Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH FARMAKOTERAPI

“GERIATRI”

Dosen Pengampu : apt. Heni Setyowati, M. Farm

Disusun Oleh :
Johanes Setiawan (202104024)

PROGRAM STUDI DIII FARMASI


INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN
CENDEKIA UTAMA KUDUS
2022

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini.
Dan semoga kita termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.

Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya makalah ini. Harapan kami
semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun
pedoman bagi para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya
dapat memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Kami sadar bahwa saya ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan, baik dari
aspek kualitas maupun kuantitas. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami.
Oleh sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat
membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Pati, 27 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ............................................................................................................... v

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1


B. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 3
C. Rumusan Makalah ................................................................................................. 3

BAB 2 PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4

A. Pengertian Geriatri ................................................................................................ 4


B. Perbedaan Farmakokinetika dan Farmakodinamika Geriatri ......................... 7
C. Pemilihan obat untuk pasien geriatri ................................................................. 10
D. Penyesuaian dosis pada pasien geriatri .............................................................. 13

BAB 3 PENUTUP ............................................................................................................. 20

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 20
B. Saran ...................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 21

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perubahan Fisiologis dengan Penuaan ....................................................... 7

Gambar 2.2 Perubahan Farmakokinetik Obat Terkait Usia Lanjut ............................ 9

Gambar 2.3 Pedoman Pemantauan Penggunaan Obat pada Pasien Fasilitas Perawatan
Jangka Panjang ................................................................................................................ 11

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Daftar Obat yang Penggunaaannya Memerlukan Perhatian Khusus ........ 19

v
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Geriatri merupakan cabang ilmu dari gerontologi yang mempelajari tingkat
kesehatan pada lanjut usia dari berbagai aspek, diantaranya: promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif yang mencakup kesehatan jasmani, jiwa, dan sosial. Pada prinsipnya
geriatri mengusahakan masa tua yang bahagia dan berguna (Tamher, 2009).
Proses penuaan merupakan suatu hal yang wajar, dan ini adalah dialami oleh
semua orang yang dikaruniai umur panjang, hanya cepat dan lambatnya proses tersebut
tergantung pada usia individu. Secara teori perkembangan manusia yang dimulai dari
masa bayi, anak, remaja, dewasa, tua, dan akhirnya masuk fase usia lanjut dengan umur
diatas 60 tahun. Dibutuhkan persiapan untuk menyambut hal tersebut supaya tidak
menimbulkan masalah fisik, mental sosial bahkan psikologis. Menua (menjadi tua)
adalah proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan atau penyakit yang di derita (Sunaryo,
2016).
Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang dan di masa ini akan
mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap. Lansia dimulai setelah
pensiun, biasanya antara usia 65-75 tahun (Potter&Perry, 2008). Menurut UU Nomor 13
tahun 1998 pasal 1 ayat 2 tentang batasan lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60
tahun keatas baik wanita maupun laki-laki yang secara fisik dapat dibedakan atas dua
yaitu lanjut usia potensial dan lanjut usia tidak potensial (Depkes, 2013). Konsep ini
dipengaruhi oleh kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis, kemandirian, hubungan
sosial, keyakinan pribadi dan lingkungan tempat tinggal (WHO, 1997). Usia lanjut adalah
tahap terakhir dari kehidupan, dimana seorang telah melewati berbagai tahap kehidupan
baik dari bayi, anakanak, remaja, dewasa sampai lansia dan biasanya berkisar antara usia
65 dan 75 tahun (Potter & Perry, 2012).
Di seluruh dunia saat ini, jumlah lanjut usia diperkirakan lebih dari 629 juta jiwa,
dan pada tahun 2025 diproyeksikan jumlah lanjut usia akan mencapai 1,2 milyar
(Nugroho, 2008). Indonesia merupakan negara yang mempunyai jumlah lansia yang

1
cukup tinggi. Pada tahun 2010 jumlah lanjut usia yang berusia 65 tahun keatas adalah 11
juta jiwa, dan diproyeksikan pada tahun 2020 jumlah lanjut usia akan meningkat 7,2 %
(Tamher & Noorkasiani, 2009). Bahkan Biro Sensus Amerika Serikat memperkirakan
Indonesia akan mengalami pertambahan warga lanjut usia terbesar didunia pada tahun
2025, yaitu sebesar 414 % (Maryam, 2008). Jumlah lansia yang terus meningkat akan
mempengaruhi kesejahteraan lansia (Kementrian Kesejahteraan Republik Indonesia.
2012).
Peningkatan populasi lansia tentunya diikuti dengan resiko berbagai penyakit
degenerative seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, osteoarthritis, penyakit
neuromuscular, dan penyakit paru. Sekitar 50-80% lansia yang berusia lebih dari 65
tahun akan mengalami lebih dari satu penyakit kronis. Hal ini berkaitan bahwa semakin
tinggi usia maka semakin banyak masalah kesehatan yang dialami. Selain itu masalah
yang umum dialami lansia yaitu perubahan sistem imun cenderung menurun, perubahan
sistem integument yang menyebabkan kulit kering dan gatal, pada kardiovaskuler yaitu
perubahan elastisitas arteri yang dapat memperberat kerja jantung, serta kemampuan
penglihatan dan pendengaran (Bandiyah, 2009).
Secara umum, menjadi tua ditandai oleh kemunduran fisik seperti kulit
mengendur, penglihatan dan pandangan berkurang, mudah lelah serta terserang berbagai
penyakit seperti hipertensi, asam urat, rematik dan penyakit lainnya. selain fisik,
perubahan psikis juga sangat mempengaruhi kualitas hidup lansia, seperti tidak mampu
mengingat dengan jelas, kesepian, takut menghadapi kematian, serta depresi yang akan
berpengaruh pada kualitas hidup seseorang lansia (Ebersole, 2005).
World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) mendefinisikan kualitas
hidup adalah persepsi individu terhadap kehidupannya di masyarakat dalam konteks
budaya dan sistem nilai yang ada yang terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan
perhatian. Kualitas hidup merupakan suatu konsep yang sangat luas yang dipengarui
kondisi fisik individu, psikologis, tingkat kemandirian, serta hubungan individu dengan
lingkungan (Yuliati, Baroya, & Ririanty, 2014).
Sekarwiri, (2008) Kualitas hidup individu dapat dinilai dari kondisi fisik,
psikologis, hubungan sosial dan lingkungannya WHOQOL grup. Faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup diantaranya: jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan,

2
status pernikahan, penghasilan, hubungan dengan oranglain, dan standar referensi
(Nofitri, 2009).
Perubahan fisik yang terjadi pada lansia erat kaitannya dengan perubahan
psikososialnya. Pengaruh yang muncul akibat berbagai perubahan pada lansia tersebut
jika tidak teratasi dengan baik, cenderung akan mempengaruhi kesehatan lansia secara
menyeluruh. Permasalahan psikologis yang dialami lansia di panti dan merupakan bagian
dari komponen yang menentukan kualitas hidup seseorang dan berhubungan dengan
dukungan keluarga. Interaksi sosial atau dukungan sosial dalam keluarga dapat berjalan
dengan baik apabila keluarga menjalankan fungsi keluarga dengan baik, terutama dalam
fungsi pokok kemitraan (partnership), kasih sayang (affection), dan kebersamaan
(resolve). Pemenuhan kebutuhan sosial lansia di komunitas cenderung lebih baik dari
pada di panti, karena interaksi lansia di komunitas pada dasarnya lebih luas dari pada
lansia di panti. Hal ini disebabkan karena, ada penurunan efisiensi keseluruhan,
sosialisasi karena interaksi lansia di komunitas pada dasarnya lebih luas dari pada lansia
di panti. Hal ini disebabkan karena, ada penurunan efisiensi keseluruhan, sosialisasi,
tingkat keterlibatan dalam pekerjaan dan aktifitas sehari-hari, serta penurunan dukungan
dari keluarga (Yuliati, dkk 2014).
B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa itu geriatri
2. Mahasiswa dapat mengetahui perubahan farmakoterapi dan farmakodinamik pada
pasien usia lanjut
3. Mahasiswa dapat memilih pengobatan yang sesuai untuk pasien usia lanjut
4. Mahasiswa dapat mengetahui dosis yang sesuai untuk pasien usia lanjut
C. Rumusan Masalah
1. Pengertian Geriatri
2. Perubahan farmakokinetika dan farmakodinamika geriatri
3. Pemilihan obat untuk pasien geriatri
4. Penyesuaian dosis pada pasien geriatri

3
4
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Geriatri
Istilah geriatri pertama kali dipakai oleh Ignatz Nascher pada tahun 1909. Geriatri
merupakan disiplin ilmu kedokteran yang menitikberatkan pada pencegahan, diagnosis,
pengobatan, dan pelayanan kepada pasien usia lanjut (Sudoyo dkk, 2006). Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri di Rumah Sakit, pasien geriatri adalah pasien lanjut
usia dengan multi penyakit dan/atau gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi,
sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu
dengan pendekatan multi disiplin yang bekerja secara inter disiplin. Sedangkan lanjut
usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas.
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), lansia dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu: pra lanjut usia (45-59 tahun), lanjut usia (60-69 tahun), dan lanjut usia risiko tinggi
( > 70 tahun atau usia > 60 tahun dengan masalah kesehatan). Proses perubahan biologis
pada lansia ditandai dengan :
a) Berkurangnya Massa Otot dan Bertambahnya Massa Lemak
Hal ini dapat menurunkan jumlah cairan tubuh sehingga kulit terlihat
mengerut dan kering, wajah berkeriput dengan garis-garis yang menetap,
sehingga seorang lansia terlihat kurus (Kemenkes RI, 2012).
b) Gangguan Indera
Kemampuan indera perasa pada lansia mulai menurun. Sensitifitas
terhadap rasa manis dan asin biasanya berkurang, ini menyebabkan lansia
senang makan yang manis dan asin (Kemenkes RI, 2012). Kelenjar saliva
mulai sukar disekresi yang mempengaruhi proses perubahan karbohidrat
kompleks menjadi disakarida karena enzim ptyalin menurun. Fungsi lidah pun
menurun sehingga proses menelan menjadi lebih sulit (Fatmah, 2010).
c) Gangguan Rongga Mulut
Menurut Meiner (2006) dalam Oktariyani (2012), lansia mengalami
penurunan fungsi fisiologis pada rongga mulut sehingga mempengaruhi
proses mekanisme makanan. Perubahan dalam rongga mulut yang terjadi pada

5
lansia mencakup gigi tanggal, mulut kering dan penurunan motilitas
esophagus. Gigigeligi yang tanggal, menyebabkan gangguan fungsi
mengunyah yang mengakibatkan kurangnya asupan makanan pada lansia
(Kemenkes RI, 2012).
d) Gangguan Lambung
Cairan saluran cerna dan enzim-enzim yang membantu pencernaan
berkurang pada proses menua. Nafsu makan dan kemampuan penyerapan zat-
zat gizi juga menurun terutama lemak dan kalsium. Pada lambung, faktor
yang berpengaruh terhadap penyerapan vitamin B12 berkurang, sehingga
dapat menyebabkan anemia (Kemenkes RI, 2012). Perubahan yang terjadi
pada lambung adalah atrofi mukosa yang menyebabkan berkurangnya sekresi
asam lambung sehingga rasa lapar juga berkurang. Ukuran lambung pada
lansia juga mengecil sehingga daya tampung makanan berkurang (Fatmah,
2010).
e) Penurunan Motilitas Usus
Hal ini menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan seperti perut
kembung, nyeri perut dan kesulitan buang air besar. Hal ini dapat
menyebabkan menurunnya nafsu makan dan terjadinya wasir (Kemenkes RI,
2012). Menurut Miller (2004) dalam Oktariyani (2012), perubahan struktur di
permukaan usus secara signifikan mempengaruhi motilitas, permeabilitas atau
waktu transit usus halus. Perubahan ini dapat mempengaruhi fungsi imun dan
absorpsi dari beberapa nutrisi seperti kalsium dan vitamin D.
f) Penurunan Fungsi Sel Otak
Terjadinya penurunan fungsi sel otak menyebabkan penurunan daya ingat
jangka pendek, melambatnya proses informasi, mengatur dan mengurutkan
sesuatu yang dapat mengakibatkan kesulitan dalam melakukan aktifitas
sehari-hari yang disebut dengan demensia/pikun. Penurunan kemampuan
motorik menyebabkan lansia kesulitan untuk makan (Kemenkes RI, 2012).
g) Gangguan Organ Tubuh
Kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam jumlah besar juga
berkurang, sehingga dapat terjadi pengenceran natrium sehingga ginjal

6
mengalami penurunan fungsi. Selain itu pengeluaran urine di luar kesadaran
(incontinensia urine) menyebabkan lansia sering mengurangi minum,
sehingga dapat menyebabkan dehidrasi (Kemenkes RI, 2012). Setelah usia 70
tahun, ukuran hati dan pankreas akan mengecil. Terjadi penurunan kapasitas
penyimpanan dan kemampuan mensintesis protein dan enzim-enzim
percernaan. Perubahan fungsi hati terutama dalam produksi enzim amylase,
tripsin dan lipase menurun sehingga kapasitas metabolisme karbohidrat,
pepsin, dan lemak juga menurun (Fatmah, 2010).

7
Gambar 2.1 Perubahan Fisiologis dengan Penuaan

B. Perubahan Farmakokinetik dan Farmakodinamik Geriatri


Farmakokinetika dan farmakodinamika pada pasien geriatri akan berbeda dari
pasien muda karena beberapa hal, yakni terutama akibat perubahan komposisi tubuh,
perubahan faal hati terkait metabolisme obat, perubahan faal ginjal terkait ekskresi obat

8
serta kondisi multipatologi. Selain itu, perubahan status mental dan faal kognitif juga
turut berperan dalam pencapaian hasil pengobatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek
psikososial juga akan mempengaruhi penerimaan pasien dalam terapi medikamentosa.
Geriatri juga telah mengalami perubahan dalam hal farmakokinetik dan
farmakodinamik obat. Perubahan farmakokinetik yang terjadi karena adanya penurunan
kemampuan absorbsi yang disebabkan oleh perubahan dari saluran gastrointestinal,
perubahan distribusi terkait dengan penurunan cardiac output dan ikatan protein-obat,
perubahan metabolisme karena penurunan fungsi hati dan atau ginjal, serta penurunan
laju ekskresi karena terjadinya penurunan fungsi ginjal. Obat harus berada pada tempat
kerjanya dengan konsentrasi yang tepat untuk mencapai efek terapetik yang didapatkan.
Perubahan-perubahan farmakokinetik pada pasien lanjut usia memiliki peranan penting
dalam bioavailabilitas obat tersebut (Kimble et al, 2005).
Proses-proses farmakokinetik obat pada usia lanjut dijelaskan pada uraian di
bawah ini: (Anonim, 2009).
a) Absorbsi
Penundaan pengosongan lambung, reduksi sekresi asam lambung dan
aliran darah oragan absorbsi secara teoritis berpengaruh pada absorbsi itu
sendiri. Namun pada kenyataannya perubahan yang terkait pada usia ini tidak
berpengaruh secara bermakna terhadap bioavailabilitas total obat yang
diabsorbsi. Beberapa pengecualian termasuk pada digoksin dan obat dan
substansi lain (misal thiamin, kalsium, besi dan beberapa jenis gula).
b) Distribusi
Faktor-faktor yang menentukan distribusi obat termasuk komposisi tubuh,
ikatan plasma-protein dan aliran darah organ dan lebih spesifik lagi menuju
jaringan, semuanya akan mengalami perubahan dengan bertambahnya usia,
akibatnya konsentrasi obat akan berbeda pada pasien lanjut usia jika
dibandingkan dengan pasien yang lebih muda pada pemberian dosis obat yang
sama.
c) Komposisi Tubuh
Pertambahan usia dapat menyebabkan penurunan total air. Hal ini
menyebabkan terjadinya penurunan volume distribusi obat yang larut air

9
sehingga konsentrasi obat dalam plasma meningkat. Pertambahan usia juga
akan meningkatkan massa lemak tubuh. Hal ini akan menyebabkan volume
distribusi obat larut lemak meningkat dan konsentrasi obat dalam plasma
turun namun terjadi peningkatan durasi obat (misal golongan benzodiazepin)
dari durasi normalnya.
d) Ikatan Plasma Protein
Seiring dengan pertambahan usia, albumin manusia juga akan turun. Obat-
obatan dengan sifat asam akan berikatan dengan protein albumin sehingga
menyebabkan obat bentuk bebas akan meningkat pada pasien geriatric. Saat
obat bentuk bebas berada dalam jumlah yang banyak maka akan
mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat dalam plasma meningkat. Hal
ini menyebabkan kadar obat tersebut dapat melampaui konsentrasi toksis
minimum (terlebih untuk obat-obatan paten).
e) Aliran Darah pada Organ
Penurunan aliran darah organ pada lansia akan mengakibatkan penurunan
perfusi darah. Pada pasien geriatri penurunan perfusi darah terjadi sampai
dengan 45%. Hal ini akan menyebabkan penurunan distribusi obat ke jaringan
sehingga efek obat akan menurun.
f) Eliminasi
Metabolisme hati dan eskresi ginjal adalah mekanisme penting yang
terlibat dalam proses eliminasi. Efek dosis obat tunggal akan diperpanjang dan
pada keadaan steady state akan meningkat jika kedua mekanisme menurun.

10
Gambar 2.2 Perubahan Farmakokinetik Obat Terkait Usia Lanjut

Sensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai pertambahan


umur seseorang. Mempelajari perubahan farmakodinamik usia lanjut lebih kompleks
dibanding farmakokinetiknya karena efek obat pada seseorang pasien sulit di
kuantifikasi; di samping itu bukti bahwa perubahan farmakodinamik itu memang harus
ada dalam keadaan bebas pengaruh efek perubahan farmakokinetik. Perubahan
farmakodinamik dipengaruhi oleh degenerasi reseptor obat di jaringan yang
mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau jumlah reseptornya berkurang.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh obat yang sering digunakan pada usia
lanjut dengan beberapa pertimbangan sesuai respons yang bisa berbeda:
1. Warfarin :Perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan respon
yang ada adalah akibat perubahan farmakodinamik. Sensitivitas yang
meningkat adalah akibat berkurangnya sintesis faktor-faktor pembekuan pada
usia lanjut.
2. Nitrazepam :Perubahan respons juga terjadi tanpa perubahan
farmakokinetik yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia lanjut
sensitivitas terhadap nitrazepam memang meningkat. Lebih lanjut data

11
menunjukkan bahwa pemberian diazepam intravena pada pasien usia lanjut
memerlukan dosis yang lebih kecil dibandingkan pasien dewasa muda, selain
itu efek sedasi yang diperoleh memang lebih kuat dibandingkan pada usia
dewasa muda.
3. Triazolam :Pemberian obat ini pada warga usia lanjut dapat
mengakibatkan postural sway-nya bertambah besar secara signifikan
dibandingkan dewasa muda.

Sensitivitas obat yang berkurang pada usia lanjut juga terlihat pada pemakaian
obat propranolol. Penurunan frekuensi denyut nadi setelah pemberian propranolol pada
usia 50-65 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan mereka yang berusia 25-30 tahun.
Efek tersebut adalah pada reseptor β1; efek pada reseptor β2 yakni penglepasan insulin
dan vasodilatasi akibat pemberian isoprenalin tidak terlihat. Perubahan sensitivitas
menunjukkan bahwa terdapat perubahan pada pasca-reseptor intraselular.

C. Pemilihan Obat Pasien Geriatri


Selain jenis penyakit yang berbeda, pada kelompok pasien berusia lanjut juga
terjadi apa yang disebut sebagai multipatologi; satu pasien menderita beberapa penyakit.
Keadaan ini bisa lazim terjadi pada kelompok populasi pasien berusia lanjut mengingat
pada perjalanan hidup mereka bisa menderita suatu penyakit yang akan cenderung
menahun, dan disusul oleh penyakit lain yang juga cenderung menahun akibat
pertambahan usia, demikian seterusnya. Di tengah perjalanannya bukan tidak mungkin
seorang pasien mengalami kondisi akut seperti pneumonia atau infeksi saluran kemih
yang mengakibatkan ia harus dirawat. Kondisi akut yang terjadi pada seseorang dengan
berbagai penyakit kronik degeneratif acap kali menambah daftar obat yang harus
dikonsumsi pasien.

12
Gambar 2.3 Pedoman Pemantauan Penggunaan Obat pada Pasien Fasilitas Perawatan
Jangka Panjang

Pada beberapa situasi memang jumlah obat yang diberikan kepada pasien bisa
lebih dari dua macam, lebih dari tiga macam, atau bahkan lebih dari empat macam. Hal
ini terkait dengan multipatologi yang merupakan salah satu karakteristik pasien geriatri.
Namun demikian tetap harus diingat bahwa semakin banyak obat yang diberikan maka
semakin besar pula risiko untuk terjadinya efek samping; dan yang lebih berbahaya lagi
adalah bertambah pula kemungkinan terjadinya interaksi di antara obat-obat tersebut.
Faktor lain yang dapat dikemukakan di sini adalah bahwa masih terdapat banyak
kecenderungan untuk secepat mungkin mengatasi semua gejala, yang sayangnya tanpa
sengaja mungkin telah melanggar prinsip cost effectiveness. Keadaan multipatologi di
atas sebenarnya tidak boleh diidentikkan dengan multifarmasi atau yang lebih lazim
dikenal dengan istilah polifarmasi. istilah polifarmasi sendiri sebenarnya masih diartikan
secara beragam oleh beberapa ahli. Beberapa definisi antara lain: Meresepkan obat
melebihi indikasi klinik, pengobatan yang mencakup setidaknya satu obat yang tidak
perlu, penggunaan empiris lima obat atau lebih (Michocki,2001). Apapun definisi yang

13
digunakan, yang pasti adalah polifarmasi mengandung risiko yang lebih besar
dibandingkan dengan manfaat yang dapat dipetik sehingga sedapat mungkin dihindari
(Barenbeim,2002). Beberapa data dapat dikemukakan di sini: Linjakumpu (2002)
mendapatkan dari dua survey sepanjang tahun 1990-1991 dan 1998-1999 bahwa terjadi
peningkatan persentase pasien dengan polifarmasi yaitu dari 19% menjadi 25%
(p=0.006). Jumlah obat yang dikonsumsi juga meningkat dari 3 obat menjadi 4 obat; obat
tersering digunakan adalah obat kardio-vaskuler, terutama pada kelompok berusia 85
tahun ke atas, khususnya perempuan. Penelitian lain (Hohl, 2001) mendapatkan bahwa
dari 283 kasus (terpilih secara acak) gawat darurat pada pasien berusia lanjut ternyata
saat itu menggunakan rata-rata lebih dari 4 obat. Efek samping obat merupakan 10,6%
dari seluruh penyebab datangnya pasien ke unit gawat darurat tersebut. Lima puluh
persennya setidaknya meminum satu obat yang potensial menimbulkan efek samping
membahayakan. Jenis obat tersering digunakan (yang mengakibatkan efek samping)
adalah NSAID, antibiotik, antikoagulan, diuretik, obat hipoglikemik dan penyekat beta.
Masalah yang dapat timbul akibat pemberian obat pada pasien geriatri adalah
sindroma delirium atau acute confusional state. Tune (1999) menyebutkan bahwa drug
induced delirium adalah penyebab tersering dari sindroma ini yang mekanismenya:
Akibat perubahan metabolisme obat terkait usia, polifarmasi, interaksi beberapa obat,
kekacauan pengobatan karena pasien sulit mengingat, penurunan produksi dan turnover
neurotransmiter terkait usia.
Disebutkan pula bahwa efek kumulatif obat antikolinergik paling sering
menimbulkan sindroma delirium; seperti diketahui bahwa neurotransmisi kolinergik
memang menurun sejalan dengan penambahan umur seseorang. Ternyata, beberapa obat
yang sebenarnya bukan tergolong antikolinergik namun jika diberikan pada usia lanjut
akan memberikan efek antimuskarinik; beberapa diantaranya adalah simetidin, ranitidin,
prednisolon, teofilin, digoksin, lanoksin, furosemid, isosorbid-dinitrat dan nifedipin.
Semakin banyak obat yang diberikan maka semakin besar pula kemungkinan efek
antikolinergik yang bisa muncul.
Selain masalah di atas, kemungkinan interaksi di antara berbagai obat yang
digunakan juga harus diwaspadai. Semakin banyak obat yang digunakan maka semakin
banyak pula kemungkinan interaksi obat. Jumlah kemungkinan interaksi pada N obat

14
dapat dihitung dengan menggunakan rumus N x (N 1)/2. Jadi, enam obat saja dapat
menimbulkan 15 interaksi. Suatu penelitian melaporkan jumlah pasien dengan
kemungkinan interaksi sebanyak 2,4% dengan 2 obat, 8,8% dengan 3 obat, 22,7% dengan
6 obat dan 55,8% dengan 12 obat. Tidak semua kemungkinan interaksi obat
menunjukkan gejala klinik.
Mekanisme interaksi obat yang sudah dikenal terutama berhubungan dengan
metabolisme obat di hepar. Metabolisme obat ini melalui jalur yang dibantu oleh sistem
enzim sitokrom P-450 (CYP) dengan berbagai isoenzimnya. Beberapa contoh dapat
dikemukakan di sini: pemberian rifampisin akan meningkatkan kerja CYP sehingga
asetaminofen yang diberikan akan lebih cepat dimetabolisme, maka efektifitasnya
menurun; hal yang sama pada pemberian lansoprazol atau omeprazol yang juga
meningkatkan CYP, pada gilirannya akan mempercepat metabolisme teofilin yang
diberikan bersamaan sehingga dosis lazim teofilin menjadi tak efektif. Sebaliknya, jika
pasien menerima obat simetidin, fluoroquinolon, verapamil atau amiodaron yang
semuanya bersifat menghambat CYP, maka pemberian bersamaan dengan asetaminofen,
teofilin, diazepam, haloperidol, penyekat beta, antidepresan trisiklik dan SSRl (=
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) akan meningkatkan toksisitas obat-obat yang
disebutkan terakhir.
D. Penyesuaian Dosis Pasien Geriatri
Tujuan pengobatan tidak selalu harus berdasarkan sudut pandang dokter, namun
selain penemuan obyektif, perlu pula diingat akan pentingnya pendapat pasien dan
keluarga tentang tujuan pengobatan sebelum dokter memutuskan memberikan rejimen
pengobatan. Dokter yang menangani pasien geriatri lazimnya tidak bekerja sendiri karena
kompleksitas masalah medik dan non medik yang ada. Beberapa dokter dan tenaga
kesehatan lain akan bekerja bersama dan sebaiknya di dalam sebuah tim terpadu yang
bekerja dengan prinsip interdisiplin dan bukan sekadar multidisiplin apalagi paradisiplin.
Kelebihan sistem interdisiplin ini antara lain adalah memungkinkannya pemantauan terus
menerus jumlah dan jenis obat yang diberikan sehingga berbagai pihak akan secara
otomatis mempunyai kecenderungan saling mengingatkan. Pencapaian tujuan bersama
sangat memungkinkan terjalinnya kerja sama yang baik demi kepentingan pasien. Saling
keterlibatan yang intens dari masing-masing disiplin akan memperbesar peluang rejimen

15
pengobatan yang lebih efisien sehingga pada gilirannya akan mampu menekan
polifarmasi. Setiap dokter yang terlibat senantiasa dituntut untuk mengevaluasi
pengobatannya secara rutin; obat yang sudah tidak diprioritaskan akan diganti dengan
obat lain yang lebih utama atau dapat dihilangkan dari daftar obat manakala masalah lain
menjadi lebih tinggi skala prioritasnya. Dengan demikian maka efektivitas dan keamanan
pengobatan bagi setiap pasien akan lebih terjamin
Apabila pasien mempunyai masalah medik yang sedang dalam pengobatan
dengan dosis obat berlebih (risiko toksik). Sebagai contoh: tidak dilakukannya
penyesuaian dosis pada pemakaian antibiotika sefotaksim pada pasien yang telah
mengalami penurunan fungsi ginjal, atau tidak dilakukannya penurunan dosis digoksin
yaitu obat dengan indeks terapi sempit saat melakukan penggantian dari sediaan oral
(tablet atau eliksir) atau dari sediaan I.M ke sediaan I.V

NO Obat Efek Tidak Diharapkan Pertimbangan dan


yang Bermakna Rekomendasi
A. ANALGESIK
1. AINS & Tukak dan perdarahan Gunakan parasetamol
penghambat COX- pada saluran pencernaan, terlebih dahulu . Pantau
2 gagal ginjal, retensi cairan, fungsi ginjal, keadaan
dan sindrom delirium. jantung, tekanan darah.
Juga mungkin Hindari penggunaan
mengantagonis efek obat indometasin dan
antihipertensi fenilbutazon karena
meningkatkan kejadian efek
yang tidak diharapkan (SSP
dan hematologikal)
2. Analgesik narkotik Sedasi, depresi pernafasan, Mulai dengan dosis rendah
konstipasi, hipotensi, dan naikkan secara
sindrom delirium perlahan. Pantau efek yang
tidak diharapkan. Cegah
konstipasi dengan makanan

16
berserat, cairan dan/atau
menggunakan pencahar
asalkan sesuai dengan
pedoman yang berlaku.
B. ANTIBIOTIKA
1. Aminoglikosida Gagal ginjal, kehilangan Gunakan dosis lebih rendah.
(seperti fungsi pendengaran Hindari jika terjadi
gentamisin) kerusakan ginjal yang
bermakna, kecuali bila
dilakukan pemantauan kadar
obat dalam darah
(Therapeutic Drug
Monitoring= TDM)
2. Sulfametoxazol/ Reaksi hipersensitif yang Trimetoprim tunggal
Trimetoprim serius (Steven Johnson memberikan efek yang
(cotrimoxazole) syndrome, blood sebanding ( dan lebih aman)
dyscrasias) untuk infeksi saluran kemih.
C. OBAT ANTI-DIABETIK
1. Sulfonilurea oral Meningkatkan risiko Lebih dianjurkan untuk
kerja panjang hipoglikemia. Risiko menggunakan obat dengan
(seperti SIADH dengan sifat kerja lebih pendek
klorpropamid, Klorpropamid (seperti: gliklazid, glipizid).
glibenklamid, Klorpropamid sebaiknya
glimepirid ) tidak digunakan karena
waktu paruhnya sangat
panjang
2. Phenformin, Lactic acidosis (terutama etformin lebih dianjurkan
Metformine jika ada kerusakan ginjal, (kejadian lactic acidosis
kerusakan hati, atau lebih jarang). Kurangi dosis
penyakit jantung) dan pada kerusakan ginjal.
mungkin berakibat fata Hindari pada gagal ginjal

17
yang berat.
D. OBAT ANTI-PIRAI (ANTI-GOUT)
1. Allopurinol Ruam kulit, gagal ginjal Kurangi dosis sampai 100 -
200 mg per hari
2. Kolkisin Diare, dehidrasi Tidak direkomendasikan
untuk terapi kronis
E. OBAT ANTIPARKINSON
1. Amantadine Sindrom delirium, udem Tidak direkomendasikan.
perifer, ruam kulit Jika harus, gunakan dosis
rendah.
2. Antikoligergik Sindrom delirium, retensi Secara umum tidak
(seperti: urin, hipotensi postural direkomendasikan, kadang-
benztropin, kadang berguna jika tremor
benzhexol) sukar disembuhkan dengan
pengobatan lain.
3. Levodopa halusinasi, hipotensi Gunakan dosis terendah
postural, mual, gerakan yang masih efektif.
involunter (involuntary
movements)
F. OBAT KARDIOVASKULAR
1. Metildopa Depresi, hipotensi Tidak direkomendasikan -
postural, bradikardi Tersedia obat yang lebih
aman
2. Reserpin Depresi, sedasi, hipotensi Tidak direkomendasikan -
postural Tersedia obat yang lebih
aman.
3. Prazosin Stress incontinence, Bukan obat pilihan untuk
hipotensi postura hipertensi- Tersedia obat
yang lebih aman.
4. Penghambat Depresi, keletihan, Hindari pada pasien asma,
Beta bronkospasme, bradikardi, PPOK, dan penyakit

18
hipotensi, memperparah pembuluh darah tepi.
penyakit pembuluh darah Propranolol dan timolol
tepi, insomnia, mimpi tidak direkomendasikan
yang hidup (vivid dreams) karena tingginya kejadian
efek yang tidak diinginkan.
5. Verapamil Konstipasi, bradikardi, Hindari pada gagal
pusing, gagal jantung jantung. Pantau adanya
konstipasi
6. Nitrat & Hipotensi postural, Mulai dengan dosis lebih
Nicorandil pusing, sakit kepala rendah. Pantau tekanan
darah
7. ACE - Inhibitor Hiperkalemia, kerusakan Mulai dengan dosis kecil,
pinjal, hipotensi, batuk. Pantau tekanan darah,
fungsi ginjal dan kadar
kalium dalam darah
G. DIUTERIK
1. Loop dan Dehidrasi, hipotensi, Gunakan dosis terendah
yang masih memungkinkan.
tiazida (seperti hiponatremia,
Pantau elektrolit dan
: furosemid, hipokalemia, glukosa.
hidroklortiazid) hiperglikemia,
hiperurisemia,
inkontinensia,
sindrom delirium
2. Diuretik hemat Hiperkalemia Pantau kadar kalium
kalium (terutama jika
(Potassium- digunakan bersama
sparing) suatu ACE-inhibitor)
seperti
amilorid
H. OBAT PSIKOTROPIK
1. Barbiturat Sedasi, sindrom Secara umum tidak

19
(seperti : delirium, osteoporosis, direkomendasikan karena
fenobarbital, ketergantungan waktu paruh yang panjang
pirimidon) dan toksisitasnya. Tersedia
obat yang lebih aman
untuk insomnia dan
epilepsi
2. Benzodiazepi Sindrom delirium, Secara umum tidak
n (Seperti mengantuk, gangguan direkomendasikan karena
diazepam, ingatan, jatuh, waktu paruh yang panjang
oksazepam, ketergantungan dan toksisitasnya. Tersedia
temazepam, obat yang lebih aman
nitrazepam) untuk insomnia.
Coba dengan langkah
tanpa obat untuk insomnia
dan kecemasan. Hindari
obat dengan waktu paruh
panjang (diazepam,
flunitrazepam,
klordiazepoksid,
nitrazepam)
3. Phenothiazine Sindrom delirium, Yakinkan adanya indikasi
(seperti : mengantuk, efek yang sesuai.
Klorpromazin, antikolinergik, efek Gunakan dosis terendah
thioridazin, ekstrapiramidal, yang masih mungkin,
proklorperazin tardive dyskinesia, hindari penggunaan
akathisia jangka panjang jika
memungkinkan.
4. Butirofenon Sindrom delirium, Yakinkan adanya indikasi
(seperti mengantuk, efek yang sesuai.
haloperidol) ekstrapiramidal, Gunakan dosis terendah
tardive dyskinesia, yang masih mungkin,

20
akathisia hindari penggunaan
jangka panjang jika
memungkinkan
5. Antidepresan Efek entikolinergik, Jangan diberikan
trisiklik hipotensi, jatuh antidepresan trisiklik, mulai
(seperti : dengan dosis rendah dan
amitriptilin, secara perlahan
imipramin, ditingkatkan. Berikan
doxepine, sebagai dosis tunggal
dethiepin) pada malam hari. Selective
Serotonin Reuptake
inhibitors (SSRI)
secara umum lebih
dianjurkan karena
ditoleransi lebih baik, tetapi
lebih mahal
Tabel 2.1 Daftar Obat yang Penggunaaannya Memerlukan Perhatian Khusus

21
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas dapat di simpulkan bahwa pasien geriatri adalah
pasien lanjut usia dengan multi penyakit dan/atau gangguan akibat penurunan fungsi
organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan
kesehatan secara terpadu dengan pendekatan multi disiplin yang bekerja secara inter
disiplin.
Untuk perubahan farmakokinetik sendiri terjadi karena adanya penurunan
kemampuan absorbsi yang disebabkan oleh perubahan dari saluran gastrointestinal,
perubahan distribusi terkait dengan penurunan cardiac output dan ikatan protein-obat,
perubahan metabolisme karena penurunan fungsi hati dan atau ginjal, serta penurunan
laju ekskresi karena terjadinya penurunan fungsi ginjal. Sedangkan pada perubahan
farmakodinmik dipengaruhi oleh degenerasi reseptor obat di jaringan yang
mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau jumlah reseptornya berkurang.
Pada pasien geriatric, jumlah obat yang diberikan bisa lebih dari dua macam,
lebih dari tiga macam, atau bahkan lebih dari empat macam. Hal ini terkait dengan
multipatologi yang merupakan salah satu karakteristik pasien geriatri. Namun demikian
tetap harus diingat bahwa semakin banyak obat yang diberikan maka semakin besar pula
risiko untuk terjadinya efek samping; dan yang lebih berbahaya lagi adalah bertambah
pula kemungkinan terjadinya interaksi di antara obat-obat tersebut. Maka dari itu kita
harus memilih obat yang tepat untuk psien geriatric. Sedangkan pada pemberian dosisi
obat kita harus lebih teliti dalam melayani resep dokter dan melakukan pemeriksaan
dosisnya agar dosisi sesuai dengan tujuan terapi tersebut.
B. Saran
1. Pasien geriatric atau lanjut usia memerlukan pengawasan yang ekstra dari keluarga
dan memerlukan bantuan tenaga kesehatan dalam menghadapi perubahan-perubahan
yang terjadi pada kondisi pasien geriatric.
2. Penulis juga membutuhkan kritik dn saran untuk penulisan makalah selanjutnya

22
DAFTAR PUSTAKA
Barbara G. Joseph T. Terry L. Cecily V. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition.
Rahmawati Yuni. Sunarti Sri. 2014. Permasalahan Pemberian Obat pada Pasien Geriatri. Jurnal
Kedokteran Brawijaya. Vol. 28.
https://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/493
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2006.
Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat) Untuk Pasien Geriatri.
http://pio.binfar.kemkes.go.id/PIOPdf/PEDOMAN_GERIATRI_1.pdf

23

Anda mungkin juga menyukai