Anda di halaman 1dari 34

ANTIHISTAMIN DALAM DERMATOLOGI

Dr. Retno Indar W, M Si, Sp.KK


Bagian / SMF Kulit dan Kelamin
FK UNDIP / RSUP Dr. Kariadi
Semarang

Absract

Antihistamines play a significant role in dermatology. Many dermatological disorders


involve the role of histamine such as, allergy, pruritus, atopic dermatitis, malignancy, and
autoimmune. A dermatologist needs to know the exact antihistamine selection in overcome
various dermatological disorders.

Until now antihistamine has been progressing. Antihistamine consist of Antihistamine-1


(AH1), Antihistamine-2 (AH2), Antihistamine-3 (AH3), Antihistamine-4 (AH4). Antihistamine-1
(AH1) has been found since 1940 and has been widely used in fighting the allergies.
Antihistamine-2 (AH2) has been found since 1970 and 1980, which is widely used in overcoming
peptic ulcer. Antihistamine-3 (AH3) has been found since 1999, play a role in obesity and CNS
disorders. Antihistamine-4 (AH4) is the most recently discovered in 2000 which contributed in
immunological system on the inflamation process, malignancy, autoimmune and cronic pruritus.

Keywords: Antihistamine, histamine, dermatological disorders

Abstrak

Antihistamin banyak berperan dalam dermatologi. Kelainan dermatologi banyak


melibatkan peran histamin antara lain, alergi, pruritus, dermatitis atopik, keganasan, dan autoimun.
Seorang dokter kulit perlu mengetahui pemilihan antihistamin yang tepat dalam mengatasi
berbagai kelainan dermatologi
Antihistamin hingga saat ini telah mengalami perkembangan. Antihistamin terdiri atas
Antihistamin 1 (AH1), Antihistamin 2 (AH2), Antihistamin 3 (AH3), Antihistamin 4 (AH4).
Antihistamin 1 (AH1) sudah ditemukan sejak tahun 1940 dan telah banyak digunakan dalam
mengatasi alergi. Antihistamin 2 (AH2) ditemukan sejak tahun 1970 dan 1980, yang banyak
digunakan untuk mengatasi ulkus peptikum. Antihistamin 3 (AH3) ditemukan sejak 1999,
berperan dalam obesitas dan gangguan SSP. Antihistamin 4 (AH4) merupakan yang paling baru
ditemukan pada tahun 2000 yang berperan pada sistem immunologi pada proses inflamasi,
keganasan, autoimmun dan pruritus kronik

Kata kunci: Antihistamin, histamine, kelainan dermatologi

1
PENDAHULUAN
Histamin merupakan senyawa amin yang berperan dalam respon imun,
reaksi inflamasi, dan dalam reaksi alergi. Histamin dihasilkan oleh beberapa sel
dalam respon imun, tidak hanya melalui release histamin yang berasal dari stimuli
sel mast atau basofil, tetapi juga sel- sel lain seperti sel platelet, sel dendritik dan
limfosit T yang tidak mengandung histamin di dalam selnya melalui neosintesis
yang dikatalisis oleh enzim histidin dekarkosilase (HDC), yang merupakan bahan
utama sintesis histamin setelah sel-sel tersebut terstimuli.1-4
Efek histamin dimediasi melalui reseptor histamin yaitu reseptor H1, H2,
H3,H4.1-8Aktivasi pada Reseptor histamin 1 akan menyebabkan kontraksi otot
polos vaskuler, kontraksi saluran nafas, peningkatan permeabilitas endotel
vaskular, dan sintesis platelet activating factor. Respon hipersensitifitas tipe cepat
dari reaksi alergi seperti kemerahan, gatal, dan odem merupakan hasil dari
aktivasi histamin pada reseptor histamin 1. Anafilaksis, bronkokonstriksi, dan
urtikaria adalah efek yang dimediasi reseptor histamin 1.1-5
Efek histamin pada reseptor histamin 2 dapat menyebabkan peningkatan
asam lambung, selain itu bersifat antagonis terhadap reseptor histamin 1
menyebabkan terjadinya relaksasi otot polos pembuluh darah, uterus dan saluran
nafas. Efek histamin pada reseptor histamin 3 berfungsi mengatur release
neurotransmitter. Histamin pada reseptor histamin 3 penting dalam mengatur
siklus bangun tidur, mengatur keseimbangan level energi, dan neuroinflamasi.
Histamin pada reseptor histamin 4 berperan sebagai kemoatraktan dalam
imunologi, memacu respon inflamasi dengan release mediator inflamasi seperti
eosinofil, sel mast, monosit, sel dendritic dan sel T dan menyebabkan pruritus.
Reseptor H3 dan H4 mempunyai afinitas yang tinggi terhadap histamin
dibandingkan reseptor H1 dan H2. 1-5,7
Efek histamin dapat dicegah dengan pemberian antihistamin. Antihistamin
1 (AH1) sudah ditemukan sejak tahun 1940 dan telah banyak digunakan dalam
mengatasi alergi. Antihistamin 2 (AH2) ditemukan sejak tahun 1970 dan 1980,
yang banyak digunakan untuk mengatasi ulkus peptikum. Antihistamin 3 (AH3)
ditemukan sejak 1999, berperan dalam obesitas dan gangguan SSP. Antihistamin

2
4 (AH4) merupakan yang paling baru ditemukan pada tahun 2000 yang berperan
pada sistem immunologi pada proses inflamasi, autoimmun dan pruritus kronik.
2,3,

Kelainan dermatologi banyak melibatkan peran histamin antara lain,


alergi, pruritus, dermatitis atopik, keganasan, dan autoimun.2,3,5,7,8 Seorang dokter
kulit perlu mengetahui pemilihan antihistamin yang tepat dalam mengatasi
berbagai kelainan dermatologi

HISTAMIN
Definisi
Histamin merupakan senyawa amin dengan berat molekul rendah yang
disintesis oleh L-Histidine dekarboksilase (HDC). Histamin tidak dapat dihasilkan
oleh jalur enzimatik lainnya. L- Histidine dekarboksilase (HDC) adalah enzim
yang diekspresikan pada berbagai sel di seluruh tubuh, termasuk sistem saraf
pusat, neuron, mukosa gaster, sel parietal, sel mast dan basofil. Histamin
mempunyai efek biologis yang beragam yang dimediasi 4 tipe reseptor histamin.
1-5

Produksi dan Release Histamin


Histamin diproduksi, disimpan di dalam sel mast atau basophil dan dapat
dihasilkan oleh sel hematopoetik dan sel imunologi. Sel-sel hematopoetik atau sel
imunologi dapat melepaskan histamin yang disintesis oleh L-Histidine
dekarboksilase (HDC) apabila sel tersebut teraktivasi. Berikut adalah mekanisme
release histamin:3,5,17

Respon Imunologi
Proses imun merupakan patofisiologi penting dari pelepasan histamin sel
mast dan basofil. Sel-sel ini, jika di disensitisasi dengan antibodi IgE yang
melekat pada membran permukaan, mengalami degranulasi saat terpapar
antigen yang sesuai. Pelepasan histamine membutuhkan energi dan kalsium.
Degranulasi menyebabkan pelepasan histamin, adenosine triphosphate
(ATP), dan mediator lainnya yang tersimpan bersama dalam granula secara

3
bersamaan. Pelepasan histamin oleh mekanisme ini dimediasi dalam reaksi
alergi segera (tipe I), seperti rinitis alergi dan urtikaria akut. Pelepasan yang
dimediasi IgG atau IgM yang mengaktifkan kaskade komplemen juga
melepaskan histamin dari sel mast dan basofil. Histamin juga dihasilkan dan
direlease oleh beberapa sel imun yang terstimuli melalui sintesis enzim
HDC.17

Rangsangan Kimiawi dan Mekanik


Cedera sel mast secara kimiawi dan mekanik menyebabkan degranulasi
dan pelepasan histamin yang dimediasi dengan penurunan influx kalsium
melalui kalsium cannel tipe N pada ujung syaraf. 17

RESEPTOR HISTAMIN DAN EFEK HISTAMIN


Empat reseptor ini berasal dari famili rhodopsin-like dari reseptor G-
protein coupled (GPCR), yang secara berbeda di ekspresikan pada berbagai jenis
sel. Perbedaan reseptor telah dikonfirmasi dengan menggunakan studi
farmakologi dan dengan homolog protein, yang memberi kesan adanya evolusi
gen. Sebagai contoh, H1R dan H2R kurang lebih 35% homolog, sedangkan H3R
dan H4R memiliki hubungan yang lebih erat. 2,9

4
Gambar 2. Efek histamin melalui reseptor histamin.
Efek histamin pada reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, agregasi
platelet, bronkokonstriksi, peningkatan/penurunan produksi sitokin, migrasi sel inflamasi. Efek
histamin pada reseptor H2 menyebabkan peningkatan detak jantung dan kardiak output, sekresi
asam lambung, peningkatan dan penurunan produksi kemokin dan sitokin, dan migrasi sel
inflamasi. Efek histamin pada reseptor H3 berperan dalam aktivasi neurotransmitter. Efek histamin
pada reseptor H4 menyebabkan migrasi sel inflamasi, immunomodulasi, peningkatan dan
penurunan produksi kemokin dan sitokin, dan kemotaksis. Dikutip sesuai kepustakaan no. 9

A. Reseptor Histamin H1 (H1R)


Reseptor Histamin H1 dikode oleh gen intronless, yang terletak pada
kromosom 3p25 dan mengandung 487 asam amino. 56-kd. Reseptor Histamin H1
diekspresikan oleh beragam jenis sel, termasuk neuron, sel otot polos saluran
pernafasan dan vaskuler, hepatosit, kondrosit, sel endotel, DCs, monosit, neutrofil,
dan sel T dan B. Ekspresi gen H1R dapat di upregulated oleh IL-3, IL-4, dan
histamin. Aktivasi H1R menyebabkan kontraksi sel otot polos saluran pernafasan
dan vaskuler, peningkatan permeabilitas sel endotel vaskuler, sintesis prostasiklin
dan faktor aktivasi platelet, dan pelepasan faktor von Willebrand dan nitric oxide.
Respon hipersensitivitas tipe 1 (anafilaksis) yang khas dari reaksi alergi seperti
kemerahan, gatal, dan bengkak, adalah hasil dari aktivasi H1R. Rhinorrhea,
bronkokonstriksi, anafilaksis, konjungtivitis, dan urtikaria adalah efek perifer
penting yang dimediasi H1R, sedangkan efek H1R terkait sentral termasuk
regulasi asupan makanan dan air, kejang, perhatian, dan pengaturan tidur. 3,5,7,9,10

5
B. Reseptor Histamin H2 (HR)
Reseptor Histamin H2 manusia adalah protein 40-kd 359 asam amino
dikode oleh gen intronless yang terletak di kromosom 5q35.5, dan H2R manusia
menunjukkan homolog urutan tinggi (identitas 83% sampai 95%) dibandingkan
spesies lainnya (marmut, tikus, tikus besar, dan anjing). Ekspresi H2R ditemukan
pada berbagai jaringan dan sel, terutama pada sel parietal gaster, juga terdapat
pada sel otak, sel otot polos, sel T dan B, DCs, dan jaringan jantung. H2R
memperlihatkan aktivitas spontan dan konstitutif. H2R dapat menentang efek
H1R tertentu; sebagai contoh, H2R bertanggung jawab untuk relaksasi sel otot
polos di pembuluh darah, uterus, dan saluran pernafasan. Efek yang dimediasi
H2R berupa peningkatan asam lambung, meningkatkan laju jantung dan cardiac
output.3,5,9

C. Reseptor Histamin H3 (H3R)


Reseptor Histamin H3 adalah protein 70-kd 445 asam amino, dan gen ini,
terdiri dari 4 ekson, terletak di kromosom 20q13.33. Pada awalnya, reseptor ini
diidentifikasi atas kemampuannya untuk meregulasi pelepasan histamin dan
neurotransmitter lainnya dan karena itu diklasifikasikan sebagai autoreseptor
presinaps di sistem saraf perifer dan pusat. Reseptor Histamin H3 penting dalam
siklus tidur, kognisi, regulasi homeostasis dari kadar energi, dan neuroinflamasi.
Penemuan ini dikonfirmasi pada ikatan histamine dengan reseptor histamin 3 di
mencit, yang menunjukkan perubahan perilaku dan gerakan serta sindroma
metabolik yang ditandai oleh hiperfagi, obesitas onset lambat, dan peningkatan
kadar insulin dan leptin. Penelitian lain menunjukkan bahwa histamin pada H3R
menyebabkan peningkatan keparahan penyakit neuroinflamasi.3,5,9

D. Reseptor Histamin H4 (H4R)


Reseptor Histamin 4 adalah reseptor histamin yang baru-baru ini
diidentifikasi, dan gen ini mengandung 3 ekson dan 2 intron di kromosom
18q11.2 yang mengkode 390 asam amino H4R manusia. Reseptor Histamin 4
memperlihatkan sifat molekuler dan farmakologi yang mirip dengan yang ada
pada H3R. Akan tetapi, berbeda dengan H3R, ekspresi H4R dalam sumsum tulang

6
dan oleh leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, sel mast, DCs, sel T, dan basofil,
telah dideskripsikan. Reseptor Histamin 4 merupakan chemoattraction sel-sel
yang bersangkutan secara imunologi, seperti eosinofil, sel mast, neutrofil, sel T,
dan DCs, serta mempengaruhi produksi sitokin oleh sel-sel ini. Reseptor Histamin
4 juga telah dibuktikan memainkan peran dalam inflamasi, gangguan autoimun,
pruritus dan kanker, serta pada alergi. Model binatang menggunakan antagonis
H4R selektif telah mendukung peran dari reseptor H4 dalam modulasi respon
inflamasi.3,5,9,11-15
Karakteristik reseptor histamin
Karakteristik Reseptor H1 Reseptor H2 Reseptor H3 Reseptor H4
1966, 1993 1972, 1991 1983, 1999 1999, 2000

Protein reseptor Asam amino 487, Asam amino 445 asam 390 asam amino
pada manusia 56 kD 369, 40 kD amino, 70 kD

Lokasi 3q25, 3p14-21 5, 5q35.3 20, 20q13.33 18q11.2


kromosom

Ekspresi Otot polos saluran Sel parietal Saraf Sumsum tulang,


reseptor napas dan vascular, mukosa gaster, sel hematopoetik
otot polos,
jantung
Struktur gen Intronles Intronles 3 introns 2 introns

Aktivasi sinyal Ca 2+↑, cGMP, NF- cAMP↑, Ca 2+, Ca 2+↑, MAP Ca 2+↑, MAP
intraseluler kB, PLC↑, protein kinese kinase↑, kinase↑,
phospholipase A2, C, c-fos, phos- hambatan hambatan cAMP↓
dan D, cAMP, pholipase cAMP↓
NOS
Dikutip sesuai kepustakaan no. 5

ANTIHISTAMIN
1. Antihistamin 1 (AH1)
Farmakologi
Efikasi antihistamin 1 generasi pertama dan kedua pada terapi pasien
alergi adalah serupa, walaupun berbeda pada struktur kimawi, farmakologi, dan
potensial toksik. Pengetahuan mengenai karakteristik farmakokinetik dan
farmakodinamik perlu dipelajari berkaitan dengan penggunaan klinis obat-obatan
ini, khususnya pada individu tua, wanita hamil dan pasien dengan komorbiditas.10

7
Tabel 3. Farmakologi klinik: pada AH1 oral generasi kedua
Farmakokinetik
Absorbsi: Maksimum serum konsentrasi mencapai 0,8-3 jam
Metabolisme: Rentang metabolism minimal( fexohenadine) sampai yang panjang( desloratadin
atau rupatadin)
Eliminasi: Eliminasi terminal waktu paruh dengan rentang 6-27 jam
Farmakokinetik: sangat minimal dipengaruhi oleh umur, disfungsi liver dan renal
Interaksi klinis jarang terjadi dengan obat lain seperti obat, makanan atau herbal
Farmakodinamik
Penelitian dengan adanya supresi terjadinya urtika dan kekambuhannya
Penelitian dengan adanya supresi gejala alergi pada rhinitis alergika dan konjungtivitis alergika
Lama kerja 0,7-2,6 jam
Potensi aksi 75%-100%
Afinitas reseptor: Penelitian pada beberapa AH1 generasi kedua
Dikutip sesuai kepustakaan no. 2

Farmakodinamik
Antihistamin 1 (AH1) menghambat efek histamin pada pembuluh darah,
bronkus dan otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensivitas. Peningkatan permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin,
dapat dihambat dengan efektif oleh AH1. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi
alergi berkurang dengan pemberian AH1, Efektifitas AH1 melawan beratnya
reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat
histamin.AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain
akibat histamin. 2,8,10,16

Farmakokinetik.
Absorbsi
Kebanyakan antihistamin H1 memiliki absorbsi yang baik saat diberikan
secara oral, karena kebanyakan antihistamin H1 mencapai konsentrasi plasma
efektif dalam tiga jam setelah pemberian. Efeknya timbul 15-30 menit setelah
pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 generasi 1 setelah
pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam, sedangkan antihistamin 1 generasi II
memiliki masa kerja yang lebih panjang sekitar 24 jam. Difenhidramin yang
diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira
2 jam, dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya, kemudian
dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam. Kadar tertinggi terdapat pada

8
paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan kulit kadarnya lebih
rendah. 10,16
Pemberian obat-obat AH1 dengan konsumsi makanan tertentu dapat
mengubah kadar konsentrasi plasma. Hal ini disebabkan oleh keberadaan
mekanisme transporting aktif dari membran sel. Mekanisme yang paling terkenal
adalah P glycoprotein (gP) dan organic anions transporting polypeptides (OATP).
Glikoprotein dan polipeptida ini ditemukan di membran sel dan berfungsi sebagai
sistem transporting aktif untuk molekul lain, yang menunjukkan afinitas mereka.
P glycoprotein (gP) dan organic anions transporting polypeptides (OATP)
bertindak sebagai elemen penting dalam absorpsi dan/atau klirens beberapa
obatdan detoksifikasi jaringan, tergantung pada apakah sistem transporting ini
terletak di membran sel dari epitel usus (absorbsi obat) atau di sistem saraf pusat
(blood-brain barrier, BHL) atau ginjal (ekskresi), untuk melakukan detoksifikasi
obat.10,16

Hanya sedikit antihistamin yang merupakan substrat sistem transporting


ini, seperti fexofenadine. Akan tetapi, obat-obat lain, seperti desloratadine,
penyerapan usus mereka tidak dipengaruhi oleh sistem transporting. Variasi
dalam bioavailabilitas dari beberapa antihistamin telah dicatat. antihistamin,
seperti fexofenadine, dikonsumsi dengan makanan yang berfungsi sebagai
substrat glikoprotein, seperti anggur atau jus jeruk, atau dengan obat-obat yang
juga memiliki sifat ini, seperti verapamil, cimetidine, dan probenecid, variasi
dalam bioavailabilitas mereka telah dicatat.10,16

Metabolisme dan Ekskresi


Kebanyakan AH1 dimetabolisme dan di detoksifikasi di hepar oleh
sekelompok enzim yang berasal dari sistem sitokrom p450 (CYP). Hanya
acrovastine, cetirizine, levocetirizine, fexofenadine, dan desloratadine yang
menghambat lintasan metabolisme ini. Cetirizine dan levocetirizine dieliminasi
melalui urine, sedangkan fexofenadine dieliminasi melalui feses, setelah ekskresi
empedu, tanpa perubahan metabolik. Antihistamin H1 lainnya diubah di hepar

9
menjadi metabolit aktif atau inaktif, dimana konsentrasi plama mereka bergantung
pada aktivitas sistem CYP. Aktivitas ini, pada gilirannya, ditentukan secara
genetik; oleh karena itu, beberapa individu memiliki aktivitas intrinsik tinggi dari
jalur ini, sementara yang lain menunjukkan penurunan aktivitas dari sistem
enzimatik ini, yaitu CYP3A4 atau CYP2D6. Selain itu, sistem CYP dapat diubah
dalam kondisi metabolik khusus, seperti masa bayi, usia lanjut, penyakit hepar
atau oleh aksi langsung dari obat-obat lain yang mempercepat atau memperlambat
aksi enzim-enzim ini dalam metabolisme antihistamin H1.10,16
P gycoprotein (gP) terdiri dari sistem alami detoksifikasi yang
diekspresikan dalam jaringan manusia normal. Sistem ini ditemukan di usus kecil
dan besar, kanalikuli bilier, tubulus renal proksimal, sel endotel dari sistem saraf
pusat (SSP), plasenta, kelenjar adrenal dan testis. P glycoprotein bertindak
sebagai pompa ekstraksi dan dianggap penting dalam distribusi, interaksi dan
ekskresi berbagai obat.10,11 Konsentrasi plasma antihistamin H1 dapat diubah
dengan keberadaan inhibitor gP, seperti ketoconazole, cyclosporine dan verapamil
atau itraconazole; dari substrat dan inhibitor gP, seperti verapamil atau rifampin.
10,16

Diketahui bahwa konsumsi bersamaan dengan jus anggur meningkatkan


kadar plasma dari beberapa obat, seperti cyclosporine, antagonis kalsium, dan
benzodiazepine, diantaranya. Efek ini telah dihubungkan dengan kemampuan
anggur untuk menghambat CYP3A4 pada tingkat usus. CYP3A4 usus
berkontribusi sebagai langkah pertama terhadap metabolisme susbtansi tertentu,
seperti antihistamin H1. Oleh karena itu, diharapkan bahwa jus anggur
meningkatkan bioavailabilitas dari antihistamin H1 melalui interaksi AH1 dan jus
anggur dalam usus.Komponen jus anggur yang tampaknya terlibat dalam interaksi
ini adalah flavonoids dan furanocoumarins. Flavonoid naringin, spesifik pada jus
anggur, menghambat CYP3A4, dimediasi oleh metabolit aktif naringenin.
Furanocoumarin bergamottin juga adalah inhibitor potent dari CYP3A4. Dengan
demikian, tampaknya inhibisi dari metabolisme obat-obat tertentu di usus
mungkin merupakan hasil dari efek flavonoids dan furanocoumarins pada
CYP3A4.10,16

10
Kebanyakan AH1 diekskresi oleh ginjal setelah dimetabolisme. Ekskresi
empedu pada fexofenadine dan rupatadine – fexofenadine tanpa metabolisme dan
rupatadine setelah metabolisme. Penyesuaian dosis mungkin diperlukan ketika
fungsi renal atau hepar menurun atau pada pasien usia lanjut atau mereka dengan
insufisiensi renal atau hepar.10,16

Interaksi Obat
Interaksi obat menurunkan konsentrasi plasma AH1 dan, menurunkan
efikasi klinis, seperti penggunaan obat yang menginduksi enzim CYP3A4 secara
bersamaan sebagai contoh, benzodiazepine dengan antihistamin H1. Sebaliknya,
kita dapat meningkatkan konsentrasi AH1 dan bioavailabilitas mereka, dengan
demikian memperkuat efek samping, seperti saat obat-obat yang menghambat
secara kompetitif metabolisme AH1 oleh CYP, misalnya, dengan penggunaan
bersamaan dari makrolida, obat anti jamur seperti ketokenazol dan itrakonazol,
dan calcium channel blocker. Dalam keadaan ini karena kadar plasma obat yang
tinggi dapat menyebabkan aritmia ventricular yang dapat meyebabkan kematian
hal ini terutama disebabkan penggunaan AH 1 generasi kedua yaitu terfenadine
dan aztemizol sehingga kedua jenis obat-obatan ini sudah tidak digunakan lagi
dalam dunia kedokteran.10,16
Tabel 4. AH1 klasifikasi kimia dan fungsional
Kelas kimia AH1 Generasi 1 Generasi 2
Alkylamine Brompheniramine, chlopheniramine, Acrivastine
dexchlorpheniramine, dimethindene,
pheniramine, triprolidine
Piperazine Buclizine, cyclizine, hydroxyzine, Cetirizine, levocetirizine
meclizine, oxatomide
Piperidine Azatadine, cyproheptadine , Astemizole, bepotastine, bilastine,
diphenylpyraline, ketotifen desloratadine, ebastine,
fexofenadine, levocabastine,
loratadine, mizolastine, rupatadine,
terfenadine, alcaftadine
Ethanolamine Carbinoxamine, elemastine,
dimenhydrinate, diphenhydramine,
doxylamine, phenyltoloxamine
Phenothiazine Methdilazine, promethazine
Dikutip sesuai kepustakaan no. 2

11
Antihistamin H1 klasik atau generasi pertama
Antihistamin klasik adalah obat lipofilik yang diklasifikasikan kedalam
kelompok yang berbeda-beda berdasarkan pada struktur kimia Antihistamin H1
dimetabolisme oleh CYP di hepar dan tidak bertindak sebagai substrat gP.,
Kebanyakan antihistamin H1 klasik dimetabolisme oleh CYP2D6, dan beberapa
dari mereka oleh CYP3A4. Penelitian berdasarkan pada penggunaan
diphenhidramine, sebagai contoh dari antihistamin H1 generasi pertama, telah
menunjukkan bahwa obat ini tidak hanya substrat CYP2D6, tetapi juga
menghambat jalur sitokrom p450 . Hal ini harus dipertimbangkan saat obat-obat
lain yang menggunakan jalur metabolisme ini diberikan secara bersamaan, seperti
metoprolol, antidepresan trisiklik dan tramadol. Selain itu, antihistamin H1 klasik
memiliki beberapa efek samping karena aksi muskarinik mereka (efek
antikolinergik), serotoninergik, dan reseptor adrenergik, di antaranya.2,10,16
Antihistamin H1 generasi pertama secara cepat diabsorbsi dan
dimetabolisme, yang berarti bahwa mereka harus diberikan tiga sampai empat kali
sehari. Karena struktur lipofilik molekular mereka, mereka menembus blood-
brain barrier, dengan mudah berikatan dengan reseptor H1 serebral, dan dengan
demikian menyebabkan efek samping utama yaitu sedasi. 2,10,16

Antihistamin H1 generasi Kedua


Antihistamin H1 generasi kedua adalah substansi yang dikembangkan
selama 25 tahun terakhir. Beberapa adalah turunan dari antihistamin H1 generasi
pertama, tetapi mereka menawarkan keuntungan yang lebih besar dalam
hubungannya dengan senyawa generasi pertama karena mereka mengurangi efek
antikolinergik dan sedatif.2,10,16
Interaksi metabolik dari antihistamin H1 generasi kedua, seperti
terfenadine, astemizol, loratadine, desloratadine, ebastine, fexofenadine,
cetirizine, levocetirizine, mizolastine, epinastine, dan rupatadine telah diteliti
secara intensif, karena laporan kejadian aritmia jantung berat terkait dengan
penggunaan terfenadine. Secara umum AH1 generasi kedua bertindak sebagai
substrat gP. Karena fakta ini, mereka kurang memiliki efek sedatif dibandingkan

12
dengan antihistamin H1 generasi pertama, karena AH1 generasi 1 dihapus dari
SSP oleh gP. Namun, beberapa antihistamin H1 generasi kedua mengalami
metabolisme di hepar atau usus, dimediasi oleh CYP.2,10,16

Gambar 5. Keuntungan dan risiko AH1.


A. Efek yang menguntungkan: AH1 bekerja secara langsung untuk menghambat aksi histamin
pada reseptor histamin 1 pada syaraf sensorik dan pembuluh darah kecil, terutama pada ujung vena
dan arteri. Antihistamin 1 mengatasi alergi secara tidak langsung melaui faktor B nuclear dan ion
channel kalsium. B. Efek samping: AH1 generasi pertama melewati blood brain barrier dan
menempati reseptor H1 di susunan syaraf pusat. Penempatan AH1 pada reseptor histamin 1 di
SSP akan mempengaruhi buruknya fungsi syaraf pusat dengan atau tanpa efek sedasi. Pengobatan
dengan AH1 akan berefek samping pada efek antimuskarinik dan antiserotonin
Dikutip sesuai kepustakaan no. 2

ANTIHISTAMIN 2(AH2)
CIMETIDIN DAN RANITIDIN
Farmakodinamik.
Cimeditin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversibel . perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung,
sehingga pada pemberian cimetidin atau ranitidin sekresi asam lambung dihambat.

13
Pengaruh fisiologik cimetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak
begitu penting. Walaupun tidak sebaik penekanan sekresi asam lambung pada
keadaan basal, cimetidin dan ranitidin dapat menghambat sekresi asam lambung
akibat perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin. Cimetidin dan
ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.16-18

Farmakokinetik.
Biovailabilitas oral cimetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian
IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga cimetidin
diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk
memperpanjang efek pada periode pascamakan. Absorpsi simeditin terutama
terjadi pada menit ke 60-90. Cimetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam
cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40%
dari dosis oral cimetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh
eliminasinya sekitar 2 jam.16-18
Bioavailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada
orang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada
pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar
pada gagal ginjal. Kadar puncak pada plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah
penggunaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya
15%. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi
terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang
diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam
bentuk asal. Meskipun dari penelitian tidak didapatkan efek yang merugikan pada
fetus, namun karena simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya dapat
melalui plasenta maka penggunaannya hanya bila sangat diperlukan. Antagonis
reseptor H2 juga melalui ASI dapat mempengaruhi fetus. 16-18

14
Indikasi
Simetidin, ranitidin dan antihistamin H2 lainnya efektif untuk mengatasi
gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya. Dengan dosis
lebih kecil umumnya dapat membantu mencegah kambuhnya tukak
duodenum.Antagonis reseptor H2 satu kali sehari yang diberikan pada malam hari
efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum. Penyembuhan tukak
duodenum umumnya dipercepat dengan pemberian simetidin 800 mg, ranitidin
300 mg, famotidin 40 mg, atau nizatidin 300 mg satu kali sehari selama 8 minggu.
Karena ekskresi antagonis reseptor H2 terutama melalui ginjal maka pada pasien
gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi. Terapi pemeliharaan untuk
mencegah kekambuhan hanya membutuhkan dosis setengahnya dan diberikan
satu kali sehari. Umumnya obat diberikan secara oral.16-18
Antihistamin H2 juga diindikasikan untuk gangguan refluks lambung-
esofagus (Gastro esophageal Reflux Disorder = GERD), meskipun lebih sulit
diatasi, memerlukan frekuensi pemberian yang lebih sering, dan dosis per hari
yang mungkin lebih besar.Antagonis reseptor H2 juga diindikasikan untuk
prafilaksis tukak stes (stress ulcers).16-18

Efek Samping
Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan
dengan penghambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek samping lain tidak
berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain nyeri
kepala, pusing, malaise, mialga, mual, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus,
kehilangan libido dan impoten.16-18
Cimetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan
ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi
dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat
simetidin. Cimetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah
pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin
terhadap peninggian prolaktin kecil.16-18

15
Interaksi Obat
Antasid dan metoklopramid mengurangi bioavailabilitas oral cimetidin
sebanyak 20-30% interaksi ini mungkin tidak bermakna secara klinis, akan tetapi
dianjurkan selang waktu minimal 1 jam antara penggunaan antasid atau
metoklopramid dan simetidin oral.16-18
Ketokonazol harus diberikan 2 jam sebelum pemberian cimetidin karena
absorpsi ketokonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan bersama simetidin.
Selain itu ketokonazol membutuhkan pH asam untuk dapat bekerja dan menjadi
kurang efektif pada pH lebih tinggi yang terjadi pada pasien yang juga mendapat
AH2.16-18
Cimetidin menghambat silokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas
enzim mekrosom hati, jadi obat lain yang merupakan substrat enzim tersebut akan
terakumulasi dila diberikan bersama simetidin. Obat yang metabolismenya
dipengaruhi cimetidin warfarin, fenitoin, kafein, teofilin, fenobarbital,
karbamazepin, diazepam, propranolol, metoprolol dan imipramin.16-18
Cimetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga
akan memperlambat klirens obat lain. Cimetidin dapat menghambat alkohol
dehidrogenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar
alkohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar
lidokain serta meningkatan antagonis kalsium dalam serum. Obat ini tak
tercampurkan dengan barbiturat dalam larutan IV. Cimetidin dapat menyebabkan
berbagai gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut atau dengan penyakit
hati atau ginjal. Gejala gangguan SSP berupa somnolen, letargi, gelisah, bingung,
disorientasi, agitasi, halusinasi dan kejang. Gejala-gejala tersebut hilang/
membaik bila pengobatan dihentikan. Gejala seperti demensia dapat timbul pada
penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai efek samping
simetidin. Ranitidin menyebabkan gangguan SSP ringan, mungkin karena
sukarnya melewati sawar darah otak.16-18
Efek samping cimetidin yang jarang terjadi ialah trombositopenia,
granulositopenia, toksisitas terhadap ginjal atau hati. Peningkatan ringan kreatinin
plasma mungkin disebabkan cimetidin dan kreatinin. Cimetidin (tidak ranitidin)

16
dapat meningkatkan beberapa respons imunitas selular (cell-mediate immune
response) terutama pada individu dengan depresi sistem imunologik. Pemberian
cimetidin dan ranitidin IV sesekali menyebabkan bradikardia dan efek
kardiotoksik lain.16-18

FAMOTIDIN

Farmakodinamik
Seperti halnya dengan cimetidin dan ranitidin, famotidin merupakan AH2
sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam
dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten daripada
ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada cimetidin.16-18

Farmakokinetik
Famoditin mencapai kadar puncak di plasma kira-kira dalam 2 jam setelah
penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavailabilitas 40-
50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal,
sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal
ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.16-18

Indikasi
Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8
minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian
selama 6 bulan, famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang
secara klinis bermakna. Famoditin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya
pada pasien sindrom Zollinger-Ellison, meskipun untuk keadaan ini omeprazol
merupakan obat terpilih. Efektivitas famoditin untuk profilaksis tukak lambung,
refluks esofagitis dan pencegahan tukak stes kurang lebih sama dengan antagonis
reseptor H2 lainnya.16-18

17
Efek Samping

Efek samping Famoditin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya


sakit kepala, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famoditin
nampaknya lebih baik dari simetidin karena tidak menimbulkan efek
antiandrogenik.16-18

Interaksi Obat
Famoditin tidak mengganggu oksidasi diazepam, teofilin, warfarin atau
feniton di hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga
kurang efektif bila diberikan bersama AH2.16-18

Dosis
Oral, pada tukak duodenum atau tukak lambung aktif 40 mg satu kali
sehari pada saat akan tidur. Umumnya 90% tukak sembuh setelah 8 minggu
pengobatan. Pada pasien tukak peptik tanpa komplikasi dan klirens kreatinin <10
mL/menit, dosis awal 20 mg pada saat akan tidur. Dosis pemeliharaan untuk
pasien tukak duedenum 20 mg. Untuk pasien sindrom Zolliner-Ellison dan
keadaan, hipersekresi asam lambung lainnya, dosis harus diindividualisasi. Dosis
awal per oral yang dianjurkan 20 mg tiap 6 jam.16-18
Intravena. Pada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau pada
pasien yang tidak dapat diberikan sediaan oral, famotidin diberikan IV 20 mg tiap
12 jam, ranitidine diberikan IV dengan dosis 2x 50 mg. 16-18

NIZATIDIN

Farmakokinetik
Bioavailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh
makanan atau antikolinergik. Klirens menurun pada pasien uremik dan usia lanjut.
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa
paruh plasma sekitar 1½ jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin
disekresi terutama melalui ginjal.16-18

18
Indikasi
Efektivitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan
ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya
dapat menyembukan tukak duodenum dalam 8 minggu dan dengan pemberian
satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Meskipun data nizatidin masih
terbatas, efektivitasnya pada tukak lambung nampaknya sama dengan AH2
lainnya. Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam
lambung lainnya, nizatidin diperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun
masih diperlukan pembuktian lebih lanjut.16-18

Efek Samping
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek samping
ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transminase
serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya tidak menimbulkan
gejala klinik yang bermakna. Seperti halnya dengan AH2 lainnya, potensi
nizatidin untuk menimbulkan hepatotoksisitas rendah. Nizatidin tidak memiliki
efek antiandrogenik. Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada
mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam kadar
serum. Nizatidin tidak menghambat sistem P450. Pada sukarelawan sehat tidak
dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nizatidin diberikan bersama teofilin,
lidokain, warfarin, klordazepoksid, diazepam atau lorazepam. Penggunaan
bersama antasid tidak menurunkan absorpsi nizatidin secara bermakna.
Ketokonazol yang membutuhkan pH asam menjadi kurang efektif bila pH
lambung lebih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.16-18

Dosis
Oral : untuk orang dewasa dengan tukak duodenum aktif dosis 300 mg
sekali sehari pada saat akan tidur atau 150 mg, 2 kali sehari. Tukak sembuh pada
90 % kasus setelah 8 minggu pengobatan. Pada pasien tukak peptik tanpa
komplikasi dan klirens kreatinin kurang dari 10 mL/menit dosis awal harus
dikurangi 50%. Untuk pengobatan pemeliharaan tukak duodenum, dosis 150 mg

19
pada saat akan tidur lebih efektif daripada plasebo.Untuk pasien dewasa dengan
tukak lambung aktif digunakan dosis yang sama dengan pasien tukak duodenum,
akan tetapi masih diperlukan pembuktian lebih lanjut mengenai hal tersebut.16-18

AH1: klasifikasi kimia dan fungsional

ANTIHISTAMIN 3

Betahistin
Betahistin (N-methyl-2-pyridylethylamine), sebuah senyawa histamine-
like, diperkenalkan sebagai obat aktif dalam terapi gangguan vasomotor dan
vaskuler. Betahistin digunakan untuk mengobati intoleransi gerakan berat.
Betahistin adalah salah satu obat yang saat ini diresepkan pada pasien dengan
gangguan vestibular untuk terapi simptomatik vertigo dan khususnya pada pasien
Meniere. Setelah nyeri kepala, vertigo adalah salah satu gejala yang paling sering
terjadi pada pasien yang datang ke dokter. Penyakit Meniere ditandai dengan
serangan vertigo spontan berulang, gangguan pendengaran yang berfluktuasi,
tinnitus, dan aura. Angka kejadian penyakit Meniere bervariasi antara 7.5 per
100.000 dan 160 per 100.000 orang. Betahistine adalah agonis H1 dan antagonis
H3.19-21
Betahistin tersedia baik dalam bentuk tablet ataupun cairan oral, dan
digunakan secara oral. Data yang disediakan oleh Prescription Pricing Authority

20
mengungkapkan bahwa 113 000 resep Betahistine dikeluarkan tiap bulan di
Inggris. Betahistine dapat digunakan pada anak-anak. 19-21

Keamanan dan toleransi


Efek samping jarang terjadi selama terapi betahistine, reaksi kulit ringan
adalah yang paling sering terjadi dan gangguan epigastrium dilaporkan sesekali.
Betahistin kontra indikasi untuk pasien pheochromocytoma, asma bronkial dan
ulkus peptikum perlu diawasi.19-21
Beberapa orang mengalami gangguan lambung sedangkan beberapa
mengalami asma yang memburuk, dan nyeri kepala. Walaupun penelitian
keamanan dan toleransi resmi belum dilakukan dengan standar modern, obat ini
telah digunakan selama beberapa dekade dan puluhan juta pasien telah terpapar
tanpa timbul masalah keamanan dan toleransi yang signifikan.19-21

Ciproxifan
Ciproxifan adalah senyawa yang mengandung imidazole yang awalnya
diresepkan sebagai antagonis poten pada reseptor histamin H3. Secara in-vitro,
ciproxifan merupakan antagonis kompetitif pada autoreseptor H3 yang
mengontrol pelepasan histamin dari synaptosomes pada reseptor H3 yang
mengontrol kontraksi yang diinduksi secara elektrik pada ileum marmut atau pada
reseptor H3 otak yang diberi label iodoproxyfan dan terbukti sebagai antagonis
reseptor H3 juga di otak tikus in vivo (setelah pemberian oral 0.14mg/kg). Efikasi
ciproxifan terkait dengan kemampuannya untuk meningkatkan pelepasan
neurotransmiter di korteks frontal dan hippocampus, dan untuk membangkitkan
aktivitas elektrofisiologis yang diprediksi pada kemampuan belajar.19-21
Pada tikus besar, ciproxifan meningkatkan perhatian seperti yang
dievaluasi dalam lima pilihan tugas yang dilakukan menggunakan waktu
rangsangan yang singkat. Ciproxifan meningkatkan kecepatan berenang dalam
labirin renang, walaupun tidak ada efek seperti ini yang dilihat pada antagonis

21
H3R lainnya. Ciproxifan memiliki bioavailabilitas secara oral dengan efek
meningkatkan kewaspadaan dan perhatian untuk terapi gangguan alzheimer.19-21

Thioperamide
Antagonis H3, thioperamide adalah kompetitor poten dari pengikatan
histamine reseptor histamin 3. Thioperamide dikembangkan sebagai antagonis
H3R selektif poten pertama. Baru-baru ini, reseptor histamin H3 presinapsis telah
menjadi topik perhatian, dengan blokade dari reseptor H3 dapat meningkatkan
perhatian dan kognisi di berbagai model binatang percobaan. Thioperamide juga
menekan nafsu makan. 19-21

PF-03654746
Senyawa pfizer PF-03654746 menunjukkan afinitas baik sebagai
antagonis H3R. Senyawa ini meningkatkan pelepasan histamin pada korteks
prefrontal tikus besar. Ini dikembangkan dari senyawa dengan mengoptimalkan
sifat fisiologis untuk menghindari fosfolipidosis yang telah diamati pada analog
awal. Hasil yang baik didapatkan pada orang dewasa dengan Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas, senyawa ini memasuki uji klinis fase II
tetapi kemudian tidak dilanjutkan karena insomnia dihasilkan sebagai efek
samping.19-21

22
ANTIHISTAMIN 4

Berdasarkan penelitian sampai saat ini, antagonis reseptor H4(AH4)


merupakan kandidat obat dalam dunia kedokteran yang efektif dalam mengatasi
pruritus kronik, dan kelainan inflamasi, penyakit autoimun, dermatitis atopik dan
keganasan.22-25 Berikut adalah beberapa contoh obat AH4.

JNJ777120
JNJ7777120, antagonis reseptor H4 pertama yang sangat selektif yang
dikembangkan telah memberikan informasi berguna dalam peran fisiologis reseptor
histamin pada kondisi-kondisi inflamasi dan pruritus. Sampai saat ini penggunaan
JNJ7777120 sebagai AH4 masih sebatas pada penelitian pre klinik dan klinik, namun
belum diresmikan oleh FDA26-27

JNJ-39758979
Penelitian pre klinis dan klinis tentang JNJ-39758979 sebagai antagonis
H4Rtelah dilaporkan.Penelitian toksisitas preklinis dengan JNJ-39758979 baik pada
tikus besar dan monyet tidak memberikan toksisitas bahkan dengan pemberian jangka
panjang (6 bulan pada tikus besar, 9 bulan pada monyet).Dalam penelitian klinis,
JNJ-39758979 dapat ditoleransi dengan baik sampai dengan 1200 mg dosis tunggal
atau 300 mg dua kali sehari selama 14 hari. Efek samping gastrointestinal berupa
mual dan muntah telah ditemukan.Untuk mengatasi hal tersebut pada penelitian
klinis berikutnya menggunakan enteric coating untuk meningkatkan toleransi pasien.
Secara keseluruhan, tidak terdapat masalah keselamatan yang ditemukan pada
penelitian fase 1 ini; akan tetapi, penelitian klinis berikutnya menemukan JNJ-
39758979 dapat menginduksi terjadinya agranulositosis..28,29
Kesimpulannya, JNJ-39758979 adalah H 4R poten dan selektif
memperlihatkan keamanan preklinis yang sangat baik dan bukti efek farmakodinamik
pada manusia. Penemuan JNJ-39758979 memberikan harapan untuk menghasilkan
terapi yang aman dan efektif.28,29

23
PENGGUNAAN ANTIHISTAMIN DALAM DERMATOLOGI

1. Peran Antihistamin 1
Tabel . Keadaan yang diterapi dengan AH1 (Ilmu dan realita: berdasarkan bukti penggunaan AH1
pada penyakit alergi dan kelainan lain. Berdasarkan uji menggunakan randomized controlled trials dan
meta analisis: bukti efikasi dan keamanan dari AH1 generasi kedua baik untuk pasien dengan rhinitis
dan konjungtivitis alergika dan urtikaria ( evidence based kategori 1, rekomendasi A) tetapi tidak
untuk dermatitis atopik. Evidence based AH1 generasi pertama pada pasien rhinitis dan konjungtivitis
alergi, urtikaria, dermatitis atopik dan penyakit lain, termasuk efek pada susunan syaraf pusat dan
gangguan vestibular

Bukti kuat penggunaan AH1 Bukti lemah penggunaan Bukti lemah penggunaan AH1
generasi ke-2 AH1generasi 2 generasi 1 pada gangguan
vestibuler dan SSP
Rinitis Alergika, Dermatitis atopik, Asma, Insomnia, Sedasi, Analgesi,
Konjungtivitis alergika, Anafilaksis, Angioedema, cemas, migraine, vertigo,
Urtikaria Infeksi saluran napas bagian akathisia, motion sikcnes
atas, Otitis media, Sinusitis,
Polip nasal, Batuk non
spesifik, gatal non spesifik/
non alergik
Dikutip sesuai kepustakaan no. 2

a Urtikaria, Anafilaksis dan Angioedema


Urtikaria adalah kata medis untuk bercak terasa gatal (pembengkakan merah
pucat dari kulit “wheals” yang timbul pada kulit) dan angioedema dikenal sebagai
pembengkakan mukokutan dalam yang seringkali terjadi bersamaan dengan urtikaria.
Urtikaria diklasifikasikan, berdasarkan pada evolusi sementaranya, sebagai akut
(kurang dari 6 minggu) atau kronik (lebih dari 6 minggu). Antihistamin1 mengurangi
kekambuhan, gatal, ukuran, jumlah, dan durasi urtika. Pada uji acak dengan double-
blind placebo-controlled selama 18 bulan, cetrizin dan levocetrizine dilaporkan
menurunkan kekambuhan urtikaria akut. Pada pasien urtikaria kronik, AH1 generasi
pertama digunakan walaupun tidak mendapatkan hasil yang memuaskan pada uji
acak placebo-controlled. Antihistamin 1 generasi kedua mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup pada penelitian. Pada anafilaksis AH1 juga berperan
dalam mencegah terjadinya syok kearah yang lebih berat2,9,30,31

24
b Dermatitis Atopik
Penggunaan antihistamin generasi 1 pada dermatitis atopik yang digunakan
adalah efek sedasi dari AH1 generasi pertama. Pruritus pada dermatitis atopik lebih
disebabkan oleh histamin yang dimediasi oleh reseptor histamin 433-34

2 Peran Antihistamin 2
Banyak kelainan dalam dermatologi yang menggunakan terapi kortikosteroid
sistemik diantaranya seperti pemphigus vulgaris, pemfigoud bulosa, drug eruption
dan banyak lainnya.36-37 Efek samping penggunaan kortikosteroid sistemik ini salah
satunya adalah peningkatan asam lambung yang menyebabkan terjadinya ulkus
peptikum, gastritis dan dispepsia. Antihistamin 2 dalam dermatologi banyak
digunakan untuk pendamping pada terapi menggunakan kortikosteroiod sistemik
untuk mencegah efek samping gastrointestinal. Antihistamin 2 dalam dermatologi
yang sering digunakan adalah ranitidin baik oral ataupun injeksi.38,39 Selain itu
Antihistamin 2dalam dermatologi dapat digunakan untuk terapi pada mastositosis
kutaneus dengan gangguan gastrointestinal akibat peningkatan asam lambung dan
juga terapi kombinasi pada urtikaria kronik.49,50

3 Peran Antihistamin 3
Penggunaan antihistamin 3 dalam dermatologi masih belum ditemukan.
Antihistamin 3 banyak digunakan dalam kelainan neurologi Antihistamin 3 banyak
digunakan dalam kelainan vestibuler, gangguan tidur, neuroinflamasi, kejang, dan
menekan nafsu makan.

4 Peran Antihistamin 4
Reseptor H4 merupakan target untuk modulasi farmakologis histamin dalam
kondisi-kondisi inflamasi dan untuk perkembangan strategi terapi pada keadaan
inflamasi. Penelitian secara in vivo dan in vitro menggunakan model hewan dan
manusia menyokong peran penting reseptor histamine yang menginduksi sel mast,

25
eosinofil, dan sel imun lain. Selain itu reseptor histamin memiliki peran dalam
produksi sitokin membuktikan adanya patofisiologi yang signifikan dari peran
reseptor histamine 4 pada keadaan inflamasi yang ditandai peningkatan jumlah sel
imun seperti pada penyakit alergi dan autoimun, dan berkontribusi tidak hanya
memediasi sinyal inflamasi awal yang dimediasi histamin tetapi juga dalam
pemeliharaan inflamasi. Oleh karena itu, reseptor H4 merupakan target menarik untuk
modulasi farmakologis dari sinyal yang ditransfer histamin dalam kondisi-kondisi
inflamasi.40

Gambar 20. Keterlibatan reseptor histamin 4 pada kelainan inflamasi


Dikutip sesuai kepustakaan no. 40

26
Tabel . Bukti peran reseptor histamine 4 pada kelainan inflamasi
Kondisi Fungsi Reseptor H4 Referensi
Inflamasi Saluran napas  Penurunan inflamasi paru, penurunan infiltrasi Dunford
eosinofil dan limfosit paru. JNJ7777120 yang dkk(2006)
diberikan tikus menyebabkan blockade pada reseptor
H4, penurunan produksi sitokin dan kemokin,
mengurangi inflamasi saluran napas
 Peningkatan ekspresi reseptor H4 pada mukosa nasal Jokuti dkk
manusia dan jaringan polip nasal, menunjukkan (2007)
adanya korelasi antara ekspresi reseptor H4 dan
eosinofil
Pruritus dan  Hambatan pada sel mast dan migrasi eosinofil Yu dkk
Dermatitis pada mukosa esophagus tikus yang diberi (2008)
thioperamide Bell dkk
 Pengurangan garukan pada tikus yang diinduksi (2004)
agonis reseptor H4 dengan pemberian Hirasawa
thioperamide. dkk (2008)
Arthritis  Supresi pembengkakan fase lambat dan infiltrasi
eosinofil setelah pemberian thioperamide pada tikus Zampeli
dengan dermatitis atopi dkk (2008)
 Peningkatan kandungan histamine pada kartilago
tanpa adanya tanda arthritis pada terapi dengan
menggunakan JNJ7777120 Coruzzi dkk
(2007)
 Pengurangan faseawal udem setelah pemberian
inflamasi akut dan Thurmond
JNJ7777120 pada tikus yang sudah diinduksi
subkronik dkk (2004)
inflamasi
 Pengurangan netrofil setelah pemberian thioperamide
Adachi dkk
pada tikus yang diinduksi peritonitis
( 2006)
 Stimulasi reseptor H4: mencegah reperfusi pada liver
Iskemik
tikus yang mengalami trauma
Dikutip sesuai kepustakaan no. 40

a Peran AH4 Pada Keganasan


Melanoma maligna adalah tumor kulit yang mengancam jiwa (dengan tingkat
metastasis yang tinggi). Aktivitas histamin telah terbukti relevan dengan merangsang
secara langsung atau menekan pertumbuhan melanoma.Pada penelitian didapatkan
bahwa terdapat reseptor histamin 4 pada sel melanoma yang diambil dengan biopsi.
Dengan menggunakan agonis dan antagonis pada penelitian didapatkan terdapat efek
penghambatan proliferasi melanoma dengan antagonis reseptor histamin 4,
menunjukkan bahwa antihistamin 4 dapat menjadi terapi yang potensial pada
melanoma.41,42

27
b Peran AH4 Pada Pruritus
Pruritus kronik adalah kondisi klinis umum terkait dengan penyakit kulit atau
sistemik dan walaupun histamin, MCs dan basofil meningkat pada pasien, antagonis
reseptor H1 kurang efektif meredakan gejala pruritus. Histamin telah terbukti
menginduksi garukan pada mencit Balb C melalui reseptor H4. Terapi mencit dengan
JNJ7777120 mengurangi pruritus. Efek inhibisi pruritus oleh antagonis reseptor H4
lebih besar daripada dengan menggunakan antagonis reseptor H1. Walaupun
demikian, antagonis reseptor H1 dikombinasikan dengan antagonis reseptor H4
merupakan pendekatan yang menguntungkan dalam mengatasi pruritus. JNJ7777120,
antagonis H4 dilaporkan, secara signifikan menurunkan baik garukan yang diinduksi
histamin dan senyawa P.34,35,40,43

Gambar 21.Peran reseptor H1 dan H4 pada transmisi perifer dan sentral pada respon gatal.
Sel mast adalah produksi utama histamine, yang bekerja pada reseptor H1 atau reseptor H4 pada
serabut terminal C-afferent untuk menghantarkan sensasi proyeksi melalui tr. Spinotalamicus menuju
otak. Reseptor H4 pada neuron di thalamus dapat mengaktifkan gatal yang diproses oleh kortek
sensoris somatic. Reseptor H1 pada bagian tengah hipotalamus mengatur modulasi oleh kerja dari
antagonis reseptor H1 yang menurunkan aktifitas korteks. Dikutip sesuai kepustakaan no. 14

c Peran AH4 Pada penyakit Autoimun (SLE dan Psoriasis)


Telah ditunjukkan juga bahwa H4R sangat diekspresikan dalam sel dendritik
plasmacytoid (pDC) pada psoriasis dan mempengaruhi produksi sitokin dan migrasi

28
pDC. Polimerisasi yang diamati dari F-actin dan migrasi aktif dari pDC sebagai
respon terhadap stimulasi agonis H4 menyarankan H4R sebagai target terapi yang
menjanjikan dalam psoriasis. Reseptor H4 juga efektif dalam penyakit kulit
autoimun lainnya, lupus eritematosus sistemik (LES), karena telah ditemukan variasi
jumlah gen H4R terkait dengan LES.45,46

Gambar 22. Kadar mRNA histamine reseptor H4 lebih tinggi pada sampel darah pasien dengan SLE
dibandingkan kontrol. Total RNA diisolasi dari sampel darah. SYBR green-based quantitative PCR
digunakan untuk mengukur kadar mRNA relatif. Data dari tiga penelitian independen dianalisis oleh
student’s t-test. Dikutip sesuai kepustakaan no. 45

d Peran AH4 Pada Dermatitis Atopik


Dermatitis atopik (AD) adalah penyakit kulit kronik yang gatal dan sering
relaps dengan insidensi tinggi pada tahun pertama kehidupan. AD dapat menetap ke
dalam masa kanak-kanak, gejala biasanya mengalami remisi pada pubertas.
Dermatitis atopik juga dapat terjadi pada orang dewasa dan diderita lebih dari 10%
dari populasi total, dengan 80-90% dari mereka yang terkena adalah anak-anak yang
berusia di bawah 5 tahun pada populasi Barat. Pada dermatitis atopik yang
merupakan penyebab pruritus adalah histamine yang dimediasi oleh reseptor H4.Uji
acak tidak menunjukkan adanya efektifitas AH1 pada pasien dermatitis atopik,
namun penggunaan AH1 generasi pertama pada pasien dermatitis atopik adalah
menggunakan efek sedasinya sebagai terapi.32-34,47

29
Tabel . Karakteristik ekspresi dan fungsi histamin, H1R, dan H4R pada pasien sehat dan
dermatitis atopik

Donor Sampel Ekspresi Fungsi


Orang sehat Keratinosit H1R  Supresi histamine keratinosit epidermal difus
dan memperbaiki sistem sawar kulit melalui
H1R
Orang sehat Keratinosit H1R  Promosi sekresi RANTES dan GM-CSF dan
augmentasi yang diinduksi IFN-ˠ untuk
melepaskan MCP1, RANTES, MIP3ἁ, IP-10
dan GM-CSF
Orang sehat Th17 H4R  Peningkatan produksi IL-17 dan induksi AP-1
pada Th17 oleh stimulasi dengan histamin oleh
agonis H4R
Orang sehat Th2 H4R  H4R diekspresi tinggi pada Th2 oleh IL-4 dan
aktivasi H4R yang meningkatkan regulasi IL-
31 mRNA pada Th2
Orang sehat Sel H4R  Peningkatan migrasi dari epidermis dan
Langerhans downregulasi produksi CCL2 melalui aktivasi
H4R
Dermatitis Plasma Histamin  Lebih tinggi pada pasien Dermatitis atopic dan
Atopik pasien sehat
 Phosphorilasi dan pembelahan STAT1
Dermatitis Limfosit H4R
diregulasi oleh H4R pada limfosit pasien
Atopik
atopic dan non atopik
 Agonis H4R atau histamine menurunkan
Dermatitis Sel H4R
regulasi produksi CCL2 dan Upregulasi IFN-
Atopik dendritic
Ɣ. H4R dapat berperan pada perubahan Th2 ke
Th1 sama seperti transisi dari AD akut ke
kronis
 Tingginya ekspresi pada keratinosit pasien AD
Dermatitis Keratinosit H1R dan
dan induksi proliferasi melalui aktivasi H4R
Atopik H4R

Dikutip sesuai kepustakaan no. 32

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Stojkovic Nikola, cekie Snezana, Ristov Milica, Ristic Marko, Dukic Davor,
Binic Masa, Virijevic Dragan. Histamine and antihistamines. Scientific Journal of
the Faculty of Medicine in Nis. 2015;32(1):7-22
2. Simons F. Estelle R, MD, FRCPC, Simons Keith J, PhD. Histamine and H1-
antihistamines : Celebrating a century of progess. Journal Allergy Clin Immunol.
7 September 2011; 128:1139-50
3. O’Mahony Liam., PhD, Akdis Mubeccel., MD, PhD, A. Cezmi., Akdis, PhD.
Regulation of the immune response and inflammation by histamine and histamine
receptors. Journal Allergy Clin Immunol. 23 Juni 2011
4. Maintz Laura, Novak Natalifa. Histamine and Histamine intolerance. Am J Clin
Nutr. 2007;85;1185-96
5. Shahid Muhammad, tripathi Trivendra, Sobia Farrukh, Moin Shagufta, Siddiqui
Mashiatullah, Khan Rahat Ali. Histamine, Histamine Receptors, and their Role in
Immunomodulation An Update Systematic Review. The Open Immunology
Journal. 2009, 2, 9-41
6. Church Diana S, MD, church Martin K, PhD, DSc. Pharmacology of
Antihistamines. WAO journal.2011;S22
7. Parsons Mike E, Ganellin C. Robin. Histamine and its receptors. British journal of
pharmacology (2006) 147,S127-S135
8. Thurmond Robin L, Gelfand Erwin W, Dunford Paul J. The role of histamine H1
and H4 receptors in allergic inflammation : the search for new antihistamines.
Nature Publishing Group. 2008:41
9. Zampelt E, Tiligada E. The role of histamine H4 receptor in immune and
inflammatory disorders. British Journal of pharmacology. 2009;157, 24-33
10. Criado PR, Maruta CW, dkk. Histamine, histamine receptors and antihistamines:
new concepts. An Brazillian Annals of Dermatology.2010;85(2): 195-210
11. Kiss Robert, Kescru Gyorgy M. Histamine H4 receptor ligands and their potential
therapeutic applications : an update. Expert Opin Ther Patents. 2012
12. Gschwandtner Maria, Schakel Knut, Werfel Thomas, Gutzmer Ralf. Histamine
H4 receptor activation on human slan-dendritic cells down-regulates their pro-
inflammatory capacity. Immunology. 2010;132, 49-56
13. Cezmi, Akdis. Immune Regulation by Histamine H4 Receptors in Skin. The
society for Investigative Dermatology. 2008:16
14. Hanuskova Eva, Plevkova Jana. The role of histamine H4 receptors as a potential
targets in allergic rhinitis and asthma. Open Journal of Molucular and Integrative
Physiology. 2013,3,6-14
15. Thurmond Robin L. The histamine H4 receptor : from orphan to the clinic.
Frontlers in Pharmacology. 2015;65
16. Darwoto HR. Histamin dan Antialergi. Dalam: Gunawan SG, Nafrialdi RS,
Elysabeth. Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapeutik

31
Fakultas Kedokteran- Universitas Indonesia Jakarta. Jakarta: Gaya Baru Jakarta.
2007; 273-287
17. Katzung BG. Histamine, Serotonin and the Ergot Alkaloids. Dalam: Katzung BG,
Masters SB, Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology. Edisi ke 12. United
Stated: Mc Graw Hill:2012. Halaman: 273-294
18. Sun G, Liang Lu M, dkk. PPI versus Histamine H2 Receptor Antagonists for
Prevention of Upper Gastrointestinal Injury Associated With Low-dose Aspirin:
Systematic Review and Meta-analysis. PLOS one Journal. 2015
19. Singh Shreya, Rajput Satyendra K. Histamine Subtype 3 Receptor Antagonists :
Current Status With Future Prospects in Drug Discovery And Drug Development.
Singh and Rajput, IJPSR. 2015: vol. 6(2): 502-509
20. Singh Shreya, Rajput Satyendra K. Histamine Subtype 3 Receptor Antagonists :
Current Status With Future Prospects in Drug Discovery And Drug Development.
Singh and Rajput, IJPSR. 2015: vol. 6(2): 502-509
21. Latcwska Dorota, Kiec-Kononowicz Katarzyna. New development around
histamine H3 receptor antagonists/inverse agonists : a patent review. Expert Opin
ther Patents. 2012
22. Suwa Eriko, Yamaura Katsunori, Oda Manabu, Namiki Takao, Ueno Koichi.
Histamine H4 receptor antagonist reduces dermal inflammation and pruritus in a
hapten-induced experimental model.European journal of Pharmanology. 2011:
383-388.
23. Engelhardt Harald, Smits Rogier A, Leurs Rob, Haaksma Eric, Esch Iwan Jp de.
A New Generation of Anti-Histamines : Histamine H4 Receptor Antagonists on
Their Way to The Clinic. Current Opinion in Drug Discovery & Development.
2009, 12, 628-643
24. Albrecht M, Dittrich A. M. Expression and function of histamine and its receptors
in atopic dermatitis. Albrecht and Dittrich Moleculer and Cellular Pedistrics.2015.
2:16
25. Christopher Fenila, Thangam Elden Berla, Suresh Muthaiyan Xavier. A
Bioinformatics Search for Selective Histamine H4 Receptor Antagonists Through
Structure-Based Virtual Screening Strategies. Chem Biol Drug Des. 2012
26. Seifert Roland, Scheneider Erich H, Dove Stefan, Brunskole Irena, Neumann
Detlef, strasser Andrea, Buschauer Amin. Paradoxical Stimulatory Effects of The
“Standard” Histamine H4-Receptor Antagonist JN7777120: the H4 Receptor Joins
the Club of 7 Transmembrane Domain Receptors Exhibiting Functional
Selectivity. The American society for pharmacology and Experimental
Therapeutics.2011
27. Nijmeijer S, Vischer H F, Sirci F, Schultes S, Engelhardt H, Graaf de C,
Rosethorne E M, Charlton S J, Leurs R. Detailed analysis of biased histamine H4
receptor signalling by JNJ 7777120 analogues. British journal of
Pharmacology.2013

32
28. Thurmond Robin L, Chen Bin, Dunford Paul J, Greenspan Andrew J, Karisson
Lars, La David, Ward Peter, Xu Xie L. Clinical and Preclinical Characterization
of the Histamine H4 Receptor Antagonist JNJ-39758979. The Journal of
pharmacology and Experimental Therapeutics. 2014
29. Francke K, Turmond RL, dkk. The Histamine H4 Receptor Antagonist, JNJ-
39758979, Is Effective in Reducing Histamine-Induced Pruritus in a Randomized
Clinical Study in Healthy Subjects. The Journal of Pharmacology and
Experimental Therapeutics. July 2014
30. Fortina Anna Belloni, PhD, Fontana Elena, MD. Update on Antihistamine
Treatment for Chronic Urticaria in Children. Current Treatment Options in
Allergy (2014) 1:287-298
31. Asero R, Kahaicaria assinari P, dkk. Diagnosis and Treatment of Urticaria and
Angioedema: A Worldwide Perspective. World Allergy Organization Journal. 15
November 2012
32. Ohsawa Yusuke, Hirasawa Noriyasu. The Role of Histamine H1 and H4 Receptors
in Atopic Dematitis: From Basic Research to Clinical Study. Allergology
International Vol 63, No4. 2014.
33. Poteksev Nikolay, Khamaganova Irina, Vorontsova Irina. Antihistamines in
Atopic Dermatitis Therapy. Khamaganova I of all, J Allergy Disord Ther. 2015
34. Seifert Roland. Therapeutic Efficacy of a H4 Receptor Antagonist in Humans : A
Milestone in Histamine Research. The American Society For Pharmacology and
Experimental Theraputics. 2014
35. Payne AS, Stanley JR. Pemphigus. Dalam: Wolf K, Gold Smith LA, Katz SI,
editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Vol 1. Edisi ke 8. New
York : Mc Graw Hill ; 2012. Halaman 586-599
36. Shear NH, Knowles SR. Cutaneus Reaction to Drugs. Dalam: Wolf K, Gold
Smith LA, Katz SI, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Vol 1.
Edisi ke 8. New York : Mc Graw Hill ; 2012. Halaman 449-457
37. Werth VP, Kia SM. Prevention and Treatment of Systemic Glucocorticoid Side
Effects. Int J Dermatol.2010
38. John C. A Study on the management of corticosteroid side effects in cancer
patients. The Journal of the Malta College of Family Doctors. 2015
39. Werth VP. Systemic Glucocorticoids. Dalam: Wolf K, Gold Smith LA, Katz SI,
editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Vol 1. Edisi ke 8. New
York : Mc Graw Hill ; 2012. Halaman 2714-2720
40. Zampeli E, Tiligada E. The role of histamine H4 receptor in immune and
inclammatory disorders. British journal of Pharmacology. 2009, 157,26-33
41. Massari NA, Cricco GP, Croci M. Role of H4 Receptor in Histamine- mediated
Responses in Human Maligna. Wolters Kluwer. 2011
42. Medina VA, Rivera ES. Histamine Receptors and cancer pharmacology. British
Journal of pharmacology. 2010

33
43. Cowden Jeffery M, Zhang Mai, Dunford Paul J, Thurmond Robin L. The
Histamine H4 Receptor Mediates Inflammation and Pruritus in Th2-Dependent
Dermal Inflammation. The Society Investigative Dermatology. 2010:16
44. Tey H.L, Yosipovitch G. Targeted treatment of pruritus : a look into the future.
British Association of Dermatology. 2011
45. Yu B, Shao Y, Li P, Zhang J, Zhong Q, Yang H, Hu X, Chen B, Peng X, Wu Q,
Chen Y, Guan M, Wan J, Zhang W. Copy number variations of the human
histamine H4 receptor gene are associated with systemic lupus erythematosus.
British Association of Dematologists. 2010.
46. Mommert S, Gutzmer R, Werfel T, Gschwandtner M. The histamine H4 Receptor
is highly expressed on plasmacytoid dendritic cells in psoriasis and histamine
regulates their cytokine production and migration. Journal Invest Dermatol. 2011
47. Benedetto Anna De, yoshida Takeshi, Fridy Sade, Park Joo-Eun S, Kuo L-Hsin.
Histamine and Skin Barrier : Are Histamine Antagonists Useful for the
Prevention or Treatment of Atopic Dermatitis. J. Clin. Med. 2015.
48. Shamizadeh S, Brockow K, Ring J. Rupatadine: efficacy and safety of a non-
sedating antihistamine with PAF-antagonis effects. 15 Agustus 2013
49. Tharp MD. Mastocytosis. Dalam: Wolf K, Gold Smith LA, Katz SI, editor.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Vol 1. Edisi ke 8. New York : Mc
Graw Hill ; 2012. Halaman 1809-18
50. Kaplan, AP. Urticaria and Angioedema. Dalam: Wolf K, Gold Smith LA, Katz
SI, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Vol 1. Edisi ke 8. New
York : Mc Graw Hill ; 2012. Halaman: 414-37

34

Anda mungkin juga menyukai