatan daerah otonom, yaitu Propinsi, Kabupaten/Kota Besar dan Desa/Kota Kecil. Undang-
Undang ini juga belum bisa dilaksanakan sepenuhnya.
3. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah

5
Haris,Syamsudin.2005 Otonomi Daerah

6
Undang-Undang ini berlaku secara seragam di seluruh Indonesia, titik beratnya adalah
pengaturan pada aspek otonomi yang seluas-luasnya Di dalam Undang-Undang ini di tetapkan
ada 3 (tiga) tingkatan daerah otonomi yaitu Daerah Tingkat I termasuk Kota Praja Jakarta Raya,
Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III. Dalam pada ini pelaksanaan Otonomi Daerah semakin
mendapat perhatian Pemerintah Pusat, di mana Pemerintah Pusat di wajibkan melaksanakan
politik desentralisasi di samping dekonsentrasi. Namun demikian Otonomi Daerah saat
berlakunya Undang-Undang ini juga belum bisa dilaksanakn sepenuhnya, bahkan nuansa
sentralisasi masih sangat kelihatan.
4. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor l8 Tahun l965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah
Undang - Undang ini sudah menganut sistem Otonomi yang seluas-luasnya;
pembagian daerah otonom sebanyak 3 (tiga) tingkatan, yaitu Propinsi sebagai Daerah
Tingkat I, Kabupaten/Kotamadya sebagai Derah Tingkat II dan Kecamatan/Kota Praja
sebaga Daerah Tingkat III. Walaupun Undang-Undang ini menganut sistem otonomi yang
seluas-luasnya tetapi tidak ada satupun Peraturan Pemerintah (PP) yang diterbitkan
dalam rangka penyerahan sebagian urusan pemerintahan (Desentralisasi) kepada daerah,
oleh karena itu Undang-Undang ini juga belum bisa dilaksanakan sepenuhnya.
Kemudian Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1969. Dengan Ketentuan bahwa pernyataan tidak berlakunya
Undang-Undang ini pada saat ditetapkannya Undang-Undang yang menggantikannya.
5. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pemerintahan Daerah
Dalam Undang-Undang ini azas Desentralisasi dilaksanakan bersamaan dengan azas
Dekonsentrasi dan medebewind, melalui penyerahan urusan secara bertahap sesuai dengan
kemampuan (kewenangan daerah otonom terbatas) dan semunya tergantung kebijakan
Pemerintah Pusat yang bersifat seragam. Dalam mengelola sumber daya alam (SDA) sepenuhnya
menjadi wewenangPemerintah Pusat, tidak ada kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah
Daerah, termasuk rekruting Pejabat Politik, Proses Legislasi daerah melalui izin dan petunjuk
Pemerintah Pusat.Yang memegang kepeminpinan dalam pemerintahan daerah adalah Kepala
Daerah dan DPRD, kedudukan Gubemur sebagai Kepala Daerah merupakan Kepala
Pemerintahan, sekaligus kepala wilayah bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri

7
dalam negeri, sedangkan kedudukan DPRD sebagai unsur Pemerintahan Daerah dan juga
berfungsi sebagai wakil rakyat. Maka kedudukan Gubernur sebagai Kepala Daerah sangat
dominan. Undang-Undang ini mengenal adanya perangkat Dekonsentrasi di daerah Tingkat I dan
Tingkat II, dimana kewenangan Kabupaten dan Kota bersifat residule, dan tidak mengenal
adanya otonomi desa.
6. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah
Pada Undang-Undang ini azas Desentralisai di laksanakan di Kabupaten dan Kota,
sedangkan Desentralisasi dilaksanakan bersama-sama di Provinsi dalam kedudukannya sebagai
Daerah Otonomi terbatas sekaligus wilayah administrasi.Desentralisasi ditetapkan bersamaan
penetapan status daerah otonomi/melekat(kewenangan daerah otonomi utuh dan bulat), bersifat
mandiri dan bervariasi sesuai aspirasi masyarakat lokal, sumber daya alam di daerahnya masing -
masing.Pemerintahan Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom sebagai
badan eksekutif daerah, sedangkan DPRD sebagai Badan legislatif daerah, termasuk
menjalankan pemilihan Kepala Daerah menjadi kewenangan DPRD. Maka
kedudukan DPRD pada saat itu sangat kuat.Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya
bertanggung jawab kepada DPRD dan wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD
setiap tahun anggaran, apabila pertanggungjawaban Kepala Daerah ditolak yang ke dua kalinya,
maka DPRD sewaktu-waktu dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden RI.
7. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
Dalam Undang-Undang ini Azas Desentralisasi di laksanakan di Propinsi dan
Kabupaten/Kota, sedangkan Dekonsentrasi hanya di laksanakan di Propinsi. Pada
periode ini hampir mirip seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yaitu
menempatkan DPRD sebagai bagian Pemerintahan Daerah bersama-sama Kepala
Daerah,menjalankan Pemerintahan Daerah (DPRD merupakan bagian dari Pemerintahan
Daerah).Kepala Daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DRPD tetapi bertanggungjawab
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Undang-Undang ini sudah mengatur tentang
Pemilihan Kepala Daerah Langsung olehrakyat, sehingga demokrasi ada pada rakyat, dan agak

8
istimewanya adalah mengenaladanya otonomi desa.6

L. Realisasi Pemerintah Daerah

Sumber utama kebijakan umum yang mendasari pembentukan dan penyelenggaraan


pemerintahan di daerah adalah Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasannya. Pasal
18 Undang-Undang Dasar 1945, sebelum diamendemen menyatakan sebagai berikut. Pembagian
Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan
dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa”. Konsep pemerintahan daerah berasal dari terjemahan konsep local government yang
pada intinya mengandung tiga pengertian, yaitu: pertama berarti pemerintah lokal, kedua berarti
pemerintahan lokal, dan ketiga berarti wilayah lokal.7

Pemerintah lokal pada pengertian pertama, menunjuk pada organisasi/badan/lembaga


yang berfungsi menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dalam konteks ini, pemerintah lokal
atau pemerintah daerah merujuk pada organisasi yang memimpin pelaksanaan kegiatan
pemerintahan daerah, dalam artian ini di Indonesia menunjuk pada Kepala daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Kedua lembaga ini yang menggerakkan kegiatan pemerintahan
daerah sehari-hari. Oleh karena itu, kedua lembaga ini dimaknai dengan Pemerintah daerah
(local government atau local authority). Pemerintahan lokal pada pengertian kedua, menunjuk
pada kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah melakukan


kegiatan-kegiatan pengaturan. Kegiatan ini merupakan fungsi penting yang pada hakikatnya
merupakan fungsi untuk pembuatan kebijakan pemerintah daerah yang dijadikan dasar atau arah
dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hal tersebut sama dengan fungsi pemerintah pusat yang
meliputi fungsi legislatif, fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif. Pemerintahan daerah (local
government) pada dasarnya hanya melaksanakan fungsi legislatif dan fungsi eksekutif sedangkan
fungsi yudikatif tetap ditangani pemerintah pusat. Fungsi legislatif yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah hakikatnya merupakan fungsi pembuatan kebijakan pemerintahan daerah.
6
jia.stialanbandung.ac.id/index.php/jia/article/viewFile/361/334
7
(Hoessein dalam Hanif, 2007:24).

9
Jadi, bukan fungsi legislatif seperti halnya fungsi parlemen di mana dalam konteks Indonesia
fungsi ini dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara itu, fungsi yudikatif dipegang
oleh badan-badan peradilan (Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri dan
Pengadilan lainnya). Hoessein berpendapat bahwa istilah legislatif dan eksekutif juga tidak lazim
digunakan pada local government. Istilah yang lazim digunakan pada local government adalah
fungsi pembuatan kebijakan (policy making function) dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy
executing function). Fungsi pembentukan kebijakan dilakukan oleh pejabat yang dipilih melalui
pemilu, sedangkan fungsi pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh pejabat yang diangkat/birokrat
lokal.8

M. Urgensi Pelaksanaan Reforma Agraria

Reforma agraria merupakan bagian dari program pembangunan ekonomi, juga bermakna
sebagai “suatu program politik untuk merubah struktur kekuasaan dalam lapangan agraria
(penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria)”9. Di dalamnya, redistribusi tanah dan
sumber-sumber agraria lainnya yang telah dikuasai dalam skala besar atau melebihi batas
maksimum yang ditentukan, dan pengembalian tanah-tanah dan sumber-sumber agraria lainnya
yang diambil dari penguasaan rakyat sebelumnya, menjadi satu program penting dalam rangka
merombak struktur penguasaan tanah atau sumber-sumber agraria tersebut.

Ada 10 (sepuluh) aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya oleh penyelenggara
negara bila reforma agraria mau berhasil, yakni: (1) Mandat Konstitusional, (2) Hukum Agraria
dan Penegakkannya, (3) Organisasi Pelaksana, (4) Sistem Administrasi Agraria, (5) Pengadilan,
(6) Desain Rencana dan Evaluasi, (7) Pendidikan dan Latihan, (8) Pembiayaan, (9) Pemerintahan
Lokal, dan (10) Partisipasi Organisasi Petani. 10 Reforma agraria akan menghasilkan revitalisasi
sektor pertanian dan pedesaan yang kokoh. Reforma agraria yang berhasil ditandai oleh
kepastian penguasaan tanah yang menjamin penghidupan dan kesempatan kerja bagi petani, tata-
guna tanah yang mampu memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian mutu
lingkungan hidup, kedaulatan pangan, kemampuan produktivitas yang mampu membuat
keluarga petani mampu melakukan re-investasi dan memiliki daya beli yang tinggi. Kalau hal ini

8
(Hoessein dalam Hanif, 2007:24).

9
Bachriadi (1999), Pembaruan Agraria (Agrarian Reform), hal. 27.
10
Lin (ed.) (1974), Readings in Land Reform.

10
terjadi, sektor pertanian kita akan menjadi sandaran hidup mayoritas rakyat dan juga sekaligus
penyokong industrialisasi nasional. Dengan demikian reforma agraria akan mewujudkan
keadilan, kesejahteraan dan keamananan.

Tujuan pokok dari reforma agraria (yang sejati) adalah penciptaan keadilan sosial yang
ditandai dengan adanya keadilan agraria (agrarianjustice), peningkatan produktivitas dan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Keadilan agraria itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu
kondisi dimana struktur penguasaan tanah secara relatif tidak memperlihatkan ketimpangan,
yang memberikan peluang bagi terciptanya penyebaran dan penguatan aktivitas perekonomian
rakyat yang berbasis di pedesaan, dan kemudian menjadi basis bagi partisipasi aktif (dan
produktif) bagi sebagian besar penduduk yang nyatanya bergantung pada aktivitas pertanian
untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan nasional baik secara sosial, ekonomi, maupun
politik. Itu sebabnya pula, sejak lama banyak ahli meyakini bahwa reforma agraria yang sejati
akan memberikan kontribusi penting bagi proses demokratisasi pedesaan yang dalam konteks
Indonesia adalah salah satu pangkalan penting bagi kehidupan sosial sebagai besar
penduduknya.11

Sementara itu, konflik agraria yang merebak selama ini adalah tanda lain dari perlu
dilaksanakannya reforma agraria, karena konflik agraria itu sendiri merefleksikan pudarnya
keadilan agraria di dalam suatu masyarakat (:negara). Reforma agraria dimaksudkan untuk
menjawab ketimpangan dan konflik yang timbul. Konflik agraria selain merupakan akibat tidak
dilaksanakannya reforma agraria, juga dapat terjadi dalam proses reforma agraria apabila
persiapannya tidak matang.12Karena itu, untuk mencegah terjadinya konflik yang biasanya
menyertai pelaksanaan reforma agraria, maka reforma agraria perlu dipersiapkan dengan matang
dengan memenuhi berbagai prasyarat yang diperlukan. Peran negara (dalam hal ini: pemerintah)
sangat penting, bahkan tidak tergantikan dalam pelaksanaan reforma agraria, termasuk
menyediakan prasyarat-prasyaratnya. Prasyarat pelaksanaan reforma agraria yang dimaksud
11
Lihat misalnya: Senior (1958), Land Reform and Democracy (Westport: Greenwood Press); Prosterman dan
Riedinger (1987), Land Reform and Democratic Development (Baltimore: John Hopkins Univ. Press); Prosterman,
Roy L., Mary N. Temple dan Timothy M. Hanstad (ed.) (1990), Agrarian Reform and Grassroots Development: Ten
Case Studies (Boulder: Lynne Rienner Publisher, Inc.).
12
Lihat, misalnya: Lindquist (1979), Land and Power in South America (Harmondsworth: Penguin Books);
Christodolou, Demetrios (1990), The Unpromised Land: Agrarian Reform and Conflict Worldwide (London: Zed
Books); dan Wiradi, Gunawan (2002), Pembaruan Agraria Anak Kandung Konflik Agraria, Konflik Agraria Anak
Kandung “Pembaruan” Agraria, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pembaruan Agraria,
Yogyakarta 16 Juli 2002, STPN dan BPN.

11
meliputi: (1) kemauan politik, (2) data keagrariaan yang lengkap dan akurat, (3) adanya
organisasi taniyang kuat, (4) elit politik dan elit bisnis yang harus terpisah, dan (5) dukungan dari
angkatan bersenjata.13

N. Wujud Reforma Agraria

Reforma agraria atau disebut juga pembaruan agraria adalah proses restrukturisasi
(penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria
(khususnya tanah). Reforma Agraria menjamin pemerataan sosial ekonomi masyarakat secara
menyeluruh. Dalam praktiknya, terdapat tiga persoalan pokok dalam melaksanakan reforma
agraria; pertama ketimpangan penguasaan tanah negara, kedua timbulnya konflik agrarian yang
dipicu tumpang tindihnya kebijakan distribusi lahan pada masa lalu, ketiga timbulnya krisis
sosial dan ekologi di pedesaan.

Terkait tiga persoalan pokok tersebut, maka pemerintah merasa perlu untuk melakukan
reforma agraria yang bertujuan, satu mengurangi kemiskinan, kedua menciptakan lapangan
kerja, ketiga memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah,
keempat menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah dan sumber-sumber agraria, kelima mengurangi konflik dan sengketa pertanahan dan
keagrariaan, keenam memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, ketujuh
meningkatkan ketahanan pangan dan energi masyarakat.

Setelah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, pelaksanaan Reforma


Agraria masih terus berjalan hingga saat ini. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai pengelola pertanahan dan tata ruang di Indonesia,
sigap untuk menangani Program Strategis Nasional (PSN).Dalam pelaksanaan reforma agraria
yang telah dilakukan oleh pemerintah, masih meninggalkan permasalahan utama yang dihadapi
di bidang pertanahan yang menimbulkan konflik atau sengketa di bidang pertanahan khususnya
legalisasi dan redistribusi tanah yang meskipun memberikan dampak positif bagi masyarakat
namun juga mampu menjawab permasalahan mengenai sengketa pertanahan yang sebenarnya
merupakan salah satu tugas utama yang harus diselesaikan dalam melaksanakan reformasi

13
King (1977), Land Reform. Lihat juga Wiradi (2000), Reforma Agraria.

12
agraria.Upaya-upaya untuk mempercepat implementasi Reforma Agraria di Indonesia terus
dilaksanakan, khususnya dalam upaya menyejahterakan masyarakat Indonesia.

BAB V

PEMBAHASAN DAN SOLUSI YANG DITAWARKAN PEMBAHASAN

O. Pemerintah Kebut Realisasi Reforma Agraria Dalam Proyek Strategi Nasional


Pada Beberapa Tahun Belakangan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendukung upaya


mempercepat Reformasi Agraria dengan kerja bersama lintas instansi, baik pemerintah pusat
maupun daerah. Peran semua pihak dilaksanakan melalui metode sharing resource atau urun
daya, baik berbagi ide/pemikiran, tenaga/SDM, anggaran, maupun hal lain yang memberikan
masukan positif untuk percepatan Reforma Agraria. Program Reforma Agraria merupakan
program prioritas Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden K.H. Ma'ruf Amin.
Ini juga merupakan program nasional.
"Program Reforma Agraria ini milik kita bersama. Oleh karena itu kita harus kerja
bareng. Artinya, untuk mempercepat/akselerasi ini, harus sharing resources, misalnya SDM dan
anggarannya. Jadi perlu juga peran Pemerintah Daerah untuk mendukung percepatan itu," kata
Wakil Menteri LHK Alue Dohong, pada Rapat Koordinasi Gugus Tugas Reforma Agraria

13
(GTRA) Tahun 2021 Provinsi Kalimantan Barat, di Pontianak, Kamis (24/6). Dari sisi KLHK,
ada dua skema yaitu menyediakan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dari kawasan hutan
seluas 4,1 juta ha, dan melalui legalisasi akses kelola berupa Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta
ha.
Wamen Alue Dohong mengungkapkan tantangan program ini tidak hanya sebatas
redistribusi aset dan pemberian akses legal saja. Tantangan yang lebih besar yaitu paska
pemberian sertifikat tanah dan izin hutan sosial. \"Setelah proses tersebut, Pemerintah tetap
mendorong, membantu masyarakat. Apalagi di tengah situasi pandemi, muncul tantangan lain
menyangkut ketahanan dan keamanan pangan,\" ungkapnya.
Salah satu modal dalam pengembangan ketahanan pangan yaitu TORA dan Hutsos.
Dalam Hutsos, didorong pola-pola agroforestry. Jadi selain menjaga fungsi hutannya, dapat
ditanam tanaman holtikultura dalam rangka pemenuhan pangan, termasuk juga penguatan
ekonomi rakyat. Dalam konteks penyediaan sumber tanah untuk TORA, KLHK menempuh dua
skema yaitu inventarisasi dan verifikasi (Inver) melalui Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam
Kawasan Hutan (PPTKH), dan Non Inver melalui pelepasan kawasan Hutan Produksi yang dapat
Konversi (HPK) tidak produktif.
Lebih lanjut, Wamen Alue Dohong mengatakan dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (UUCK), maka terkait dengan TORA ini ada beberapa kemudahan melalui penataan
kawasan hutan. Penataan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 129 ayat (1),
dilaksanakan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan.
Penataan Kawasan Hutan meliputi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan; Penataan
Kawasan Hutan lebih dari Kecukupan Luas Kawasan Hutan dan Penutupan Hutan oleh Tim
Inver PPTPKH; Penataan Kawasan Hutan kurang dari Kecukupan Luas Kawasan Hutan dan
Penutupan Hutan oleh Tim Terpadu PPTPKH; Pelepasan Hutan Produksi yang dapat diKonversi
(HPK) Tidak Produktif melalui Keputusan Pelepasan HPK NP atas usulan para Pihak dilengkapi
dengan pemenuhan syarat; Penyelesaian permukiman dalam kawasan hutan Kawasan Hutan oleh
Tim Inver PPTPKH / Tim Terpadu PPTPKH tergantung areal dimaksud masuk dalam kategori
lebih dari kecukupan luas atau kurang dari kecukupan luas; serta Pendanaan serta Monitoring
dan Evaluasi.
Pada kesempatan tersebut, Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra,
mengatakan Reforma Agraria di setiap wilayah mempunyai kontekstual tersendiri. Oleh karena

14
itu, identifikasi kendala permasalahan perlu dilakukan untuk kemudian dicari solusinya bersama.
Reforma Agraria di Provinsi Kalbar juga mendapat perhatian khusus. Hal ini karena Kalbar
merupakan salah satu pilot project redistribusi tanah dari HPK tidak produktif. Ketiga daerah
lainnya yaitu Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.
Sementara itu, Gubernur Kalbar Sutarmidji menyatakan mendukung redistribusi lahan
kepada masyarakat. Sehingga masyarakat mempunyai hak yang sama atas kepemilikan tanah,
dimana sebelumnya cenderung dikuasai korporasi.
Dia juga berharap dengan Reforma Agraria dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat
Kalbar sebagaimana tema Rakor GTRA kali ini yaitu "Akselerasi dan Elaborasi RA untuk
Kesejahteraan Masyarakat Kalbar". Turut hadir secara fisik dan virtual pada Rakor ini yaitu
Pengurus dan Anggota GTRA Provinsi Kalbar, Bupati/Walikota se-Kalbar, Kepala UPT KLHK
di Kalbar, para pegiat Reforma Agraria, asosiasi profesi, dan UMKM

P. Orientasi Pemerintah Daerah Dalam Penerapan Kebijakan Otonomi Daerah Di


Bidang Pertanahan dan Penataan Ruang

Politik kekuasaan dalam dunia pertanahan tidak dapat dihindarkan. Kita melihat tatanan
atau sistem hukum di Indonesia yang harus dibenahi, dalam tatanan budaya seperti ini yang
saling bertentangan dengan sistem hukum kita, tapi disisi lain, komunitas masyarakat adat
mencoba membangun sendiri, melepaskan yang namanya masyarakat adat yang jauh berbeda
dengan komunitas masyarakat negara mana pun. Sebagai pimpinan penguasa, kembali ke dalam
bidang pertanahan yang melihat tata aturan budaya dimana tempat mereka berada harus dilihat,
agar tatanan ini tidak rusak, pengelolaan lahannya, pengaturan tata ruang dan lain lain kembali
dilihat, boleh tetap berkembang pesat, bisa jadi penopang juga boleh, sekarang ini sudah tidak
ada yang namanya penopang kota, yang ada kota dan desa, tidak ada lagi yang namanya wilayah
penopang, seperti di wilayah Jabodetabek, sedangkan wilayah lain masih mencolok tatanan
budayanya.14
Sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tata ruang yang berlaku untuk daerah
perkotaan, pengaturan penggunaan lahan daerah perkotaan secara umum dilakukan melalui

Wawancara dengan Bapak Poltak, Advokat Pertanahan & Wakil Ketua LSM Pancanaka
14

Bidang Advokasi Tanah, LSM Pancanaka (Lembaga Pemberdayaan dan Advokasi Tanah untuk
Keadilan) di Jakarta, pada Hari Selasa, 23 September 2014 pukul 10.00 WIB.
15
penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Termasuk dalam RTRW ini
adalah penentuan zoning yang juga dapat dilakukan sebagai alat untuk pengaturan ruang.
Dokumen RTRW ini pada dasarnya berisikan tiga hal pokok, yaitu: (a) tujuan pemantaatan
ruang; (b) struktur dan pola pemanfaatan ruang; dan (c) pola pengendalian pemanfaatan ruang.
RTRW ini ditetapkan dengan peraturan daerah bersangkutan atau kota setempat sehingga
ketentuan didalamnya bersifat mengikat dan mempunyai implikasi hukum bila dilanggar15
Fungsi kontrol dari masyarakat dan LSM memang penting dalam rangka mewujudkan
keseimbangan dan kontrol kebijakan pemerintah terhadap masyarakat, kekritisan msyarakat
bekasi tidak diimbangi dengan pemahaman aturan hukum, sehingga bukti-bukti yang dihadirkan
tidak dapat menguatkan dan di sisi lain ada juga yang memancing di air keruh, mencari
kesempatan dalam kesempitan untuk mendapatkan akses kekuasaan atau materiil.
Prinsip-prinsip dasar yang diberikan UU PA No 5 tahun 1960 sebagian memenuhi
kebutuhan masyarakat, namun untuk mencapai keadilan masyarakat perlu kebijakan yang
konseptual sekaligus operasional, artinya menjawab berbagai kebutuhan masyarakat karena
perubahan yang dinamis dan sebagian lain ketentuan di dalam UU PA perlu dilakukan evaluasi,
salah satunya hak kepemilikan tanah individu memiliki fungsi sosial. Dalam hal ini telah terjadi
penggeseran hak-hak individu yang dikuasai oleh para pemilik usaha/korporasi atau kelompok-
kelompok yang menguasai sebagian besar tanah atas dasar hak eigendom.
Di dalam RUU Pertanahan sebagai amandemen dari UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok
Agraria memuat konkretisasi dari norma yang sebelumnya masih bersifat pokok. Hendaknya
perlu diperjelas makna, sehingga dalam penerapannya tidak terjadi tumpang tindih dengan
peraturan di sektor lain, misalnya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dan sejumlah norma lain di segala sektor.
UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyerahkan pelaksanaan
kewenangan HAN kepada pemerintah daerah kabupaten attau kota sebagai kewenangan otonom.
Ini berarti pembangunan hukum pertanahan akan berlangsung di daerah atau akan berada di
tangan pemerintah daerah. Realita yang berkembang dalam masyarakat menunjukkan adanya
perbedaan pandangan dari pemerintah daerah berkenaan hal di atas, yaitu: pertama, keinginan
bahwa otonomi merupakan penyerahan sepenuhnya kewenangan dari pemerintah pusat.
Sjafrizal, Ekonomi Wilayah dan Perkotaan, Ed. I, Cet. 2, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
15

2014, hlm. 223.


16
Pandangan demikian misalnya tercetus dalam rancangan undang-undang tentang Otonomi
Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak akan memberlakukan hukum adat yang berlaku atau
pernah berlaku di daerah istimewa Yogyakarta. Artinya ada keinginan dari pemerintah daerah
istimewa Yogyakarta untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan pertanahan sepenuhnya
berdasarkan peraturan daerah tanpa adanya pengaturan apapun dari pemerintah pusat. Kedua,
tetap menghendaki adanya kewenangan dari pemerintah pusat berupa kebijakan yang bersifat
umum, sedangkan pengaturan lebih lanjut diserahkan sepenuhnya kepada daerah sesuai dengan
kondisinya masing-masing.16
Dengan kebijakan umum tersebut, pemerintah daerah tetap mempunyai keleluasaan untuk
menentukan dan mengembangkan hukum pertanahannya sesuai dengan keberagamaan masalah
pertanahan yang ada di daerahnya. Kekhususan masalah pertanahannya dapat diakomodasi
peraturan daerah yang akan dibuatnya. Jika masalah hukum adat dan hak-hak tradisional atas
tanahnya masih hidup dan berlaku, pemerintah daerah yang bersangkutan harus mengakui dan
memperkuatnya.
Dalam perkembangannya, UUPA 1960 harus dihadapkan dengan realitas sosial yang
berbeda. Misalnya pertambahan jumlah penduduk, kelangkaan tanah, alih fungsi tanah, konflik
penggunaan tanah diantara berbagai aktor pembangunan, kemiskinan, sempitnya lapangan kerja,
perbedaan akses dalam perolehan dan pemanfaatan tanah. Kebijakan pertanahan yang
kapitalistis, yakni lebih mengutamakan fungsi ekonomi sehingga menyebabkan akses tanah lebih
ditentukan mekanisme pasar. Konsekuensinya, semakin menjahkan pemberian makna konkret
fungsi sosial dalam UUPA 1960.17

16
Wasisto Rahardo Jati, “Politik Agraria di Yogyakarta: Identitas Patrimonial dan Dualisme
Hukum Agraria”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 11 No. 1 - Maret 2014, Diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, hlm. 26.
17
Yusriyadi, Industrialisasi & Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah, Cet. 1,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 109
17
LAMPIRAN

18
Gambar 1.1 Pendaftaran Peserta

Gambar 1.2 Pelaksanaan Diskusi Hukum

19
Gambar 1.3 Foto Bersama

DAFTAR PUSTAKA

Arba, H. M., & SH, M. (2022). Hukum tata ruang dan tata guna tanah: prinsip-prinsip hukum
perencanaan penataan ruang dan penatagunaan tanah. Sinar Grafika.

Arisaputra, M. I. (2016). Access Reform dalam kerangka Reforma Agraria untuk mewujudkan
keadilan sosial. Perspektif: Kajian Masalah Hukum Dan Pembangunan, 21(2), 83-96.

Bachriadi, D. (2010). Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi dalam Perspektif Reforma Agraria.
Daftar Isi, 15(1), 10.

Husni, M. F. (2022). Pokok Penting Study Pemerintahan Daerah.

Jati, W. R. (2016). Inkonsistensi paradigma otonomi daerah di Indonesia: Dilema sentralisasi


atau desentralisasi. Jurnal Konstitusi, 9(4), 743-770.

20
Ledesma, A. J. (1976). Land reform programs in East and Southeast Asia: a comparative
approach.

Prawita, M., Istislam, I., & Laila, F. (2022). Urgensi Keberadaan Pengaturan Larangan
Kepemilikan Tanah Secara Absentee dalam Reforma Agraria. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, 6(2), 545-553.ISO 690

Sumardjono, M. S. (2006). Kebijakan pertanahan: antara regulasi dan implementasi. Penerbit


Buku Kompas.

Syafrudin, A. (1983). Pasang Surut Otonomi Daerah.

Wiradi, G. (2000). Reforma Agraria. Perjalanan Yang Belum Berakhir, Yogyakarta, Insist Pess,
KPA danm Pustaka Pelajar.

Wiradi, G. (2009). Reforma agraria: dari desa ke agenda bangsa. IPB Press.

Zarin, H. A., & Bujang, A. A. (1994). Theory on land reform: An overview. Bulletin Ukur, 5(1),
9-14.

21

Anda mungkin juga menyukai