BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam hidup sehari-hari, manusia tidak terpisah dengan makhluk lainnya baik hewan,
tumbuhan maupun benda-benda mikroskopik seperti debu, tungau, serbuk bunga sampai
berbagai makanan yang kita konsumsi sehari-hari seperti susu, telur, kacang-kacangan dan
seafood.
Alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi di tubuh akibat masuknya suatu zat asing.
Zat asing yang dinamakan alergen tersebut masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas
(inhalan) seperti debu, tungau, serbuk bunga. Alergen juga dapat masuk melalui saluran
percernaan (ingestan) seperti susu, telur, kacang-kacangan dan seafood. Di samping itu juga
dikenal alergen kontak yang menempel pada kulit seperti komestik dan
perhiasan.(http://www.kompasiana.com/diah_marliati_a_soeradiredja/Histamin, Penyebab Gatal-
gatal karena Alergi)
Saat alergen masuk ke dalam tubuh, sistem imunitas atau kekebalan tubuh bereaksi
secara berlebihan dengan membuat antibodi yang disebut Imunoglobulin E. Imunoglobulin E
tersebut kemudian menempel pada sel mast (mast cell). Pada tahap berikutnya, alergen akan
mengikat Imunoglobulin E yang sudah menempel pada sel mast. Ikatan tersebut memicu
pelepasan senyawa Histamin dalam darah. Peningkatan Histamin menstimulasi rasa gatal melalui
mediasi ujung saraf sensorik. Senyawa Histamin yang teramat banyak juga bisa disebabkan oleh
stress dan depresi.(http://www.kompasiana.com/diah_marliati_a_soeradiredja/Histamin,
Penyebab Gatal-gatal karena Alergi)
Pengobatan gatal-gatal karena alergi dilakukan dengan jalan pemberian obat antihistamin
yang banyak dijual secara bebas. Efek samping dari pemakaian obat diantaranya linglung,
pusing, sembelit, sulit berkemih dan penglihatan kabur, namun jarang ada penderita yang
mengalami hal tersebut. Dewasa ini terdapat obat antihistamin generasi terbaru yang tidak
berefek sedatif (mengantuk) dan beraksi lebih lama, namun harganya lebih mahal dan harus
ditebus dengan resep dokter. (http://www.kompasiana.com)
Sesungguhnya pemakaian obat antihistamin hanya menghilangkan gejala alergi dan
menghindari serangan yang lebih besar di masa mendatang, tidak menyembuhkan alergi. Jika
penderita kontak lagi dengan alergen, maka alergi akan muncul kembali. Oleh karena itu, yang
terbaik untuk mengatasi alergi adalah dengan menghindari kontak dengan alergen, menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta menjauhi stress.
BAB II
DASAR TEORI
HISTAMIN
2.1.1 Definisi Histamin
Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan
berbagai proses faalan dan patologik. Histamin pada manusia adalah mediator penting untuk
reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan penting pada sekresi
asam lambung, dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan modulator. (Udin Sjamsudin: 1995)
Histamin adalah senyawa jenis amin yang terlibat dalam reaksi imun lokal, selain itu senyawa ini
juga berperan dalam pengaturan fungsi fisiologis di lambung dan sebagai neurotransmitter. Jika
tubuh terpapar patogen, maka tubuh memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast,
dengan adanya histamin maka terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel
darah putih dan protein lainnya. Hal ini akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi
infeksi di jaringan tersebut. (http://www.apoteker.info/arsip_histamin.htm)
Histamin adalah suatu amin nabati (bioamin) yang ditemukan oleh dr. Paul Ehlirch
(1878) dan merupakan produk normal dari pertukaran zat histidin melalui dekarboksilasi
enzimatis. (Tan Hoan Tjai: 2006)
Histamin didapatkan pada banyak jaringan,sehingga dinamakan histamine (histos=
jaringan) memiliki efek fisiologis dan patologis yang kompleks melalui bebagai subtype
reseptor, dan sering kali dilepaskan setempat. Histamine dan serotonin bersama dengan peptide
endogen, prostaglandin dan leukotrien . histamine dihasilkan oleh bakteri yang terkontaminasi
ergot. (Anonim, 2007)
Histamin adalah suatu senyawa nitrogen organik lokal yang terlibat dalam respon imun
serta mengatur fungsi fisiologis dalam usus dan bertindak sebagai neurotransmitter. Jika tubuh
terpapar patogen, maka tubuh memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast, dengan
adanya histamin maka terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel darah putih
dan protein lainnya. Hal ini akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi infeksi di
jaringan tersebut. (http://www.wikipedia/histamin.html)
Jadi Histamin adalah senyawa jenis amin yang disimpan dalam sel mast dan dikeluarkan
ketika tubuh terpapar oleh antigen sebagai respon dar sistim kekebalan tubuh.
2.1.2 Sintesis Dan Metabolisme Histamin
Histamin berasal dari dekarboksilasi dari asam amino histidin , reaksi dikatalisis oleh enzim -
histidin dekarboksilase L yang merupakan hidrofilik vasoaktif amina .
(http://www.wikipedia/histamin.html)
Setelah dibentuk, histamin disimpan dan di nonaktifkan oleh enzim histamin-N-
methyltransferase atau oksidase diamina . Dalam SSP, histamin dilepaskan ke dalam sinaps dan
diuraikan oleh histamin-N-methyltransferase. (http://www.wikipedia/histamin.html)
Bakteri juga mampu menghasilkan dekarboksilase histamin menggunakan enzim yang berbeda
dengan enzim yang ditemukan pada hewan. Bentuk non infeksi penyakit dari keracunan
makanan adalah karena produksi histamin oleh bakteri dalam makanan basi, terutama ikan.
(http://www.wikipedia/histamin.html)
ALERGI
2.2.1 Defininisi Alergi
Alergi (hipersensitifitas) menggambarkan reaktivitas khusus host terhadap suatu unsure eksogen
pada kontak kedua kali. Reaksi hipersensitivitas meliputi sejumlah peristiwa autoimun dan alergi
serta merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses imunologi.
(Hoan Tjai: 2007)
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata
lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat
atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.(
http://id.wikipedia.org/wiki/Alergi)
Alergi adalah sebuah reaksi yang dilakukan tubuh terhadap masuknya sebuah benda asing.
Ketika sebuah substansi tak dikenal masuk, antigen, tubuh serta merta akan meningkatkan daya
imunitasnya untuk bekerja lebih giat.
( http://www.anneahira.com/alergi)
reaksi alergi merupakan respon sistem kekebalan yang diperkuat secara tidak tepat atau buruk
terhadap sesuatu yang tidak membahayakan. pada umumnya, reaksi alergi dapat berbentuk rasa
sakit kepala atau kelelahan, bersin-bersin, mata berair dan hidung tersumbat.
(http://christianty.wordpress.com/2009/01/08/alergi-mekanisme-terjadinya-alergi/)
Menurut berbagai pengertian di atas , dapat diambil kesimpulan bahwa alergi merupakan reaksi
berlebihan yang dilakukan tubuh terhadap masuknya antigen (allergen), sebagai respon system
kekebalan tubuh.
2.2.2 Patofisiologis Alergi
Bila suatu protein asing (antigen masuk) berulangkali ke dalam aliran darah seseorang yang
berbakat hipersensitif, maka limfosit b akan membentuk antibodies dari tipe Ig E. IgE ini yang
juga disebut reagin , mengikat diri pada membrane sel mast tanpa menimbulkan gejala. Apabila
kemudian antigen (allergen ) yang sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi,
maka IgE akan mengenali dan mengikat padanya. (Hoan Tjai: 2007)
Hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibat pecahnya membrane sel mast (degranulasi). Sejumlah
zat perantara (mediator dilepaskan yakni histamine bersama serotonin, bradikinin dan asam
arachidonat), yang kemudian diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien. Zat itu menarik
makrofag dan neutrofil ke tempat infeksi untuk memusnahkan penyerbu. Disamping itu
mengakibatkn beberapa gejala, seperti vasodilatasi, bronchoconstriksi dan pembengkakan
jaringan sebagai reaksi terhadap masuknya antigen. (Hoan Tjai: 2007)
2.2.3 Mekanisme Terjadinya Alergi
Hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen
bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya
setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti hay
fever). (Brooks: 2005)
Urutan kejadian reaksi hipersensitifias adalah sebagai berikut: (Baratawidjaja, 2006).
Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik
dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-
mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara
imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk
mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan
secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi
oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat
pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast,
juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan
trombosit. (Rengganis dan Yunihastuti: 2007).
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut,
akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan
berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi,
sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari
hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang
dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti: 2007).
2.2.4 Penggolongan Alergi
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan
kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan
Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
Tipe 1, gangguan gangguan alrrgi (reaksi segala, “ immediate) berdasarkan reaksi antara
allergen-antibody (IgE) dengan degranulasi mast-cells dan khusus terjadi pada orang yang
berbakat genetic (keturunan). Tipe-I ini juga dinamakan alergi atopis atau reaksi anafilaksis dan
terutama berlangsung disaluran nafas (serangan pollinosis, rhinitis, asma) dan di kulit (eksim
resam = dermatitis atopis), jarang di cerna (alergi makanan) dan di pembuluh (shock anafilaksis).
Mulai reaksi nya cepat , dalam waktu 5 sampai 20 menit setelah terkena alergen, maka sering
kali di sebut reaksi segera. Gejalanya bertahan lebih kurang 1 jam.
Tipe 2, autoimunitas ( reaksi sitolitis). Antigen yang terikat yang terikat pada membrane sel
beraksi dengan IgG atau IgM dalam darah dan menyebabkan sel musnah (cytos=sel, lysis=
melarut ). Reaksi ini terutama berlangsung di sirkulasi darah. Contohnya adalah gagguanauto-
imun akibat obat, seperti anemia hemolitis(akibat pinisilin)’ agranulotosis (akibat sulfamida)’
arhitis rheumatika ’SLE (system lupus erymetodes) akibat hedrolazim atau prekaimida. Reaksi
autonium jenis ini umumnya sembu dalam waktu berapa bulan setelah penggunaan obat
berhenti.
Timbulnya penyakit auto-imun adalah bila system imun tidak “mengenali” jaringan tubuh sendiri
dan menyerangnya. Gangguan ini bercirikan terdapatnya auto-antibodies atau sel-sel-T
autoreaktif dan lazimnya dibagi dalam dua kelompok, yang berdasarkan:
auto-imunitas organ-pesifik (menyangkut organ tunggal), mis. Animia pernicoios, addiison’s
diaese, lih bab 46, ACTH.
auto-imunitas nonorgan spesifik (menyangkut pelbagai organ), mis SLE, MS.
Tipe 3, gangguan ilmun-komplek (reaksi arthus). Pada paristiwa ini, antigen dalam sirkulasi
bergabung dengan terutama IgG menjadi suatu imun-kompleks, yang diendapkan pada endotel
pembulu. Di tempat itu sebagai respons terjadi peradangan, yang disebut penyakit serum yang
bercirikan urticaria, demam dan nyeri otot serta sendi. Reaksinya dimulai 4-6 jam setelah
“terkena” (exposure) dan lamanya 4-12 hari. Obat-obat yang dapat menginduksi reaksi ini adalah
sulfanamidin, penisilin dan iodide. Imun-kompleks dapat terjadi di jaringan yang menimbulkan
reaksi local (arthus) atau dalam srikulasi (gangguan sistemis).
Tipe 4 (reaksi lambat,’delenyet’). Anti gen terdiri dari suatu kompleks hapten+protein, yang
bereaksi dengan T-limposit yang sudah disensitasi. Limfokin tertentu (=sitokin dari limfosit)
dibebaskan, yang menarik magrofog dan neutrofil, sehinga terjadi reaksi peradangan. Proses
penarikan itu disebut chemotaxis.mulai reaksi sesudah 24-48 jam dan bertahan beberapa hari.
Contohnya adalah reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.
Bentuk alergi tipe 1 s/d 3 berkaitan dengan dan imunitas imonoglobulin homolar (lat.
Humor=cairan tubuh), artinya adahubungan dengan plasma. Hanya tipe 4 berdasarkan imunitas-
sekuler (liimfosit-T) (Hoan Tjai: 2007)
ANTIHISTAMIN
Definisi
Antihistaminika adalah zat zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek hisyamin terhadap
tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histamine ( penghambatan saingan) pada awalnya hanya
di kenal 1 tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor kusus pada tahun
1972, yang disebut reseptor H2, maka secara farmakologis reseptor histamine dapat di bagi dalam
2 tipe yaitu reseptor H1 dan reseptor H2. (Hoan Tjai, 2006, 815)
Berdasarkan penemuan ini, antihistaminika juga dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni antagonis
reseptor H1(singkatnya disebut H1 blokers atau antihistaminika ) antagonis reseptor H2(H2 blokers
atau zat penghambat asam) . (Hoan Tjai, 2006, 815)
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau kerja
histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang mana
pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang
bekerja pada reseptor histamin H1. (http://www.apoteker.info/arsip_pojok_herbal.htm)
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan oleh
tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman.
Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
(http://www.apoteker.info/arsip_pojok_herbal.htm)
Penggolongan
Antihistaminika dapat digolongkan menurut struktur kimianya sebagai berikut :
Persenyawaan-persenyawaan aminoalkileter (dalam rumus umum X = O) difenhidramin dan
turunan-turunannya; klorfenoksamin (Systral), karbinoksamin (Rhinopront), feniltoloksamin
dalam Codipront. Persenyawaan-persenyawaan ini memiliki daya kerja seperti atropin dan
bekerja depresif terhadap susunan saraf pusat. Efek sampingannya: mulut kering, gangguan
penglihatan dan perasaan mengantuk.
Persenyawaan-persenyawaan alkilendiamin (X = N) tripelenamin, antazolin, klemizol dan
mepiramin. Kegiatan depresif dari persenyawaan ini terhadap susunan saraf pusat hanya lemah.
Efek sampingannya: gangguan lambung usus dan perasaan lesu.
Persenyawaan-persenyawaan alkilamin (X = C) feniramin dan turunan-turunannya, tripolidin.
Didalam kelompok antihistaminika ini terdapat zat-zat yang memiliki kegiatan merangsang
maupun depresif terhadap susunan saraf pusat.
Persenyawaan-persenyawaan piperazin: siklizin dan turunan-turunannya, sinarizin
Pada percobaan binatang beberapa persenyawaan dari kelompok ini ternyata memiliki kegiatan
teratogen, yang berkaitan dengan struktur siklis etilaminnya. Walaupun sifat teratogen ini tidak
dapat dibuktikan pada manusia, namun sebaiknya obat-obat demikian tidak diberikan pada
wanita hamil.
Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni
etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin
baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini.
Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang
ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih
menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan
generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih
besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat
terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit
(desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini
dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta
efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung
yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan
levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau
loratadine.
Pengelompokan berdasarkan sasaran kerjanya terhadap reseptor histamine:
Antagonis Reseptor Histamin H1
Secara klinis digunakan untuk mengobati alergi. Contoh obatnya adalah: difenhidramina,
loratadina, desloratadina, meclizine, quetiapine (khasiat antihistamin merupakan efek samping
dari obat antipsikotik ini), dan prometazina.
Antagonis Reseptor Histamin H2
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi
asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat digunakan
untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic
ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina,
ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.
Antagonis Reseptor Histamin H3
Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan kognitif.
Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia.
Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.
Antagonis Reseptor Histamin H4
Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi dan
analgesik. Contohnya adalah tioperamida.
Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan
trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik,
namun kini digunakan sebagai antihistamin.
Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah penglepasan
histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.
Menisme Kerja
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh dari
histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat
dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi
dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin
seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui
persaingan substrat atau ”competitive inhibition”.
Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody,
melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor)
dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistaminik
mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini
dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat
dianggap etilamin lah dari antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor
tersebut. Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan
menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif.
Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan
pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara klinis, antihistamin
H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal,
seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal
congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih
baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilisitas,
sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki
kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini
mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium
melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium
intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan
prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal
ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi
menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti
menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal,
sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan
tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa
memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini
tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan
studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.
2.3.6 Indikasi
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I yang
mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan
urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin,
hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi alergi. Difenhidramin
digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa
digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-
operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness,
pre- dan postoperative atau obstetric sedation. (http://agungrakhmawan.wordpress.com/anti-
histamin/)
2.3.7 Kontraindikasi
Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara
struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing
peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan
pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan
monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua.
(http://agungrakhmawan.wordpress.com/anti-histamin/)
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait
secara struktural.
2.3.8 Efek Samping
Terjadi pada 15 -25% pasien yang di beri antihistamin, dengan derajat intensitas yang berada
secara individual. (Imam Budi: 2008)
Depresi atau stimulasi susunan saraf pusat
Depresi susunan saraf pusat berupa sedasi bahkan sampai spoor sering menggangu aktivitas
sehari-hari, teqadi pada pemakaian golongan amino alkil ether dan phenothiazine, tolerans
terhadap efek sedasi dapat terjadi setelah beberapa hari pemberian.
Efek terhadap susunan syaraf pusat yang lain dizinus, tinnitus, gangguan koordinasi, konsentrasi
berkurang dan gangguan penglihatan/ diplopia.
Stimulasi susunan saraf pusat berupa nervous, irritable, insomnia dan tremor dapat terjadi pada
pemakaian golongan alkylamine.
efek anti kolinergik berupa : retensi urine, disuri, impotensia dan mulut/ mukosa kering dapat
terjadi pada pemakaian golongan amino ethyl ether, phenothrazine dan piperazine.
Hipotensi dapat terjadi pada pemberian anti histamine intravena yang terlalu cepat.
Dermatitis, erupsi obat menetap, fotosensitisasi, urtikaria dan patechiae di kulit terutama setelah
pemakaian secara topical.
Keracunan akut terutama pada anak anak seperti keracunan atropine berupa
halusinasi, ataksia, gangguan koordinasi, konvulsi dan efek entikolinergik (flusing, pupil lebar,
febris).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi di tubuh akibat masuknya suatu zat asing.
Saat alergen masuk ke dalam tubuh, sistem imunitas atau kekebalan tubuh bereaksi secara
berlebihan dengan membuat antibodi yang disebut Imunoglobulin E. Imunoglobulin E tersebut
kemudian menempel pada sel mast. Pada tahap berikutnya, alergen akan mengikat
Imunoglobulin E yang sudah menempel pada sel mast. Ikatan tersebut memicu pelepasan
senyawa Histamin dalam darah. Peningkatan Histamin menstimulasi rasa gatal melalui mediasi
ujung saraf sensorik. Senyawa Histamin yang teramat banyak juga bisa disebabkan oleh stress
dan depresi.
Pengobatan gatal-gatal karena alergi dilakukan dengan jalan pemberian obat antihistamin yang
banyak dijual secara bebas. Sesungguhnya pemakaian obat antihistamin hanya menghilangkan
gejala alergi dan menghindari serangan yang lebih besar di masa mendatang, tidak
menyembuhkan alergi.
SARAN
Sebaiknya, alergi dapat dihindari dengan cara-cara berikut ini.
Hindari pemicu alergi, misalnya makanan atau obat. Cari tahu komposisi atau kandungan
makanan atau obat. Biasakan membaca label yang tertera di luar kemasan.
Jika anak Anda alergi makanan tertentu, kenalkan jenis makanan baru dalam porsi kecil sehingga
Anda dapat mengetahui reaksi alerginya.
Penderita alergi sebaiknya selalu membawa kartu atau daftar jenis alergi atau alergen yang
dideritanya. Simpan dalam dompet untuk keadaan darurat.
Selalu bawa obat anti alergi sesuai rekomendasi dokter Anda.
DAFTAR PUSTAKA
Anang Endaryanto, Ariyanto Harsono, Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi melalui
induksi aktif toleransi imunologis: Divisi Alergi Imunologi: Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK-Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21.
Jakarta: Salemba Medika.
Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI
Budi, Imam. 2008. Pemakaian Antihistamin Pada Anak : FK-USU.
Rengganis, Iris. Yunihastuti, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tan, Hoan Tjai. Obat-obat Penting. 2007.Jakarta: PT. Gramedia
Sukandar, Elin Yulinah, ISO Farmakoterapi. 2008. Jakarta: PT. ISFI