Anda di halaman 1dari 4

MEMBACA INDONESIA

Subkultur Pesantren dan Hasil


Interaksinya
8 Desember 2016

https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2016/12/08/subkultur-pesantren-dan-hasil-interaksinya/

Interaksi yang damai dan toleran yang dicontohkan wali sanga saat menyebarkan Islam
diteruskan melalui praksis pendidikan pesantren. Pesantren tidak hanya menjadi antitesis dari
kehidupan yang cenderung mengutamakan duniawi, tetapi juga menyemaikan pola interaksi
masyarakat yang tulen dan tulus.

Pesantren dengan corak sosiologisnya yang khas menjadi subkultur tersendiri yang tidak
bersifat eksklusif dan berjarak dari masyarakat. Sedari pendiriannya, ia selalu memiliki
keterkaitan erat dengan wali sanga, tidak hanya dari asal keturunan pengasuh pondoknya,
tetapi juga melalui ajaran dan wejangannya.
Abdul Ghoffar Rozin, Ketua Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama, menegaskan, kini di
Indonesia ada 23.300 pesantren milik NU yang mengajarkan Islam toleran. Melalui basis
pendidikan inilah, lahir tokoh pergerakan nasional yang terkenal gigih serta para ulama dan
guru yang berpikiran terbuka, tetapi tidak kehilangan prinsip-prinsipnya.

Setiap pesantren memiliki karakter masing-masing. Akan tetapi, semua pesantren NU pasti
ada kaitannya dengan wali sanga. “Jika dirunut terus ke atas, pasti setiap pesantren NU ada
kaitan genealogis dengan wali sanga meski tidak selalu dalam hal keturunan, bisa juga dari
ajarannya. Misalnya, pesantren A apabila dirunut ke atas, kiainya atau pengasuh pondoknya
dulu mondok di pesantren B. Setelah ditelusuri lagi ke atas, kiai pesantren B itu mondok di
pesantren C, seterusnya hingga ke atas, ke wali sanga,” katanya beberapa waktu lalu di sela-
sela acara International Summit of The Moderate Islamic Leaders yang diadakan Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Menariknya lagi, pesantren sejatinya merupakan kelanjutan dari pola pendidikan serupa yang
dikenal di era Hindu-Buddha. Denys Lombard dalam bukunya, Nusa Jawa: Silang Budaya
(Jaringan Asia), mencatat, madrasah-madrasah pertama sering kali meneruskan lembaga
seperti dharma atau mandala yang merupakan pertapaan para resi dan memiliki struktur yang
mirip dengan pesantren. Setidaknya, menurut Lombard, kemiripan itu antara lain dari
lokasinya yang jauh dari pusat keramaian politik, jalinan yang kuat antara murid atau santri
dengan guru atau kiai, dan kontak antardharma yang mirip dengan jaringan antarpesantren.

Membangun harmoni

Pesantren memiliki hubungan yang unik dengan warga sekitarnya. Dari yang awalnya
menyebarkan syiar Islam, seperti saat pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, mendirikan Pondok
Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, di sekitar pabrik gula Cukir, hingga kemudian
menghasilkan interaksi timbal balik yang menguntungkan secara ekonomis.

Pesantren pun tetap menghormati kebiasaan dan tradisi warga sekitar. Di Pondok Pesantren
Balekambang, Nalumsari, Jepara, Jawa Tengah, misalnya, keterlibatan pesantren dengan
masyarakat dalam hal-hal tradisi tetap kuat. Sebagai contohnya, ketika akan menikahkan
anaknya, warga punya kebiasaan mengorbankan ayam dengan melemparkannya ke sungai.
Tujuannya agar tidak ada bahaya atau sengkala (sial) dalam hajatan.

“Ritual pengorbanan itu masih dilakukan sekarang. Bedanya, kami mengajak warga untuk
melemparkannya ke sungai, tetapi ayam itu lebih dulu diikat kakinya dengan tali. Di seberang
sungai, ada warga lain yang bertugas menangkap ayam itu. Setelah ayam dilempar, warga di
seberang menangkap ayamnya untuk disembelih dan dijadikan makanan atau bancakan
bersama-sama sembari berdoa. Sekarang bukan lagi ritual pengorbanan untuk buang sial,
tetapi menjadi upacara syukuran cara Islam,” kata KH Mustamir Wildan, Ketua Pengurus
Ponpes Balekambang, pertengahan Oktober lalu.

Warga sekitar Ponpes Balekambang adalah penopang utama bagi institusi pendidikan yang
didirikan tahun 1884 itu. Kebutuhan pangan santri, perluasan bangunan pondok, hingga
pembuatan seragam santri, semua melibatkan warga sekitar. “Pondok mempunyai banyak
rakyat (penghuni). Untuk membangun harmoni, pondok melibatkan masyarakat sekitar untuk
membantu memenuhi kebutuhan masyarakat pondok sekaligus kami membantu pemerintah
meningkatkan ekonomi rakyat kecil,” ujar Mustamir.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam bukunya, Menggerakkan Tradisi, secara eksplisit
menyebut pesantren sebagai suatu subkultur tersendiri lantaran kekhasan yang dimiliknya.

Batik

Subkultur pesantren yang khas, tetapi menjalin interaksi dengan lingkungan di sekitarnya,
terkadang menghasilkan pertukaran “kultur” dan pengalaman antara santri dan warga
setempat. Kiai dan santri berperan sebagai pelaku transfer kebudayaan.
Salah satu contohnya ialah perkembangan batik ciwaringin di Kabupaten Cirebon, Jawa
Barat. Sentra batik yang menggunakan pewarnaan alam itu berada sekitar 1 kilometer dari
kompleks Ponpes Babakan, Ciwaringin, yang diperkirakan telah berusia 3 abad itu.

Sekitar tahun 1907, salah satu pengasuh Ponpes Babakan, Ciwaringin, KH Muhammad Amin
atau dikenal sebagai KH Mad Amin, menyebarkan keahlian membatik kepada masyarakat di
sisi selatan Dusun Babakan yang berada di tepi barat Sungai Ciwaringin. Keahlian Mad Amin
itu diduga berasal dari sang ayah, Kiai Romli bin Kiai Walija dari Menjangan, Pekalongan,
Jateng.

Berdasarkan cerita KH Marzuki Ahal, pengasuh Ponpes Babakan Ciwaringin lainnya, peran
Kiai Mad Amin itu tidak bisa terlepas dari istrinya, Nyai Ummi Kultsum, yang berasal dari
Plered, Cirebon. Kiai Mad Amin bahkan membuat satu ruangan khusus bagi istrinya untuk
memulai gagasan membatik. Ruangan itu juga dijadikan tempat pembuatan kain mori, bahan
dasar kain batik.

Keahlian Kiai Mad Amin dan istrinya itu kemudian diajarkan kepada santri-santri mereka
yang berminat.

Di kala itu, batik sudah menjadi bagian dari kebiasaan warga Babakan Ciwaringin. Dulu,
kalau ada warga yang memiliki anak khatam (tuntas membaca) Al Quran, orangtua tersebut
memberikan hadiah berupa batik kepada kiai yang mendampingi proses belajarnya.

Keahlian membatik itu kemudian meluas ke desa tetangga dan warga di luar kompleks
ponpes. Selama bertahun-tahun, warga Babakan secara turun-temurun mewariskan keahlian
itu sehingga batik ciwaringin dikenal, selain produk batik cirebon yang dihasilkan di sentra
batik Trusmi.

Di dalam buku Bilik-bilik Pesantren, cendekiawan Muslim Nurcholis Madjid menekankan


soal kelanggengan eksistensi pesantren di tengah masyarakat. Kelanggengan pesantren itu
timbul disebabkan keterikatan kuat dengan kondisi sosiologis masyarakat di sekitar
pesantren. Pesantren dinilai telah berperan menemukan pola hubungan masyarakat yang
bersifat asli, sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia.

(MUHAMMAD IKHSAN MAHAR/RINI KUSTIASIH)

Anda mungkin juga menyukai