Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN KEBIJAKAN


disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah
dosen Syaefulloh , S.Sos, M.Si

oleh:

Muhammad Iqbal NPP 29.0051 Fahmi Rahmat W. NPP 29.1252


Ignatio Boris H. NPP 29.0349 M.Rian NPP 29.1180
Hafys Sanjaya NPP 29.0541 Resmawan Leonardi B. NPP 29.1472
Fernando NPP 29.0650 Juan Nehemia A. NPP 29.1772
Abd. Daf’a A. NPP 29.0714 M. Farel A. NPP 29.1600
Vitra Endriyana P. NPP 29. 0895 Theodorus R. Magai NPP 29.1838
Kelas : H-4
PROGRAM STUDI PRAKTEK PERPOLISIAN TATA PAMONG
FAKULTAS HUKUM TATA PEMERINTAHAN
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
PRAYA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt., yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami. Sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini
yang alhamdulillah tepat pada waktunya dengan judul “Peran Masyarakat dalam
Pelaksanaan Kebijakan.”
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah swt. senantiasa
meridhoi segala usaha kita.

Praya, 26 November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................................2
1.4 Metode Penelitian.............................................................................................................2
BAB II LANDASAN TEORETIS................................................................................................3
2.1 Pengertian Kebijakan........................................................................................................3
2.2 Macam-Macam Kebijakan................................................................................................4
2.3 Pengertian dari Peran Masyarakat dalam Pelaksanaan Kebijakan...................................5
BAB III PEMBAHASAN.............................................................................................................8
3.1 Proses Pelaksanaan Kebijakan oleh Masyarakat..............................................................8
3.1.1 Urgensi Partisipasi dalam Implementasi Kebijakan...................................................8
3.1.2 Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam
Proses Implementasi Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah..............................11
3.2 Dampak Tidak Berpartisipasinya Masyarakat dalam Pelaksanaan Kebijakan...............15
3.3 Keterkaitan Antara Demokratisasi dalam Kontek
Desentralisasi dengan Partisipasi Masyarakat................................................................15
3.3.1 Lingkungan Pendukung............................................................................................15
3.3.2 Kapasitas Internal.....................................................................................................17
3.3.3 Peran Organisasi Masyarakat Sipil...........................................................................19
BAB IV PENUTUP....................................................................................................................21
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................................21
4.2 Saran...............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara hukum (Recthstaat)


yang sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam menjalankan
pemerintahannya Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham demokrasi,
sehinggga semua kewenangan adalah dimiliki oleh rakyat. Negara Republik Indonesia
sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi
Daerah merupakan kebijakan yang dipandang demokratis dan memenuhi aspek
desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya.

Terbitnya kebijakan publik dilandasi kebutuhan untuk penyelesaian masalah


yang terjadi di masyarakat. Kebijakan publik ditetapkan oleh para pihak (stakeholders),
terutama pemerintah yang diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan masyarakat. Makna dari pelaksanaan kebijakan publik merupakan suatu
hubungan yang memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan atau sasaran sebagai hasil
akhir dari kegiatan yang dilakukan pemerintah.Kekurangan atau kesalahan kebijakan
publik akan dapat diketahui setelah kebijakan publik tersebut dilaksanakan,
keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan
sebagai hasil evaluasi atas pelaksanaan suatu kebijakan.

Pelaksanaan kebijakan secara sederhana adalah pelaksanaan atau penerapan


suatu kebijakan. Pelaksanaan kebijakan bermuara pada aktifitas, aksi, tindakan, atau
mekanisme yang dibingkai pada suatu sistem tertentu. Pelaksanaan kebijakan merupakan
suatu kegiatan terencana yang dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan
norma tertentu yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Pelaksanaan kebijakan
tidak hanya menyangkut perilaku lembaga administratif yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan program, melainkan menyangkut pula pada partisipasi masyarakat.

1
Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie penyelenggaraan otonomi daerah
menekankan pentingnya prinsi-prinsip demokrasi, salah satunya peningkatan peran serta
masyarakat dalam proses kegiatan otonomi daerah. Perwujudan partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis belum sepenuhnya jelas diatur
dalam aturan hukum di Indonesia, sehingga menyebabkan kekaburan bagaimana peran
masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan untuk mejalankan otonomi daerah yang
demokratis. Oleh karenanya, untuk menjawab kekaburan norma tersebut, maka dilakukan
pengkajian peran masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan yang demokratis dalam
konteks desentralisasi sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku (State
Approach).

1.2. Rumusan masalah


Dalam makalah ini memeiliki rumusan maslah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Kebijakan?
2. Apa saja macam-macam kebijakan?
3. Bagaimana proses peran pelaksanaan kebijakan oleh masyarakat?
4. Bagaimana dampak apabila masyarakat tidak berpartisipasi dalam pelaksanaan
kebijakan?
5. Bagaimana keterkaitan antara demokratisasi dalam kontek desentralisasi dengan
partisipasi masyarakat?
1.3. Tujuan Penelitian
Dalam makalah ini memiliki tujuan penelitian sebagai berikut
1. Praja mendeskripsikan apa itu kebijakan.
2. Praja menjelaskan macam-macam kebijakan.
3. Praja menjelaskan proses peran pelaksanaan kebijakan oleh masyarakat.
4. Praja mendeskripsikan dampak apabila masyarakat tidak berpartisipasi dalam
pelaksanaan kebijakan.

1.4. Metode Penelitian


Penulis mengumpulkan literatur-literatur melalui buku-buku dan sumber-sumber
di internet.

2
BAB II

LANDASAN TEORETIS

2.1 Pengertian Kebijakan


Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah
ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta
individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat
memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan
pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang
paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.
Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan
keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif
seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan dampaknya.
Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, finansial, atau
administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit.
Kebijakan merupakan suatu rangkaian konsep dan asas menjadi suatu garis
pelaksanaan dalam suatu pekerjaan, kepemimpinan ataupun cara bertindak. Kebijakan
harus selalu ada dalam kehidupan bernegara. Kebijakan ini sangat berpengaruh
terhadap kehidupan warga negara, jika dalam suatu negara tidak memiliki kebijakan,
maka peraturan yang ada dalam negara pun tidak dapat berjalan secara teratur.
Kebijakan juga merujuk pada proses pembuatan keputusan-keputusan yang penting
pada suatu organisasi. Kebijakan juga dapat sebagai mekanisme politis, finansial
ataupun dalam bentuk apapun. Dalam suatu kebijakan harus selalu di pikirkan matang-
matang dalam memiliki suatu keputusan. Jadi Pengertian Kebijakan merupakan suatu
seperangkat keputusan yang diambil oleh para politik dalam rangka untuk memilih
tujuan dan juga cara untuk mencapainya. Berikut pengertian kebijakan menurut para
ahli:

3
 Menurut Anderson (1979)
Kebijakan ialah serangkaian tindakan yang memiliki tujuan tertentu yang wajib
untuk diikuti dan dilakukan oleh para pelakunya dalam memecahkan suatu masalah (a
purposive corse of problem or matter of concern).
 Menurut Lasswell (1970)
Kebijakan ialah sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai serta juga
praktik-praktik yang terarah (a projected program of goals values and practices).
 Menurut Eulau (1977)
Kebijakan merupakan suatu keputusan tetap, dicirikan oleh tindakan yang
bersinambung dan juga berulang-ulang pada mereka yang membuat serta juga
melaksanakan kebijakan.
 Menurut Friedrick (1963)
Kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang diajukan seseorang, group,
serta juga pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan mencantumkan kendala-
kendala yang dihadapi dan juga kesempatan yang memungkingkan pelaksanaan usulan
itu dalam upaya mencapai tujuan.
 Menurut Budiarjo (1988)
Kebijakan merupakan sekumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku
atau juga kelompok politik didalam usaha memilih tujuan-tujuan serta juga cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut.
2.2 Macam-Macam Kebijakan
Dalam suatu pemerintah ada beberapa macam kebijakan, dari sini saya akan
berikan penjelasan mengenai macam-macam kebijakan yang terdapat dalam
pemerintahanyaitu :
1. Kebijakan Keuangan
Uang merupakan suatu hal penting dalam suatu kehidupan manusia. Uang
merupakan salah satu penggerak ekonomi masyarakat suatu negara. Uang
merupakan suatu benda yang telah disepakati bersama sebagai alat perantara tukar
menukar dalam suatu hal perdagangan. Ada banyak sekali fungsi uang yang telah

4
kita ketahui. Selain uang ternyata ada juga yang sering kita dengar yaitu inflasi.
Yaitu kecenderungan naik turunnya suatu barang dan jasa secara terus-menerus
yang diakibatkan dari tidak adanya keseimbangan arus barang dan juga arus uang.
2. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah
untuk menambah ataupun mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Kebijakan moneter biasanya digunakan sebagai kebijakan ekonomi dalam jangka
pendek. Kebijakan moneter juga penting dalam pemerintah, sebab hal ini juga dapat
mempengaruhi perekonomian.
3. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan suatu kebijakan yang mengatur mengenai
penerimaan dan juga pengeluaran negara. Sumber-sumber penerimaan negara
diantaranya yaitu pajak, penerimaan bukan pajak, serta bantuan ataupun pinjaman
dalam dan luar negeri. Sedangkan pengeluaran dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
pengeluaran bersifat rutin, misalnya yaitu membayar gaji pegawai, belanja ataupun
pengeluaran yang bersifat pembangunan. Oleh karena itu kebijakan fiskal memang
sangat penting bagi suatu pemerintahan. Untuk itu kebijakan fiskal memang harus
diperhatikan dengan benar.
2.3 Pengertian dari Peran Masyarakat dalam Pelaksanaan Kebijakan

Konsep partisipasi memiliki banyak penekanan makna. Namun secara gramatikal,


partisipasi berarti “turut berperan serta dalam suatu kegiatan”, “keikutsertaan atau peran
serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan”.
Partisipasi sebagai suatu konsep dalam pengembangan masyarakat, digunakan secara
umum dan luas. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, partisipasi adalah perihal
turut berperan serta dalam suatu kegiatan (keikutsertaan).Sedangkan dalam kamus
sosiologi partisipasi adalah setiap proses identifikasi atau menjadi peserta suatu proses
komunikasi atau kegiatan bersama dalam suatu situasi sosial tertentu.

Keith Davis mendefinisikan partisipasi sebagai “keterlibatan mental atau pikiran


atau moral atau perasaan di dalam situasi kelompok yang mendorong untuk
memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut

5
bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan”. Sementara Verhangen
mendefinisikan partisipasi sebagai “bentuk keikutsertaan atau keterlibatan seseorang
(individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu”.

Prakoso mengemukakan bahwa “di negara-negara demokrasi, partisipasi warga


dalam proses kebijakan merupakan hal yang lazim. Partisipasi publik dalam proses
kebijakan tidak hanya merupakan cermin demokrasi yang paling nyata dalam
kehidupan sehari-hari melainkan juga bermanfaat bagi pemerintah

Partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan membantu pemerintah mengatasi


persoalan dalam penentuan prioritas kebijakan. Selain itu, karena masyarakat terlibat
dalam proses kebijakan, dengan antusias masyarakat memberikan dukungan terhadap
pelaksanaan kebijakan. Bahkan masyarakat berharap agar implementasi kebijakan
berhasil baik.

Adanya partisipasi masyarakat dapat menunjukkan tingkat dukungan masyarakat


terhadap kebijakan publik. Dengan adanya partisipasi masyarakat yang tinggi, maka
kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada kepentingan
masyarakat, sesuai dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 serta tidak
menyimpang dari peraturan perundang-undangan.

Menurut Mustopadidjaja, “implementasi merupakan tahapan dalam policy


cycle (lingkaran kebijakan) dari keseluruhan proses kebijakan yang berlangsung dalam
suatu policy sistem (sistem kebijakan) yang kompleks dan dinamik, serta akan
menentukan berhasil atau gagalnya suatu kebijakan”.

Partisipasi masyarakat dalam hal implementasi kebijakan itu akan meliputi


partisipasi dalam sumber daya, partisipasi dalam administrasi dan koordinasi, dan
partisipasi dalam kegiatan program pembangunan. Dalam implementasi kebijakan-
kebijakan negara yang diperankan pemerintah, masyarakat dapat diajak berpartisipasi
dengan jalan menyumbangkan tenaga atau harta kepada program-program
pembangunan yang biasanya bersifat fisik.

6
Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat dan representasi dari terealisasinya
pemerintahan yang demokratis. Partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan
merupakan cara efektif untuk mencapai pola hubungan setara antara pemerintah dan
rakyat. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan membantu pemerintah
mengatasi persoalan dalam penentuan prioritas kebijakan. Partisipasi masyarakat
terhadap implementasi kebijakan publik merupakan proses dan wujud partisipasi politik
masyarakat dalam kehidupan kenegaraan. Kebijakan publik tidak akan terlaksana
secara efektif jika tidak ada partisipasi dari masyarakat. Adanya partisipasi masyarakat
dapat menunjukkan tingkat dukungan masyarakat terhadap kebijakan publik. Partisipasi
masyarakat dalam implementasi kebijakan sangat diperlukan, karena berhasil tidaknya
kebijakan antara lain ditentukan eleh partisipasi aktif masyarakat dari seluruh
masyarakat. Untuk itu partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan publik,
baik dalam bentuk sumbangan berupa uang atau harta benda, tenaga, termasuk ikut
melaksanakan apa yang telah diputuskan bersama mutlak diperlukan.

Untuk mengoptimalkan pengembangan partisipasi masyarakat dalam


implementasi kebijakan publik di era otonomi daerah dalam kerangka pembangunan
daerah, ada beberapa strategi yang perlu dilakukan. Pertama, meningkatkan
kemampuan masyarakat mendayagunakan kelembagaan-kelembagaan lokal sebagai
instrumen partisipasi, sesuai dengan budaya mereka. Kedua, mendorong hadir dan
berfungsinya lembaga-lembaga kontrol sosial berbasis masyarakat, yang memiliki
kedudukan strategis dan independen untuk mengawal proses implementasi kebijakan
publik dalam kerangka pembangunan di daerah.Ketiga, pemerintah daerah hendaknya
memberikan informasi yang komprehensif tentang partisipasi dalam implementasi
kebijakan publik dalam kerangka pembangunan daerah yang dapat dilakukan oleh
masyarakat dan memberikan kemudahan bagi masyarakat berpartisipasi. Dalam hal ini,
diperlukan program-program sosialisasi, diseminasi informasi melalui sarana
komunikasi massa, dan sebagainya.

7
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Proses Pelaksanaan Kebijakan oleh Masyarakat
3.1.1 Urgensi Partisipasi dalam Implementasi Kebijakan

Dalam suatu negara hukum yang demokratis, penyelenggaraan


pemerintahan senantiasa dilakukan melalui kebijakan publik. Proses kebijakan
publik dalam konteks negara hukum demokratis menghendaki keterlibatan unsur
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat luas, yang didasari dan disemangati
nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban yang luhur, serta diselenggarakan dengan
mengindahkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan bersih
(good and clean government). Dalam makna yang demikian, suatu kebijakan
publik akan menjadi tidak bermakna bagi masyarakat manakala dalam proses
perumusan maupun implementasinya tanpa melibatkan adanya partisipasi
masyarakat.

Dalam negara demokrasi, partisipasi masyarakat dalam segala aspek


sangat diperlukan, terutama dalam penentuan kebijakan publik, sebagai wujud
tugas pemerintah dalam proses pembangunan. Dengan kata lain, partisipasi
masyarakat menjadi mutlak dalam rangka menjalankan prinsip demokratisasi
pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, konsep partisipasi
masyarakat merupakan salah satu konsep yang penting karena berkaitan langsung
dengan hakikat demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfokus pada rakyat
sebagai pemegang kedaulatan. Hal demikian juga telah ditegaskan Huneryager
dan Hecman, bahwa dalam proses demokratisasi, ada dua jalan terpenting menuju
demokrasi, yakni jalan yang terfokus pada kompetisi dan jalan yang terfokus pada
partisipasi.

Untuk mendukung pelaksanaan manajemen pembangunan yang


diperankan pemerintah melalui instrumen kebijakan publik, upaya mutlak yang
harus dilakukan adalah peningkatan kapasitas aparat pemerintahan serta
organisasi civil society agar dapat mengambil peranan yang tepat dalam interaksi
demokratis serta proses kebijakan secara komprehensif. Untuk itu peran serta
8
masyarakat langsung sangat diperlukan dan perlu terus diperkuat serta diperluas.
Dengan demikian istilah partisipasi tidak menjadi sekedar retorika semata tetapi
diaktualisasikan secara nyata dalam berbagai kegiatan dan pengambilan serta
implementasi kebijakan publik. Keberhasilan pemerintahan dalam jangka panjang
tidak hanya bergantung pada kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diberikan,
tetapi juga atas ketertarikan, keikutsertaan, dan dukungan dari masyarakatnya.

Berdasarkan hal di atas, tak terbantahkan bahwa partisipasi masyarakat


merupakan prasyarat dan representasi dari terealisasinya pemerintahan yang
demokratis. Sebagai konsekuensinya, penyediaan ruang bagi partisipasi publik
yang seluas-luasnya menjadi suatu keharusan bagi pemerintah dalam proses
kebijakan. Partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan – yang
mengikat seluruh warga – adalah cara efektif untuk mencapai pola hubungan
setara antara pemerintah dan rakyat. Terkait hal ini, Prakoso mengemukakan
bahwa “di negara-negara demokrasi, partisipasi warga dalam proses kebijakan
merupakan hal yang lazim. Partisipasi publik dalam proses kebijakan tidak hanya
merupakan cermin demokrasi yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari
melainkan juga bermanfaat bagi pemerintah”. Partisipasi masyarakat dalam proses
kebijakan membantu pemerintah mengatasi persoalan dalam penentuan prioritas
kebijakan. Selain itu, karena masyarakat terlibat dalam proses kebijakan, dengan
antusias masyarakat memberikan dukungan terhadap pelaksanaan kebijakan.
Bahkan masyarakat berharap agar implementasi kebijakan berhasil baik.

Adanya partisipasi masyarakat terhadap implementasi kebijakan publik


merupakan wujud nyata dukungan masyarakat terhadap pemerintah. Partisipasi
masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan publik merupakan proses dan wujud
partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan kenegaraan. Kebijakan publik
tidak akan terlaksana secara efektif jika tidak ada partisipasi dari masyarakat.
Perlu disadari bahwa setelah kebijakan publik terbentuk sering kali kebijakan
publik yang terdapat dalam masyarakat tidak sesuai dengan harapan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, setiap kebijakan publik yang
dikeluarkan oleh pemerintah diupayakan mendapatkan dukungan masyarakat.

9
Adanya partisipasi masyarakat dapat menunjukkan tingkat dukungan masyarakat
terhadap kebijakan publik. Dengan adanya partisipasi masyarakat yang tinggi,
maka kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada
kepentingan masyarakat, sesuai dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945
serta tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan.

Partisipasi masyarakat dalam tahap implementasi kebijakan diartikan


sebagai pemerataan sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga, kerja, uang
tunai dan atau bentuk lainnya yang sepadan dengan manfaat yang akan diterima
oleh warga yang bersangkutan. Dalam proses pembangunan, tahap implementasi
sebagai kelanjutan dari proses perencanaan akan menentukan apakah suatu
kebijaksanaan atau program pembangunan dapat terwujud sesuai dengan
perencanaan dan perwujudannya mencapai hasil sesuai dengan tujuan suatu
program pembangunan berupa peningkatan kesejahteraan.

Menurut Mustopadidjaja, “implementasi merupakan tahapan dalam policy


cycle (lingkaran kebijakan) dari keseluruhan proses kebijakan yang berlangsung
dalam suatu policy sistem (sistem kebijakan) yang kompleks dan dinamik, serta
akan menentukan berhasil atau gagalnya suatu kebijakan”. Selanjutnya Fadillah
Putra menegaskan bahwa “salah satu tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan
terletak pada proses implementasinya. Dari kedua pendapat di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kebijakan tidak akan sukses, jika dalam pelaksanaannya tidak
ada kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan”. Karena itu hubungan antara
perencanaan dan pelaksanaan sangat erat. Masalah perencanaan rencana sudah
harus dipertimbangkan pada waktu menyusun rencana. Hal ini dilakukan agar
terdapat jaminan keberhasilan dalam merealisasikan tujuan dan sasaran rencana.

Partisipasi masyarakat dalam hal implementasi kebijakan itu akan meliputi


partisipasi dalam sumber daya, partisipasi dalam administrasi dan koordinasi, dan
partisipasi dalam kegiatan program pembangunan. Dalam implementasi
kebijakan-kebijakan negara yang diperankan pemerintah, masyarakat dapat diajak
berpartisipasi dengan jalan menyumbangkan tenaga atau harta kepada program-
program pembangunan yang biasanya bersifat fisik. Partisipasi masyarakat dalam

10
implementasi kebijakan sangat diperlukan, karena berhasil tidaknya kebijakan
antara lain ditentukan eleh partisipasi aktif masyarakat dari seluruh masyarakat.
Untuk itu partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan publik, baik
dalam bentuk sumbangan berupa uang atau harta benda, tenaga, termasuk ikut
melaksanakan apa yang telah diputuskan bersama mutlak diperlukan.

Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam kebijakan memegang


peranan penting untuk menjamin keberlanjutan masa depan kebijakan itu sendiri.
Ketika pemerintah sebagai representasi negara yang menjadi leading sector suatu
kebijakan tidak bisa lagi menyediakan sumber daya yang diperlukan karena
keterbatasan potensi maupun kapasitas, maka keberadaan elemen lain di luar
negara, seperti masyarakat bisa menjadi tumpuan sekaligus menyediakan
dukungan sumber daya alternatif. Untuk mewujudkan partisipasi tersebut, perlu
dikembangkan sebuah kemitraan atau partnership sebagai suatu hubungan yang
terjadi antara civil society, pemerintah dan atau sektor swasta dalam rangka
mencapai suatu tujuan yang didasarkan pada prinsip kepercayaan, kesetaraan dan
kemandirian.

3.1.2. Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Proses Implementasi


Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah

Penerapan sistem desentralisasi dalam era otonomi memberikan dampak


positif kepada masyarakat, yakni meningkatnya kesadaran politik masyarakat
terutama dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan publik. Dalam
kerangka yang demikian, pemerintah harus memberikan ruang dan peran yang
besar bagi keterlibatan politik masyarakat secara aktif dalam penyelenggaraan
negara, bahkan masyarakat berhak bahkan wajib berpolitik untuk menentukan
haluan negara membuat Undang-undang dan mengawasi pelaksanaan kekuasaan
negara. Peningkatan partisipasi publik ini pada akhirnya mengakibatkan pola-pola
hubungan antara negara dan masyarakat telah mengalami pergeseran yang
signifikan.

11
Dalam hal implementasi kebijakan publik, pergeseran tersebut dapat
dilihat dari semakin berkembangnya pendekatan partisipatif dan kemitraan dalam
pelaksanaan kebijakan di daerah. Masyarakat menjadi subjek dan penentu proses
kebijakan yang lebih besar. Dengan pendekatan demikian memperlihatkan adanya
penguatan relasi antara hak asasi dan kebijakan publik dalam kerangka
pembangunan. Terkait hal ini, Sutoro Eko menegaskan, pergeseran cara pandang
ini lebih mengedepankan penguatan relasi baru antara hak asasi dan pembangunan
yang melahirkan pendekatan pembangunan berbasis hak (rights-based approach
to development). Pada saat yang sama, pertautan antara partisipasi dan tata
pemerintahan yang baik (good governance) melahirkan semangat baru dalam
partisipasi warga (citizenship participation). Partisipasi warga merupakan hak
fundamental warga negara dalam proses pembangunan dan sekaligus sebagai
prasyarat bagi pembentukan hak-hak lainnya.

Hubungan yang seimbang antara pemerintah dan masyarakat tidak hanya


manifestasi dari  pelaksanaan otonomi daerah, tetapi model hubungan yang
demikian itu juga merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat untuk membangun
tata pemerintahan yang baik, sehingga memudahkan pencapaian  kemajuan
pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam membangun
sinergi peran dan tanggung jawab kedua belah pihak, diperlukan komunikasi yang
intensif dan transparan melalui berbagai saluran, sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan yang
dimotori oleh pemerintah daerah.

Fenomena di atas menunjukkan adanya pertentangan tak terelakkan


antara : (a) tujuan efisiensi birokrasi dan persyaratan demokrasi berupa partisipasi
dan debat, dan (b) peran pengambilan kebijakan politik dan tugas administratif
birokrat pemerintahan, sebagaimana ditesiskan Newton dan van Deth. Keadaan
inilah yang pada akhirnya mendorong gelombang pembaruan “Manajemen Publik
Baru” (New Public Management) dengan salah satu arah utama adalah mengubah
kultur kinerja birokrasi pemerintahan yang tadinya kaku, hierarkis, tidak ramah,
dan terikat aturan menjadi instansi yang fleksibel, bertanggung jawab, dan ramah

12
yang tanggap terhadap tuntutan warga. Dalam konteks ini, pembaruan
“Manajemen Publik Baru” menghendaki adanya partisipasi masyarakat sebagai
suatu keharusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan untuk itu birokrasi
pemerintahan harus mendorong dan menggalakkan adanya pelibatan partisipasi
masyarakat dalam setiap tahapan proses kebijakan publik.

Perlunya keterlibatan masyarakat ini dianggap sangat penting, karena


penentuan kebijakan publik yang terlalu menekankan peranan pemerintah
birokrasi (bercirikan top down) mendapat kritikan tajam, dimana kurang peka
terhadap kebutuhan lokal. Selain itu, dalam implementasinya partisipasi yang
berkembang di beberapa daerah di Indonesia cenderung bersifat terbatas, elitis,
serta keterbatasan kapasitas serta terjadi asimetris informasi. Hal ini terjadi karena
kurangnya informasi tentang kebijakan kepada masyarakat akibat dari kurang
berjalannya sosialisasi kebijakan.

Untuk mengembangan partisipasi masyarakat dalam implementasi


kebijakan publik di era otonomi daerah diperlukan beberapa prasyarat antara lain:

1. Inisiatif pemerintah daerah. Salah satu hakekat diberlakukannya


desentralisasi adalah agar proses penyelenggaraan negara dapat lebih
efektif dan responsif serta terciptanya good governance. Untuk mengawal
tercapainya tujuan tersebut maka diperlukan partisipasi masyarakat.
Sementara itu, partisipasi masyarakat akan sulit terbangun apabila tidak
ada inisiatif Pemerintah Daerah untuk membuka ruang partisipasi tersebut.
Sebagai contoh, berkembang-luasnya partisipasi masyarakat di daerah
Karnataka, India, antara lain disebabkan oleh adanya inisiatif pemerintah
daerah tersebut untuk mengembangkan partisipasi masyarakat. 
2. Good societal governance. Seringkali peran serta masyarakat ”diwakili”
oleh lembaga swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga sosial lainnya.
Namun, para aktor tersebut dalam menjalankan perannya belum tentu
betul-betul merepresentasikan kepentingan masyarakat yang
sesungguhnya. Dalam prakteknya, peluang partisipasi masyarakat dapat
dimanfaatkan oleh oknum ”aktivis masyarakat” untuk mendapatkan

13
keuntungan finansial dari pemerintah maupun para donor. Untuk itu, harus
ada advokasi good societal governance yang dapat dijadikan prinsip
bersama dalam penyelenggaraan negara.
3. Membangun kepedulian dan pelatihan masyarakat. Sesuai dengan prinsip
good governance, stakeholder penyelenggara negara bukan hanya
pemerintah tetapi juga masyarakat dan dunia usaha. Khusus partisipasi
masyarakat diperlukan kepedulian (awareness) dan kemampuan
masyarakat dalam memahami proses partisipasi serta substansi bidang
yang dipartisipasikan. Oleh karena itu, diperlukan pembangunan
kepedulian warga dan pelatihan warga.

Selanjutnya, untuk mengoptimalkan pengembangan partisipasi masyarakat


dalam implementasi kebijakan publik di era otonomi daerah dalam kerangka
pembangunan daerah, ada beberapa strategi yang perlu dilakukan :

1. Meningkatkan kemampuan masyarakat mendayagunakan kelembagaan-


kelembagaan  lokal sebagai instrumen partisipasi, sesuai dengan budaya
mereka.
2. Mendorong hadir dan berfungsinya lembaga-lembaga kontrol sosial
berbasis masyarakat, yang memiliki kedudukan strategis dan independen
untuk mengawal proses implementasi kebijakan publik dalam kerangka
pembangunan di daerah.
3. Pemerintah daerah hendaknya memberikan informasi yang komprehensif
tentang berbagai kebijakan yang telah diimplementasikan kepada
masyarakat dan membuka ruang dan kemudahan yang sebesar-besarnya
bagi keterlibatan masyarakat dalam implementasi kebijakan publik
tersebut Dalam hal ini, diperlukan program-program sosialisasi,
diseminasi informasi melalui sarana komunikasi massa, dan sebagainya.

14
3.2 Dampak Tidak Berpartisipasinya Masyarakat dalam Pelaksanaan Kebijakan
Berikut adalah dampak atau akibat tidak adanya partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan kebijakan.
1. Perumusan kebijakan publik tidak akan memenuhi hak-hak rakyat secara
menyeluruh.
2. Kebijakan publik bisa jadi tidak seusai dengan kebutuhan dan keinginan
masyarakat.
3. Kebijakan publik tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya masyarakat.
4. Aspirasi masyarakat tidak tersalurkan.
5. Pemikiran-pemikiran masyarakat tidak tersampaikan.
6. Penyelenggaraan pemerintah daerah tidak berjalan sesuai harapan.
3.3 Keterkaitan Antara Demokratisasi dalam Kontek Desentralisasi dengan Partisipasi
Masyarakat
3.3.1 Lingkungan Pendukung

a) Peran Pemerintah
Aspek Regulasi. Terkait dengan regulasi, kenyataan yang ditemukan
menunjukkan bahwa berbagai regulasi di tingkat pusat dan daerah direspon secara
beragam oleh kalangan OMS (Organisasi Masyarakat Sipil). Masalah-masalah yang
ditemui dalam kaitannya dengan regulasi antara lain: (1) kurang maksimalnya
sosialisasi yang dilakukan sehingga regulasi tidak dipahami secara proporsional
oleh kalangan aktivis OMS; (2) konsistensi penegakan aturan yang beragam di
berbagai daerah khususnya sejak era pasca Orde Baru (era reformasi) dimana ada
aturan yang diabaikan sementara di pihak ada aturan yang berusaha ditegakkan
namun tidak direspon secara sama dan konsisten oleh aparat pemerintah di daerah,
bahkan termasuk oleh kalangan LSM sekalipun; (3) adanya variasi implementasi
berbagai aturan pada setiap daerah yang disesuaikan dengan lingkungan sosial
politik di daerah bersangkutan.
Aspek Partisipasi. Dalam hal peran pemerintah untuk menciptakan ruang
partisipasi yang terbuka, pada umumnya di berbagai daerah dikritik oleh kalangan
LSM. Jika diletakkan dalam kerangka pembangunan demokrasi dan upaya

15
pengembangan masyarakat sipil, menurut mereka, ruang partisipasi yang diberikan
kepada warga itu sebenarnya masih terbatas, bukan partisipasi yang memberikan
posisi warga secara bersifat otonom, tetapi lebih pada konteks partisipasi yang
meletakkan posisi warga sebagai objek atau justifikasi belaka. Meskipun banyak
yang mengakui bahwa dibanding era Orde Baru, kondisi partisipasi yang
berkembang sekarang lebih baik, namun hal itu dinilai masih sesuai yang
diharapkan.
Aspek Pendanaan dan Pemberdayaan. Dalam banyak hal, dana
pemerintah jumlahnya banyak dikiritik oleh kalangan OMS khususnya LSM karena
dianggap terlalu mensyaratkan prosedur yang rumit untuk memperoleh-nya. Selain
itu, hanya LSM tertentu terutama yang ada kaitannya dengan pejabat pemda yang
memperoleh dana. Tetapi, alasan utama yang membuat sumber pendanaan dari
pemerintah tersebut juga tidak menarik perhatian OMS, karena ada kecurigaan dan
kekhawatiran akibatnya hanya akan mengganggu dan menghambat aktivitas kritis.
Terkait dengan program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh
pemerintah, oleh banyak kalangan OMS pola pendekatannya dianggap masih
menggunakan pendekatan “proyek”, bukan pada substansi sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Hal ini mengakibatkan program pemberdayaan dan dana pemerintah
tidak hanya ditolak namun bahkan ditentang oleh banyak OMS yang menuntut agar
yang dijadikan penekanan adalah pendekatan partisipatif dengan melibatkan suara
dan perwakilan masyarakat yang sesungguhnya yang lebih dekat dengan aktivitas
dan dapat ditangkap lebih mendalam oleh OMS.
Akses Informasi. Dalam hal akses informasi, kalangan LSM umumnya
menganggap masih terbatas. Umumnya kalangan OMS menganggap bahwa
pemerintah kurang menunjukkan keterbukaan ketika mereka hendak mengakses
infromasi yang dibutuhkan. Dalam mengakses informasi-informasi publik
katakanlah seperti anggaran, kalangan OMS kebanyakan merasa menghadapi
kesulitan. Jika akhirnya mereka memperoleh informasi, lebih sering menggunakan
pendekatan personal dengan pemerintah.

16
b) Peran Masyarakat
Secara umum di berbagai daerah kenyataan yang ditemukan menunjukkan
bahwa kepercayaan (trust) masyarakat terhadap OMS masih tetap bertahan. Meski
demikian, ada hal yang menarik juga perlu dicatat yaitu bahwa di banyak daerah
tertentu di sisi lain justeru tidak dapat juga diabaikan terdapatnya gejala adanya
degradasi atau distrust yang menunjukkan terjadinya kemerosotan kepercayaan
masyarakat terhadap OMS khususnya LSM. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai
lokal yang ada di suatu masyarakat, pada kenyataannya nilai-nilai tersebut ada yang
mendukung perkembangan masyarakat sipil dan di sisi lain ada pula yang sifatnya
menghambat. Kondisi lingkungan lainnya yang tidak kondusif dalam mendorong
pertumbuhan dan kontribusi peran OMS adalah bersumber dari hubungan di antara
sesama OMS atau LSM sendiri yang dalam banyak hal juga diwarnai oleh adanya
saling kecurigaan, pengelompokan, dan persaingan di antara mereka. Hal ini
diindikasikan antara lain dengan adanya kecenderungan untuk memetakan diri pada
forum kerja yang dibentuk sendiri-sendiri, dan gambaran itu merupakan bentuk
koalisi yang berbeda-beda. Kondisi lingkungan yang juga tidak kondusif bagi peran
LSM di Indonesia adalah bersumber dari hubungan pemerintah dan masyarakat
sipil yang masih diwarnai adanya “distrust”. Di banyak daerah, berkembang
pandangan umum dari kalangan pemerintah berdasarkan hasil wawancara dari nara
sumber Kesbangpol dan Bappeda yang melihat LSM sebagai unsur masyarakat
yang seringkali mengganggu pemerintah. Pemerintah menganggap OMS bekerja
tanpa konsep dan hanya sebagai tukang demo saja. Sementara di pihak LSM
berkembang pandangan miring juga dengan menganggap bahwa pemerintah telah
gagal dalam mewujudkan pembangunan masyarakat sipil.

3.3.2 Kapasitas Internal

a) Otonomi
Bagian ini berisi tentang generalisasi yang bisa ditarik dari aspek
otonomi dari perkembangan dan dinamika organisasi masyarakat sipil, yang
terdiri dari kemampuan organisasi masyarakat sipil untuk mengambil sikap yang
mandiri, bebas dari intervensi pemerintah atau pihak-pihak eksternal,

17
kemampuan mengorganisir diri dan mengelola sumber daya secara sukarela, dan
kemampuan membangun jaringan dengan sesama organisasi masyarakat sipil, baik
yang ada di daerah maupun dengan entitas masyarakat sipil di tingkat nasional
dan internasional.Aktivis-aktivis dan tokoh-tokoh LSM setuju bahwa LSM
seharusnya menjadi lembaga mandiri, yang mampu bersikap tanpa campur
tangan eksternal. Akan tetapi, kemandirian LSM di Indonesia masih menghadapi
kendala dalam hal: (1) kemampuan mengorganisir diri secara profesional; (2)
kemampuan membangun jaringan dengan lembaga-lembaga sejenis; (3)
kemampuan mendorong voluntarisme; dan (4) kemampuan dalam pendanaan.
Khusus untuk volunterisme para pengurus, motif pembentukan LSM
menjadi faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya volunterisme. Pada
LSM-LSM yang dibentuk dengan semangat ideal normatif, sikap
voluntarisme itu masih tinggi. Selain itu, lingkungan sosial politik di setiap
daerah juga mempengaruhi tinggi rendahnya sikap volunterisme dari pengurus-
pengurus LSM.
b) Keswadayaan
Bagian ini berisi tentang kemampuan organisasi masyarakat
sipil untuk melaksanakan aktivitas dengan pendanaan sendiri, yang berkaitan
dengan penggalangan aksi partisipasi secara volunter, penggalangan dana dari
pengurus, anggota, atau konstitueen, dukungan dana kemitraan dengan
pemerintah, dukungan dana kemitraan dengan donor lain dan donor
internasional, serta dukungan dana fund raising yang dilakukan dari usaha-usaha
mandiri organisasi masyarakat sipil bersangkutan. Pada dasarnya keswadayaan
sebagai sesuatu yang bersumber dari kemampuan OMS dalam upaya
menggalang dukungan masyarakat, termasuk pengurus demi keberlanjutan
aktivitasnya. Namun, hal ini menjadi persoalan yang sulit
sebagaimana yang terugkap pada kebanyakan OMS yang menjadi objek
penelitian, dan mungkin saja untuk sebagian besar OMS di Indonesia. Masalah
utama OMS dari segi keswadayaan antara lain dukungan voluntarisme. Sebab
kenyataannya dalam mendorong berkembangnya volunterisme masya-rakat adalah

18
bahwa kemungkinan-nya amat tergantung pada ideologi dan pilihan peran sosial
LSM sendiri yang kemudian diidentifikasikan oleh masyarakat.
c) Keswasembadaan
Persoalan yang dihadapi adalah bahwa faktor swasembada
direspon secara berbeda-beda oleh kalangan OMS. Dalam hal ini
kelihatannya belum ada kesepahaman di kalangan OMS tentang perlu
tidaknya syarat kapasitas keswasembadaan. Dalam kenyataan yang ditemui,
beberapa daerah memiliki sejumlah LSM yang berhasil membangun
keswasembadaan, sementara pada beberapa daerah lain tidak ditemukan adanya
LSM yang swasembada.

3.3.3 Peran Organisasi Masyarakat Sipil

a) Pengawasan Terhadap Negara


Para aktivis organisasi masyarakat sipil dan LSM menyadari peran
sosial mereka sebagai pengawas negara. Asumsi yang diterima secara
umum adalah kekuasaan negara yang berada di tangan pemerintah
seharusnya dibatasi dengan berbagai instrumen, termasuk pembatasan oleh
masyarakat dengan pengawasan melalui media massa dan LSM. Akan tetapi
dalam implementasinya, terdapat perbedaan pola dan bentuk pengawasan,
dimana hal ini berkaitan dengan kondisi aktual sosial politik daerah
tersebut. Di Mataram, dalam mendorong peran LSM untuk
mengawasi pemerintah dalam proses pembuatan regulasi, LSM-LSM
lokal menggunakan jaringan nasional yang mereka miliki secara
individual. Selain itu, juga dikembangkan semangat bahwa LSM bukanlah teman
pemerintah, tetapi mitra rakyat. Secara tidak langsung, LSM-LSM ingin
menunjukkan bahwa aspirasi yang mereka sampaikan merupakan perwujudan
keinginan masyarakat.
b) Peran Advokasi dan Partisipasi Masyarakat
Dalam kegiatan advokasi untuk mendorong partisipasi masyarakat,
terdapat peluang bagi keterlibatan pemerintah dengan dukungan
program dan pendanaan. Bentuk-bentuk mediasi yang dilakukan oleh LSM untuk

19
mendorong partisipasi masyarakat adalah pendampingan, pemberdayaan
masyarakat atau bantuan teknis untuk memperkuat kapasitas masyarakat.
Di Kendari, pemerintah daerah memberikan dukungan pendanaan (meski
dalam jumlah terbatas) untuk kegiatan pendampingan masyarakat oleh
LSM. Di Papua, beberapa dinas teknis menerima usulan program
pendampingan atau pemberdayaan masyarakat dari LSM yang akan
diimplementasikan oleh LSM yang mengusulkan tersebut. Kendala yang paling
umum ditemui dalam menjalankan peran mediator partisipasi dan advokasi
masyarakat adalah: (1) ketersediaan sumber daya di kalangan LSM yang
diakui masih terbatas; (2) kebergantungan sumber pendanaan untuk
melaksanakan program advokasi dan mediator partisipasi masyarakat; dan
(3) kesediaan masyara-kat untuk berpartisipasi dan penerimaan
masyarakat, terutama pada daerah-daerah rural.

20
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pelaksanaan kebijakan secara sederhana adalah pelaksanaan atau penerapan
suatu kebijakan. Pelaksanaan kebijakan bermuara pada aktifitas, aksi, tindakan, atau
mekanisme yang dibingkai pada suatu sistem tertentu. Pelaksanaan kebijakan
merupakan suatu kegiatan terencana yang dilakukan secara sungguh-sungguh
berdasarkan acuan norma tertentu yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam negara demokrasi, partisipasi masyarakat dalam segala aspek sangat
diperlukan, terutama dalam penentuan kebijakan publik, sebagai wujud tugas
pemerintah dalam proses pembangunan. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat
menjadi mutlak dalam rangka menjalankan prinsip demokratisasi pemerintahan.
Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat dan representasi dari
terealisasinya pemerintahan yang demokratis. Sebagai konsekuensinya, penyediaan
ruang bagi partisipasi publik yang seluas-luasnya menjadi suatu keharusan bagi
pemerintah dalam proses kebijakan.
Apabila kurangnya partisipasi masyarakat tehradap proses perumusan
kebijakan dampaknya yaitu perumusan kebijakan publik tidak akan memenuhi hak-
hak rakyat secara menyeluruh.,kebijakan publik bisa jadi tidak seusai dengan
kebutuhan dan keinginan masyarakat, kebijakan publik tidak sejalan dengan nilai-
nilai budaya masyarakat, aspirasi masyarakat tidak tersalurkan, pemikiran-
pemikiran masyarakat tidak tersampaikan, penyelenggaraan pemerintah daerah
tidak berjalan sesuai harapan.
4.2 Saran
Pemerintah daerah hendaknya harus secara konsisten melibatkan masyarakat
dalam proses penyusunan kebijakan, tidak hanya dimomen – momen tertentu saja,
serta memberikan informasi yang komprehensif tentang berbagai kebijakan yang
telah diimplementasikan kepada masyarakat dan membuka ruang dan kemudahan
yang sebesar-besarnya bagi keterlibatan masyarakat dalam implementasi kebijakan
publik tersebut Dalam hal ini, diperlukan program-program sosialisasi, diseminasi
informasi melalui sarana komunikasi massa, dan sebagainya.

21
DAFTAR PUSTAKA

http://tiar73.wordpress.com/2016/12/18/peranan-partisipasi-masyarakat-dalam-

implementasi-kebijakan-publik.html (diakses pada 25 November 2020).

https://www.researchgate.net/publication/324251032_pentingnya_partisipasi_dan_perana

n_kelembagaan_politik_dalam_proses_pembuatan_kebijakan_publik.html

(diakses pada 25 November 2020).

https://bulelengkab.go.id/detail/artikel/teori-partisipasi-konsep-partisipasi-masyarakat-
dalam-pembangunan-menurut-para-ahli-10.html(diakses pada 25
November 2020).
https://bappeda.temanggungkab.go.id/artikel/detail/pentingnya-partisipasi-masyarakat--
dalam--perencanaan-pembangunan.html(diakses pada 25 November 2020).
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/23/17152991/partisipasi-politik-masyarakat-

dalam-pemantauan-pemilu?page=all.html(diakses pada 25 November 2020).

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/507-peran-partai-politik-dalam-
penyelenggaraan-pemilu-yang-aspiratif-dan-demokratis.html(diakses pada 25
November 2020).

22

Anda mungkin juga menyukai